Islam Liberal Di Indonesia

  • Uploaded by: Irfan Noor, M.Hum
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Islam Liberal Di Indonesia as PDF for free.

More details

  • Words: 6,578
  • Pages: 19
ISLAM LIBERAL DAN TRADISI PEMBAHARUAN ISLAM DI INDONESIA* Oleh: Irfan Noor, M.Hum*

Abstract: Tradisi pembaharuan keagamaan di lingkungan Islam di Indonesia sesungguhnya tidaklah berkonotasi purifikasi dan ideologisasi semata, sebagaimana yang terjadi pada abad ke-19 atau tahun 1950-an. Namun lebih dari itu, pembaharuan Islam telah juga melahirkan suatu varian pola pemikiran keislaman yang berkonotasi kontekstualisasi. Varian tersebut adalah lahirnya pola pemikiran “Islam Liberal”. Pola pemikiran ini memiliki kecenderungan untuk lebih menekankan proses progresifasi dan akomodasi historis-sosiologis daripada terkungkung ke dalam hegemoni text. Pola ini dipilih bukan karena latah terhadap berbagai bentuk perubahan sosial yang terjadi, tapi lebih merupakan bentuk ekspresi kesadaran diskursif terhadap kandungan hermeneutis text-text keagamaan yang diimani. Key Word : Hegemoni, Historical Block, Reflexity, Islam Liberal, Puritan.

Pendahuluan Di tengah-tengah pesatnya perkembangan intelektualisme Islam Indonesia dewasa ini, munculnya wacana “Islam Liberal”, yang baru-baru lalu marak didiskusikan di berbagai forum dan media, makin menambah tema diskursus pemikiran Islam kontemporer Indonesia saat ini. Menariknya, wacana ini ternyata dibangun tidak sekedar untuk menjadi konsumsi bagi diskurusus pemikiran Islam kontemporer semata, namun telah menjadi pintu gerbang bagi terbentuknya jaringan komunikasi bersama sekelompok intelektual muda di Jakarta khususnya dan pulau Jawa umumnya. Hal ini bisa dilihat dengan tampilnya sebuah web-site http:// www.islamlib.com di internet yang merupakan tempat sekompok intelektual muda Islam tersebut dalam berbagi gagasan sekitar penguatan dan pengembangan wacana “Islam Liberal” di Indonesia. Tulisan ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari makalah yang telah disajikan untuk Forum Diskusi Bulanan yang diselenggarakan LK-3 dengan Serambi Ummah Banjarmasin Post pada hari sabtu 01 September 2001 di Gedung Palimasan Lt. IV Kantor Redaksi Banjarmasin Post. * Dosen Tetap pada Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin, yang mendapatkan pendidikan pada program Strata-Satu (S-1) Jurusan Aqidah-Filsafat Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan Strata-Dua (S-2) Program Studi Ilmu Filsafat Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. *

Fenomena ini, tentunya, menarik untuk dikaji secara sungguh-sungguh dalam rangka mencari akar masalah yang melingkari di sekitarnya. Dan melalui refleksi epistemologis diharapkan dapat menemukan hard core dari keberadaan wacana ini. Tipologi Pembaharuan Islam dan Kecenderungannya Wacana “Islam Liberal”,1 pada dasarnya, merupakan diskursus yang tidak bisa dilepaskan begitu saja dari tradisi pembaharuan Islam umumnya dan Indoensia khususnya itu sendiri. Gejala yang sesungguhnya bersifat universal dalam setiap tradisi keagamaan ini jika dicermati secara sungguh-sungguh tampaknya memperlihatkan dua arus besar utama (mainstream), yakni Islam Liberal dengan berbagai variannya2 dan Islam puritan dengan berbagai variannya.3 Di Indonesia misalnya, munculnya Islam Liberal termanifestasi dalam tiga varian besar tipologi pemikiran. Pertama, Neo-Modernisme dengan tokoh antara lain: Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid. Kedua, Sosialisme-Demokrasi dengan tokoh antara lain: Adi Sasono, M. Dawam Istilah dan pengertian “Islam Liberal” (Leberal Islam) diambil dari kategori yang dibuat oleh Greg Barton, The Emergence of Neo-Modernisme; A Progressive, Liberal movement of Islamic Thought in Indonesia [A Textual Study Examining the Writings of Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Abdurrahman Wahid 1968-1980], Naskah Desertasi untuk Departemen of Asian Studies and Languages, Monash University, 17 Agustus 1995. Bandingkan juga dengan karya Charles Kurzman, Leberal Islam; A Sourcebook, (New York: Oxford University Press, 1998). Dari kedua buku inilah, istilah dan pengertian “Islam Liberal” mulai populer di kalangan intelektual Islam di Indonesia pada pertengahan tahun 1999. Istilah dan pengertian di atas berbeda dengan apa yang diistilahkan oleh Leonard Binder sebagai “Islamic Leberalism” ( Liberalisme Islam) yang cenderung berkonotasi radikal dan fundamentalistik. Lihat Leonard Binder, Islamic Leberalism; A Critique of Development ideologies, (Chicago: The University of Chicago, 1988). Jika istilah dan pengertian leberal Islam, yang dikemukakan oleh Barton dan Kurzman, merupakan suatu bentuk pendekatan yang berupaya keluar dari kungkungan hegemoni text dan cenderung menekankan kontektualisasi Islam di tengah-tengah perubahan sosial, maka istilah dan pengertian Islamic Leberalism, yang dikemukakan oleh Binder, lebih menggambarkan kecenderungan yang terdapat dalam gerakan melawan hegemoni Barat yang terjadi di negara-negara berkembang yang penduduknya mayoritas umat Islam. Oleh karena itulah, kedua istilah ini jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia akan tampak perbedaan signifikan, yakni Leberal Islam berarti “Islam yang bercorak liberal”, dan Islamic Leberalism berarti “pembebasan yang diyakini berdasarkan doktrin/faham keislaman”. Ini artinya jika istilah pertama menggambarkan titik tolak dalam memahami persoalan-persoalan keislaman, maka istilah kedua lebih menitikberatkan pada aspek keyakinan teologis dalam menerapkan Islam terhadap berbagai kondisi sosial dan budaya. Lihat penjelasan yang lebih rinci pada ketiga buku di atas. 2 Untuk penjelasan yang lebih rinci, lihat: A. Luthfi Assyaukanie, “Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer”, dalam Jurnal Paramadina (Jakarta: Vol. I, Juli - Desember 1998), hlm. 58- 95, dan juga lihat Fachry Ali & Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1986), hlm. 167-289. Bandingkan pula hasil penelitian Mark R. Woodward, Toward A New Paradigm: Recent Development in Indonesian Islamic Thought, (Arizona: Arizona State University, 1996). 3 Ibid. 1

2

Rahardjo, dan Kuntowijoyo. Ketiga, Modernisme dengan tokoh antara lain: A. Mukti Ali, Harun Nasution, Ahmad Syafi’i Ma’arif, Djohan Effendi, dan Ahmad Wahib. Kecenderungan ini jika diperhatikan dengan sungguh-sungguh juga terjadi di dunia Arab. Hal ini bisa dilihat dengan munculnya tipologi Islam liberal yang termanifestasikan dalam dua varian besar tipologi pemikiran. Pertama, transformatik dengan tokoh antara lain: Abdullah Laroui, Mahdi Amil, dan Zaki Nadjib Mahmud. Kedua, reformistik dengan pendekatan rekonstruktif dengan tokoh antara lain: Hassan Hanafi, Muhammad Imarah, dan Hasan Sa’ad, di samping dengan pendekatan dekonstruktif dengan tokoh antara lain: Mohammed Arkoun, Mohammed Abid al-Jabiri, dan Aziz azmeh. Sementara kecenderungan pada munculnya Islam-puritan di Indonesia termanifestasikan pula dalam beberapa varian besar tipologi pemikiran. Pertama, Idealisme-Puritan dengan tokohnya antara lain: Hidayat Nur Wahid, Daud Rasyid, dan Abdul Kadir Djailani. Kedua, Universalisme-Islam dengan tokohnya antara lain: M. Amin Rais, A.M. Saifuddin, dan Endang Saefuddin Anshari. Adapun kecenderungan yang terjadi di dunia Arab sendiri, munculnya Islam puritan termanifestasi pula dalam berbagai varian pemikiran dengan tokohnya antara lain: Sayyid Hawwa, Sayyid Quthub, Anwar Jundi, dan Muhammad Ghazali. Di Indonesia sendiri, tradisi pembaharuan Islam yang mulai berakar sejak awal abad ke-17 hingga awal abad ke-18,4 dan berlanjut pada akhir abad ke-195 hingga awal abad ke-20 memang memperlihatkan dua arus utama tersebut. Namun yang menarik di Indonesia, sebagaimana yang diteliti oleh Greg Barton dalam draft desertasi Doktor-nya, bahwa ternyata sepanjang tahun 1970-an dan berlanjut sampai sekarang, pembaharuan yang terjadi di Indonesia justru memperlihatkan arah pembaharuannya yang bercoral Islam liberal yang dominan daripada Islam puritan jika dibandingkan dengan negara-negara Islam atau yang berpenduduk Islam lainnya.6 Menyangkut masalah di atas, Greg Barton menandaskan sebagai berikut:

Pada abad ini muncul tokoh-tokoh pembaharu dengan karakter masing-masing yang berbeda, di antaranya: Nuruddin Ar-Raniri - Hamzah Fansuri, Abdurra’uf Asy-Syinkil, Syekh Muhammad Yusuf, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari - Syekh Muhammad Nafis, dll. Lihat penjelasan yang lebih rinci pada Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1994). 5 Pada abad ini muncul tokoh-tokoh pembaharu dengan apiliasi organisasi kemasyarakatannya, di antaranya: Hasyim Asy’ari, Ahmad Dahlan, Ahmad Syorkati, Ahmad Hasan, dll. Lihat penjelasan yang lebih rinci pada Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indoensia, (Jakarta: LP3ES, 1980). 6 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, diterjemahkan oleh Nanang Tahqiq, (Jakarta: Paramadina bekerjasama dengan Pustaka Antara, Yayasan Adikara dan Ford Foundation, 1999), hlm. 3-4. Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud Greg Barton dengan Islam abad ke-19 atau Islam tahun 1950-an adalah corak Islam-ideologis. 4

3

Apapun alasannya, fakta membuktikan bahwa sepanjang tahun 1970-an, 1980-an dan berlanjut hingga kini, Indonesia telah menyaksikan sebuah kebangkitan Islam yang amat progresif dan begitu memiliki masa depan. Ini adalah sebuah fenomena luar biasa namun juga cukup mengejutkan bila dibandingkan dengan yang sering-kali disebut sebagai “Islamic Revival” yang sempat dialami negara jiran Malaysia (dan beberapa negara-negara Islam lainnya yang kharismanya secara tradisional dipertimbangkan lebih Islam daripada Indonesia). Satu hal yang perlu disadari bahwa kebangkitan Islam di masyarakat Indonesia ... bukan suatu kebangkitan untuk tertarik pada Islam abad ke-19 atau Islam tahun 1950-an ... Melainkan salah satu paling dominan di antaranya perhatian pada Islam kontekstual dan Islam substansial ... yang pada umumnya ... “moderat”, “liberal”, dan “progresif”...7 Kecenderungan ini sesungguhnya jika diteliti dengan seksama menggambarkan adanya suatu faktor internal dalam masyarakat Islam Indonesia dalam melakukan pilihan paradigmatis dalam beragama dalam bingkai negara kebangsaan Indonesia. Dan pilihan ini merupakan bagian dari dialektika yang kompleks antara Islam dengan kenyataan sosialnya, yang pada akhirnya menghasilkan suatu formulasi yang bersifat paradigmatis, sebagaimana yang terstruktur ke dalam tipologi pemikiran “Islam Liberal”. Struktur Rezim Orde Baru dan Cikal-Bakal Islam Liberal di Indonesia Asumsi di atas bisa dilacak dari tampilnya rezim pemerintahan Orde Baru ke panggung politik dan kekuasaan bangsa Indonesia. Tampilnya rezim ini yang disertai dengan kebijakan dan langkah-langkah pembaharuan sosial politik dan ekonomi, pada dasarnya, bertujuan untuk menata dan mengukuhkan negara sebagai kekuatan yang determinan.8 Langkah-langkah ini dimulai sekitar periode awal tampilnya rezim ini pada tahun 1966 - 1969 melalui upaya mengatasi krisis ekonomi, politik, dan keamanan. Adapun puncak dari usaha ini adalah munculnya proses hegemonisasi negara pada tahun 1970-an terhadap masyarakat. Sebagaimana dikemukakan oleh Antonio Gramsci, hegemoni muncul ketika negara secara ideo-politis mendominasi masyarakat dan kekuatan sosial politik lainnya. Posisi hegemonik negara atas masyarakat ini, ditunjukkan dengan kemampuan pemerintah Orde Baru dalam mengembangkan sistem politik yang mampu mengontrol masyarakat sipil. 9 Oleh karena itulah, hakikat negara di bawah Orde Baru cenderung menjadi sentralistik dan kebijakannya selalu dijalankan melalui strategi atas-bawah (top-down). Dengan pengertian inilah, hegemoni negara tidak hanya tampak

Ibid., hlm. 3-4. M. Syafi’i Anwar, “Negara dan Cendikiawan Muslim Indonesia Orde Baru”, dalam Saiful Muzani (ed.), Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1993), hlm.129. 9 Ibid., hlm. 130. 7 8

4

dalam pengertian mengenai konstruksi ideologis yang formal dari negara, tetapi lebih penting lagi juga dalam proses produksi dan reproduksi sosial.10 Oleh karena itulah, bisa dimengerti jika dari semua perkembangan Orde Baru, Orde ini tidak hanya menyodorkan warna kehidupan baru kepada masyarakat Indonesia, tetapi juga telah menciptakan struktur sosial-budaya dan ekonomi serta politik baru. Di bawah Orde Baru, seluruh organisasi sosial dan politik secara ketat dikontrol melalui sejumlah regulasi. Oleh karenanya, seiring dengan kebijakan itu, masa “politik aliran” yang telah mendominasi politik Indonesia sampai awal tahun 1970-an, menjadi berakhir. Dengan sendirinya pula, agama secara pelan-pelan tidak lagi mengalami politisasi. Agama dan kaum agamawan, karenanya, berada dalam suatu posisi defensif berhadapan dengan kekuasaan negara dan hegemoni ideologisnya.11 Tampilnya negara sebagai kekuatan determinan ini, sesungguhnya, tidak lain dalam rangka mendukung salah satu keputusan nasional yang paling penting pada pemerintahan rezim Orde Baru di atas, yakni dimulainya “era pembangunan”. Sebagai-mana diketahui, konsep pembangunan yang diterapkan oleh Orde Baru adalah konsep yang diambil dari gagasan-gasasan pembangunan (development) ala Barat. Elemen sentral dari perspektif ini adalah metafora pertumbuhan (growth), yaitu pertumbuhan yang terwujud di dalam organisme. Dengan demikian, pembangunan dipahami sebagai sesuatu yang organik, imanen, kumulatif, dan bertujuan. Oleh karena itulah, penekanan terpenting dari wacana pembangunan ini adalah idea of progress.12 Sementara dalam prakteknya, pembangunan Orde Baru mengadopsi segi-segi dari konsep Barat yang sering disebut sebagai modernization paradigm.13 Sejak adanya kebijakan yang demikian inilah, maka sejak tahun 1970-an, Indoensia memasuki tahapan baru dalam perkembangan masyarakat. Pembangunan berencana dan berskala besar yang dimulai oleh pemerintah Orde Baru telah mengawali proses transformasi masyarakat.14 Adapun penekanan pada pentingnya aspek ekonomi dalam mengartikan pembangunan itu sendiri, memang, mempunyai landasannya dalam sejarah Indonesia. Dua dekade sejak kemerdekaan, aspek ekonomi atau pragmatis terabaikan. Akibatnya terjadi stagnasi dalam perkembangan ekonomi. Oleh karena itu, Muhammad A. S. Hikam, “Negara, Masyarakat Sipil dan Gerakan Keagamaan dalam Politik Indonesia”, dalam Majalah Prisma, No. 3., edisi Maret 1991, (Jakarta: LP3ES), hlm. 78-81. Bandingkan dengan Fachry Ali, “Akomodasi Non-Politik Islam Indonesia dalam Struktur Orde Baru”, dalam Majalah Prisma, No. 3, edisi Maret 1991 ..., hlm. 87-96. 11 Muhammad A. S. Hikam, “Negara, masyarakat Sipil ...”, hlm. 78, 83. 12 M. Syafi’i Anwar, “Negara dan Cendikiawan Muslim ...”, hlm. 131-132. 13 Fachry Ali, “Akomodasi Non-Politik Islam Indonesia ...”, hlm. 89. 14 Adam Schwarz, A Nation in Waiting, (Australia: Allen & Unwin, 1994), hlm. 29-37. Lihat juga M. Dawam Rahardjo, “Basis Sosial Pemikiran Islam di Indonesia Sejak Orde Baru”, dalam Majalah Prisma, Edisi Maret 1991, (Jakarta: LP3ES), hlm. 6. 10

5

munculnya kebijakan ekonomi yang muncul tahun 1966 merupakan reaksi terhadap situasi ini. Dengan demikian pula, era ini sering disebut sebagai kelahiran “developmentalisme”.15 Tuntutan pada modernisasi dengan berbagai kebijakan di bidang politik dan ideologi yang digerakkan oleh negara inilah yang pada akhirnya berimplikasi pada kebijakan depolitisisasi Islam dalam sistem politik Orde Baru.16 Dan inilah yang sesungguhnya, sebagaimana yang diakui oleh banyak pakar, yang mendorong lahirnya formasi Islam dalam kekuatan budaya. 17 Dengan lahirnya formasi baru inilah menandai adanya pergeseran format politik Islam yang cenderung eksklusif dengan menekankan institusi politik kepada sikap inklusif dengan menekankan visi politik.18 Dengan asumsi inilah, kipral intelektual yang dipelopori oleh generasi baru pemikir dan aktivis Islam seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Ahmad Wahid, dan Djohan Effendi, serta lainnya yang, sejak awal dekade 1970-an, berusaha mengembangkan format baru politik Islam di mana substansi, bukan bentuk, merupakan titik tekan utama.19 Dalam hal ini, tujuan Islam bukan diorientasikan pada kekuasaan, melainkan pada pencerahan (enlightenment) umat dalam bangunan kebangsaan. Dengan logika ini, wacana Islam pun perlahan ikut bergeser, dari wacana normatif atau wacana politis-ideologis ke wacana intelektual yang bercorak sosiologis.20 Inilah perkembangan radikal dalam pemikiran Islam Indoensia sepanjang tahun 1970-an yang merupakan respon atas situasi sosio-intelektual dan sosio-politik masa pemerintahan rezim Orde Baru. Semua ini tidak lain merupakan pencarian alternatif pemikiran, baik kultural maupun keagamaan, dalam mengembangkan apa yang menurut istilah Nurcholish Madjid (Cak Nur) “daya gerak psikologis” (psychological striking force) umat Islam Islam yang sedang mengalami proses marjinalisasi di bidang sosial dan politik. Inilah akar dari seluruh fenomena dari wacana Islam Liberal yang berkembang saat ini. Terlepas dari apapun namanya, gerakan yang dipelopori oleh Nurcholish Madjid dan kawankawannya, menurut Fachry Ali, merupakan eksperimen pemikiran yang menarik, suatu tahap M. Dawam Rahardjo, “Islam dan Pembangunan, Agenda Penelitian Sosial di Indoensia, dalam Saiful Muzani, Pembangunan dan Kebangkitan Islam ...hlm. 268. 16 Saiful Muzani “Kata Pengantar”, dalam Saiful Muzani, Pembangunan dan Kebangkitan Islam... hlm. 15. 17 Saiful Muzani, “Kultur Kelas Menengah dan Kelahiran ICMI”, dalam Indonesian Journal for Islamic Studies Studia Islamika, Vol. I, No. 1 (April -June) 1994), hlm. 213. 18 Sudirman Tebba, Islam Orde Baru; Perubahan Politik dan Keagamaan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), hlm. 6. 19 Lihat Pembahasan lebih mendalam pada Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indoensia, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 125-174. Lihat juga Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999). 20 Dedy Djamaluddin Malik & Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran & Aksi Politik, (Jakarta: Zaman, 1998), hlm.46. 15

6

pemikiran yang berusaha melihat realitas objektif umat Islam Indonesia. Dan hal yang paling penting dari eksperimen tersebut adalah bentuk pemikiran itu melintasi batas-batas konvensional pemikiran Islam-ideologis yang ada.21 Tipologi Umum Islam Liberal di Indonesia Pada dasarnya, gagasan Islam Liberal yang berkembang di Indonesia yang mendapatkan bentuknya yang paling awal adalah gagasan tentang perlunya suatu pembaharuan pemikiran Islam Indonesia yang ada. Gagasan inilah yang pada titik awalnya mendapatkan kristalisasinya pada ide pembaharuan Islam Cak Nur. Ide inilah yang kemudian merupakan landasan bagi berkembangnya wacana Islam Liberal di kemudian hari. Adapun ide pembaharuan tersebut, berangkat dari asumsi Cak Nur sebagai berikut: “Umat Islam Indonesia telah jatuh kembali dalam situasi stagnasi dan telah kehilangan daya gerak psikologis. Untuk menjaga keberlangsungan umat, umat Islam dihadapkan pada dua pilihan antara keharusan pembaharuan dan mempertahankan sikap tradisionalisme ... (dan) pilihan untuk mempertahankan tradisionalisme dan konservatisme Islam berarti memperpanjang situasi kejumudan intelektual umat Islam.22 Dalam keyakinan Cak Nur kemudian bahwa, “... pembaharuan harus dimulai dengan dua tindakan yang saling erat kaitannya, yakni melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan”.23 Dalam konteks ide pembaharuan Cak Nur inilah, wacana seperti sekularisasi, liberalisasi, rasionalisasi, dan modernisasi menjadi wacana publik para intelektual Islam yang berorientasi Liberal. Dalam rentang diskursus pembaharuan pemikiran Islam itulah, kalangan Islam liberal samasama menjunjung apresiasi yang sangat tinggi terhadap tuntutan terhadap kontekstualisasi agama dengan kondisi sosial yang ada. Terhadap tuntutan modernisasi yang digerakkan oleh negara yang berimplikasi pada depolitisasi Islam sejak Orde Baru misalnya, Cak Nur cenderung memberikan apresiasi yang tinggi. Cak Nur, dalam hal ini misalnya, memaknai modernisasi sebagai bentuk rasionalisasi. Baginya, “sesuatu itu disebut modern jika bersifat rasional, ilmiah, dan berkesesuaian dengan hukum-hukum alam”.24 Itu artinya, bagi Cak Nur, “modernisasi berarti proses perombakan pola berpikir dan tata kerja yang tidak rasional, dan menggantikannya dengan pola berpikir dan tata Fachry Ali, “Involusi dan Disartikulasi Pemikiran Islam Indonesia, dalam Fachry Ali, Golongan Agama dan Etika Kekuasaan; Keharusan Demokratisasi dalam Islam Indonesia, (Jakarta: Risalah Gusti, 1996), hlm. 399. 22 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 204. 23 Ibid., hlm. 209. 24 Ibid., hlm. 208. 21

7

kerja baru yang rasional”. Karena itu, modernisasi bagi Cak Nur merupakan “suatu keharusan, malahan kewajiban yang mutlak. Modernisasi merupakan perintah dan ajaran Tuhan yang Maha Esa.”25 Maka keislaman dan kemodernan adalah suatu yang identik. “Modernitas (kemodernan, sikap modern) ... mengandung arti yang lebih men-dalam lagi, yaitu pendekatan kepada kebenaran mutlak, kepada Allah ... Jadi modernitas berada dalam suatu proses, yaitu proses penemuan kebenaran yang relatif, menuju ke penemuan kebenaran Yang Mutlak, yaitu Allah”.26 Di balik pesan semacam itu, sebenarnya ada niat Cak Nur, bagaimana Islam mampu beradaptasi dengan nilai-nilai (positif) Barat, sehingga Islam sendiri bisa dibaca sebagai bagian dari kemodernan itu sendiri. Karena itu, tak heran bila ia senantiasa mengembangkan pesan-pesan Islam melalui racikan “bahasa” Barat yang modern. Dengan demikian, bisalah dikatakan bahwa Islam Cak Nur adalah Islam Indonesia yang dikemas dengan baju Barat. Berdasarkan wacana pemikiran awal yang ia kembang-kan, tampak kecenderungan Cak Nur dalam menyerap “wacana-wacana” Barat untuk dikontekstualisasikan dengan iklim keindonesiaan. Memang, awalnya terjadi benturan dengan wacana Islam politik, namun, ketika gagasan modernisasi Barat begitu berkaitan dengan format pembangunan Orde Baru, gagasan Cak Nur justru memperoleh lahan pembiakannya.27 Wacana seperti di atas memang terasa sangat dibutuhkan pada saat itu sebagai upaya menjawab persoalan yang melingkupi umat Islam tahun 1970-an. Persoalan tersebut adalah bentuk eksklusivisme politik, sosial dan keagamaan umat Islam saat itu yang cenderung berakibat pada termarginalisasinya mereka dari realitas sosial yang ada. Sementara pada sisi yang agak berhadapan, walaupun dalam tataran ide Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam memformulasikan pemikirannya juga hampir serupa dengan Cak Nur. Namun, bahasa pesan Gus Dur lebih kental dengan warna keindonesiaan daripada terkesan modern atau kebarat-baratan seperti Cak Nur. Tampaknya ini terkorelasi pula dengan gagasan “pribumisasi Islam” yang merupakan strategi dasar Gus Dur untuk mengembangkan Islam di Indonesia. Inti gagasan ini ialah bagaimana wacana keagamaan sanggup menampung tradisi, adat istiadat dan kebiasaan masyarakat ke dalam bangunan Islam. Ide ini tidak berarti menundukkan norma Islam pada budaya setempat. Tapi, bagaimana menampung kesesuaian di antara keduannya. “bukannya upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang Ibid., hlm. 172 Ibid. 27 Dedy Djamaluddin Malik & Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia ..., hlm. 216-217. 25 26

8

disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fiqh dan qaidah fiqh.28 Gagasan inilah yang tampaknya membuat Gus Dur merasa perlu memper-kenalkan istilahistilah yang memang akrab dengan masyarakatnya. Istilah “rukun tetangga Islam”, “assalamu’alaikum” bisa diganti dengan “selamat pagi/siang/malam”, misalnya. Semua itu kandungan pesan Islam Gus Dur yang sudah “dipribumisasikan” atau “didomistifikasikan” dalam konteks Islam kultural.29 Walaupun ada berbagai perbedaan dalam cara kalangan Islam Liberal Indonesia, sebagaimana

Cak

Nur

dan

Gus

Dur,

dalam

mereka

menyampaikan

gagasan-gagasan

pembaharuannya, namun terdapat mata-rantai yang mempertemukan mereka satu sama yang lainnya, yakni gagasan tentang Keislaman-Keindonesiaan-Kemodernan. Dari diskursus mereka tentang dialektika hubungan keislaman-kemodernan-keindonesiaan inilah yang menjadi pangkal-tolak tipologi umum Islam liberal Indonesia yang bercorak inklusif dan akomodatif. Corak inklusif ini pada dasarnya merupakan elaborasi lebih jauh dari semangat humanitas dan universalitas Islam. Artinya, dengan semangat humanitas di sini, terkandung pengertian bahwa Islam itu merupakan agama kemanusiaan (fitrah) atau dengan kata lain, cita-cita Islam itu sejalan dengan cita-cita kemanusiaan pada umumnya. Sementara, pengertian universalitas di sini, terkandung makna bahwa Islam itu merupakan agama yang berwatak kosmopolitan. Adapun pengertian bercorak akomodatif itu sendiri mengandaikan bahwa agama itu merupakan agama yang terbuka (open religion). Dengan pengertian ini, dengan sendirinya, wacana Islam liberal adalah wacana yang sangat memberikan apresiasi yang tinggi terhadap pluralisme.30 Antara Determinasi Sosial dan Otonomi Pemikiran Membaca kehadiran kalangan intelektual Islam Liberal Indonesia dalam bentuk yang paling awal di atas, yang cenderung akomodatif terhadap kondisi sosial-politik pada masa itu, bisa saja kemudian memunculkan asumsi yang memojokkan kalangan Islam Liberal tersebut sebagai kelompok yang oportunis terhadap kekuasaan masa itu. Asumsi ini sesungguhnya tidaklah merupakan sesuatu yang tidak beralasan. Hal ini karena, sebagaimana yang dijelaskan dalam teori “Hegemoni” Antonio Gramscy, bahwa membangun gugusan pemikiran selalu berada dalam historical block, yakni “situasi yang ditandai oleh suatu Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam dalam Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Kata Pengantar M. Dawam Rahardjo, (Jakarta: P3M, 1989), hlm. 86 29 Dedy Djamaluddin Malik & Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia ...., hlm. 218. 30 M. Syafi’i Anwar, “Sosiologi Pembaharuan Islam Nurcholish Madjid”, dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, No. 1., Vol. IV., Thn. 1993., hlm. 52-53. 28

9

hubungan organis antara struktur spesifik, kesatuan kekuatan sosial dan dunia produksi, di satu sisi, dan dunia suprastruktur ideologis yang luas di sisi yang lain.31 Dalam historical block ini seorang intelektual adalah fungsionaris superstruktur dunia sosialnya, dimana konflik-konflik sosial pada tingkat suprastruktur ditanggulangi lewat hegemoni dan dominasi. Hegemoni merupakan kepemimpinan budaya, dimana cara hidup dan pemikiran dominan digelar ke masyarakat dan mewujudkan diri dalam bentuk kelembagaan dan penghayatan pribadi, sehingga seluruh bidang kehidupan masyarakat (sosial, politik, ekonomi, budaya, keagamaan, seni, pendidikan, dan sebagainya) selalu mengikuti dan menganggapnya paling benar. 32 Dengan kata lain, hegemoni berarti universalisasi kepentingan dominan tertentu, sehingga suatu definisi tentang realitas sosial yang menyebar dan berpengaruh luas dalam masyarakat diterima secara taken for granted, seolaholah memang sudah seharusnya begitu. Dalam historical block, penerimaan ini dimungkinkan karena para intelektual terkait secara organis dan dialektis dengan kelas dominan. Dalam kerangka historical block di atas dapat dilihat posisi kaum intelektual Islam Liberal dalam konteksnya, yakni corak produksi kelas dominan. Kepentingan terhadap negara-bangsa yang kuat dari kaum intelektual Islam Liberal merupakan refleksi dari kepentingan corak produksi kelas dominan Orde Baru untuk mempertahankan dirinya. Pikiran-pikiran kaum intelektual Islam Liberal ini adalah refleksi dari Orde Baru. Pandangan di atas jika tetap dipertahankan akan berkorelasi dengan teori “pertautan pengetahuan dengan kepentingan,” seperti yang dikemukakan oleh Jurgen Habermas, yang melihat bahwa pengetahuan tak mungkin dipisahkan dari kepentingan.33 Bila asumsi ini diterima sebagai kebenaran, lalu apakah dengan demikian sebuah pemikiran bersifat sangat determinan dengan kenyataan sosial atau bahwa “proses kognitif merupakan bagian integral dari konflik sosial.” Pada kenyataannya sesungguhnya sebuah pemikiran tidaklah mesti hanya mencerminkan sebuah persoalan kepentingan kelas sosial, apalagi dianggap sebagai refleksi dari kepentingan kelas sosial tertentu. Sebuah pemikiran biasanya lebih mencerminkan posisinya yang oleh Muhammed Abed al-Jabiri disebut istiqlal nisbi, atau yang oleh Paul Ricoeur disebut relative autonomy. Artinya, di satu sisi, suatu pemikiran dalam tingkat tertentu, ketika merepresentasikan sebuah realitas sosial, Leonardo Salamini, The Sociology of Political Praxis: An Introduction to Gramsci’s Theory, (London, Boston, Hanley: Routledge and Kegan Paul, 1981), hlm. 44, 105, 116. 32 G. A. William, “The Concept of “Hegemonia” in the thought of Antonio Gramsci: Some Notes on Interpretation,” dalam Journal of History of Ideas, No. 4 (1960), hlm. 587. 33 Lihat Jurgen Habermas, Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi, diterjemahkan oleh Hasan Basari, (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 170-171. Uraian dalam bahasa Indonesia tentang teori “pertautan pengetahuan dan kepentingan” dari Habermas, lihat Francisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, (Yogyakarta: Kanisius, 1990). 31

10

bahkan dalam tingkat yang paling rendah dari derajat otonomi relatif, tidaklah merefleksikan kenyataan tersebut sebagaimana yang dilakukan cermin yang memantulkan raut wajah seseorang. Biasanya, yang terjadi adalah satu bentuk representasi atau refleksi yang bergelombang, yang berlapislapis, dan yang unsur-unsurnya saling berkaitan dan tumpang tindih. Gambarannya adalah seperti yang dipantulkan oleh cermin retak.34 Apakah bayangan dalam cermin retak itu merupakan gambaran yang utuh dan sempurna dari wujud yang dipantulkan ? Tentu saja tidak demikian. Oleh karenanya, apapun yang diformulasikan oleh pemikiran dalam sebuah wacana pada akhirnya melibatkan berbagai unsur. Dan itu berarti, terdapat banyak anasir yang membentuk wujud sebuah bangunan pemikiran. Termasuk di dalamnya unsur psikologis, seperti harapan, keinginan, dan hasrat.35 Pada sisi yang lain, walaupun sebuah bangunan pemikiran bukanlah sesuatu yang bersifat “self-referensial”, memiliki dunianya sendiri, dalam arti bukan merupakan sesuatu yang orisinal, tunggal, riil, dan objektif. Artinya, bahwa pemikiran bukan hanya merupakan sebuah proses tunggal yang hanya melibatkan rasio dan penalaran, sehingga seakan-akan apa yang dikatakannya dianggap sebagai representasi atas apa yang dikatakannya. Namun demikian juga, ketika sebuah wacana dimantapkan dalam sebuah pemikiran, ia kemudian cenderung berubah menjadi sesuatu yang berbicara dengan sendirinya, tanpa harus merujuk ke situasi awal yang mengitarinya sekitar dirinya. Sebagaimana text yang telah mengalami otonomi semantis terhadap lingkup kebudayaan asli dimana karya itu ditulis.36 Dalam konteks inilah yang dimaksud oleh Ricoeur sebagai relative autonomy. Sampai pada konteks penjelasan tersebut, asumsi tentang posisi kaum intelektual Islam Liberal yang merepresentasikan kepentingan kelas sosial tertentu dapatlah ditolak. Bahwa titik tolak pemikiran kaum intelektual Islam Liberal pada awalnya berangkat dari kondisi sosio-politis rezim Orde Baru tentulah merupakan kenyataan historis yang tidak bisa dibantahkan, tetapi apakah kemudian konstruksi pemikiran mereka merefleksi bentuk hegemoni rezim tersebut adalah merupakan reduksi yang tidak beralasan atas keutuhan suatu bangunan pemikiran yang muncul pada zamannya. Hal ini dapat ditegaskan karena pola pemikiran yang pernah mereka tawarkan justru semakin mendapatkan tempat di orde reformasi ini di tengah-tengah varian pemikiran lainnya. Gugusan Pemikiran dan Kesadaran Diskursif

Ahmad Baso, Civil Society Versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran “Civil Society” dalam Islam Indonesia, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 59-60. 35 Paul Ricoeur, Hermeneutics and Human Sciences, transl. John B. Thompson, (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), hlm. 243-244. 36 Ibid., hlm. 133-141. 34

11

Jika kemudian kehadiran kalangan intelektual Islam liberal di atas dibaca kembali dari sudut teori strukturasi yang digagas Anthony Giddens,37 maka akan semakin bisa menjelaskan persoalan mendasar mengenai mengapa titik balik yang sangat fundamental yang digagas kalangan Islam Liberal terhadap formasi keagamaan umat Islam Indonesia dari kekuatan Islam politik ke kekuatan Islam budaya ? Sebelum melangkah ke penjelasan yang lebih jauh, penulis cenderung melihat persoalan tersebut persoalan bagaimana hard core hubungan agama dengan masyarakat. Jika titik tolak ini ditetapkan sebagai acuan analisis, maka ada dua kata kunci penting dalam teori tersebut yang cukup relevan dalam menilai fenomena di atas, yakni “struktur” dan “agensi”. “Struktur” di sini dimaksudkan sebagai “rules and resources” yang terbentuk dari dan membentuk keterulangan praktek sosial. Sedangkan “Agensi” adalah pelaku dalam setiap proses sosial yang terjadi.38 Menurut Giddens, hubungan struktur dan agensi sesungguhnya bukanlah hubungan kausalitas lineer, yang satu menyebabkan yang lain atau sebaliknya, Namun, hubungan keduanya merupakan hubungan dialektik, dalam arti struktur dan agensi saling mempengaruhi dan hal ini berlangsung terus tanpa henti. Hubungan dialektis ini terletak dalam proses dimana “struktur sosial merupakan hasil (outcome) dan sekaligus sarana (medium) praktek sosial. Dengan demikian hubungan antara agensi dengan struktur berupa relasi dualitas, bukanya dualisme. Dualitas ini terjadi pada “praktek sosial yang berulang dan terpola dalam lintasan ruang-waktu.39 Alasannya, bagi Giddens, karena objektivitas struktur tidak bersifat eksternal melainkan tidak terpisah dari tindakan dan praktek sosial yang kita lakukan. Struktur bukanlah benda melainkan “skemata yang hanya tampil dalam praktek-praktek sosial”.40 Anthony Giddens adalah seorang filsuf sekaligus sosiolog garda depan dari Inggris saat ini. Selain sebagai sosiolog, ia juga sebagai penasehat dan intelektual kesayangan Perdana Menteri Inggris Tony Blair. Buku-bukunya yang cukup memberikan andil bagi perkembangan ilmu-ilmu sosial kontemporer saat ini adalah The Constitution of Society, New Rules of Sociological Method, Central Problems in Social Theory, dan lain-lain. Teori Giddens yang akan digunakan di sini merupakan sintesis baru terhadap kecenderungan umum dari ilmu-ilmu sosial modern yang dijajah oleh gagasan dualisme agensi versus struktur. Dalam konteks dualisme ini, pada umumnya kalangan ilmuwan sosial modern terjerumus ke dalam “strukturalisme” (termasuk di dalamnya fungsionalisme) atau ke dalam “intentionalisme”. Dua ancangan yang telah disebutkan di atas mengalami keterjerumusan itu adalah ancangan teoritik pada kelompok pluralis yang terlalu menekankan agensi (intensionalisme) dan ancangan teoritik kelompok marxis yang menekankan kepada struktur sosial. Lihat penjelasan Anthony Giddens, New Rules of Sociological Method, (London: Hutchinson, 1976), hlm. 11-12. 37

Anthony Giddens, The Constitution of Society, (Cambridge: Polity Press, 1984), hlm. 9, 21-22. Anthony Giddens, New Rules of Sociological Method ..., hlm.128-129, dan Anthony Giddens, The Constitution of Society ...hlm.2. 40 Ibid., hlm. 25. 38 39

12

Sementara menyangkut agensi, Giddens membedakan tiga dimensi internalnya, yakni motivasi tidak sadar (unconscious motives), kesadaran praktis (practical consciousness), dan kesadaran diskursif (discursive consciousness).41 “Motivasi tak sadar” menyangkut keinginan/kebutuhan yang berpotensi mengarahkan tindakan, tetapi bukanlah tindakan itu sendiri. Adapun “kesadaran diskursif” mengacu pada kapasitas kita merefleksi dan memberi penjelasan eksplisit atas tindakan kita. Sementara, “kesadaran praktis” itu sendiri menunjuk pada gugus pengetahuan praktis yang tidak selalu bisa diurai. Dalam fenomenologi, “kesadaran praktis” ini adalah level kesadaran yang berisi gugus pengetahuan yang sudah diandaikan (taken for granted). Gugus pengetahun yang sudah diandaikan ini merupakan sumber “rasa aman ontologis” (ontological security).42 Reproduksi sosial berlangsung lewat keterulangan praktek sosial yang jarang kita pertanyakan lagi dalam “kesadaran praktis”. Giddens mengajukan argumen bahwa sebagai “agensi”, kita punya kapasitas memonitor diri secara refleksif (strategic monitoring of conduct). Perubahan terjadi ketika kapasitas ini menggejala secara luas sehingga berlangsung de-rutinisasi. “De-rutinisasi” menyangkut proses dimana skemata yang selama ini menjadi “aturan” (rules) dan “sumber-daya” (resources) tidak lagi memadai sebagai prinsip pengorganisasian berbagai praktek sosial, atau yang sedang diperjuangkan agar menjadi praktek sosail yang baru. Situasi inilah yang disebutnya dengan dialectic of control. Adapun struktur itu mempengaruhi agensi dalam dua arti: memampukan (enabling) dan menghambat (constraining). Oleh karen itu struktur sekaligus juga medium. Untuk melukiskan kemampuan agensi menolak untuk tersubordinasi ke dalam struktur inilah yang disebut dengan reflexivity.43 Giddens merumuskan maksudnya ini sebagai berikut: “Every act which constributes to the reproduction of a structure is also an act of production, a novel enterprise, and as such may initiate change by altering that structure at same time it reproduces it -- as the meaning of words change in and through their use.”44 Atas dasar kerangka teori di atas, maka dapat diambil garis penjelasan bahwa “struktur” di sini adalah bisa dikonotasikan pemerintahan rezim Orde Baru dengan berbagai perangkat kebijakannya, yang berperan sebagai rules. Sementara “agensi” adalah umat Islam yang sedang memainkan peran politik Islamnya. Berdasarkan pengertian di atas bahwa “struktur” bisa merupakan “penghambat” (constraining), maka kehadiran rezim pemerintahan Orde Baru jelas menghambat bahkan menghalangi peran politik umat Islam. Namun, sebagaimana yang diartikan oleh Giddens di atas, bahwa struktur juga bisa memiliki pengertian medium atau resources yang memampukan (enabling) Ibid., hlm. 5-7. Ibid., hlm. 50. 43 Ibid., hlm. 3-9. 44 Anthony Giddens, New Rules of Sociological Method ... hlm. 128. 41 42

13

umat Islam melakukan reproduksi atau transformasi formasi keislaman yang baru, yakni Islam kultural dalam rangka mempertahankan posisi fungsionalnya terhadap kenyataan sosial. Reproduksi atau transformasi ini, tentunya, dalam rangka mengatasi kebuntuan peran sosial politik umat Islam yang selama ini terus bisa berjalan. Dan, kemampuan dalam melakukan reproduksi atau transformasi ini hanya dapat dilakukan karena adanya kemampuan daya relexity dari segelintir kaum intelektual Islam Indonesia yang mencoba merespon kondisi yang tidak menguntungkan bagi umat Islam. Pada level reflexity inilah, pembaharuan dalam bidang gagasan dan tindakan dapat dimungkinkan. Dengan asumsi di atas, kita mampu merumuskan bagaimana sesungguhnya hard-core hubungan agama (Islam) dengan masyarakatnya. Secara naif kita kaum agamawan sering berujar bahwa agama pada dasarnya bukan merupakan sesuatu yang subordinatif terhadap kenyataan sosiokultural. Agama pada dasarnya bersifat independen. Sebagai unit yang independen diyakini bahwa agama mempunyai kemungkinan yang tinggi dalam menentukan pola perilaku manusia dalam struktur sosial. Dengan begini agama mempunyai kemungkinan untuk menahan suatu proses perubahan sosial. Berdasarkan teori di atas, tentunya, bisa ditarik rumusan bahwa agama bukan sesuatu yang selalu berada dalam posisi yang diterminan terhadap dunia sosial. Pola hubungan agama dengan dunia sosial tidak bersifat kausalitas lineer, dalam arti agama menentukan secara diterminan terhadap struktur sosial atau sebaliknya. Namun, hubu-ngan keduanya merupakan hubungan dialektis, dalam pengertian saling mempengaruhi. Struktur sosial, pada level tertentu, bisa mempengaruhi bentuk formasi dan fungsi agama, tapi pada saat yang bersamaan, agama juga bisa mempengaruhi wujud dan fungsi struktur sosial terhadap masyarakat.45 Dalam konteks yang lebih vulgar, Ignas Kleden mengungkapkan sebagai berikut: “Agama tidak semata berada di langit Plato yang sempurna dan suci murni, dan dari sana mengantarai manusia dan Tuhan. Tetapi selalu merupakan agama manusia biasa, dengan darah dan daging. Pergolakan manusia menjadi pergolakan agama, dan unsur keputusan tiap penganut suatu agama serta tindakannya dari waktu ke waktu, bakal menentukan wujud agama tersebut dalam sejarah. Agama -- tanpa mengurangi hormat kepada unsur Ilahi -selalu merupakan agama dengan dan karena keputusan dan pilihan manusia yang menghayatinya.46

Lihat penjelasan dasar-dasar teoritisnya pada Peter L. Berger, Invitation to Sociology; A Humanistic Perspective, (England: Penguin Books, 1963, dan juga Peter L. Berger, Sociological Reinterpreted: An Essay on Method and Vocation, (England: Penguin Books, 1963). Sebagai perbandingan dalam aplikasi teoritisnya, lihat Peter L. Berger, The Sacred Canopy ... Sementara bentuk uraian kritisnya lihat Finn Collin, Social Reality, (London: Routledge, 1997), hlm. 64-79. 46 Ignas Kleden, “Agama dalam Perubahan Sosial”, dalam Agama dan Tantangan Zaman (Artikel Pilihan Majalah Prisma 1975-1984), (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 215. 45

14

Oleh karenanya, mungkin saja terjadi bahwa dalam suatu perkembangan historis tertentu, suatu proses sosial adalah akibat dari ideasi keagamaan, sementara dalam perkembangan lainnya justru terjadi adalah kebalikannya. Artinya, implikasi keakaran agama daalam aktivitas manusia itu tidak dalam hal bahwa agama itu selalu merupakan suatu variabel ketergantungan dalam sejarah suatu masyarakat, tetapi sebaliknya agama memperoleh realitas objektif dan subjektif dari manusia, yang memproduksi dan mereproduksi agama dalam kehidupan mereka yang berkelanjutan.47 Pada kerangka refleksi inilah dapat dipahami apa yang sesungguhnya menjadi hard-core dari keberadaan tipologi pemikiran “Islam Liberal” yang merupakan bentuk formulasi dari seluruh proses dialektika Islam dengan kenyataan sosialnya. Jika kemudian tipologi pemikiran ini semakin mendapatkan tempatnya di orde reformasi ini, tentunya, tidaklah dapat dilepaskan dari semangat yang mendasari bangunan pemikiran tersebut yang memang kontekstual dengan kondisi zaman saat ini. Catatan Penutup Perkembangan dalam bidang intelektualisme dan pemikiran Islam tampaknya akan terus bergulir dalam dinamika yang bahkan lebih cepat lagi. Ini semakin jelas antara lain dengan bertambah tersedianya sumber daya manusia dan semakin tumbuhnya kesadaran akan pentingnya pengembangan bidang ini di kalangan kaum muda muslim Indonesia. Melihat perkembangan ini, tidaklah keliru jika Nasir Tamara, misalnya, bahkan secara terang-terangan mengatakan telah terjadinya apa yang disebutnya dengan “renaissance dalam pemikiran Islam” di Indonesia.48 Berikut adalah catatan untuk memberikan ilustrasi bagi perkembangan lebih lanjut tradisi intelektual Islam di Indonesia akhir-akhir ini. Pertama, sejauh ini, pemikiran yang dikembangkan kalangan intelektual muslim lebih banyak tampak masih merupakan pemikiran ad hoc dan bersifat sesaat yang belum terelaborasi secara tuntas dan rapi. Tanpa mengelaborasi secara baik masalah-masalah ini, rumusan pemikiran akan tampak tidak utuh dan sulit menurunkannya ke dalam strategi-strategi, kebijakan-kebijakan dan aksi-aksi praktis. Ini mungkin berbeda dengan kenyataan tradisi intelektual muslim Arab yang cenderung menghasilkan karya-karya serius dan tuntas. Kita lihat misalnya, tokoh seperti Muhammad Abed alJabiri dengan proyek intelektualnya “Kritik Nalar Arab”, Mohammed Arkoun dengan proyek intelektualnya “Kritik Nalar Islam”, Abdullah Ahmed An-Na’im dengan proyeknya “rekonstruksi Peter L. Berger, The Sacred Canopy; Element of a Sociological Theory of Religion, (New York: Anchor Books, 1969), hlm. 47. 48 Nasir Tamara, “Sejarah Politik Islam Orde Baru,” dalam Majalah Prisma, No. 5., tahun XVII, 1988, hlm. 56. 47

15

hukum Islam”, Hassan Hanafi dengan proyek intelektualnya “rekonstruksi teologi Islam”, dan lainlain. Namun demikian, kita masih beruntung dengan tampilnya generasi muda intelek-tual yang penuh kesadaran mulai berpikir untuk melahirkan karya-karya yang tuntas dan serius, seperti Masdar Farid Mas’udi dengan karyanya Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam dan Islam dan Hakhak Reproduksi Perempuan., dan Ahmad Baso dengan karyanya Civil Society dan Masyarakat Madani, dan proyek intelektualnya dalam “Kritik Nalar Melayu” serta Taufiq Adnan Amal dengan karya provokatifnya, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an. Kedua, sejauh ini, kita melihat bahwa mayoritas intelektual muslim masih terbelenggu oleh kehendak naif untuk tidak menyudutkan intelektual lain yang mempunyai pemikiran keislaman berbeda bahkan bertentangan dengan pemikirannya sendiri. Inilah yang menyebabkan sulitnya dialog yang hidup dan intensif antara intelektual dengan berbagai “aliran” pemikirannya masing-masing. Perbedaan atau pertentangan pemikiran seringkali direduksi menjadi soal-soal “pribadi” yang tidak layak diperdengarkan untuk khalayak umum.

*******the end*******

16

DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam”, dalam M. Dawam Rahardjo, Islam Indonesia Menatap Masa Depan, (Jakarta: P3M, 1989). Adam Schwarz, A Nation in Waiting, (Australia: Allen & Unwin, 1994). A. Luthfi Assyaukanie, “Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer”, dalam Jurnal Paramadina (Jakarta: Vol. I, Juli - Desember 1998). Ahmad Baso, Civil Society Versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran “Civil Society” dalam Islam Indonesia, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999). Anthony Giddens, New Rules of Sociological Method, (London: Hutchinson, 1979). -----------------------, The Constitution of Society, (Cambridge: Polity Press, 1984). Azyumardi azra, Jaringan Ulama Timur-Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung, Mizan, 1994). Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998). Charles Kurzman, (ed), Leberal Islam: A Sourcebook, (New York: Oxford University Press, 1998). Dedy Djamaluddin Malik & Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran & Aksi Politik, (Jakarta: Zaman, 1998). Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1980). Fachry Ali & Bahtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1986). Fachry Ali, “Akomodasi Non-Politik Islam Indonesia dalam Struktur Orde Baru”, dalam Majalah Prisma, No. 3., edisi Maret 1991, (Jakarta: LP3ES). --------------, “Inovasi dan Disartikulasi Pemikiran Islam Indonesia, dalam Fachry Ali, Golongan Agama dan Etika Kekuasaan; Keharusan Demokratisasi dalam Islam Indonesia, (Jakarta: Risalah Gusti, 1996). Finn Collin, Social Reality, (London: Routledge, 1997).

17

Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999). Francisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, (Yogyakarta: Kanisius, 1990). G. A. William, “The Concept of “Hegemonia” in the thought of Antonio Gramsci: Some Notes on Interpretation,” dalam Journal of History of Ideas, No. 4 (1960). Greg Barton, The Emergence of Neo Modernism: A Progressive, Leberal Movement of Islamic Thought in Indonesia [A Textual Study Examining the Writings of Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Abdurrahman Wahid 1968-1980], Naskah Desertasi untuk Departement of Asian Studies and Language, Monash University, 17 Agustus 1995. Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, diterjemahkan oleh Nanang Tahqiq, (Jakarta: Paramadina bekerjasama dengan Pustaka Antara, Yayasan Adikara dan Ford Foundation, 1999). Ignas Kleden, “Agama dalam Perubahan Sosial”, dalam Agama dan Tantangan Zaman, (Artikel Pilihan Majalah Prisma 1975 - 1984), (Jakarta: LP3ES, 1985). Jurgen Habermas, Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi, diterjemahkan oleh Hasan Basari, (Jakarta: LP3ES, 1990). Leonard Binder, Islamic Leberalism: A Critique of Development Ideologies, (Chicago: The University of Chicago, 1988). Leonardo Salamini, The Sociology of Political Praxis: An Introduction to Gramsci’s Theory, (London, Boston, Hanley: Routledge and Kegan Paul, 1981). M. Syafi’i Anwar, “Negara dan Cendikiawan Muslim Indonesia Orde Baru”, dalam Saiful Muzani, (ed), Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1993). ---------------------, “Sosiologi Pembaharuan Islam Nurcholish Madjid”, dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, Ulumul Qur’an, No. 1., Vol. IV., Thn. 1993. M. Dawam Rahardjo, “Basis Sosial Pemikiran Islam di Indonesia Sejak Orde Baru”, dalam Majalah Prisma, No. 3., edisi Maret 1991, (Jakarta: LP3ES). ----------------------------, “Islam dan Pembangun: Agenda Penelitian Sosial di Indonesia, dalam Saiful Muzani, Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1993). Marx R. Woodward, Toward A New Paradigm: Recent Development in Indonesian Islamic Thought, (Arizona: Arizona State University, 1996). Muhammad A. S. Hikam, “Negara, Masyarakat Sipil dan Gerakan Keagamaan dalam Politik Indonesia”, dalam Majalah Prisma, No. 3., edisi Maret 1991, (Jakarta: LP3ES). Nasir Tamara, “Sejarah Politik Islam Orde Baru”, dalam Majalah Prisma, No. 5., Thn. XVII, 1988.

18

Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1991). Paul Ricoeur, Hermeneutics and Human Sciences, tranl. John B. Thompson, (Cambridge: Cambridge University Press, 1984). Peter L. Berger, Invitation to Sociology: A Humanistic Perspective, (England: Penguin Books, 1963). ---------------------, Sociological Reinterpreted: An Essay on Method and Vocation, (England: Penguin Books, 1963). ---------------------, The Sacred Canopy: Element of a Sociological Theory of Religion, (New York: Anchor Books, 1969). Saiful Muzani, “Kata Pengantar”, dalam Saiful Muzani, Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1993). ------------------, “Kultur Kelas Menengah dan Kelahiran ICMI”, dalam Indonesian Journal for Islamic Studies, Studia Islamica, Vol. I., No. 1., (April - June, 1994). Sudirman Tebba, Islam Orde Baru: Perubahan Politik dan Keagamaan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993).

19

Related Documents


More Documents from "adang djumhur s"