DEMOKRASI DAN BUDAYA BANJAR; Modal Kultural untuk Penguatan Masyarakat Sipil ∗ Oleh: Irfan Noor
Abstract: This article aims to discuss more especially on the richness of cultural heritages of Banjarese society that can be appreciated for enriching the discourses on democracy now. In the author's point of view, the democracy indeed is universal phenomenon that can be found anywhere man society exist, including Banjarese society. Through historical research, the author concludes that the democratic values have been crystalized since 17th century. The development of now-democracy can be seen from historical development of Banjarese society and leadership system of the Sultanate of Banjar.
Pengantar Berbicara tentang masyarakat sipil pada dasarnya tidaklah bisa dilepaskan dari konteks pembicaraan tentang demokrasi. Hal ini lantaran hubungan antara masyarakat sipil dengan demokrasi bagaikan dua sisi mata uang dimana keduanya bersifat ko-eksistensi. Artinya, dengan masyarakat sipil yang kuat maka demokrasi akan berjalan dengan baik, dan dalam suasana yang demokratis maka masyarakat sipil akan berkembang dan tumbuh dengan kuat pula. Namun demikian, titik krusial yang paling mendasar ketika berbicara tentang demokrasi di Indonesia adalah tidak adanya sebuah jaminan jika demokrasi yang dibangun sepenuhnya dipercayakan pada mekanisme demokrasi prosedural seperti Pemilu dan Irfan Noor adalah staf di Divisi Penerbitan dan Pengembangan Media LK-3 Banjarmasin. Alumni program studi Ilmu Filsafat Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta ini juga aktif sebagai tenaga pengajar di IAIN Antasari Banjarmasin.
1
kuatnya lembaga-lembaga negara. Hal ini lantaran momentum gerak bandul masyarakat di negeri ini ke arah proses demokratisasi terjadi ketika meningkatnya ketidakpercayaan publik terhadap elit politik sehingga memperlemah peran negara dalam menciptakan harapan masyarakat. Hal ini tampak dari proses demokratisasi pasca kejatuhan rezim Soeharto yang tidak bisa dikatakan berhasil secara maksimal. Ketidakberhasilan ini, jika mau dicermati secara seksama, sangat terkait dengan rendahnya kultur demokrasi yang bisa menopang jalannya proses demokratisasi yang sedang dijalankan. Wujud dari rendahnya kultur penopang inilah yang kemudian menyebabkan makna kebebasan politik yang dihasilkan oleh gerakan proreformasi pasca kejatuhan rezim Soeharto berubah menjadi konflik horizontal di tingkat masyarakat dengan eskalasi yang begitu luas. Tentunya, keadaan ini
akan menjadi kontra produktif bagi masa depan usaha
promosi peran civil society sebagai salah satu kekuatan demokratisasi. Bahkan keadaan ini justru akan memperlemah tampilnya civil society yang kokoh. Oleh karena itulah, usaha-usaha untuk kembali kepada akar budaya dalam mengapresiasi nilai-nilai demokrasi adalah sesuatu yang sepantasnya dibutuhkan oleh bangsa ini. Budaya Banjar dan Flatform Persemaian Nilai-Nilai Demokrasi Membahas tentang akar budaya tertentu dalam mengapresiasi nilai-nilai demokrasi, pada dasarnya, berbicara tentang bagaimana struktur budaya yang telah dibangun itu bisa dianggap mampu menjadi flatform persemaian nilai-nilai demokrasi. Oleh karenanya, ketika penelurusan atas akar budaya itu difokuskan pada khazanah budaya yang ada dalam masyarakat Banjar, maka mau tidak mau penelurusan ini pun harus dimulai dengan mengenal secara lebih dekat akar geneologis masyarakat Banjar yang menjadi etnik terbesar di provinsi Kalimantan Selatan. Tujuannya, tidak lain, agar dapat diketahui bagaimana struktur budaya masyarakat Banjar yang telah dibangun itu bisa dianggap mampu menjadi flatform persemaian nilai-nilai demokrasi. Berbicara tentang Kalimantan Selatan berarti berbicara tentang salah satu provinsi yang ada di pulau Kalimantan. Provinsi ini merupakan provinsi terkecil dari empat provinsi yang ada di pulau ini. Luas daerahnya sekitar 414.675 KM2. Adapun pola kehidupannya sendiri sangat diwarnai oleh kondisi geografisnya dimana hampir 80% dari kondisi daerah
2
ini adalah sungai.1 Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila daerah tepian sungai banyak didiami sebagian besar penduduk Kalimantan Selatan. Hal ini terbukti dari kota-kota yang terbentuk umumnya terletak di tepian sungai, seperti Banjarmasin dan Martapura (di tepi sungai Martapura), Marabahan (di tepi sungai Barito), Margasari, Nagara, Alabio, Amuntai (di tepi sungai Bahan), Banua Lawas, Kelua, Tanjung (di tepi sungai Tabalong), Rantau (di tepi sungai Tapin), Kandangan (di tepi sungai Amandit), Birayang dan Barabai (di tepi sungai Alai). Bahkan, pada masa lalu, tercatat sejumlah kerajaan dengan pusat kekuasaannya muncul di tepian sungai. Kondisi keberadaan pusat-pusat kekuasaan di tepian sungai tersebut berlangsung sampai dengan abad 19, yakni sampai dengan waktu dibubarkannya Kerajaan Banjar oleh Pemerintah Hindia Belanda.2 Kondisi geografis inilah yang sangat kentara pada nama daerah ini, yakni Kalimantan. Menurut etimologi lokal, Kalimantan berasal dari kata "kali" yang berarti sungai, dan "mantan" yang berarti besar. Oleh karena itu, Kalimantan bisa berarti “pulau yang memiliki sungai-sungai besar”.3 Tidak aneh kemudian di belakangan hari Banjarmasin dijuluki sebagai river city (Kota Sungai) atau Kota Seribu Sungai. Sejalan dengan kondisi geografis ini, pola usaha yang dominan dilakukan oleh masyarakat di daerah ini dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari adalah berdagang.4 Pilihan usaha ini dilakukan lantaran terbatasnya areal lahan pertanian di sekitar lembah-lembah sungai yang didiami oleh masyarakat di daerah ini. Pola usaha berdagang yang dilakukan oleh masyarakat Banjar ini pada akhirnya pula memberi warna pada watak perilaku mereka. Pada sisi yang positif, pola usaha ini menumbuhkan sifat kompetitif terhadap sikap dan perilaku mereka. Namun pada sisi yang negatif, pola usaha ini menumbuhkan sifat individualistic karena selalu berorientasi pada perhitungan untung-rugi dalam berbuat dan bertindak.5 Atas dasar pemahaman terhadap kekhasan pola sikap dan
Gunadi Kasnowihardjo (dkk), Sungai dan Kehidupan Masyarakat di Kalimantan, (Banjarbaru: IAAI Komda Kalimantan, 2004), hlm. 25 2 Gunadi Kasnowihardjo (dkk), Sungai dan Kehidupan Masyarakat…, hlm. 27. 3 Gunadi Kasnowihardjo (dkk), Sungai dan Kehidupan Masyarakat…, hlm. 141. 4 Alfani Daud, "Perilaku Orang Banjar dalam Berbagai Tata Pergaulan", dalam Jurnal IlmuIlmu Keislaman Pascasarjana IAIN Antasari, Al-Banjari, No. 1. Vol. I (Juli – September), hlm. 18-19. 5 Alfani Daud, "Perilaku Orang Banjar…”, hlm. 20. 1
3
perilaku sosial masyarakat Banjar seperti inilah, LIPI dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa orientasi sosial budaya masyarakat ini termasuk ke dalam tipe individualistik-kompetitif.6 Berbeda dengan provinsi-provinsi lain yang ada di Kalimantan, suku Banjar merupakan kelompok etnik terbesar yang menempati daerah ini. Secara historis, suku Banjar adalah hasil pembauran unik dari sejarah sungai-sungai Bahau, Barito, Martapura, dan Tarebanio.7 Karenanya, masyarakat Banjar dikenal dengan pembagian tiga kelompok; kelompok Banjar Muara, kelompok Banjar Batang Banyu, dan kelompok Banjar Hulu. Dari ketiga kelompok tersebut dalam perkembangan berikutnya mengalami proses akulturasi budaya yang saling mengisi dan saling memperbaharui. Di samping mengalami pola pembauran seperti di atas, suku Banjar juga secara etnik merupakan percampuran dari berbagai kelompok etnik kebudayaan, yaitu etnik kebudayaan Melayu, etnik kebudayaan Bukit dan etnik kebudayaan maayan. Percampuran ketiga kelompok etnik kebudayaan inilah yang menjadi kebudayaan inti pembentuk kerajaan Tanjungpura dengan agama Budha sebagai sistem religinya. Sementara percampurannya dengan kebudayaan Jawa terjadi ketika terbentuknya kerajaan Negara Dipa di Amuntai dan Negara Daha di Nagara dengan agama Hindu sebagai sistem religinya. Pembauran ini selanjutnya semakin kompleks ketika pembauran kebudayaan yang ada bertemu dengan kebudayaan Ngaju, Maayan, Bukit dan Melayu dalam konteks berdirinya Kesultanan Islam Banjar. Pembauran terakhir inilah yang menandai terbentuknya apa yang disebut dengan “masyarakat Banjar”. Atas dasar pola geneologis masyarakat Banjar di atas, istilah Banjar sendiri dengan demikian bukan sekedar konsep etnis semata, namun juga konsep politis, sosiologis, dan agamis. Artinya, masyarakat Banjar adalah masyarakat Islam karena memang mayoritas mereka memeluk agama Islam yang taat dan bahkan cenderung fanatik. Dengan identitas keislaman inilah biasanya mereka membedakan diri mereka dari kelompok masyarakat Dayak yang tinggal di pedalaman yang umumnya tidak beragama Islam, di samping untuk membedakan dengan masa lalu mereka yang beragama Hindu, Budha, Animisme, Mochtar Buchori dan Wiladi Budiharga, “Tipe-Tipe Orientasi Sosial Budaya di Sembilan Daerah Penelitian di Indonesia”, Makalah dalam Seminar Orientasi Sosial Budaya III di Banjarmasin, diselenggarakan atas kerjasama LIPI dengan IAIN Antasari tanggal 28 Nopember – 1 Desember 1983, hlm. 43-44. 7 Idwar Saleh, Sejarah Daerah Tematis; Zaman Kebangkitan Nasional 1900 – 1942 di Kalimantan Selatan, (Jakarta: Depdikbud, 1978). 6
4
Dinamisme, Totemisme dan kepercayaan sejenisnya. Namun demikian, bukan berarti seluruh kepercayaan lama ini dibabat habis oleh masyarakat Banjar sesudah memeluk agama Islam. Beberapa perilaku keagamaan mereka masih banyak yang dipengaruhi oleh kepecayaan lama.8 Adapun bahasa yang dipakai masyarakat Banjar adalah Bahasa Banjar yang elemen bahasa Melayu sangat dominant dengan disisipi unsur-unsur bahasa Jawa dan bahasa Ngaju. Kata Banjarmasih yang sekarang menjadi Banjarmasin berasal dari unsur bahsa Melayu yaitu banjar yang berari kampung dalam bahasa Melayu, dan kata masih adalah sebutan perkampungan orang Melayu dalam ucapan bahasa Ngaju. Dari rentetan persentuhan berbagai budaya ini, budaya Banjar seolah-olah tenggelam dan kehilangan orisinilitasnya karena sedemikian terbuka. Keterbukaan struktur budaya ini semakin lengkap ketika daerah pesisir menjadi basis dan pusat kerajaan Banjar pada saat itu. Wilayah pesisir, sebagai kontras dari wilayah pedalaman, pada umumnya bersifat kosmopolit lantaran wilayah ini memiliki kecenderungan yang sangat intens terlibat kontak dan interaksi dengan budaya yang dating dari luar.9 Oleh karena itulah, tidak aneh jika ada yang beranggapan bahwa budaya Banjar itu tidak ada, tetapi budaya Dayak, budaya Jawa, dan budaya Melayu yang terbungkus menjadi satu dalam baju budaya Banjar. Dari penelusuran kita atas struktur budaya masyarakat Banjar di atas, optimisme tentang muatan budaya Banjar terhadap nilai-nilai demokrasi bukanlah imajinasi tanpa kenyataan. Hal ini sangat tampak dari pola dan struktur budaya Banjar yang bersifat sangat terbuka dan lentur dalam menerima berbagai budaya lain. Ia sanggup mendudukkan budayabudaya lain tersebut sebagai mitra sejajar dalam lokus dirinya. Dengan pola dan struktur budaya demikian, masyarakat Banjar sesungguhnya memiliki kemungkinan yang sangat tinggi untuk menjadikan dirinya sebagai tempat persemaian bagi tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai demokrasi. Nilai-Nilai Demokrasi dalam Budaya Banjar
Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar; Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, (Jakarta: Rajawali Press, 1997), hlm. 5 dan 245. 9 Lihat ulasan Nurcholish Madjid, “Potensi Dukungan Budaya Nasional Bagi Reformasi Sosial-Politik” dalam Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 131-159. 8
5
Menurut penelitian Faruk HT, dengan pola dan struktur budaya seperti itu nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat Banjar, pada tingkat tertentu, sebenarnya sudah dimulai sejak abad ke-17 bahkan mungkin lebih ke belakang lagi. Hal ini bisa diasumsikan karena feodalisme dalam tradisi masyarakat Banjar tidak memiliki tempat yang begitu kuat, bahkan tidak pernah masuk dalam atau melembaga.10 Hal ini karena kepemimpinan dan pengaturan masyarakat di Kerajaan Banjar dijalankan melalui dua komponen utama yang sangat berpengaruh secara langsung terhadap proses terbentuknya nilai-nilai demokrasi. Kedua komponen berpengaruh itu meliputi kehidupan bernegara yang menjamin terjadinya persamaan kesempatan bidang ekonomi dan kekuasaan karena kentalnya budaya kekeluargaan. Oleh karena itulah, dalam masyarakat Banjar, pemimpin dari struktur yang paling atas hingga terbawah tidak terlepas dari struktur politik, ekonomi, dan sistem kekerabatan yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Nilai-nilai demokrasi tersebut, telah dimulai ketika Pangeran Samudera yang telah berganti nama menjadi Sultan Suriansyah (1526-1545) sebagai Sultan pertama Kesultanan Banjar mengatur tata pemerintahannya. Langkah pertama yang diambil Sultan adalah tidak memilih Patih dan Mangkubumi dari golongan bangsawan tetapi dari Urang Jaba (rakyat biasa) yang cakap yang memiliki kemampuan dan dedikasi tinggi terhadap kerajaan. Orang pertama yang dipilih dari rakyat biasa itu adalah Patih Masih, seorang anak nelayan di tepian sungai Martapura tepatnya di daerah Kuin.11 Selain tradisi berdemokrasi yang tercermin dalam pengangkatan Mangkubumi dan Patih dari rakyat kecil tersebut, Kerajaan Banjar juga mempunyai lembaga perwakilan atau "Dewan Musyawarah". Dewan Musyawarah ini berfungsi untuk membicarakan masalahmasalah agama Islam. Dewan Musyawarah melakukan rapat untuk memutuskan hasil musyawarah secara demokratis. Di dalamnya yang berperan adalah Mangkubumi, Dipati, Jaksa, Khalifah, dan Pengulu (Penghulu). Yang disebut terakhir bertugas memimpin jalannya lalu lintas rapat. Adapun untuk urusan yang berkaitan dengan hukum-hukum duniawi (biasa disebut Dirgama) sendiri, biasanya pada saat itu komposisi anggota musyawarahnya secara khusus terdiri dari Raja, Mangkubumi, Dipati dan Jaksa. Biasanya, pada saat itu, yang memimpin Muhammad Najib (dkk), Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara II, ((Yogyakarta: LKPSM-NU, 1996). 11 Idwar Saleh, Sejarah Daerah Kalimantan Selatan, (Jakarta: Depdikbud, tanpa tahun). 10
6
musyawarahnya bukanlah Raja tapi Jaksa. Tradisi berdemokrasi ini juga tercermin dalam urusan yang berkaitan dengan tata urusan kerajaan dimana Raja selalu melibatkan Mangkubumi dan Dipati dalam memutuskan sesuatu. Dari struktur pemerintahan di atas, tradisi berdemokrasi juga terwujud lebih kecil dalam sebuah kelompok kekerabatan besar (group) yakni kelompok kekerabatan yang di dalamnya terdapat proses pemilihan pemimpin, baik di tingkat adat maupun kesultanan. Melalui Kelompok kekerabatan inilah, masyarakat Banjar dari lapisan yang paling atas sampai lapisan paling bawah diatur. Kelompok kekerabatan besar tersebut biasa dikenal masyarakat Banjar dengan sebutan Bubuhan. Sebenarnya kalau dilihat mekanisme kerja sistem Bubuhan ini maka Raja biasanya merupakan kepala atau Ketua dari kelompok Bubuhan. Namun demikian, dalam prakteknya yang berjalan selama itu, Ketua Bubuhan ini tidak mesti harus Raja tapi dipilih berdasarkan yang tua usianya atau kekhususan ilmu yang dimilikinya (memiliki ilmu tinggi), atau lantaran tanggungjawabnya yang besar terhadap kerajaan dan masyarakat. Sebagai Kepala atau Ketua kelompok Bubuhan, Ia diberi tanggung jawab atas persoalan internal yang ada di dalam Kulawarga Bubuhan dan juga bertanggung jawab keluar, baik yang berkaitan dengan urusan pemerintahan maupun perniagaan. Model fungsi tanggung jawab dan wewenang dari seorang Kepala Bubuhan tersebut secara manajerial pada saat itu memiliki mekanisme yang jelas. Kewenangan seorang Kepala Bubuhan dalam mengambil kebijakan kelompoknya selalu didasarkan pada mekanisme musyawarah. Oleh karena itulah, terjadinya silang pendapat antara Kepala Bubuhan dengan anggota merupakan kebiasaan dan tradisi yang selalu hidup pada masa itu. Tradisi ini tentunya merupakan bagian dari demokrasi. Walaupun terdapat beragam kelompok Bubuhan, namun demikian dalam tradisi masyarakat Banjar antar kelompok-kelompok bubuhan tersebut biasanya memiliki ikatan kebersamaan dalam suatu komunitas masyarakat Banjar. Ikatan kebersamaan itu biasanya lahir, selain adanya akar geneologi budaya yang sama, tapi juga karena adanya kesatuan kelompok darah yang bersifat bilateral, ekonomi, rasa memiliki dan tolong menolong satu sama lainnya serta adanya kesatuan tindakan dalam mempertahankan diri terhadap serangan dari musuh dan lain sebagainya.12 12
Soetrisno Kuntoyo (dkk), Sejarah Kalimantan Selatan, ((Jakarta: Depdikbud, 1977).
7
Nilai budaya masyarakat Banjar lain yang juga ditengerai berkesesuaian dengan nilainilai demokrasi adalah pola distribusi kekuasaan dalam Kesultanan Banjar, yang merupakan nilai demokrasi paling modern saat itu. Selama kekuasaan Sultan Musta'in Billah (1650-1678), sistem politik dan pemerintahan kerajaan menjadi lebih kompleks dimana ada spesifikasi dan pembidangan dalam persoalan-persoalan hukum. Spesifikasi dan pembidangan ini tampak dalam kedudukan Mangkubumi yang bertindak sebagai King Vice Regent yang mempunyai empat Deputi dan empat hakim. Tugasnya adalah memecahkan dan memutuskan persoalan-persoalan hukum. Sementara dalam persoalan hubungan pemerintahan dengan kerajaan luar (hubungan luar negeri), monopoli perdagangan, surat kontrak dan lisensi usaha dagang diselesaikan oleh Mangkubumi dengan para Dipati. Adapun kedudukan dan posisi Raja dalam seluruh persoalan ini adalah bertindak dalam membuat kebijakan umum pemerintahan. Tradisi demikian, kemudian, berkembang menjadi suatu sistem yang akhirnya membentuk suatu institusi, yang pada saat itu disebut dengan “Dewan Mahkota”. Salah satu dampak yang sangat mempengaruhi tradisi masyarakat Banjar dari struktur kekuasaan di atas berkembangnya tradisi musyawarah sebagai bagian tradisi demokrasi. Tradisi ini, baik yang berjalan di lingkungan kerajaan maupun dalam kehidupan masyarakat terlihat hidup dan semarak. Ini bisa dibuktikan pada undang-undang Sultan Adam (1825-1827) dalam pasal 3 berbunyi: Tiap-tiap tetuha kampung kusuruhakan mamadahi anak buahnya dengan bamufakat, astamiyah lagi antara barkarabat supaya jangan banyak pamandiran dan barbantahan". Maksudnya agar tokoh-tokoh desa membiasakan bermusyawarah untuk menghindari terjadinya salah paham dan percekcokan.13 Dengan demikian musyawarah yang bertujuan untuk mencari jalan keluar sekaligus memecahkan segala persoalan yang terjdi dalam keluarga atau masyarakat, sejak dulu, sudah dilaksanakan oleh masyarakat Banjar. Tradisi ini terefleksi ketika terjadi sengketa di suatu kampung dalam masyarakat Banjar. Menurut tradisi, Tetuha kampung adalah aktor utama yang akan diberi tugas pertama dalam mendamaikan sengketa tersebut secara musyawarah. Namun demikian, jika masalahnya tidak terselesaikan oleh musyawarah dengan Tetuha Kampung, maka baru diselesaikan dan bawa ke hadapan hakim. Tradisi ini terekam dalam A. Gazali Usman, Sejarah Perkembangan Islam di Kalimantan Selatan, (Banjarmasin: Unlam, 1994), hlm. 102. 13
8
Undang-Undang Sultan Adam pasal 21, yang berbunyi: Tiap-tiap kampung kalu ada perbantahan isi kampungnya kusuruhakan mamandirakan dan mamatutkan mufakat lawan nang tuhatuha kampungnya itu, lamun tiada jua; mamandirakan ikam bawa pada Hakim". Maksudnya bila tidak bisa selesai persoalan secara kekeluargaan baru diselesaikan di hadapan hakim.14 Tradisi di atas ditengerai oleh banyak pakar budaya Banjar banyak berkaitan dengan tradisi kesataraan yang telah lama berkembang dalam masyarakat Banjar. Tradisi kesetaraan ini terutama sekali tampak dalam aspek bahasa Banjar yang menjadi bahasa pengantar dan pergaulan masyarakatnya. Arti penting bahasa ini dalam membentuk pola kultur masyarakat Banjar adalah struktur gramatikalnya yang sederhana dan tidak bersifat hirarkhis sebagaimana yang tampak dalam bahasa Jawa. Struktur bahasa yang demikian akhirnya mempengaruhi pola komunikasi masyarakat di daerah ini yang tampak lebih lugas dan setara tanpa harus menghilangkan nilai-nilai etis dalam komunikasi dan pergaulannya. Salah satu bentuk tradisi kesetaraan lainnya yang sangat penting juga untuk diangkat karena berkaitan dengan pergaulan sosial masyarakat Banjar adalah hubungan laki-laki dan perempuan. Tradisi masyarakat Banjar sama sekali tidak membedakan kedudukan laki-laki dan perempuan. Disebutkan dalam legenda atau hikayat Lambung Mangkurat bahwa telah hidup seorang Ratu bernama Junjung Buih yang menguasai Negara Daha di daerah Nagara sejajar pengaruhnya dengan Lambung Mangkurat yang mengusai Negara Dipa di daerah Amuntai. Bahkan dalam perkembangan berikutnya Lambung Mangkurat tunduk dan patuh di bawah telapak kaki Junjung Buih hingga sampai hati membunuh keponakannya sendiri Sukmaraga dan Patmaraga demi memenuhi ambisinya memiliki sendiri sang Ratu tanpa persaingan. Selanjutnya, tercatat dalam sejarah Kerajaan Banjar bahwa pada masa pemerintahan Sultan Tahmidullah II posisi ulama besar tidak hanya monopoli kaum laki-laki saja melainkan juga bisa diraih oleh kaum perempuan. Ketika hidup ulama besar Syekh Muhammad Arsyad al-Banjârî, Syekh Muhammad Nafs al-Banjârî, Abdul Hâmid Abulung, Datu Sanggul, As’ad, Su’ud, dan Abdul Wahab Bugis, maka pada saat yang bersamaan hidup ulama besar perempuan seperti Syarifah (Puteri Syekh Muhammad Arsyad al-Banjârî) dan Fatimah (Pengarang Parukunan Basar).15 Di samping itu, tercatat juga dalam sejarah perang 14
A. Gazali Usman, Sejarah Perkembangan Islam…, hlm. 107
Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari; Tuan Haji Besar, (Martapura: Sullamul Ulum, 1980). 15
9
Banjar seorang pahlawan wanita bernama Ratu Zaleha yang gigih berjuang mengusir penjajah Belanda.16 Kesejajaran kedudukan laki-laki dan perempuan tampak juga dalam kehidupan rumah tangga masyarakat Banjar. Posisi suami sama dengan isteri sebagai kepala rumah tangga dan profisinya dianggap sama-sama bekerja. Oleh karena itu, fiqih waris yang berkembang di dalam masyarakat Banjar adalah fiqh waris yang cenderung memasukkan hukum adat setempat yang dikenal sebagai harta perpantangan, yakni harta yang dibagi dua terlebih dahulu antara suami dan isteri dan baru kemudian hasil parohan itu dibagikan lagi kepada ahli waris. Ini jelas merupakan pengembangan yang radikal dari konsep hukum waris Islam yang ada dalam al-Qur’an, yakni keseluruhan harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia langsung dibagi antara ahli waris.17 Pengembangan hukum waris semacam ini jelas disemangati oleh persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan. Jika ditelusuri lebih jauh, maka tradisi kesetaraan ini tidak hanya tampak dalam persoalan yang disebut di atas. Namun demikian, tradisi ini juga tampak dalam mekanisme pemilihan Kepala Bubuhan. Dalam mekanisme yang pernah berjalan dimungkinkan perempuan boleh dipilih untuk menjadi kepala bubuhan dalam masyarakat Banjar. Berbagai warisan budaya di atas semakin kokoh untuk membangun nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat Banjar ketika tradisi oposisi dan tradisi kritik terbina secara kultural dalam masyarakat Banjar. Jika tradisi oposisi kental menyertai perjalanan historis Kesultanan Banjar, maka tradisi kritik dalam budaya Banjar terekspresikan dalam ungkapan seni, sebagaimana yang tampak dalam seni Madihin, seni Mamanda, dan cerita populer ala rakyat Banjar Si Palui. Sejarah terbentuknya simpul-simpul kekuasaan di kawasan ini tidak lepas dari munculnya kekuatan oposisi terhadap rezim yang sedang berkuasa. Keberadaan kekuatan oposisi ini terlihat sejak dari berdirinya kesultanan Banjar sampai masa keruntuhannya, dan terus berlanjut hingga awal kemerdekaan bangsa ini. Ketika Kerajaan-Hindu Banjar dipegang oleh Pangeran Tumenggung muncullah Sultan Suriansyah (1526-1545) memberontaknya. Ketika Amirullah Bagus (1663-1679) berkuasa muncullah Pangeran Adipati Anum (1663-1679) mengkudeta. Sebaliknya ketika Adipati Anum berkuasa muncullah 16
A. Gazali Usman, Sejarah Perkembangan Islam…, hlm. 110.
17
Majalah Pesantren, No. 2, Vol. II, 1985.
10
Amirullah Bagus (1680-1700) ganti mengkodetanya. Ketika Tahmidullah II (1761-1801) berkuasa muncullah Pangeran Amir datang menyerang dengan 3000 orang bala tentara Bugis.18 Ketika Tamjidillah (1857-1859) berkuasa atas usaha penjajah Belanda muncullah Pangeran Hidayatullah dan Pangeran Antasari yang keras menentangnya.19 Ketika zaman kemerdekaan, Hasan Basri mengintegrasikan Kalsel ke dalam Republik Indonesia, maka muncullah Ibnu Hajar mengadakan pemberontakan untuk mendirikan negara sendiri berdasarkan Islam. Sementara itu tradisi kritik sendiri dalam budaya Banjar terekspresikan dalam ungkapan seni. Salah satunya, misalnya seni Madihin. Seni Madihin adalah salah satu kesenian tradisional masyarakat Banjar berbentuk lantunan-lantunan syair yang diiringi oleh permainan rebana besar tunggal. Biasanya syair-syair tersebut berisi nasehat atau petuahpetuah agama untuk masyarakat dan negara/kerajaan, namun tidak jarang nasehat-nasehat yang dibawakan sarat dengan kritik-kritik sosial yang sangat tajam. Seni ini dahulu sering dipertunjukkan dalam pesta-pesta rakyat yang diselenggarakan oleh Kerajaan atau rakyat biasa yang sedang melakukan hajatan besar atau kecil. Adapun seni Mamanda sendiri merupakan salah satu kesenian tradisional masyarakat Banjar berbentuk teather rakyat atau semacam sandiwara yang menggambarkan tentang hubungan antara kehidupan raja dengan rakyat, yang biasanya berakhir dengan happy ending. Biasanya isi dari muatan pesan yang ingin disampaikan berkisar pujian terhadap pemerintahan yang bijaksana dan kritik tajam atas segala bentuk perilaku raja yang lalim. Sementara cerita populer rakyat Banjar Si Palui sesungguhnya mirip dengan cerita tokoh kabayan dalam masyarakat Sunda. Seni ini sampai hari ini masih hidup dan tetap lestari karena secara khusus disediakan rubrik Si Palui dipojok depan Harian Banjarmasin setiap harinya. Tokoh ini digambarkan sebagai sosok manusia yang lucu, lugu, nakal, unik, dan agak pintar-pintar bodoh. Ia tampil sebagai pengkritik pada siapa saja yang dianggapnya berlebihan dan pongah serta pada situasi yang tidak mengenakkan. Kritik itu biasa tidak diungkapkan secara vulgar tapi dibungkus dalam bentuk banyolan segar ala masyarakat Banjar.20
18 19 20
A. Gazali Usman, Sejarah Perkembangan Islam…, hlm. 120. A. Gazali Usman, Sejarah Perkembangan Islam…, hlm. 132.
Harian Umum Banjarmasin Post, 4 Nopember 1984.
11
Demikianlah beberapa nilai-nilai budaya Banjar yang sempat ditengerai bersesuaian dan mungkin bisa saling mengisi-memperkaya demokrasi, bahkan mungkin punya daya topang dan daya dorong untuk mempercepat proses demokratisasi bangsa ini. Modal Kultural dan Promosi Wacana Demokrasi Usaha-usaha untuk kembali kepada akar budaya dalam mengapresiasi nilai-nilai demokrasi di atas, pada dasarnya, adalah usaha untuk membangun kultur demokrasi yang akan menopang jalannya proses demokratisasi yang sedang digelar oleh bangsa ini. Hal ini lantaran diseminasi konsep demokrasi yang selama ini terjadi umumnya terlalu kentara bias Barat dan melupakan upaya pencarian akar kultural dari konsep yang sedang ingin dikembangkan.21 Oleh karena itu, upaya-upaya indeginisasi atau akulturasi sudah semestinya menjadi agenda utama dalam gerakan demokrasi di Indonesia. Hal ini lantaran demokrasi, pada tingkat individual, merupakan sikap yang mencerminkan komitmen positif terhadap nilai-nilai demokrasi dan tindakan seorang warga negara yang diarahkan untuk mempengaruhi kebijakan publik. Jika yang pertama terkait dengan kultur demokrasi, maka yang kedua berkaitan dengan partisipasi politik yang merupakan jantung dari demokrasi itu sendiri. Demokrasi tak terbayangkan tanpa adanya partisipasi politik ini. Namun demikian, partisipasi politik tanpa dilandasi nilai-nilai demokrasi, maka partisipasi politik itu akan menjadi semacam aktivisme yang potensial menciptakan instabilitas demokrasi.22 Asumsi terakhir ini bisa terjadi ketika demokrasi dijadikan sebagai tujuan, bukan sebagai "cara hidup" (way of life). Kultur demokrasi ini, dipercaya oleh banyak ilmuwan sosial, membentuk bagaimana sebuah demokrasi yang baik dibayangkan dan diyakini sehingga melahirkan sikap-sikap dan tindakan-tindakan yang sesuai dengan tuntutan demokrasi. Huntington atau Lewis misalnya, percaya bahwa kelangkaan proses demokrasi yang terjadi di berbagai negara muslim terkait dengan rendahnya dukungan kultur demokrasi yang berkembang di sana. Salah satunya misalnya, di berbagai negara muslim, masyarakat Azyumardi Azra (dkk), Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia, (Jakarta: INCIS, 2003), hlm. 5. 22 Saiful Muzani, "Demokrasi Indonesia; Sebuah Penjelasan Kultural", dalam Azyumardi Azra (dkk), Mencari Akar Kultural Civil Society …, hlm. 7 21
12
muslim sering memiliki imajinasi tersendiri tentang pemerintahan yang baik, yakni pemerintahan yang didasarkan atas perintah atau hukum Tuhan, bukanya pemerintahan yang dibuat masyarakat dalam konteks historis tertentu. Imajinasi seperti ini dipercaya dominan di berbagai negara muslim, sehingga menyebabkan sulitnya demokrasi tertanam dan tumbuh di sana.23 Dengan realitas seperti ini, Huntington atau Lewis sekali lagi percaya bahwa partisipasi politik yang merupakan inti dari demokrasi bagi masyarakat di berbagai negara muslim menjadi sesuatu yang asing bagi mereka. Kalaupun ada, tegas mereka, maka partisipasi tersebut baru muncul bila terkait dengan hal-hal yang berkaitan dengan Islam. Artinya, objek partisipasi yang bersifat lintas primordial atau lintas agama dianggap sulit tumbuh dalam masyarakat Islam.24 Adapun relevansi yang lebih luas dari diapresiasinya nilai-nilai demokrasi kepada akar budaya Banjar di atas adalah usaha untuk menginventarisir kembali modal sosial yang akan sangat dibutuhkan dalam perjalanan transisi demokrasi yang sedang dijalankan bangsa ini. Transisi adalah durasi waktu yang dimulai dari kejatuhan rezim otoriter menuju pemerintahan yang demokratis. Samuel P. Huntington mengklasifikasikan tiga model kejatuhan rezim otoriter; (1) transformasi terjadi ketika elite yang berkuasa mempelopori proses perwujudan demokrasi; (2) pergantian terjadi ketika kelompok oposisi mempelopori proses perwujudan demokratisasi dan rezim otoriter berhasil ditumbangkan atau dijatuhkan; (3) transformasi terjadi sebagai hasil tindakan bersama antara kelompok pemerintah dengan kelompok oposisi.25 Kategori Huntington di atas telah menjadi saksi bagi negara-negara di dunia bagaimana proses demokratisasi ini berlangsung. Namun demikian, suatu negara yang memulai transisi tidak otomatis mencapai tingkat demokrasi yang dicita-citakannya. Di Indonesia, perjalanan transisi menuju demokrasi justru berimplikasi pada terjadinya berbagai peristiwa konflik kekerasan yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.
Saiful Muzani, "Demokrasi Indonesia; Sebuah Penjelasan Kultural", dalam Azyumardi Azra (dkk), Mencari Akar Kultural Civil Society …, hlm. 8. Bandingkan dengan Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), (Yogyakarta: Tiarawacana, 1999). 24 Saiful Muzani, "Demokrasi Indonesia …", hlm. 8 25 Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, (Jakarta: Graffiti, 1997), hlm. 146. 23
13
Namun demikian, transisi Indonesia menuju demokrasi sejak jatuhnya rezim Soeharto pada 21 Mei 1998 dari kekuasaan yang dipegangnya selama 30 tahun agaknya tidak mungkin lagi dimundurkan (point of no return). Perubahan Indonesia menuju demokrasi jelas sangat dramatis. Setelah lebih dari tiga dasawarsa berada di bawah kekuasaan represif, Indonesia mengalami liberalisasi politik dan demokratisasi. Hasilnya, Indonesia kini mulai disebut-sebut sebagai salah-satu Negara demokrasi terbesar di dunia, persisnya third largest democracy in the world, setelah India dan Amerika Serikat. Banyak perkembangan terjadi di Indonesia semenjak roda demokratisasi itu mulai digulirkan. Mulai dari kebijakan desentralisasi kekuasaan, penerapan sistem multi partai, Pemilu yang demokratis, sampai pada kebebasan pers dan meningkatnya fungsi checks and balance DPR. Tetapi, pada saat yang bersamaan harus diakui pula bahwa pertumbuhan demokrasi atau transisi Indonesia secara damai menuju demokrasi juga menimbulkan banyak kegamangan dan kecemasan. Jika demokrasi adalah peaceful resolution on conflict, orang menyaksikan semakin meningkatnya kecenderungan penyelesaian konflik melalui cara-cara tidak demokratis. Perkembangan seperti ini jelas merupakan fenomena yang tidak kondusif bagi transisi Indonesia menuju demokrasi. Dengan demikian, transisi Indonesia ke arah tingkat demokrasi yang dicita-citakan jelas merupakan proses yang sangat kompleks dan panjang. Hal ini karena demokrasi bukan barang jadi yang dapat hadir dan berwujud melalui pengambilalihan begitu saja (taken for granted), tetapi ia mesti dipelajari (democracy is learned) dan dipraktekkan secara sustainable berdasarkan wawasan kesadaran bersama. Mengapa demikian ? Jawabnya adalah menyangkut wilayah cakupan reformasi yang harus dilakukan ketika bangsa ini melakukan transisi menuju demokrasi. Menurut Azra, ada tiga bidang besar yang secara simultan harus mengikuti proses reformasi menuju demokrasi. Pertama, reformasi sistem (constitutional reforms), yang menyangkut perumusan kembali falsafah, kerangka dasar dan perangkat legal sistem politik. Kedua, reformasi kelembagaan yang menyangkut pengembangan dan pemberdayaan lembaga-lembaga politik (political institutional reforms and empowerment). Ketiga, pengembangan kultur atau budaya politik (political culture) yang lebih demokratis. Menurut Azra, jika pada poin pertama dan kedua di atas
14
upaya reformasi bisa dilakukan pada tataran legislatif, eksekutif dan yudikatif, maka pada poin ketiga, upaya reformasi harus dilakukan lewat pengembangan kultur demokrasi26 Ketika berbicara pengembangan kultur demokrasi, maka upaya-upaya dalam mengapresiasi nilai-nilai warisan budaya menjadi penting. Hal ini karena apresiasi bisa dianggap sebagai usaha menginventarisasi kembali apa saja yang bisa dijadikan modal sosial oleh bangsa ini dalam melakukan proses transisi demokrasi. Modal sosial (social capital) sebenarnya adalah satu unsur dari pemahaman terbaru mengenai demokrasi. Konsep ini merupakan konsep yang bertitik tekan pada hubungan antar individu dalam masyarakat (the structure of human relationship) yang didasarkan pada norma (norm), relasi sosial (social relation) dan trust yang membentuk jaringan (network) untuk terwujudnya aksi bersama (collective action).27 Secara teoritis, konsep ini dibangun berdasarkan pemahaman bahwa demokrasi adalah kepercayaan mendasar dari segenap warga masyarakat kepada pihak lain untuk mengatur semua urusan dan hajat hidup mereka. Kepercayaan dasar – yang popular disebut “social capital” ini hanya bisa diapresiasi dari bawah, yakni dari tingkat lokal. Sebuah kultur demokrasi lokal yang bersemanagat merupakan modal dasar bagi terwujudnya demokrasi lestari.28 Pembicaraan mengenai modal sosial dalam konteks transisi menuju demokrasi menjadi penting mengingat begitu banyaknya konsekuensi negatif yang diwariskan oleh sistem masa lalu. Selain itu, alasan pentingnya pembicaraan tersebut muncul dari kenyataan pembangunan yang selama ini diterapkan lebih berorientasi pada pencapaian pertumbuhan di aras ekonomi dan sedikit sekali memperhatikan faktor-faktor manusiawi. Oleh karena itu, berbicara tentang modal sosial berarti berbicara tentang apa saja pranata, hubungan sosial, dan norma yang bisa memberikan sumbangsih dan penopang dasar bagi pembentukan pola interaksi sosial kemasyarakatan yang sesuai dengan tuntutan nilai demokrasi.29 Identifikasi modal sosial ini mutlak dilakukan untuk mengetahui sejauh mana sebuah upaya transformasi politik, ekonomi, dan budaya mendapatkan dukungan nilai-nilai yang Azyumardi Azra, “Kata Pengantar”, dalam Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, & Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE, TAF & Prenada Media, 2003), hlm. xi. 27 Deepa Narayan, "Social Capital & Poverty", dalam The World Bank Group website: www.worldbank.org., hlm. 1-2. 28 Timothy D. Sisk, Demokrasi di Tingkat Lokal, (Jakarta: International IDEA, 2002), hlm. Vii 29 Uday M. Abdurrahman, "Transisi Demokrasi; Jalan Tanpa Ujung (?)", dalam Buletin Wacana POSTRA, No. 06/ Agustus-September 2002, hlm. 13-14. 26
15
memadai. Ini penting karena satu agregat dengan cakupan masalah yang begitu luas meniscayakan dimilikinya kekuatan positif yang memungkinkan pelaksanaannya. Walaupun demikian, kerja keras dalam mengelola perubahan yang sedang berjalan dengan segala lapisan persoalan yang ada tetap harus dilakukan termasuk di dalamnya menilai kepentingan yang berbeda-beda, membangun konsensus, dan memobilisasi dukungan masyarakat dalam hal belajar dan beradaptasi dengan cara-cara baru dalam melakukan sesuatu. Tanpa modal sosial yang memadai, demokrasi tidak akan berfungsi sebagai penggerak dan fasilitator perubahan. Transisi dengan demikian hanya bisa dikonstruksi oleh sebuah bangsa dengan berbagai institusi yang ada untuk menciptakan nilai-nilai baru dengan landasan modal sosial yang memadai, di samping pada kemampuan setiap kelompok masyarakat untuk mengelola beban historis yang selama ini mengkungkungnya. Catatan Akhir Konsep demokrasi adalah sebuah konsep yang telah diterima mayoritas penduduk dunia sebagai sebuah konsep yang bisa menciptakan sistem berkeadilan. Namun demikian, proses transisi suatu bangsa menuju tingkat demokrasi yang dicita-citakan haruslah berangkat dari apa yang menjadi modal sosial bangsa itu sendiri. Apresiasi tentang nilai-nilai budaya Banjar di atas adalah usaha untuk menginventarisi kembali apa saja yang bisa dijadikan modal sosial oleh bangsa ini dalam melakukan proses transisi. Oleh karena itulah, nilai-nilai yang sudah dijelaskan di atas menjadi sesuatu yang niscaya sebagai bahan pertimbangan, rujukan, refleksi, dan teman dialog. Asumsi ini dijadikan catatan akhir mengingat demokrasi bukanlah peristiwa sekejap; dia adalah sebuah proses yang rumit dan berkelanjutan. Oleh karenanya, untuk menumbuhkembangkannya diperlukan pembinaan dan pengelolaan terus-menerus. Salah satu dari usaha yang mungkin dilakukan adalah menumbuhkembangkan apresiasi budaya lokal terhadap nilai-nilai demokrasi yang dicita-cita. Hanya dalam suasana demokratislah, sebuah masyarakat sipil akan berkembang dan tumbuh dengan kuat []
16