Identitas Etnik dan Multikulturalisme Oleh: Irfan Noor, M.Hum Dosen IAIN Antasari Banjarmasin
Benarkah Banjar itu Islam ? Sebuah pertanyaan yang tak lazim dikemukakan di daerah ini. Tak lazim bukan semata-mata karena akan bersinggungan dengan keyakinan banyak pihak, tapi juga karena akan mengusik bangunan sejarah yang sudah lama terlanjur dikokohkan. Namun jika pertanyaan itu ditarik lebih jauh, sesungguhnya hal itu tidak lebih menyangkut persoalan seputar apakah identitas etnik itu bersifat tetap, essensial, dan tak tergantikan. Untuk kajian ini, kerangka pikir yang ingin penulis kembangkan dalam tulisan ini adalah bahwa subjektivitas dan identitas merupakan produk khas budaya yang bersifat tidak pasti (contingent). Karenanya, identitas maupun etnisitas dipahami sepenuhnya sebagai produk sosial dan tidak dapat “mengada” di luar representasi kultural dan sosial. Ia adalah ciptaan wacana yang bisa berubah makna sesuai waktu, tempat, dan penggunaannya. Identitas dan Etnisitas Sebagai Konstruksi Budaya Mengapa identitas maupun etnisitas dipahami sepenuhnya sebagai produk sosial ? Jawabnya tidak lain karena konsep identitas dan etnisitas adalah konsep yang bersifat relasional yang berkaitan dengan identifikasi diri dan asal-usul sosial. Apa yang kita pikirkan sebagai identitas kita tergantung kepada apa yang kita pikirkan sebagai bukan kita. Orang Jawa bukan Madura, begitu juga Batak bukan bugis, dan lain-lainnya. Konsekuensinya, identitas dan etnisitas akan lebih baik dipahami sebagai proses penciptaan batas-batas formasi dan ditegakkan dalam kondisi sosio-historis yang spesifik. Oleh karena itulah, tidak heran jika Fredrik Barth (1969) mengatakan bahwa etnisitas dapat dikatakan eksis ketika orang mengklaim suatu identitas tertentu bagi diri mereka dan didifinisikan oleh yang lain dengan
identitas tersebut. Ethnisitas bermakna identifikasi dengan suatu kelompok etnik karena afiliasi ini. Di sinilah identitas dan ethnisitas dipahami sebagai konsep yang dikonstruksi secara budaya. Artinya, identitas maupun etnisitas diciptakan oleh proses sejarah yang menggabungkan kelompok-kelompok sosial yang berbeda ke dalam suatu struktur politik yang tunggal di bawah kondisi-kondisi sosial tertentu (Schultz & Lavenda, 2001: 523). Secara lebih rinci, identitas dan etnisitas merupakan hasil konstruksi (proses) sosial yang lazim disebut askripsi (ascription). Inilah proses sosial yang menandai sekelompok masyarakat tertentu dengan sembarang . Artinya, apa pun tandanya asal bisa dipakai untuk "menunjuk" (labelling) kelompok tertentu. Proses ini tentunya merupakan proses yang berlangsung hingga berabad-abad lamanya. Proses askripsi adalah gejala interaksi yang terjadi ketika orang dari aneka latar belakang bertemu satu sama lain di berbagai lapangan kehidupan, bukannya ketika mereka benar-benar "menyendiri". Yang menjadi spesifik dalam proses ini adalah ketika seseorang itu tak diperlakukan sebagai pribadi yang mandiri, tapi sebagai contoh, anggota, atau wakil suatu kelompok orang dengan askripsi tertentu. Proses askripsi lama kelamaan berfungsi seolah-olah seperti deskripsi terhadap sekelompok orang. Adapun bagi kelompok yang dideskripsikan tersebut, deskripsi itu merupakan aturan bertindak. Dalam sejarah, yang menjadikan askripsi berfungsi seolah-olah seperti deskripsi adalah faktor politik atau kekuasaan. Selama hubungan kekuasaan masih berupa persaingan, etnisitas terbatas pada rules of conduct hingga disebut cultural ethnicity. Begitu hubungan kekuasaan mulai jadi perebutan hegemoni, etnisitas menjadi political ethnicity yang bisa memicu konflik. Di sini identitas dan etnisitas bisa menjadi sinyal keterpinggiran, sinyal tentang pusat dan pinggiran, dalam konteks sejarah yang selalu berubah. Kelompok etnik biasanya dibedakan dari jenis kelompok sosial yang lain berdasarkan attribut yang mendefinisikan anggota kelompok: bahasa, agama, adat-istiadat, dan sejarah bersama. Oleh karenanya, semua pertukaran budaya ini tidak akan pernah terjadi jika anggota kelompok tidak secara teratur berinteraksi, dan bahkan saling melakukan perkawinan, identitas etnik sering dipikirkan, baik oleh anggota kelompok ataupun orang luar, menjadi berakar dalam asal-usul biologis bersama. Sampai pada pembahasan tentang pengertian konseptual identitas dan etnisitas di atas, Giddens menegaskan bahwa etnisitas itu selalu berpusat pada identitas individu dan kelompok.
Pentingnya identitas ini bagi sebuah kelompok etnik, menurut Giddens lagi, dikarenakan “It can provide an important thread of continuity with past and is opten kept alive through the practice of cultural traditions” (Giddens, 2001: 247). Oleh karena itu, hampir semua identitas kultural – apakah ia dipahami dalam kaitan dengan identitas ikatan persaudaran, ras, ataupun etnik – dibangun dalam konteks yang berhadap-hadapan dengan yang lain. Oleh karenanya, batas-batas yang akhirnya menjadi diakui antar kelompok etnik adalah produk dari definisi diri secara internal dan definisi eksternal oleh yang lain. Tentunya, rasa kepemilikan kelompok dan kemampuan membedakan kelompoknya sendiri dengan kelompok yang lain, merentang jauh ke belakang dalam sejarah masa lalu (Lavenda & Schuttz, 2003: 96). Banjar dan Multikulturalisme Jika memang identitas dan etnisitas merupakan produk budaya, maka bagaimana identitas keislaman urang Banjar itu sendiri ? Sebelum memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, penulis merasa perlu untuk mengemukakan temuan penelitian R. William Liddle dalam bukunya Ethnicity, Party and National Integration; An Indonesian Case. Penelitian yang berbasis di Simalungun, Sumatera Utara ini mengungkapkan bahwa
sebelum adanya
kolonialisme di Indonesia, kelompok etnik sebagai self-perceived group tidak eksis di Indonesia. Kesadaran tentang komunitas etnis dan keunikan etnisitas masing-masing baru muncul ketika pemerintah kolonial, terutama sejak awal abad 20, mempercepat perubahan ekonomi dan sosial, mengembangkan komunikasi dan transportasi, yang membawa semakin banyak individu terlibat dalam kontak satu sama lain untuk pertama kalinya. Oleh karena itu, ketika kita bicara tentang identitas etnik Banjar, maka penelusuran tentang asal usul etnik ini menjadi penting. Alfani Daud berasumsi bahwa cikal-bakal nenek moyang orang-orang Banjar adalah pecahan sukubangsa Melayu, yang sekitar lebih dari seribu tahun yang lalu, berimigrasi secara besar-besaran ke kawasan ini dari Sumatera atau sekitarnya. Peristiwa perpindahan besar-besaran sukubangsa Melayu ini, yang belakangan menjadi inti nenek moyang sukubangsa Banjar, diperkirakan terjadi pada zaman Sriwijaya atau sebelumnya. Imigrasi besar-besaran dari sukubangsa Melayu ini kemungkinan sekali tidak terjadi dalam satu gelombang sekaligus. Menurut asumsi Alfani Daud, kemungkinan sekali etnik Dayak yang sekarang ini mendiami Pegunungan Meratus adalah sisa-sisa dari imigran-imigran Melayu
gelombang yang pertama yang terdesak oleh kelompok-kelompok imigran yang datang belakangan. Diperkirakan bahwa imigran-imigran Melayu yang datang belakanganlah yang menjadi kelompok inti terbentuknya sukubangsa Banjar. Dari cikal-bakal inilah nantinya yang menjadi dasar bagi pembentukan struktur sosial dalam masyarakat Banjar. Dengan asumsi cikal-bakal urang Banjar adalah Melayu, maka berkembang pula asumsi selanjutnya, yakni agama mayoritas mereka adalah Islam. Mengapa Islam ? Menurut Alfani Daud lagi, karena Melayu adalah Islam. Oleh karenanya, tidak heran jika Islam menjadi identitas urang Banjar sejak berabad-abad. Dengan asumsi itu pula ditegaskan bahwa Banjar adalah sebuah kelompok etnik varian Melayu sejak awal. Namun uniknya, menurut Marco Mahin, mengapa jika asal-usul etnik Banjar dikembalikan sepenuhnya pada garis keturunan Melayu-Sumatera, tapi dalam kenyataan bertentangan dengan fakta bahwa Melayu pada saat itu, abad ke-16, merupakan komunitas yang minoritas di tengah-tengah suku yang ada di Kalimantan Selatan. Bahkan, kampung Banjar pada waktu itu merupakan satu-satunya kampung Melayu yang terletak di tengah-tengah kampung Dayak Ngaju yang menggunakan bahasa Brangas, sehingga tidak mungkin dapat dikatakan sebagai inti nenek moyang etnik Banjar. Sebelum terbentuk Kesultanan Islam Banjar, menurut Hikajat Bandjar, belum ada etnis atau kelompok etnis Bandjar. Yang ada pada waktu itu adalah orang-orang Jawa, Melayu dan Biaju, serta suku-suku lain. Pengamatan jeli terhadap proses awal berdirinya kesultanan Islam Banjar, bila dikaitkan dengan kelompok etnis yang terlibat pada waktu itu, akan menghasilkan kesimpulan bahwa empat orang Patih Biaju (bukan Islam) dan satu orang patih Melayu (Islam) mengangkat satu orang Jawa-Kaling (bukan Islam [Pangeran Samudera]) untuk menjadi raja. Pada level asal-usul ini, kita melihat bahwa multikulturalisme telah tumbuh dan berkembang sejak dini. Ia telah menjadi dasar bagi pembentukan masyarakat Banjar. Pada gilirannya kemudian, Struktur sosial yang telah terbentuk tersebut membawa pengaruh pada pembentukan struktur budaya bagi perilaku sosial masyarakatnya. Dalam kasus masyarakat Banjar, pengaruh tersebut teraktualisasikan dalam tindakan-tindakan yang tercermin dalam berbagai upacara adat dan kebiasaan tertentu di kalangan masyarakat tersebut. Itulah sebabnya kira-kira walaupun sejak berabad-abad urang Banjar selalu diidentikkan dengan Islam, namun dalam banyak kasus praktek-praktek keagamaan yang terjadi dalam masyarakat Banjar tidaklah seluruhnya dapat dicari referensinya dalam ajaran Islam.
Lalu di mana sesungguhnya titik-tolak identitas keislaman urang Banjar. Di sini, Marko Mahin (2004) secara menarik membangun asumsinya dengan mengatakan bahwa identitas keislaman itu terkait dengan kedatangan kapal-kapal dagang Portugis yang katolik di Nusantara, khususnya ke Kalimantan. Titik tolak inilah, yang saat ini menjadikan askripsi berubah berfungsi seolah-olah seperti deskripsi Nah, di sinilah letak persoalannya. Mengatakan bahwa Banjar itu adalah Islam adalah pilihan setiap orang karena memang identitas itu merupakan sesuatu yang penting bagi seseorang. Identitas adalah sumber makna dan pengalaman hidup seseorang. So, setiap individu, memang, memerlukan identitas untuk memberinya sense of belonging atas eksistensi sosialnya. Yang menjadi persoalan, sebagaimana yang dijelaskan di atas, ketika identitas etnik dijadikan sarana perebutan hegemoni, dimana etnisitas sebagai rules of conduct berubah menjadi political ethnicity. Di sinilah, etnisitas bisa menjadi sinyal keterpinggiran, sinyal tentang pusat dan pinggiran, dalam konteks sejarah yang selalu berubah. Tanpa kita sadari bahwa kecenderungan etnisitas sebagai rules of conduct yang kemudian berubah menjadi political ethnicity mulai menggejala di beberapa daerah di tanah air saat ini. Perubahan askripsi menjadi seolah-olah seperti deskripsi, tentunya, bukan lagi gejala budaya tapi sudah merupakan faktor politik atau kekuasaan yang terjadi di ranah kontestasi kekuasaan. Mudah-mudah tulisan ini bisa menjadi urun rembuk yang konstruktif. []