Pesantren Dan Masyarakat Sipil

  • Uploaded by: Irfan Noor, M.Hum
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pesantren Dan Masyarakat Sipil as PDF for free.

More details

  • Words: 2,731
  • Pages: 10
JARINGAN PONDOK PESANTREN SE KALIMANTAN SELATAN; Sebuah Usaha Menegakkan Pilar Masyarakat Sipil Oleh: Irfan Noor, M.Hum

Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang telah berfungsi sebagai salah satu benteng pertahanan umat Islam, pusat dakwah dan pusat pengembangan masyarakat muslim di Indonesia. Kata “Pesantren” atau “santri” berasal dari bahasa Tamil yang berarti “guru mengaji”. Sumber lain menyebutkan bahwa kata itu berasal dari bahasa India Shastri dari akar kata Shastra yang berarti “buku-buku suci”, “buku-buku agama”, atau “buku-buku tentang ilmu pengetahuan”. Di Luar pulau Jawa, lembaga pendidikan ini disebut dengan nama lain, seperti surau (Sumatera Barat), dayah (Aceh), Pondok (daerah lain). Selain memiliki ciri khas kelembagaan jika dibandingkan dengan lembaga pendidikan umum lainnya, yakni elemen-elemen dasar sebuah lembaga pendidikan Islam baru dapat disebut Pondok Pesantren yang terdiri dari Pondok/Asrama, Mesjid, Pengajaran Kitab-Kitab klasik/kuning, Santri dan Kyai, Pondok Pesantren juga memiliki ciri khas kultural, yakni kentalnya nuansa spiritualitas dan moralitas agama. Kehadiran Pondok Pesantren di Kalimantan Selatan, pada dasarnya, sangat terkait dengan usaha peningkatan pengetahuan keagamaan Islam setelah masuknya Islam ke daerah ini, yang diduga, jauh sebelum berdirinya Kerajaan Islam Banjar. Walaupun masa berdirinya kerajaan Banjar sering diasosiasikan oleh para ahli sebagai momentum intensitas penyebaran Islam di daerah ini, namun perlu diakui bahwa proses peningkatan pengetahuan keislamannya sendiri baru terjadi ketika Syekh Muhammad Arsyad al-Banjârî kembali dari Mekkah pada tahun 1772 (dalam usia 64 tahun) atau masa pemerintahan Sultan Tamjidillâh I, setelah 30 tahun lamanya belajar di sana. Konon, komplek pengajian yang dibangun oleh Syekh Arsyad yang dikenal dengan sebutan “Dalam Pagar” itulah nantinya yang dianggap banyak pakar sebagai cikal-bakal lembaga pendidikan formal Islam berbentuk Pondok Pesantren di daerah ini. Hal ini lantaran sebelumnya, pengajaran keagamaan lebih banyak dilaksanakan di rumah, musholla, atau

istana. Berbeda dengan model pendidikan sebelumnya, lembaga pendidikan Islam formal yang disebut "Dalam Pagar" ini telah memenuhi kriteria sebagai sebuah Pondok Pesantren yang terdiri dari Kyai, Asrama, Santri, Musholla dan Kitab Kuning yang terhimpun dalam sebuah kompleks tertutup.

Dari situlah, Syekh Arsyad mencetak murid-muridnya yang

datang dari berbagai penjuru Kalimantan bahkan Nusantara untuk menjadi ulama di daerahnya masing-masing. Seiring dengan tersebarnya ulama di berbagai penjuru wilayah Kalimantan Selatan dan berbagai pengaruh dari luar atas pola pendidikan agama di daerah ini, maka abad 19 di kalimantan Selatan bisa dikatakan sebagai abad yang paling intensif bagi pertumbuhan lembaga-lembaga pendidikan Islam berbentuk Pondok Pesantren. Di antara lembaga pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang dalam rentang waktu abad tersebut, antara lain: Pondok Pesantren Darussalam di Martapura yang didirikan pada tahun 1914 antara lain oleh KH. Jamaluddin, Arabische School

(yang belakangan ini dikenal dengan Pondok

Pesantren Rasyidiyah-Khalidiyah) di Amuntai yang didirikan pada tahun 1924 oleh Tuan Guru KH. Abdul Rasyid. Dua Pondok Pesantren ini menjadi pendahulu bagi sekitar 70 Pondok Pesantren yang kemudian tumbuh di berbagai daerah di Kalimantan Selatan, seperti Pondok Pesantren Ibnu al-Amin di Barabai, Pondok Pesantren Asy-Syafi’iyyah di Alabio, Pondok Pesantren al-Falah di Banjarbaru dan lain-lain. Pertumbuhan berbagai Pondok Pesantren di Kalimantan Selatan ini sesungguhnya bisa dinilai sebagai aset bagi daerah ini. Hal ini lantaran Pondok Pesantren merupakan center of excellence bagi transformasi masyarakat sipil di daerah ini. Namun sayangnya, potensi besar ini kurang memiliki pengaruh yang nyata lantaran rendahnya efektivitas respon Pondok Pesantren terhadap perkembangan masyarakat di luar lingkup kelembagaannya. Oleh karena itulah, tidak aneh, jika peran-peran yang selama ini dimainkan oleh umumnya Pondok Pesantren di Kalimantan Selatan menjadi terbatas pada lingkup lingkungan dimana Pondok Pesantren itu berdiri dan terbatas dalam bidang pengajaran keagamaan anak-didik yang terlibat di dalam lembaga tersebut. Harapan bahwa Pondok Pesantren bisa menjadi kekuatan transformatif bagi masyarakat sipil di Kalimatan Selatan belumlah bisa diwujudkan secara konkret. Kekuatan transformatif ini bisa diwujudkan jika sekiranya Pondok-Pondok

Pesantren yang ada di daerah ini memiliki ikatan kebersamaan melalui suatu Jaringan yang solid. Selama ini, memang, telah ada usaha-usaha dalam pembentukan Jaringan Pondok Pesantren di daerah ini. Namun sayangnya, kurangnya issue yang bisa dikembangkan dalam memberi substansi bagi usaha-usaha ini menjadikan keberadaan jaringan tersebut tidak pernah ada secara riil di Kalimantan Selatan. Berdasarkan pada kenyataan tersebut, maka Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK-3) Banjarmasin yang secara kelembagaan

mengkhususkan

dirinya

pada

penguatan

masyarakat

sipil

merasa

berkepentingan untuk memfasilitasi terbentuknya Jaringan Pondok Pesantren se Kalimantan Selatan. Agar keberadaan Jaringan ini dirasakan secara riil bagi kehidupan internal Pondok Pesantren sendiri dan kehidupan eksternal masyarakat di luarnya, maka pembentukan Jaringan ini diinisiasikan berdasarkan basis issue sosial kemasyarakatan yang terjadi di daerah ini. Oleh karena itulah, LK-3 yang dibantu oleh The Asia Foundation (TAF) selama tahun 2003-2004 menggelar "Program Penyadaran HAM Berbasis Jaringan Pondok Pesantren se Kalsel" di beberapa Pondok Pesantren yang tersebar di daerah ini. Mengapa issue HAM yang dijadikan basis dalam usaha pembentukan Jaringan Pondok Pesantren ? Ada apa dengan HAM itu sendiri ? Mengapa wacana HAM harus dimasukkan ke dunia Pondok Pesantren yang dikenal dengan nilai-nilai religius keislamannya ? Masih banyak sekali deretan pertanyaan yang menyertai perjalanan dari digelarnya program ini di beberapa Pondok Pesantren di daerah Kalimantan Selatan. Deretan pertanyaan itulah yang kemudian menjadi dasar digelarnya Seminar “NilaiNilai HAM dalam Islam”. Dalam seminar tersebut, panitia berhasil menghadirkan beberapa narasumber, yaitu Ifdhal Kasim, SH (Elsam Jakarta), KH. Solahuddin Wahid (PBNU), Abdul Moqsith Ghazali MA (PTIQ Jakarta), dan Wardani M.Ag (IAIN Antasari), dengan peserta yang seluruhnya mewakili Pondok Pesantren se Kalsel. Selain menjadi pintu masuk bagi kegiatan "Program Penyadaran HAM Berbasis Jaringan Pondok Pesantren se Kalsel" yang akan dilaksanakan dalam bentuk workshop/halaqah di beberapa Pondok Pesantren yang tersebar di daerah ini, seminar ini juga bertujuan menyelesaian miskonsepsi dan kecurigaan atas wacana yang dianggap dari Barat dan bertentangan dengan Islam ini.

Terungkap dalam seminar itu bahwa Hak Asasi Manusia, pada dasarnya, adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Hak-hak ini dimiliki manusia tanpa perbedaan bangsa, ras, agama atau kelamin. Oleh karenanya, hak-hak ini bersifat asasi dan universal. Dengan demikian, arti penting HAM secara filosofis pertama-tama harus dipahami sebagai sebuah kebutuhan eksistensial manusia pada umumnya. Dengan pendasaran pemahaman pada kebutuhan yang bersifat eksistensial, maka penegakan HAM pada dasarnya juga merupakan kebutuhan bagi kelangsungan sebuah peradaban umat manusia. Dengan asumsi ini, penegakan HAM pada dasarnya merupakan kebutuhan setiap masyarakat. Bukan saja kebutuhan masyarakat dalam konteks antar bangsa, tapi juga kebutuhan masyarakat dalam konteks di dalam suatu bangsa itu sendiri. Dengan asumsi ini, wacana Hak Asasi Manusia (HAM) yang dalam bahasa Arab diterjemahkan dengan huqûq al-insân pada dasarnya bersifat compatible dengan nilai-nilai Islam itu sendiri. Walaupun secara konseptual HAM lahir dalam tradisi Barat, namun harus diakui bahwa nilai-nilai penegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) itu sendiri telah menjadi ajaran yang paling fundamental dalam Islam. Hal ini bisa ditelisik dari praktek-praktek penegakan HAM yang telah lama dijalankan oleh Nabi Muhammad SAW jauh sebelum terbitnya Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal (Universal Declaration of Human Right) pada tanggal 10 Desember 1948 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Jika memang wacana HAM sedemikian substansialnya bagi kelangsungan peradaban manusia, maka apa perlunya Pondok Pesantren turut dilibatkan ke dalam wacana ini ? Jawabannya bisa dikembalikan pada kebutuhan masyarakat dalam konteks di dalam suatu bangsa. Sebagai suatu kebutuhan dalam suatu bangsa, penegakan HAM memiliki arti penting bagi upaya reposisi Negara dalam masyarakat secara lebih seimbang. Hakikat Negara, dalam konteks penegakan HAM, tidak bisa lagi menjadi kekuatan determinan yang mengontrol masyarakat secara hegemonik. Jika dicermati lebih jauh lagi, trend masyarakat dunia dalam penegakan dan perlindungan HAM pada dasarnya dapat dibagi kepada empat tahapan perkembangan. Jika pada tahapan pertama isu penegakan HAM terfokus pada Hukum dan Politik sebagai akibat situasi perang dunia II, maka pada tahapan kedua isu penegakan HAM bergerak kepada

wilayah sosial, ekonomi, dan budaya. Sementara pada tahapan ketiga, isu penegakan HAM bergerak pada upaya untuk menselaraskan secara lebih seimbang apa yang menjadi fokus penegakan HAM di taahapan pertama dan kedua. Adapun penegakan HAM pada tahapan keempat secara substansial bergerak di wilayah pemberdayaan masyarakat sipil seiring dengan menguatnya isu proses demokratisasi di negara-negara yang berusaha keluar dari belenggu otoritarianisme negara. Pada level diskursus yang terakhir inilah, HAM menjadi sesuatu yang memiliki arti penting yang konkret bagi masyarakat. Posisinya segaris lurus dengan kebutuhan akan pembentukan dan pemberdayaan masyarakat sipil di hadapan negara yang sedang berkuasa. HAM adalah jembatan yang bisa diharapkan bagi usaha untuk melakukan reposisi hubungan negara dan masyarakat secara seimbang. Tentunya, dalam usaha membangun posisi penyeimbang ini, Pesantren sebagai bagian dari masyarakat sipil mendapatkan posisi penting dalam masalah ini. Hal ini karena Pesantren merupakan center of excellence umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk Kalimantan Selatan dalam bidang pendidikan daan pembinaan umat. Namun demikian, upaya untuk menuju ke arah tersebut terhambat oleh beberapa faktor yang ada di tingkat lokal-kedaerahan. Faktor-faktor tersebut antara lain: (1) rendahnya tingkat kesadaran dan partisipasi politik masyarakat akibat ketiadaan akses bagi wacana publik lokal; (2) Posisi pesantren yang cenderung tersubordinasi ke dalam berbagai kepentingan politik dan ekonomi negara dan pemilik modal; (3) Lemahnya posisi tawar (bargaining position) Pesantren akibat pola hubungan masyarakat-negara yang tidak seimbang; (4) Kecenderungan pola keberagamaan yang ditawarkan Pesantren yang bersifat ritualistik bukannya praksistransformatif. Keempat faktor ini sering kali mendorong rendahnya daya sensitifitas dan respon Pondok Pesantren terhadap fenomena sosial yang terjadi di masyarakat dimana Pondok Pesantren itu berkembang. Padahal beberapa kebutuhan dasar yang bersifat sosial-ekonomi dari masyarakat yang sangat terkait dengan penegakan HAM yang perlu untuk segera direspon oleh Pondok Pesantren adalah maraknya tindak korupsi di lembaga-lembaga publik yang mengakibatkan lumpuhnya hak untuk memperoleh public service yang layak bagi masyarakat, di samping maraknya kerusakan lingkungan hidup akibat eksploitasi alam yang berlebihan seperti

penambangan dan penebangan liar. Faktor terakhir ini tentunya mengakibatkan hilanganya hak untuk memperoleh hidup yang layak akibat rusaknya kualitas lingkungan yang baik. Untuk lebih memperdalam wawasan dan kesadaran HAM secara lebih kontekstual dengan kondisi wilayah dimana Pondok Pesantre tersebut berada, maka LK-3 menggelar serangkaian kegiatan workshop/halaqah di beberapa Pondok Pesantren di Kalimantan Selatan sebagai tindak lanjut dari kegiatan Seminar yang telah dilaksanakan. Untuk mencapai target yang ditetapkan, kegiatan workshop/halaqah yang dilaksanakan di berbagai Pondok Pesantren yang berjumlah 41 buah ini, maka kegiatan workshop/halaqah tersebut digelar sebanyak dua putaran. Adapun daftar Pondok Pesantren se Kalimantan Selatan yang terlibat dalam kegiatan di atas sebagai berikut: NO

NAMA PONDOK PESANTREN

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 32. 33.

AL- AMIN Martapura PONDOK MODERN Cindai Alus NURUL HIDAYAH Sungai Tabuk Kab. Banjar HIDAYATULLAH Martapura NURUL MA’AD Landasan Ulin DARUL ILMI Landasan Ulin AL-ISTIQAMAH Banjarmasin NURUL JANAH Banjarmasin TMI AL-MUJAHIDIN Marabahan AL-AMIN Alalak AL-MUSLIMUN Kota Baru AL-MURADIYAH Kandangan AL-IRSYAD Nagara IBNUL AMIN Pamangkih Barabai NURUL MUHIBIN Barabai DARUL ISTIQAMAH Barabai AL ITIHAD Barabai NURUL USRAH Barabai MATHLA’UL ANWAR Rantau Bujur HSU AL-HIKMAH Alabio DARUL HIKMAH Danau Panggang DARUL ULUM Amuntai DARUSSALAM Muara Tapus AL-MUSLIMUN Amuntai NURUL MUTTAQIN Amuntai FATHURRAHMAN Awayan HSU RAUDLATUL AMIN Amuntai ASUSUN NAJAH Amuntai NU ASY-SYAFIIYAH Sungai Padang HST IRSYADUL IBAD Danau Panggang NORUSSALAM Danau Panggang ARRAUDHAH Amuntai

34. 35. 36. 36. 37. 38. 39. 40. 41.

DARUSSALAM Awayan HSU RAUDLATUL MUTA’ALLIMIN Amuntai AL HASANIYAH Paringin NURUL FAJERI Amuntai NURUL ISLAM Kurau Tanah Laut AL FATAH Pelaihari MUJAHIDIN Takisung Tanah Laut DARUSSALIM Bati-Bati Tanah Laut DARUSSALAM Martapura

Kegiatan yang dirancang untuk tahun pertama ini bertujuan mensosialisasikan wacana HAM sekaligus membangun kesadaran bersama tentang arti penting peran Pondok Pesantren dalam perbaikan kehidupan masyarakat yang lebih luas. Karena alasan begitu luasnya wilayah kerja program Jaringan Pondok Pesantren se Kalsel ini, maka pelaksanaan kegiatan tersebut kemudian dibagi kepada empat region lingkup-kerja kegiatan. Adapun pembagian region tersebut sebagai berikut REGION

RUANG LINGKUP

Mantiqah

REGION

I II III IV

Banjarmasin, Kab Batola, Banjarbaru, Kab. Banjar

Kab. Tapin, Kab. HSS, Kab. HST Kab. HSU, Kab. Balangan, Kab. Tanjung Kab. Tanah Laut, Kab. Tanah Bumbu, Kota Baru

TEMA KAJIAN HAM dan Pemberantasan Korupsi HAM dan Kerusakan Lingkungan Hidup HAM dan Pemberantasan Korupsi HAM dan Kerusakan Lingkungan Hidup

Adapun tujuan utama dari dilaksanakannya dari kegiatan workshop/halaqah, selain menggugah kesadaran Pondok Pesantren terhadap fenomena sosial yang terjadi di masyarakat, juga untuk lebih dalam mengeksplorasi pandangan kalangan Pondok Pesantren terhadap dua masalah yang diangkat, yakni korupsi dan kerusakan lingkungan, dari sisi mereka sendiri. Dalam rangkaian kegiatan workshop/halaqah, terungkap bahwa dua fenomena sosial tersebut sungguh merupakan fenomena yang sudah lazim didengar dan dilihat masyarakat yang hidup di daerah Kalimantan Selatan. Di bidang korupsi misalnya, masyarakat di daerah ini sudah begitu lazim bersentuhan dengan praktek-praktek korupsi yang terjadi di lembaga-

lembaga publik. Dampak yang sering mereka rasakan langsung antara lain rendahnya pelayan publik, berbelit-belitnya birokrasi, munculnya biaya siluman dalam setiap pelayanan publik, dan lain-lain. Sementara menyangkut fenomena kerusakan lingkungan hidup itu sendiri, banyak hal yang telah ditimbulkan oleh maraknya Penebangan Liar (Illegal Logging) dan Penambangan Liar (Illegal Mining) Batu Bara, yang saat ini sedang marak di Kalimantan Selatan. Dampak yang sangat dirasakan oleh masyarakat tersebut antara lain bencana banjir, tercemarnya air sungai, rusaknya jalan-jalan utama yang menghubungkan antar kabupaten, dan lain-lain. Kedua fenomena sosial di atas jika dibiarkan, menurut salah satu peserta workshop/halaqah, bukan saja bisa dikategorikan melanggar HAM tapi juga pada tingkat tertentu telah menistakan eksistensi agama. Alasannya, tidak lain, karena kokohnya eksistensi agama berbanding lurus dengan kokohnya sendi-sendi kehidupan dalam masyarakat. Artinya, ketika hak-hak dasar hidup seseorang yang menjadi sendi utama hidup bermasyarakat dilanggar, maka pelanggaran itu secara tidak langsung juga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat secara keseluruhan. Hal ini lantaran, unsur utama dari suatu masyarakat adalah individu-individu, yang oleh karenanya, menjaga ruang gerak individu berarti juga menjaga keutuhan masyarakat itu sendiri. Menjaga kelangsungan ruang gerak individu, untuk selanjutnya, juga berarti memelihara apa yang menjadi kebutuhan dasarnya, seperti beragama. Dengan demikian, hanya dalam kehidupan masyarakat yang utuhlah, kehidupan beragama bisa tegak dan berkembang karena keberadaan agama itu sendiri berkaitan dengan terjaganya ruang gerak seseorang dalam memperoleh hak-hak dasarnya. Secara normatif, al-Qur'ân sendiri pun secara tegas telah melarang manusia untuk berbuat kerusakan di muka bumi (fasad fî al-ardh) (QS. al-Qashash: 77 dan QS. al-Rûm: 41). Jika penebangan liar (Illegal Logging) dan penambangan liar (Illegal Mining) bisa dikategorikan merusak ekosistem kehidupan manusia dan alam secara keseluruhan, maka korupsi pada dasarnya bisa dikategorikan merusak pola hubungan sosial-ekonomi antar manusia. Inilah sesungguhnya yang dikatakan bahwa korupsi dan kerusakan lingkungan merupakan dua masalah sosial yang sangat berpotensi menghancurkan sendi-sendi kehiduapn terdasar bermasyarakat.

Namun sayangnya, dalam prakteknya, masyarakat sering tidak menyadari secara langsung akibat-akibat yang lebih besar yang ditimbulkan oleh kedua kasus tersebut. Jika pada kasus penebangan hutan dan penambangan Batu Bara masyarakat sering ter-ninabobo-kan oleh keuntungan-keuntungan ekonomi sesaat, maka dalam kasus korupsi masyarakat sering tidak mampu melihat seberapa jauh akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan korupsi terhadap kehidupan masyarakat secara luas. Di sinilah, arti penting diangkatnya wacana HAM sebagai basis issue utama dalam konteks pembentukan Jaringan Pondok Pesantren. Selain ingin membangun kesadaran di tingkat masyarakat tentang dampak dari kedua kasus tersebut, kegiatan ini juga bertujuan untuk mendorong Pondok Pesantren mengambil bagian dari usaha bersama memperbaiki dan mengembalikan hak-hak masyarakat dalam mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Di samping kegiatan workshop/halaqah tersebut, LK-3 juga menerbitkan dan mendistribusikan buletien Jum'at al-Harakah setiap dua kali sebulan ke Pondok-Pondok Pesantren. Tujuannya tidak lain untuk memperkuat issue-issue kajian yang telah dikembangkan dalam workshop/halaqah di setiap region. Puncak dari seluruh rangkaian kegiatan "Program Penyadaran HAM Berbasis Jaringan Pondok Pesantren se Kalsel" pada tahun pertama ini adalah dilaksanakannya kegiatan "Lokakarya Membangun Jaringan Pondok Pesantren se Kalimantan Selatan" pada tanggal 25 – 27 Juni 2004 di Banjarmasin. Hasilnya adalah keinginan mereka untuk terus mewujudkan secara konkret peran sosial Pondok Pesantren di tengah-tengah masyarakat lewat basis Jaringan. Melalui musyawarah yang hangat, kalangan Pondok Pesantren se Kalsel akhirnya berhasil membentuk struktur jaringan tersebut sebagai berikut:

Koordinator Wilayah KH. M. Zarkasi Hasby Anggota: - Ust. Abdurrahman - Mariatul Asiah

Mantiqah/Region I Banjarmasin Banjarbaru Martapura Marabahan Tanah Laut

Mantiqah/Region III Barabai Amuntai Balangan Tanjung

Mantiqah/Region II Binuang Rantau Kandangan Nagara

Mantiqah/Region IV Kota Baru Tanah Bumbu

Dengan adanya Jaringan Pondok Pesantren se Kalimantan Selatan Berbasis Issue HAM ini, maka telah direncanakan sebuah program kerja untuk tahun II dan tahun III yang berisi kajian HAM yang terkait dengan korupsi dan kerusakan lingkungan hidup, penguatan kapasitas internal jaringan, dan advokasi. Untuk keperluan itu, LK-3 bersama PondokPondok Pesantren yang terlibat telah menyiapkan serangkaian kegiatan forum Bahtsul Masail, pelatihan capacity building, penerbitan media bersama berupa majalah Pesantren, penulisan dua buah buku saku tentang korupsi dan lingkungan hidup, dan seminar. Muara dari seluruh rangkaian kegiatan tahun kedua ini nantinya adalah digelarnya serangkaian kegiatan advokasi di tingkat riil masyarakat. Usaha-usaha yang dilakukan oleh LK-3 Banjarmasin bersama Pondok Pesantren se Kalimantan Selatan ini, pada dasarnya, merupakan wujud dari visi LK-3 yang ingin mewujudkan masyarakat sipil yang transformatif. Adapun posisi Pondok Pesantren sendiri dalam konteks kegiatan ini adalah mendorong Pondok Pesantren di Kalimantan Selatan menjadi pilar utama masyarakat sipil di daerah ini []

Related Documents


More Documents from ""