Interaksi Obat Oleh Ita.docx

  • Uploaded by: Ita Lobow
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Interaksi Obat Oleh Ita.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,655
  • Pages: 24
MAKALAH INTERAKSI OBAT “STUDY KASUS PADA INTERAKSI OBAT”

Dosen: Dra.Refdanita,Msi,Apt.

Disusun oleh: Theodora Yonita Matie(16330090) Kelas C (FARMAKOTERAPI)

PROGRAM STUDI FARMASI S1 FAKULTAS FARMASI INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL AGUSTUS 2018 1

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,atas berkat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas makalah dari mata kuliah Interaksi Obat tepat pada waktunya. Makalah ini membahas tentang study kasus interaksi obat. Study kasus interaksi obat yang dibahas dalam makalah ini adalah Studi Interaksi Obat dan Reaksi Obat Merugikan pada Pasien HIV/AIDS dengan Koinfeksi Tuberkulosis. Selain kasus interaksi obat yang dibahas dalam makalah ini,masih banyak kasus interaksi obat yang terjadi tanpa kita sadari.Oleh karena itu,penulis berharap semoga makalah ini mendapat perhatian dan respon yang baik dari Ibu Dosen dan bermanfaat bagi pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini banyak kekurangan dari segi isi maupun bahasnya,diharapkan kritik dan saran yang sifatnnya membangun demi menyempurnakan makalah ini.

Jakarta, Oktober 2018

Penulis

i

DAFTAR ISI

BAB I.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1

1.2 Rumusan Masalah

2

1.3 Tujuan

2

BAB II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Interaksi Obat

3

2.2 Pengertian Tuberkulosis

5

2.3 Pengertian HIV/AIDS

6

BAB III. PEMBAHASAN 3.1 Interaksi Obat Pada Pengobatan HIV/AIDS dan TBC

8

3.2 Dampak Klinis Interaksi Obat Rimfanycin dan OAT

11

3.3 Pencegahan Penyakit HIV/AID dengan koinfeksi TBC

17

BAB IV.PENUTUP 4.1 Kesimpulan

20

4.2 Saran

20

DAFTAR PUSTAK

21

ii

BAB I.PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat dengan bahanbahan lain tersebut termasuk obat tradisional dan senyawa kimia lain. Interaksi obat yang signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat sekaligus dalam satu periode (polifarmasi ) digunakan bersama-sama. Pasien yang dirawat di rumah sakit sering mendapat terapi dengan polifarmasi (6-10 macam obat) karena sebagai subjek untuk lebih dari satu dokter, sehingga sangat mungkin terjadi interaksi obat terutama yang dipengaruhi tingkat keparahan penyakit atau usia. Dalam pengetahuan luas,interaksi obat dapat dipisahkan menjadi dua.Pertama ,interaksi obat terjadi melalui mekanisme farmakokinetik.Studi terhadap farmakokinetik suatu obat meliputi tahapan absorpsi,metabolisme,dan ekskresi obat yang dimaksud.Obat dapat dikatakn bereaksi melalui farmakokinetik jika interaksi antara dua obat mempengaruhi absorbsi,distribusi ,metabolisme,atau ekskresi salah satu obat.Ada 3 nilai penting yang menggambarkan kurva farmakokinetik suatu obat didalam tubuh:Cmax merupakan konsentrasi maksimal yang dicapai sebelum konsentrasi obat mulai turun sedangkan Cmin adalah konsentrasi minimal yang dicapai diakhir interval pemberian obat. Kedua , obat dapat berinteraksi melalui mekanisme farmakodinamik.Deteksi interaksi farmakodinamikmemerlukan pengetahuan tentang farmakologi obat yang dimaksud misalnya obat dapat berinteraksi dengan menghasilkan efek antagonis satu sama lain.Selain itu obat dapat berinteraksi dengan menimbulkan efek negatif sinergis atau dengan memproduksi efek farmakodinamik tak langsung.Pada interaksi farmakodinamik,terjadi perubahan kadar obat objek oleh

karena

perubahan

pada

proses

absorbsi,distribusi,metabolisme

dan

ekskresi

obat.Padainteraksi ini tidak terjasdi perubahan kadar obat obyek dalam darah.Tetapi yang terjadi adalah perubahan efek obat obyekyang disebabkan oleh obat presipitan karena pengaruhnya pada tempat kerja obat.Artinya ada perubahan tindakan obat tanpa perubahan konsentrasi serum melalui faktor-faktor farmakokinetik. 1

Interaksi obat secara klinis penting bila berakibat peningkatan toksisitas dan/atau pengurangan efektivitas obat. Jadi perlu diperhatikan terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya glikosida jantung, antikoagulan dan obat-obat sitostatik. Selain itu juga perlu diperhatikan obat-obat yang biasa digunakan bersama-sama.

1.2 Rumusan Masalah Bagaimana interaksi obat yang terjadi pada pengobatan penyakit TBC dan HIV/AIDS secara bersamaan. 1.3.Tujuan Mengetahui interaksi obat yang terjadi dalam studi kasus pengobatan penyakit TBC dan HIV secara bersamaan.

2

BAB II.TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Interaksi Obat Interaksi obat merupakan efek suatu obat yang disebabkan bila dua obat atau lebih berinteraksi dan dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap pengobatan. Hasilnya berupa peningkatan atau penurunan efek yang dapat mempengaruhi outcome terapi pasien (Yasin et al., 2005).Menurut Tatro (2006) interaksi obat dapat terjadi minimal melibatkan 2 jenis obat, yaitu : a) Obat obyek, yaitu obat yang aksinya atau efeknya dipengaruhi atau diubah oleh obat lain. b) Obat presipitan, yaitu obat yang mempengaruhi atau mengubah aksi atau efek obat lain. 2.1.1.Tipe Interaksi Obat Menurut Hussar (2007) tipe interaksi obat-obat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu: a) Duplikasi yaitu ketika dua obat yang sama efeknya diberikan, efek samping mungkin dapat meningkat. b) Opposition yaitu ketika dua obat dengan aksi berlawanan diberikan bersamaan dapat berinteraksi, akibatnya menurunkan efektivitas obat salah satu atau keduanya. c) Alteration yaitu ketika suatu obat mungkin dirubah melalui absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi oleh obat lain. 2.1.2. Mekanisme interaksi obat Berdasarkan mekanismenya, interaksi dapat dibagi menjadi interaksi yang melibatkan aspek farmakokinetika obat dan interaksi yang mempengaruhi respon farmakodinamik obat.Beberapa interaksi obat yang dikenal merupakan kombinasi lebih dari satu mekanisme (Fradgley, 2003). a. Interaksi Farmakokinetik Merupakan interaksi yang terjadi apabila satu obat mengubah absorbsi, distribusi, biotransformasi atau eliminasi obat lain. Absorpsi dapat diubah jika obat pengubah pH atau motilitas diberikan secara bersamaan, seperti yang tampak pada pengobatan 3

antitukak atau antidiare tertentu (tetrasiklin dan kation divalen, kolestiramin dan obat anion). Perubahan distribusi dapat disebabkan oleh kompetisi untuk ikatan protein (ikatan obat sulfa dan bilirubin pada albumin) atau pergeseran dari tempat ikatan-jaringan (digitalis dan pemblok kanal kalsium atau kuinidin). Pada perubahan biotransformasi atau metabolisme, sebagai contoh induksi digambarkan dengan jelas oleh pengobatan antikonvulsan utama, yaitu fenitoin, karbamazepin dan barbiturat, sedangkan inhibisi dapat ditimbulkan oleh antimikroba kuinolon, makrolida, dan golongan azol. Pada perubahan ekskresi dapat pula dimodifikasi oleh obat pengubah pH urin, seperti pada inhibitor karbonat anhidrase, atau mengubah jalur sekresi dan reabsorpsi, seperti yang disebabkan oleh probenesid. Interaksi farmakokinetika secara umum menyebabkan perubahan konsentrasi obat aktif atau metabolit dalam tubuh, yang memodifikasi respon terapeutik yang diharapkan (Ashraf, 2012). b. Interaksi Farmakodinamik Interaksi farmakodinamik terjadi antara obat-obat yang mempunyai efek samping yang serupa atau berlawanan. Interaksi ini disebabkan oleh kompetisi pada reseptor yang sama atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada sistem fisiologi yang sama. Interaksi farmakodinamik dapat diekstrapolasi ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi, karena penggolongan obat memang berdasarkan persamaan efek farmakodinamiknya. Disamping itu, kebanyakan efek farmakodinamik dapat diramalkan kejadiannya, karena itu dapat dihindarkan bila dokter mengetahui mekanisme keja obat yang bersangkutan (Ganiswara, 1995). Menurut Stockley et al (2003) kemungkinan efek yang dapat terjadi pada interaksi farmakodinamik antara lain : 1) Sirnegisme atau penambahan efek satu atau lebih obat. 2) Efek antagonisme satu atau lebih obat. 3) Penggantian efek satu atau lebih obat. Interaksi obat yang umum terjadi adalah sirnegisme antara dua obat yang bekerja pada sistem,organ, sel atau enzim yang sama dengan efek farmakologi yang sama. Sebaliknnya antagonisme terjadi bila obat yang berinteraksi memiliki efek farmakologi yang berlawanan. Hal ini mengakibatkan pengurangan hasil yang diinginkan dari satu atau lebih obat (Fradgley, 2003).

4

2.1.3. Clinical Significance Clinical significance adalah derajat dimana obat yang berinteraksi akan mengubah kondisi pasien. Clinical significance dikelompokan berdasarkan keparahan dan dokumentasi interaksi yang terjadi. Level signifikansi menurut Tatro (2006) terdapat pada Tabel 1. Tabel 1. Level Signifikansi Interaksi. Nilai

Keparahan

Dokumentasi

1

Mayor

Suspected,Probable,Established

2

Moderat

Suspected,Probable,Established

3

Minor

Suspected,Probable,Established

4

Mayor atau Moderat

Possible

Minor

Possible

Mayor,Moderat,Minor

Unlikely

5

Terdapat 5 macam dokumentasi interaksi,yaitu Established ( interaksi obat sangat mantap terjadi), Probable (interaksi obat dapat terjadi) ,Suspecte(interaksi obat diduga terjadi), Possible (interaksi obat belum pasti terjadi), Unlikely (kemungkinan besar interaski obat tidak terjadi.Derajat keparahan akibat interaksi diklasifikasikan menjadi minor(dapat diatasi dengan baik),moderat (efek sedang,dapat menyebabkan kerusakan organ), mayor (efek fatal,dapat menyebabkan kematian) (Tatro,2006). 2.2.Pengertian Tuberculosis Tuberculosis merupakan penyakit infeksi bakteri menahun yang disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis yang ditandai dengan pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi. Mycobacterium tuberculosis adalah kuman aerob yang dapat hidup terutama di paru atau berbagai organ tubuh lainnya yang bertekanan parsial tinggi. Penyakit tuberculosis ini biasanya menyerang paru tetapi dapat menyebar ke hampir seluruh bagian tubuh termasuk meninges, ginjal, tulang, nodus limfe. Infeksi awal biasanya terjadi 2-10 minggu setelah

5

pemajanan. Individu kemudian dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau ketidakefektifan respon imun. Mycobakterium tuberculosis merupakan batang aerobic tahan asam yang tumbuh lambat dan sensitive terhadap panas dan sinar UV. Pada tuberculosis, basil tuberculosis menyebabkan suatu reaksi jaringan yang aneh di dalam paru-paru meliputi : penyerbuan daerah terinfeksi oleh makrofag, pembentukan dinding di sekitar lesi oleh jaringan fibrosa untuk membentuk apa yang disebut dengan tuberkel. Banyaknya area fibrosis menyebabkan meningkatnya usaha otot pernafasan untuk ventilasi paru dan oleh karena itu menurunkan kapasitas vital, berkurangnya luas total permukaan membrane respirasi yang menyebabkan penurunan kapasitas difusi paru secara progresif, dan rasio ventilasi-perfusi yang abnormal di dalam paru-paru dapat mengurangi oksigenasi darah. 2.3 Pengertian HIV AIDS ( Acquired Immune Deficiency Syndrome ) adalah sekumpulan gejala dan infeksi yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV; atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lainlain).Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan. AIDS merupakan bentuk terparah atas akibat infeksi HIV. HIV adalah retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan manusia, seperti sel T CD4+ (sejenis sel T), makrofaga, dan sel dendritik. HIV merusak sel T CD4+ secara langsung dan tidak langsung, padahal sel T CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. Bila HIV telah membunuh sel T CD4+ hingga jumlahnya menyusut hingga kurang dari 200 per mikroliter darah, maka kekebalan di tingkat sel akan hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS. Infeksi akut HIV akan berlanjut menjadi infeksi laten klinis, kemudian timbul gejala infeksi HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang diidentifikasi dengan memeriksa jumlah sel T CD4+ di dalam darah serta adanya infeksi tertentu. 6

Tanpa terapi antiretrovirus, rata-rata lamanya perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS ialah sembilan sampai sepuluh tahun, dan rata-rata waktu hidup setelah mengalami AIDS hanya sekitar 9,2 bulan. Namun demikian, laju perkembangan penyakit ini pada setiap orang sangat bervariasi, yaitu dari dua minggu sampai 20 tahun. Banyak faktor yang mempengaruhinya, diantaranya ialah kekuatan tubuh untuk bertahan melawan HIV (seperti fungsi kekebalan tubuh) dari orang yang terinfeksi.Orang tua umumnya memiliki kekebalan yang lebih lemah daripada orang yang lebih muda, sehingga lebih berisiko mengalami perkembangan penyakit yang pesat. Akses yang kurang terhadap perawatan kesehatan dan adanya infeksi lainnya seperti tuberkulosis, juga dapat mempercepat perkembangan penyakit ini. Warisan genetik orang yang terinfeksi juga memainkan peran penting. Sejumlah orang kebal secara alami terhadap beberapa varian HIV. HIV memiliki beberapa variasi genetik dan berbagai bentuk yang berbeda, yang akan menyebabkan laju perkembangan penyakit klinis yang berbeda-beda pula. Terapi antiretrovirus yang sangat aktif akan dapat memperpanjang rata-rata waktu berkembangannya AIDS, serta rata-rata waktu kemampuan penderita bertahan hidup.

7

BAB III.PEMBAHASAN

3.1 Interaksi Obat pada Pengobatan HIV dan TBC Di beberapa negara, pasien menjalani perawatan TBC bersamaan dengan perawatan HIV. Perawatan TBC menggunakan obat anti TBC rifampicin akan mengganggu kerja obat antiretrovirus berbasis nevirapine. Obat antiretrovirus berbasis nevirapine merupakan obat yang dipakai dalam perawatan HIV yang banyak dipakai di negara berkembang karena harganya yang murah. Menurut peneliti, kedua obat ini apabila diberikan secara bersamaan akan memberikan efek toksisitas dan interaksi obat yang berlawanan. Sebelumnya juga telah diketahui bahwa terapi anti TBC berbasis rifampicin dapat mengurangi konsentrasi obat antiretrovirus efavirenz dan nevirapine dalam plasma darah, namun masih belum jelas bagaimana interaksi ini dapat mempengaruhi virus.

Gambar 1. Paru-paru manusia dan virus HIV

Dalam buku Pedoman Nasional Penanggulangan TB di Indonesia (DepKes RI 2002) disebutkan bahwa prosedur pengobatan penderita TB dengan HIV/AIDS adalah sama dengan TB tanpa HIV/AIDS. Namun beberapa penelitian telah melaporkan beberapa permasalahan yang timbul pada pengobatan TB dengan HIV/AIDS. Pengggunaan antiretrovirus pada penderita HIV/AIDS yang sedang dalam pengobatan dengan obat antituberkulosis (OAT) dapat menimbulkan beberapa permasalahan yaitu adanya tumpang 8

tindih toksisitas dari obat antiretrovirus dan OAT, malabsorbsi OAT, interaksi OAT dan obat antiretrovirus yang kompleks, serta adanya reaksi paradoksal.

3.1.1 Efek Toksik OAT dan Obat Antiretrovirus Yang Tumpang Tindih Pemakaian OAT dan obat antiretrovirus secara bersamaan dapat menyebabkan efek samping yang sering kali sulit ditentukan penyebabnya. Efek samping OAT sering didapatkan pada penderita TB dengan HIV/AIDS. Obat antiretrovirus dapat juga menimbulkan efek samping, sehingga penggunaan kedua golongan obat-obat tersebut dapat menyebabkan timbulnya efek samping yang saling tumpang tindih ( tabel 1). Untuk menghindari efek tersebut maka dilakukan penyederhanaan pengobatan dengan cara menunda pemberian antiretrovirus hingga 1-2 bulan untuk mempermudah deteksi dini efek samping OAT. Tabel 2. Gambaran klinis efek samping obat yang tumpang tindih akibat OAT lini pertama dan obat antiretrovirus Efek Samping

Kemungkinan penyebab Obat anti TB

Obat-obat antiretrovirus

Pyrazinamide,Rifampin, Nevirapine,Delavirdine, Skin rash Mual, muntah

Rifabutin, INH Pyrazinamide,

Efavirenz, Abacavir Nevirapine,Delavirdine,

Rifampin, Rifabutin, Efavirenz, Abacavir INH Hepatitis

Pyrazinamide, Rifampin, INH

Nevirapine,

Rifabutin, perbaikan setelah antiretrovirus penderita

PI, respon pemberian pada dengan

hepatitis virus kronik

9

3.1.2 Permasalahan farmakokinetik obat dalam pengobatan TB dengan HIV/AIDS Dalam pengobatan TB dengan HIV/AIDS ada 2 permasalahan mengenai farmakokinetik obat yaitu adanya kemungkinan malabsorbsi OAT, dan adanya interaksi yang kompleks antara obat antiretrovirus dengan Rifamycins yang merupakan obat utama untuk pengobatan TB jangka pendek. Saat ini data yang mengenai kecenderungan malabsorbsi OAT pada penderita HIV/AIDS masih kontroversi. Tailer S dkk (1997), dalam penelitiannya mendapatkan bahwa konsentrasi OAT dalam serum penderita HIV/AIDS lebih rendah. Untuk mengatasi hal ini beberapa peneliti menganjurkan untuk melakukan monitoring konsentrasi OAT dalam darah. Walaupun demikian dari beberapa penelitian mengenai efektifitas pengobatan TB pada HIV/AIDS dengan obat-obat lini pertama (Rifampisin, INH, Ethambutol, Pirazinamid) ternyata didapatkan angka cure rate 95% yang hampir menyamai respon pengobatan pada penderita TB tanpa HIV/AIDS. Data ini menunjukkan bahwa standard yang ada mengenai konsentrasi OAT dalam serum pada orang yang normal tidak dapat dipakai sebagai therapeutic ranges. Monitoring obat dianjurkan untuk dilakukan hanya pada keadaan dimana respon terapi terhadap OAT lini pertama tidak adekuat. 3.1.3 Interaksi antara obat golongan Rifamycin dengan obat antiretrovirus Saat ini regimen antiretrovirus biasanya terdiri dari 3 atau lebih obat dari dua atau tiga kelas yang berbeda yaitu nucleoside analogues, non nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs) dan protease inhibitors (PIs). Dua dari kelas ini yaitu NNRTIs dan PIs dapat berinteraksi dengan Rifamycin. Interaksi antara obat-obat antiretrovirus dan Rifamycin terjadi melalui sistem cytochrome P450-3A (CYP3A) yang terdapat pada dinding usus dan hati. Rifamycin merupakan inducer CYP3A, sehingga dapat

menurunkan kadar obat-obat yang

dimetabolisme oleh sistem enzim tersebut. Kekuatan induksi CYP3A obat-obat golongan Rifamycin berbeda-beda. Rifampin merupakan inducer yang paling kuat kemudian Rifapentine dengan kekuatan menengah serta Rifabutin yang paling lemah. Protease inhibitor dan NNRTI dimetabolisme oleh CYP3A sehingga kadar kedua golongan obat tersebut dalam darah akan dipengaruhi oleh Rifamycin. Delavirdine dan PI merupakan inhibitor CYP3A sehingga dapat meningkatkan kadar obat-obat yang dimetabolisme oleh sistem enzim ini. Rifabutine merupakan substrat dari CYP3A 10

sehingga hambatan pada CYP3A akan meningkatkan kadar Rifabutin hingga mencapai kadar yang toksik. Sedangkan untuk Rifampin dan Rifapentin walaupun keduanya adalah inducer CYP3A, tetapi bukan merupakan substrat enzim tersebut, sehingga hambatan pada CYP3A tidak akan mempengaruhi kadar kedua obat tersebut.

3.2 Dampak klinis interaksi antara Rifamycin dengan obat antiretrovirus Beberapa interaksi obat dari kedua golongan obat tersebut dapat menimbulkan efek yang dramatis sehingga tidak boleh digunakan secara bersama-sama. Rifampin dapat menyebabkan penurunan kadar obat PIs (kecuali Ritoravir) hingga 75-95%, sehingga menyebabkan penurunan aktifitas antivirus yang nyata dan akibatnya dapat mempercepat timbulnya resistensi terhadap PIs tersebut. Selain itu kadar Delavirdine akan menurun hingga > 90% bila diberikan bersama-sama Rifampin atau Rifabutin sehingga obat antiretrovirus tersebut tidak boleh digunakan bersamasama dengan semua golongan Rifamycin. Sebaliknya Rifabutin bila diberikan dengan dosis standard (300 mg/hari) bersama-sama dengan PIs dapat menyebabkan peningkatan kadarnya hingga 2-4 kali lipat sehingga menyebabkan efek samping. Untuk menghindari hal tersebut maka diperlukan modifikasi dosis Rifabutin.

3.2.1 Tatalaksana penanganan interaksi antara obat golongan Rifamycin dan obat antiretrovirus Jika penderita HIV/AIDS dengan infeksi TB memerlukan obat antiretrovirus maka untuk pengobatan tuberkulosisnya sebaiknya digunakan Rifabutin. Rifabutin dapat diberikan bersama dengan obat golongan NNRTIs (kecuali Delavirdine). Rifabutin mempunyai efektifitas yang sama dengan Rifampin untuk pengobatan tuberkulosis dengan atau tanpa HIV. Untuk menghindari toksisitas maka dosis harian Rifabutin harus dikurangi menjadi 150 mg/hari bila diberikan bersamaan dengan PI (kecuali Saquinavir). Pengobatan dengan cara DOTS sangat dianjurkan dengan pemberian Rifabutin secara intermiten. Pada pemberian Rifabutin secara intermiten yang perlu diperhatikan adalah harus dihindarkan pemberian dosis yang tidak adekuat. Karena itu pedoman terapi yang saat ini dianjurkan adalah Rifabutin 450 – 600 mg bila diberikan bersama Efavirenz, dan bila diberikan 2 11

– 3 kali seminggu bersama dengan PI ( kecuali Ritonavir ) digunakan dosis 300 mg/hari. Bila diberikan bersama dengan Ritonavir maka dosisnya dikurangi menjadi 150 mg 2 kali seminggu ( tanpa Ritonavir dosis ini sebanding dengan Rifabutin 300 mg perhari ). Bila Rifabutin digunakan bersama dengan 2 obat dari golongan PI atau diberikan bersama dengan PI dan NNRTI akan terjadi interaksi obat yang lebih kompleks sehingga menimbulkan dampak yang masih harus diteliti lebih lanjut. Untuk sementara ini dosis Rifabutin yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 3. Rekomendasi dosis Rifabutin dan antiretrovirus selama terapi kombinasi Regimen antiretrovirus

Dosis Rifabutin

Penyesuaian dosis antiretroviruss

Turun hingga 150 mg jika Nelfinavir 1250 mg

Protease Inhibitor(PI) Nelfinavir,Indimavir

atau Rimfabutin di beri tiap hari;

Amprenavir(+ 2 nucleoside)

tiap 12 jam Indinavir:tingkatkan sampai

1000

mg

tiap 8 jam (bila perlu) Amprenavir : tetap Saquinavir(+2 necleoside)

300 mg/hari atau intermiten

Tingkatkan sampai 1600 mg tiap 8 jam (bila perlu)

Ritonavir (+ 2 nucleoside,PI Turunkan sampai 150 mg dua − lain,dgn/atau nonnucleoside) kali seminggu Lopinavir/Ritonavir(+2

Turunkan sampai 150 mg dua −

nucleoside dgn/atau suatu kali seminggu nonnucleosidereversetranscriptase inhibitor) NNRTI

Tingkatkan Rifabutin sampai −

Efavirenz (+ 2 nucleoside)

450-600 mg, tiap hari atau dua kali seminggu

12

Nevirapine ( + 2 nucleoside)

300 mg tiap hari

atau −

intermiten

300

Nucleoside

mg

tiap

hari

atau −

tiap

hari

atau Tingkatkan

Dua atau triple nucleoside intermiten (mis.

Zidovudine,

Lamivudine dan Abacavir) PI + NNRTI

300

mg

dosis

Efavirenz /Nevirapine + PI intermiten

Indinavir

seperti

(kec. Ritonavir)

diatas (bila perlu)

3.2.2 Reaksi paradoksal (Immune Restoration Syndromes) Reaksi paradoksal adalah perburukan sesaat dari gejala dan tanda-tanda manifestasi radiologis TB yang terjadi setelah dimulainya pengobatan TB dan bukan disebabkan oleh kegagalan terapi atau adanya proses sekunder. Reaksi paradoksal ini sudah mulai didapatkan sebelum era HIV/AIDS dan pada penderita yang imunokompeten reaksi ini diduga merupakan gambaran reaktifitas sistem imun terhadap antigen yang dilepaskan oleh kuman TB yang mati akibat OAT. Pada era pengobatan antiretrovirus yang efektif reaksi paradoksal ini sering di dapatkan dan umumnya terjadi setelah dimulainya pemberian obat antiretrovirus. Berkaitan dengan waktu timbulnya maka reaksi paradoksal pada penderita HIV ini terjadi akibat perbaikan respon imun terhadap antigen Mycobacterium. Manifestasi reaksi paradoksal dapat ringan misalnya demam atau dapat juga berat sampai menyebabkan gagal nafas akut. Gejala klinis reaksi paradoksal yang berkaitan dengan pengobatan antiretrovirus adalah demam, pembesaran kelenjar getah bening, timbul infiltrat baru atau perburukan dari infiltrat yang sudah ada sebelumnya, serositis (pleuritis perikarditis, asites), lesi kulit dan lesi desak ruang pada susunan saraf pusat. Reaksi paradoksal dapat juga terjadi pada penderita yang belum mendapatkan obat antiretrovirus. Pada dua penelitian didapatkan 13

bahwa persentase terjadinya reaksi paradoksal masing- masing adalah 36 % ( 12 kasus dari 33 penderita) dan 32 % ( 6 kasus dan 19 penderita) pada penderita yang mulai diterapi dengan antiretrovirus. Reaksi paradoksal tidak berkaitan dengan regimen antiretrovirus tertentu maupun gabungan obat tertentu dan umumnya terjadi pada penggunaan kombinasi antiretrovirus. Sebagian besar reaksi paradoksal terjadi pada penderita HIV yang lanjut dengan jumlah CD4 rata-rata 35 /mm3 dengan rata rata jumlah RNA 581.694 copies/ml. Faktor risiko untuk terjadinya reaksi paradoksal berkaitan dengan patogenesis perbaikan respon imun. Penderita dengan jumlah sel CD4 basal yang lebih rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya reaksi paradoksal pada SSP. Hal ini terjadi karena adanya penyebaran kuman TB akibat jumlah sel CD4 yang rendah. Supresi HIV RNA yang lebih berat berkaitan dengan peningkatan risiko reaksi paradoksal akibat perbaikan respon imun yang lebih nyata. Demikian juga dengan pemberian obat antiretrovirus yang dimulai dalam 2 bulan pertama pengobatan TB akan meningkatkan risiko reaksi tersebut. Diagnosis reaksi paradoksal seringkali dibuat setelah menyingkirkan kemungkinan adanya kegagalan pengobatan TB, hipersensitifitas terhadap obat, serta kemungkinan adanya infeksi lain. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan tergantung dari gambaran klinis yang ada. Pemeriksaan foto toraks, kultur M.TBC, aspirasi / biopsi kelenjar getah bening dapat dilakukan sesuai indikasi. Penanganan reaksi paradoksal belum diteliti secara khusus. Reaksi ringan sampai sedang dapat diatasi dengan pemberian obat antiinflamasi nonsteroid. Bila reaksi paradoksal yang timbul cukup berat misalnya pembesaran kelenjar getah bening yang nyata sehingga menimbulkan gangguan anatomis misalnya kesulitan bernafas, menelan, lesi desak ruang pada SSP dapat diatasi dengan pemberian steroid atau dengan menghentikan sementara obat antiretrovirus

3.2.3 Tatalaksana pemberian obat anti tuberkulosis pada penderita HIV / AIDS Dianjurkan untuk menggunakan regimen yang mengandung Rifamycin karena waktu pemberiannya lebih singkat dan lebih dapat ditoleransi oleh penderita sehingga diharapkan 14

kegagalan pengobatan dan kekambuhan akan lebih kecil. Strategi DOTS dapat digunakan untuk meningkatkan kepatuhan berobat penderita. Lama pemberian OAT pada penderita TB dengan HIV/AIDS masih kontroversi. Centers of Disease Control and Prevention menganjurkan pengobatan selama 6 bulan tetapi bila gejala klinis masih ada atau bila kultur setelah 2 bulan terapi masih positif dianjurkan ditambah hingga total 9 bulan untuk menghindari terjadinya interaksi antara obat anti TB dan antiretrovirus maka pemberian obat-obat tersebut harus diatur sedemikian rupa dengan memperhatikan kondisi penderita. (gambar 1) Bila penderita dengan TB aktif baru diketahui menderita HIV maka harus ditentukan apakah pemberian antiretrovirus harus diberikan segera atau tidak. Penderita HIV stadium dini (jumlah Sel CD4 > 300/mm3 ) mempunyai risiko yang rendah untuk terjadinya perburukan HIV, maka untuk pengobatan TB dapat diberikan regimen OAT yang mengandung Rifampin sementara obat antiretrovirusnya ditunda sampai pengobatan infeksi TB selesai ( bila memungkinkan ). Sementara diberikan obatobat OAT dilakukan pemeriksaan CD4 serial. Bahkan pada penderita dengan jumlah CD4 yang rendah sekalipun pemberian antiretrovirus sedapat mungkin/sebaiknya ditunda sampai fase inisial pengobatan TB selesai. Penundaan ini bertujuan untuk mempermudah penatalaksanaan efek samping OAT yang mungkin timbul serta untuk mengurangi kemungkinan timbulnya immune restorationsyndromes. Pengobatan TB pada penderita HIV/AIDS yang sedang dalam terapi antiretrovirus sedikit lebih kompleks. Bila obat antiretrovirus yang diberikan ternyata efektif dalam meningkatkan jumlah sel CD4 dan mengurangi viral load maka regimen anti TB yang digunakan adalah yang mengandung Rifabutin dengan dosis yang disesuaikan ( tabel 1), dan obat antiretrovirus diteruskan. Penderita yang tidak dapat menggunakan golongan Rifamycin karena timbul efek samping maka sebagai penggantinya dapat digunakan Streptomisin. Bila antiretrovirus yang digunakan ternyata tidak efektif maka obat-obat tsb sebaiknya dihentikan dan diberikan OAT. Obat antiretrovirus diberikan lagi setelah 2 bulan pengobatan OAT. Regimen yang dipilih adalah yang mengandung Rifabutin. Bila pada fase inisial digunakan regimen yang mengandung Rifampin maka 2 minggu sebelum pemberian antiretrovirus Rifampin harus diganti dengan Rifabutin. Substitusi tersebut bertujuan agar dapat menghilangkan efek Rifampin terhadap CYP3A. Dari berbagai macam kombinasi obat antiretrovirus yang ada saat ini, pilihan yang dianjurkan adalah mengandung Nelfinavir ditambah dengan 2 golongan nukleosida karena pemberiannya adalah 2x /minggu sehingga bila terjadi interaksi obat mudah untuk diatasi. 15

Immune restoration syndromes sering kali ditemukan dan kadang-kadang manifestasinya cukup berat, karena itu pasien dan dokter harus senantiasa waspada akan kemungkinan timbulnya manisfestasi tersebut. Pasien harus segera dievaluasi setelah pemberian antiretrovirus untuk mengidentifikasi dan mengatasi gejala tersebut. Koordinasi yang baik antara tenaga kesehatan yang bergerak dalam program pemberantasan TB dan program perduli HIV/AIDS diperlukan selama pengobatan TB dengan HIV/AIDS.(Tabel 3) Tabel 3. Rekomendasi tatalaksana pemberian obat-obat antiretrovirus pada penderita HIV/AIDS dengan TB Permasalahan

Anjuran Penanganan

Efek samping yang tumpang tindih antara

Tunda pemberian obat antiretrovirus hingga

OAT dan obat antiretrovirus

1-2

bulan

untuk

mempermudah

mengidentifikasi dan mengatasi efek samping OAT. Interaksi antara obat-obat golongan Rifamycins



dengan antiretrovirus (PIs dan NNRTIs).

Gunakan Rifabutin dengan dosis yang disesuaikan.



Gunakan Rifampin dengan Efavirenz atau Ritonavir (dengan dosis > 400 mg, 2 kali sehari).



Komunikasi yang baik antara tenaga kesehatan .



Tunda pemberian obat antiretrovirus bila jumlah CD4 relatif tinggi ( > 300/mm3).

Reaksi paradoksal setelah pemberian obat

Penderita dengan jumlah sel CD4 yang

antiretrovirus.

rendah

pemberian

antiretrovirus

ditunda

sampai infeksi TB membaik (tunda hingga 2 bulan pengobatan OAT). Kewaspadaan penderita dan tenaga kesehatan 16

akan gejala reaksi paradoksal. Membuat rencana evaluasi segera setelah pemberian antiretrovirus untuk mendeteksi reaksi paradoksal secara dini.

3.3 Pencegahan TB pada HIV/AIDS American Thoracic Society (ATS) dan Center for Disease Control and Prevention CDC) tahun 1999 menggunakan nomenklatur baru untuk kemoprofilaksis TB yang selama ini digunakan yaitu pengobatan infeksi laten TB (Latent Tuberculosis Infection/LTBI). Infeksi laten TB adalah individu dengan tes tuberkulin positif, sedangkan secara klinis, bakteriologis dan radiologis tidak didapatkan tanda-tanda infeksi TB yang aktif.Tes tuberkulin dianggap positif pada penderita AIDS bila diameter indurasi  5 mm. Pengobatan LTBI yang dianjurkan oleh ATS dan CDC (1999) terdiri dari 2 pilihan yang memberikan efektifitas yang sama yaitu INH 5 mg/kg BB (maksimal 300 mg) yang diberikan selama 9 bulan dan kombinasi Rifampin 10 mg/kgBB (maksimal 600 mg) perhari + Pyrazinamide 15-20 mg/kgBB (maksimal 2 gr) perhari selama 2 bulan. Pemilihan jenis obat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain keinginan penderita, risiko efek samping obat, kepatuhan berobat, kemampuan pengawasan, ada tidaknya pengobatan dengan PIs atau NNRTI serta jenis PIs/NNRTI yang digunakan. Penderita yang akan mendapatkan/dalam pengobatan dengan PIs atau NNRTIs dianjurkan untuk pemberian INH, sedangkan pemberian Rifampin merupakan kontran indikasi. Beberapa ahli menganjurkan pemberian Rifabutin (sebagai pengganti Rifampin) bersama dengan Pyrazinamide untuk pengobatan LTBI pada penderita yang mendapatkan pengobatan PI atau NNRTI. Rifabutin setengah dosis (150 mg/hari) dapat diberikan besama dengan Indinavir, Nelfinavir atau Amprenavir, sedangkan untuk Ritanovir dosis Rifabutin yang diberikan adalah seperempatnya ( misalnya 150 mg selang sehari atau 3 kali seminggu). Bila PI yang digunakan adalah Nevirapine maka Rifabutin dapat diberikan dengan dosis normal, sedangkan bila bersama dengan Efavirenz dosis Rifabutin yang diberikan harus lebih tinggi (450-600 mg/hari). Penderita 17

yang mendapatkan terapi kombinasi dengan beberapa macam PIs atau kombinasi PI dengan NNRTI maka pemberian Rifabutin tidak dianjurkan karena adanya kemungkinan interaksi obatobat yang lebih kompleks. Untuk kemoprofilaksis yang diberikan setelah pengobatan TB dengan OAT selesai masih perlu penelitian lebih lanjut. Salah satu penelitian yang dilakukan pada tahun 1998 terhadap 142 penderita TB dengan HIV pasca pengobatan OAT 6 bulan menunjukan bahwa rata-rata kekambuhan pada penderita yang mendapatkan tambahan INH 300 mg/hari selama 1 tahun ternyata lebih rendah dibandingkan dengan plasebo. Penelitian ini juga menunjukan bahwa kemoprofilaksis dengan INH pasca pengobatan TB terutama bermanfaat untuk mencegah rekurensi pada penderita dengan riwayat HIV yang simtomatik (katagori B dan C menurut CDC).Beberapa ahli bahkan mempertimbangkan mengenai pemberian kemoprofilaksis INH seumur hidup (bila memungkinkan ) pasca terapi OAT untuk mencegah kemungkinan reaktifasi endogen maupun reinfeksi eksogen. Walaupun masih dalam perdebatan, penderita HIV dengan tes tuberkulin negatif (anergi) bila didapatkan adanya faktor risiko untuk terkena TB misalnya riwayat kontak dengan penderita TB aktif, tinggal didaerah dengan prevalensi TB yang tinggi, perlu dipertimbangkan /dianjurkan untuk mendapatkan kemoprofilasis INH.

18

Gambar 1. Skema rekomendasi terapi pasien HIV/AIDS dengan koinfeksi tuberkulosis.

19

BAB IV PENUTUP

4.1.KESIMPULAN Infeksi human immunodeficiency virus (HIV) merupakan infeksi yang dapat menyebabkan penurunan sistem imun tubuh sehingga dari infeksi ini dapat muncul masalah lain, seperti infeksi lain sampai kematian. Penyakit defisiensi sistem imun yang disebabkan oleh infeksi HIV disebut acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). Penyakit tuberkulosis merupakan penyakit yang seringkali menyertai pasien dengan HIV/AIDS. Sistem imun pasien yang menurun menyebabkan mudahnya bakteri Mycobacterium tuberculosis menginfeksi pasien dan memudahkan terjadinya manifestasi dari penyakit tuberkulosis. Tuberkulosis adalah penyakit yang masih menjadi masalah di Indonesia. Baik HIV/AIDS maupun TB memerlukan terapi dengan obat yang tidak sedikit. Keduanya memerlukan terapi dengan kombinasi obat. Panduan obat yang ditetapkan WHO untuk lini pertama adalah yang mengandung dua Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI) ditambahkan dengan satu Non Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Prioritas utama pada pasien dengan ko-infeksi TB-HIV adalah memulai terapi TB, diikuti dengan kotrimoksasol dan ARV.

4.2.Saran Setelah kita belajar tentang konsep teori penyakit HIV yang disertai TB, diharapkan bisa menambah wawasan kita mengenai penyakit tersebut, selain itu diharapkan dapat lebih memahami apa yang harus kita lakukan di lapangan apabila kita menemui pasien yang memiliki seperti ciri-ciri penyakit di atas, atau pasien yang sudah didiagnosa penyakit tersebut.

20

DAFTAR PUSTAKA

Ganiswara, G, Sulistia., dkk. 1987. Farmakologi dan Terapi Edisi 3. Bagian Farmakologi, fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis, cetakan ke-7. Jakarta Harkness Richard, diterjemahkan oleh Goeswin Agoes dan Mathilda B.Widianto. 1989. Interaksi obat. Penerbit ITB. Bandung Wulandari L. 2010.Diagnosis Dan Tatalaksana Ko-Infeksi HIV Dan TB Aktif. Dalam: Wibisono MJ, Winariani, Hariadi S, editor. Buku ajar ilmu penyakit paru 2010. Surabaya: Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair – RSUD Dr. Soetomo. Hal: 257

JURNAL ILMU KEFRAMASIAN INDONESIA,vol.13,no.83,2015, ALEXANDRA VANIA ANDI1, LIA AMALIA1*, RUDI WISAKSANA2

21

Related Documents


More Documents from "TIKA PUTRIYANTI"