Hukum Agraria Finish.docx

  • Uploaded by: Ullyl Fz
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Hukum Agraria Finish.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,528
  • Pages: 28
HAK ATAS TANAH & CARA MEMPEROLEH NYA MENURUT UUPA Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Agraria

Dosen Pengampu : Musleh Harry,S.H.,M.Hum.

Disusun oleh : HTN A/III M. Iqbal Nur’usman (15230078) Cindy Almiraisa R S (17230022) Syukron Jazil

(17230038)

Tonicca Alvanso

(17230045)

Ullyl Vaizatul V.M

(17230046)

Elis Kumalawati

(17230051)

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG 2018

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa,atas dasar Hak menguasai dari Negara maka menjadi kewajiban bagi pemerintah melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut Undang Undak Pokok Agraria yang individualistic komunalistik religious,selain bertujuan untuk melindungi tanah juga mengatur hubungan hukum ha katas tanah melalui penyerahan sertifikat sebagai tanda bukti hak atas tanah bagi pemegangnya. Pada pasal 19 UUPA juncto pasal 1 angka 20 peraturan pemerintah No 24 ahun 1997 secara eksplisit menyatakan sertifikat adalah surat tanda bukti ha katas tanah. Lahirnya UU No 5 Tahun 1969 tentang peraturan dasar Pokok Pokok Hukum Agraria,sebagai tindak lanjut atas adanya pasal 33 ayat 3 UUD 1945 merupakan bahan rujukan dari segala permasalahan yang berkaitan dengan masalah pertanahan yang terjadi di Indonesia.adanya UUPA ini menjadi titik tolak pembaharuan hukum Agraria Nasional yang semula menganut system dualism,hingga kemudian berhasil melakukan unifikasi dengan disahkan nya UUPA sebagai penjabaran langsung dari pasal 33 ayat 3 UUD NKRI 1945. Sebagaimana yang tercantum dalam UU No 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria,bahwa hak penguasaan atas tanah yang ada di Indonesia itu berlaku ke dalam beberapa bentuk di antaranya yaitu Hak Bangsa Indonesia yang terdapat pada pasl 1,Hak mengusai dari Negara terdapat pada pasl 2, Hak Ulayat Masyarakat Masyarakat hukum adat,sepanjang menurut kenyataan nya masih ada sebagaimana yang tercantum pada pasal 3 serta Hak Hak Individual yang meliputi Hak Atas Tanah,Wakaf,dan Hak Jaminan atas tanah.

PEMBAHASAN A.

Pengaturan Hak Atas Tanah Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

pokok Agraria, atau lebih dikenal dengan sebutan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) menyebutkan bahwa: “Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, bumi, air, ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.” Menurut Soedokno Mertokusumo, wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi 2 yaitu:

1. Wewenang Umum Wewenang yang bersifat umum, yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi, air, dan ruang yang ada di atasnya sekadar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan No.5 Tahun 1960 (UUPA) dan peraturanperaturan lain yang lebih tinggi. 2. Wewenang Khusus Wewenang yang bersifat khusus, yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas tanhanya, misalnya wewenang pada tanah Hak Milik adalah dapat untuk kepentingan pertanian dan/ atau mendirikan bangunan, wewenang pada tanah Hak Guna Bangunan adalah menggunakan tanah hanya untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya. Peraturan perundang-undangan yang di dalamnya mengatur hak atas tanah, antara lain, yaitu: a. Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok Agraria b. Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. c. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah. d. Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah. e. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1996 tentang Pemilihan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. f. Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuatan Akta Tanah. g. Peraturan Menteri Negra Agraria/Kepala Badan Pertahanan Nasional No. 9 Tahun 1997 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

1.

Ketentuan-ketentuan dalam Hak Atas Tanah Macam-macam hak atas tanah yang disebutkan dalam Pasal 16 UUPA dan Pasal 53

UUPA dikelompokkan menjadi 3 bidang, yaitu:

1. Hak atas tanah yang bersifat tetap. Yaitu hak-hak atas tanah ini akan tetap ada atau berlaku selama UUPA masih berlaku atau belum dicabut dengan undang-undang yang baru. Macam hak atas tanah ini adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan hak atas tanah yang lain. 2. Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undaang. Yaitu hak atas tanah yang akan lahir kemudian yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Macam hak atas tanah ini belum ada. 3. Hak atas tanah yang bersifat sementara. Yaitu hak atas tanah yang sifatnya sementara, dalam waktu yang singkat akan dihapuskan dikarenakan mengandung sifat-sifat pemerasan, mengandung sifat feodal, dan bertentangan dengan jiwa UUPA. Macam atas tanah ini adalah Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, dan Hak Sewa Tanah Pertanian. Berdasarkan asal tanahnya, hak atas tanah dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu: 1.

Hak atas tanah yang bersifat primer. Yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah negara. Macam-macam hak atas tanah ini adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atas tanah negara, dan Hak Pakai atas tanah negara.

2.

Hak atas tanah yang bersifat sekunder. Yaitu hak atas tanah yang berasal dari pihak lain. Macam-macam hak atas tanah ini adalah Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan, Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik, Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan, Hak Pakai atas tanah Hak Milik, Hak Sewa untuk Bangunan, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil.1 Hak atas tanah yang berlaku, di Indonesia saat ini merupakan salah satu hal yang

diatur dalam hukum agraria. Dalam sejarah hukum agraria di Indonesia terlihat dua fase penerapan hukum agraria yang membawa pengaruh pada pemilikan dan penguasaan tanah. Kedua fase ini dibatasi oleh suatu titik waktu, yaitu tanggal 24 September 1960 yang

1

Santoso, Pendaftaran Tanah Dan Peralihan Hak Atas Tanah (Jakarta: kencana prenada media group, 2010)

hlm. 47

merupakan saat diundangkan dan mulai berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang biasanya disingkat dengan UUPA. Pembahasan hak atas tanah di Indonesia sejak 18 September 1960 sampai saat ini harus berdasar pada UUPA. Hak atas tanah saat ini yang dapat dimiliki orang atau badan hukum meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, dan hak-hak lain. Ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang BPHTB dengan tegas menyatakan bahwa hak atas tanah yang menjadi objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan yang meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. Sementara perolehan hak sewa, hak membuka tanah, dan hak memungut hasil hutan, walaupun merupakan hak yang diatur dalam UUPA tetapi hanya merupakan hak atas tanah yang bersifat sementara sehingga bukan merupakan objek BPHTB. Pada Bagian 1 Pasal 16 Ketentuan-ketentuan umum Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 ialah : (a) Hak milik, (b) Hak guna bangunan, (c) Hak guna usaha, (d) hak pakai, (e) hak sewa. 1.

Hak Milik Ketentuan tentang Hak Milik atas tanah diatur dalam Pasal 20-27 UUPA. Hak Milik

adalah suatu hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dimiliki oleh seseorang atas tanah dengan mengingat bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Hak Milik merupakan hak yang paling sempurna di antara hak-hak atas tanah lainnya. Perngertian sebagai hak turun-temurun adalah bahwa Hak Milik tidak hanya berlangsung selama hidup orang yang mempunyai, tetapi dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya apabila pemiliknya meninggal dunia. Perngertian terkuat berkaitan dengan dua hal, yaitu (a) jangka waktu Hak Milik tidak terbatas. Jadi berlainan dengan Hak Guna Usaha atau Hak Guna Bangunan, yang jangka waktunya tertentu; dan (b) Hak Milik juga hak yang kuat, karena terdaftar dan kepada orang yang mempunyai Hak Milik atas tanah diberi tanda “tanda bukti hak”, yang berarti mudah dipertahankan secara mutlak terhadap pihak lain. Istilah terpenuh dan terkuat tidak berarti tidak terbatas, tetapi dibatasi oleh kepentingan masyarakat dan

orang lain. Du luar batas-batas itu, seoraang pemilik mempunyai wewenang yang paling luas, ia paling bebeas dalam mempergunakan tanahnya dibandingkan dengan pemegang hak-hak yang lain. Ciri khas ketiga dari Hak Milik adalah terpenuh. Terpenuh memiliki beberapa maksud, seperti di bawah ini. 1.

Hak Milik memberikan wewenang kepada pemiliknya yang luas jika dibandingkan dengan hak yang lain.

2.

Hak Milik bisa merupakan induk dari hak-hak lainnya. Artinya seorang pemilik tanah bisa memberikan tanah kepada pihak lain dengan hak-hak yang kurang kuat daripada Hak Milik: menyewakan, menghasilkan, menggadaikan, menyerahkan tanah itu kepada orang lain dengan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai.

3.

Hak Milik tidak berinduk kepada hak atas tanah lain, karena Hak Milik adalah hak yang paling penuh, sedangkan hak-hak lain kurang penuh.

4.

Dilihat dari “peruntukan” Hak Milik tidak terbatas Peruntukan Hak Guna Bangunan adalah untuk keperluan bangunan saja, Hak Guna Usaha terbatas hanya untuk keperluan usaha pertanian. Hal ini tentunya berbeda dengan Hak Milik yang bisa digunakan untuk usaha pertanian dan bisa untuk bangunan. Pengetian terkuat, terpenuh, dan paling sempurna pada Hak Milik tidaklah berarti

bahwa pemilik tanah boleh bertindak atau melakukan apa saja atas tanah yang dimilikinya tersebut.

Hak Milik sebagai suatu lembaga yang merupakan kepentingan individual

seseorang atau suatu pihak, memang dilindungi oleh hukum (proteksi hukum) tetapi di samping itu tentu saja tetap dibatasi pula (restriksi hukum) sampai pada batas-batas kelayakan dan kewajaran tertentu. Hak Milik menurut UUPA adalah Hak Milik yang mempunyai fungsi sosial tanah, seperti juga semua hak atas tanah lainnya. Hal ini mengandung arti di bawah ini. a.

Hak Milik atas tanah di samping memberikan manfaat bagi pemiliknya, harus mingkin dapat bermanfaat pula bagi orang lain atau kepentingan umum, bila keadaan memang memerlukan. Contoh : pemilik suatu pekarangan harus membolehkan tetangganya atau orang lain melalui pekarangannya bila memang tidak ada jalan lain yang dapat dilalui selain harus terpaksa melintasi pekarangan tersebut

b.

Penggunaan Hak Milik tersebut tidak boleh mengganggu ketertiban dan kepentingan umum.

1.

Ciri Hak Milik Hak Milik atas tanah memiliki ciri berikut ini : a. Hak terpenuh, terkuat, dan bersifat turun-temurun b. Dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. c. Hanya warga negara Indonesia dan badan hukum Indonesia yang ditetapkan pemerintah Indonesia yang dapat menjadi pemegang hak milik (misalnya badan hukum keagamaan untuk keperluan yang berhubungan langsung dengan keagamaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963). Hak Milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing dan pemindahan hak milik kepada orang asing dilarang. d. Hak Milik juga dapat dimiliki oleh badan badan tertentu yang ditunjuk oleh pemerintah. e. Penggunan tanah Hak Milik oleh orang yang bukan pemiliknya dibatasi dan diatur dengan peraturan pemerintah.

2.

Terjadinya Hak Milik Pada dasarnya dua cara terjadinya dan cara mendapatkan Hak Milik. Cara

pertama adalah dengan peralihan, yang meliputi beralih dan dialihkan, serta cara menurut ketentuan UUPA. Pada cara kedua, terjadinya Hak Milik sesuai dengan pasal 22 UUPA, yaitu: 1.

Terjadinya Hak Milik menurut hukum adat diatur dengan peraturan pemerintah ; dan

2.

Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam poin 1, Hak Milik terjadi karena: a. Penetapan pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah; b. Ketentuan undang-undang.

Terjadinya Hak Milik menurut hukum adat erat hubungannya dengan hak ulayat. Dalam hukum adat seorang anggota masyarakat hukum adat

mempunyai hak untuk

membuka hutan dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum adat dengan persetujuan kepada adat. Hutan yang dibuka itu kemudian lambat laun dapat menjadi hak milik orang yang membukanya. Orang yang membuka tanah bru mempunyai “hak utama” untuk

menanami tanah itu. Kalau tanah lama-kelamaan bisa bertumbuh menjadi Hak Milik kalu usaha atau tanah itu terjadi terus-menerus dalam waktu lama. Cara terjadinya Hak Milik yang lazim adalah dengan penetapan pemerintah, yaitu dengan diberikan oleh pemerintah dengan suatu penetapan. Pemerintah memberikan Hak Milik atas tanah yang secara langsung dikuasi oleh negara, berdasarkan suatu permohonan. Tanah yang boleh diberikan oleh pemerintah dengan Hak Milik itu haruslah tanah negara, yaitu tanah yang dikuasi langsung oleh negara dan tidak ada hak pihak lain selain negara atas tanah tersebut. 3.

Peralihan Hak Milik Salah satu ciri Hak Milik adalah dapat beralih dan dialihkan. Peralihan Hak Milik dilaksanakan dengan ketentuan sebagaimana di bawah ini. a. Peralihan Hak Milik terjadi karena jual-beli, penukaran, hibah, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat, dan perbuatan yang lain yang dimaksud untuk memindahkan Hak Milik. b. Peralihan Hak Milik serta pengawasannya diatur dengan peraturan pemerintah. c. Menurut Pasal 10 Peraturan Nomor 10 Tahun 1961 setiap perjanjian yang dimaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan suatu hak baru, menggadaikan tanah, meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang ditunjuk oleh Menteri Agraria.

4.

Pendaftaran Hak Milik Hak Milik, demikian pula setiap peralihan hak, hapusnya hak, dan pembebanan tanah

Hak Milik dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Pendaftaran hak atas tanah dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah dan merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya Hak Milik serta sahnya peralihan dan pembebanan atas Hak Milik tersebut. Pendaftaran tanah Hak Milik merupakan kewajiban bagi setiap orang yang memegang Hak Milik tersebut. 5.

Hapusnya Tanah Milik Hak Milik hapus apabila terpenuhi keadaan di bawah ini. a. Tanahnya jatuh kepada negara, antara lain: (1) Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 UUPA (untuk kepentingan umum); (2) Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya. (3) Karena ditelantarkan; dan

(4) Karena ketentuan Pasal 21 ayat 3 dan 26 ayat 2 UUPA (dimiliki oleh seseorang yang merupakan warga negara asing dan atau dimiliki oleh seseorang yang memiliki kewarganegaraan Indonesia rangkap). b. Tanahnya musnah. 6.

Pembebasan Hak Milik Hak milik dapat dibebani degan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai berdasarkan atas perjanjian yang berbentuk autentik antara pemilik tanah dengan pihak yang memperoleh Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai. Hal ini sesuai dengan Pasal 37 UUPA. 2

2.

HAK GUNA USAHA (HGU) Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasi langsung oleh

negara dalam jangka waktu tertentu guna perusahaaan pertanian, perikanan, atau peternakan. Hak Guna Usaha hanya diberikan kepada orang atau badan hukum yang melakukan kegiatan pertanian saja, pertanian dalam arti luas adalah kegiatan pertanian yang disertai atau meliputi pula kegiatan perikanan, peternakan, perkebunan, dan sebagainya. Sementara itu, pertanian dalam arti sempit adalah pertanian yang kegiatannya hanyalah pertanian semusin panen saja. Tujuan penggunaan tanah yang dipunyai dengan Hak Guna Usaha terbatas, yaitu pada usaha pertanian, perikanan, dan peternakan. Hak Guna Usaha diatur dalam Pasal 28-34 UUPA. 1.

Ciri Hak Guna Usaha Hak Guna Usaha merupakan hak mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara untuk dengan ciri di bawah ini. a. HGU hanya dapat diberikan guna keperluan usaha pertanian, perikanan, dan peternakan. b. HGU jangka waktunya terbatas, pada suatu waktu pasti berakhir. HGU diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan Hak Guna Usaha untuk waktu paling lama 35 tahun. c. HGU dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak-hak tanggungan , sepanjang jangka waktu berlakunya HGU tersebut belum habis.

2

Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005) hlm. 129-

135

d. HGU dapat juga dilepaskan oleh pemiliknya sehingga tanahnya menjadi tanah negara. 2.

Pemegang Hak Guna Usaha Sesuai dengan ketentuan UUPA, yang dapat menjadi pemegang Hak Guna Usaha adalah: a. Warga negara Republik Indonesia; dan b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (pasal 30 UUPA). Hak Guna Usaha tidak dapat dipunyai oleh orang asing. Badan hukum yang dapat

memiliki HGU hanyalah badan hukum yang bermodal nasioanl yang progresif. Orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna Usaha dan tidak lagi memenuhi syarat menjadi pemegang HGU dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Jika HGU yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain (misalnya hak tanggungan karena HGU tersebut dijadikan jaminan kredit) akan diindahkan, menurut ketentuan yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. 3.

Peralihan dan Hapusnya Hak Guna Usaha Hak Guna Usaha dapat beralih melalui pewarisan dan dialihkan kepada pihak lain

melalui jual beli, hibah, dan hibah wasiat. Peralihan Hak Guna Usaha memerlukan izin balik nama dari instansi yang berwenang. Dikecualikan dari ketentuan tersebut meliputi warisan tanpa wasiat, pemisahan pusaka, serta pencampuran harta karena perkawinan. Hak Guna Usaha hapus karena beberapa sebab, yaitu: a. Jangka waktunya berakhir b. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena suatu syarat tidak dipenuhi c. Dicabut untuk kepentingan umum d. Pemegang hak tidak memenuhi syarat sebagaimana telah dijelaskan pada bagian 3 (yang dapat memegang HGU).3 3.

3

Hak Guna Bangunan

Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005) hlm. 136138

Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama tiga puluh tahun. Dengan demikian, Hak Guna Bangunan adalah suatu hak yang memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk dapat mendirikan bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri. Hak Guna Bangunan diatur dalam Pasal 35-40 UUPA. Hak Guna Bangunan dalam Pasal 35 ayat (1)

hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 hari.

(2)

Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat 1 dapat diperpanjang dengan waktu 20 tahun.

(3)

1.

Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Ciri Hak Guna Bangunan a. HGB jangka waktunya terbatas, artinya pada suatu waktu pasti berakhir. HGB diberikan untuk jangka waktu paling lama tiga puluh tahun dan atas permintaan pemegang

hak

dengan

mengingat

keperluan

serta

keadaan

bangunan-

bangunannya, HGB dapat diperpanjang dengan jangka waktu paling lama dua puluh tahun. b. HGB dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain sepanjang jangka waktu berlakunya HGB tersebut belum habis. c. HGB dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan sepanjang jangka waktu berlakunya HGB tersebut belum habis. 2.

Peralihan dan Hapusnya Hak Guna Bangunan Hak Guna Bangunan dapat beralih melalui pewarisan dan dialihkan kepada pihak lain

melalui jual-beli, hibah, hibah wasiat. Beberapa sebab hapusnya Hak Guna Bangunan, yaitu: a.

Jangka waktunya berakhir

b.

Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena suatu syarat tidak dipenuhi

c.

Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir.

d.

Pemegang hak tidak memenuhi syarat sebagaimana telah dijelaskan pada bagian 3 (yang dapat memegang HGB).

4.

e.

Dicabut untuk kepentingan umum

f.

Tanahnya ditelantarkan.4

HAK PAKAI Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang

langsung dikuasai oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberian oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya. Perkataan “menggunakan” menunjuk pada tanah bangunan, sedangkan perkataan “memungut hasil” menunjuk pada tanah pertanian. Hak Pakai diatur dalam Pasal 41-43 UUPA. 1.

Ciri Hak Pakai a. Hak Pakai atas tanah negara diberikan sesuai dengan keputusan pejabat yang berwenang maupun sesuai perjanjian antara pemilik tanah dengan pihak yang akan mendapat Hak Pakai. b. Hak Pakai dapat diberikan secara cuma-cuma, dengan pembayaran, atau pemberian jasa apa pun. c. Pemberian hak Pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsurunsur pemerasan.

2.

Terjadinya Hak Pakai Terjadinya Hak Pakai terbagi dua sesuai dengan siapa yang memberikan Hak Pakai tersebut. a. Di atas tanah negara: terjadi sesuai dengan keputusan pejabat yang berwenang untuk memberikan Hak Pakai atas tanah negara. b. Di atas tanah milik orang lain: terjadi karena perjanjian yang bersifat autentik, yang dimaksud menimbulkan Hak Pakai, antara pemilik tanah dan orang yang akan memperoleh Hak Pakai itu.

3.

Pemegang Hak Pakai a. Warga negara Indonesia b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia c. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

4.

4

Peralihan dan Berakhirnya Hak Pakai

Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005) hlm. 139142

Peralihan Hak Pakai atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara hanya dapat dilakukan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang. Hak Pakai berakhir sesuai dengan waktu yang ditentukan dalam surat keputusan pejabat yang berwenang memberikan Hak Pakai ataupun perjanjian yang dilakukan antara pemilik tanah dengan pihak yang memperoleh Hak Pakai.5 5.

Kewajiban Pemegang Hak Pakai Berdasarkan Pasal 50 dan Pasal 51 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996,

pemegang Hak Pakai berkewajiban: 1) Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya, perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau dalam perjanjian pemberian Hak Pakai atas Hak Milik. 2) Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberiannya, atau perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik. 3) Menyerahkan sertifikat Hak Pakai yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertahanan Kabupaten/Kota setempat 4) Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Pakai kepada negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemilik tanah sesudah Hak Pakai tersebut hapus. 6.

Hak Pemegang Hak Pakai Berdasarkan Pasal 52 PP No. 40 Tahun 1996, pemegang Hak Pakai berhak : 1) Menguasai dan mengunakan tanah selama waktu tertentu untuk keperluan pribadi atau usahanya. 2) Memindahkan Hak Pakai kepada pihak lain 3) Membebaninya dengan Hak Tanggungan 4) Menguasai dan menggunakan tanah untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya digunakan untuk keperluan tertentu.6 Pembebana Hak Pakai dengan Hak Tanggungan. UUPA tidak mengatur bahwa Hak

Pakai dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani dengan Hak Tanggungan. Hak Pakai atas tanah negara yang menurut ketentuannya wajib didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Hak Pakai yang tidak dapat dipindahkan tidak dibebani dengan Hak 5 6

Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005) hlm. 142 Santoso, Hukum Agraria (Jakarta: Prenadamedia Group, 2012) hlm. 124

Tanggungan, yaitu Hak Pakai yang dipunyai oleh departemen, lembaga pemerintah nondepartemen, pemerintah daerah, badan-badan keagamaan dan sosial, perwakilan negara asing, dan perwakilan badan-badan internasional.7 5.

HAK SEWA Pasal 44 ayat (1) UUPA memungkinkan orang atau badan hukum untuk menggunakan

tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan. Dengan membayar dengan pemilik tanah tersebut sejumlah uang sebagai sewa. Pembayaran uang sewa dapat dilakukan sebelum atau sesudah tanah dipergunakan. Subyek dari Hak Sewa adalah a. Warganegara Indonesia b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia c. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia d. Badan hukum asing mempeunyai perwakilan di Indonesia. Hak Sewa Tanah Pertanian adalah suatu perbuatan hukum dalam bentuk penyerahan penguasaan tanah pertanian oleh pemilik tanah pertanian kepada pihak lain (penyewa) dalam jangka waktu tertentu dan sejumlah uang sebagai sewa yang ditetapkan atas dasar kesepakatan kedua belah pihak. Asal terjadinya. Seseorang yang memiliki tanah pertanian karena membutuhkan sejumlah uang memenuhi kebutuhan hidupnya, maka ia menyerahkan tanahnya dalam benyuk sewa jangka waktu tertentu kepada pihak lain. Pihak lain tersebut bisa perseorangan atau pabrik. Unsur tolong-menolong. Dalam Hak Sewa Tanah Pertanian pada awalnya terdapat unsur-unsur tolong-menolong, yaitu penyewa menyerahkan sejumlah uang sebagai sewa guna memenuhi keinginan pemilik tanah pertanian yang membutuhkan sejumlah uang untuk kebutuhan hidupnya.8 Hapusnya Hak Sewa Tanah Pertanian,yaitu a. Jangka waktunya berakhir

7

Santoso, Hukum Agraria (Jakarta: Prenadamedia Group, 2012) hlm. 125

8

Santoso, Hukum Agraria (Jakarta: Prenadamedia Group, 2012) hlm. 150

b. Hak sewanya dialihkan kepada pihak lain tanpa persetujuan dari pemilik tanah kecuali hal itu diperkenankan oleh pemilik tanah. c. Hak sewanya dilepaskan secara sukarela oleh penyewa. d. Hak atas tanah tersebut dicabut untuk kepentingan umum e. Tanahnya musnah.9

6. Hak Sewa Untuk Bangunan a. Ketentuan Umum Ketentuan mengenai Hak Sewa Untuk Bangunan (HSUB) disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e UUPA. Secara khusus diatur ddalam Pasal 44 dan Pasal 45 UUPA. Menurut Pasal 50 ayat (2) UUPA. Dalam menjelaskan hal itu UUPA dinyatakan bahwa “Oleh karena hak sewa merupakan hak pakai yang mempunyai sifat-sifat khusus, maka disebut tersendiri. Hak sewa hanya disediakan untuk bangunan-bangunan berhubung dengan ketentuan Pasal 10 ayat (10) UUPA. Hak sewa tanah pertanian hanya mempunyai sifat sementara (Pasal 16 jo. Pasal 53). Negara tidak dapat menyewakan tanah, karena negara bukan pemilik tanah.” Boedi Harsono menyatakan bahwa karena hanya pemilik tanah yang dapat menyewakan tanah, maka negara tidak dapat menggunakan lembaga ini. sifat dan ciri-ciri Hak Sewa Untuk Bangunan adalah: a. Sebagaimana dengan Hak Pakai, maka tujuan penggunaannya sementara, artinya jangka waktunya terbatas. b. Umumnya hak sewa bersifat pribadi dan tidak diperbolehkan untuk dialihkan kepada pihak lain. Ataupu menyerahkan tanahnya kepada pihak ketiga dalam hubungan sewa dengan pihak penyewa tanpa izin pemilik. c. Sewa menyewa dapat diadakan dengan ketentuan bahwa jika penyewa meninggal dunia hubungan sewanya akan putus. d. Hak Sewa tidak termasuk golongan hak-hak yang didaftar menurut Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 (sekarang Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 mengatur objek pendaftaran tanah meliputi: 9

Santoso, Hukum Agraria (Jakarta: Prenadamedia Group, 2012) hlm. 151

1. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai: 2. Tanah hak pengelolaan 3. Tanah waqaf 4. Tanah milik atas satuan rumah susun 5. Tanah negara. Hapusnya Hak Sewa Untuk Bangunan 1. Jangka waktunya berakhir 2. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir dikarenakan pemegang Hak Sewa Untuk Bangunan tidak memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Sewa Untuk Bangunan. 3. Dilepaskan oleh pemegang Hak Sewa Untuk Bangunan sebelum jangka waktunya berakhir. 4. Tanahnya musnah.10

B.

Sistem Perolehan Hak atas tanah Pengertian Hak Atas Tanah Menurut UUPA

Pada pasal 33 ayat (1) UUD 1945, dikatakan bahwa “bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan

alam

yang

terkandung

didalamnya

itu

pada

tingkatan

tertinggi dikuasai oleh Negara”. Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

Hak

menguasai

memberi

dari

Negara

wewenang

termaksud kepada

dalam

UUPA

Negara

(pasal

1

untuk

ayat

2) :

mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan memeliharaan bumi,

10

air

dan

ruang

angkasa

tersebut;menentukan

Santoso, Hukum Agraria (Jakarta: Prenadamedia Group, 2012) hlm.129

dan

mengatur

hubungan-

hubungan

hukum

antara

dan

mengatur

menentukan

orang-orang

dengan

hubungan-hubungan

bumi,

air

hukum

dan

antara

ruang

angkasa

orang-orang

dan

perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan macam

adanya hak

atas

permukaan

bumi,

macam

yang

disebut

tanah,

yang

dapat

diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan

orang

lain

serta

badan-badan

hukum

(UUPA,

pasal

4

ayat

1).

pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batasbatas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.

Tata

cara

perolehan

hak

atas

tanah

diartikan

sebagai

pemberian,perpanjangan,pembaruan,dan perubahan ha katas tanah. Yang di maksud hak ha katas tanah adalah hak ha katas tanah sebagaimana di maksud dalam pasal 16 UUPA pemberian hak atas tanah yang di kuasai langsung oleh Negara kepada seseorang atau beberapa orang bersama sama atau kepada suatu badan hukum.Perpanjangan hak adalah pemberian perpanjangan jangka waktu

berlakunya

suatu

ha

katas

tanah

yang

sudah

ada

dengan

kemungkinan

mengubah,menambah atau membiarkan tetap berlakunya syarat syarat pemberian hak yang lama. Pembaruan hak atas tanah adalah pemebrian hak baru atas sesuatu bidang tanah dengan hak baru yang mungkin berbeda dengan hak yang lama dan dengan syarat syarat yang sama sekali baru pula. Pemberian ,perpanjangan dan pembaruan hak di berikan atas permohonan pihak pihak bersangkutan.11 Tata cara memperoleh hak atas tanah Dalam pengurusan hak atas tanah terlebih dahulu perlu diketahui mengenai perolehan ha katas tanah tersebut,sedang perolehan tanah tersebut sangat di pengaruhi oleh status tanah yang di perlukan. Di pandang dari statusnya secaragaris besar tanh tanah dapat di pisahkan, antara lain :

11

Arba, Hukum Agraria Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafiaka,2017),hlm.130

1. Tanah tanah yang belum mempunyai hak,yaitu tanah yang belum di lekati suatu hak baik menurut hokum adat maupun UUPA. Tanah tersebut disebut dengan tanah Negara yang dapat di bedakan antara : a. Tanah yang sudah ada penggarapnya b. Tanah yang belum ada penggarapnya. 2. Tanah tanah yang sudah ada Haknya a. Menurut hukum adat seperti hak milik,yayasan,pekulen,gogol tidak tetap,gogol tetap dan sebagainya dengan bukti berupa girik atau pipil,kekitir,petok D,letter C. b. Menurut UUPA seperti Hak Milik,Hak guna usaha,Hak guna bangunan,Hak pakai,Hak pengelolaan,hak sewa. Urutan kegiatan dalam dalam pengurusan hak atas tanah sebagai berikut : 1. tanah yang belum ada haknya a. Di perlukan untuk kepentingan perorangan atau badan Hukum yang bukan perusahaan. b. Di perlukan untuk kepentingan perusahaan 2. Tanah yang sudah ada haknya a. Di perlukan untuk kepentingan perorangan atau badan hokum b. Di perlukan untuk kepentingan perusahaan. Mengenai tata cara memperoleh hak atas tanah,hukum tanah nasional menyediakan berbagai cara untuk memperoleh tanah yang di perlukan,baik untuk keperluan pribadi maupun untuk keperluan kegiatan usaha (bisnis) dan pembangunan.hal hal yang harus di perhatikan untuk menentukan cara memperoleh ha katas tanah, yaitu 1. Status tanah yang tersedia 2. Status subyek atau pihak yang membutuhkan tanah 3. Proyeknya 4. Rencana tanah guna tanahnya (lokasi) Cara memperoleh Hak Atas tanah 1. Jika tanah yang tersedia tanah Negara atau tanah hak pengelolaan dapat di peroleh dengan cara permohonan Hak dan apabila mmemenuhi persyaratan dapat di tindak lanjuti dengan pemberian Hak.

2. Jika tanah yang tersedia tanah Hak (dimiliki perseorangan atau Badan Hukum) dapat di pergunakan lebih dari satu cara :12 a. Jika yang tersedia tanah Hak Milik,pemilik tanah dapat memberikan hak baru kepada pihak lain sebagai pemegang Hak baru, hak baru yang dapat di berikan atas tanah non pertanian: di perkotaan terdapat HGB Hak pakai Hak Sewa Bangunadan

di pedesaan terdapat Hak Gadai,Hak usaha bagi Hasil,Hak

menumpang,Hak Sewa Atas Tanah pertanian. b. jika yang tersedia Tanah Hak Lainya ( yang ber status Hak milik,HGU,HGB, dan Hak Pakai) dapat di peroleh melalui pemindahan Hak misalnya : Jual beli,tukar menukar,Hibah,pewarisan, penyertaan modal,pemasukan dalam perusahaan jenis tata cara memperoleh tanah Dalam hukum tanah nasional di kenal 3 jenis tata cara memperoleh tanah yaitu: 1. Permohonan Hak atas tanah 2. Pemberian Hak baru 3. Pemindahan Hak

Dasar Hukum Ketentuan yang mengatur mengenai cara memperoleh Hak Milik Atas tanah dapat ditemukan dalam beberapa rumusan pasal berikut,Dalam UUPA Pasal 21: (3) “Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga Negara Indoneisa yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu didalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jikavsesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung (4)

“Selama

seseorang disamping kewarganegaraan

Indonesianya

mempunyai

kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) Pasal 22:

12

Dr. Urip Santoso S.H, M.H , Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah (Jakarta:Kencana Prenada Media Group,2010),Hlm.58

(1) “Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah (2) “Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini hak milik terjadi karena: a. Penetapan pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah b. Ketentuan Undang-undang Pasal26: (1) Jualbeli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan

lain

yang

dimaksudkan

untuk

memindahkan

hak

milik

serta

pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dari kedua ketentuan dalam pasal 22 dan pasal 26 ayat (1) Kitab UUPA, dapat diketahui bahwa ada tiga hal yang dapat merupakan atau menjadi dasar lahirnya Hak Milik atas tanah: 1.

Menurut hukum adat,yang diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah

2.

Karena ketentuan undang-undang

3.

Karena adanya suatu peristiwa perdata, baik yang terjadi karena dikehendaki, yang lahir karena perbuatan hukum dalam bentuk perjanjian.

Pencabutan Hak Atas Tanah Pada hakekatnya merupakan: pengambilan tanah secara paksa sebagai upaya terakhir untuk memperoleh tanah yang diperlukan apabila melalui musyawarah tidak berhasil mencapai kata sepakat atas besarnya ganti kerugian dan kesediaan pemegang hak untuk melepaskan haknya. Terhadap Tanah-tanah Negara tsb setelah diperoleh Wajib ditindak lanjuti dengan Permohonan Hak Baru yang sesuai dengan keperluannya supaya dapat dikuasai secara legal. Jadi, apabila secara musyawarah tidak berhasil memperoleh tanah yang diperlukan, padahal tanah tsb diperlukan untuk proyek yang menyangkut kepentingan umum dan kepentingan bersama dari rakyat, maka hak atas tanah dapat dicabut melalui Pencabutan Hak dengan

memberikan ganti kerugian yang layak dan menurut tata cara yang diatur UU

(Pasal 18

UUPA).13 Sebagai tindak lanjut dari pasal 18 UUPA ini maka pada tanggal 26 September 1961 (L.N.No.288tahun1961) tentang pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang berada diatasnya, kemudian dikeluarkan lagi beberapa peraturan pelaksanaan antara lain: 1. PP No.39 tahun 1973 (L.N.1973,No.49) tentang penetapan ganti kerugian oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan pencabutan hak-hak atas tanah dan benda yang ada diatasnya. 2. Instruksi Presiden No. 9 tahun 1973 tentang pelaksanaan pencabutan hak-hak atas tanah dan benda yang ada diatasnya. Syarat pertama yang harus diperhatikan dalam melaksanakan pencabutan hak ini ialah benar benar untuk kepentingan umum, ini sesuai dengan pasal 18 UUPA, juga didalamnya sudah merupakan kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan dari seluruh rakyat, juga dalam undang-undang No.20 tahun 1961 dimasukkan pula untuk kepentingan pembangunan. Oleh karena itu menurut ketentuan tersebut diatas maka pengertian kepentingan umum adalah meliputi: 

Kepentingan Bangsa



Kepentingan Negara



Kepentingan Bersama dari Rakyat



Kepentingan Pembangunan

Adapun persyaratan yang harus diperhatikan dalam pencabutan hak atas tanah yaitu: 1. Bila mana kepentingan Umum benar-benar menghendakinya. 2. Dilakukan oleh pihak yang ditentukan didalam ketentuan perundangundangan yang berlaku (UU N0.20 tahun 1961 dan aturan pelaksanaannya) 3. Harus disertai dengan ganti kerugian yang layak, dan berhak untuk mendapatkan ganti rugi yaitu Empuya Hak. Pemerintah sekarang mengusahakan didalam pengadaan tanah untuk pembangunan nasional, dihindari sedapat mungkin terjadinya pencabutan hak atas tanah karena masalah tanah 13

Erna Sri Wibawanti dan R Murijiyanto, Hak Atas Tanah dan Peralihanya,(Yogyakarta: Liberty,2013),hlm1617.

ini sangat kompleks menyangkut, selain aspek yuridis juga aspek sosial, ekonomi, Hankamnas dan lain- lain. Penggunaan undang-undang No.20 tahun 1961 hanya akan digunakan sebagai senjata terakhir. Mengenai tujuan dan pencabutan hak ini adalah untuk memperoleh tanah dari rakyat secara paksa, karena melalui musyawarah telah mengalami jalan buntu. Jadi pencabutan hak ini dilakukan dalam keadaan yang memaksa, setelah usaha-usaha damai dilakukan tetapi semuanya mengalami jalan buntu. Dalam melaksanakan pencabutan hak ini adalah sebuah panitia yang berfungsi untuk melakukan penaksiran tentang berapa besarnya ganti kerugian atas tanah dan atau benda-benda yang haknya akan dicabut itu. Panitia ini disebut Panitia Penaksiran (Srt.Mentr. Pertama No.32391/61). Terhadap keputusan mengenai jumlah ganti kerugian yang tidak dapat diterima karena dianggap kurang layak,maka pemegang hak dapat mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi Setempat (Pasal 8 UU No.20/1961 dan Pasal 1 PP No.39/1973). Putusan Pengadilan Tinggi ini merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir, dan selama dalam proses pengadilan tidak menunda jalannya pencabutan hak dan penguasaannya (Pasal 8 ayat 1 dan 3 UU No.20/1961). Inilah sebabnya dalam prakteknya sekarang penggunaan dari pada undang-undang No.20 tahun196l, nyaris tidak pernah dilaksanakan. Pelaksanaan pencabutan hak ini prosesnya panjang dan berbelit-belit serta hanya dengan Keputusan Presiden. Pencabutan hak hanya dapat dilakukan jika kepentingan umum benar-benar menghendakinya. Unsur kepentingan umum harus tegas menjadi dasar dalam pencabutan hak ini. Termasuk dalam pengertian kepentingan umum, adalah kepentingan Bangsa, kepentingan bersama dari rakyat, serta kepentingan pembangunan. Atas dasar pertimbangan bahwa Pembebasan Hak dan Pencabutan Hak hanya berakibat pada tersedianya Tanah Negara yang perlu ditindak lanjuti dengan permohonan hak baru agar tanah tsb dapat dikuasai secara legal dan digunakan sesuai dengan keperluannya, maka: Pembebasan Hak dan Pencabutan Hak bukanlah jenis tata cara memperoleh tanah. Cara pemberian Hak Atas Tanah Pemberian hak dapat dilakukan secara: a. Individual

pemberian hak atas sebidang tanah kepadaseseorang atau suatu badan hukum tertentu atau kepada beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama sebagai penerima hak bersama yang dilakukan dengan satu penetapan pemberian hak b. Kolektif pemberian hak atas tanah beberapa bidang tanah, masing-masing kepada seorang atau suatu badan atau kepada beberapa orang atau badan hukum seagai penerima hak, yang dilakukan dengan satu penetapan pemberian hak. Catatan: Dalam rangka Pemberian Hak secara Individual dan Pemberian Hak secara Kolektif, sepanjang menurut sifatnya harus memerlukan izin peralihan hak, maka dalam penerbitan SK pemberian haknya harus mencantumkan persyaratan izin peralihan hak, dan mencatatnya dalam sertipikat, khususnya mengenai: 

Hak Milik yang dipunyai badan hukum keagamaan, badan hukum sosial dan badan



hukum lain yang ditunjuk Pemerintah

-HGU dan Hak Pakai tanah pertanian di atas Tanah negara dan hak-hak lainnya

c. Umum pemberian hak atas tanah yang memenuhi kriteria tertentu yang dilaksanakan melelui suatu

penetapan

pemberian

hak

sebagaimana

diatur

dalam

Pasal

76

s/d

102

PMNA/KABPN/No.9 tahun 1999, misalnya: 

Perubahan HGB/Hak Pakai atas tanah untukrumah tinggal menjadi Hak Milik



Perubahan Hak Milik menjadi HGB/Hak Pakai



Perubahan HGB menjadi Hak Pakai

Pembebasan tanah walaupun tidak terdapat didalam UUPA sebagai ketentuan pokok dari keagrariaan di Indonesia, namun secara khusus keberadaannya diatur dalam peraturan Menteri Dalam Negeri No.15 tahun 1975, tentang ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pembebasan tanah. Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 3 Desember 1975. Dalam Pasal 1 PMDM No.15/1975 menyatakan sebagai berikut: Ayat 1 :

Yang dimaksud dengan pembebasan tanah ialah melepaskan hubungan hukum yang

semula

terdapat diantara pemegang hak/penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi. Ayat 2 : Panitia pembebasan tanah ialah suatu panitia yang bertugas melakukan pemeriksaan / penelitian dan penetapan ganti rugi dalam rangka pembebasan tanah dengan atau tanpa bangunan / tanaman yang tumbuh diatasnya yang pembentukannya ditentukan oleh Gubernur Kepala Daerah untuk masing-masing, kabupaten kota madya dalam suatu wilayah propinsi yang bersangkuta. Selanjutnya dalam Pasal 6 menyatakan bahwa: Ayat 1 : Di dalam mengadakan penafsiran/penetapan besarnya ganti rugi, panitia pembebasan tanah harus mengadakan musyawarah dengan para pemilik/ pemegang hak atas tanah dan ataubenda plus tanaman yang ada diatasnya berdasarkan harga umum setempat. Ayat 4 : Pelaksanaan pembebasan tahah harus dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat. Ayat 5 : Keputusan panitia pembebasan tanah mengenai besar/bentuknya ganti rugi tersebut disampaikan kepada instansi yang memerlukan tanah, para pemegang hak atas tanah para anggota panitia yang turut mengambil keputusan. Dalam pasal 7 Ayat 2 menyatakan bahwa : jika ada penolakan yang terjadi pada ayat 1 maka harus disertai dengan alasan-alasan penolakan. Kemudian didalam Pasal 8 menyatakan: Ayat 1 : Panitia pembebasan tanah setelah menerima dan mempertahankan alasan penolakan tersebut, dapat mengambil sikap sebagai berikut : a. Tetap pada keputusan semula b. Meneruskan surat penolakan yang disertai alasan-alasan itu kepada gubernur kepala daerah yang bersangkutan untuk diputuskan.

Ayat 2 : Gubernur kepala daerah yang bersangkutan setelah dipertimbangkan dari segala segi dapat mengambil keputusan yang bersifat mengukuhkan putusan panitia pembebasan tanah atau menentukan lain yang ujudnya mencari jalan tengah yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Ayat 3 : Keputusan Gubernur Kepala daerah seperti tersebut diayat 2 disampaikan kepada masingmasing pihak yang bersangkutan dan panitia pembebasan tanah. Sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam pasal-pasal dan ayat-ayat tersebut di atas, maka pelepasan dan penguasaan hak atas tanah wajib disertai dengan pembayaran ganti rugi yang jumlahnya ditaksir sesuai dengan harga umum setempat atas dasar musyawarah antara pihak-pihak. Ketepatan dasar ganti rugi pada prinsipnya ditentukan oleh panitia dengan hanya memperhatikan kehendak dari pihak yang berhak, ketetapan ganti rugi diambil dari nilai harga rata hasil taksiran setiap anggota. Mengenai cara pembebasan tanah tersebut harus benar-benar untuk kepentingan umum. Menurut peraturan Menteri Dalam Negeri No.15 tahun 1975, pembebasan ini dilakukan dalam hal tanah untuk kepentingan pemerintah bahkan dengan peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1976 untuk kepentingan swasta pun dapat dilakukan pembebasan tanah (Abdurahman,1982). Pembebasan tanah adalah merupakan langkah pertama yang dapat dilakukan bila mana pemerintah benar-benar memerlukan sebidang tanah untuk kepentingan umum atau untuk kepentingan yang dapat menunjang pembangunan melalui cara musyawarah dan mufakat dengan pihak atau pemegang hak atas tanah yang bersangkutan bilamana sudah tercapai suatu konsekuensi pemegang hak akan menyerahkan tanahnya dengan sejumlah ganti rugi yang dengan harga tanah tersebut. Dilihat dari kenyataan yang demikian maka pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah ini adalah tidak lain dari pada bentuk khusus perjanjian jual beli tanah. Andai kata pengambilan tanah melalui prosedur pembebasan tanah ini tidak berhasil, umpamanya si pemegang hak bersikap keras untuk bertahan pada suatu tingkat harga yang kelewat tinggi atau

tidak mau sama sekali menyerahkan tanahnya dengan berbagai dalil, maka ditempuh prosedur pencabutan hak atas tanah tersebut melalui prosedur undang-undang No.2 tahun1961.14

14

Mahfud Md,Pokok Pokok Hukum Administrasi Negara,(Yogyakarta:Liberty,2013)hlm. 168

Related Documents

Sejarah Hukum Agraria
August 2019 15
Hukum Agraria Finish.docx
November 2019 8
Geo Agraria
April 2020 29
Reforma Agraria
December 2019 34
Hukum
June 2020 34

More Documents from ""