Hadiah dari Bee untuk Dei Sayang
Brisia Kintania, tetapi Aku lebih suka dipanggil Bee. Aku mempunyai kembaran bernama Deisya Intan atau sering kupanggil dengan nama Dei. Ia sangat menyebalkan, karena ia tidak pernah mau mengalah. Padahalkan dia seorang kakak. Dia juga lebih disayang oleh Ayah dan Bunda. Aku iri dengan dia. Aku bersekolah di SMA Harapan Negeri, di kota Bandung. Sedangkan Dei, dia homeschooling. Usia kami sama-sama 16 tahun, hanya saja Aku dan Dei berbeda 10 menit. Aku dan Dei adalah kembar identik, yang membedakan kami hanyalah warna iris mata. Dei berwarna cokelat terang sedangkan Aku berwarna biru, sama dengan warna keturunan Ayahku. Sifat kami sangat-sangat bertolak belakang. Dei yang sangat aktif dan jago menggambar itu dan Aku yang sangat pendiam dan hanya menggemari hobi membaca sebuah novel dan menulis sebuah cerita. “Dei, jika sudah selesai menggambar, jangan lupa rapihkan kembali,” ucapku sore hari itu kepada Dei yang sedang menggambar sesuatu. “Ah, Bee, aku lelah sekali seharian menggambar banyak objek. Bisakah kamu saja yang merapihkan ini semua? Sebagai gantinya, aku akan mengerjakan PR-mu.” Alasan yang sudah tidak asing lagi di telingaku. Tetapi, Dei sangat baik. Ia akan mengerjakan PR-ku saat Aku membantunya melakukan sesuatu. Itu yang Dei suka. Aku merapihkan alat tulis yang tadi Dei gunakan. Sedangkan Dei, dia pergi ke kamar untuk mengerjakan PR-ku. Ah, memang baik sekali dia walaupun terkadang membuatku jengkel dan merasa iri. “Dei, sedang apa kau?” Suara itu, aku mengenalinya. “Ya Tuhan, kukira kau adalah Dei,” ucapnya saat Aku mengarahkan wajahku ke arahnya. “Kau memang selalu saja memikirkan Dei,” ujarku sembari merapihkan alat tulis Dei. “Tidak juga. Aku lebih sering memikirkanmu. Caramu tersenyum, aku suka itu. Coba tersenyum untukku,” pintanya. “Bisakah kamu berhenti menggodaku? Aku muak. Sungguh,” jawabku bersamaan dengan selesainya acara merapih-rapihkan alat tulis itu. “Sehari tanpa menggodamu? Ku rasa sebagian oksigenku berkurang.” Aku hanya memutar bola mata malas.
Aku duduk di salah satu sofa yang ada di teras bersama lelaki itu. Sebenarnya Aku malas mengenalkannya kepada kalian, tapi ini terpaksa. Namanya Anggano Wildan, panggil saja Gano. Tetapi, jika kalian berkenalan langsung dengannya, pasti ia akan mengucapkan, “Panggil aku sayang saja, biar mudah diingat di pikiranmu dan juga hatimu.” Gano adalah sahabat Aku dan Dei dari kami kecil. Usia Gano 17 tahun, yang artinya hanya berbeda satu tahun di atasku dan Dei. “Ke sini mau apa?” tanyaku tanpa menatap ke arahnya. “Jika aku bilang rindu kepadamu, apa kamu percaya?” tanya Gano balik. Aku hanya menggeleng sekali. Entah dia lihat atau tidak. “Sesekali percayalah denganku, Bee. Tidak semua ucapan yang aku lontarkan itu adalah gombalan. Sebagiannya mengandung keseriusan yang sekarang belum kau pahami,” ucapnya panjang lebar. “Hai! Berduaan aja,” ucap Dei yang tiba-tiba sudah duduk di tengahtengah Aku dan Gano. “Hai juga, Dei. Bagaimana homeschooling mu? Apakah masih menyenangkan? Kau betah sekali belajar di rumah,” ucap Gano. “Ya, seperti dua bulan akhir ini. Sangat membosankan. Aku juga ingin merasakan sekolah formal seperti kalian. Bisa mengerjakan PR dengan tergesa-gesa, menyontek saat ulangan, membuat kegaduhan saat tidak ada guru, mempunyai banyak teman, bisa pergi ke kanting dengan teman-teman segeng,” jawab Dei dengan ekspresi seperti orang mengkhayal. “Kenapa begitu? Kukira, homeschooling jauh lebih menyenangkan dibandingkan sekolah formal.” Dei tidak merespon ucapan Gano. Mungkin saja, ia masih di dalam dunia imajinasinya. “Jangan ganggu Dei berimajinasi, No. Lihat dia, sampai diajak bicarapun tidak merespon,” ucapku seperti memperingatkan. “Non Bee, Non Dei, malam nanti tuan dan nyonya akan pulang,” ucap Bi Surti yang menampakan dirinya dari dalam rumah. “Iya, Bi. Terima kasih sudah diingatkan.” Setelah itu Bi Surti kembali ke dalam rumah. Pasti yang mereka rindukan adalah Dei. Karena Dei anak kesayangan Ayah dan Bunda. Sedangkan Aku. Mereka hanya mengganggap Aku sebagai bayangan. Ada namun kadang dilupakan. Batinku. Malam ini, pukul 8 malam. Aku dan Dei menunggu kedua orangtua kami di ruang keluarga. Dei yang sibuk dengan ponselnya dan Aku yang sibuk mengetik kalimat-kalimat panjang yang nantinya Aku berharap sekali bisa dibukukan. Ya, aku membuat sebuah cerita. Bergenre fiksi remaja. Malam ini, aku tinggal membuat epiolognya setelah itu akan kukirimkan naskah ini ke seorang penerbit. Teman lama Ayahku.
“Ayah dan Bunda pulang!” teriak kedua manusia paruh baya itu saat dirinya menampakan diri di ruang keluarga. Aku dan Dei sedikit terkejut, tetapi setelah itu kudatarkan ekspresiku. Berbeda dengan Dei, ia langsung menghampiri Ayah dan Bunda setelah itu memeluknya. Ah, keluarga bahagia. Dan aku tidak. “Selama kami di luar negeri, apakah kamu selalu rutin meminum obatmu, Dei?” tanya Ayah yang suaranya dapat kudengar. Dei memang sedang sakit. Sebenarnya Dei sakit saat usianya mengijak 7 tahun, maka dari itu dia di homeschooling kan. Tetapi, semakin dewasa penyakit itu semakin parah. Terlebih lagi saat Dei belum meminum obatnya. Aku tidak tahu sama sekali penyakit apa yang Dei alami. “Besok pagi kita akan pergi ke Amerika. Jadi, malam ini kalian berdua harus segera bersiap-siap,” ucap Ayah yang membuat Aku terkejut. “Kenapa mendadak?” tanyaku yang sedari tadi hanya bungkam. “Bukankah surprise itu menjadi sebuah rahasia saat sebelum diberitahukan oleh seseorang yang dituju?” Menurutku, itu bukan kejutan untukku. Melainkan Dei. Ia sangat ingin sekali pergi ke Amerika. Sedangkan Aku berkeinginan ke Jepang. Jadi audah tahu betul bahwa kejutan itu hanya untuk Dei. Sungguh beruntung Dei memiliki orangtua yang baik kepadanya. Pagi hari tiba. Semua sudah bersiap-siap. Semalam, setelah selesai berkemas. Aku memberitahukan kepada Gano bahwa Aku dan sekeluarga akan pergi ke Amrik. Dan betul dugaanku. Reaksi Gano sangatlah heboh. Dia bilang, “Kenapa mendadak? Apa aku boleh ikut? Kau tahukan, tanpamu, Bee, hidupku bagaikan langit tanpa adalah sang penerang. Semua itu akan gelap. Aku ikut denganmu yah, Bee.” Entah kenapa dia bisa menjadi laki-laki yang selalu saja menggodaku. Aku menolak dia ikut ke Amrik. Karena hanya merepotkan. Alhasil dia langsung kesak dan membalas pesanku semalam hanya dengan kata singkat. Tiga hari sudah berlalu. Sekarang hari ketiga aku tinggal di negara asal Ayah. Termyata tujuan mereka ke sini adalah untuk mengobati penyakit Dei yang kemarin semakin parah. Waktu itu Aku sangat panik, khawatir, dan juga takut. Sekarang Aku, Ayah, dan Bunda berada di ruang tunggu rumah sakit terbesar di negara ini. Beberapa menit yang lalu, penyakit Dei kumat. Dan responku sama seperti kemarin. Takut. Terlebih itu. “Bisa saya bicara dengan kalian berdua?” Dokter itu keluar dari ruang inapnya Dei. Dia berbicara dengan Bahasa Inggris. Entah kemana mereka bertiga ingin pergi, yang jelas Aku sangat penasaran dan mencoba mengikuti mereka.
“Hari ini, Dei harus melakukan operasi jantung dan ginjal. Namun, di sini kami kehabisan organ tersebut,” ucapan dokter itu seketika membuatku lemah. Aku tidak percaya. Apa benar penyakit Dei itu sangat parah sampai-sampai ia harus memerlukan pendonor untuk jantung dan ginjalnya. Saat itu Aku menangis. Aku merasa menjadi saudara kembar yang tak ada apa-apanya. Jadi, selama ini, kedua orangtuaku lebih memanjakan Dei, karena ini alasannya? Aku merasa bersalah. Aku langsung menghampiri Dei. Kebetulan dia sudah sadar dari pingsannya. “Hai,” sapaku pada Dei yang terbaring lemah di kasur. Wajahnya pucat. Tubuhnya bertambah kurus. “Apa kau baik-baik saja? Kau habis menangiskah?” tanya Dei. Aku pun hanya tersenyum sembari duduk di sampingnya, lalu menggenggam tangannya erat. Aku tak ingin kehilangannya. “Seharusnya, Aku yang bertanya seperti itu. Apa kau baik-baik saja?” tanyaku balik dan memaksakan untuk tersenyum. “Seperti yang kau lihat sekarang,” ucap Dei dengan kekehan di akhir kalimat. Oh tidak, Aku benar-benar ingin menangis lagi. Namun, Aku harus tahan. “Selamat ulang tahun, Bee,” ucap Dei sembari menyodorkan sebuah kotak kecil yang panjang. Astaga, Aku baru ingat. Bahwa sekarang adalah sweet seventeen Aku dan Dei. “Selamat ulang tahun juga, Dei. Ah, aku lupa dengan ini semua. Sampai-sampai aku tidak menyiapkan kado apa-apa untukmu,” ucapku dengan nada menyesal. “Aku tidak membutuhkan kado apapun. Ada kamu yang selalu di sampingku saja itu sudah cukup. Selalu seperti ini yah, Bee. Selalu di sampingku. Jangan pernah jauh dariku.” Sungguh, Aku benarbenar ingin menangis rasanya. “Buka, Bee! Lihat apa yang aku kadokan untukmu, ini sudah kusimpan lama untuk diberikan kepadamu di hari yang tepat.” Aku pun membuka kotak itu. Betapa terkejutnya Aku. Di sana ada banyak sekali benda-benda kecil. Dari kalung berbentuk hati, 2 buah bolpain, dan foto-foto saat kami masih menjadi bayi. “Itu kalung kau gunakan yah, bolpain itu untuk kau menulis cerita keduamu saat cerita pertamamu sudah dibukukan, foto itu, entahlah untuk apapun aku juga tidak tahu.” “Terima kasih.” Aku langsung memeluk Dei. Tetapi setelah itu, Dei seperti seseorang yang kesakitan. Aku merasa panik dan takut. Aku langsung memanggil dokter. Tidak perlu waktu yang lama, dokter dan kedua orangtuaku datang menghampiri. Mereka semua panik, terlebih orangtuaku. “Kita harus segera mencari pendonor agar operasi bisa dilakukan sekarang,” ujar dokter itu. “Biarkan saya saja, dok,” ucapku yang membuat kedua orangtuaku memandang diriku tidak percaya. “Jangan lakukan itu, ini sangat berbahaya. Biarkan kita
mencari pendonor lain,” ucap Ayah menolak keinginanku. “Ayah, Bunda, sekarang hari upang tahunku dan Dei. Aku ingin menghadiai dia sesuatu yang tidak akan pernah bisa dilupakan,” ucapku. “Tolong, ijinkan aku mendonorkan jantung dan ginjalku untuk Dei,” mohonku. Setelah menulis sebuah surat dengan menggunakan bolpoin yang diberikan Dei, kini waktunya Aku melakukan pendonoran. Aku melihat Dei yang terridur pulas sekali di sampingku. “Dei, ini hadia untukmu, jaga baik-baik,” ucapku yang entah kenapa semua jadi buram. Aku sadar, namun anehnya saat Aku melihat sekelilingku, mereka semua sedang menangis. Ayah dan Bunda sedang memeluk seseorang yang tidak asing bagiku. Tetapi, betapa terkejutnya Aku, saat melihat bahwa orang itu adalah Aku. Aku mencoba memegang Bunda ataupun Ayah. Namun hasilnya nihil. Semua yang kusentuh itu tembus. “Biarkan Bee tenang di alam sana. Sekarang yang harus kita jaga satu-satunya adalah Dei,” ucap Ayah menenangkan Bunda. Sekarang Aku mengerti. Aku sudah mati saat proses operasi berjalan. Aku lihat Dei masih terbaring dengan wajah bahagianya. “Dei, hanya itu yang dapat aku berikan, semoga kamu menyukainya dan kembali menjalani hidup seperti sedia kala.” Setelah menngucapkan itu, tubuhku seperti ditarik oleh sinar yang tiba-tiba muncul dan setelahnya sekua itu hilang. Kini duniaku dan Dei sudah berbeda. Dei berbahagialah karena Aku selalu menyayangimu.