1. Bandingkan perbedaan definisi dari Corporate Governance Andrei Shleifer dan Robert Vishny mendefinisikan CORPORATE GOVERNANCE sebagai: Cara yang dilakukan para pemasok keuangan sehingga perusahaan dapat menjamin mereka mendapatkan return pada investasi mereka. Definisi ini mengasumsikan dengan jelas bahwa tujuan utama perusahaan adalah untuk memaksimalkan return kepada para shareholders/pemegang saham (termasuk para debtholder/debitur). Mereka membenarkan bahwa fokus mereka dengan pendapat bahwa investasi dalam perusahaan oleh para penyedia keuangan biasanya mengalami sunk funds yaitu kemungkinan besar dananya akan hilang jika perusahaan mengalami masalah. Sebaliknya, para stakeholder lainnya seperti karyawan, pemasok/supplier, dan pelanggan dari perusahaan tersebut dapat meninggalkan perusahaan dengan mudahnya tanpa kehilangan investasi mereka.
Misalkan: seorang karyawan harus bisa menemukan pekerjaan di perusahaan lain yang menghargai kemampuan (sumber daya manusia) yang dimilikinya. Para penyedia keuangan kehilangan modal yang mereka investasikan pada perusahaan sementara karyawan tersebut tidak kehilangan kemampuannya (SDM) jika perusahaan bangkrut/gagal. Oleh karena itu para penyedia keuangan, khususnya para shareholders menjadi penanggung risiko residual (diakhir) atau residual claimants (penuntut residual) terhadap asset perusahaan. Dengan kata lain, jika perusahaan mengalami financial distress (kesulitan keuangan), klaim atas para seluruh stakeholder selain para shareholder akan dipenuhi terlebih dahulu. Biasanya, ketika perusahaan dalam kondisi financial distress, asset perusahaan tersebut tidak cukup untuk memenuhi seluruh klaim yang dihadapinya,dan para shareholder akan kehilangan investasi awal mereka. Sebaliknya, penuntut (claimants) (yang mengeklaim) lainnya akan pergi dengan seluruh atau setidaknya sebagian dari modal mereka. Berbeda dengan pendapat Andrei Shleifer dan Robert Vishny, Sarah Worthington berpendapat bahwa tidak ada status hukum mengenai shareholder yang membenarkan fokus pada memaksimalkan nilai shareholder. Lebih lanjut, Paddy Ireland berpendapat bahwa asset perusahaan seharusnya tidak lagi dianggap sebagai milik pribadi oleh para shareholder, tetapi lebih dianggap sebagai milik bersama mengingat bahwa asset tersebut adalah ‘the product of the collective labour of many generations’ atau produk tenaga kerja kolektif dari berbagai generasi. Marc Goergen and Luc Renneboog menyarankan definisi yang memperkenankan adanya perbedaaan lintas perusahaan dalam hal para pelaku/stakeholder yang memiliki minat / kepentingan pada fokus perusahaan. Definisi mereka adalah:
Sistem Corporate Governance merupakan kombinasi dari mekanisme yang memastikan bahwa manajemen (agen) menjalankan perusahaan untuk kepentingan dari satu atau beberapa stakeholder (principal). Para stakeholder tersebut dapat mencakup shareholder, kreditor, pemasok/supplier, klien, karyawan, dan pihak lain yang menjalankan bisnis perusahaan. Definisi Shleifer dan Vishny sebagian besar mencerminkan fockus perusahaan yang terdaftar di bursa saham Amerika atau Inggris, manajer sebagian besar perusahaan Eropa Kontinental (Continental European) juga cenderung mempertimbangkan kepentingan/minat para stakeholder yang lain milik persuahaan ketika menjalankan perusahaan. Meskipun pernyataan ini sudah ada sejak lebih dari 40 tahun yang lalu dan sekarang mungkin tampak agak “stereotypical” stereotip, namun hal itu merupakan ilustrasi yang baik mengenai apa yang masih sering menjadi sikap manajer di luar dunia Anglo-America. Volkswagen AG, CEO pembuat mobil Jerman, menyatakan sebagai berikut: “Mengapa saya harus peduli dengan para shareholder yang saya temui setahun sekali pada rapat umum. Jauh lebih penting bahwa saya peduli dengan karyawan; Saya melihat mereka setiap hari.” Selanjutnya, di Jerman, hukum perusahaan secara eksplisit memasukkan kepentingan stakeholder lain dalam fungsi tujuan perusahaan. Memang, Undang-Undang Koordinasi Jerman tahun 1976 mewajibkan perusahaan dengan lebih dari 2.000 pekerja memiliki 50% perwakilan karyawan di dewan pengawas mereka (lihat Bab 10). Dalam survei kuesioner yang dikirimkan kepada manajer perusahaan Jerman, Jepang, Inggris, dan AS, Masaru Yoshimori mengajukan pertanyaan mengenai perusahaan siapa itu. Sementara 89% manajer Inggris dan AS menyatakan bahwa perusahaan itu milik pemegang saham, hanya minoritas manajer Prancis, Jerman dan Jepang melakukannya (lihat Gambar 1.1). Faktanya, 97% manajer Jepang percaya bahwa perusahaan itu milik para stakeholder dan bukan para shareholder. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan Inggris-Amerika cenderung - atau setidaknya diharapkan - mengejar maksimalisasi nilai shareholder, sementara perusahaan-perusahaan dari seluruh dunia cenderung melayani banyak stakeholder. Namun, selama dua dekade terakhir, kedua kubu telah bergerak lebih dekat satu sama lain. Misalnya di Inggris, Tinjauan Hukum Perusahaan baru-baru ini menghasilkan Undang-Undang Perusahaan 2006 yang sekarang menyatakan dalam Pasal 172 bahwa: “Direktur juga harus mengakui/mengenali, sesuai dengan keadaan yang diperlukan, perusahaan perlu membina hubungan dengan karyawan, pelanggan dan pemasoknya, kebutuhannya untuk mempertahankan reputasi bisnisnya, dan kebutuhannya untuk mempertimbangkan dampak perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan kerja.”
Namun demikian, direktur perusahaan harus bertindak secara jujur, dapat dipercaya (bona fide) sesuai dengan apa yang akan kemungkinan besar untuk mempromosikan keberhasilan perusahaan untuk kepentingan badan kolektif /bersama para shareholder. Dengan kata lain, direktur diharapkan mempertimbangkan kepentingan/minat para stakeholder lain, sementara mereka hanya boleh melakukannya jika ini adalah kepentingan/minat jangka panjang perusahaan, hingga berakhir ke shareholdernya (pemiliknya). Oleh karena itu, prinsip utama shareholder (principle of shareholder primarcy) masih cukup banyak di Inggris dan Amerika Serikat. Pada saat yang sama, Continental Europe telah bergerak lebih dekat ke sistem tata kelola perusahaan (Corporate Governance) yang berorientasi pada shareholder. Secara khusus, hukum Uni Eropa (UE) telah memindahkan hukum dari 27 negara anggotanya lebih dekat ke hukum Inggris. Contohnya adalah Arahan Pengambilalihan UE 2004 (the 2004 EU Takeovers Directive) yang sebagian besar dimodelkan pada Kode Kota Inggris tentang Penggabungan dan Pengambilalihan (the UK City Code on Mergers and Takeovers) (lihat Bab 7 untuk detail). Pada gilirannya, baru-baru ini tekanan pada perusahaan (besar) untuk berperilaku secara sosial secara bertanggung jawab telah memindahkan pertimbangan stakeholder ke garis depan. Definisi yang lebih netral dan kurang bermuatan politis dari tata kelola perusahaan (Corporate Governance) adalah bahwa yang terakhir berurusan dengan konflik kepentingan (conflicts of interests) antara: a) Penyedia keuangan dan manajer; b) Shareholder dan pemangku kepentingan; c) Berbagai jenis shareholder (terutama shareholder yang besar dan shareholder minoritas);
dan pencegahan atau mitigasi (peringanan) konflik kepentingan ini. Ini adalah definisi yang diadopsi dalam buku ini. Keuntungan penting lainnya dari definisi ini adalah dapat diterapkan pada berbagai jenis sistem tata kelola perusahaan (CORPORATE GOVERNANCE). Lebih tepatnya, definisi ini tidak mengasumsikan bahwa masalah tata kelola perusahaan CORPORATE GOVERNANCE terbatas pada kegagalan manajemen untuk menjaga kepentingan shareholder perusahaan, tetapi juga mencakup kemungkinan masalah tata kelola perusahaan (CORPORATE GOVERNANCE) lainnya yang lebih mungkin muncul di negara tempat perusahaan ditandai dengan kepemilikan dan kontrol terkonsentrasi. Masalah tata kelola perusahaan (CORPORATE GOVERNANCE) ini biasanya terdiri dari konflik kepentingan antara shareholder perusahaan yang besar dan shareholder minoritasnya.
Salah satu kode praktik terbaik pertama dalam CORPORATE GOVERNANCE, bahkan jika bukan yang paling pertama, adalah Cadbury Report yang dikeluarkan pada tahun 1992 di Inggris. Cadbury Report mendefinisikan CORPORATE GOVERNANCE sebagai 'sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan'. Namun, kemudian pada kalimat berikut, “Report” menyebutkan apa yang dianggapnya sebagai peran penting dewan direksi dalam CORPORATE GOVERNANCE: “Dewan direksi bertanggung jawab atas tata kelola perusahaan mereka. Peran para shareholder dalam tata kelola adalah untuk menunjuk direktur dan auditor serta untuk meyakinkan mereka bahwa tersedia struktur tata kelola yang sesuai/tepat. Tanggung jawab dewan termasuk menetapkan tujuan strategis perusahaan, memberikan bekal kepemimpinan untuk diterapkan, mengawasi manajemen bisnis dan melaporkan tentang kepengurusan (tata organisasi) mereka kepada shareholder. Tindakan dewan tunduk pada hukum, peraturan, dan shareholder dalam rapat umum.” Akibatnya, definisi ini kurang umum daripada yang diadopsi dalam buku ini karena setidaknya dua alasan. Pertama, dibangun di atas premis bahwa dewan direksi memiliki peran penting dalam tata kelola perusahaan (CORPORATE GOVERNANCE). Dalam Bab 5 buku ini, kita akan melihat bahwa ada bukti empiris yang sangat sedikit bahwa dewan direksi adalah mekanisme tata kelola perusahaan yang efektif. Kedua, definisi Cadbury juga secara implisit mengasumsikan bahwa para shareholder individu tidak cukup kuat untuk mengambil tindakan ketika manajemen perusahaan mereka berkinerja buruk. Dalam Bab 2, kita akan melihat bahwa ini biasanya tidak terjadi pada perusahaan-perusahaan yang terdaftar di bursa saham di luar Inggris dan AS karena perusahaan-perusahaan ini cenderung memiliki shareholder besar yang memiliki kekuatan suara yang cukup untuk memecat manajemen yang tidak efisien.