Cbd Fara.docx

  • Uploaded by: Dinda Mutiara
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Cbd Fara.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,874
  • Pages: 29
CASE BASED DISCUSSION MORBUS HANSEN & REAKSI LEPRA ENL Diajukan untuk memenuhi sebagian tugas kepaniteraan klinik dan melengkapi salah satu syaratmenempuh Program Pendidikan Profesi Dokter di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RS Islam Jemursari Surabaya

Oleh : Laila Al Istighfara, S.ked

Pembimbing : dr. Meidyta Sinantryana W., Sp.KK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA 2018

DAFTAR ISI

Daftar Isi ................................................................................................................1 BAB I Pendahuluan ................................................................................................2 BAB II Tinjauan Pustaka ........................................................................................4 Definisi ...................................................................................................................4 Epidemiologi ..........................................................................................................4 Etiologi ...................................................................................................................5 Patogenesis .............................................................................................................5 Manifestasi Klinis ...................................................................................................7 Gradasi ....................................................................................................................7 Diagnosis ................................................................................................................9 Diagnosis Banding ................................................................................................11 Penatalaksaan........................................................................................................12 Prognosis ..............................................................................................................22 BAB III Laporan Kasus ........................................................................................23 BAB IV Daftar Pustaka ........................................................................................30

1

BAB I PENDAHULUAN Penyakit kusta merupakan penyakit granulomatosa kronis yang disebabkan oleh

Mycobacterium leprae yang menyerang saraftepi,selanjutnya dapat

menyerang

kulit,

mukosa,

saluran

pernapasan

bagian

atas,

sistem

retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis. 1,2 Gejala klinis pasien kusta sesuai dengan organ tubuh yang diserang. Gejalanya dibagi menjadi gejala kelainan saraf tepi, gejala pada kulit dan organ lain. Lesi pada kulit umumnya diawali dengan bercak putih (hipopigmentasi) bersisik halus pada bagian tubuh, tidak gatal, kemudian membesar dan meluas. Jika saraf sudah terkena, penderita mengeluh rasa baal atau kesemutan pada bagian tertentu, serta kesukaran dalam menggerakkan anggota tubuh yang dapat berlanjut menjadi kekakuan sendi. Rambut alis pun dapat rontok dan terjadi alopesia. 3,4,5 Penderita penyakit kusta dapat mengalami reaksi kusta, yang merupakan suatu reaksi kekebalan yang abnormal (respon imun seluler atau respon imun humoral), dengan akibat yang merugikan penderita. Reaksi kusta dapat terjadi sebelum, selama atau sesudah pengobatan dengan obat kusta.Reaksi kusta dibagi menjadi 2 yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi tipe II merupakan reaksi humoral, yang ditandai dengan timbulnya nodul kemerahan, neuritis, gangguan fungsi saraf tepi, gangguan konstitusi dan adanya komplikasi pada organ tubuh lainnya. 2,3,4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2

A. DEFINISI Penyakit kusta adalah penyakit yang menular ,menahun dan disebabkan oleh kumankusta (Mycobacterium leprae) Gejala klinis dari penyakit kusta meliputi lesi kulit hipopigmentasi, rasa nyeri pada persarafan dan mati rasa pada bagian tubuh atau pada lesi tertentu.Gejala-gejala ini berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Diagnosis penyakit kusta ditegakkan dengan ditemukannya 3 tanda kardinal, yaitu : adanya lesi kulit yang mati rasa, penebalan saraf tepi, dan ditemukannya bakteri tahan asam (BTA) (Prasad, 2005). Penderita penyakit kusta dapat mengalami reaksi kusta, yaitu keadaan eksaserbasi yang ditandai dengan peningkatan aktivitas penyakit secara tiba-tiba.Reaksi kusta sering terjadi sebagai komplikasi pengobatan, tetapi dapat juga terjadi sebelum pengobatan atau sesudah pengobatan selesai dengan obat kusta. Reaksi kusta dibagi menjadi 2 yaitu reaksi kusta tipe I, reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta meningkatkan morbiditas dari penyakit kusta dan dapat menimbulkan kecacatan bagi penderitanya (Rea, 2005).

B. EPIDEMIOLOGI Cara penularan kuman kusta sampai saat ini masih bersifat misterius, yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh penderita, yakni selaput lendir hidung. Penularan penyakit kusta tergantung dari 2 (hal): a. Jumlah dan keganasan Mycobacterium Leprae b.

Daya tahan tubuh penderita Di samping itu faktor yang berperan dalam hal penularan adalah:

a. Usia Anak-anak lebih peka di banding dengan orang dewasa perbandingan 3:2 b.

Jenis kelamin Laki-laki lebih banyak di jangkiti oleh penyakit kusta dibanding wanita (karena kontak lebih banyak pada laki-laki) 3

c. Ras Bangsa-bangsa di Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti oleh penyakit kusta dibanding dengan Eropa d.

Keadaan sosial ekonomi Umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara-negara yang tingkat sosial ekonominya rendah

e.

Lingkungan Lingkungan fisik, biologis, sosial yang kurang sehat. Masa tunasnya (inkubasi) penyakit kusta sangat lama. Umumnya berkisar antara 2 sampai 5 tahun, tetapi bisa mencapai puluhan tahun.

C. ETIOLOGI Penyebab penyakit kusta adalah kuman kusta( mycobacterium leprae), yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1–8 mic, lebar 0,2– 0,5 mic biasanyaberkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA).

Gambar . Mycobacterium Leprae Masa belahdirikumankustaadalahmemerlukanwaktu yang sangat lama dibandingkandengankuman lain, yaitu 12-21 hari. Hal ini merupakan salah satu penyebab masa tunas lama yaitu rata-rata 2–5 tahun. Pertumbuhan optimal dari kuman kusta adalah pada suhu 27°-30°C. D. PATOGENESIS Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh manusia masa sampai timbulnya gejala dan tanda adalah sangat lama dan bahkan bertahun-tahun, masa inkubasinya bisa 3-20 tahun. Sering kali penderita tidak menyadari adanya proses penyakit di dalam tubuhnya. Umumnya penduduk yang

4

tinggal di daerah endemis mudah terinfeksi, namun banyak orang punya kekebalan alamiah dan tidak menjadi penderita kusta (Agusni, 2001). Mycobacterium leprae seterusnya bersarang di sel schwann yang terletak di perineum, karena basil kusta suka daerah yang dingin yang dekat dengan dengan kulit dengan suhu sekitar 27-300C. Mycobacterium leprae mempunyai kapsul yang dibentuk dari protein 21 KD, yang mampu berikatan dengan reseptor yang dipunyai sel schwann yaitu laminin -2 G receptor sejenis  -dystroglycam. Kemampuan adesi tersebut merupakan cara invasi basil kusta pada perineum, sel schwnn sendiri merupakan sejenis fagosit yang bisa menangkap antigen seperti M. leprae, tetapi tidak dapat menghancurkannya karena sel tersebut tidak mempunyai MHC klas II yang mampu berikatan dengan SD4 limfosit, akibatnya basil kusta dapat berkembang biak di sel schwann (Agusni, 2003). Sel schwann seterusnya mengalami kematian dan pecah, lalu basil kusta dikenali oleh sistem imunitas tubuh host, tubuh melakukan proteksi melalui 2 (dua) aspek yaitu imunitas non-sepesifik dan spesifik, makrofag menjadi aktif memfagosit dan membersihkan dari semua yang tidak dikenali (nonself). Peran Cell Mediated Immunity sebagai proteksi kedua tubuh mulai mengenali DNA mengidentifikasi antigen dari M. leprae. Ternyata makrofag mampu menelan M. leprae tetapi tidak mampu mencernanya. Limfosit akan membantu makrofag untuk menghasilkan enzim dan juices agar proses pencernaan dan pelumatan berhasil. Keterkaitan humoral immunity dan Cell Mediated Immunity dalam membunuh basil kusta dapat memunculkan rentangan spektrum gambaran klinik penyakit kusta seperti tipe Tuberkuloid – Tuberkuloid (TT), tipe Borderline Tuberkuloid (BT), tipe Borgerline – Borderline (BB), tipe Borderline Lepromatous (BL) dan tipe Lepromatous – Lepromatous (LL) (Jopling, 2003). E. MANIFESTASI KLINIS

5

Menurut (Dep Kes RI. Dirjen PP& PL, 2007). Tanda-tanda utama atau Cardinal Sign penyakit kusta, yaitu: 1.

Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hypopigmentasi) atau kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa (anaesthesi).

2.

Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer). Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa : a.

Gangguan fungsi sensori

: mati rasa

b.

Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan (paralise)

c. 3.

Gangguan fungsi otonom

: kulit kering dan retak-retak.

Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (BTA positif) Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta apabila di temukan satu atau lebih dari tanda-tanda utama diatas. Pada dasarnya sebagian besar penderita dapat didiagnosis dengan pemeriksaan klinis. Namun demikian pada penderita yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan kerokan kulit. Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua perlu dirujuk kepada wasor atau ahli kusta, jika masih ragu orang tersebut dianggap sebagai penderita yang dicurigai.

Tanda-tanda tersangka kusta (suspek) 1.

2.

Tanda-tanda pada kulit a.

Bercak/kelainan kulit yang merah atau putih dibagian tubuh

b.

Bercak yang tidak gatal dan Kulit mengkilap

c.

Adanya bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak berambut

d.

Lepuh tidak nyeri.

Tanda-tanda pada saraf a. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka b.

Gangguan gerak anggota badan atau bagian muka

6

c. Adanya cacat (deformitas) dan luka (ulkus) yang tidak mau sembuh. F. KLASIFIKASI Untuk keperluan pengobatan kombinasi atau Multi drug Therapy (MDT) yaitu menggunakan gabungan Rifampicin, Lamprene dan DDS, maka penyakit kusta di Indonesia diklasifikasikan menjadi 2 tipe yaitu : a. Tipe PB (Pausi basiler). b. Tipe MB (Multi basiler). Dalam menentukan klasifikasi tipe PB dan MB didasarkan pada criteria seperti tabel dibawah ini. Penentuan tipe tidak boleh berpegang pada hanya salah satu dari kriteria, akan tetapi harus dipertimbangkan dari seluruh kriteria (Depkes RI, 2007). Tabel 1.1 Kriteria untuk tipe PB dan MB

(Depkes RI-Buku

pedoman pemberantasan kusta, 2007) Kelainan kulit dan hasil

PB

pemeriksaan bakteriologis Bercak (makula) 1

MB

1-5

Banyak

Ukuran

Kecil dan besar

Kecil-kecil

Distribusi

Unilateral

a. .

Jumlah

b. c.

atau

bilateral asimetris

Bilateral, simetris

d.

Konsistensi

Kering dan kasar

Halus, berkilat

e.

Batas

Tegas

Kurang tegas

f.

Kehilangan

rasa

Biasanya tidak jelas,

pada bercak

Selalu ada dan jelas

jika ada, terjadi pada yang

sudah

usia

lanjut. g.

Kehilangan

Bercak

kemampuan berkeringat,

tidak Bercak

berkeringat, ada bulu berkeringat,

bulu

rontok pada bercak.

rontok pada bercak

7

tidak rontok.

masih bulu

Infiltrat : 2 a. . Kulit b. Membran (hidung

Ada,kadang-kadang

Tidak ada

tidak ada

mukosa Ada,kadang-kadang

tersumbat Tidak pernah ada

tidak ada.

perdarahan di hidung) 3

1. Punched

.

“central

Ciri-ciri khusus

healing”

penyembuhan tengah

di

out

lession** 2. Madarosis 3. Ginekomastia 4. Hidung pelana 5. Suarasengau

Nodulus .

4

Tidak ada

Penebalan 5syaraf

Kadang-kadang ada Terjadi pada yang

.

Lebih sering terjadi lanjut, dini, asimetris

biasanya

lebih dari satu dan simetris.

Deformitas6(cacat)

Biasanya

. Apusan

7

.

asimetris Terjadi

terjadi dini

stadium lanjut

BTA negative

BTA positif

G. DIAGNOSIS 1. Pemeriksaan kulit Persiapan : a. Tempat. Tempat pemeriksaan harus cukup terang, sebaiknya diluar rumah tidak boleh langsung dibawah sinar matahari. b. Waktu pemeriksaan. Pemeriksaan diadakan pada siang hari (menggunakan penerangan sinar matahari). c. Yang diperiksa : 8

pada

Diberikan penjelasan kepada yang akan diperiksa dan keluarganya tentang cara pemeriksaan. Anak-anak cukup memakai celana pendek, sedangkan orang dewasa (laki-laki dan wanita) memakai kain sarung tanpa baju. Pelaksanaan pemeriksaan : Pelaksanaan pemeriksaan terdiri dari : a. Pemeriksaan pandang, b. Pemeriksaan rasa raba pada kelainan kulit, dan c. Pemeriksaan syaraf tepi dan fungsinya. a. Pemeriksaan Pandang. Tahap pemeriksaan. 1) Pemeriksaan dimulai dengan orang yang diperiksa behadapan dengan petugas dan dimulai kepala (muka, cuping telinga kiri, pipi-kiri, cuping telinga kakan, pipi kanan, hidung, mulut, dagu, leher bagian depan). Penderita diminta untuk memejamkan mata, mengetahui fungsi syaraf dibuka. Semua kelainan kulit diperhatikan. 2) Pundak kanan, lengan bagian belakang, tangan, jari-jari tangan (penderita diminta meluruskan tangan kedepan dengan telapak tangan menghadap kebawah, kemudian tangan diputar dengan telapak tangan menghadap keatas), telapak tangan, lengan bagian dalam, ketiak, dada dan perut ke pundak kiri, lengan kiri dan seterusnya (putarlah penderita pelan-pelan dari sisi yang satu ke sisi yang lainnya untuk melihat sampingnya pada waktu memeriksa dada dan perut). 3) Tungkai kanan bagian luar dari atas ke bawah, bagian dalam dari bawah ke atas, tungkai kiri dengan cara yang dalam dari bawah ke atas, tungkai kiri dengan cara yang sama. 4) Yang diperiksa kini diputar sehingga membelakangi petugas dan pemeriksaan dimulai lagi dari : 5) Bagian belakang telinga, bagian belakang leher,punggung, pantat tungkai bagian belakang dan telapak kaki. Perhatikan setiap bercak (makula), bintil-bintil (nodulus) jaringan parut, kulit yang keriput, dan setiap

9

penebalan kulit. Bilamana meragukan, putarlah penderita pelan pelan dan periksa pada jarak kira-kira ½ meter. 3) Pemeriksaan Rasa Raba pada Kelainan Kulit. Sepotong kapas yang dilancipkan dipakai untuk memeriksa rasa raba. Periksalah dengan ujung dari kapas yang dilancipi secara tegak lurus pada kelainan kulit yang dicurigai. Yang diperiksa sebaiknya duduk pada waktu pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menerangkan bahwa bilamana merasa tersentuh bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus menunjukkan kulit yang disentuh dengan jari telunjuknya atau dengan menghitung sentuhan untuk bagian yang sulit dijangkau, ini dikerjakan dengan mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka ia diminta menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan sepotong kain/karton. Kelainan-kelainan di kulit diperiksa secara bergantian dengan kulit yang normal disekitarnya untuk mengetahui ada tidaknya anaesthesi. 4) Pemeriksaan rasa raba syaraf tepi. Pemeriksaan syaraf : Raba dengan teliti urut syaraf tepi berikut n.auricularis magnus, n.ularis, n.radialis, n.medianus,n.peroneus, dan n.tibialis posterior. Petugas harus mencatat apakah syaraf tersebut nyeri tekan atau tidak dan menebal atau tidak. Ia harus memperhatikan raut muka penderita apakah ia kesakitan atau tidak pada waktu syaraf diraba. 5) Bila hasil pemeriksaan memenuhi kriteria penyakit kusta maka catatlah kelainan-kelainan yang ditemukan pada kartu penderita, sesuai tanda tanda, jumlahnya, besarnya, dan letaknya (Depkes RI, 2007).

H. PENATALAKSANAAN Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insidens penyakit. Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk

10

mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalamjaringan. Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO ( 1995) sebagai berikut: 1.

Tipe PB Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:

a. Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas. b. DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah. Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan. dan setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment = berhenti minum obat kusta) meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan. Tabel 1. Obat dan dosis regimen MDT-PB Obat & Dosis MDT – Kusta PB

Dewasa BB < 35 kg

Anak BB > 35 kg

Rifampisin (diawasi petugas)

10-14 thn 450

450 mg/bln

600 mg/bln

mg/bln

(12-15 mg/kg BB/bl)

Dapson

50 mg/hr (1-2 mg/ kgBB/hr)

100 mg/hr

50 mg/hr (1-2 mg/kgBB/hr)

2. Tipe MB Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa: a. Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas. b. Klofazimin 300 mg/bulan diminum di depan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg/hari diminum di rumah. c. DDS 100 mg/hari diminum di rumah. Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan. Sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis

11

lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif Menurut WHO ( 1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT. Dosis untuk anak : Klofazimin: Umur di bawah 10 tahun : bulanan 100 mg/bulan harian 50 mg/2 kali/minggu Umur 11-14 tahun : bulanan 100 mg/bulan harian 50 mg/3 kali/minggu DDS

: 1 - 2 mg/kg berat badan

Rifampisin: 10-15 mg/kg berat badan Tabel 2. Obat dan dosis regimen MDT-MB Obat & Dosis MDT –

Dewasa

Anak

Kusta MB

BB < 35 kg

BB > 35 kg

10-14 thn

Rifampisin (diawasi

450 mg/bln

600 mg/bln

450

petugas)

mg/bln

(12-15 mg/kgBB/bln)

Klofazimin

300

mg/bln

petugas)

dan

(diawasi dilanjutkan

esok 50 mg/hr

200 mg/bln (diawasi) dan dilanjutkan esok 50 mg/hr

Dapson

50 mg/hr 1-2 mg/kgBB/hr)

100 mg/hr

50 mg/hr (1-2 mg/ kgBB/hr)

Pengobatan MDT terbaru Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO ( 1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 (satu) cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, olloksasin 400 mg, dan minosiklin I 00 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 bulan.

Putus Obat

12

Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.

Evaluasi Pengobatan Evaluasi pengobatan menurut Buku Panduan Pemberantasan Penyakit Kusta Depkes ( 2007) adalah sebagai berikut: a. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6 dosis dalam waktu 6 sampai 9 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium. b. Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 24 dosis dalam waktu 24-36 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium. c. RFT dapat dilaksanakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium. Dikeluarkan dari register pasien dan dimasukkan dalam register pengamatan (surveillance) dan dapat dilakukan oleh petugas kusta.

G. REAKSI KUSTA Reaksi kusta adalah episode akut penyakit kusta dengan gejala konstitusi, aktivasi, dan atau timbulnya efloresensi baru di kulit padaperjalanan penyakit ini yang sebenarnya sangat kronis. Reaksi kusta merupakan reaksi hipersensitivitas (Ni Putu Ayuni, 2015). Reaksi Kusta terbagi menjadi 2 yaitu : 1. Reaksi Kusta Tipe 1 Reaksi ini terjadi pada spektrum borderline. Reaksi tipe 1 terbagi menjadi 2 yaitu : a. Reaksi upgrading (reversal) Pada reaksi reversal, terjadi perubahan tipe spektrum BT menjadi spectrum TT.

13

b. Reaksi downgrading Pada reaksi reversal, terjadi perubahan tipe spektrum borderline menjadi spectrum LL. Reaksi ini dapat terjadi pada pasien yang tidak mendapat pengobatan. Lesi multiple yang baru muncul dan memiliki karakteristik lesi LL yaitu lesi kecil, simetris dan ill-defined. AFB mungkin

tampak pada lesi baru. Nodus limfe regional mungkin

membesar dan basil tampak pada FNAC. Pasien resiko tinggi yaitu spectrum borderline dengan 10 lesi kulit dan penebalan saraf lebih dari 3. 2. Reaksi Kusta Tipe 2 Reaksi tipe 2 adalah komplikasi imunologispaling serius pada pasien BL dan LL. Pada reaksi ini terjadi peningkatan deposit kompleks imun di jaringan. Lebih jauh, pada ENL terjadi peningkatan sementara respons imunitas yang diperantarai sel dengan ekspresi pada sitokin tipe Th1. Sel T mayor pada ENL adalah CD4+; TNF dan IL-6 juga muncul pada lesi kulit ENL, sementara kadar IL-4 yang rendah mendukung peran Th1 pada reaksi ini.Kejadian ini umumnya timbul pada tipe lepromatosa polar dan BL, makin tinggi tingkat multibasilernya, makin besarrisiko terjadinya ENL. Gejala konstitusional yang muncul berupa demam, menggigil, nyeri sendi, mual, sakit saraf, dan otot dari ringan sampai berat. Pada reaksi tipe 2 perubahan efloresensinya berupa nodus eritema dannyeri dengan tempat predileksi lengan dan tungkai. Pada kasus berat dapat menyerang sistemik, sehingga menyebabkan iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis, dan nefritis akut dengan proteinuria. Diagnosis banding reaksi tipe 2 adalah eritema nodosum dengan penyebab bakteri lain, seperti tuberkulosis dan infeksi streptokokus. Yang membedakan adalah lokasi lesi yang lebih banyak ditemukan di luar tungkaibawah. ENL berbentuk bula dapat didiagnosis banding dengan penyakit imunobulosa. ENL berbentuk ulkus dapat menyerupai pioderma gangrenosum, sedangkan ENL kronik dapat menyerupai penyakit jaringan ikat atau keganasan limforetikuler (Ni Putu Ayuni, 2015).

14

No 1

Spektrum

2

Lesi Kulit

Tipe 1

Tipe 2

Borderline (BT, BB, BL)

Lepromatous (BL, LL) Nodul

baru

muncul

berkelompok 3

Kerusakan

Sering dan parah

Tidak terlalu parah

Tidak umum

Demam, lemah, artralgia,

Saraf 4

Sistemik

dan limfadenitis 5

Organ lain

Iritis,

orchitis,

dan Sangat umum terjadi

glomerulonefritis

tidak

terjadi 6

Pengulangan

jarang Pengulangan

terjadi

terjadi

biasanya

7

AFB

Tidak ditemukan

Basil yang rusak

8

Investigasi

Rutin : normal

Urin : albuminuria

9

Patogenesis

Reaksi antigen antibodi Reaksi antigen antibodi tipe 4 (Gel dan Coombs)

tipe 3 (peningkatan IgG, IgM,C2 dan C3)

10

Histopatologi

Edema

dengan Edema

dengan

infiltrat

pengurangan basil dan neutrofil dan vaskulitis peningkatan

limfosit.

Granuloma tidak teratur. Tabel . Perbedaan Antara Reaksi Tipe 1 dan Tipe 2 Reaksi Tipe 1 Terapi untuk reaksi tipe 1 biasanya dengan kortikosteroid. 

Prednison (peroral) 40-60 mg/hari sampai lebih dari 1 bulan. Ketika reaksi terkontrol, dilakukan tappering off.



Clofazimin 300 mg/hari bisa ditambahkan dalam pengobatan.



Cyclosporin bisa digunakan jika terapi steroid gagal, dengan dosis 5-10 mg/kg. Jika selama pengobatan, fungsi saraf gagal berkembang

sementara

fungsi

lainnya

kembali

normal,

kemungkinan kompresi manual harus dievaluasi melalui

15

eksplorasi bedah. Transposisi nervus ulnaris tampaknya tidak lebih efektif dibanding terapi imunosupresi untuk disfungsi nervus ulnaris. ENL : 

Thalidomide merupakan pilihan utama pengobatan ENL karena keefektivitasannya. Dosis awal sampai 400 mg/hari pada pasien yang lebih dari 50 kg. Dosis ini sangat sedatif, sehingga memiliki efek samping pada SSP. Maka, pengobatan dengan dosis tinggi diberikan pada jangka waktu singkat. Pada kasus sedang, dimulai dengan dosis awal 100-200 mg/kg. Pada kasusENL akut, obat dihentikan setelah beberapa minggu atau bulan. Pada reaksi tipe 2 kronik, usaha penghentian obat dilakukan setelah 6 bulan. Thalidomid dalam sejarah menimbulkan efek teratogenik berupa fokomelia, jarang ditemukan di Indonesia. Efek terapi thalidomid pada ENL diperkirakan berhubungan dengan stimulasi imun sementara, obat ini bisa mempromosikan imuno regulator secara aktif. Obat ini tersedia dalam bentuk kapsul 50 mg. Mengingat efekteratogeniknya, obat ini tidak dipergunakan dalam program di Indonesia (Ni Putu Ayuni, 2015).



Clofazimine dosis tinggi (hingga 300 mg/hari) efektif pada ENL dan bisa digunakan sendiri atau untuk mengurangi dosis kortikosteroid atau thalidomide.



Kombinasi pentoxifylline 400-800 mg 2 kali/hari dan clofazimine 30 mg/hari dapat digunakan jika thalidomide tidak dapat diberikan atau untuk menghindari penggunaan steroid sistemik untuk pengobatan ENL berat.



TNF inhibitor, seperti infliximab, efektif mengobati ENL yang berulang (Depkes RI, 2007).

I. PROGNOSIS Prognosis penyakit kusta bergantung pada tipe kusta yang diderita oleh pasien, akses ke pelayanan kesehatan dan penanganan awal yang diterima oleh pasien. Relaps pada penderita kusta terjadi sebesar 0,01 –

16

0,14% per tahun dalam 10 tahun. Perlu diperhatikan terjadinya resistensi terhadap dapson atau rifampisin. Karena berkurangnya kemampuan imunitas tubuh, kehamilan pada pasien kusta wanita yang berusia dibawah 40 tahun dapat mempercepat timbulnya relaps atau reaksi. Secara keseluruhan, prognosis kusta pada anak lebih baik, karena pada anak jarang terjadi reaksi kusta (Lewis, 2010).

BAB III LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN Nama

: Tn. AS

Usia

: 45 tahun

Alamat

: Gumeng, Gondang, Mojokerto

Pekerjaan : Petani Agama

: Islam

No. Rm

: 093785

B. ANAMNESIS Keluhan Utama

17

Keluhan Subyektif : bentol panas dan nyeri pada lengan bawah dan paha kanan kiri Keluhan Obyektif : bentol kemerahan pada lengan bawah dan paha kanan kiri Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang dengan keluhan bentol yang terasa nyeri, panas dan memerah sejak 2 bulan lalu pada paha dan lengan bawah kanan kiri disertai dengan demam, muntah sejak 4 hari ini, sendi lutut terasa pegalpegal dan badan terasa lemas. Gigi berlubang (+), hipertensi disangkal, DM disangkal. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien 14 bulan lalu didiagnosakusta tipe MB dan telah menyelesaikan pengobatan MDT-MHsecara teratur selama 12 bulan namun harus diulang kembali karena pada pemeriksaan BTA terakhir didapatkan BI = +3 dan MI=5 kuman. Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada yang mengalami keluhan/sakit serupa didalam keluarga.

Riwayat Pengobatan Saat ini pasien masih dalam pengobatan MDT-MH ke 14 Riwayat Kebiasaan Pasien sehari-hari bekerja disawah. Riwayat Alergi Obat/ Makanan  Alergi Obat disangkal  Alergi makanan disangkal C. PEMERIKSAAN FISIK Status Generalis  Keadaan umum : Baik  Kesadaran : Compos mentis  Tanda vital -

Tekanan darah : 110/70 mmHg

-

HR : 80x/menit 18

-

RR : 20x/menit

-

T : 38 C

 Kepala Mata

: Anemis +/+, Ikterik -/-, injeksi konjungtiva -/-, lagoftalmus -/-

Hidung

: dbn

Mulut

: dbn

 Leher

: dbn

 Thorax

: Cor S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-), Pulmo Vesikuler kanan/kiri, Ro-/-, Wheezing -/

 Abdomen : dbn  Ekstremitas : ulkus kronik + Status Dermatologi  Lokasi I

: regio antebrachii dextra et sinistra

Eflorosensi : nodul eritematosa multiple, bentuk bulat, ukuran lentikulernumular, berbatas tegas, diskret, bilateral.  Lokasi II : regio cruris dextra et sinistra Eflorosensi : -

ulkus dengan dasar hipopigmentasi, bentuk tidak teratur, plakat dan berbatas tegas

-

nodul eritematosa multiple, bentuk bulat, ukuran lentikulernumular, berbatas tegas, diskret, bilateral.

 Lokasi III

: regio femoris dextra et sinistra

Eflorosensi : nodul eritematosa multiple, bentuk bulat, ukuran lentikuler- numular, berbatas tegas, diskret, bilateral.

Regio antebrachii sinistra

19

Regio antebrachii dextra

20

Regio femoris dextra

Regio femoris sinistra

21

Regio cruris

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG  Darah lengkap -

Hb : 5,9

-

Leukosit : 7.300 dL/uL

-

Eritrosit : 4,2 juta/uL

-

Trombosit : 180 ribu/uL

 Pemeriksaan bakterioskopi : -

BI : +3

-

MI : 5 kuman

E. RESUME Nama

: Tn. AS

Usia

: 45 tahun

Alamat

: Gumeng, Gondang, Mojokerto

22

Pekerjaan : Petani Agama

: Islam

No. Rm

: 093785

Telah dilaporkan kasus Morbus Hansen dengan reaksi ENL + Anemia + ulkus kronik pada Tn. AS dengan usia 45 tahun yang datang ke poliklinik kulit RS Kusta Sumber Glagah Mojokerto dengan keluhan utama bentol panas dan nyeri pada lengan bawah dan paha kanan kiri. Diagnosis Morbus Hansen dengan reaksi ENL + Anemia + ulkus kronik berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan pasien mengeluh bentol yang terasa nyeri, panas dan memerah sejak 2 bulan lalu pada paha dan lengan bawah kanan kiri disertai dengan demam, muntah sejak 4 hari ini, sendi lutut terasa pegal-pegal dan badan terasa lemas. Dari pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis, pada status dermatologi regio antebrachii dextra et sinistra, regio femoris dextra et sinistra serta regio cruris dextra et sinistra didapatkan nodul eritematosa multiple, bentuk bulat, ukuran lentikuler-numular, berbatas tegas, diskret, bilateral dan terdapat ulkus dengan dasar hipopigmentasi, bentuk tidak teratur, plakat dan berbatas tegas. Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan Hb : 5,9 g/dl, bakterioskopi BI : +3, MI : 5 kuman. F. DIAGNOSIS BANDING a. Eritema Nodusa b. Urtikaria G. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Darah Lengkap post tranfusi PRC H. DIAGNOSIS KERJA MH tipe MB + ENL + Anemia + ulkus kronik I. TATALAKSANA Farmakologi  Infus RL 14 tpm  Transfusi PRC s/d 3 kolf  Inj ranitidin 2x1  Inj ondansetron 2x4 23

 B6 2x1  Lesipar 2x1  Stop MDT-MH  Perawatan Luka Non Farmakologi  MRS  Menjelaskan tentang penyakit pasien yaitu MH tipe MB dengan reaksi kusta + anemia + ulkus kronik dan menjelaskan bahwa pengobatannya membutuhkan waktu yang lama.  Perawatan luka dan imobilisasi  Menyarankan pasien untuk menghindari factor pencetus terjadinya reaksi.  Konsumsi makanan tinggi zat besi. I. PROGNOSIS Ad Vitam

: ad bonam

J. EDUKASI Aspek klinis  Menjelaskan tentang penyakit pasien yaitu MH tipe MB dengan reaksi kusta + anemia + ulkus kronik dan menjelaskan bahwa pengobatannya membutuhkan waktu yang lama.  Meminum obat oral secara teratur.  Merawatdan menghindari tekanan berlebihan pada luka agar tidak semakin parah.  Menjelaskan tentang cara pemakaian obat dan efek samping yang dapat ditimbulkan.  Menjaga pola makan dan istirahat yang cukup  Menjaga kerbersihan diri Aspek Islami 

Sabar, ikhlas dan tawakal serta selalu ikhtiar dalam menghadapi penyakit yang diderita kepada Allah SWT



Pencegahan Kusta

24

Islam mengajarkan berbagai upaya pencegahan penyakit kusta dengan dimensi penjelasan yang variatif. Sebagian mampu kita berikan penjelasan secara rasional, namun sebagian yang lain belum sampai kita singkap rahasia di dalamnya. 1. Konsumsi Garam Yang Cukup Hal paling sepele dan paling dini yang diajarkan Islam dalam mencegah terjadinya kusta adalah mengkonsumsi garam. Dalam pesan Nabi kepada Sayidina Ali disebutkan:

ْ ‫لم ْلحِ َو‬ ْ ‫لم ْلحِ َو‬ ‫اختَت َ َم ِب ِه‬ ِ ْ ‫اخ ِت ْم ِب ِه َف ِإنَّ َم ِن ْافتَت َ َح َط َعا َمهُ ِبا‬ ِ ْ ‫ْافتَحْ َط َعا َمكَ ِبا‬ ‫ص‬ ُ ‫س ْب ِع ْينَ نَ ْوعًا ِم ْن أ َ ْن َواعِ ا ْلبَالَ ِء ِم ْن َها اْل ُجذَا ُم َواْلبَ َر‬ َ ‫ع ُْوفِ َي ِم ِن اثْنَي ِْن َو‬ "Mulailah makananmu dengan garam dan akhirilah (juga) dengan garam, maka kamu akan dijauhkan dari tujuhpuluh macam dari beberapa macam cobaan. Dan termasuk diantaranya kusta dan lepra" Rasionalisasi dari sabda nabi di atas adalah dimungkinkan karena garam sebagai salah satu pendukung utama makanan pokok, mempunyai beberapa kandungan zat yang sangat berguna untuk membentuk kekebalan tubuh maupun menetralisir proses tertentu di dalam tubuh yang bermanfaat dalam pencegahan penyakit termasuk kusta. 2. Merawat Organ Dan Jaringan Saraf Sekitar Mulut Mungkin kita tidak menyadari ada sebagian organ tubuh kita merupakan titik pangkal saraf yang menjadi sumber penyakit kusta. Dari beberapa keterangan yang kami temukan, mulut adalah organ yang paling banyak diulas sebagai bagian tubuh yang mempunyai akses saraf yang berperan merangsang terjadinya kusta. Disebutkan keterangan dalam berbagai referensi baik dari hadis maupun dari keterangan ulama :

‫ال تخللوا بعود الريحان وال الرمان فإنهما يحركان عرق الجذام‬

25

"Janganlah kamu menyela-nyelai (gigimu) dengan kayu tumbuhan raihan (tumbuhan berbau harum) atau kayu pohon delima karena keduanya akan menggerakkan urat (saraf) dari kusta. HR. Haytsamy

BAB IV DAFTAR PUSTAKA

1. Zaenglein AL, Graber EM, Thiboutot DM, Strauss JS. Acne vulgaris and acneiform eruption. In: Fitzpatrick TB, Eisen AZ, Wolff K, Freedberg IM, Austen K, eds. Dermatology in general medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill, 2008:690-703. 2. Kurokawa I, Danby FW, Ju Q, Wang X, Xiang LF, Xia L, Chen WC, Nagy I, et al. New developments in our understanding of acne pathogenesis and treatment. Experimental Dermatology. 2009; 18: 821-32. 3. Cunliff e WJ, Gollnick HPM. Clinical features of acne. In: Cunliffe WJ, Gollnick HPM, eds. Acne diagnosis and management. London: Martin Dunitz Ltd, 2001:49-68. 4. Perkins AC, Cheng CE, Hillebrand GG, Miyamoto k, Kimball AB. Comparison of the epidemiology of acne vulgaris among Caucasian, Asian,

26

Continental Indian and African American women. J Eur Acad Dermatol Venerol. 2011;25(9):1054-60. 5. Zouboulis CC, Eady A, Philpott M, Goldsmith LA, Orfanos C, Cunliffe WC, Rosenfi eld R. What is the pathogenesis of acne. Experimental Dermatology. 2005; 14: 143-52. 6. Haider A, Shaw JC. Treatment of acne vulgaris. JAMA. 2004;292(6):72635. 7. Harper JC. An update on the pathogenesis and management of acne vulgaris. J Am Acad Dermatol. 2004;51(1):S36-8. 8. Addor FAS, Schalka S. Acne in adult women. An Bras Dermatol 2010;85(6):789-95. 9. Jacyk WK. Acne vulgaris. Grades of severity and treatment options. SA Fam Pract. 2003;45(9):32-6. 10. Cunliffe WJ, Gollnick HPM. Topical therapy. In: Cunliffe WJ, Gollnick HPM, eds. Acne diagnosis and management. London: Martin Dunitz Ltd, 2001:107-14. 11. Pappas A. The relationship of diet and acne-a review. Dermatoendocrinology. 2009;I(5);262-7. 12. Batra, Sonia. Acne. In: Ardnt KA, Hs JT, eds. Manual of Dermatology Therapeutics 7th ed. Massachusetts:Lippincot Williams and Wilkins; 2007. P:4-18. 13. Boxton PK. ABC of Dermatology 4th ed. London:BMJ Group;2003. p:479. 14. Cunliff e WJ, Gollnick HPM. Clinical features of akne. In: Cunliff e WJ, Gollnick HPM, eds. Akne diagnosis and management. London: Martin Dunitz Ltd, 2001:49-68. 15. Dreno B, Poli F. Epidemiology of Acne. Dermatology, Acne Symposium at the World Congres of Dermatology Paris July 2002. p:7-9. 2003 16. Hunter John, Savin John, Dahl Mark. Clinical Dermatology 3rd ed. Massachusetts: Blackwell Science,Inc.;2002. p:148-156.

27

17. James WD, Berger TG, Elston DM. Acne. In : James W, Berger T, Elston DM, eds. Andrews’ disease of the skin Clinical Dermatology 10th ed. Canada : El Sevier; 2000. p: 231-44. 18. Lehmann HP, Robinson KA, Andrews JS et al. Acne therapy: a methodologic review. J Am Acad Dermatol. 2002. 47:231–240.

28

Related Documents

Cbd Andri.docx
May 2020 10
Cbd Fara.docx
June 2020 16
Cbd Brpn.docx
May 2020 14
Cbd-pe.pptx
May 2020 14
Cbd Psikotik.docx
December 2019 22
Cbd Dispepsia.docx
May 2020 12

More Documents from "ivan"