Potret Kiai Desa: Perempuan, Pendidikan, Dan Perubahan Sosial

  • Uploaded by: Khaerul Umam Noer
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Potret Kiai Desa: Perempuan, Pendidikan, Dan Perubahan Sosial as PDF for free.

More details

  • Words: 2,898
  • Pages: 10
Potret Kiai Desa: Perempuan, Pendidikan, dan Perubahan Sosial1 Khaerul Umam Noer2 Abstrak Makalah ini secara khusus akan memperbincangkan sosok kiai desa, KH. Noer Alie, yang pada tahun 2006 lalu dianugrahkan sebagai pahlawan nasional. Sebagai sosok kiai yang terkemuka, beliau mengerti betul akan makna pentingnya pendidikan, tidak hanya bagi laki-laki, namun juga perempuan. Sejak tahun 1965, beliau telah mendirikan sebuah lembaga pendidikan khusus perempuan, bernama Pondok Pesantren Attaqwa Putri. Kebijakan beliau untuk membuat sebuah lembaga pendidikan bagi perempuan adalah sebuah terobosan tersendiri, terutama jika melihat konteks masa itu. Model kepemimpinan beliau, disadari atau tidak, mengusung semangat dan perspektif gender. Beliau menyadari sepenuhnya fungsi pendidikan dan pengaruh pendidikan bagi setiap orang, terutama perempuan. Menjelang setengah abad usia pendirian pesantren tersebut, banyak hal telah terjadi, tidak hanya di lingkungan pesantren, namun juga bagi masyarakat luas. Keberadaan dan pengaruh pesantren tersebut, tentunya tidak terlepas dari keberadaan sosok KH. Noer Alie, telah membawa sebuah konstelasi baru dalam dunia sosial budaya di wilayah Bekasi, sebuah perubahan besar yang dimulai dari suatu langkah sederhana: pendidikan bagi perempuan, dan membawa implikasi yang sangat luas: perubahan sosial di masyarakat. Kata kunci: kepemimpinan, perspektif gender, pendidikan, perubahan sosial.

KH. Noer Alie, Biografi Singkat KH. Noer Alie, dilahirkan di Ujungharapan pada 15 Juni 1913 dari lingkungan keluarga desa, dari keluarga Anwar bin Layu dan Maimunah binti Tarbin. Memiliki istri Rahmah binti K.H. Mughni (guru dari KH. Noer Alie), dan memiliki sepuluh orang anak yang hampir semuanya merupakan elite agama penting di wilayah Bekasi dan sekitarnya. Desa Ujungharapan sendiri terletak di wilayah Kecamatan Babelan, 1

Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Kepemimpinan yang Berperspektif Gender, Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 18 Juni 2009.

2

Koordinator Kajian Sejarah dan Sosial, Social and Cultural Research Center Nuruttaqwa Foundation, Bekasi. Anda dapat menghubungi saya di [email protected].

1

Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Pada awal abad ke-20, perkampungan ini masuk dalam wilayah Order District Babelan, Distrik Bekasi, Regentschap (Kabupaten) Meester Cornelis, Residensi Batavia (Anwar, 2006:1). Desa ini terletak dipesisir utara pulau Jawa bagian barat, membujur antara 1060 48' 79 LU dan 070 77'29 BT dengan cuaca yang cenderung panas dan kering (Huda 2001). Di desa ini KH. Noer Alie mendirikan sebuah yayasan yang menaungi hampir semua lembaga pendidikan di wilayah Kecamatan Babelan dan wilayah-wilayah lain. Pada awalnya, KH. Noer Alie hanya membuat sebuah pesantren kecil, tidak jauh dari rumahnya. Pesantren kecil tersebut didirikan setelah kepulangannya dari menuntut ilmu di Mekkah pada 1940. Pesantren kecil tersebut lebih banyak memfokuskan pada pengajaran cara membaca al Quran yang baik dan benar bagi para penduduk sekitar. Pada tahun 1950, KH. Noer Alie mendirikan Madrasah Ibtidaiyah dan disusul dengan pendirian Pesantren Islam Bahagia yang setingkat dengan Madrasah Tsanawiyah. Pada tahun 1956, didirikan sebuah yayasan yang bertujuan untuk menaungi seluruh kegiatan belajar

mengajar

yang

sedang

berlangsung

bernama Yayasan

Pembangunan,

Pemeliharaan dan Pertolongan Islam (YP3I) yang terdaftar dalam Akte Notaris Eliza Pondang SH. Pada tahun 1962, didirikan Madrasah Menengah Attaqwa (MMA) yang merupakan perubahan sistem dari Pesantren Islam Bahagia, dengan lama pendidikan selama 6 tahun; dan pada tahun 1964 didirikan pesantren putri Albaqiyyatussalihat yang menjadi cikal-bakal Pondok Pesantren Attaqwa Putri (Anwar 2006, Yayasan Attaqwa, 1994.:4-5). Pada tahun 1986, nama Yayasan Pembangunan, Pemeliharaan dan Pertolongan Islam (YP3I) berubah nama menjadi Yayasan Attaqwa dan terdaftar dalam Akte Notaris Soedirja S.H, Nomor 16 Tanggal 17 Desember 1986. Sejak perubahan nama yayasan inilah pengelolaan yayasan yang semula bersifat tradisional perlahan-lahan berubah pada pengelolaan yang lebih modern. Pada tahun yang sama pengelolaan yayasan Attaqwa dilimpahkan dari KH. Noer Alie pada generasi penerusnya, dimana proses kaderisasi telah berlangsung dan masih berlangsung hingga saat ini. Pada saat wafatnya pada tanggal 29 Januari 1992 di Ujungharapan, Yayasan Attaqwa yang didirikan oleh KH.

2

Noer Alie telah memiliki lebih dari 150 cabang sekolah dengan lebih dari 30.000 murid dan tenaga pengajar yang tersebar di wilayah Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, dan Kabupaten Karawang (Anwar 2006, Yayasan Attaqwa 1994:5-9). Perempuan dan Pendidikan: Pondok Pesantren Attaqwa Putri Salah satu peninggalan KH. Noer Alie yang paling besar adalah sebuah lembaga pendidikan yang ditujukan secara khusus bagi perempuan dan masih terus bertahan, bahkan terus berkembang hingga saat ini, sebuah lembaga pendidikan bernama Pondok Pesantren Attaqwa Putri. Pondok Pesantren Attaqwa Putri, semula bernama Pesantren Albaqiyatussalihat, didirikan pada tahun 1964 dan diresmikan satu tahun sesudahnya, yakni pada tahun 1965. Pada awalnya, Pesantren al Baqiyatussalihat berada di bawah naungan Yayasan Pembangunan, Pemeliharaan, dan Pertolongan Islam (YP3I). Pada 17 Desember 1986, Yayasan Pembangunan, Pemeliharaan, dan Pertolongan Islam berganti nama menjadi Yayasan Attaqwa, maka Pesantren al Baqiyatussalihat pun berganti nama menjadi Pondok Pesantren Attaqwa Putri (Pondok Pesantren Attaqwa Putri, t.t:2). Pondok Pesantren Attaqwa Putri merupakan sekolah swasta dengan akta notaris Soedirja, S.H di Bekasi No.16/17 Desember 1986. Pondok ini terdiri dari Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah, pada tahun 1986, didirikanlah jenjang yang lebih tinggi, yakni Pesantren Tinggi Attaqwa Putri (Huda, 2001:5). Pondok ini memiliki struktur organisasi yang lengkap dan terpisah dari Pondok Pesantren Attaqwa Putra. Dipimpin oleh seorang Pimpinan Pondok sebagai pemimpin utama, dan diperbantukan oleh Kepala Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Kepala Madrasah Aliyah (MA). Baik Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah memiliki struktur yang berbeda, namun kedua struktur tersebut bertanggungjawab langsung pada pimpinan pondok. Sejak awal pendirian, pondok ini telah mengalami lima kali pergantian pimpinan pondok sejak didirikan pada tahun 1964, K.H. Ahmad Tadjuddin (1964-1969), Drs. H. Mas'ud Abdullah (1969-1977), H.A. Madrais Hajar, Lc (1977-1980), K.H. M. Amin Noer, Lc (1980-1986), dan Hj. Atiqoh Noer Alie, MA (1986-sekarang). Seluruh staff

3

personalia pondok ini merupakan perempuan, demikian pula tenaga pengajarnya. Hampir 85% tenaga pengajar pondok ini perempuan dan kebanyakan dari mereka adalah alumni yang mengajar setelah menyelesaikan studi di berbagai universitas, baik di dalam maupun di luar negeri (Huda, 2001:25-26) Lembaga pendidikan ini memiliki visi dan misi, sebagaimana telah ditetapkan oleh KH. Noer Alie, adalah menciptakan santri yang berilmu amaliah beramal ilmiah dengan landasan al Quran dan sunnah Rasul SAW yang diformulasikan dalam kalimat singkat: ikhlas, berzikir, berpikir, dan beramal. Pondok ini memiliki misi membentuk insan sholehah yang mampu menegakkan ajaran Islam dalam aspek kehidupannya, insan yang berzikir dan berfikir, yang mampu menerima dan memberi nasehat, tidak otoriter dan tidak pula rendah diri (Ponpes Attaqwa Putri, t.t.:2-3). Dalam bentuk konkretnya, tujuan pendidikan di pondok ini adalah membentuk muslimah yang: (1) cerdas, yakni santri yang mempunyai kecerdasan untuk memahami dan menerima Islam secara kaffah dan mempunyai kesanggupan untuk menggali ilmu dengan ikhlas, (2) benar, yakni santri yang mempunyai aqidah yang benar, melakukan ibadah yang baik dan memiliki akhlak yang karimah (terpuji), (3) terampil, yakni santri yang mempunyai kemampuan untuk membaktikan ilmunya ditengah masyarakat dan mempunyai kesanggupan untuk berusaha, dan (4) disiplin, yakni santri yang mempunyai kedisiplinan yang tinggi untuk mengatur waktu dan kehidupannya. Di samping tujuan-tujuan yang telah dijelaskan di atas, pondok ini juga menetapkan tujuan-tujuan lain, yaitu: (1) meningkatkan Sumber Daya Manusia perempuan yang dicapai dengan meningkatkan kualitas SDM santrinya semaksimal mungkin untuk bekal mereka di masyarakat, baik berupa pelajaran agama dan umum, tata cara beribadah, dan memberikan berbagai keterampilan kepada santri yang belajar di pondok ini, (2) Membentuk calon-calon guru dan dai'yah yang siap pakai di masyarakat yang dicapai dengan memberikan pelajaran berupa praktek mengajar sore bagi siswi tiga aliyah, latihan berpidato pada acara muhadharah, latihan berceramah di majelis-majelis taklim di sekitar pondok, dan praktek mengajar di beberapa Madrasah Ibtidaiyah yang

4

bernaung di bawah Yayasan Attaqwa, dan (3) Mencetak pemimpin-pemimpin Islam yang mempunyai visi dan misi yang istiqamah sebagai iqamatuddin (Huda, 2001:8-9). Pendidikan dan Perubahan Sosial: Kebijakan dan Implikasinya Kebijakan yang diambil oleh KH. Noer Alie untuk membuat sebuah lembaga pendidikan yang dikhususkan bagi perempuan merupakan terobosan penting di masyarakat pada masanya. Secara historis, pada awal abad 20 memang telah banyak muncul gerakan perempuan yang memfokuskan pada pengadaan pendidikan bagi perempuan (lihat Vreede-de Stuers 2008), namun secara pribadi saya meragukan keputusan yang diambil oleh KH. Noer Alie memiliki kaitan erat dengan gerakangerakan tersebut. Keputusan untuk mendirikan sekolah yang menyelenggarakan bagi perempuan pada masa awal pengembangan pendidikan nampaknya terdorong karena dua hal: pertama, boleh jadi hal ini merupakan pengaruh dari gerakan kebangkitan nasionalisme yang salah satu ide dasar yang muncul adalah pendidikan, termasuk pendidikan bagi perempuan (lihat Martyn 2005), dan boleh jadi sentimen nasionalisme ini juga bergerak tidak hanya di Indonesia, namun juga di negara lain di mana pelajar Indonesia berada, termasuk di Mekkah. Hal ini tentu saja mungkin terjadi mengingat adanya hubungan genealogis keilmuan antara para ulama Haramayn dengan ulamaulama di Nusantara (Azra 2004), meskipun secara spesifik tentu saja membutuhkan penelitian tersendiri. Kedua, hal ini boleh jadi didorong oleh semangat agama Islam yang menyatakan secara jelas bahwa Allah SWT memperlakukan sama antara laki-laki dan perempuan dalam kewajiban untuk menuntut ilmu. Berdasarkan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan oleh pendiri pondok ini, nampak jelas bahwa tujuan utama pendirian pondok ini adalah menyediakan akses pendidikan bagi setiap perempuan. Hal ini tentu saja tidak selalu berjalan mulus, sebab pada masa itu, pendidikan bagi perempuan bukan lah sesuatu yang dianggap penting. Pendidikan utamanya hanya diberikan bagi laki-laki, sedangkan perempuan mendapatkan pendidikan hanya dari orang tua mereka, dan juga dari kebaikan hati saudara laki-laki mereka untuk memberikan pengetahuan yang mereka dapatkan kepada saudara

5

perempuan mereka (Anwar 2006). Penyediaan pendidikan bagi perempuan dengan demikian tidak lah dianggap penting dan mendesak, sebab perempuan lebih ditempatkan sebagai subordinat bagi laki-laki di rumah tangga tanpa pernah mendapatkan kesempatan dan akses yang sama dengan yang dimiliki oleh laki-laki. Salah satu kesulitan terbesar pada awal pendirian sekolah ini adalah resistansi, dan dalam beberapa hal berupa penolakan dari masyarakat. Hal ini dapat dilihat dengan masih kuat dan mengakarnya budaya untuk mengawinkan seorang perempuan segera setelah ia mendapatkan menarche. Adanya tekanan budaya yang kuat terhadap keluarga yang mengirimkan anaknya untuk belajar di sekolah yang didirikan oleh KH. Noer Alie menyebabkan mereka menarik kembali anak perempuan mereka karena khawatir disebut sebagai ‘perawan tua yang tidak laku’ (Ponpes Attaqwa Putri, t.t.:8). Kondisi ini memicu KH. Noer Alie untuk mengambil sebuah kebijakan besar: setiap anak yang dikirim untuk belajar tidak boleh diambil kembali kecuali setelah menyelesaikan pendidikan mereka selama empat tahun dan dinyatakan lulus (Huda, 2001:7). Kebijakan tersebut diambil dengan mempertimbangkan tiga hal: pertama, pendidikan dianggap sebagai solusi untuk mencegah pernikahan dalam usia yang sangat muda; kedua, pendidikan yang dilaksanakan akan sebanyak mungkin memberikan pengetahuan agama agar setiap santri yang lulus dapat berperan sebagai guru bagi anakanaknya; dan ketiga, pendidikan yang dilaksanakan juga akan memfokuskan pada pengetahuan dasar dalam mengurus rumah tangga. Pada poin kedua dan ketiga bahkan masih dapat terlihat hingga saat ini, yakni pelaksanaan kurikulum pondok, baik kurikulum lokal maupun kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang diselenggarakan untuk mendukung pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Dampak yang paling luas justru terletak pada poin pertama, yakni upaya pendidikan sebagai sarana pencegahan pernikahan dini bagi anak perempuan. hal ini dapat dilihat dengan meningkatnya jumlah santri perempuan yang belajar di pondok ini tahun demi tahun. Angkatan pertama yang lulus dari sekolah ini berjumlah tujuh orang, dan terus meningkat pada angkatan-angkatan selanjutnya. Sejak awal pendirian,

6

terutama sejak angkatan pertama lulus pada tahun 1971, hingga saat ini, pondok ini telah mencetak lebih dari 3000 orang lulusan, itu pun hanya mereka yang tercatat menamatkan pendidikan di Madrasah Aliyah. Jumlah ini akan semakin bertambah jika mereka yang hanya menamatkan di Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah juga dihitung, bahkan akan jauh lebih besar jika mereka yang tidak menamatkan sekolah juga turut dihitung. Persoalan pokok bukan lah pada angka yang terus bertambah, namun lebih pada tradisi yang perlahan berubah. Jika pada tahun 1971 hanya tujuh orang yang lulus, maka pada tahun 1981 jumlah tersebut bertambah menjadi 32 orang atau hampir lima kali lipat, pada tahun 1991 jumlah tersebut bertambah menjadi 102 orang atau bertambah lebih dari lima belas kali lipat hanya dalam kurun waktu 20 tahun. Hal ini boleh jadi menandakan sebuah perubahan penting di masyarakat, bahwa pendidikan bagi perempuan perlahan dilihat sebagai suatu kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Kondisi ini dapat dilihat dengan semakin bertambahnya jumlah santri perempuan yang belajar, bahkan di awal-awal pengembangan pendidikan. Perkembangan pendidikan bagi perempuan terus mengalami peningkatan, bahkan di tingkat institusi itu sendiri. Jika pada tahun 1950, hanya di wilayah Desa Ujungharapan, terdapat sebuah lembaga pendidikan, yang masih diutamakan bagi lakilaki, dan baru pada tahun 1956 berdiri satu lembaga pendidikan. Pada tahun 2000, tercatat 17 lembaga pendidikan, hanya di Desa Ujungharapan, terdiri atas: Raudatul Athfal 3 unit bagi murid laki-laki dan perempuan, Madrasah Ibtidaiyah 7 unit bagi murid laki-laki dan perempuan, Madrasah Tsanawiyah 2 unit bagi murid laki-laki dan perempuan, SMP Islam Terpadu 1 unit bagi murid perempuan, Madrasah Aliyah 2 unit bagi murid laki-laki dan perempuan, dan Sekolah Tinggi Agama Islam 2 unit bagi murid laki-laki dan perempuan. Kondisi ini menunjukkan adanya perkembangan yang sangat signifikan, hanya dalam waktu kurang dari 50 tahun telah berkembang berbagai lembaga pendidikan, mulai dari tingkat TK hingga perguruan tinggi, yang seluruhnya membuka akses pendidikan bagi perempuan.

7

Berkembangnya berbagai lembaga pendidikan yang formal bagi perempuan juga diimbangi oleh berkembangnya lembaga pendidikan non formal, atau dalam hal ini adalah majelis taklim bagi perempuan. Di wilayah Ujungharapan sendiri, hingga saat ini tercatat tidak kurang dari 26 majelis taklim perempuan yang tersebar di berbagai wilayah. Jumlah ini tentu saja akan semakin banyak bertambah jika majelis taklim perempuan lain di wilayah-wilayah lain juga dihitung. Keberadaan majelis taklim bahkan memiliki induk organisasi tersendiri, yang juga memiliki kaitan historis dengan Pondok Pesantren Attaqwa Putri: Rusydatul Ummah. Sebagai organisasi induk, Rusydatul Ummah menaungi hampir seluruh majelis taklim di wilayah Bekasi, dan memiliki cabang di wilayah Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, dan wilayah Jakarta Barat dan Jakarta Timur. Majelis taklim perempuan tentu saja terkait dengan berbagai bidang, tidak hanya dalam bidang pengajaran agama Islam, namun juga dalam bidang politik. Meskipun demikian, terdapat satu kaitan paling penting yang muncul dalam majelis taklim: adanya ustazah atau tenaga pengajar perempuan. Tenaga pengajar perempuan, baik mereka yang bekecimpung di lembaga formal seperti Pondok Pesantren Attaqwa Putri dan sekolahsekolah lain, maupun lembaga non formal seperti majelis taklim, tentu saja adalah hasil nyata dari adanya pendidikan bagi perempuan. Dalam konteks yang lebih luas, keberadaan para ‘perempuan yang berpendidikan’ ini memberikan warna tersendiri di masyarakat, terutama dalam konteks proses belajar mengajar di majelis taklim, di mana kemampuan keilmuan mereka menjadikan mereka sebagai sosok ustazah, guru agama perempuan, yang diperhitungkan. Posisi ini menjadikan mereka sejajar dengan para tenaga pengajar laki-laki, bahkan bagi para ustazah senior, posisi mereka sejajar dengan para kiai yang ada. Kondisi ini membawa pada konsekuensi yang lebih besar: bahwa pendidikan memberikan kepada mereka akses terhadap pengajaran ilmu-ilmua agama di masyarakat. Kepemimpinan Berperspektif Gender

8

Kebijakan pendidikan yang diambil oleh KH. Noer Alie membawa implikasi yang sangat luas: perubahan sosial di masyarakat. Hal ini barangkali sesuai dengan citacita besar KH. Noer Alie, yaitu terciptanya masyarakat yang Islami dan berkeadilan gender. Cita-cita tersebut tentu saja hanya dapat terlaksana melalui terbukanya akses pendidikan bagi setiap orang tanpa memandang status dan jenis kelamin, dan terbukti bahwa kebijakan tersebut membawa pengaruh yang luar biasa di masyarakat. Sejak awal, KH. Noer Alie telah membayangkan sebuah masyarakat yang terbuka dan berkeadilan, sebuah masyarakat yang terbentuk sesuai dengan cita-cita agama Islam. Dalam konteks ini, kebijakan yang diambil oleh KH. Noer Alie secara tegas mengambil perspektif gender dalam pengambilan keputusan. Kepemimpinan yang berperspektif gender merupakan kata kunci penting, di mana melalui model kepemimpinan ini lah sebuah perubahan besar dapat terjadi. Model ini dapat terjadi dalam banyak hal, dan sesuai dengan fokus tulisan, model kepemimpinan ini justru terjadi di dunia pendidikan. Model kepemimpinan ini tentu saja tidak hanya mempertimbangkan kepentingan sesaat, namun juga harus memikirkan dampaknya di masa yang akan datang. Hal ini yang disadari betul oleh KH. Noer Alie, bahwa keputusannya untuk menyelenggarakan pendidikan, terutama pendidikan bagi perempuan, bukan lah keputusan untuk kepentingan sesaat, namun keputusan yang berdampak luas di masa yang akan datang. Pendidikan bagi perempuan adalah jawaban atas permasalahan yang banyak dialami oleh perempuan, terutama jika melihat konteks historis, di mana pada era tersebut, pendidikan bagi perempuan adalah sesuatu yang jarang ada, pun ada hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang saja. Pendidikan bagi perempuan, terlebih lagi pendidikan tersebut terbuka bagi setiap perempuan tanpa memandang status dan kedudukan, merupakan keputusan besar yang diambil oleh KH. Noer Alie. Keputusan tersebut tentu saja memiliki konsekuensi tersendiri, berupa penentangan maupun penolakan, namun dengan usaha yang sungguh-sungguh, maka pendidikan bagi perempuan pun dapat terlaksana, bahkan terus tumbuh hingga saat ini. Pendidikan

bagi

perempuan

merupakan

keputusan

yang

sangat

jelas

mempergunakan perspektif gender, dan keputusan ini membawa pengaruh besar di

9

masyarakat. Saat ini misalnya, di mana pendidikan bagi perempuan tersedia di setiap tingkat, membuka kesempatan bagi setiap perempuan untuk memperoleh akses terhadap pendidikan. Pendidikan bagi perempuan juga menciptakan sebuah konstelasi baru dalam dunia sosial, yakni munculnya perempuan-perempuan berpendidikan yang memiliki pengaruh luas di masyarakat. Pendidikan bagi perempuan juga membawa hal lain, tidak hanya kelompok elite perempuan, namun juga perempuan-perempuan berpendidikan yang mampu mengambil setiap kesempatan yang ada dan tersedia bagi mereka. Pendidikan menyediakan banyak hal, dalam konteks ini, pendidikan membawa angin perubahan berhembus kencang ke segala arah, dan angin tersebut dimulai dari sebuah tiupan kecil di wilayah pedesaan terpencil, sebuah keputusan untuk menyediakan pendidikan bagi perempuan.

Kepustakaan: Anwar, Ali. 2006. Ulama Pejuang, Biografi KH. Noer Alie. Bekasi: Yayasan Attaqwa Azra, Azyumardi. 2004. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke-XVII & XVIII, Akar Pembaruan Islam Indonesia. Edisi revisi. Jakarta: Kencana Huda, Ade Nailul. 2001. Telaah Historis Pondok Pesantren Attaqwa Putri. Karya tulis tidak dipublikasikan. Bekasi: Pondok Pesantren Attaqwa Putri Martyn, Elizabeth. 2005. The Women’s Movement in Post-colonial Indonesia, Gender and Nation in a New Democracy. London: RoutledgeCurzon Pondok Pesantren Attaqwa Putri. t.t. Sejarah Singkat Pondok Pesantren Attaqwa Putri. Bekasi: Pondok Pesantren Attaqwa Putri Vrede-de Stuers, Cora. 2008. Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian. Jakarta: Komunitas Bambu Yayasan Attaqwa. 1994. Sejarah Ringkas Yayasan Attaqwa. Bekasi: Sekretariat Yayasan Attaqwa

10

Related Documents


More Documents from "eva"