Berlatih Memberi Islam mengajarkan pada umat islam supaya banyak memberi. Dalam suatu hadits dikatakan bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Artinya adalah sebagai pihak yang memberi lebih diutamakan daripada menjadi pihak penerima. Agar menjadi pihak pemberi, maka siapapun harus memiliki kelebihan. Karena itulah maka orang yang kuat lebih disukai oleh Rasul daripada orang yang lemah. Hanya saja menjadi pemberi ternyata tidak mudah, atau tidak semudah menjadi penerima. Orang tidak mudah memberikan sesuatu kepada orang lain. Lihat saja misalnya, di mana-mana disediakan kotak beramal. Melalui kotak itu, diharapkan orang memberikan sesuatu, katakanlah uang, kepada pihak lain. Tetapi apa yang seringkali kita saksikan, uang yang diberikan, kalau memberi, tidak jarang dipilihkan lembaran uang yang paling kecil. Sudah menjadi kebiasaan, memberi cukup sedikit atau tidak perlu banyak-banyak. Memberi apa yang dimiliki kepada orang lain ternyata tidak mudah. Sedemikian banyak perintah atau motivasi agar umat Islam terbiasa untuk memberi. Tetapi pada kenyataannya sangat berat dilakukan. Dalam Islam ajaran untuk memberi sedemikian jelas. Zakat, infaq, shodaqoh, dan hibah adalah jenis-jenis pemberian yang harus ditunaikan. Menurut hitungan, jika umat Islam menjalankan ajaran ini secara konsisten, maka tidak akan terjadi kemiskinan. Si kaya akan memberikan harta kekayaannya sejumlah yang ditentukan melalui konsep itu, zakat, infaq dan shodaqoh. Tetapi pada kenyataannya masih belum semuanya dijalankan sebagaimana mestinya. Perintah memngeluarkan harta ini dalam al Qur’an maupun hadits nabi sedemikian banyak dan sangat jelas. Bahkan memberi dikaitkan dengan kualitas keberagamaan. Dalam Qur’an hingga dikaitkan antara memberi makan pada anak yatim dan orang miskin dengan kualitas keberagamaan seseorang. Disebutkan bahwa orang yang tidak mau memberikan makan kepada anak yatim dan orang miskin disebut sebagai pendusta agama. Melalui ajaran itu, diingatkan bahwa banyak beribadah, hingga dikenal sebagai agamawan, masih disebut kurang sempurna dan bahkan dipandang sebatas dusta saja, jika penyembahan atau ibadahnya itu tidak mampu menggerakkan tangannya untuk memberikan sebagian harta yang dimiliki kepada orang-orang yang membutuhkannya. Kadang sedemikian berat seseorang melepas apa yang dimiliki kepada orang lain. Padahal, harta itu justru akan mendatangkan manfaat pada dirinya jika segera diberikan pada orang lain. Memberi ternyata kemudian bukan merupakan pekerjaan gampang. Untuk itu kiranya perlu dilatih, dibiasakan, diberikan contoh hingga suatu ketika menjadi sesuatu yang ringan dilakukan. Melalui pelatihan itu memberi kemudian menjadi sesuatu yang ringan. Memberi menjadi sesuatu yang dirasakan akan mendatangkan nikmat atau kepuasan. Merasa nikmat tatkala memberi, dan bukan sebaliknya.
Melalui latihan memberi itu, maka kemudian bisa dirasakan bahwa justru dengan memberi itu maka kebahagian diperoleh, dan bukan sebaliknya. Karena kurang pemahaman dan juga latihan maka banyak orang mengira bahwa kebahagian hanya didapat tatkala menerima sesuatu. Hanya yang diperlukan adalah bagaimana format pelatihan memberi itu hingga menjadi kebiasaan banyak orang. Rasanya, jika hanya dengan himbauan atau penjelasan tentang hikmah memberi, rasanya masih belum cukup. Mungkin di lembaga-lembaga pendidikan, ----sekolah atau di kampus-kampus, dan bahkan juga di berbagai komunitas perlu contoh atau ketauladanan tentang kebiasaan memberi ini. Sayangnya, sementara ini di berbagai komunitas tatkala mengukur keberhasilan hidup, baru sebatas dilihat berapa banyak pendapatan yang berhasil dimumpulkan. Rasanya belum banyak terdengar, keberhasilan hidup itu diukur dari berapa banyak jumlah penghasilan yang diberikan kepada orang lain. Jika besarnya zakat, infaq dan shodaqoh misalnya, juga dijadikan ukuran keberhasilan hidup seseorang, mungkin cara ini bisa menjadi bagian dari latihan untuk memberi itu. Tentu, hal itu harus dijaga agar tidak melahirkan riya’, apalagi sombong. Wallahu a’lam.