BAB 4 PELAKSANAAN KEGIATAN
4.1 Tempat dan Waktu Praktek Kerja Lapang (PKL) di bidang kesehatan hewan dilaksanakan oleh mahasiswa Pendidikan Dokter Hewan FKH UB di Dinas Pertanian Gresik. Praktek Kerja Lapang (PKL) dilaksanakan dalam waktu 1 bulan di mulai dari tanggal 18 Januari 2017. Kegiatan dilaksanakan dengan mengikuti jadwal kerja yang telah ditentukan oleh pihak Dinas Pertanian Kabupaten Gresik.
4.2 Jadwal Kegiatan Aktivitas PKL dapat dilihat dari tabel jadwal kegiatan PKL di Dinas Pertanian Kabupaten Gresik yang telah dicantumkan pada Tabel 4.1 dibawah ini. Tabel 4.1. Pelaksanaan Kegiatan PKL di Puskeswan Balongpanggang dan Panceng Dinas Pertanian Kabupaten Gresik No
Tanggal
1
18 Januari 2017
Kegiatan
Pembimbing
1. Pengarahan PKL di Bidang Peternakan
2
19 Januari 2017
1. Survei
lapang
Balongpanggang (UPT) 3
20 Januari 2017
1. Survei
23 Januari 2017
2. Drh. Herman 1. Bambang Witowo, Spt. 2. Drh. Ainul
lapang
Pancen (UPT) 4
1. Drh. Reni
1. Pengobatan
1. Risky, Spt. 2. Drh. Sutrisna
ternak
1. Drh. Sutrisna
ternak
1. Drh. Sutrisna
(sapi) Diare 5
24 Januari 2017
1. Pengobatan (sapi,
kambing)
BEF, Helminthiasis, Prolaps Diare
15
Vagina,
6
25 anuari 2017
1. Kunjungan
1. Risky, Spt.
kelompok
ternak
Gerbang
Desa
2. Drh. Sutrisna
Kecamatan Dukun 7
26 Januari 2017
1. Pengobatan (sapi,
ternak
kambing)
Scabies,
Prolaps
Uteri, IB, Diare, 2. Kunjungan
1. Bambang Witowo, Spt 2. Drh. Ainul 3. Waris
pasar
(Inseminator)
hewan Balongpanggang 8
27 Januari 2017
1. Pengobatan
ternak
(sapi)
BEF,
Helminthiasis,
IB,
1. Drh. Ainul 2. Waris (Inseminator)
dan Partus 9
30 Januari 2017
1. Pelayanan
keswan
1. Drh. Ainul
keswan
1. Drh. Ainul
IB 10
31 Januari 2017
1. Pelayanan IB dan 2. Monitoring
2. Waris pasar
(Inseminator)
hewan 11
1 Februari 2017
1. Pelayanan keswan (IB)
12
2 Februari 2017
(Inseminator)
1. Pelayanan keswan (IB)
13
3 Februari 2017
1. Pelayanan
6 Februari 2017
keswan
1. Tidak ada panggilan pelayanan keswan
15 7 Februari 2017
1. Tidak ada panggilan pelayanan keswan
16
1. Cipto (Inseminator)
(IB) 14
1. Sidiq
1. Joko (Inseminator)
16
8 Februari 2017
1. Pelayanan
keswan
1. Drh. Sutrisna
keswan
1. Drh. Sutrisna
(IB) 17 9 Februari 2017
1. Pelayanan (sapi,
kambing),
Penanganan
Post-
Partus, BEF, IB 18 10 Februari 2017
1. Pelayanan
keswan
IB 19 13 Februari 2017
(Inseminator)
1. Kunjungan kelompok
1. Waris
1. Risky, Spt. ternak
2. Drh. Sutrisna
Weding Kecamatan Sidayu 20 14 Februari 2017
1. Monitoring
pasar
hewan dan
1. Risky, Spt. 2. Drh. Sutrisna
2. Pelayanan kesehatan hewan 21 15 Februari 2017
1. Tidak ada panggilan pelayanan Keswan
22 16 Februari 2017
1. Survei Pasar hewan Kecamatan.Panceng
23 17 Februari 2017
1. Risky, Spt. 2. Drh. Sutrisna
1. Tidak ada panggilan pelayanan keswan
24 20 Februari 2017
1. Tidak ada panggilan pelayanan keswan
25 21 Februari 2017
1. Pelayanan
keswan
1. Drh. Sutrisna
(sapi) Bloat dan 2. Monitoring
pasar
hewan 26 22 Februari 2017
1. Pelayanan
keswan
1. Drh. Sutrisna
keswan
1. Drh. Ainul
(sapi) Bloat 27 23 Februari 2017
1. Pelayanan (sapi)
17
2. Pemeriksaan kebuntingan 28 24 Februari 2017
1. Tidak ada panggilan pelayanan keswan
29 27 Februari 2017
1. Tidak
ada
panggilan pelayanan keswan 30 28 Februari 2017
1. Diskusi
dan
perpisahan (penyerahan vandel)
1. Bambang Witowo, Spt. 2. Drh. Ainul 3. Waris (Inseminator) 4. Risky, Spt 5. Drh. Sutrisna
18
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Profil Dinas Pertanian Dinas Pertanian Kabupaten Gresik dipimpin oleh Kepala Dinas Ir. Agus Djoko Walujo, dalam hal melaksanakan tugas dibantu oleh Sekretaris, Kepala Bidang dan Kepala Seksi. Bidang Peternakan yang dikepalai oleh drh. Reny Bintari, M.M.A, dalam melaksanakan tugas dibantu oleh tiga kepala Seksi, yaitu Seksi Kesehatan Masyarakat Veteriner, Seksi Bina Usaha Peternakan, dan Seksi Kesehatan Hewan. Seksi Kesehatan Hewan yang dikepalai oleh drh. Herman Suprajitno, dalam melaksanakan dibantu oleh dua Pusat Kesehatan Hewan di Kecamatan Balongpanggang yang dikepalai oleh Bambang Witono. S.Pt., dan Pusat Kesehatan Hewan di Kecamtan Panceng dikepalai oleh Rizki Hendy Saputra. S.Pt., Dinas Pertanian Kabupaten Gresik berlokasi di jalan Dr. Wahidin Sudirohusodo No. 245, Gresik. Puskeswan Balongpanggang dan Panceng merupakan unit kerja yang berada dibawah bidang Peternakan Dinas Pertanian Kabupaten Gresik. Puskeswan Balongpanggang dan Panceng adalah unit pelayanan kepada masyarakat dibawah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Dinas Pertanian Kabupaten Gresik. Puskeswan Balongpanggang
terletak
di
Desa
Kedungpring,
Kecamatan
Balongpanggang, sedangkan Puskeswan Panceng terletak di Desa Surowiti, Kecamatan Panceng, Kabupaten Gresik. Sumber
daya
manusia
di
Pusat
Kesehatan
Hewan
Balongpanggang terdiri dari 1 Sarjana Peternakan (Kepala UPT), 1 dokter hewan (medik veteriner), 3 inseminator, dan 1 administrasi. Pusat Kesehatan Hewan Panceng terdiri dari 1 Sarjana Peternakan (Kepala UPT), 1 dokter hewan (medik veteriner), 1 inseminator. Wilayah kerja Puskeswan Balongpanggang meliputi seluruh desa di delapan kecamatan, wilayah kerja Puskeswan Panceng meliputi seluruh desa di lima kecamatan. Hampir semua desa di 18 kecamatan, masyarakat memelihara ternak baik ternak besar, ternak kecil, maupun unggas. Selain potensi ternak, di wilayah kerja
19
Puskeswan Balongpanggang dan Panceng juga terdapat sarana pendukung kegiatan peternakan yang berupa pasar hewan. Pasar hewan terdapat di Desa Kedungpring (sapi) dan Desa Surowiti (sapi). Potensi ternak yang berada di wilayah Kabupaten Gresik tercantum pada Tabel 5.1 dibawah ini : Tabel 5.1. Populasi Ternak Kabupaten Gresik (2016) No
Kecamatan
Populasi Kambing
Domba
1
Menganti
3740
56
2
Kedamean
4675
1156
3
Driyorejo
2504
757
4
Wri’nginanom
8575
2504
5
Duduk
5610
1121
Sapi
sampeyan 6
Cerme
3028
2903
7
Kebomas
1455
479
8
Gresik
252
55
9
Manyar
3774
3008
10
Bungah
5383
3895
11
Sidayu
5398
2512
12
Ujung Pangkah
3591
2241
13
Panceng
2988
2966
14
Dukun
6475
3345
15
Benjeng
3590
1602
16
Balongpanggang
5795
1510
17
Sangkapura
1908
1913
18
Tambak
1288
994
TOTAL
70029
33017
*52161
Dinas Pertanian Kabupaten Gresik (2016) *: Data populasi tersebut didapat dari survei yang dilakukan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Gresik setiap tahunya.
20
5.2
Kondisi Umum Kabupaten Gresik Berikut ini kondisi umum daerah Kabupaten Gresik yang ditinjau dari beberapa hal, yaitu :
5.2.1 Luas dan Batas Wilayah Lokasi Kabupaten Gresik terletak disebelah barat laut Kota Surabaya yang merupakan Ibukota Provinsi Jawa Timur dengan luas wilayah 1.191,25 km², yang terbagi dalam 18 Kecamatan, dan terdiri dari 330 Desa dan 26 Kelurahan. Kabupaten Gresik juga mempunyai wilayah kepulauan, yaitu Pulau Bawean dan beberapa pulau kecil di sekitarnya.Wilayah Kabupaten Gresik sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur berbatasan dengan Selat Madura dan Kota Surabaya, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lamongan (Dinas Pertanian Kabupaten Gresik, 2016)
5.2.2 Letak dan Kondisi Geografis Secara geografis wilayah Kabupaten Gresik terletak antara 112°113° Bujur Timur dan 7°-8° Lintang Selatan. Sebagian besar wilayah Kabupaten Gresik merupakan dataran rendah dengan ketinggian 2-12 meter diatas permukaan air laut, kecuali Kecamatan Panceng yang mempunyai ketinggian 25 meter diatas permukaan air laut. Hampir sepertiga bagian dari wilayah Kabupaten Gresik merupakan daerah pesisir pantai, yaitu sepanjang 140 km, meliputi Kecamatan Kebomas, Gresik, Manyar, Bungah, Sidayu, Ujungpangkah, Panceng, Tambak, dan Sangkapura yang berada di Pulau Bawean. Pada wilayah pesisir Kabupaten Gresik telah difasilitasi dengan pelabuhan umum
dan
pelabuhan atau dermaga khusus, sehingga Kabupaten Gresik memiliki akses perdagangan regional dan nasional. Keunggulan geografis ini menjadikan Gresik sebagai alternatif terbaik untuk investasi atau penanaman modal (Dinas Pertanian Kabupaten Gresik, 2016)
21
Gambar 5.2. Peta Wilayah Kabupaten Gresik (Dinas Pertanian Kabupaten Gresik, 2016) 5.3 Prevalensi Kasus Bovine Ephemeral Fever (BEF) di Wilayah Kerja Puskeswan Balongpanggang dan Panceng Bovine Ephemeral Fever (BEF) merupakan salah satu penyakit yang paling sering terjadi pada ternak sapi potong di Kabupaten Gresik. Berdasarkan data pasien yang masuk di Puskeswan Balongpanggang selama bulan Februari 2017 sebanyak 48 (Lampiran 1), sedangkan dari Puskeswan Panceng yang didapat merupakan data dari bulan Januari Desember 2016 dengan total kasus BEF mencapai 123 kasus, yang setiap bulan memiliki jumlah kasus BEF bervariasi, seperti tertera pada Tabel 5.3 sebagai berikut : Tabel 5.3 Laporan Pelayanan Kesehatan Hewan Puskeswan Panceng Kabupaten Gresik bulan Januari - Desember Tahun (2016) No
Kecamatan
Jumlah Kasus BEF Tahun 2016
1
Panceng
35
2
Sidayu
21
3
Ujung Pangkah
19
4
Dukun
48
5
Bungah
0
22
Total
123
Dinas Pertanian Kabupaten Gresik (2016) Dari tabel tersebut menunjukkan kasus BEF tertinggi diwilayah kerja Puskeswan Panceng Kecamatan Dukun tahun 2016, yaitu 48 kasus dan kasus BEF terendah terjadi pada Kecamatan Bungah tahun 2016, yaitu tidak ada laporan kejadian BEF. Kejadian BEF yang tinggi menurut peternak terjadi pada saat perubahan musim kemarau menuju musim penghujan, yaitu pada bulan Juni 2016. Dengan perubahan musim secara mendadak dari musim kemarau menuju musim penghujan maka akan meningkatkan kasus penyakit BEF di suatu daerah (Indrawati, 2013). Perubahan musim dapat dipengaruhi oleh keseimbangan ekologi yang terganggu, sehingga menyebabkan perubahan suhu dan kelembapan lingkungan
(Rosenthal,
2009).
Pada
musim
penghujan
dapat
mengakibatkan perubahan kehidupan agen patogen, seperti virus, bakteri, maupun parasit, termasuk vektor penyakit BEF seperti nyamuk dan lalat (Semenza and Menne, 2009). Musim penghujan dapat menyebabkan peningkatan genangan air yang merupakan tempat untuk bertelur nyamuk maupun lalat, sehingga populasi nyamuk dan lalat sebagai vektor penyakit BEF akan meningkat. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui, bahwa apabila curah hujan di Kabupaten Gresik meningkat maka akan menyebabkan populasi nyamuk dan lalat sebagai vektor penyakit BEF juga akan meningkat, sehingga kasus BEF di wilayah kerja Puskeswan Balongpanggang dan Panceng juga akan meningkat. 5.4 Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Bovine Ephemeral Fever (BEF) di Wilayah Kerja Puskeswan Balongpanggang dan Panceng Berdasarkan data lapang diperoleh 5 kejadian BEF pada saat melakukan PKL (Tabel 5.6), penyebab kejadian BEF menurut peternak disebabkan karena kandang yang dipenuhi nyamuk saat setelah hujan turun. Menurut Indrawati (2013) vektor penyebab BEF adalah, Lalat
23
Culicoides (C. brevitarsis, C. nipponensis, C. oxystoma), Nyamuk Anopheles (A. bancrofti), Culex (Cx. annulirostris), Aedes (A. albopictus) (Gambar 5.4) dan lalat penghisap darah yang mengalami peningkatan pada saat musim penghujan.
Gambar 5.4. Nyamuk Culicoides (Indrawati, 2013). Dari data yang diperoleh pada saat melakukan PKL, musim penghujan salah satu penyebab yang mempengaruhi peningkatan kejadian kasus BEF, dimana populasi nyamuk meningkat, dan dari data yang diperoleh, rata-rata kejadian BEF terjadi setelah daerah tertentu mengalami hujan lebat, dan keesokan hari banyak diterima laporan kejadian BEF (Dinas Pertanian Kabupaten Gresik, 2016). Selain musim penghujan menurut Kementan (2014) kasus BEF juga dapat disebabkan oleh lingkungan, kebersihan kandang, dengan keadaan kandang yang kotor, genangan air, dan sistem drainase yang kurang baik mengakibatkan peningkatan populasi vektor nyamuk dan lalat penyebab BEF. Wawancara dilakukan dengan 5 peternak yang memiliki ternak mengalami
kejadian
BEF,
dimana
ketika
PKL
Puskeswan
Balongpanggang dan Panceng didapatkan pernyataan bahwa banyak populasi nyamuk ketika malam hari, dan juga peternak mengakui bahwa mereka jarang memperhatikan kebersihan kandang. Kebersihan kandang harus selalu diperhatikan karena untuk mengurangi pertumbuhan populasi vektor nyamuk dan lalat. (Hsieh et al., 2005).
24
Lingkungan sekitar dan kandang peternak di wilayah kerja Puskeswan Balongpanggang dan Panceng belum cukup baik. Peternak di wilayah kerja Puskeswan Balongpanggang dan Panceng belum memiliki kandang yang layak untuk memelihara ternak sapi mereka. Persyaratan kandang yang layak dan baik selain dilihat dari letak bangunan kandang, diperhatikan juga dari konstruksi kandang. Menurut Prawirokusumo (2009) konstruksi kandang sapi potong terdiri atas arah mata angin pada kandang, ventilasi, atap, dinding, dan lantai kandang. Seperti contoh Bapak Abdul Wahid dengan lantai kandang yang kurang bersih karena masih banyak terdapat kotoran. Pembuangan kotoran yang kurang baik, menyebabkan penumpukan kotoran, sehingga meningkatkan populasi vektor nyamuk dan lalat. Kondisi tersebut beresiko terhadap kesehatan peternak dan hewan ternak. Peternak di wilayah kerja Puskeswan Balongpanggang dan Panceng belum menyadari tentang betapa penting kebersihan kandang bagi ternak dan lingkungan sekitar, sehingga masih banyak ditemukan populasi nyamuk pada musim penghujan dan tingkat kejadian penyakit pada ternak juga tinggi, seperti penyakit BEF.
Gambar 5.5 Kandang Peternak Rakyat (dokumentasi pribadi).
Gresik
5.5 Gejala Klinis Bovine ephemeral fever (BEF) di Wilayah Kerja Puskeswan Balongpanggang dan Panceng Gejala utama yang tampak pada 5 ternak yang mengalami BEF di wilayah Puskeswan Balonpanggang dan Panceng, rata-rata mengalami peningkatan suhu diatas normal 40,60C, sedangkan normal suhu pada 25
sapi adalah 37,50C-39,50C, hipersalivasi, konjungtivitis, dan anoreksia, Ternak dengan gejala klinis kaki depan sebelah kanan tampak mengalami pincang ada 3 ekor ternak. Ternak dengan gejala klinis mengeluarkan leleran hidung ada 4 ekor, sesuai dengan pernyataan Kementan (2014), yaitu gejala awal yang muncul adalah demam tinggi secara mendadak (40,5 – 41°C), nafsu makan hilang, peningkatan pernafasan, dan kesulitan bernafas (dyspneu), diikuti dengan keluar Ieleran hidung dan mata (lakrimasi) yang bersifat serous. Jalan kaku dan pincang karena rasa sakit yang sangat, kemudian dapat terjadi kelumpuhan dan kesakitan pada kaki, otot gemetar, serta lemah. Kekakuan mulai dari satu kaki ke kaki yang lain, sehingga hewan tidak dapat berdiri selama 3 hari atau lebih. Leher dan punggung mengalami pembengkakan. Produksi susu menurun dengan tajam. Terkadang pada tahap akhir kebuntingan diikuti dengan keguguran. Tabel 5.6 Kasus Bovine Ephemeral Fever (BEF) tanggal 17 Januari 2017-26 Februari 2017
Jenis
No 1
Sapi
Gejala
Tanggal
Klinis
Siment
24 Januari -
Demam
al
2017
Leleran
-
-
-
Diagnosa BEF
Keteranga n 1. Sapi
-ring 26
milik Abdul Januari
hidung
Wahid di
2017
Tidak
Kecamatan
sapi
nafsu
Sidayu,
sehat
makan
2.
Pincang
dilakukan
atau
pemberian
sembuh
obat, yaitu
.
Vitamin B Kompleks dan Dimedryl
26
Monito
kembali
2
Simental
24 Januari -
Demam
2017
Tidak
milik
Januari
nafsu
Bapak
2017
makan
Kandari di
sapi
Leleran
Kecamatan
sudah
hidung
Ujung
sehat
Tidak bisa
Pangkah
atau
berdiri
dilakukan
sembuh
pemberian
.
-
-
-
BEF
1. Sapi
27
obat, yaitu Vitamin B Kompleks, Dimedryl 3
PO(pera
24 Januari -
Tidak
nakan
2017
1. Sapi
27
nafsu
Bapak
Januari
makan
Taslimu di
2017
-
Demam
Kecamatan
sapi
-
Leleran
Panceng
sehat
hidung
dilakukan
kembali
Hipersaliv
pemberian
atau
asi
obat, yaitu
sembuh
ongol)
-
BEF
Vitamin B Kompleks, Dimedryl 4
Limosin
27 Januari -
Demam
2017
Tidak
milik
Januari
Nafsu
Bapak
2017.
Makan
Supriyanto
Leleran
di
hidung
Kecamatan
Pincang
Balongpang masih
-
-
-
BEF
1. Sapi
gang
27
29
sapi sembuh tetapi
agak
-
Hipersaliv
dilakukan
pincang
asi
pemberian
.
obat, yaitu Vitamin B Kompleks, Dimedryl 5
Simental
9 februari -
Demam
2017
Tidak
milik
Januari
Nafsu
Bapak
2017
makan
Rahim di
sapi
-
Pincang
Kecamatan
sehat
-
Hipersaliv
Balongpang kembali
-
asi -
Anoreksia
BEF
1. Sapi
gang dilakukan
27
atau sembuh
pemberian obat, yaitu Vitamin B Kompleks, Dimedryl (Dinas Pertanian Kabupaten Gresik, 2017)
5.6 Diagnosa Bovine Ephemeral Fever (BEF) di Wilayah Kerja Puskeswan Balongpanggang dan Panceng Pada saat di tempat peternak yang dilakukan pertama adalah bertanya tentang biodata dari pemilik ternak lalu dilakukan anamnesa tentang kondisi ternak seperti bagaimana nafsu makan ternak, sudah berapa lama ternak seperti ini atau dalam keadaan sakit, tadi diberi pakan apa, dan apa disini kalau malam banyak terdapat nyamuk. Setelah itu dilakukan pemeriksaan fisik terhadap ternak seperti pengukuran suhu tubuh, denyut jantung, frekuensi napas, dilihat terjadi hipersalivasi atau tidak dan terdapat leleran yang keluar dari hidung, ternak sulit berjalan
28
atau tidak, dan dilihat konsistensi feses dari ternak, kemudian hasil yang didapat ditulis dalam ambulator saperti pada Lampiran 3. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik maka gejala klinis yang ditemukan di tempat PKL adalah demam tinggi dengan suhu mencapai 40-41oC, anoreksia, hipersalivasi, keluar leleran dari hidung, dan kekakuan sendi sehingga sulit berjalan, dari hasil tersebut maka dapat digunakan sebagai data untuk peneguhan diagnosa apabila ternak tersebut mengalami BEF. Gejala klinis yang didapat dari 5 kasus yang sudah ditangani pada saat PKL sesuai dengan peryataan The Center for Food Security and Public Health (2008), yaitu ternak yang mengalami BEF memiliki gejala klinis dimulai dari demam tinggi dengan suhu dapat mencapai 40,5-41oC, anoreksia, hipersalivasi, keluar leleran serous dari hidung, konjungtivitis kekakuan sendi, dan sulit berjalan. Diagnosa BEF bisa dilakukan dengan beberapa uji serologis, antara lain uji serum netralisasi, ELISA. Biasanya serum diambil dua kali yaitu pada saat sakit dan 2-3 minggu kemudian. Titer antibodi yang meningkat pada pengambilan kedua dapat mengonfirmasi adanya infeksi BEF. Saat ini uji serum netralisasi dan ELISA paling sering digunakan terutama untuk melakukan monitoring penyakit yang disebabkan oleh virus arbo. Uji serum netralisasi, dibutuhkan laboratorium yang memiliki fasilitas produksi sel (biakan jaringan). Di Indonesia, fasilitas laboratorium yang memiliki fasilitas biakan jaringan sangat terbatas. Sedangkan uji ELISA baik indirect ELISA dan blocking ELISA yang menggunakan antibodi monoklonal lebih banyak digunakan sebagai uji saringan dan dapat diaplikasikan di laboratorium sederhana yang tidak memiliki fasilitas produksi kultur jaringan (Lim et al., 2007). Penggunaan antibodi monoklonal memberikan cut off point yang jelas dan spesifik dibandingkan dengan tanpa menggunakan monoklonal. Penggunaan virus utuh pada uji ELISA dapat dilakukan bila menggunakan antibodi monoklonal. Sedangkan bila tidak menggunakan antibodi monoklonal, maka pendekatan molekuler saat preparasi antigen ELISA perlu dilakukan (Zheng and Qiu 2012).
29
Terdapat diagnosa banding di tempat PKL yang memiliki gejala klinis seperti BEF, yaitu Pneumonia dan Septicaemia Epizootica (SE).Perbedaan dari penyakit Pneumonia tersebut dengan BEF adalah apabila Pneumonia ternak akan demam, keluar leleran pada hidung, respirasi yang cepat dan dangkal, sesak napas karena terjadi radang pada paru-paru, dan batuk (Rahayu, 2014), sedangkan ternak yang mengalami BEF maka ternak juga akan demam dan terdapat leleran pada hidung tetapi ternak tidak mengalami sesak napas. Perbedaan dari penyakit Septicaemia Epizootica (SE) dengan BEF adalah apabila SE ternak akan mengalami demam dengan suhu maksimal setelah 12 jam terinfeksi yaitu 39,6 OC (Priadi dan Natalia, 2000), kulit memerah, anoreksia, diare dan feses berdarah, kebengkakan dan busung pada kepala, leher, submandibula, thorak bagian ventral, ekstremitas, atau pangkal ekor, mata merah, terdapat ekskresi hidung, serta terdapat lesi di kerongkongan yang mengakibatkan sesak napas dan kesulitan menelan (Direktorat Kesehatan Hewan, 2014), sedangkan ternak yang mengalami BEF maka ternak juga akan demam, terdapat leleran yang keluar dari hidung, dan anoreksia, tetapi ternak tidak mengalami diare, feses berdarah, kulit memerah, mata merah, bengkak pada kepala, leher, submandibula, thorak, ekstremitas, atau ekor, tidak terdapat lesi pada kerongkongan, sesak napas, dan sulit menelan.
30
Gambar 5.7 Kasus BEF Pada Sapi Keluar leleran dari Hidung (The Center for Food Security & Public Health, 2008) 5.7 Pencegahan Bovine Ephemeral Fever (BEF) di Wilayah Kerja Puskeswan Balongpanggang dan Panceng Pencegahan BEF yang dilakukan oleh Pemerintah dengan cara pemberantasan insekta (nyamuk dan lalat), yaitu Fogging. Hal ini dikarenakan dalam kasus BEF sebaiknya diberantas terlebih dahulu vektor atau penyebab BEF, harapan setelah dilakukan pemberantasan vektor dapat mengurangi angka kejadian dari kasus BEF. Cara lain untuk pencegahan dengan cara isolasi ternak yang sakit karena virus BEF, hal ini dikarenakan BEF dapat menular ke ternak lain melalui vektor. Harapan dengan mengisolasi ternak yang sakit, penularan BEF melalui vektor dapat dicegah (Kementan, 2014). Puskeswan Balongpanggang dan Panceng Dinas Pertanian Kabupaten Gresik juga melakukan pencegahan dengan pemberian multivitamin dan edukasi kepada pemilik ternak. Edukasi kasih sangat penting agar peternak dapat lebih mengerti tentang kejadian BEF dan dapat mengantisispasi kejadian BEF. Pemberian multivitamin diberikan sebulan sekali pada sapi peternakan rakyat mandiri secara umum dan air cucian beras yang mengandung B1 atau tiamin, yang berfungsi untuk mencegah demam dan kekakuan otot. Namun tidak setiap peternak berkenan memanggil petugas untuk pemberian multivitamin pada sapi yang dimiliki peternak tersebut.
5.8 Pengobatan Kasus Bovine Ephemeral Fever (BEF) di Wilayah Kerja Puskeswan Balongpanggang dan Panceng Penanganan pada sapi yang mengalami BEF oleh dokter hewan di wilayah kerja puskeswan Balongpanggang dan Panceng, yaitu dengan memberikan obat seperti analgesik-antipiretik, antihistamin, vitamin B compleks apabila terjadi gangguan syaraf dan sendi pada ekstremitas, serta antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder.
31
Analgesik dan antipiretik yang diberikan mengandung cairan injeksi methampiron 250 mg. Methampiron atau dapat juga disebut Metamizole merupakan golongan Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug (NSAID) pyrozolone dengan aktivitas analgesik dan antipiretik yang biasa digunakan pada kesehatan manusia maupun kesehatan hewan. Rumus kimia dari methampiron adalah C13H16N3NaO4S.Na. Obat tersebut berbentuk bubuk kristal putih, sangat larut dalam air dan larut dalam alkohol.
Mekanisme
kerja
obat
ini
akan
menghambat
central
cyclooxygenase (COX-3). Efek analgesik dari NSAID dengan menghambat enzim cyclooxygenase (COX), sehingga akan mengurangi proses inflamasi, efek antipiretik terjadi dengan cara menghambat sintesis prostaglandin di sistem syaraf pusat, sehingga akan menurunkan demam, sedangkan aktifitas antiinflamasi yaitu dapat mengurangi hiperalgesia dan edema pada jaringan yang mengalami inflamasi. Pemberian methampiron dapat dilakukan secara intramuscular (IM) pada sapi dengan dosis 10-20 mL/ekor (Jasiecka et al., 2014 dan Nikolova et al., 2012). Antihistamin yang diberikan mengandung diphenhidramin HCl 10 mg. Diphenhidramin HCl berperan dalam menghambat reseptor H1 dan menekan reaksi inflamasi yang disebabkan oleh histamin. Diphenhidramin HCl dapat digunakan untuk mengobati alergi dan menghambat histamin yang
dapat
menyebabkan
vomit
(mutah).
Efek
samping
dari
diphenhidramin HCl adalah berupa sedasi, karena diphenhidramin HCl dapat menghambat histamin N-methyltransferase dan juga dapat menghambat reseptor Central Nervus System (CNS). Pemberian diphenhidramin HCl dapat dilakukan secara IM pada sapi dengan dosis pemberian yaitu 1 mL/20 kgBB, apabila berat badan rata-rata sapi adalah 300 kg, maka volume pemberian adalah 15 mL secara IM (Papich, 2011). Vitamin B1 atau yang sering disebut tiamin merupakan kompleks molekul organik yang mengandung satu inti tiazol dan pirimidin. Dalam badan zat ini akan diubah menjadi tiamin pirofosfat. Vitamin B1 dapat mengobati gangguan saraf dan sendi, mengobati inkoordinasi otot,
32
mengobati gangguan pencernaan seperti indigesti rumen dan konstipasi, meningkatkan nafsu makan, dan membantu proses metabolisme energi dalam tubuh terutama energi dari karbohidrat. Pemberian vitamin B1 dapat dilakukan secara IM dengan dosis 1 mL/100 kgBB, apabila berat badan rata-rata sapi adalah 300 kg maka volume pemberian adalah 3 mL. Vitamin B1 tidak menimbulkan efek toksik jika diberikan pada hewan dan apabila kelebihan maka akan cepat diekskresikan melalui urin, tetapi jangan diberikan pada hewan yang hipersensitivitas pada vitamin B1 (Plumb, 2008). Antibiotik
yang
diberikan
mengandung
oxytetracycline.
Oxytetracycline merupakan antibiotik golongan tetracycline. Mekanisme kerja dari golongan antibiotik tersebut, yaitu dengan mengikat ribosom bagian 30S dan menghambat sintesis protein. Oxytetracycline bersifat bakteriostatik, bersifat broad spectrum (spektrum luas) termasuk menghambat pertumbuhan bakteri gram positif, bakteri gram negatif, beberapa protozoa seperti Plasmodium dan Entamoeba, Rickettsiae, Chlamydia, Ehrlichiae, dan Mycoplasma, tetapi resisten terhadap golongan bakteri dari famili Enterobacteriaceae seperti Escherichia coli. Pemberian oxytetracycline dapat dilakukan secara IM pada sapi dengan dosis pemberian, yaitu 5-10 mL/100 kgBB, apabila berat badan rata-rata sapi adalah 300 kg, maka volume pemberian adalah 15 mL. (Papich, 2011), sedangkan pada sapi yang bunting, tetapi terinfeksi BEF maka diberikan antibiotik yang mengandung penisilin G. Penisilin G merupakan golongan antibiotik beta-laktam yang bekerja dengan cara mengikat Penicillin-Binding Proteins (PBP) untuk melemahkan atau menyebabkan lisis dari dinding sel dan bersifat bakterisidal. Spektrum dari penisilin G adalah bakteri gram positif, bakteri anaerob, dan bakteri gram negatif yang rentan terhadap penisilin G seperti Pasteurella spp. dan Mannheimia haemolytica, tetapi resisten terhadap semua bakteri Enterobacteriaceae multocida dan Staphylococcus spp. yang merupakan bakteri penghasil enzim beta-laktamase. Penisilin G dapat diberikan secara IM dengan dosis 10 mL/150 kgBB, apabila berat
33
badan rata-rata sapi adalah 300 kg, maka volume pemberian adalah 20 mL (Papich, 2011). Menurut Center for Food Security and Public Health (2008), pada kasus BEF sering ditemui hewan dalam kondisi Hypocalsemia, penaganan yang dilakukan dengan injeksi Calsium Borogluconate, jika terjadi infeksi sekunder diberikan antibiotik, dan dilakukan terapi cairan dengan Isotonic Fluid. Penanganan yang dapat mempercepat kesembuhan, hewan diposisikan terlentang, disediakan air dan pakan jika diperlukan, tetapi hewan tidak boleh berdiri dan bergerak. Hewan tidak boleh dipaksa untuk makan karena dapat beresiko menimbulkan Aspirasi Pneumonial. Posisi lateral recumbensi, hewan akan berguling untuk mencegah kerusakan otot. Menurut Walker (2016), pengobatan yang efektif hewan diistirahatkan, disiapkan makan dan minum, kandang dibersihkan, hewan tidak boleh stres karena kemungkinan bisa kambuh. Obat antiinflamasi yang diberikan lebih awal dan dalam dosis berulang selama 2-3 hari efektif. Pemberian oral harus dihindari kecuali jika refleks menelan berfungsi. Pengobatan antibiotik untuk mengendalikan infeksi sekunder dan rehidrasi dengan cairan isotonik.
34
BAB 6 PENUTUP
6.1 Kesimpulan Kesimpulan yang diambil pada saat melakukan kegiatan Praktek Kerja Lapang di Puskeswan Balongpanggang dan Puskeswan Panceng Dinas Pertanian Kabupaten Gresik adalah sebagai berikut : 1. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik maka gejala klinis yang ditemukan di tempat PKL adalah demam tinggi dengan suhu mencapai 40-41oC, anoreksia, hipersalivasi, keluar leleran dari hidung, dan kekakuan sendi sehingga sulit berjalan, dari hasil tersebut maka dapat digunakan sebagai data untuk peneguhan diagnosa apabila ternak tersebut mengalami BEF. Gejala klinis yang didapat dari 5 kasus yang sudah ditangani pada saat PKL, ternak yang mengalami BEF memiliki gejala klinis dimulai dari demam tinggi dengan suhu dapat mencapai 40,5-41oC, anoreksia, hipersalivasi, keluar leleran serous dari hidung, konjungtivitis kekakuan sendi, dan sulit berjalan. 2. Pengobatan BEF dilakukan satu kali (tanpa pengulangan) dan hewan dapat sembuh sekitar 2 sampai 3 hari pasca pengobatan. Obat yang diberikan antara lain antipiretik dan analgesik yang mengandung cairan injeksi methampiron 250 mg, antiinflamasi, antihistamin yang diberikan mengandung diphenhidramin HCl 10 mg, suportif dan antibiotik yang diberikan mengandung oxytetracycline diberikan ketika sudah berlanjut parah.
6.2 Saran Peternak harus lebih meningkatkan kesadaran terhadap sanitasi ,kebersihan kandang untuk mencegah ternak terinfeksi penyakit yang disebabkan akibat kandang yang kurang bersih. Puskeswan Balongpanggang dan Panceng Dinas Pertanian Kabupaten Gresik sebaiknya mengadakan acara rutin tiap beberapa bulan sekali seperti penyuluhan terhadap peternak tentang kepentingan menjaga
35
kebersihan kandang untuk mencegah hewan terinfeksi penyakit BEF, dan juga memberikan pengetahuan tentang diagnosa awal terjadinya BEF
36