Bab I Ngetik.docx

  • Uploaded by: Ulfa Diya
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab I Ngetik.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,276
  • Pages: 15
1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah atau soil-transmitted helminths (STHs) merupakan masalah kesehatan yang perlu diperhatikan oleh masyarakat dunia khususnya di indonesia. Infeksi cacing ini menjadi masalah lebih dari satu miliar orang, terutama kaum miskin pedesaan di negara berkembang. Sekitar seprtiga dan populasi dunia terinfeksi dengan setidaknya satu spesies cacing yang ditularkan melalui tanah, dengan Ascaris lumbricoides menginfeksi 800 juta orang, trichuris trichiura 600 juta, cacing tambang 600 juta dan menghasilkan hingga 135.000 kematian setiap tahunnya. Kasus infeksi cacing ini telah diklasifikasikan menjadi kasus yang sering diabaikan dalam masyarakat. (Anuar et al., 2014). Kejadian infeksi cacing Ascaris lumbricoides sering terjadi pada daerah tropis dan subtropis di negara berkembang karena kebersihan yang buruk dan kondisi sanitasi umum di negara-negara tersebut. Prevalensi ascariasis tertinggi diwilayah pasifik barat, diikuti oleh asia tenggara dan afrika (kannegati et al.,2013). Di negara berkembang seperti indonesia masalah infeksi cacing ini kerap menimbulkan masalah yang serius, mengingat jumlah penduduk yang mempunyai tingkat ekonomi dibawah rata-rata masih tinggi.

2

Dampak dari infeksi cacing ini pada manusia, dapat menganggu status nutrisi melalui pengambilan makanan dari jaringan host, mengganggu penyerapan makanan dan menurunkan nafsu makan, sehingga menimbulkan komplikasi berupa gangguan gizi, gangguan pertumbuhan, gangguan kecerdasan, anemia, diare dan lain-lain (Irman, 2009). Menurut Syarif dan Elizabeth (2007) beberapa antihelmintik seperti pirantel pamoate dan mebendazole merupakan obat pilihan pertama yang dapat digunakan sebagai terapi penyakit askariasis, sedang piperazin sitrat dan albendazol merupakan obat pilihan kedua, tapi sayangnya penggunaan obat-obat ini di masyarakat tidak terkontrol bahkan telah di jual bebas di pasaran tanpa harus menggunakan resep dokter. Selain itu obat-obat sintetis tersebut mempunyai beberapa efek samping dan penggunaanya terbatas pada kasus-kasus tertentu. Pirantel pamoat dapat menyebabkan keluhan saluran cerna, demam, dan sakit kepala serta penggunaanya yang terbatas pada ibu hamil, anak-anak, dan pasien dengan riwayat penyakit hati. Mebendazol mempunyai efek samping mual, muntah, diare, dan sakit perut serta mempunyai efek teratogenik, sehingga tidak dianjurkan pada ibu hamil trimester pertama. Pemanfaatan herbal berkhasiat obat oleh orang indonesia sebagai salah satu upaya dalam penanggulangan masalah kesehatan yang dihadapi telah dilakukan dari jam dahulu jauh sebelum pelayanan kesehatan formal dengan obatobatan modern. Pemeliharaan dan pengembangan pengobatan tradisional sebagai warisan budaya bangsa terus ditingkatkan dan didorong penggembanganya melalui penggalian, pengujian dan penemuan obat-obatan baru, termasuk

3

budidaya beberapa tanaman yang secara medis dapat dipetanggung jawabkan khasiatnya (syukur dan hernani, 2002). Salah satu tanaman yang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai obat pada penyakit cacingan adalah ketepeng cina. Tanaman ketepeng cina (Casia alata L.) dipercaya oleh masyarakat sebagai obat cacing, sariawan, sembelit, panu, kurap, kudis dan gatal-gatal. Menurut kuntari (2008) dan Iman (2013) daya antihelmintik daun ketepeng cina diduga disebabkan oleh senyawa aktif saponin yang menghambat kerja enzim kholinesterase sehingga cacing akan mengalami paralisis spastik otot yang akhirnya menimbulkan kematian cacing. Beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan kuntari (2008) dan lasut et al (2012) memperlihatkan adanya efek antihelmintik dari tanaman ini, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap daya antihelmintik ekstrak etanol daun ketepeng cina ini, atas dasar tersebut kami ingin melakukan penelitian ini agar informasi mengenai efek antihelmintik dari tanaman ini dapat berkembang kedepannya. B. Rumusan Masalah Bagaimana daya antihelmintik ekstra etanol daun ketepeng cina (cassia alata L) terhadap persentase kematian cacing ascaris suum 24 jam in vitro?

4

C. Tujuan Penelitian penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh daya antihelmintik ekstra etanol dan ketepeng cina (cassia alata L) terhadap persentasi kematian cacing ascaris suum dalam 24 jam in vitro. D. Manfaat Penelitian 1. manfaat teoritis : Menambah pengetahuan lebih mengenai obat herbal yang dapat dipakai sebagai antihelmintik khususnya tentang ekstrak etanol daun ketepeng cina. Sebagai dasar teori penelitian selanjutnya terutama penelitian secara in vivo dengan menggunakan ekstrak etanol daun ketepeng cina sebagai antihelmintik. 2. manfaat aplikatif Ekstrak etanol daun ketepeng cina (cassia alata L.) diharapkan dapat digunakan sebagai antihelmintik penyakit askariasis dengan dosis yang sesuai. Memberi masukan kepada yang berkepentingan mengenai khasiat ketepeng cina sebagai antihelmintik. Memberi bukti ilmiah terhdap pandangan masyarakat berkaitan dengan khasiat ketepeng cina sebagai obat cacingan.

5

BAB II LANDASAN TEORI

A. tinjauan pustaka 1. Ascaris lumbricoides, Linn a. Taksonomi Subkingdom

: Metazoa

Filum

: Nemathelminthes

Kelas

: Nematoda

Sub kelas

: Scernentea (Phasmidia)

Bangsa

: Ascaridia

Superfamili

: Ascaridoidea

Famili

: Ascarididae

Marga

: Ascaris

Spesies

: Ascaris lumbricoides, Linn

b. morfologi ascaris

lmbricoides

merupakan

nematoda

usus

yang hanya

mempunyai hospes tunggal yaitu manusia. Cacing betina mempunyai ukuran lebih

6

besar dari cacing jantan. Cacing betina mempunyai panjang 20-35cm dan lebar 0,3-0,6cm, sedangkan cacing jantan mempunyai panjang 15-30cm dan lebar 0,20,4cm. Seekor cacing betina dapa bertelur sebanyak 100.000-200.000

butir

sehari, terdiri atas telur yang dibuahi dan tidak dibuahi. Ukuran telur cacing ini mempunyai ukuran yang kecil yaitu panjang 60-70 µm dan lebar 40-50 µm (Supali et al, 2008). Sistem integumen dari Ascaris lumbricoides terdiri dari kutikula yang tidak berinti yang disekresikan oleh epitel yang berada di permukaan tubuh cacing. Permukaan dari cacing ini lembut, lurik, dan terdapat duri-duri halus. Kutikula tersusun atas kolagen dan sejumlah kecil karbohidrat dan lipid. Kandungan enzim dan RNA pada kutikula menunjukkan bahwa kutikula merupakan zat metabolism aktif yang dikeluarkan oleh permukaan cacing. Setelah lapisan kutikula terdapat epitel yang berserat kemudian terdapat lapisan dermomuskular (Faust et al, 1976). Sistem pencernaan dari Ascaris lumbricoides dilengkapi saluran pencernaan yang dibantu oleh kelenjar yang berada pada eosophagus yang mensekresikan substansi untuk membantu melisiskan makan yang masuk. Absorbsi substansi makanan yang terjadi dibagian mid-gut yang dilapisi oleh epitel kolumner selapis (Faust et al, 1976). c. habitat dan daur hidup habitat dari cacing ini adalah usus manusia, mengingat manusia merupakan satu-satunya hospes dari spesies ini. Masuk ke tubuh manusia dalam

7

bentuk telur infektif yang kemudian sampai ke usus halus manusia dalam bentuk cacing dewasa (Supali et al, 2008). Telur yang dihasilkan oleh cacing betina dalam 3 minggu akan berkembang menjadi bentuk yang infektif dalam lingkungan yang sesuai. Telur infektif ini akan masuk dan menetas di usus manusia. Larvanya akan menembus dinding usus halus ke pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus, selanjutnya melewati bronkiolus dan bronkus sampai ke trakea. Dari trakea larva menuju faring, sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Rangsangan ini akan menimbulkan menuju ke usus halus. Di usus halus manusia larva berkembang menjadi cacing dewasa.

Keseluruhan proses sejak telur matang

tertelan sampai berkembang menjadi cacing yang siap bertelur diperlukan waktu kurang lebih 1-3 bulan batuk dan menyebabkan larva masuk ke eosofagus, lalu (Supali et al, 2008). d. patologi dan gambaran klinis Dasar dari patologi dan gejala yang terjadi pada kasus infeksi cacing ini adalah efek dari : a) respon imun hospes; b) efek dari migrasi larva; c) efek mekanis dari cacing dewasa ; dan e) defisiensi nutrisi akibat keberadaan cacing dewasa (Garcia, 2001) Kebanyakan dari kasus infeksi cacing ini tidak menimbulkan gejala (asimtomatik). Ketika gejala muncul, pasien dikategorikan menjadi 2 kategori :

8

1) Early phase Fase ini terjadi setelah 4-16 hari telur infektif masuk ke dalam tubuh, gejala gangguan pernafasan muncul akibat migrasi/pergerakan larva melalui saluran nafas. Gejala lain yang mungkin timbul adalah : a) demam; b) batuk tidak berdahak; c) gangguan bernafas; d) wheezing. (Laskey et al., 2012) 2) Late phase Fase ini terjadi 6-8 minggu telur infektif masuk ke dalam tubuh, gejala yang berhubungan dengan sistem gastrointestinal disebabkan oleh infeksi cacing yang berada di saluran cerna. Gejala lain yang mungkin timbul pada fase ini adalah : a) keluarnya cacing lewat mulut, hidung, atau anus; b) nyeri yang merata atau nyeri di regio epigastrika; c) mual munta; d) gatal/kesemutan pada tenggorokan; e) batuk kering yang sering; f) komplikasi (obstruksi saluran cerna, apendisitis, pankreatitis) (Laskey et al, 2012). 2. Ascaris suum, goeze a. Taksonomi Kingdom

: Animalia

Filum

: Nemathelminthes

Kelas

: Nematoda

Sub kelas

: Secernentea

Bangsa

: Ascaridida

9

Superfamili

: Ascaridoidea

Famili

: Ascarididae

Marga

: Ascaris

Spesies

: Ascaris suum, Goeze. (lorreille dan bouchet, 2003)

b. Morfologi cacing berbentuk bulat panjang, memiliki kutikula yang tebal serta memiliki tiga buah bibir pada mulutnya. Dua buah bibirnya terletak di bagian dorsal. Cacing jantan memiliki panjang sekitar 15-31 cm dan lebarnya 2-4mm. Sedangkan cacing betina panjangnya 20-49 cm dan lebarnya 3-6mm (Roberts dan Janovy,2005) cacing betina dewasa memproduksi telur setelah 2-3 bulan. Telur infektif akan tertelan dan menetas menjadi larva. Larva cacing ini tidak melakukan penetrasi langsung setelah menempel pada dinding saluran cerna, tetapi hanya transit sebentar pada usus halus dan melakukan penetrasi pada mukosa caecum dan colon bagian atas. Kemudian cacing ini terakumulasi di hati sampai 48 jam (Roberts dan Janovy,2005) penelitian menggunakan Ascaris suum sebagai model untuk ascaris lmbricoides sudah banyak dilakukan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Goumon et al. (2000) dalam The Journal of Immunology mengenai sintesis morfin dari tubuh Ascaris suum, yang dapat memengaruhi sistem imun hospes, dan penelitian oleh Butkus et al. (2011) mengenai inaktivasi ascaris suum oleh

10

asam lemak rantai pendek. Hal ini disebabkan karena lebih mudah untuk mendapatkan species ascaris suum daripada ascaris lumbricoides. Meskipun ada perbedaan morfologi antara ascaris suum dan ascaris lumbricoides, namun sejauh ini tidak ada perbedaan fisiologi yang ditemukan (Butkus et al., 2011) c. Siklus hidup ascari suum memiliki hospes utama yaitu babi, tetapi bisa juga hidup dalam tubuh sapi, unggas, domba, anjing, bahkan ditemukan kasus yang menginfeksi manusia. Cacing ini terdistribusi luas di seluruh dunia. Siklus hidup cacing ini terbagi menjadi dua fase yakni fase eksternal (diluar tubuh ternak) dan internal (di dalam tubuh ternak). Siklus hidup cacing ascaris suum hampir sama dengan ascaris lumbricoides, yang membedakan ascaris lumbricodes hanya mempunyai manusia sebagai hospesnya (Loreille dan bouchet,2003; Supali et al., 2008) 3. Cassia alata, L. a. Taksonomi Kingdom

: Plantae

Subkingdom

: Tracheobionta

Superdivision

: Spermatphyta

Divisi

: Magnoliophyta

Kelas

: Magnoliopsida

11

Subkelas

: Rosidae

Ordo

: fabales

Keluarga

: fabaceae

Genus

: Cassia L

Spesies

: Cassia alata L. (Sighn et al., 2013)

b. Morfologi Tanaman ketepeng cina merupakan tanaman berkayu berbentuk perdu, dengan tinggi mencapai 5 meter. Termasuk tanaman dikotil, berdaun majemuk, berakar tunggang, memiliki bunga dan berbuah (Kandowangko et al, 2011) Ketepeng cina termasuk tumbuhan dikotil atau berkeping dua dan mempunyai sistem perakaran tunggang. Akar tunggang pada ketepeng cina memperlihatkan akar pokok yang bercabang-cabang menjadi akar yang lebih kecil, berbentuk kerucut panjang yang terus tumbuh lurus ke arah bawah. Sistem perakaran tunggang itu umumnya mempunyai fungsi untuk memperluas bidang penyerapan dan memperkuat tegaknya batang. Ketepeng cina merupakan tanaman berkayu dengan ketinggian ± 3 meter, batang berbentuk bulat dan mempunyai percabangan yang simpodial (Hujjatusnaini, 2000). Daun ketepeng cina berbentuk jorong sampai telur sungsang. Merupakan daun majemuk menyirip genap dan berpasang-pasangan sebanyak 5-

12

12 baris, mempunyai anak daun yang kau dengan panjang 5-15 cm, lebar 2,5-9 cm, ujung daunnya tumpul dengan pangkal daun runcing dan serat daun rata. Pertulangan daunnnya menyirip dengan tangkai anak daun yang pendek dengan panjang ± 2cm dan berwarna hijau (Hujjatusnaini, 2000; Kandowangko et al, 2011) Bunga ketepeng cina merupakan bunga majemuk yang tersusun dalam tandan bertangkai panjang dan tegak yang terletak di ujung-ujung cabangnya. Mahkota bunganya berwarna kuning terang. Sedangkan untuk buah ketapeng cina merupakan buah polong, panjang dapat mencapai 18cm dan lebar ±2,5 cm. Buah ketapeng cina pada saat ini masih mda berwarna hijau, namun pada saat sudah tua warnanya menjadi hitam kecoklatan (Wijayakusuma et al, 1993) c. Kandungan Kimia Yang Bekerja Pada Cacing Daun ketapeng cina (cassia alata L.) mengandung senyawa dominan flavonoida dan anthraquinone glycosides (Singh., et al, 2013). Selain itu juga mengandung rein aloe-emodina, rein aloe emodina-diantron, rein aloe-emodina asam krisofonat (dehidroksimetilantraquinoer), tannin, alkoloida, dan saponin (A risandi dan andriani, 2009) Flavonoid salah satu senyawa dominan dalam daun ketepeng Cina. Kandungan Flavonoid dalam daun ketepeng cina sebesar 26,8633 mg/ml. Senyawa flavonoid memiliki daya antihelmintik dengan menyebabkan denaturasi protein. Denaturasi protein adalah sebuah proses dimana protein atau asam

13

nukleat kehilangan struktur tersier dan struktur seknder dengan penerapan beberapa tekanan eksternal atau senyawa. Jika protein dalam sel hidup denaturasi, dapat menyebabkan gangguan terhadap aktivitas sel dan kemungkinan kematian sel. Denaturasi protein ini akan menyebabkan kematian pada cacing dengan keadaan flasid (lemas) (wardhani, 2013; lumbessy et al, 2013) Selain dua senyawa dominan di atas, satu senyawa penting lainnya yang ada dalam daun ketepeng cina adalah tanin. Tanin merupakan senyawa plifenol yang diketahui memiliki efek antihelmintik. Efek antihelmintik tanin adalah karena adanya pengikatan tanin pada protein bebas dalam saluran pencernaan host atau glikoprotein pada kutikula dari parasit sehingga menyebabkan kematian pada cacing dengan keadaan flasit (lemas) (Mulla et al, 2010). Menurut indriani (2007), senyawa saponin yang juga ada pada daun ketapeng cina dapat menyebabkan iritasi selaput lendir pada permukaan tubuh cacing karena saponin bersifat hemolisis dan hidrolisis. Iritasi pada selaput lendir menganggu proses penyerapan makanan sehingga menyebabkan kematian pada cacing. d. Ekstrak Etano Daun Ketepeng Maserasi adalah proses ekstraksi simplisia yang mengunakan pelarut dengan perendaman, pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan. Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan

14

penyaringan maserat pertama dan seterusnya. Pelarut bisa berupa eter, etanol, kloroform, air, dan lain-lain. (Ditjen POM, 2000). Pelarut etanol adalah pelarut polar yang universal untuk menarik zatzat aktif dalam tanaman. Pada penelitian tentang ekstrak etanol rimpang bangle menunjukan bahwa di dalam ekstrak etanol 70% rimpang bangle mengandung saponin, flavonoid, tanin, alkaloid, minyak astiri, dan glikosida (Padmasan, PD et al, 2003) Begitu juga hasil dari hasil penapisan fitokimia ekstrak etanol bunga Rosella (Hisbicus sabdariffa L.) terdeteksi adanya alkaloid, flavanoid, savonin dan tanin (Rostinawati T, 2009).

15

B. kerangka Pemikiran Ekstrak Daun Ketepeng Cina

flavonoid

tanin

Denaturasi protein cacing

1. berikatan dengan protein saluran pencernaan host

saponin

Mengiritasi selaput lendir pada cacing

2. berikatan dengan glikoprotein pada kutikula dari parasit Menganggu proses penyerapan makanan

Kematian cacing Ascaris suum

Variabel peracu tidak terkendali : a. umur cacing b. jenis kelamin cacing

Variabel peracu terkendali : a. jenis cacing b. konsentrasi larutan uji c. suhu percobaan d. kepekaan cacing

Related Documents

Bab I - Bab Iii.docx
December 2019 87
Bab I - Bab Ii.docx
April 2020 72
Bab-i-bab-v.doc
May 2020 71
Bab I & Bab Ii.docx
June 2020 67
Bab I & Bab Ii.docx
June 2020 65
Bab I-bab Iii.docx
November 2019 88

More Documents from "Nara Nur Gazerock"

Bab I Ngetik.docx
December 2019 11
Year In Pxels.docx
December 2019 20
Abstrack - Copy.docx
December 2019 11
72248_bab I(1).docx
December 2019 7
Type Of Syllabus
August 2019 60
Soal Usm 2016.pdf
October 2019 53