BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. Situasi Rabies di Indonesia Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit hewan menular yang disebabkan oleh virus dari genus Lyssa virus (dari bahasa Yunani Lyssayang berarti mengamuk atau kemarahan), bersifat akut serta menyerang susunan saraf pusat, hewan berdarah panas dan manusia. Rabies berasal dari bahasa latin "rabere" yang artinya marah, menurut bahasa Sansekerta "rabhas" yang berarti kekerasan. Rabies merupakan penyakit zoonosis yang dapat menyerang semua hewan berdarah panas dan manusia. Virus rabies ditransmisikan melalui air liur hewan terinfeksi rabies dan umumnya masuk ke tubuh melalui infiltrasi air liur yang mengandung virus dari hewan rabies ke dalam luka (misalnya goresan), atau dengan paparan langsung permukaan mukosa air liur dari hewan yang terinfeksi (misalnya gigitan). Virus Rabies ditularkan ke manusia melalui gigitan hewan penular Rabies seperti anjing, kucing dan kera. Virus rabies tidak bisa menyusup atau melewati kulit dalam kondisi utuh (tanpa luka). Begitu sampai ke otak, virus rabies dapat bereplikasi lebih lanjut, sehingga menghasilkan tanda klinis pada pasien. Bila Iuka gigitan tidak dilakukan penanganan sejak dini, 2 buIan sampai 2 tahun akan menimbulkan gejala (masa inkubasi). Bervariasinya masa inkubasi cepat atau lambat tergantung pada: a. Dalam atau tidaknya Iuka bekas gigitan b. Luka tunggal atau luka jamak c. Dekat atau tidaknya Iuka gigitan dengan susunan saraf pusat (seperti Iuka yang terjadi di daerah bahu ke atas mempunyai masa inkubasi yang lebih pendek) d. Jumlah virus yang masuk ketubuh Sampai dengan tahun 2015, rabies tersebar di 25 Provinsi dengan
jumlah
kasus gigitan yang cukup tinggi. Berdasarkan data pada tahun 2015 dari
Ditjen
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P), Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik terdapat 80.403 kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) yang dilaporkan. Sedangkan 9 provinsi bebas Rabies,
diantaranya 5 provinsi bebas historis (Papua, Papua Barat, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, dan Nusa Tenggara Barat), dan 4 provinsi dibebaskan (Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa
Timur, dan DKI Jakarta). Terdapat beberapa
indikator yang digunakan dalam memantau upaya pengendalian rabies yaitu : kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR), kasus yang diberi vaksinasi post exposure treatment dengan Vaksin Anti Rabies (VAR) dan kasus yang meninggal karena Rabies (Lyssa) dan specimen positif pada hewan. Penentuan suatu daerah dikatakan tertular Rabies berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium hewan, dan kewenangan ini ditentukan oleh Kementerian Pertanian. Pada tahun 2015 terdapat 80.403 kasus GHPR. Kasus GHPR paling banyak terjadi di Bali yaitu sebanyak 42.630 kasus, diikuti oleh Nusa Tenggara Timur yaitu sebanyak 7.386 kasus. Sedangkan pada tahun 2016 menjadi 68.271 kasus GPHR dan pada tahun 2017 kasus GHPR menjadi 74.245. Kasus GPHR pada tahun 2017 paling banyak terjadi di Bali yaitu sebanyak 29.391 kasus, diikuti oleh NTT sebanyak 10.139 kasus, dan Sumatera Utara sebanyak 5.348 kasus. 2. Situasi Antraks di Indonesia Antraks merupakan salah satu zoonosis yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri antraks (Bacillus anthracis) yang dapat membentuk spora yang bertahan di lingkungan sampai puluhan tahun. Antraks selain menjadi masalah kesehatan masyrakat, juga dapat mengancam dunia internasional karena dapat dijadikan senjadi biologis. Penyakit antraks merupakan salah satu dari 25 penyakit yang menimbulkan kerugian ekonomi, keresahan masyarakat dan kematian hewan yang tinggi. Antraks tidak hanya mempengaruhi kesehatan manusia, tetapi juga menyebabkan kemiskinan dan tekanan emosional, terutama di kalangan penduduk yang mata pencahariannya bergantung pada pertanian pastoral. Kasus antraks merupakan kejadian alamiah yang muncul secara berulang di tempat yang sama. Hal ini terjadi karena sebagian besar waktu hidup bakteri antraks berada di tanah dalam bentuk spora dan tidak aktif. Antraks disebabkan oleh bakteri bukan virus. Kontak dengan spora antraks yang ada di daging, tanah dan rumput dapat menyebabkan penyakit baik pada manusia maupun hewan, seperti pneumonia, infeksi
dalam darah (sepsis) dan kematian. Namun demikian, antraks sebenarnya bukan penyakit menular, karena tidak menular antar hewan atau antar manusia. Antraks merupakan penyakit infeksius non-contagious, yaitu penyakit infeksi yang tidak menular. Manusia pada umumnya tertular penyakit antraks secara langsung atau tidak langsung terpapar oleh produk hewan yang terkontaminasi, seperti daging, kulit binatang, tulang, dan bahan lainnya dari hewan yang terinfeksi. Menurut Pudjiatmoko (2017) data 10 tahun terakhir periode 2008-2017 wilayah distribusi kasus antraks mencakup tujuh provinsi (Gambar 3), yaitu Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Barat, Gorontalo dan DI Yogyakarta. Dari Gambar 3 tersebut terlihat bahwa beberapa provinsi seperti Sumatera Barat, Jambi, Papua, Jawa Barat dan DKI Jakarta sudah menjadi area terkendali antraks. Pada bulan Februari 2016 kejadian antraks juga dilaporkan di Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu di Kabupaten Sidrap dan Kabupaten Pinrang. Kejadian antraks pada sapi di Kabupaten Pinrang baru pertama kali dilaporkan, dengan kematian 33 ekor sapi dan tiga ekor kerbau (Noor & Kusumaningsih 2016). Berdasarkan Kementerian Pertanian, daerah endemis antraks pada hewan sampai tahun 2017 ada di 12 provinsi, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sumatera Barat, Jambi, dan Jawa Timur. Sementara kasus pada manusia yang dilaporkan sampai tahun 2017 ada di 5 provinsi, yaitu Sulawesi Selatan, Gorontalo, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada tahun 2015 di Indonesia tidak ditemukan kasus antraks. Sedangkan pada tahun 2016 kasus antraks menjadi 52 kasus. Untuk tahun 2017 terjadi kembali di Nusa Tenggara Timur sebanyak 1 kasus, Sulawesi Selatan sebanyak 2 kasus, Gorontalo sebanyak 45 kasus, Jawa Timur sebanyak 11 kasus dan DI Yogyakarta sebanyak 4 kasus. Sementara itu, untuk provinsi lain yang tidak lagi ditemukan kasus pada manusia, masih merupakan daerah endemis antraks dan dapat berpotensi untuk menyebabkan kasus pada manusia, bila tidak dilakukan pengendalian baik dari sektor kesehatan manusia maupun sektor kesehatan hewan. Pada pengendalian dilakukan
investigasi bersama yang dilakukan oleh sektor kesehatan manusia dan kesehatan hewan. 3. Kematian yang disebakan oleh rabies di Indonesia Kematian yang diakibatkan oleh Rabies (Lyssa) pada tahun 2015 terdapat 118 kasus, terjadi
paling
banyak di Sulawesi Utara sebanyak 28 kasus dan di Bali
sebanyak 15 kasus. Sedangkan pada tahun 2016 mengalami penurunan pada jumlah kematian yang diakibatkn oleh Lyssa (Rabies) menjadi 99 kasus dan mengalami peningkatan kembali pada tahun 2017 menjadi 108 kasus dengan untuk kematian akibat rabies (Lyssa) paling banyak terjadi di Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan dengan masing-masing sebanyak 22 kasus, diikuti oleh Sulawesi Utara sebanyak 15 kasus, dan Sumatera Utara sebanyak 11 kasus. Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu provinsi dengan kematian akibat rabies rendah pada tahun sebelumnya, namun pada tahun 2017 memiliki kasus kematian terbanyak meskipun kasus gigitan hewan penular rabies di provinsi tersebut menurun dalam tiga tahun terakhir. 4. Kematian yang disebabkan oleh antraks di Indonesia Pada tahun 2015 di Indonesia tidak ditemukannya kasus kematian yang disebabkan oleh antraks. Begitu juga pada tahun 2016 tidak ditemukannya kasus kematian yang disebabkan oleh antraks. Namun, pada tahun 2017 di Indonesia ditemuka kasus kematian yang disebabkan oleh antraks sejumlah satu kasus. Kasus tersebut berada pada Terdapat 1 kasus meninggal di Provinsi DI Yogyakarta yang dikarenakan adanya infeksi meningitis anthraxis. Sementara itu, untuk provinsi lain yang tidak lagi ditemukan kasus pada manusia, masih merupakan daerah endemis antraks dan dapat berpotensi untuk menyebabkan kasus pada manusia, bila tidak dilakukan pengendalian baik dari sektor kesehatan manusia maupun sektor kesehatan hewan