BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Penyakit 2.1.1 Definisi Menurut Batticaca (2008; 56), stroke adalah suatu keadaan yang timbul karena terjadi gangguan perdarahan di otak yang menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak sehingga mengakibatkan seseorang menderita kelumpuhan atau kematian. Menurut Muttaqin (2008; 129), ada beberapa faktor risiko stroke hemoragik, yaitu: 1) Stroke hemoragik paling sering disebabkan oleh tekanan darah tinggi yang menekan dinding arteri sampai pecah. 2) Penyakit kardiovaskular-embolisme serebral berasal dari jantung. 3) Peningkatan hemotokrik meningkatkan risiko infark serebral. 4) Kontasepsi oral (khususnya dengan hipertensi, merokok, dan kadar estrogen tinggi). 5) Konsumsi alkohol. 6) Kanker, terutama kanker yang menyebar ke otak dari organ jauh seperti payudara, kulit, dan tiroid. 7) Cerebral amyloid angiopathy, yang membentuk protein amiloid dalam dinding arteri di otak, yang membuat kemungkinan terjadi stroke lebih besar. 8) Kondisi atau obat (seperti aspirin atau warfarin). 9) Overdosis narkoba, seperti kokain. Stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan oleh karena pecahnya pembuluh darah pada otak. Stroke hemoragik terjadi bila pembuluh darah di dalam otak pecah. Otak sangat sensitif terhadap perdarahan dan kerusakan dapat terjadi dengan sangat cepat. Pendarahan di dalam otak dapat mengganggu jaringan otak, sehinga menyebabkan pembengkakan, mengumpul menjadi sebuah massa yang disebut hematoma. Pendarahan juga meningkatkan tekanan pada otak dan menekan tulang tengkorak.
2.1.2 Etiologi Menurut Batticaca (2008; 56), Stroke hemoragik umumnya disebabkan oleh adanya perdarahan intracranial dengan gejala peningkatan tekana darah systole > 200 mmHg pada hipertonik dan 180 mmHg pada normotonik, bradikardia, wajah keunguan, sianosis, dan pernafasan mengorok. Penyebab stroke hemoragik, yaitu: 1) Kekurangan suplai oksigen yang menuju otak. 2) Pecahnya pembuluh darah di otak karena kerapuhan pembuluh darah otak. 3) Adanya sumbatan bekuan darah di otak. 2.1.3 Manifestasi Klinis Gejala stroke hemoragik bervariasi tergantung pada lokasi pendarahan dan jumlah jaringan otak yang terkena. Gejala biasanya muncul tiba-tiba, tanpa peringatan, dan sering selama aktivitas. Gejala mungkin sering muncul dan menghilang, atau perlahan-lahan menjadi lebih buruk dari waktu ke waktu. Gejala stroke hemoragik bisa meliputi: 1) Perubahan tingkat kesadaran (mengantuk, letih, apatis, koma). 2) Kesulitan berbicara atau memahami orang lain. 3) Kesulitan menelan. 4) Kesulitan menulis atau membaca. 5) Sakit kepala yang terjadi ketika berbaring, bangun dari tidur, membungkuk, batuk, atau kadang terjadi secara tiba-tiba. 6) Kehilangan koordinasi. 7) Kehilangan keseimbangan. 8) Perubahan gerakan, biasanya pada satu sisi tubuh, seperti kesulitan menggerakkan salah satu bagian tubuh, atau penurunan keterampilan motorik. 9) Mual atau muntah. 10) Kejang. 11) Sensasi perubahan, biasanya pada satu sisi tubuh, seperti penurunan sensasi, baal atau kesemutan. 12) Kelemahan pada salah satu bagian tubuh.
2.1.4 Patofisiologi Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi dimana saja di dalam arteri-arteri yang membentuk sirkulus Willisi : arteria karotis interna dan sistem vertebrobasilar atau semua cabang-cabangnya. Apabila aliran darah ke jaringan otak terputus selama 15-20 menit maka akan terjadi infark atau kematian jaringan. Akan tetapi dalam hal ini tidak semua oklusi di suatu arteri menyebabkan infark di daerah otak yang diperdarahi oleh arteri tersebut. Mungkin terdapat sirkulasi kolateral yang memadai di daerah tersebut. Dapat juga karena keadaan penyakit pada pembuluh darah itu sendiri seperti aterosklerosis dan trombosis atau robeknya dinding pembuluh darah dan terjadi peradangan, berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah misalnya syok atau hiperviskositas darah, gangguan aliran darah akibat bekuan atau infeksi pembuluh ektrakranium dan ruptur vaskular dalam jaringan otak (Sylvia A. Price dan Wilson, 2006). 2.1.5 WOC
2.1.6 Komplikasi Menurut Batticaca (2008; 60), yaitu: 1) Gangguan otak yang berat. 2) Kematian bila tidak dapat mengontrol respons pernafasan atau kardiovaskular. 2.1.7 Pemeriksaan Penunjang Menurut Batticaca (2008; 60), Pemeriksaan penunjang diagnostik yang dapat dilakukan adalah: 1) Laboratorium: darah rutin, gula darah, urine rutin, cairan serebrospinal, analisa gas darah, biokimia darah, elektolit. 2) CT scan kepala untuk mengetahui lokasi dan luasnya perdarahan dan juga untuk memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia, dan adanya infark. 3) Ultrasonografi Doppler: mengidentifikasi penyakit arteriovena (masalah sistem arteri karotis). 4) Angiografi serebral membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan atau obstruksi arteri. 5) MRI (magnetic resonance imaging): menunjukan daerah yang mengalami infark, hemoragik). 6) EEG ( elektroensefalogram ): memperlihatkan daerah lesi yang spesifik. 7) Sinar-X tengkorak: menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang berlawanan dari masa yang meluas; klasifikasi karotis interna terdapat pada trombosit serebral; klasifikasi parsial dinding aneurisma pada perdarahan subarachnoid. 2.1.8 Penatalaksanaan Medis Menurut Sylvia dan Lorraine (2006), penatalaksanaan penderita dengan stroke hemoragik adalah sebagai berikut: 1) Posisi kepala dan badan atas 20 – 30 derajat, posisi miring apabila muntah dan boleh mulai mobilisasi bertahap jika hemodinamika stabil. 2) Bebaskan jalan
nafas dan pertahankan ventilasi yang adekuat, bila perlu
diberikan oksigen sesuai kebutuhan. 3) Tanda – tanda vital diusahakan stabil. 4) Bed rest. 5) Koreksi adanya hiperglikemia atau hipoglikemia.
6) Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. 7) Kandung kemih yang penuh dikosongkan, bila perlu kateterisasi. 8) Pemberian cairan intravena berupa kristaloid atau koloid dan hindari penggunaan glukosa murni atau cairan hipotonok. 9) Hindari kenaikan suhu, batuk, konstipasi, atau cairan suction berlebih yang dapat meningkatkan TIK. 10) Nutrisi peroral hanya diberikan jika fungsi menelan baik. apabila kesadaran menurun atau ada gangguan menelan sebaiknya dipasang NGT. 11) Penatalaksanaan spesifiknya yaitu dengan pemberian obat neuroprotektor, antikoagulan, trombolisis intraven, diuretic, antihipertensi dan menurunkan TIK yang tinggi. 12) Tindakan pembedahan dengan embolisasi: prosedur non bedah invasif minimal yang digunakan untuk mengobati masalah kesehatan. Embolisasi sering dilakukan pada pembuluh darah arteri. Prosedur ini akan menutup satu bagian arteri untuk menghentikan aliran darah pada area tertentu. Tujuannya dapat membantu mengobati masalah tertentu atau mencegahnya makin parah.
2.2 Manajemen Keperawatan 2.2.1 Pengkajian 1) Identitas Klien Meliputi: nama, umur, jenis kelamin, status, suku, agama, alamat, pendidikan, diagnosa medis, tanggal MRS, dan tanggal pengkajian diambil. 2) Keluhan Utama Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi, dan penurunan tingkat kesadaran. 3) Riwayat Penyakit Sekarang Serangan stroke hemoragik sering kali berlangsung sangat mendadak, pada saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan kejang sampai tidak sadar, disamping gejala kelumpuhan separoh badan atau gangguan fungsi otak yang lain. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran disebabkan perubahan di dalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi latergi, tidak responsif, dan koma. 4) Riwayat Penyakit Dahulu Adanya riwayat hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat – obat antib koagulan, aspirin, vasodilator, obat – obat adiktif, kegemukan. Pengkajian pemakaian
obat-obat
yang
sering
digunakan
klien,
seperti
pemakaian
antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta, dan lainnya. Adanya riwayat merokok, penggunaan alkohol dan penggunaan obat kontrasepsi oral. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya. 5) Riwayat Penyakit Keluarga Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes melitus, atau adanya riwayat stroke dan generasi terdahulu.
6) Riwayat Psikososiospiritual Pengkajian psikologis klien stroke meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien.
Pengkajian mekanisme koping yang
digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya, baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien yaitu timbul seperti ketakutan akan kecemasan, rasa cemas, rasa tidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh). Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami kesulitan untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan konsep diri menunjukkan klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, dan tidak kooperatif. Dalam pola penanganan stres, klien biasanya mengalami kesulitan untuk memecahkan masalah karena gangguan proses berpikir dan kesulitan berkomunikasi. Dalam pola tata nilai dan kepercayaan, klien biasanya jarang melakukan ibadah spritual karena tingkah laku yang tidak stabil dan kelemahan/kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh. 7) Pemeriksaan Fisik (1) B1 (breathing): pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan obat bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan. Pada klien dengan tingkat kesadaran compas mentis, peningkatan inspeksi pernapsannya tidak ada kelainan. Palpasi toraks didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan. (2) B2 (blood): pengkajian pada sistem kardiovaskulardidapatkan renjatan (syok hipovolemik) yang sering terjadi pada klien stroke. Tekanan darah biasanya terjadi peningkatan dan dapat terjadi hipertensi masif (tekanan darah >200 mmHg. (3) B3 (Brain): stroke yang menyebabkan berbagai defisit neurologis, tergantung pada lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, dan aliran darah kolateral
(sekunder atau aksesori). Lesi otak yang rusak dapat membaik sepenuhnya. Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya. (4) B4 (Bladder): setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinesia urine sementara
karena
konfusi,
ketidakmampuan
mengomunikasikan
kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk mengendalikan kandunf kemih karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang kontrol sfingter urine eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Inkontinesia urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas. (5) B5 (Bowel): didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual muntah pada pasien akut. Mual sampai muntah disebabkan oleh peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinesia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas. (6) B6 (Bone): pada kulit, jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk. Selain itu, perlu juga tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena klien stroke mengalami masalah mobilitas fisik. Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau paralise/hemiplegi, serta mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat. 8) Pengkajian Tingkat Kesadaran Pada klien lanjut usia tingkat kesadaran klien stroke biasanya berkisar pada tingkat latergi, stupor, dan semikomantosa. 9) Pengkajian Fungsi Serebral Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual, kemampuan bahasa, lobus frontal, dan hemisfer. 10) Pengkajian Saraf Kranial Umumnya terdapat gangguan nervus cranialis VII dan XII central. 11) Pengkajian Sistem Motorik Hampir selalu terjadi kelumpuhan / kelemahan pada salah satu sisi tubuh.
12) Pengkajian Refleks Pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologi akan muncul kembali di dahului dengan refleks patologis. 13) Pengkajian Sistem Sensori Dapat terjadi hemihipertensi. 2.2.2 Diagnosa Keperawatan 1) Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan gangguan aliran darah sekunder akibat peningkatan tekanan intracranial. 2) Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kehilangan kontrol otot facial atau oral. 3) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular 4) Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menelan. 5) Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan hemiparese/hemiplegi. 2.2.3 Intervensi Keperawatan 1) Diagnosa 1 (1) Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan selama 2x 24 jam, diharapkan Perfusi jaringan otak dapat tercapai secara optimal. (2) Kriteria hasil: klien tidak gelisah,tidak ada keluhan nyeri kepala, mual, kejang, GCS 456, pupil isokor, reflek cahaya (+), tanda-tanda vital normal(nadi : 60-100 kali permenit, suhu: 36-36,7 C, pernafasan 16-20 kali permenit). (3) Intervensi: 1. Berikan penjelasan kepada keluarga klien tentang sebab-sebab peningkatan TIK dan akibatnya. R: keluarga lebih berpartisipasi dalam proses penyembuhan 2. Anjurkan kepada klien untuk bed rest total R: untuk mencegah perdarahan ulang.
3. Observasi dan catat tanda-tanda vital dan kelainan tekanan intrakranial tiap 2 Jam. R: mengetahui setiap perubahan yang terjadi pada klien secara dini dan untuk penetapan tindakan yang tepat. 4. Berikan posisi kepala lebih tinggi 15-30 dengan letak jantung ( beri bantal tipis). R: mengurangi tekanan arteri dengan meningkatkan drainage vena dan memperbaiki sirkulasi serebral. 5. Anjurkan klien untuk menghindari batuk dan mengejan berlebihan. R: batuk dan mengejan dapat meningkatkan tekanan intra kranial dan potensial terjadi perdarahan ulang. 6. Ciptakan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjunng. R: rangsangan aktivitas yang meningkat dapat meningkatkan kenaikan TIK. Istirahat total dan ketenangan mingkin diperlukan untuk pencegahan
terhadap
perdarahan
dalam
kasus
stroke
hemoragik/perdarahan lainnya. 7. Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian obat neuroprotektor. R: memperbaiki sel yang masih viabel. 2) Diagnosa 2 (1) Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan selama 2x 24 jam diharapkan kerusakan komunikasi verbal klien dapat teratasi. (2) Kriteria hasil: menerima pesan-pesan melalui metode alternatif (mis; komunikasi tertulis, bahasa isyarat, bicara dengan jelas pada telinga yang baik), memperlihatkan suatu peningkatan kemampuan berkomunikasi, meningkatkan kemampuan untuk mengerti, mengatakan penurunan frustrasi dalam berkomunikasi, mampu berbicara yang koheren dan mampu menyusun kata – kata/ kalimat. (3) Intervensi: 1. Kaji tipe/derajat disfungsi, seperti pasien tidak tampak memahami kata atau mengalami kesulitan berbicara atau membuat pengertian sendiri. R: membantu menentukan daerah dan derajat kerusakan serebral yang terjadi dan kesulitan pasien dalam beberapa atau seluruh tahap proses
komunikasi. Pasien mungkin mempunyai kesulitan memahami kata yang diucapkan;
mengucapkan kata-kata dengan benar;
atau
mengalami kerusakan pada kedua daerah tersebut. 2. Bedakan antara afasia dengan disartria. R: intervensi yang dipilih tergantung pada tipe kerusakannya. Afasia adalah gangguan dalam menggunakan dan menginterpretasikan simbol-simbol bahasa dan mungkin melibatkan komponen sensorik dan/atau
motorik,
seperti
ketidakmampuan
untuk
memahami
tulisan/ucapan atau menulis kata, membuat tanda, berbicara. Seseorang dengan disartria dapat memahami, membaca, dan menulis bahasa tetapi mengalami kesulitan membentuk/mengucapkan kata sehubungan dengan kelemahan dan paralisis dari otot-otot daerah oral. 3. Perhatikan kesalahan dalam komunikasi dan berikan umpan balik. R: pasien mungkin kehilangan kemampuan untuk memantau ucapan yang
keluar
diucapkannya
dan tidak
tidak
menyadari
nyata.
Umpan
bahwa
komunikasi
balik
membantu
yang pasien
merealisasikan kenapa pemberi asuhan tidak mengerti/berespon sesuai dan memberikan kesempatan untuk mengklarifikasikan isi/makna yang gterkandung dalam ucapannya. 4. Mintalah pasien untuk mengikuti perintah sederhana (seperti “buka mata,” “tunjuk ke pintu”) ulangi dengan kata/kalimat yang sederhana. R: melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan sensorik (afasia sensorik). 5. Tunjukkan objek dan minta pasien untuk menyebutkan nama benda tersebut. R: melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan motorik (afasia motorik), seperti pasien mungkin mengenalinya tetapi tidak dapat menyebutkannya. 6. Mintalah pasien untuk mengucapkan suara sederhana seperti “Sh” atau “Pus”. R: mengidentifikasikan adanya disartria sesuai komponen motorik dari bicara (seperti lidah, gerakan bibir, kontrol napas) yang dapat
mempengaruhi artikulasi dan mungkin juga tidak disertai afasia motorik. 7. Minta pasien untuk menulis nama dan/atau kalimat yang pendek. Jika tidak dapat menulis, mintalah pasien untuk membaca kalimat yang pendek. R: menilai kemampuan menulis (agrafia) dan kekurangan dalam membaca yang benar (aleksia) yang juga merupakan bagian dari afasia sensorik dan afasia motorik. 8. Tempatkan tanda pemberitahuan pada ruang perawat dan ruangan pasien tentang adanya gangguan bicara. Berikan bel khusus bila perlu. R:
menghilangkan
ansietas
pasien
sehubungan
dengan
ketidakmampuannya untuk berkomunikasi dan perasaan takut bahwa kebutuhan pasien tidak akan terpenuhi dengan segera. Penggunaan bel yang diaktifkan dengan tekanan minimal akan bermanfaat ketika pasien tidak dapat menggunakan system bel regular. 9. Berikan metode komunikasi alternative, seperti menulis di papan tulis, gambar. Berikan petunjuk visual (gerakan tangan, gambar-gambar, daftar kebutuhan, demonstrasi). R:
memberikan
komunikasi
tentang
kebutuhan
berdasarkan
keadaan/deficit yang mendasarinya. 10. Katakan secara langsung dengan pasien, bicara perlahan, dan dengan tenang. Gunakan pertanyaan terbuka dengan jawaban “ya/tidak,” selanjutnya kembangkan pada pertanyaan yang lebih kompleks sesuai dengan respons pasien. R: menurunkan kebingungan/ansietas selama proses komunikasi dan berespons pada informasi yang lebih banyak pada satu waktu tertentu. Sebagai proses latihan kembali untuk lebih mengembangkan komunikasi lebih lanjut dan lebih kompleks akan menstimulasi memori dan dapat meningkatkan asosiasi ide/kata.
11. Hargai
kemampuan
pasien
sebelum
terjadi penyakit;
hindari
“pembicaraan yang merendahkan” pada pasien atau membuat hal-hal yang menentang kebanggaan pasien. R: kemampuan pasien untuk merasakan harga diri, sebab kemampuan intelektual pasien seringkali tetap baik. 12. Kolaborasi/konsultasikan dengan/rujuk kepada ahli terapi wicara. R: untuk mengatasi masalah yang di alami klien dengan terapi. 3) Diagnosa 3 (1) Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 2x 24 jam diharapkan mobilisasi klien mengalami peningkatan. (2) Kriteria
hasil:
mempertahankan
posisi
optimal,
mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang terserang hemiparesis dan hemiplagia dan mempertahankan perilaku yang memungkinkan adanya aktivitas. (3) Intervensi: 1. Kaji kemampuan secara fungsional/luasnya kerusakan awal dan dengan cara yang teratur. R: mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat memberikan informasi mengenai pemulihan. Bantu dalam pemilihan terhadap intervensi sebab teknik yang berbeda digunakan untuk paralisis spastik dengan flaksid. 2. Ubah posisi minimal setiap 2 jam (telentang,miring) dan sebagainya dan jika memungkinkan bisa lebih sering jika diletakkan dalam posisi bagian yang terganggu. R: menurunkan risiko terjadinya trauma/iskemia jaringan. Daerah yang terkena mengalami perburukan/sirkulasi yang lebih jelek dan menurunkan sensasii dan lebih besar menimbulkan kerusakan pada kulit/ dekubitus.
3. Letakkan pada posisi telungkup satu kali atau dua kali sekali jika pasien dapat mentoleransinya. R: membantu mempertahankan ekstensi pinggul fungsional;tetapi kemungkinan
akan
meningkatkan
ansietas
terutama
mengenai
kemampuan pasien untuk bernapas. 4. Mulailah melakukan latihan rentang gerak aktif dan pasif pada semua ekstremitas saat masuk. Anjurkan melakukan latihan sepeti latihan quadrisep/gluteal,
meremas
bola
karet,
melebarkan
jari-jari
kaki/telapak. R: meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi, membantu mencegah kontraktur. Menurunkan risiko terjadinya hiperkalsiuria dan osteoporosis jika masalah utamanya adalah perdarahan. Catatan: Stimulasi yang berlebihan dapat menjadi pencetus adanya perdarahan berulang. 5. Sokong ekstremitas dalam posisi fungsionalnya, gunakan papan kaki (foot board) seelama periode paralisis flaksid. Pertahankan posisi kepala netral. R: mencegah kontraktur/footdrop dan memfasilitasi kegunaannya jika berfungsi kembali. Paralisis flaksid dapat mengganggu kemampuannya untuk menyangga kepala, dilain pihak paralisis spastik dapat meengarah pada deviasi kepala ke salah satu sisi. 6. Tempatkan bantal di bawah aksila untuk melakukan abduksi pada tangan. R: mencegah adduksi bahu dan fleksi siku. 7. Tempatkan ”handroll’ keras pada teelapak tangan dengan jari – jari dan ibu jari saling berhadapan. R: alas/dasar yang keras menurunkan stimulasi fleksi jari-jari, mempertahankan jari-jari dan ibu jari pada posisi normal (posisi anatomis). 8. Posisikan lutut dan panggul dalam posisi ekstensi. R: mempertahankan posisi fungsional.
9. Bantu untuk mengembangkan keseimbangan duduk. R: membantu dalam melatih kembali jaras saraf, meningkatkan respon proprioseptik dan motorik. 10. Anjurkan pasien untuk membantu pergerakan dan latihan dengan menggunakan ekstremitas yang tidak sakit untuk menyokong/ menggerakkan daerah tubuh yang mengalami kelemahan. R: mungkin diperlukan untuk menghilangkan spastisitas pada ekstremitas yang terganggu. 4) Diagnosa 4 (1) Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam tidak terjadi gangguan nutrisi. (2) Kriteria hasil: berat badan dapat dipertahankan/ ditingkatkan dan Hb dan albumin dalam batas normal. (3) Intervensi: 1. Tentukan kemampuan klien dengan mengunyah, menelan dan refleks batuk. R: untuk menetapkan jenis makanan yang akan di berikan kepada klien. 2. Letakkan posisi kepala lebih tinggi pada waktu, selama dan sesudah makan. R: untuk klien lebih mudah untuk menelan karena gaya gravitasi. 3. Letakkan makanan didaerah mulut yang tidak terganggu. R: membantu dalam melatih sensorik dan meninggkatkan kontrol muskuler. 4. Berikan makanan dengan berlahan pada lingkungan yang tenang. R: klien dapat berkonsentrasi pada mekanisme makanan tanpa adanya distrakrasi/gangguan dari luar. 5. Mulailah untuk memberi makan peroral setengah cair, makan lunak ketika klien dapat menelan air. R: makan lunak/cairan kental mudah untuk mengendalikannya di dalam mulut, menurunkan terjadinya aspirasi.
6. Anjurkan klien menggunakan sedotan meminum cairan. R: menguatkan otot fasial dan otot menelan dan menurunkan resiko terjadinya tersedak. 7. Koloborasi dengan tim dokter untuk memberikan cairan melalui iv atau makanan melalui selang. R: mungkin diperlukan untuk memberikan cairan pengganti dan juga makanan apabila klien tidak mampu untuk memasukkan segala sesuatu melalui mulut. 5) Diagnosa 5 (1) Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam Kebutuhan perawatan diri klien terpenuhi. (2) Kriteria hasil: klien dapat melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan kemampuan klien dan klien dapat mengidentifikasi sumber pribadi/komunitas untuk memberikan bantuan sesuai kebutuhan. (3) Intervensi: 1. Tentukan kemampuan dan tingkat kekurangan dalam melakukan perawatan diri. R:
membantu
dalam
mengantisipasi/merencanakan
pemenuhan
kebutuhan secara individual. 2. Beri motivasi kepada klien untuk tetap melakukan aktivitas dan beri bantuan dengan sikap sungguh. R: meningkatkan harga diri dan semangat untuk berusaha terusmenerus. 3. Hindari melakukan sesuatu untuk klien yang dapat dilakukan klien sendiri, tetapi berikan bantuan sesuai kebutuhan. R: klien mungkin menjadi sangat ketakutan dan sangat tergantung dan meskipun bantuan yang diberikan bermanfaat dalam mencegah frustasi, adalah penting bagi klien untuk melakukan sebanyak mungkin untuk diri-sendiri untuk mempertahankan harga diri dan meningkatkan pemulihan.
4. Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang dilakukannya atau keberhasilannya. R: meningkatkan perasaan makna diri dan kemandirian serta mendorong klien untuk berusaha secara kontinyu. 5. Kolaborasi dengan ahli fisioterapi/okupasi. R: memberikan bantuan yang mantap untuk mengembangkan rencana terapi dan mengidentifikasi kebutuhan alat penyokong khusus. 2.2.4 Implementasi Implementasi merupakan pelaksanaan rencana keperawatan oleh perawat terhadap pasien. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan rencana keperawatan diantaranya: Intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi; ketrampilan interpersonal, teknikal dan intelektual dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat, keamanan fisik dan psikologis klien dilindungi serta dokumentasi intervensi dan respon pasien. Pada tahap implementasi ini merupakan aplikasi secara kongkrit dari rencana intervensi yang telah dibuat untuk mengatasi masalah kesehatan dan perawatan yang muncul pada pasien. 2.2.5 Evaluasi Evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan. Kegiatan evaluasi ini adalah membandingkan hasil yang telah dicapai setelah implementasi keperawatan dengan tujuan yang diharapkan dalam perencanaan. 1) Berhasil: prilaku klien sesuai pernyatan tujuan dalam waktu atau tanggal yang ditetapkan di tujuan. 2) Tercapai sebagian: klien menunujukan prilaku tetapi tidak sebaik yang ditentukan dalam pernyataan tujuan. 3) Belum tercapai: klien tidak mampu sama sekali menunjukkan prilaku yang diharapakan sesuai dengan pernyataan tujuan.