BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi Regional Daerah Penelitian
Gambar II.1. Peta Geologi Regional Jawa (Sumber: Van Bemmelen 1949 dan Citraan Landsat SRTM NASA,2004)
Yogyakarta
terbentuk
akibat
pengangkatan
Pegunungan
Selatan
dan
Pegunungan Kulon Progo pada Kala Plistosen awal (0,01-0,7 juta tahun). Proses tektonisme diyakini sebagai batas umur Kwarter di wilayah. Setelah pengangkatan Pegunungan Selatan, terjadi genangan air (danau) di sepanjang kaki pegunungan hingga Gantiwarno dan Baturetno. Hal ini berkaitan dengan tertutupnya aliran air permukaan di sepanjang kaki pegunungan sehingga terkumpul dalam cekungan yang lebih rendah. Hipotesisnya adalah tinggian di sebelah selatan, barat daya, barat dan utara Yogyakarta, telah membentuk genangan sepanjang kaki gunung api yang berbatasan dengan Pegunungan Selatan Kulon Progo. Pengangkatan Pegunungan Selatan pada Kala Plistosen Awal, telah membentuk Cekungan Yogyakarta. Di dalam cekungan tersebut selanjutnya berkembang aktivitas gunung api (Gunung Merapi). Tinggian di sebelah selatan dan kemunculan kubah Gunung Merapi di sebelah utara, telah membentuk sebuah lembah datar. Bagian selatan lembah tersebut
berbatasan dengan Pegunungan Selatan, dan bagian baratnya berbatasan dengan Pegunungan Kulon Progo. Kini, di lokasi-lokasi yang diduga pernah terbentuk lembah datar tersebut, tersingkap endapan lempung hitam. Lempung hitam tersebut adalah batas kontak antara batuan dasar dan endapan gunung api Gunung Merapi. Endapan lempung hitam di Sungai Opak berselingan dengan endapan Gunung Merapi. Jadi data tersebut dapat juga diinterpretasikan sebagai awal pengaruh pengendapan material Gunung Merapi terhadap wilayah ini. Zona Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi tiga subzona, yaitu Subzona Baturagung, Subzona Wonosari dan Subzona Gunung Sewu). Subzona Baturagung terutama terletak di bagian utara, namun membentang dari barat (tinggian G. Sudimoro, ± 507 m, antara Imogiri-Patuk), utara (G. Baturagung, ±828 m), hingga ke sebelah timur (G. Gajahmungkur, ± 737 m). Di bagian timur ini, Subzona Baturagung membentuk tinggian agak terpisah, yaitu G. Panggung (± 706 m) dan G. Gajahmungkur (± 737 m). Subzona Baturagung ini membentuk relief paling kasar dengan sudut lereng antara 100 – 300 dan beda tinggi 200-700 meter serta hampir seluruhnya tersusun oleh batuan asal gunungapi. Subzona Wonosari merupakan dataran tinggi (± 190 m) yang terletak di bagian tengah Zona Pegunungan Selatan, yaitu di daerah Wonosari dan sekitarnya. Subzona Gunung Sewu merupakan perbukitan dengan bentang alam karts,yaitu bentang alam dengan bukit-bukit batugamping membentuk banyak kerucut dengan ketinggian beberapa puluh meter. Di antara bukit-bukit ini dijumpaitelaga, luweng (sink holes) dan di bawah permukaan terdapat gua batugamping serta aliran sungai bawah tanah. Bentang alam karts ini membentang dari pantai Parangtritis di bagian barat hingga Pacitan di sebelah timur.
Secara stratigrafi, urutan satuan batuan dari tua ke muda menurut penamaan litostratigrafi menurut Wartono dan Surono dengan perubahan (1994) adalah:
Gambar II.2. Satuan Stratigrafi Pegunungan Selatan (Sumber: SM-IAGI Universitas Gadjah Mada,2017)
1. Formasi Wungkal – Gamping Lokasi tipe formasi ini terletak di G. Wungkal dan G. Gamping, keduanya di Perbukitan Jiwo. Satuan batuan Tersier tertua di daerah Pegunungan Selatan ini di bagian bawah terdiri dari perselingan antara batupasir dan batulanau serta lensa batugamping. Jadi umur Formasi Wungkal-Gamping ini adalah Eosen Tengah sampai dengan Eosen Akhir. 2. Formasi Kebo Butak Lokasi tipe formasi ini terletak di G. Kebo dan G. Butak yang terletak di lereng dan kaki utara gawir Baturagung. Litologi penyusun formasi ini di bagian bawah berupa batupasir berlapis baik, batulanau, batulempung, serpih,
tuf dan aglomerat. Bagian atasnya berupa perselingan batupasir dan batulempung dengan sisipan tipis tuf asam. Setempat di bagian tengahnya dijumpai retas lempeng andesit-basal dan di bagian atasnya dijumpai breksi andesit. Ketebalan dari formasi ini lebih dari 650 meter. 3. Formasi Semilir Formasi ini berlokasi tipe di G. Semilir, sebelah selatan Klaten. Litologi penyusunnya terdiri dari tuf, tuf lapili, lapili batuapung, breksi batuapung dan serpih. Komposisi tuf dan batuapung tersebut bervariasi dari andesit hingga dasit. Di bagian bawah satuan batuan ini, yaitu di K. Opak, Dusun Watuadeg, Desa Jogotirto, Kec. Berbah, Kab. Sleman, terdapat andesit basal sebagai aliran lava bantal (Bronto dan Hartono, 2001). Penyebaran lateral Formasi Semilir ini memanjang dari ujung barat Pegunungan Selatan, yaitu di daerah PleretImogiri, di sebelah barat G. Sudimoro, Piyungan-Prambanan, di bagian tengah pada G. Baturagung dan sekitarnya, hingga ujung timur pada tinggian G. Gajahmungkur, Wonogiri. Ketebalan formasi ini diperkirakan lebih dari 460 meter. 4. Formasi Nglanggran Lokasi tipe formasi ini adalah di Desa Nglanggran di sebelah selatan Desa Semilir. Batuan penyusunnya terdiri dari breksi gunungapi, aglomerat, tuf dan aliran lava andesit-basal dan lava andesit. Breksi gunung api dan aglomerat yang mendominasi formasi ini umumnya tidak berlapis. Kepingannya terdiri dari andesit dan sedikit basal, berukuran 2 – 50 cm. Di bagian tengah formasi ini, yaitu pada breksi gunungapi, ditemukan batugamping terumbu yang membentuk lensa atau berupa kepingan. Secara setempat, formasi ini disisipi oleh batupasir gunungapi epiklastika dan tuf yang berlapis baik. Formasi ini juga tersebar luas dan memanjang dari Parangtritis di sebelah barat hingga tinggian G. Panggung di sebelah timur. Ketebalan formasi ini di dekat Nglipar sekitar 530 meter. Formasi ini menjemari dengan Formasi Semilir dan Formasi Sambipitu dan secara tidak selaras ditindih oleh Formasi Oyo dan Formasi Wonosari. Dengan banyaknya fragmen andesit dan batuan
beku luar berlubang serta mengalami oksidasi kuat berwarna merah bata maka diperkirakan lingkungan asal batuan gunungapi ini adalah darat hingga laut dangkal. Sementara itu, dengan ditemukannya fragmen batugamping terumbu, maka lingkungan pengendapan Formasi Nglanggran ini diperkirakan di dalam laut. 5. Formasi Sambipitu Lokasi tipe formasi ini terletak di Desa Sambipitu pada jalan raya Yogyakarta-Patuk-Wonosari kilometer 27,8. Secara lateral, penyebaran formasi ini sejajar di sebelah selatan Formasi Nglanggran, di kaki selatan Subzona Baturagung, namun menyempit dan kemudian menghilang di sebelah timur. Ketebalan Formasi Sambipitu ini mencapai 230 meter. Batuan penyusun formasi ini di bagian bawah terdiri dari batupasir kasar, kemudian ke atas berangsur menjadi batupasir halus yang berselang-seling dengan serpih, batulanau dan batulempung. Pada bagian bawah kelompok batuan ini tidak mengandung bahan karbonat. Namun di bagian atasnya, terutama batupasir, mengandung bahan karbonat. Formasi Sambipitu mempunyai kedudukan menjemari dan selaras di atas Formasi Nglanggran. 6. Formasi Oyo Lokasi tipe formasi ini berada di K. Oyo. Batuan penyusunnya pada bagian bawah terdiri dari tuf dan napal tufan. Sedangkan ke atas secara berangsur dikuasai oleh batugamping berlapis dengan sisipan batulempung karbonatan. Batugamping berlapis tersebut umumnya kalkarenit, namun kadang-kadang dijumpai kalsirudit yang mengandung fragmen andesit membulat. Formasi Oyo tersebar luas di sepanjang K. Oyo. Ketebalan formasi ini lebih dari 140 meter dan kedudukannya menindih secara tidak selaras di atas Formasi Semilir, Formasi Nglanggran dan Formasi Sambipitu serta menjemari dengan Formasi Oyo. 7. Formasi Wonosari Formasi ini oleh Surono dkk., (1992) dijadikan satu dengan Formasi Punung yang terletak di Pegunungan Selatan bagian timur karena di lapangan
keduanya sulit untuk dipisahkan, sehingga namanya Formasi WonosariPunung. Formasi ini tersingkap baik di daerah Wonosari dan sekitarnya, membentuk bentang alam Subzona Wonosari dan topografi karts Subzona Gunung Sewu. Ketebalan formasi ini diduga lebih dari 800 meter. Kedudukan stratigrafinya di bagian bawah menjemari dengan Formasi Oyo, sedangkan di bagian atas menjemari dengan Formasi Kepek. Formasi ini didominasi oleh batuan karbonat yang terdiri dari batugamping berlapis dan batugamping terumbu. Sedangkan sebagai sisipan adalah napal. Sisipan tuf hanya terdapat di bagian timur. 8. Formasi Kepek Lokasi tipe dari formasi ini terletak di Desa Kepek, sekitar 11 kilometer di sebelah barat Wonosari. Formasi Kepek tersebar di hulu K. Rambatan sebelah barat Wonosari yang membentuk sinklin. Batuan penyusunnya adalah napal dan batugamping berlapis. Tebal satuan ini lebih kurang 200 meter. 9. Endapan Permukaan Endapan permukaan ini sebagai hasil dari rombakan batuan yang lebih tua yang terbentuk pada Kala Plistosen hingga masa kini. Terdiri dari bahan lepas sampai padu lemah, berbutir lempung hingga kerakal. Surono dkk. (1992) membagi endapan ini menjadi Formasi Baturetno (Qb), Aluvium Tua (Qt) dan Aluvium (Qa). Sumber bahan rombakan berasal dari batuan Pra-Tersier Perbukitan Jiwo, batuan Tersier Pegunungan Selatan dan batuan G. Merapi. Endapan aluvium ini membentuk Dataran Yogyakarta-Surakarta dan dataran di sekeliling Bayat. Satuan Lempung Hitam, secara tidak selaras menutupi satuan di bawahnya. Tersusun oleh litologi lempung hitam, konglomerat, dan pasir, dengan ketebalan satuan ± 10 m. Penyebarannya dari Ngawen, Semin, sampai Selatan Wonogiri. Di Baturetno, satuan ini menunjukan ciri endapan danau, pada Kala Pleistosen. Ciri lain yaitu: terdapat secara setempat laterit (warna merah kecoklatan) merupakan endapan terarosa, yang umumnya menempati uvala pada morfologi karst.
2.2. Geologi Lokal Daerah Penelitian Desa Parangtritis berada pada empat formasi geologi, yaitu Aluvium, Endapan Merapi Muda, Formasi Wonosari, dan Formasi Nglanggran. Aluvium dan Endapan Merapi Muda terbentuk pada zaman kuarter. Formasi Wonosari terbentuk pada kala Mioesen akhir hingga Pliosen. Formasi Nglanggran terbentuk pada kala Miosen (Rahardjo et al., 1995). Setiap formasi geologi tersusun oleh beberapa endapan permukaan maupun batuan. Formasi aluvium terdiri dari kerakal, pasir, serta lanau dan lempung (Rahardjo et al., 1995). Endapan Merapi Muda di Desa Parangtritis adalah ekstrusi lava di Parangkusumo. Batuan penyusun Formasi Wonosari yang ditemukan adalah satuan batugamping. Satuan batugamping di sekitar Desa Parangtritis antara lain batugamping berlapis, satuan batugamping bertekstur kristalin, satuan batugamping bertekstur fragmental, dan batugamping terumbu. Formasi Nglanggran di sekitar Desa Parangtritis adalah satuan breksi andesit (Triana, 2014). Batuan yang telah lapuk kemudian menjadi bahan induk tanah yang menentukan jenis-jenis tanah di Desa Parangtritis. Struktur geologi yang dijumpai di Desa Parangtritis adalah sesar mendatar yaitu Sesar Parangkusumo dengan arah N 300ᵒ W menunjam 80ᵒ ke arah barat daya. Sesar ini mengontrol pemunculan mata air panas di Desa Parangtritis. Sudut penunjaman sesar menyebabkan pembukaan zona kekaran (fracturing zones) (Idral et al., 2003). Struktur sesar di Desa Parangtritis dicirikan oleh lineasi anomali, kerapatan kontur, pembelokan anomali, dan pengkutuban anomali (negatif dan positif). Dari analisis keempat ciri tersebut dan anomali magnit total, di sekitar mata air panas Parangtritis terdapat 5 struktur sesar, 3 di antaranya berarah barat laut-tenggara dan 2 lainnya berarah timur laut-barat daya. Sesar yang berarah barat laut-tenggara (Sesar Parangkusumo) merupakan sesar yang mengontrol pemunculan mata air panas Parangwedang (Idral et al., 2003).
2.3. Penelitian Terdahulu PEMETAAN SESAR OPAK DENGAN METODE GRAVITY (STUDI KASUS DAERAH PARANG-TRITIS DAN SEKITARNYA) M. Irham Nurwidyanto)1, Tony Yulianto)2, Sugeng Widodo)3. 1, 2Staff Pengajar Geofisika Fisika FMIPA UNDIP. 3Staff Pengajar Ilmu Kelautan FPIK UNDIP. Survey untuk memetakan keberadaan, memperkiraan lokasi dan jenis dari Sesar Opak di daerah pantai Parang Tritis dan sekitarnya daerah kabupaten Bantul dengan pendekatan metode gravity. Penelitian dilakukan dengan mengukur nilai medan gravitasi pada daerah disekitar zona yang diperkirakan merupakan lokasi sesar opak yang telah digambarkan pada peta geologi lembar Yogyakarta yang dikeluarkan oleh P3G Bandung. Pengukuran medan gravitasi menggunakan alat gravitymeter Lacoste & Romberg tipe G-1118 MVR, dan pengukuran ketinggian dengan GPS Trimble Navigations 4600 LS milik laboratorium Geofisika UGM. Pengukuran dilakukan dengan semi grid dengan lintasan pengukuran melewati jalan atau jalan setapak dengan jarak antar lintasan sekitar 1 – 2 km dan jarak antar titik pengukuran 0,5 km – 1 km. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa di daerah penelitian diperkirakan ada dua buah sesar, yakni Sesar Opak di bagian barat dan sesar lain yang berada disebelah timur. Lokasi Sesar Opak hasil dari penelitian ini hampir sama dengan lokasi Sesar Opak yang digambarkan pada peta geologi, arah Sesar Opak N30oE/60o, dan sesar lainnya yang berada di sebelah timur dengan arah N5oE/80o. Sesar Opak merupakan jenis sesar normal atau sesar turun dimana blok barat relative bergerak turun sedangkan blok timur relative tetap.
BAB III DASAR TEORI
3.1. Metode Gravity Metoda gravitasi adalah metoda penyelidikan geofisika yang didasarkan pada variasi percepatan gravitasi di permukaan bumi. Pengukuran gravitasi ini dimana adanya perbedaan kecil dari medan gravitasi yang diakibatkan variasi massa di kerak bumi. Tujuan dari eksplorasi ini adalah untuk mengasosiakan variasi dari perbedaan distribusi rapat massa dan juga jenis batuan. Metoda gravitasi ini secara relatif lebih murah, tidak mencemari dan tidak merusak (uji tidak merusak) dan termasuk dalam metoda jarak jauh yang sudah pula digunakan untuk mengamati permukaan bulan. Juga metoda ini tergolong pasif, dalam arti tidak perlu ada energi yang dimasukkan ke dalam tanah untuk mendapatkan data sebagaimana umumnya pengukuran. Pengukuran percepatan gravitasi memberikan informasi mengenai densitas batuan bawah tanah. Metoda ini sangat baik untuk mengetahui konfigurasi geologi bawah permukaan dengan skala yang luas berdasarkan pada perbedaan densitas tiap batuan. Metode gravitasi didasarkan pada hukum Newton mengenai gravitasi. Sebagaimana diketahui, hukum gravitasi universal Newton menyatakan bahwa gaya tarik-menarik antara 2 benda berbanding lurus dengan kedua massa tersebut. dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antar keduanya.
3.2. Anomali Bouguer Lengkap Anomali Bouguer lengkap merupakan perpaduan antara anomali regional dan anomali residual / lokal. Anomali regional menggambarkan kondisi geologi secara umum dari daerah penelitian yang dicirikan oleh anomali berfrekuensi rendah, sedangkan anomali residual / lokal lebih cenderung menggambarkan kondisi geologi setempat yang dicirikan dengan frekuensi tinggi.
Nilai anomali Bouguer lengkap dapat diperoleh dari nilai anomali Bouguer sederhana yang telah terkoreksi medan, secara metematis dapat ditulis sebagai berikut : (3.1)
∆𝒈𝑩𝑳 = ∆𝒈𝑩𝑺 + 𝒈𝑻
Dengan : ∆gBL
:Anomali Bouguer lengkap di topografi
∆gBS
: Anomali Bouguer sederhana di topografi
gT
: Koreksi medan (mGal).
3.3. Upward Continuation Upward Continuation atau kontinuasi ke atas pada dasarnya adalah untuk menghilangkan pengaruh lokal dan menajamkan anomali regionalnya. Proses penghitungannya menggunakan program komputer dalam bahasa fortran yang dibuat dalam beberapa subroutine oleh Blakely (1995) atau menggunakan bantuan dari software yang sudah ada misalkan Magpick ataupun Oasis Montaj. Sebagai data masukan diambil dari anomali Bouguer lengkap di bidang datar hasil proyeksi dengan menggunakan metode pendekatan deret Taylor. Persamaan yang digunakan untuk kontinuasi ke atas adalah (Blakely, 1995). ∆𝑧
∞
∞
𝑈(𝑥, 𝑦, 𝑧0 − ∆𝑧) = 2𝜋 ∫−∞ ∫−∞
𝑈(𝑥 ′ ,𝑦 ′ , 𝑧0 ) 3 ′ 2 [(𝑥−𝑥 ) +(𝑦−𝑦 ′ )2 +(∆𝑧)2 ] ⁄2
𝑑𝑥 ′ 𝑑𝑦 ′
(3.2)
𝑈(𝑥, 𝑦, 𝑧0 ) adalah anomali Bouguer di bidang datar. Proses pengangkatan anomali Bouguer lengkap dilakukan setahap demi setahap sampai diperoleh kontur anomali regional yang cenderung tetap. Pola kontur yang dihasilkan memiliki pola yang halus dan tidak lagi terdapat pola-pola lokal. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi dari efek-efek lokal sudah tereduksi dan hanya menunjukkan kondisi regional dari daerah penelitian yang disebabkan oleh anomali yang dalam saja.
3.4. Pemodelan Gravity Menurut Lillie (1999) Pemodelan ke depan atau forward modelling dari suatu distribusi massa merupakan alat yang sangat berguna untuk menggambarkan anomali Bouguer dan udara bebas yang dihasilkan dari perbedaan struktur geologi bawah permukaan bumi. Untuk aktivitas tektonik yang besar, pemodelan gravitasi dapat lebih memberikan pengertian atau pertimbangan-pertimbangan dari fungsi isostasi suatu wilayah. Metode ini umumnya digunakan untuk pemodelan data gravitasi secara dua dimensi (2D) yang dikembangkan oleh Talwani et al (1959). Anomali gravitasi dihasilkan dari model komputasi sebagai jumlah dari distribusi suatu benda dengan densitas (ρ) dan volume (V) dimana massa benda setara dengan ρ x V.