Bab 2

  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab 2 as PDF for free.

More details

  • Words: 3,662
  • Pages: 16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori 1. Pengertian Kecerdasan Emosi

Daniel Goleman (1996) bahwa kecerdasan emosi meruju pada kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosi mencakup kemampuankemampuan yang berbeda, tetapi saling melengkapi dengan kecerdasan akademik yaitu kemampuan-kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ. Terdapat definisi lain dari Reuven Bar On (2001) mengatakan bahwa : “Emotional intelligence is a multi-factorial array interrelated emotional, personal, and social abilities that help us cope with daily demands” (Kecerdasan emosional adalah sebuah susunan pengaturan multi-factorial terhadap keterkaitan/keterhubungan antara emosi, kepribadian, dan kemampuan social yang membantu mengatasi stimulus hidup sehari-hari). Pengertian yang lebih dalam mengenai kecerdasan emosi dating dari John D. Mayer (2001), yang mengatakan bahwa : Kecerdasan emosi mengacu pada sebuah kemampuan untuk mengenali makna emosi dan semua keterkaitannya dengan berbagai macam hal, sebab-sebab keterkaitan itu serta cara mengatur semua hal yang mendasar itu. Kecerdasan emosi itu meliputi kapasitas mengalami emosi, menerima emosi, mencari muara emosi dalam aneka perasaan, mengetahui dan memahami semua aneka gerak emosi, sehingga mampu menata kesemua hal tersebut. Ciarrochi,

J. , Chan, A. , Caputi, P. , Roberts, R. (2001 : 26), yang

menyatakan bahwa : “Emotional intelligence has been defined as the ability to perceive, express, understand, and manage emotions” (Kecerdasan emosi sudah

9

didefinisikan sebagi kemampuan merasakan, mengekspresikan, memahami, dan menata emosi). Namun Salovey & Mayer mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan. Dari berbagai pandangan tersebut dapat disimpulkan, bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan yang dinuansai oleh kemampuan kognitif untuk merasakan, mengenali, mengetahui, memahami emosi diri sendiri kemudian merancang, menata, kemudian mengekspresikan emosi diri dalam aneka muara perasaan terhadap segala hal ketika berhadapan dengan aneka macam realita dan dalam konteks berhubungan dengan orang lain.

2. Keterkaitan Kecerdasan Emosi dengan Kognitif dalam Perspektif

Psikoneuorologi Kecerdasan emosi seperti halnya kecerdasan kognitif, merupakan hasil absraksi dari fungsi organ otak, khusunya dibagian fungsi system limbik. Kecerdasan emosi melibatkan sirkuit yang berjalan diantara pusat-pusat pelaksanaan otak di lobus prefontral dan system limbic yang mengatur perasaan, impuls, dan dorongan (Goleman, 2005 : 120). System limbik bukanlah suatu struktur tersendiri tetapi mengarah pada sebuah cincin struktur-struktur otak depan yang mengelilingi batang otak dan dihubungkan satu sama lain oleh jalur-jalur saraf yang rumit. System ini mencakup bagian dari masing-masing berikut ini : Lobus-lobus korteks serebrum, nucleus basal, thalamus, dan hipotalamus. Jaringan ineraktif yang kompleks ini berkaitan dengan emosi, polapola perilaku sosioseksual dan kelangsungan hidup dasar, motivasi, dan belajar (Sherwood,1996 : 126) System limbik dan neokorteks mengabstraksi emosi sebagai cakupan perasaan emosional subyektif dan suasana hati (misalnya rasa marah, rasa takut, dan 10

kebahagiaan) ditambah respon fisik yang nyata berkaitan dengan perasaan tesebut. Respon-respon tersebut mencakup pola-pola perilaku spesifik (misalnya persiapan menyerang atau bertahan jika dibuat marah oleh musuh) dan ekspresi emosional yang dapat diamati (misalnya tertawa, menangis, atau tersipu). Bukti menunjukkan bahwa system limbik berperan sentral dalam semua aspek emosi. Stimulasi beberapa daerah tertentu didalam system limbik manusia selama pembedahan otak menimbulkan berbagai sensasi subyektif yang tidak jelas, yang diutarakan oleh pasien sebagai rasa tenang, kepuasan, atau kenikmatan di satu daerah serta keputusasaan, ketakutan, atau kecemasan dibagian lain. Pola-pola perilaku sebagian besar dikonrol oleh system limbik yang mencakup pola-pola yang ditujukan bagi kelangsungan hidup inividu dan yang diarahkan untuk kesinambungan spesies. Dalam aneka percobaan terhadap hewan, ditemukan timbulnya perilaku-perilaku yang kompleks. Sebagai contoh, stimulasi pada satu daerah dapat menimbulkan rspons kemarahan dan kegusaran pada hewan yang dalam keadaan normal atau jinak. Sementara stimulasi di daerah lain menyebabkan ketenangan dan kejinakan, bahkan pada hewan yang biasanya buas. Stimulasi daerah limbik lainnya dapat menginduksi perilaku-perilaku seksual misalnya gerakangerakan bersetubuh. Ada hubungan antara hipotalamus, system libik, dan daerah-daerah kortikal yang lebih tinggi berkenaan dengan emosi dan perilaku. Hubungan akan berlangsung demikian ; keterlibatan hipotalamus yang luas pada system limbic bertanggung jawab terhadap respon internal involunter berbagai system tubuh dalam mempersiapkan tindakan yang sesuai untuk menyertai keadaan emosional tertentu. Dalam melaksanakan aktivitas perilaku yang kompleks, seperti menyerang, berkelahi, atau bersetubuh, individu harus berinteraksi dengan lingkungan eksternal. Mekanisme-mekanisme korteks yang lebih tinggi dipanggil untuk ikut berperan dalam menghubungkan system libik dan hipotalamus ke dunia luar, sehingga perilaku yang sesuai dimanifestasikan. Pada tingkat yang paling sederhana, korteks menyediakan mekanisme-mekanisme saraf yang perlu untuk implementasi aktivitas seksual, atau memperlihatkan ekspresi emosi. Sebagai contoh, urutan gerakan 11

stereotipik untuk ekspresi manusia yang universal, yaitu tersenyum tampaknya telah di programkan sebelum masuk ke areal korteks dan dapat dipanggil seterusnya oleh system limbik. Seseorang juga dapat secara volunteer memanggil program tersenyum, misalnya sewaktu berpose untuk difoto. Bahkan individu yang buta sejak lahir memiliki ekspresi wajah yang normal ; yaitu mereka tidak belajar tersenyum dengan melakukan pengamatan. Tersenyum memiliki arti yang sama di semua kebudayaan, walaupun pengalaman lingkungan sangat beragam. Pola perilaku semacam itu yang dimiliki oleh semua anggota dari suatu spesias diyakini lebih banyak terdapat di hewan tingkat bawah. Pada manusia dan tingkat yang belum dapat ditentukan pada spesies lain, korteks sangat penting untuk kesadaran akan perasaan-persaan emosional. Korteks juga dapat memperkuat, memodifikasi, atau menekan respon-respon perilaku dasar, sehingga tindakan dapat dipandu dengan perencanaan, strategi, dan penilaian yang didasarkan atas pemahaman mengenai keadaan. Sebagai contoh, ketika ada orang marah kepada orang lain, secara internal tubuh orang yang marah itu siap untuk menyerang. Orang yang sedang marah tersebut akan menilai bahwa serangan akan kurang sesuai, dan secara sadar dapat menekan manifestasi eksternal perilaku emosional dasar ini. Dengan demikian, korteks terutama daerah asosiasi prafrontalis dan limbic menjadi penting dalam mengontrol pola-pola perilaku halus yang dipelajari secara sadar (Sherwood,1996 : 127). Neokorteks dan system limbic memiliki proses perkembangan masing-masing. Perkembangan masing-masing jenis otak ini melalui proses yang disebut pembelajaran. Kecerdasan emosi merupakan hasil pembelajaran juga dikarenakan oleh proses alamiah didalam fungsi system otak manusia, dimana kemampuan emosi melibatkan sirkuit yang berjalan di antara pusat-pusat pelaksana otak di lobus prefontral dan system limbic yang mengatur perasaan, impuls, dan dorongan. Di bawah mikroskop, area limbic atau otak emosi memiliki organisasi sel-sel otak yang lebih primitive daripada neokorteks atau otak pemikir. Maka sistem limbic adalah pembelajar yang lebih lambat terutama jika tantangannya adalah mempelajari ulang kebiasaan-kebiasaan yang sudah tertanam dalam-dalam. Oleh karena itu, mendidik

12

kembali otak emosi untuk pembelajaran kepemimpinan misalnya, membutuhkan model yang berbeda dari pembelajaran untuk otak pemikir : Otak emosi membutuhkan banyak latihan dan pengulangan. Sedangkan IQ merupakan hasil pembelajaran di neokorteks. Neokorteks menangkap konsep dengan cepat, menempatkannya didalam suatu jaringan asosiasi dan pemahaman yang luas. Misalnya dari membaca sebuah buku, bagian komputer atau dasar-dasar melakukan suatu relasi penjualan. Neokorteks beroperasi dengan sangat efisien ketika mempelajari ketrampilan teknis atau analisis. Desain neokorteks menjadikan neokorteks sebagai mesin pembelajaran yang sangat efisien, meluaskan pengertian manusia dengan mengaitkan ide-ide atau faktafakta baru dengan sebuah jaringan kognitif yang luas. Cara pembelajaran yang asosiatif ini terjadi dalam kecepatan yang luar biasa : Otak pemikir dapat memahami sesuatu setelah satu kali mendengar atau membaca. Perbedaan ini menjadi sangat penting ketika kita berusaha memperbaiki keterampilan emosi. Ditingkat yang paling mendasar, keterampilan emosi ini berasal dari kebiasaan-kebiasaan yang dipelajari sejak dimulainya kehidupan seorang inividu manusia. Jika kebiasaan itu sudah tidak memadai lagi, atau menghambat kemajuan, pembelajaran menjadi lebih lama lagi. Oleh karena itu, mengajar kembali otak emosi untuk pembelajaran keterampilan dan kemampuan emosi membutuhkan model yang berbeda dari pembelajaran untuk otak pemikir. Dari semua informasi ini dapat dirangkum bahwa dalam segi ranah otak manusia ada keterkaitan kerjasama antara neokorteks dengan system limbic, yang berfungsi mengabstraksi dua macam kecerdasan yang berbeda ini (kognisi dan emosi) atau mengungkapkan aktifitas bagian-bagian yang berbeda dalam otak. Kecerdasan kognisi terutama didasarkan pada kerja neokorteks. Lapisan dalam proses evolusi yang berkembang paling akhir dibagian atas otak, sehingga memiliki kemampuan pembelajaran yang lebih cepat, efektif, dan efisien. Sedangkan pusat-pusat emosi berada dibagian otak yang lebih dalam pada subkorteks yang secara evolusi lebih kuno ; kecerdasan emosi dipengaruhi oleh kerja pusat-pusat emosi ini, sehingga

13

mengalami proses pembelajaran yang relative lebih lama, perlu banyak latihan dan pengulangan. Namun pusat emosi itu bekerjasama dalam keselarasan dengan kerja pusat-pusat intelektual. Dengan kata lain, emosi sangat penting bagi rasionalitas. Kemampuan emosional membimbing keputusan individu dari waktu ke waktu, bekerjasama dengan pikiran rasional, memfungsikan atau tidak memfungsikan pikiran itu sendiri. Dalam artian tertentu, manusia mempunyai dua otak, dua pikiran, dan dua jenis kecerdasan yang berlainan, yaitu kecerdasan rasional/kognitif (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ). IQ dan EQ merupakan dua kerangka atau dua system yang berbeda di dalam satu organ otak yang saling berfungsi. Jadi dapat disimpulkan bahwa ada kaitan yang erat antara IQ dan EQ. Goleman menyatakan kembali dengan tegas bahwa setiap individu memiliki perpaduan antara kecerdasan kognitif (IQ) dan kecerdasan mosional (EQ) dengan kadar yang berbedabeda. Namun diantara keduanya hanya kecerdasan emosional yang membuat individu manusia menjadi lebih manusiawi (Goleman,1996 : 61)

3. Faktor Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosi memiliki factor dan item indicator. Factor dan item indicator kecerdasan emosi yang dipaparkan oleh para ahli banyak memiliki kesamaan an perbedaan. Dalam penelitian ini akan digunakan factor, dan item dari Salovey, dkk. Hal ini disebabkan rumusan factor kecerdasan emosi yang disusun oleh Salovey dkk jauh lebih ringkas dan mudah dipahami, serta mudah juga untuk diaplikasikan dalam penelitian. Salovey dkk menyatakan bahwa ada 5 faktor pembangun kecerdasan emosional, yaitu : 1. Clarity

of Emotional Perception (Kejelasan persepsi emosi) adalah

kemampuan seseorang untuk memahami mood-nya. 2. Strategies of Emotional Regulation (Strategi-strategi pengaturan emosi)

adalah seberapa jauh individu mampu mengatur mood-nya.

14

3. Integration of Feelings (Integrasi perasaan) adalah hubungan antara emosi

dan pikiran individu. 4. Attention to Emotions (Perhatian terhadap emosi) adalah seberapa jauh

individu memperhatikan dan bepikir tentang perasaannya. 5. Attitides About Emotions (Sikap terhadap emosi) adalah persepsi individu

tentang pentingnya pengalaman emosional.

4. Alat Ukur Kecerdasan Emosi Ciarocchi dkk (2001) menyatakan bahwa indicator dan alat ukur kecerdasan emosi harus memenuhi criteria tertentu. Criteria itu adalah : 1. Adequate coverage of content domain, yaitu sebuah alat ukur kecerdasan

emosi yang valid secara ilmiah dituntun untuk menjadi lapisan pertama dari sebuah domain yang representative, yang memang didesain untuk mengakses detail pembangun kecerdasan emosi. Misalnya, sebuah test sungguh menyediakan pengukuran terhadap emotion management, maka alat ukur itu harus dapat mengukur setiap unsur pembangunnya, item indicator pembangun emosion management secara teliti dan tepat. 2. Reliability, yaitu sebuah alat ukur kecerdasan emosi yang ilmiah harus dapat

mengukur perbedaan konstruk setiap individu. Dimana alat ukur tersebut mampu menjaga keajegan perbedaan konstruk individu yang sama walaupun di lain waktu, serta terhadap individu yang berbda di belahan dunia manapun. 3. Usefulness, yaitu alat ukur kecerdasan emosi harus mampu memprediksikan

kebutuhan dan kepentingan praktis, seperti seberapa tolerannya individu 15

terhadap stressnya ; seberapa efeknya individu memelihara hubungan social ; atau bagaimana penerimaan teman-teman di lngkungan. 4. Similarity and distinctiveness, yaitu alat ukur kecerdasan emosi juga harus

mampu menghubungkan antara ketiga kriteria diatas sekaligus membuat perbedaan diantaranya secara tajam dan proporsional. Berdasarkan kriteria syarat diatas, Salovey dkk menyusun sebuah alat ukur kecerdasan emosi yakni TMMS (Traits Meta-Mood Scale), yang terfokus pada 3 faktor utama dari 5 faktor kecerdasan emosi Salovey. Struktur factor dari pengukuran atas 5 faktor tersebut, kemudian dipetakan kedalam 3 ranah utama pengenakan mood afektif reflektif (reflektif mood experience) yang digambarkan Mayer dan Gaschke : a. Monitoring moods (memonitor mood) b. Discriminating moods (membedakan mood) c. Regulating moods (mengatur mood)

Ketiga ranah ini kemudian menjadi 3 faktor utama TMMS. Factor pertama diberi nama Attention to Feelings, factor kedua diberi nama Clarity of Feelings, dan factor ketiga diberi nama Mood Repair. Selanjutnya dibuatlah 3 buah skala berdasarkan analisa factor terhadap ketiga factor diatas. Dari 48 item dalam TMMS, 21 item dimasukan dalam skala pertama, 15 item dalam skala kedua, dan 12 item ke dalam skala ketiga. Trait Meta-Mood Scale (TMMS), yang dikembangkan oleh Salovey, Mayer, Goldman, Turvey, dan Palfai, dan sudah diadaptasi untuk kepentingan penelitian skripsi. Trait Meta-Mood Scale (TMMS) adalah suatu skala yang terancang untuk memperhatikan, emosi, kesadaran emosi, dan pengelolaan emosi. Alat ukur ini juga dirancang untuk mengetahui perbedaan individual yang relative stabil dalam kecenderungan untuk memperhatikan mood dan emosi mereka, diskriminasi mood dan emosi tersebut dengan jelas, dan mengatur mood beserta emosi tersebut. Skala TMMS ini menunjukkan tingkat reliabilitas yang adekuat dan sangat mampu memprediksikan banyak individu yang tidak produktif dikarenakan memiliki pikiran yang kalut. Skala ini 16

sangat mampu memaparkan perbedaan yang signifikan antara perasaan negative dengan perasaan positif. TMMS juga menunjukkan dengan sangat jelas dan lebar bahwa skala ini berbeda dengan alat ukur kepribadian dan alat ukur kecerdasan kognitif. TMMS sebagai self-report juga sangat mudah digunakan. TMMS cukup representative dalam mengukur kemampuan kecerdasan emosi. Factor TMMS lebih sedikit, karena beberapa ada factorfaktor kecerdasan emosi yang dapat dijadikan satu factor, berdasarkan pertimbangan masih adanya kesamaan ruang lingkup tahapan dalam pross pembelajarannya.

B. Pelatihan ESQ 1. Sejarah ESQ Diawali dari keinginan para pendiri diantaranya para tokoh seperti ; Ary Ginanjar Agustian, Gunawan Sumodiningrat, Aries Mufti, Anggito Abimanyu, dan Bambang W. Suharto serta 48 anggota pendiri lainnya untuk mempunyai wadah dalam melakukan total action dibidang pemberdayaan ekonomi umat maka pada tanggal 6 Januari 2006 bersepakat mendirikan suatu orgaisasi yang berisikan untuk pelatihan ESQ di Jakarta dengan cakupan operasionalnya meliputi seluruh Indonesia. 2. Faktor Pelatihan ESQ

Pelatihan ESQ memiliki karakteristik dalam pelaksanaannya. Tanpa karakteristik ini sebuah pelatihan tidak bisa disebut sebagai pelatihan ESQ. Dan karakteristik ini menjadi factor pembangun pelatihan ESQ . Karakteristik pelaksanaan metode pelatihan ESQ adalah : 17

a. Faktor Filosofis Pelatihan Pada dasarnya segala bentuk aktivitas di dalam pelatihan ini adalah bentuk dari kehidupan yang sangat kompleks. Maka pelatihan ini juga menjadi metafora kehidupan yang kompleks dengan dibuat secara sederhana para peserta pelatihan akan mudah sekali memahami kompleksitas kehidupan. b. Faktor Pedagogi Pelatihan : Pendekatan Belajar Melalui Pengalaman

Experiental learning menjadi pedagogi metode pelatihan ESQ ini. Dengan ini, peserta pelatihan secara aktif dilibatkan dalam seluruh kegiatan yang mengundang emosi, yang merupakan bentuk simulative dari kompleksitas peristiwa-peristiwa dalam hidup. Dengan langsung terlibat pada aktifitas dan mempelajari segala sesuatunya, peserta akan segera mendapat umpan balik tentang dampak dari kegiatan yang dilakukan sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembelajaran. Kohlberg merefleksikan pengalaman terhadap proses belajar bertambah dengan memiliki 4 tahapan, yaitu : -Concrete Experience -Reflective Observation -Abstract Conceptualisation -Active Experimentation c. Faktor Pengkondisian Dasar Pelatihan : Terapi Kelompok Kegiatan pelatihan ESQ melingkupi kegiatan di dalam ruangan supaya banyak berkaitan dengan penambahan insight. Dan kegiatan pelatihan ini juga mengacu pada terapi kelompoki yang mempunyai definisi sebagai suatu psikoterapi yang dilakukan bersamasama dengan jalan dimana reaksi emosional dari anggota kelompok dalam hubungannya dengan anggota lain dipahami sebagai suatu pencerminan konflik interpersonal individu yang mempengaruhi kelompok.

18

Maka dapat disimpulkan bahwa terapi kelompok adalah bentuk usaha terapi yang dilaksanakan lewat cara interaksi emosional berkelompok, dengan tujuan mencapai level adaptif terhadap kehidupan yang berkualitas lebih tinggi dan lebih sehat. Ada beberapa terapis yang mengatakan terapi kelompok dianggap lebih bermanfaat daripada terapi individual karena criteria keberhasilan terapi kelompok sama dengan psikoterapi individual yakni mengurangi stress, menaikkan harga diri, insight, dan memperbaiki tingkah laku serta hubungan social. Secara ekonomik terapi kelompok lebih murah daripada terapi individual. d. Faktor Metodologi Pelatihan : Proses dan Tahapan Belajar Efektif Pengkategorian level belajar ini didasarkan pada kompleksitas proses berfikir. Tahapantahapan belajarnya adalah : a. Knowledge, Di level ini undividu hanya mengingat peristiwa yang terjadi dan menceritakan apa yang terjadi hanya sebagai fakta. b. Comparison, Individu mengintepretasikan apa yang terjadi. Dalam tahapan ini individu sudah melakukan oleh pikir untuk memaknai permainan yang dilakukan. c. Application, Pada level ini indivdu melakukan penerapan secara sederhana dari apa yang sudah dipelajari. Kegiatan olah pikir semakin tinggi. d. Analysis, Dimana inividu mampu menganalisa masalahnya sendiri setelah mendapatkan insight dan mengetahui bagaimana cara penyelesaiannya dalam diri individu tersebut. e. Sythesis

19

Di level ini individu menggabungkan potongan pengetahuan untuk memecahkan suatu masalah. f. Evaluation, Individu mengevaluasi manfaat sebuah gagasan, solusi masalah, dan peristiwa yang dialaminya. e. Faktor Metoda Pelatihan : Kombinasi Metoda Ary Ginanjar mengatakan bahwa metode yang digunakan dalam program pelatihan ESQ adalah : 1. permainan kelompok 2. kerja kelompok 3. ceramah 4. dialog batin (refleksi kegiatan)

f.

Faktor Jadwal Pelatihan

Pada hari pertama, para peserta masuk, di dalam sudah banyak peserta. Di depan audience, para native speaker (Ary Ginanjar) sudah siap menyambut peserta dan memperkenalkan diri beserta pelatih-pelatih yang lain. Dia juga menyambut perwakilan dari

NU

untuk

berdiri

memperkenalkan

terhadap

peserta

yang

lain.

Dalam pengantarnya, Ary Ginanjar menjelaskan tentang training ESQ, “bahwa pelatihan ini tidak perlu ditulis, semuanya sudah lulus sambil dia ketawa. Saya bukan ustad, bukan dai saya minta maaf terhadap ustad-ustad dari NU dan Muhammadiyah,” kata Ary Ginanjar. Setelah perkenalan selesai, lalu ia memutar dan membacakan ayat-yat suci AlQuran yang berkaitan dengan kehidupan dan ke-Esaan Tuhan. Ia sendiri membaca dan memberikan penafsiran. Karena di depan sudah disiapkan papan yang sangat lebar sekali. Ketika ia membacakan ayat-ayat Al-Quran tadi baik yang berkaitan dengan kematian, tentang reziki, tentang ke-Esaan Tuhan, semuanya itu dibarengi dengan iringan musik 20

yang menggetarkan badan disamping juga suaranya yang lantang membuat peserta terhipnotis termasuk penulis. Selanjutnya ia memberikan beberapa metodelogi terhadap peserta, setelah membacakan ayat-ayat tadi, sebelum acara ditutup diisi dengan permainan, olah raga fisik dan nyanyian kebanggaan ESQ. Lalu Ary Ginanjar juga memperkenalkan ciri khas pelatihan ESQ, misalnya setiap selesai pelatihan dan mau isrirahat dan salat, peserta sesama jenis harus saling salaman dan cium pipi dan juga mengucapkan “pagi” kepada seluruh peserta training. “Jadi setiap peserta kalau ketemu pada peserta yang lain harus mengucapkan pagi, ini mengambil dari ayat Al-Quran yang berbunyi Wa Al-Dhuha, yang diartikan “pagi”.” Dan dia memperkenalkan juga ciri khas dan karakter pribadi ESQ tentang 7 (tujuh) budi utama: jujur, tanggung jawab, visioner, disiplin, kerjasama, adil, dan peduli, sambil memainkan tangan sesuai dengan petunjuknya. Setiap mau istirahat tujuh budi utama ini selalu dinyanyikan oleh Ary Ginajar dan alumni-alumninya. Memasuki hari yang kedua, model penyampaian juga tidak jauh berbeda dengan hari pertama, tapi hari kedua penulis melihat seorang Ary Ginanjar benar-benar membuat hipnotis peserta dengan ayat-yat Al-Quran yang dia tafsirkan serta sebab turunnya ayat (asbabul nuzul). Peserta di sini benar-benar dibuat histeris, menangis melihat apa yang disampaikan Ary Ginajar yang diiringi suara musik. Lampu dimatikan, peserta duduk lesehan, dan di depan sudah siap memutar ayat-ayat Al-Quran. Peserta mendengarkan dengan khusyuk, ingat pada dosa, harus istigfar bahkan sebagian ada yang menangis sambil menyebut ”Allahu Akbar”, ”Astagfirullahal Adzhim, ampunilah dosa kami.” Ary ginanjar menambah velome suaranya yang lantang, peserta benar-benar terhiptonis oleh metodelogi yang dimainkan. Seakan-akan benar-benar terjadi gambaran tersebut. Menurut penulis, katakutan peserta karena raungan suara yang diciptakan melalui musik tadi yang ditengahi suara Ary yang lantang. Waktu menangis hanya satu jam. Setelah itu peserta bisa happy lagi, ketawa lagi. Bahkan Ary memainkan tebak-tebakan berhadiah. Di tengah-tengah istirahat ini, penulis sambil menyantap snack yang

21

disediakan oleh panitia berkenalan dengan peserta yang lain yang ternyata dari Yogya. Dia datang dari jauh dengan membayar mahal untuk mengikuti acara ini. Masuk pada hari ketiga, hari terakhir ternyata suguhannya beda. Penulis disuguhi formulir untuk menanam saham terhadap kantor ESQ. penulis bertanya-tanya lagi dalam hati, pelatihan kok ada sahamnya ini, pelatihan apa ini? Sementara panitia yang lain sibuk mengantarkan formulir kepada peserta yang lain dan yang punyak duit. Penulis yang tidak punya uang langsung memasukkan formulir ke dalam tas diam-diam. “Kantor ESQ ini berlantai 25 sesuai dengan jumlah nabi,” kata Ary Ginanjar memulai meminta sumbangan dan menggugah kantong peserta. “Kalau kantor ini selesai nanti kita training tidak perlu menyewa hotel lagi, karena sudah ada tempatnya. Dan lantai 25 adalah mushalla, tempatnya orang salat, bertasbih dan istigfar,” kata Ary Ginajar. Sebagian peserta sudah ada yang mengisi formulir itu dan menulis nominalnya. Minimal uang yang disodorkan sebesar Rp 1 juta. “Untuk mahasiswa bisa utang,” kata Ary, mencoba menjelaskan terhadap paserta yang mahasiswa. Formulir yang sudah diisi, langsung disetorkan kepada panitia. Tapi penulis tidak tahu berapa jumlah semuanya uang yang dikumpulkan dari 900-an orang peserta. “Kalau ikut pelatihan ini berarti dapat petunjuk,” ujar Ary Ginanjar. Menurut hemat penulis mana ada dengan waktu yang sangat singkat sekali orang bisa dapat petunjuk dari Allah, orang bisa menangis, orang bisa sadar apalagi hanya beberapa jam saja. Apalagi yang melatih (maaf) menurut aumengartikan Asmaul Husna ambil apa adanya, seperti membaca buku diterjemahan-terjemahan itu. Dalam teori tradisional, teori pesantren, orang yang mengartikan Al-Quran harus memahami ilmu balaghah, ilmu mantiq, juga nahwu-sharaf sebagai kerangka metodelogi pemaknaan-pemaknaan Al-Quran. Termasuk juga harus memahami azbabul nuzul dan ilmu tafsir. g. Faktor Trainer Pelatihan : Peran Seorang Fasilitator Tahapan diatas tidak tergantung pada jumlah session tetapi pada cepat-lambatnya proes yang terjadi. Sebab goal yang dicapai dalam pelatihan ini adalah bahwa seorang

22

individu mengembangkan pola perilaku defensive untuk melindungi diri terhadap kecemasan yang ada pada setiap kelompok. Selama pelatihan, para fasilitator yang berfungsi juga sebagai terapis, adalah memanfaatkan kecerdasan ini secara terapeutik. Dinamika kelompok dipusatkan diantara kelompok sebagai suatu keseluruhan unit yang terstruktur dan berfungsi didalam dirinya sendiri. Dalam rentang waktu pelaksanaan pelatihan, dibutuhkan kualifikasi tertentu, seperti yang diidealkan oleh Zainudin SK (2006) yakni : 1. Berkualitas dalam membentuk dan mempertahnkan kelompok. 2. Berkualitas dalam membentuk budaya dalam kelompok 3. Berkualitas dalam membentuk norma kelompok antara lain pemantauan diri, pembukaan diri, normal procedural. h. Faktor Peserta Pelatihan : Mahasiswa YAI Fakultas Psikologi (Individu Dewasa Muda) Secara umum, individu dewasa muda ialah individu yang berusia 20 sampai 40 tahun. Menurut ahli psikologi perkembangan, Santrock (1999) bahwa orang dewasa muda termasuk masa transisi secara fisik, intelektual, serta peran social. 3. Kerangka Berfikir

(keterkaitan antara Kecerdasan Emosi dan Pelatihan ESQ) Otak pemikir maupun otak emosi memiliki proses pembelajarannya masingmasing Lewat pembelajaran terjadi peningkatan fungsi di masing-masing otak seperti peningkatan kompetensi berupa kecerdasan yang dimilki oleh masing-masing ranah otak. Dalam hal ini ESQ sebagai pelatihan yang digunakan sebagai media pembelajaran dan didalam pelatihan ESQ yang menggunakan emosi baik spiritual maupun emosional menjadikan setiap peserta yang mengikuti pelatihan ESQ tersebut dapat mempengaruhi kecerdasan emosional setiap peserta yang mengikutinya.

23

Pelatihan sebagai sarana bantuan dalam proses pembelajaran untuk meningkatan Kemampuan ES (Emotional Spriritual) akan menjadi lebih efektif, jika menggunakan alat pembelajaran atau metode pelatihan yang tepat, dimana didalamnya mengandung alur proses yang tidak berupa garis lurus dan lancar, tetapi lebih merupakan perjalanan yang penuh kejutan. 4. Rumusan Hipotesis Hipotesis adalah kesimpulan yang bersifat sementara, diterima atau tidaknya suatu hipotesis tergantung dari hasil penelitian yang dilakukan. Berdasarakan landasan teori yang maka diuraikan “ada pengaruh pelatihan ESQ terhadap kecerdasan emosi di lingkungan UPI YAI.

24

Related Documents

Bab 2
June 2020 19
Bab 2
May 2020 26
Bab 2
May 2020 40
Bab 2
June 2020 23
Bab 2
April 2020 32
Bab 2
April 2020 37