Ayo Boikot Pemilu

  • Uploaded by: Khaerul Umam Noer
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ayo Boikot Pemilu as PDF for free.

More details

  • Words: 8,323
  • Pages: 31
“Ayo boikot Pemilu”1: Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat Khaerul Umam Noer (090710049M)

Abstrak Golongan putih atau golput pada saat pemilihan umum dilaksanakan merupakan fenomena yang umum terjadi di masyarakat. Apakah itu pemilihan kepala daerah, legislatif, bahkan Presiden dan Wakil Presiden RI, golput merupakan non-partai yang memenangkan hampir semua pemilihan tersebut. Tingginya angka golput ditenggarai sebagai bentuk protes kolektif yang dilakukan oleh rakyat, hal ini tentu saja tidak lah mengherankan, terlebih jika mengingat bahwa pilihan untuk golput sepenuhnya merupakan pilihan setiap individu yang memiliki hak pilih. Golput dalam hal ini dapat dilihat sebagai bentuk gerakan sosial politik rakyat, terlepas dari berbagai motif yang melatarbelakangi pilihan untuk golput. Sebagai gerakan, golput mudah di mengerti dan dilaksanakan oleh semua kalangan tanpa memandang status sosial dan ekonomi. Di satu sisi, golput tidak lah sama dengan gerakan sosial lain yang pernah ada, meskipun di sisi yang lain, golput sebagai gerakan sosial politik memiliki ciri khas tersendiri. Sebagai sebuah gerakan sosial khas rakyat, golput, di sadari atau tidak selalu membayangi pemerintahan dengan wujud tak terlihat dari ketidakpercayaan rakyat. Dalam konteks ini lah golput harus dilihat, yakni sebagai gerakan rakyat untuk mengontrol eksekutif dan legislatif. Melalui mosi tidak percaya ini lah rakyat dapat menemukan momentumnya untuk menyampaikan kritik sekaligus menekan kontrol atas para elite politik dan pemerintah tanpa merasa takut dan khawatir dikatakan melakukan makar. Kata kunci: golput, gerakan sosial politik, pemilihan umum

1

Judul saya ambil dari sebuah email yang dikirim ke saya berupa ‘black email’ yang menyerukan setiap orang yang menerima email tersebut untuk golput dalam pemilu mendatang. Saya sangat berterimakasih atas email dari pengirim anonim tersebut.

“Ayo Boikot Pemilu”: Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

1

Sebuah cerita tentang Pemilu, pendahuluan Seruan untuk tidak memilih dalam pemilihan umum (selanjutkan akan ditulis dengan istilah pemilu), setidaknya sampai saat ini, masih terus gencar dilakukan. Tidak kurang dari Abdurrahman Wahid, dalam banyak kesempatan, menyerukan pada para pengikutnya untuk tidak menggunakan hak politik mereka dengan tidak memilih atau bergabung dalam golongan putih (selanjutnya akan ditulis golput) dalam pemilihan umum mendatang. Apa yang diserukan oleh Gus Dur, terlepas dari motif di balik seruan tersebut, merupakan salah satu seruan yang cukup mengundang kontroversi, meskipun kebenaran dan bukti ucapan (bahkan posisi Gus Dur sendiri nantinya) tersebut masih harus menunggu waktu. Nampaknya dalam beberapa waktu ke depan, perbincangan mengenai seruan untuk tidak memilih atau golput dalam pemilihan umum, masih akan menarik perhatian orang. Sebenarnya, apa yang di maksud dengan golongan putih atau golput? Benarkah golput merupakan tindakan apolitik, atau justru golput sendiri merupakan pilihan politik? Lalu mengapa setiap orang tiba-tiba berkepentingan untuk ambil suara dalam persoalan golput? Siapa yang sebenarnya berkepentingan dalam persoalan golput? Makalah ini akan membahas mengenai fenomena golongan putih dalam pemilihan umum, di mana fenomena ini dilihat sebagai sebuah gerakan sosial politik rakyat. Makalah ini akan dibagi dalam lima subtema, pertama akan membahas mengenai makna definitif golput itu sendiri, kedua akan membahas peran golput dalam pemilihan umum, ketiga akan membahas konsep gerakan sosial politik rakyat dan contoh gerakan di Indonesia, keempat akan membahas golput sebagai gerakan sosial politik, perbedaannya dengan gerakan sosial politik lain dan ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh golput itu sendiri, dan kelima penutup di mana penulis akan memberikan sebuah catatan akhir atas persoalan golput bagi penulis.

“Ayo Boikot Pemilu”: Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

2

Mempersoalkan definisi golput Sebelum saya memaparkan mengenai definisi golput, ada baiknya saya memaparkan terlebih dahulu mengenai definisi pemilu. Dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pemilihan umum adalah “sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia”. Lebih penting lagi, kedaulatan rakyat yang termanifestasi melalui pemilihan umum dijadikan sebagai landasan dalam menimbang munculnya Undang-Undang ini, sebagaimana yang tertera dalam ‘Menimbang’ poin (2), “bahwa pemilihan umum secara langsung oleh rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.” Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, maupun Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, menempatkan pemilihan umum sebagai pondasi dasar pelaksanaan kedaulatan rakyat yang bertujuan untuk membentuk pemerintahan yang demokratis. konsekuensi logis dari hal ini jelas: kedaulatan rakyat dengan demikian menjadi fokus utama sekaligus asas dalam membentuk pemerintahan yang demokratis. Lalu pertanyaannya: bagaimana dengan pilihan rakyat untuk tidak berpartisipasi dalam pemilihan umum, tidak kah itu ‘menghalangi’ terbentuknya sebuah pemerintahan yang demokratis? atau malah sebaliknya, golput justru mendorong terbentuknya pemerintahan yang demokratis? Golongan putih atau golput, seandainya merupakan sebuah partai politik, boleh jadi dengan telak akan memenangkan setiap pemilihan umum, baik itu pemilihan Kepala Daerah, legislatif, bahkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI. Cerita “Ayo Boikot Pemilu”: Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

3

mengenai golput pun seakan tak pernah habis, lalu sebenarnya makhluk seperti apa golput ini? Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tidak terdapat satu pasal pun yang menjelaskan mengenai golput. Pasal yang terkait dengan hak pilih hanya lah Pasal 87 yang mengatur larangan kampanye pemilu untuk memberikan uang atau imbalan untuk tidak melaksanakan hak pilih, Pasal 244 tentang partisipasi masyarakat, dan Pasal 286 yang mengatur sanksi yang diberikan pada orang yang memberikan imbalan agar orang tidak menggunakan hak pilihnya. UU Nomor 10 Tahun 2008 (Pasal 19 dan Pasal 20) dan juga UU Nomor 42 Tahun 2008 (Pasal 27 dan Pasal 28) hanya mengatur hak memilih hanya sebatas orang yang berhak memilih yakni mereka yang sudah berusia 17 tahun atau sudah/pernah kawin, dan orang yang memiliki hak pilih yakni setiap orang yang memiliki hak untuk memilih dan terdaftar sebagai pemilih. Sebagai landasan utama pemilihan, UU Nomor 10 Tahun 2008 dan UU Nomor 42 Tahun 2008 sama sekali tidak menyinggung mengenai orang yang tidak menggunakan hak pilih mereka atau golput. Oleh karena itu, untuk mendefinisikan golput, saya akan beralih ke Kamus Besar Bahasa Indonesia yang, untungnya, memiliki entri tentang golput. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, golongan diterjemahkan sebagai “puak; tumpukan; kelompok (orang)”, sedangkan istilah golput atau ‘golongan putih’ sendiri diterjemahkan sebagai “warga negara yang menolak memberikan suara dalam pemilihan umum sebagai tanda protes” atau “golongan muslim” (lihat KBBI, 2005: 368). Dalam pengertian yang diberikan dalam KBBI, sebagai kamus yang dianggap representatif dalam bahasa Indonesia, setidaknya terdapat empat masalah utama jika melihat makna definitif golput. Pertama, golput sebagai lawan dari ‘golongan merah’ yang didefinisikan sebagai ‘golongan komunis’ atau ‘golongan nasrani’ (hlm. 368). Kedua, makna definitif golput mengindikasikan para “Ayo Boikot Pemilu”: Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

4

pemilih sebagai warga negara yang terdaftar dan memiliki hak pilih. Ketiga, makna definitif tersebut menjadikan golongan putih sebagai sebuah pilihan politik yang terlihat dari kata ‘menolak’. Keempat, golput dilihat sebagai wujud ketidakpuasan yang diartikulasikan sebagai bentuk protes. Pada persoalan pertama, nampaknya tidak terlalu banyak persoalan, mengingat istilah golput sendiri pada dasarnya merujuk pada semua warga negara yang memiliki hak pilih tanpa memandang latar belakang agama maupun kepercayaan. Mengenai makna definitif ‘golongan Islam’ nampaknya tidak lah relevan dengan pembahasan ini, di samping fakta bahwa istilah ‘golongan merah’ merujuk pada ‘golongan komunis’ dan ‘golongan nasrani’. Barangkali yang menjadi masalah adalah makna definitif golongan merah itu sendiri yang secara ambigu didefinisikan sebagai ‘golongan komunis’ dan ‘golongan nasrani’. Pada persoalan kedua, agaknya lebih rumit. Pada dasarnya, KBBI mendefiniskan secara ideal, di mana setiap warga negara Indonesia yang telah cukup umur, setidaknya secara undang-undang, terdaftar sebagai pemilih. Dalam konteks realitas, hal ini tidak lah tercapai sepenuhnya. Masih banyak persoalan yang belum tuntas mengenai warga negara yang terdaftar dan memiliki hak pilih. Para mantan anggota Gerwani misalnya, banyak di antara mereka tidak memiliki hak pilih (lihat Susanti 2007, Wieringa 1998). Dalam konteks yang lebih luas, daftar pemilih tetap, yang merupakan dokumen resmi Komisi Pemilihan Umum untuk menetapkan jumlah pemilih dalam pemilihan umum mendatang, pun masih menjadi persoalan yang tak kunjung usai. Pada persoalan ketiga, nampak bahwa menjadi golput pada dasarnya dilandasi oleh sebuah pilihan yang, boleh jadi, sangat politis sekaligus sangat rasional (bagi orang memilih untuk golput). Menurut saya, penggunaan kata ‘menolak’ merupakan pilihan kata yang menarik. Kata ini menegasikan sebuah “Ayo Boikot Pemilu”: Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

5

rasionalitas pilihan yang dimiliki oleh setiap warga negara yang memiliki hak pilih untuk terlibat dalam pemilihan umum dengan menggunakan hak pilih mereka, atau mereka menolak untuk ikut serta dengan ‘bergabung’ dengan golongan putih. Tentu saja hal ini membawa konsekuensi logis: pilihan untuk golput pada dasarnya dilandasi oleh tujuan, motif dan kepentingan setiap individu, sehingga memiliki hak pilih tidak selalu akan berlanjut pada penggunaan hak tersebut. Jika penggunaan hak pilih merupakan kebebasan setiap individu, maka golput pada dasarnya adalah pilihan yang diambil oleh seorang warga negara terkait dengan hak yang dimilikinya. Tentu saja hal ini adalah mutlak pilihan setiap warga negara, jadi rasanya anjuran untuk golput atau tidak golput tidak lah relevan, mengingat anjuran tersebut hanya berlaku sebatas ajakan di mana keputusan akhirnya ada di tangan setiap individu atau warga negara yang memiliki hak pilih. Pada persoalan keempat, persoalan yang paling krusial, di mana golput dilihat sebagai wujud protes yang dimiliki oleh warga negara. Dalam konteks ini, golput merupakan perwujudan dari gerakan sosial politik, yang boleh jadi bersifat kolektif, yang dilakukan oleh setiap warga negara yang memiliki hak pilih dengan berbagai motif yang melandasi pilihan untuk golput itu sendiri. Meskipun KBBI secara khusus menyebutnya ‘sebagai tanda protes’, namun pilihan untuk golput tidak lah selalu bermotif protes. Sebagai sebuah gerakan sosial politik, golput merupakan pilihan protes yang paling mudah dilakukan, ketimbang berdemontrasi dan mendengarkan orasi yang seringkali membosankan, memilih untuk golput seringkali sangat menyenangkan, yang perlu dilakukan hanya lah diam di rumah atau keluar rumah dan berpura-pura lupa bahwa saat itu sedang ada pemilu. Pilihan untuk menjadi golput pun seringkali lebih mudah dipahami ketimbang mendengarkan berbagai orasi yang dilontarkan sebagai wujud protes, sehingga pilihan untuk golput lebih mudah diterima oleh semua kalangan masyarakat.

“Ayo Boikot Pemilu”: Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

6

Dalam konteks pemilihan umum, golput tidak hanya sulit untuk didefinisikan, namun juga sulit ditentukan tindakan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai golput. Rasanya tidak berlebihan jika beranggapan bahwa mereka yang golput adalah mereka yang tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk menolak memberikan hak pilihnya, namun juga mereka yang datang ke TPS tanpa melakukan pemilihan, barangkali juga mereka yang datang ke TPS dan menggunakan hak pilih mereka namun dengan sengaja memilih untuk menjadikan suara menjadi tidak sah. Namun hal ini pun bukan lah tanpa persoalan. Bagaimana harus menyikapi, atau mengkategorikan mereka yang datang ke TPS dan menggunakan hak pilih mereka hanya saja suara yang mereka berikan, secara sengaja, tidak sah? Sebagaian orang beranggapan bahwa mereka yang golput adalah mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih atau terdaftar sebagai pemilih tapi tidak mendapatkan undangan untuk memilih, namun rasanya kedua alasan ini tidak dapat dikategorikan sebagai golput mengingat posisi mereka sebagai golput adalah kesalahan KPU bukan merupakan pilihan pribadi. Berbagai kemungkinan yang muncul mengenai siapa yang dikatakan golput menjadi lebih sulit lagi karena batasan golput itu sendiri tidak jelas, atau bahkan tidak ada sama sekali.

Golput dan implikasinya Berbicara mengenai golput, terlebih jika dikaitkan dengan seruan untuk memboikot pemilu, saya teringat pada tokoh Minke, dalam novel tetralogi Pulau Buru tulisan Pramoedya Ananta Toer, yang menyerukan untuk memboikot pemerintah Belanda yang ketika itu berkuasa. Minke secara tegas menyerukan untuk mendidik rakyat melalui organisasi dan mendidik pemerintah melalui pergerakan dan perlawanan. Nampaknya apa yang disampaikan oleh Pram, melalui tokoh Minke, masih relevan hingga saat ini. “Ayo Boikot Pemilu”: Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

7

Golput sebagai sebuah fenomena yang umum terjadi di negara manapun, hanya Indonesia yang menyebutnya dengan istilah ini, merupakan sebuah bentuk tindakan politik yang diambil oleh setiap individu yang memiliki hak pilih dan terdaftar sebagai pemilih. Tindakan ini adalah sebuah tindakan individual, yang secara umum dapat dilihat sebagai sebuah tindakan kolektif. Sebagai sebuah tindakan politik, keputusan untuk tidak memilih atau golput tentu saja memiliki berbagai latar belakang, apakah itu karena kekecewaan terhadap kinerja eksekutif dan legislatif, ketidakpercayaan atas kedua lembaga tersebut dengan semakin banyaknya sorotan atas perilaku orang-orang yang terlibat di dalamnya, maupun tidak adanya tokoh yang dianggap cocok dan pantas untuk duduk di kursi legislatif, tentu saja berdasarkan kriteria yang sifatnya sangat personal, maupun karena kejenuhan orang terhadap pemilihan umum yang terus dilaksanakan sepanjang tahun, belulm lagi pemberitaan mengenai konflik yang muncul atas ketidakpuasan terhadap hasil pemilihan umum. Pada umumnya, terutama para elite politik, selalu melihat golput sebagai wujud pilihan politik yang ‘negatif, ‘tidak benar’, bahkan ‘menyesatkan’. Persoalannya tentu saja tidak lah semudah yang dipikirkan oleh banyak orang. Golput hanya dilihat dari sisi negatif, yakni sebagai bentuk tindakan yang dilakukan oleh warga negara yang ‘tidak peduli pada hak politik’ mereka sebagaimana disangka oleh para elite politik. Golput selalu dilihat sebagai tindakan warga negara yang ‘tidak sadar hukum’, tindakan yang diambil oleh warga negara yang ‘tidak peduli terhadap masa depan bangsa’, maupun tindakan yang diambil oleh warga negara yang ‘tidak berpendidikan’. Bagi saya, golput tentu saja memiliki sisi positif, setidaknya terdapat dua sisi positif golput. Pertama, golput menyebabkan hilangnya klaim dukungan mayoritas rakyat oleh para kepala daerah maupun partai politik mengenai kemenangan mereka, di mana para kepala daerah maupun partai politik seringkali mengklaim diri mereka “Ayo Boikot Pemilu”: Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

8

didukung oleh mayoritas rakyat. Klaim ini tentu saja tidak benar, apalagi jika melihat tingginya angka golput. Bagaimana mungkin sebuah partai politik atau pemenang pilkada mengklaim diri mereka didukung oleh mayoritas rakyat jika angka golput mencapai 40%? Hal ini tentu saja menggelikan, sebuah klaim kosong tanpa melihat realitas di lapangan. Kedua, golput merupakan, mengutip Adam Smith, ‘invisible hand’, sebuah kekuatan kontrol tak terlihat yang mengontrol setiap pemenang pilkada maupun partai politik di bawah bayang-bayang ketidakpercayaan masyarakat. Karena golput menghilangkan klaim dukungan mayoritas, maka golput berfungsi sebagai mekanisme kontrol yang barangkali menakutkan bagi pemenang pilkada dan partai politik. Jika golput berwujud sebagai sebuah partai politik, dapat dipastikan partai ini lah yang memenangkan setiap pemilihan dengan telak, hanya saja golput bukan lah partai politik namun memiliki kekuatan untuk menutup mulut partai politik maupun pemenang pilkada, bahwa kemenangan mereka harus berhadapan dengan kekuatan golput yang merupakan oposisi yang tak terlihat. Golput, setidaknya menurut saya, dapat dipersamakan dengan mimpi buruk setiap pemenang pilkada maupun partai politik, mengingat golput adalah kekuatan besar yang tertidur. Dalam setiap pemilihan kepala daerah angka golput cenderung tinggi, terutama jika dibandingkan dengan perolehan suara pemenang pemilu. Bayangkan jika setiap orang yang tidak menggunakan hak pilih mereka menuntut pada setiap pemenang pemilihan kepala daerah untuk mundur, hal ini tentu saja akan sangat mengkhawatirkan, terlebih jumlah golput, umumnya, lebih tinggi ketimbang jumlah yang mendukung calon tersebut. Sebagai sebuah mekanisme kontrol tersembunyi, yang diwujudkan dalam bentuk bayang-bayang kekhawatiran ‘tindakan makar’, keputusan rakyat untuk menjadi golput akan menjadi ketakutan tersendiri bagi elite politik. Ketakutan ini lah yang nampaknya membuat para elite politik, terutama partai politik, cenderung untuk menolak golput dan menyerukan “Ayo Boikot Pemilu”: Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

9

agar setiap warga negara yang memiliki hak pilih dan terdaftar sebagai pemilih untuk mempergunakan hak pilih mereka. Adalah Ketua MPR yang secara tegas meminta masyarakat untuk tidak golput sekaligus meminta MUI untuk mengeluarkan fatwa larangan atau bahkan haram bagi masyarakat untuk golput. Meskipun MUI secara tegas menolak karena hal ini bukan lah termasuk dalam persoalan agama, namun seruan ini rupanya ditanggapi cukup beragam. Beberapa ulama NU di Jawa Timur misalnya mengambil konsensus mengenai keharaman golput, yang secara langsung ditolak oleh Gus Dur sebagai “kelompok kiai kampung” yang “tidak memiliki pengikut”. Hasyim Muzadi pun angkat bicara mengenai persoalan hukum golput yang ia kaitkan dengan ‘nasbul imamah’ atau penegakkan kepemimpinan, hal ini berkaitan dengan pertemuan alim ulama di Nusa Tenggara Barat pada tahun 1997 yang mengeluarkan resolusi mengenai pentingnya keberadaan seorang pemimpin bagi ummat.2 Meskipun ditanggapi beragam, fenomena golput boleh jadi merupakan fenomena yang paling mendapat perhatian ketika berbicara mengenai dinamika politik di Indonesia. Keinginan untuk mengeluarkan sebuah produk hukum yang jelas yang mengatur tentang golput, di satu sisi, tidak lah memperjelas pokok persoalan golput itu sendiri; sedangkan di sisi yang lain, hal tersebut dapat dikatakan bias dan cenderung untuk mendukung kelompok atau agama tertentu. Sebagai sebuah fenomena, golput memang dapat dilihat dalam berbagai segi, termasuk sebagai fenomena gerakan sosial politik rakyat.

2

Wawancara dengan Gus Dur dan Hasyim Muzadi dalam acara Genta Demokrasi di Metro TV pada 26 Desember 2008.

“Ayo Boikot Pemilu”: Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

10

Gerakan sosial politik, definisi dan contoh kasus di Indonesia Meskipun gerakan sosial politik acapkali dikaitkan dalam bentuk tindakan kolektif yang dilakukan oleh setiap elemen masyarakat, namun tujuan dari tindakan kolektif tersebut tidak lah selalu sama. Lalu apa yang sebenarnya dimaksud dengan gerakan sosial politik? Mengapa gerakan tersebut muncul? Dan dalam bentuk seperti apa gerakan sosial politik disalurkan? Pada dasarnya, gerakan sosial politik adalah satu prinsip dasar dalam dunia sosial, di mana masyarakat secara kolektif menyuarakan keluhan dan hak-hak mereka, termasuk kesejahteraan, dengan mengambil bentuk aksi kolektif, seperti aksi turun ke jalan, yang menggambarkan keluhan mereka mengenai kondisi mereka maupun harapan agar suatu hal dilakukan untuk mereka (lihat Snow, Soule dan Kriesi, 2004:3). Dalam konteks yang lebih luas, gerakan sosial politik adalah sebuah gerakan, yang seringkali berwujud kolektif, yang dilaksanakan oleh individu atau kelompok bertujuan untuk menyuarakan kritik dan keluhan mereka dan/atau bertujuan untuk menentang kekuasaan dominan (lihat Koopmans 2004). Gerakan sosial politik seringkali berwujud sebagai tindakan protes atas keadaan yang dirasakan tidak adil, di mana hal ini ditandai dengan meningkatnya tensi kemarahan dan konflik yang ada di masyarakat, yang dilakukan oleh orangorang yang berkuasa terhadap mereka yang berada di bawah struktur kekuasaan (lihat Williams 2004). Dalam konteks ini, apa yang disampaikan oleh Sartono Kartodirdjo (1984a) mengenai radikalisme memiliki kesamaan dalam beberapa hal. Bagi Sartono, radikalisme yang memiliki makna dengan gerakan sosial adalah aksi untuk menolak secara menyeluruh segala tertib sosial yang berlaku, di mana hal ini ditandai dengan kejengkelan moral yang terus meningkat terhadap golongan yang memiliki hak-hak istimewa dan berkuasa.

“Ayo Boikot Pemilu”: Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

11

Gerakan sosial politik merupakan sebuah gerakan yang sering diasosiasikan dengan mode aksi kolektif yang melibatkan tipe relasi, yang secara sosial, mengandung, atau setidaknya cenderung, konflik (Renon, 2008:783). Dalam konteks yang berbeda, gerakan sosial politik dapat pula dilihat sebagai bentuk aksi yang relatif spontan yang mempergunakan model aksi politik kolektif yang mengubah rutinitas sehari-hari dan menantang norma politik yang telah ada (Eyerman, 2006:578). Gerakan sosial politik dengan demikian merupakan sebuah aksi kolektif yang dilaksanakan dengan tujuan-tujuan tertentu dan didasarkan oleh motif dan kepentingan tertentu, di mana motif, kepentingan, mekanisme, maupun tujuan yang ingin dicapai tidak selalu sama dalam setiap masyarakat. Dalam banyak kesempatan, gerakan sosial politik lebih merupakan aksi protes terhadap keadaan yang tidak setara atau keadaan sosial yang tidak adil, di mana aksi protes tersebut, seringkali pula bersifat spontan, merupakan gambaran keinginan untuk mengubah keadaan sekaligus harapan di masa yang akan datang. Gerakan sosial politik tentu saja memiliki berbagai dimensi, di mana gerakan tersebut mengambil landasan pemikiran, apakah itu neo-Marxisme, interaksionisme, fungsionalisme struktural, maupun gerakan sosial baru (Hoffman 2006, Staggenborg 2005). Teori Marx dapat dikatakan memberikan pengaruh yang cukup besar dalam studi gerakan sosial politik, di mana Marx melihat dalam masyarakat industri, gerakan sosial dan, terutama, revolusi berasal dari kontradiksi struktural antara kapital dan buruh. Konsekuensinya logis: setiap aktor yang terlibat dalam gerakan sosial didefinisikan berdasarkan kontradiksi sistemik fundamental ini, yakni antara kaum pemilik kapital dengan buruh atau antara borjuis dengan proletar (lihat Bottomore 2008, Hoffman 2006). Berbeda dengan Marx yang melihat gerakan sosial berlandaskan kontradiksi struktural, interaksionisme melihat gerakan sosial muncul dari situasi yang tidak terstruktur. Berdasarkan asumsi bahwa setiap individu dan kelompok orang bergerak dan bertindak berdasarkan pemahaman dan ekspektasi bersama, gerakan sosial muncul dari situasi yang tak terstruktur. Kondisi ini adalah “Ayo Boikot Pemilu”: Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

12

suatu kondisi yang terdapat sedikit sekali pedoman kultural bersama atau pedoman tersebut ada namun sangat kacau sehingga harus disusun dan didefinisikan kembali, dan dalam konteks itu lah gerakan sosial muncul (Renon, 2008:784), dengan demikian, gerakan sosial adalah ekspresi kolektif dari rekonstruksi situasi sosial tersebut. Kritik utama yang muncul atas pendekatan interaksionisme adalah bahwa pendekatan ini gagal mengembangkan suatu pendekatan yang memadai dalam melihat gerakan sosial. Hal ini memunculkan pendekatan lain, yakni struktural fungsional, yang mencoba melihat gerakan sosial politik sebagai sebuah fenomena (lihat Staggenborg 2005). Pendekatan ini memiliki tiga macam varian, yaitu: Pertama, teori masyarakat massa yang melihat individu dalam masyarakat yang secara bebas dan cenderung berpartisipasi dalam berbagai jenis kelompok sosial baru, seperti gerakan sosial, di mana hal ini muncul akibat ketercerabutan dari akar sosio-kultural akibat perubahan sosial yang relatif cepat tanpa mampu ‘dikejar’ oleh individu tersebut. Adanya urbanisasi menyebabkan hilangnya ikatan tradisional atau adanya isolasi yang menyebabkan isolasi dari relasi kelompok dan/atau kelompok normatif. Kedua, teori tekanan struktural yang melihat gerakan sosial muncul sebagai akibat dari terganggunya keseimbangan dari sistem sosial. Adanya ketidakseimbangan dan keterputusan hubungan antara nilai-nilai yang dianut dengan praktik aktual, tertutupnya fungsi institusional, maupun adanya gangguan dari elemen disfungsional menyebabkan gangguan pada sistem sosial, merusak keseimbangan dan memicu ketegangan struktural, dan pada gilirannya memicu gerakan sosial. Ketiga, teori deprivasi relatif yang melihat tekanan bukan diakibatkan oleh kerusakan struktur maupun keseimbangan, namun berasal dari kondisi perasaan subjektif. Perasaan subjektif ini memandang kegagalan seseorang untuk mencapai harapannya, di mana kebutuhan yang terpenuhi tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Ketika realitas yang muncul secara faktual ternyata tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, maka pada kondisi itu lah seseorang mengalami “Ayo Boikot Pemilu”: Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

13

deprivasi relatif di mana ketidakpuasan dan frustasi akan bermunculan, dan pada gilirannya akan memicu suatu gerakan sosial (lihat Eyerman 2006, Koopmans 2004, Renon 2008, dan Snow, Soule dan Kriesi 2004). Dalam tiga dekade terakhir, muncul sebuah gagasan untuk menyebut berbagai bentuk protes yang muncul pada era 1970-an sebagai gerakan sosial baru. Gerakan sosial baru membentuk sebuah jaringan kontestasi melalui jalur politik resmi. Gerakan sosial baru dilihat sebagai institusi masyarakat sipil yang dipolitisasi karenanya dibutuhkan definisi ulang mengenai batas-batas politik institusional. Makna penting gerakan sosial baru terletak pada kemampuan gerakan untuk mendapatkan kesadaran baru akan kapasitasnya untuk memproduksi makna baru dan bentuk kehidupan dan tindakan sosial yang baru (Renon, 2008:785). Gerakan ini, misalnya, dapat dilihat pada gerakan hijau (green movement) yang berwujud dalam gerakan lingkungan (lihat Maathai 2006, Peets dan Watts 1996, Wall 1999) maupun gerakan anti-nuklir (Miller 2000). Gerakan sosial politik di Indonesia, terutama di Jawa (lihat Kartodirdjo 1984b), banyak mengandung elemen keagamaan, seperti gerakan juru selamat (messianisme), gerakan ratu adil (millenarisme), gerakan pribumi (nativisme), gerakan kenabian (prophetisme), dan gerakan penghidupan kembali (revivalisme). Dalam cakupan yang lebih luas, seluruh gerakan ini pada umumnya melibatkan individu-individu yang berusaha memprotes keadaan di satu sisi, dan mengharapkan kembali keadaan yang semula ada sekaligus mengharapkan datangnya penolong di sisi yang lain. Penelitian yang dilakukan oleh Kartodirdjo (1984a) mengenai gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh petani Banten pada tahun 1888 misalnya, memiliki nuansa keagamaan yang kuat. Gerakan Ratu Adil misalnya, berbagi ciriciri yang sama: watak pimpinan, pola ideologi dan sistem kepercayaan. Di samping “Ayo Boikot Pemilu”: Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

14

itu, unsur pokok dari suatu gerakan keagamaan adalah adanya seorang pemimpin yang sangat dipatuhi berupa pemimpin keagamaan yang “merupakan seorang prophet (nabi), atau guru, atau dukun, atau tukang sihir, atau utusan Mesias”. Ciri lainnya yang juga tidak dapat dipisahkan adalah harapan akan datangnya millemium atau jaman keemasan sekaligus penolakan atas kondisi mereka sekarang yang dianggap sebagai jaman kegelapan (Kartodirdjo, 1984b:13-14). Kartodirdjo (1984b) memberikan gambaran yang menarik mengenai gerakan ratu adil, seperti peristiwa Nyi Aciah di Sumedang (1870-1871), gerakan Kobra atau Jumadilkubra di daerah Pekalongan dan Banyumas, Jawa Tengah (1871), maupun peristiwa Jasmani di wilayah Kediri, Jawa Timur (1887). Tentu saja tidak semua gerakan sosial yang berkembang berhubungan dengan dimensi keagamaan yang dominan, meskipun beberapa gerakan modern pun memiliki kaitan dengan agama. Gerakan para pebatik Lawean misalnya, yang membentuk sebuah organisasi besar bernama Sarekat Dagang Islam, merupakan contoh yang sangat representatif mengenai gerakan sosial modern (lihat Shiraishi 1997). Sebuah organisasi yang bermula dari para sekumpulan para pengusaha batik yang bergabung dalam Rekso Roemekso dan bertujuan untuk saling bantu di antara mereka sekaligus sebagai lawan dari Kong Sing, sebuah organisasi Tionghoa yang dianggap melakukan tindakan “arogan” dan memonopoli bahan baku batik, meskipun pada awalnya organisasi ini bertugas sebagai ‘penjaga keamanan’ batik yang sedang dijemur agar tidak dicuri oleh para kecu. Organisasi ini kemudian berubah, di bawah kepemimpinan Samanhoedi dan arahan Tirtoadhisoerjo, menjadi Sarekat Dagang Islam, yang bernaung di bawah Sarekat Dagang Islam di Bogor. Organisasi ini terus membesar di bawah pimpinan Tjokroaminoto, tidak hanya di wilayah Surakarta (Mangkunegara), tapi juga merambah ke wilayah lain. Perubahan besar pun terjadi, dengan perubahan nama menjadi Sarekat Islam, sebuah organisasi massa yang luar biasa besar pada masanya, dan dari organisasi ini pula lah sebuah organisasi lainnya lahir: Partai Komunis Indonesia. “Ayo Boikot Pemilu”: Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

15

Beberapa gerakan yang muncul dapat dikatakan memakan banyak korban jiwa. Gerakan di tiga daerah misalnya, menggambarkan berbagai tindak kekerasan dan pembunuhan terhadap para pangreh praja yang dianggap tidak setia dengan revolusi karena tetap melayani pemerintah kolonial (lihat Lucas 1989). Ada pula gerakan pembantaian yang dilakukan pada masa awal Orde Baru sebagai gerakan penghapusan PKI dan antek-anteknya, sekaligus sebagai upaya mencegah terjadinya kembali gerakan 30 September (lihat Roosa 2008). Gerakan lain yang juga patut diperhatikan adalah gerakan mahasiswa ketika melakukan unjuk rasa pada tahun 1998 (lihat Boudreau 2002). Meskipun gerakan mahasiswa tersebut ‘agak unik’, terutama dengan tidak adanya tokoh sentral gerakan dan tidak adanya organisasi yang terstruktur dengan rapih. Gerakan sosial pun tidak selalu dalam bentuk organisasi massa dengan struktur organisasi yang jelas, namun dapat juga dalam bentuk yang paling sederhana: sebuah perlawanan ‘khas Asia’. Dalam kajian Scott (2000), meskipun mengambil lokasi penelitian di Malaysia namun rasanya dapat diaplikasikan di Indonesia, melihat bahwa gerakan sosial yang terjadi di kalangan rakyat miskin adalah usaha mereka untuk bertahan hidup. Sebuah “senjata orang yang lemah”, berupa organisasi anonim, landasan hukum moral yang didasarkan pada prinsip tahu sama tahu, maupun perlawanan kecil-kecilan seperti pencurian, mogok kerja, purapura sakit, hingga menggunjing di belakang untuk menjatuhkan nama baik. Hal-hal kecil ini lah yang merupakan senjata andalan yang dipergunakan oleh kaum lemah yang selalu kalah dalam menentang perlakuan yang sewenang-wenang dari kelompok ekonomi mapan dan politik yang kuat.

“Ayo Boikot Pemilu”: Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

16

Golput sebagai gerakan sosial politik Bagaimana golongan putih atau golput sebagai sebuah gerakan sosial politik? Dalam wujud seperti apa golput bergerak dalam dimensi gerakan sosial politik? Atau lebih penting lagi, mengapa golput menjadi sebuah gerakan sosial politik? Sejauh ini saya telah menjelaskan mengenai makna definitif golput dan implikasi definisi tersebut, juga imlplikasi golput secara politis, saya juga telah menjelaskan mengenai gerakan sosial politik secara konseptual dan contohnya di Indonesia. Pada poin ini, saya akan mencoba menjelaskan golput dalam pemilihan umum sebagai sebuah gerakan sosial politik; namun sebelum saya menjelaskan golput sebagai sebuah gerakan sosial politik rakyat, saya akan menjelaskan ciri-ciri golput sebagai gerakan sosial politik. Sebagai sebuah fenomena gerakan sosial politik, golput memiliki keunikan tersendiri jika dibandingkan dengan gerakan sosial politik lainnya. Setidaknya terdapat tujuh ciri utama yang membedakan golput sebagai sebuah fenomena gerakan sosial politik dengan gerakan sosial politik lainnya yang ada, yaitu: Pertama, sebagai sebuah fenomena gerakan sosial politik, golput tidak memiliki struktur organisasi yang jelas dan terstruktur. Jika dibandingkan dengan gerakan pedagang batik Lawean yang tergabung dalam SDI, yang kemudian berubah menjadi SI, terdapat sebuah struktur yang jelas mengenai organisasi tersebut, hal ini dapat dilihat dalam Anggaran Dasar maupun Anggaran Rumah Tangga dan tercantum dalam Lembaran Negara (lihat Shiraishi 1997). Golput pada dasarnya adalah sebuah politik individual, dengan demikian tidak lah diperlukan sebuah organisasi yang secara tegas menyatakan diri sebagai organisasi khusus bagi golongan putih. Barangkali ada dua faktor kenapa organisasi semacam ini tidak pernah terbentuk: (1) organisasi ini secara jelas dan tegas melanggar hukum sebagaimana yang terdapat dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD yang melarang seseorang atau kelompok tertentu yang “Ayo Boikot Pemilu”: Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

17

memberikan imbalan atau menjanjikan imbalan kepada orang lain untuk tidak memberikan hak pilihnya (meskipun UU ini hanya sebatas orang yang memberikan imbalan bukan orang memerintahkan meskipun tanpa imbalan), (2) organisasi semacam ini boleh jadi akan gulung tikar dengan sendirinya mengingat tujuan organisasi ini pada dasarnya melanggar hak politik seseorang untuk mempergunakan hak pilihnya atau tidak, sehingga orang akan berpikir ulang untuk mendaftarkan diri dalam organisasi tersebut. Kedua, selain tidak terdapat sebuah organisasi yang secara khusus mengatur mengenai golput, juga tidak terdapat tokoh utama yang secara khusus menyerukan untuk golput di mana seruan tersebut dipercaya dan diikuti oleh semua orang, atau dalam terminologi Hoffer (1993), seorang yang kata-katanya diikuti oleh “true believer”. Meskipun Hoofer menyatakan bahwa setiap gerakan sosial, tak perduli motif gerakan tersebut, selalu terdapat sekelompok orang yang rela menyerahkan segalanya, termasuk nyawa, untuk berkorban atau sebuah fanatisme tinggi terhadap gerakan tersebut. Dalam kasus golput, Gus Dur tidak lah dapat dikatakan sebagai aktor utama yang menciptakan terjadinya pengorbanan semacam itu, meskipun hal ini pun tidak lah salah sepenuhnya. Seruan Gus Dur boleh jadi akan memicu sekelompok orang yang kelewat fanatik terhadap Gus Dur akan benar-benar melaksanakan perintah tersebut seperti seorang hamba atas perintah tuannya, namun toh sangat berlebihan jika beranggapan setiap orang NU di Jawa Timur akan menjadi true believer dalam menanggapi seruan Gus Dur tersebut. Ketiga, mereka yang golput tidak lah berasal hanya dari satu kelas sosial tertentu, atau dalam bahasa lain, golput tidak memandang status dan kelas sosial seseorang. Mereka yang golput tidak hanya mereka yang secara ekonomi marjinal, namun juga mereka yang secara ekonomi mapan. Berbeda dengan anggapan Hoffer (1993) yang menganggap bahwa mereka yang kecewa, tidak puas dan frustasi terhadap diri mereka sendiri sebagai ‘panen’ pertama terhadap sebuah gerakan sosial “Ayo Boikot Pemilu”: Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

18

yang dilakukan oleh true believer, mereka yang memilih untuk golput jutru merasakan kekecewaan yang besar bukan terhadap diri mereka sendiri melainkan terhadap orang yang pernah mereka pilih dalam pemilihan umum. Kekecewaan yang muncul memicu sebuah pilihan yang dapat diambil oleh semua orang tanpa memandang suku, agama, maupun kelas sosial: golput dalam pemilu.. Keempat, golput sebagai gerakan sosial politik tidak lah dilakukan secara terbuka dan diwujudkan dalam bentuk kelompok massa, hal ini tentu saja sangat berbeda dengan berbagai gerakan sosial lain yang terjadi di Indonesia. Dalam gerakan mahasiswa pada tahun 1998 misalnya, terlihat bahwa gerakan protes tersebut dilakukan dengan wujud gerakan mahasiswa secara massal yang menduduki Gedung MPR/DPR atau gerakan protes berupa demontrasi, meskipun dalam skala kecil, yang dilakukan untuk menentang represi negara (lihat Boudreau 2002). Hal yang juga berbeda dengan gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh petani Banten pada tahun 1888 (lihat Kartodirdjo 1984a), maupun gerakan Nyi Aciah dan Jumadilkubra (Kartodirdjo 1984b) di mana gerakan-gerakan tersebut menekankan pada sebuah gerakan massa yang secara sengaja dipusatkan. Golput sebagai sebuah gerakan sosial politik tidak lah dilakukan dengan mengumpulkan massa yang secara khusus bertujuan untuk menolak pemilihan umum, namun dilaksanakan secara perseorangan, hanya saja jumlah secara akumulatif jelas tidak dapat dipandang sebelah mata. Kelima, sebagai sebuah gerakan sosial politik, golput tidak lah berbentuk sebuah ‘kudeta berdarah’. Jika melihat gerakan 30 September yang digambarkan sebagai sebuah kudeta berdarah sekaligus memantik sebuah pembantaian yang lebih besar terhadap ‘antek-antek’ PKI, sebagaimana yang dilakukan oleh Orde Baru dengan mengambil dalih pemberontakan PKI dan pembunuhan para jenderal (lihat Roosa 2008), atau gerakan rakyat yang terjadi di tiga daerah (lihat Lucas 1989) yang membunuh para birokrat dan aparatur desa yang tetap taat pada pemerintahan “Ayo Boikot Pemilu”: Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

19

kolonial dan Jepang tanpa memperhatikan gerak revolusi. Kedua peristiwa ini tentu hanya merupakan gambaran singkat mengenai sebuah gerakan sosial politik yang menuntut korban nyawa, baik dari para pendukung gerakan maupun dari lawan gerakan itu sendiri. Berbeda dengan gerakan-gerakan tersebut, golput bukan sebuah gerakan yang menuntut korban nyawa, baik oleh mereka yang memilih golput maupun para elite politik dan aparatur pemerintahan. Keenam, sebagai sebuah gerakan sosial politik, golput tidak hanya bukan merupakan kudeta berdarah, golput juga tidak dilakukan dengan cara-cara kekerasan, lebih jauh, golput bergerak tidak dengan kekuatan militer bersenjata. Berbeda sepenuhnya dengan gerakan 30 september, terlepas dari siapa dalang di balik peristiwa tersebut, yang menggunakan kekerasan dan kekuatan militer, terutama untuk memberangus akar gerakan tersebut yang ‘dianggap’ kaki-tangan Partai Komunis Indonesia (lihat Roosa 2008). Golput sebagai gerakan sosial politik tidak lah dijalankan dan ‘disebarkan’ melalui jalur-jalur kekerasan maupun ancaman fisik, mengingat golput merupakan pilihan individual seseorang. Meskipun demikian, saya tidak dapat menjamin sepenuhnya bahwa golput tidak ‘disebarkan’ melalui ancaman-ancaman fisik, barangkali ada, tapi hal ini rasanya tidak lah berlaku di setiap daerah di Indonesia. Ketujuh, sebagai sebuah gerakan sosial politik, golput tidak lah ditujukan untuk menggulingkan kekuasaan yang sah. Hal ini misalnya berbeda ketika melihat contoh kasus gerakan di tiga daerah (Lucas 1989) yang dalam beberapa gerakannya mencoba untuk menggulingkan para pangreh praja daerah yang tidak setia terhadap gerakan revolusi, di mana gerakan tiga daerah dapat dilihat sebagai bentuk ‘main hakim sendiri’, perampokan, kekerasan, pembunuhan, maupun pengerusakan gudang dan gedung-gedung pabrik. Meskipun belum ada sebuah gerakan yang berusaha menggulingkan kekuasaan yang sah dari seorang presiden, terkecuali kalau gerakan 30 september dianggap sebagai gerakan untuk menggulingkan Soekarno, di “Ayo Boikot Pemilu”: Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

20

mana gerakan yang ada umumnya hanya menggulingkan kekuasaan dari para pangreh praja dan/atau aparatur desa. Sebagai sebuah gerakan sosial politik yang unik, tentu saja golput memiliki sejumlah ciri-ciri penting. Setidaknya terdapat lima ciri penting, selain tujuh ciri lainnya di atas, golput sebagai sebuah gerakan sosial politik. Pertama, golput dimulai oleh sebuah rasa kecewa yang dirasakan terhadap elite politik maupun oleh partai politik. Kekecewaan ini lah yang memunculkan sebuah antipati tersendiri terhadap pemilihan umum, terlebih terhadap hasil dan kinerja wakil rakyat, maupun presiden dan wakil presiden yang telah terpilih. Kekecewaan ini, jika merujuk teori deprivasi relatif, muncul sebagai akibat kesenjangan antara harapan dengan kenyataan yang ada. Ketika golput muncul sebagai akibat dari adanya kekecewaan, maka wujub abstraksi yang paling mudah muncul adalah protes. Kedua, golput dilakukan sebagai bentuk protes. Hal ini tentu saja mudah di mengerti, terutama jika melihat golput sebagai wujud protes ‘khas rakyat’ yang dapat dilakukan dengan mudah tanpa terlibat organisasi atau terpengaruh ideologi apapun. Sebagai wujud protes khas rakyat, hal yang hampir sama dengan yang dilakukan oleh petani Sedaka di Malaysia (lihat Scott 2000), golput dilakukan oleh mereka yang selama ini termarjinalkan dalam bidang politik, di mana golput dipergunakan sebagai ‘weapon of the weak’. Sebagai wujud protes yang dapat dilakukan oleh setiap warga negara tanpa memandang status dan kedudukan, golput dapat terjadi di hampir semua tempat di seluruh Tempat Pemungutan Suara (TPS). Ketiga, golput dilakukan secara universal tanpa memandang status dan kelas sosial. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, golput dapat dilakukan oleh setiap warga negara yang memiliki hak pilih dan terdaftar sebagai pemilih tanpa memandang batas-batas ras, suku, agama, kedudukan, status dan lain sebagainya. Dalam realitas sebenarnya, golput dilakukan tidak hanya oleh mereka yang secara “Ayo Boikot Pemilu”: Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

21

ekonomi terpinggirkan namun juga mereka secara ekonomi mapan, golput tidak hanya dilakukan oleh mereka yang tinggal di wilayah pedesaan namun juga mereka yang tinggal di perkotaan. Keempat, golput dilakukan oleh individu secara sadar. Hal ini penting, mengingat golput pada dasarnya adalah pilihan yang diambil oleh seseorang yang memahami betul tindakannya. Tentu saja harus dikecualikan dalam hal ini adalah mereka yang sengaja memilih golput karena mengalami paksaan maupun ancaman dari pihak lain. Hal yang lebih kompleks terjadi manakala golput dikaitkan dengan true believers, katakan lah mereka yang percaya sepenuhnya pada anjuran Gus Dur untuk golput, tapi saya rasa mereka pun dikecualikan dalam poin ini. Sebagai sebuah pilihan yang murni individual dan dapat dikatakan memiliki rasionalitas tersendiri, maka pilihan untuk golput menjadi pilihan yang tidak dapat dipengaruhi oleh seruan atau pun perintah orang lain. Kelima, golput dilakukan secara diam-diam atau pun setengah terbuka dengan klaim-klaim perseorangan. Hal ini pun mudah di mengerti, mengingat salah satu sifat utama pemilu adalah rahasia, maka menjaga rahasia untuk golput pun menjadi bagian integral dalam pemilu itu sendiri. Kerahasiaan dalam golput, meskipun tidak menutup kemungkinan terdapat sekelompok orang yang secara terbuka mengakui jika mereka golput, boleh jadi merupakan kebebasan setiap orang untuk mengutarakan pendapatnya atau menutup secara rapat mengenai pilihan tersebut. Di sisi yang lain, saya pun tidak dapat menutup kemungkinan lain: bahwa tertutupnya sikap orang yang memilih boleh jadi dilandasi ketakutan orang tersebut terhadap tekanan pemerintah atau dari anggota partai politik, meskipun rasanya agak berlebihan, terhadap diri mereka, atau ketakutan akan celaan yang datang dari orang lain yang tahu bahwa dirinya golput.

“Ayo Boikot Pemilu”: Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

22

Setelah menjelaskan ciri-ciri golput, saya akan mencoba melihat golput sebagai sebuah gerakan sosial politik khas rakyat. Sebagaimana telah saya jelaskan sebelumnya, golput didefinisikan sebagai pilihan yang dilakukan oleh warga negara yang memiliki hak pilih dan terdaftar sebagai pemilih untuk tidak menggunakan hak pilih mereka, terlepas dari berbagai motif yang melatarbelakangi pilihan tersebut. Meskipun KBBI secara tegas mendefinisikan tujuan golput sebagai wujud protes, namun makna definitif di atas tidak lah mencukupi. Bagi saya, adalah simplifikasi yang berlebihan jika mengaitkan golput hanya sebagai wujud protes, mengingat golput pun memiliki motif lain selain protes. Dalam konteks Indonesia saat ini, rasanya salah satu alasan yang, barangkali, paling banyak digunakan adalah kekecewaan terhadap kinerja legislatif, baik itu DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Kekecewaan ini terjadi setidaknya disebabkan oleh tiga faktor: Pertama, rakyat melihat kinerja legislatif yang lamban dalam banyak hal, baik itu dalam persoalan legislasi maupun lobi-lobi politik. Berbagai kebijakan yang diambil oleh DPR terkesan sangan lamban dan bertele-tele, bahkan cenderung hanya ingin publisitas semata. DPR misalnya tercatat seringkali mengeluarkan wacana hak angket meskipun seringkali berujung antiklimaks. Kritik yang mereka berikan atas kebijakan eksekutif cenderung parsial dan tidak berkelanjutan. Hak angket kenaikan harga BBM misalnya, justru berakhir dengan bungkamnya DPR, hal ini lah yang memicu pada point berikutnya. Kedua, rakyat melihat kinerja legislatif tidak membela kepentingan rakyat keseluruhan, hal ini terlihat dengan adanya berbagai demonstrasi berbagai elemen masyarakat terkait dengan kebijakan perundangan yang dibuat oleh legislatif. Barangkali kebijakan DPR yang paling kontroversial adalah UU Pornografi, sebuah undang-undang yang menyita begitu banyak waktu dan perdebatan, bahkan ketika UU tersebut akhirnya disahkan, yang justru muncul adalah penolakan dari berbagai elemen. Demikian pula dengan UU Badan Hukum Pendidikan yang juga memicu “Ayo Boikot Pemilu”: Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

23

protes keras masyarakat. Muncul sebuah pertanyaan serius: untuk siapa sebenarnya DPR bekerja? Mengingat banyak kebijakan yang disetujui oleh DPR dianggap tidak pro rakyat. Ketiga, rakyat melihat kinerja sekaligus mentalitas buruk legislatif yang terlihat dari banyaknya anggota legislatif (termasuk eksekutif dan yudikatif) yang terlibat kasus pidana korupsi. Berbagai kasus yang muncul sepanjang tahun 2008 telah menyeret beberapa orang anggota legislatif untuk masuk dalam penjara dan sebagian besar lainnya masih dalam proses penyidikan. Kasus alih fungsi hutan lindung, tender kapal laut dan mobil pemadam kebakaran, hingga kasus BLBI dan pemilihan deputi senior BI menyita perhatian yang luar biasa dari publik. Kasuskasus ini memberikan gambaran yang begitu baik mengenai hubungan antara legislatif dengan berbagai pihak yang berkepentingan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh legislatif. Kasus alih fungsi hutan lindung misalnya, memberikan sebuah bukti adanya kongkalingkong yang terjadi antara pemerintah daerah dengan DPR. Hal juga mengejutkan adalah dugaan suap yang diberikan Deputi Senior BI, hal yang juga memberikan bukti hubungan gelap antara dua lembaga negara. Keseluruhan faktor tersebut memicu munculnya perasaan kecewa yang bermula dari kesenjangan antara harapan rakyat dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Masyarakat mengalami, apa yang disebut Gurr sebagai, deprivasi relatif. Relative depriviation atau deprivasi relatif memiliki prima causa yang muncul akibat adanya jurang atau kesenjangan yang semakin lebar antara harapan dan kenyataan yang ada. Adanya deprivasi relatif menyebabkan kekecewaan sebagian besar penduduk sehingga menyebabkan mereka memilih untuk tidak menggunakan hak pilih mereka. Di sisi yang lain, golput sebagai hak yang dimiliki oleh setiap warga negara tidak lah diatur dalam perundang-undangan. Hal ini tentu saja membawa implikasi “Ayo Boikot Pemilu”: Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

24

yang lebih jauh: pilihan untuk menjadi golput tidak lah menyalahi secara hukum sehingga tidak mungkin diambil tindakan hukum. Hal ini terlihat dengan tidak adanya aturan yang mengikat dalam perundang-undangan. Barangkali salah satu point yang harus diperhatikan adalah aturan yang berlaku bukan pada individu yang memilih untuk golput, melainkan pada individu yang secara sengaja mengajak atau memberikan imbalan kepada orang untuk melakukan golput. UU No. 10 Tahun 2008 mengenai pemilu DPR, DPD dan DPRD misalnya, secara langsung tidak lah menyinggung mengenai larangan untuk tidak menggunakan hak pilih. Dalam pasal 244 point (1) dan (2) misalnya, hanya lah tertulis bahwa “pemilu diselenggarakan dengan partisipasi masyarakat”, di mana “partisipasi masyarakat” dilakukan “dalam bentuk sosialisasi Pemilu, pendidikan politik bagi pemilih....”. Lebih jauh, dalam UU tersebut secara tegas melarang pada pelaksana kampanye untuk menjanjikan atau memberikan sejumlah uang untuk tidak menggunakan hak pilihnya seperti yang terdapat dalam Pasal 87, sedangkan hukuman, sebagaimana tertera dalam Pasal 286, atas pelaksana kampanye atau perseorangan yang secara jelas memberikan sejumlah uang kepada orang untuk tidak memberikan hak pilihnya dipidana dengan “pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp.6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp.36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).” Munculnya kekecewaan, termasuk juga kemarahan, protes, dan motif lainnya, juga tidak adanya aturan yang secara tegas melarang seseorang untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau golput menyebabkan setiap warga negara yang memiliki hak pilih sekaligus terdaftar sebagai pemilih dapat secara leluasa memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya dan bergabung dalam kelompok golput. Hal ini tentu saja membawa satu implikasi yang lebih serius: jika golput tidak dilarang secara legal formal boleh jadi angka untuk golput akan semakin bertambah. Barangkali hal ini pula yang menjadi persoalan, atau setidaknya dipersoalkan oleh para elite politik. “Ayo Boikot Pemilu”: Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

25

Barangkali ketakutan para elite politik bukan lah melihat golput sebagai wujud ketidakpedulian rakyat terhadap perkembangan demokrasi, mengingat saya sendiri tidak melihat adanya kepedulian yang sungguh-sungguh yang dimiliki oleh legislatif terhadap nasib rakyat, namun lebih melihat golput sebagai sebuah wujud ketidakpercayaan rakyat terhadap mereka. Dalam konteks ini, rasanya tidak berlebihan jika ketakutan tersebut melihat golput yang dilakukan oleh rakyat sebagai sebuah gerakan sosial politik, yang dikhawatirkan akan bangkit dan menentang mereka dengan mempertanyakan, bukan keabsahan melainkan, posisi mereka yang dianggap mewakili atau sebagai representasi dari rakyat. Hal ini, barangkali, tidak lah terlalu mengejutkan, terutama jika melihat tingginya angka golput secara tersirat mempertanyakan ‘keterwakilan’ seseorang dalam lembaga legislatif. Dalam kasus seperti ini lah golput dilihat dan dijelaskan, yakni sebagai gerakan khas rakyat yang dapat dipergunakan oleh semua orang sebagai wujud protes atau kekecewaan atas kondisi mereka. Sebagai sebuah gerakan sosial politik, golput merupakan sebuah ‘silent movement’, sebuah gerakan sosial politik yang tak bersuara. Sebuah gerakan sosial politik khas rakyat melalui bentuk protes perseorangan, yang dalam skala tertentu menjadi protes kolektif, terhadap kondisi politik yang selama ini tidak memperhatikan keadaan mereka. Tentu saja hal ini dapat dilihat dengan wujud dan pelaksanaan golput yang hanya datang ketika pemilihan umum, baik itu pemilihan legislatif maupun eksekutif, sehingga sebagai sebuah gerakan, boleh jadi golput sebagai gerakan sosial politik hanya lah bersifat singkat. Meskipun singkat, namun benih perasaan kecewa tentu saja bersifat lebih lama. Golput dengan demikian merupakan akumulasi kekecewaan seseorang yang termanifestasi melalui sebuah pilihan yang jelas dan rasional sebagai wujud protes terhadap keadaan yang melingkupi dirinya; golput merupakan lonjakan perasaan yang muncul akibat ketidaksukaan seseorang terhadap legislatif dan eksekutif yang bersifat laten, sebuah “Ayo Boikot Pemilu”: Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

26

kemunculan yang boleh jadi tidak lah bersifat spontan, sehingga ajang pemilu hanya lah momen yang tepat untuk menyuarakan protes mereka melalui tindakan golput. Saya pun harus mengakui, bahwa dalam banyak kasus, golput muncul sebagai akibat ketidakmampuan KPU dalam mendata semua warga negara yang memiliki hak pilih dan memberikan surat undangan untuk memilih kepada mereka. Kesalahan seperti ini boleh jadi menyumbang porsi yang cukup banyak ketika kita berbicara mengenai golput, hanya saja, lagi-lagi, saya cenderung untuk menempatkan kasus semacam ini bukan sebagai bentuk golput, mengingat golput merupakan pilihan yang diambil oleh setiap warga negara yang memiliki hak pilih dan terdaftar sebagai pemilih namun memilih untuk tidak menggunakan hak pilih yang dimilikinya. Golput sebagai sebuah gerakan sosial politik dengan demikian lebih mudah dilihat: yakni sebagai bentuk protes perseorangan, yang dalam tingkatan tertentu memiliki kuantitas yang signifikan secara kolektif, terhadap kondisi yang ada atau kekecewaan yang muncul sebagai akibat adanya kondisi deprivasi relatif yang ada dalam dirinya. Jika golput dilihat dalam konteks ini, tidak lah terlalu sulit melihat golput sebagai wujud riil gerakan sosial politik rakyat yang menemukan momentum sekaligus cara penyaluran yang tepat dan signifikan, yakni dengan tidak menggunakan hak pilihnya. Tentu saja sebagai sebuah gerakan, golput memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Sebagaimana telah saya jelaskan sebelumnya, salah satu kelebihan golput adalah pelaksanaannya yang dapat dilakukan ole semua orang dan kemampuan golput untuk mementahkan klaim dukungan mayoritas rakyat yang biasanya dimunculkan oleh para pemenang pemilu, baik kepala daerah maupun partai politik. Dengan tidak adanya klaim tersebut, maka golput pun menjelma sebagai mimpi buruk setiap pemenang pemilu mengenai posisi mereka dalam pemerintah ketika “Ayo Boikot Pemilu”: Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

27

berhadapan dengan jumlah riil pendukung mereka. Di sisi yang berbeda, golput memiliki sejumlah kekurangan. Salah satu kekurangan golput sebagai sebuah gerakan sosial adalah golput dilakukan dalam waktu sangat singkat dan tertutup sehingga sulit untuk melakukan konsolidasi gerakan secara penuh. Kedua hal ini tentu saja merupakan gambaran mengenai kekuatan golput sebagai sebuah gerakan sosial politik. Dalam konteks yang lebih jauh, golput merupakan kekuatan sosial politik khas rakyat yang merupakan sebuah tindakan individual, dalam cakupan yang lebih besar boleh jadi dikatakan tindakan kolektif, yang dilaksanakan dengan cara menolak memberikan suara dalam pemilihan umum. Terlepas dari berbagai motif yang melandasi tujuan untuk golput itu sendiri, golput merupakan mosi tidak percaya yang dilakukan oleh masyarakat, di mana mosi ini tentu saja dilakukan dengan cara yang mudah di mengerti oleh rakyat. Mosi bahkan bertindak lebih jauh, menyebarkan ketakutan di kalangan elite politik mengenai posisi mereka. Meskipun dapat dianggap mengganggu kestabilan politik dan perkembangan demokrasi di Indonesia, namun golput merupakan salah satu senjata, kalau tidak mau dikatakan sebagai satu-satunya, yang mampu mengontrol pemerintahan dan partai politik melalui ketakutan atas ketidakpercayaan masyarakat, di samping adanya fakta bahwa melalui golput lah rakyat dapat menunjukkan kekuatan politiknya tanpa khawatir dianggap sebagai usaha untuk menggoyang kekuatan pemerintah.

Catatan tentang golput, penutup Barangkali akan sangat sulit untuk menjadikan golput sebagai sebuah gerakan sosial politik sebagai sebuah wujud gerakan massal yang terlihat dengan jelas, setidaknya secara kuantitas. Meskipun demikian, tidak berarti golput tidak memiliki kekuatan massa sama sekali. Adanya kesempatan yang sama bagi setiap “Ayo Boikot Pemilu”: Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

28

warga negara yang terdaftar sebagai pemilih untuk golput, sekaligus kemungkinan adanya kekecewaan terhadap lembaga legislatif dan eksekutif yang bersifat universal, menjadi pendorong utama setiap orang untuk memilih golput dengan menolak memberikan hak pilihnya dalam pemilihan umum. Di sisi yang lain, meskipun suara golput kemungkinan akan sangat besar, sangat sulit untuk mengumpulkan mereka yang golput dan menentukan kesepakatan bersama dalam membentuk sebuah gerakan sosial politik. Jika hal tersebut sulit dilakukan, adalah lebih mustahil untuk mengubah sebuah keputusan mengenai siapa yang berhak maju sebagai eksekutif dan legislatif. Hal ini lah yang menyebabkan sebagai sebuah gerakan, boleh jadi gerakan golput tidak lah sempurna. Meskipun demikian, golput sangat efektif sebagai senjatanya orang yang lemah, sebab hanya melalui golput lah seseorang yang selama ini terpinggirkan secara politik menyuarakan protes mereka. Hal ini pula lah yang menyebabkan golput, setidaknya bagi saya, sebagai sebuah silent movement. Sebuah gerakan yang terdiam cukup lama sambil menunggu waktunya untuk bangkit dan menuntut hak yang selama ini terrenggut dari mereka. Surabaya, 03 Januari 2009

Kepustakaan: Bottomore, T. (2008) “Marxism” dalam William Outhwaite (ed.) Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern. Edisi kedua. Jakarta: Kencana. Hlm. 495-500 Boudreau, V. (2002). “State Repression and Democracy Protest in Three Southeast Asian Countries” dalam David S. Meyer, Nancy Whittier, dan Belinda Robnett (eds.) Social Movements: Identity, Culture, and the State. New York: Oxford University Press. Hlm. 28-46 Hoffer, E. (1993). Gerakan Massa. Cetakan kedua. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

“Ayo Boikot Pemilu”: Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

29

Kartodirdjo, S. (984a). Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya _________________ (1984b). Ratu Adil. Jakarta: Sinar Harapan Koopmans, R. (2004). “Protest in Time and Space: The Evolution of Waves and Contention” dalam David A. Snow, Sarah A. Soule dan Hanspeter Kriesi (eds.) The Blackwell Companion to Social Movements. Malden, MA: Blackwell. Hlm. 19-46 Lucas, A.E. (1989). Peristiwa Tiga Daerah, Revolusi Dalam Revolusi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti Maathai, W. (2006). The Green Belt Movement, Sharing the Approach and Experience. New York: Lantern Books Miller, B.A. (2000 [1957]). Geography and Social Movements: Comparing Antinuclear Activism in the Boston Area. Minneapolis, MN: University of Minnesota Press Peet, R. dan M. Watts (1996). “Liberation Ecology: Development, Sustainability, and Environment in an Age of Market Triumphalism” dalam Richard Peet dan Michael Watts (eds.) Liberation Ecology: Environment, Development, Social Movements. London and New York: Routledge. Hlm. 1-45 Renon, K.D. (2008). “Social Movement” dalam William Outhwaite (ed.) Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern. Edisi kedua. Jakarta: Kencana. Hlm. 783-786 Roosa, J. (2008). Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra Scott, J. (2000). Senjatanya Orang-Orang yang Kalah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Shiraishi, T. (1997). Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti Snow, D.A., S.A. Soule and H. Kriesi (2004). “Mapping The Terrain” dalam David A. Snow, Sarah A. Soule, dan Hanspeter Kriesi (eds.) The Blackwell Companion to Social Movements. Malden, MA: Blackwell. Hlm. 3-15 Steggenborg, S. (2005). “Social Movement Theory” dalam George Ritzer (ed.) Encyclopedia of Social Theory, vol.II. California: Sage Publication. Hlm. 753-759 Susanti, F.R (2007). Kembang-Kembang Genjer. Yogyakarta: Jejak

“Ayo Boikot Pemilu”: Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

30

Wall,

D. (1999). Earth First! and the Anti-Road Movement, Radical Environmentalism and Comparative Social Movements. London and New York: Routledge

Wieringa, S.E. (1998). Kuntilanak Wangi, Organisasi-Organisasi Perempuan Indonesia Sesudah 1950. Jakarta: Kalyanamitra Undang-Undang: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden

“Ayo Boikot Pemilu”: Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

31

Related Documents

Ayo Boikot Pemilu
December 2019 13
Boikot Israel
December 2019 26
Pemilu
August 2019 51
Pemilu
May 2020 36
Brochure Boikot
May 2020 18
Ayo Ringona.docx
May 2020 22

More Documents from "Vlog4all"