ANALISIS JURNAL Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Komunikasi Kesehatan
“Analisis determinan Wanita Pekerja Seksual dengan kejadian Infeksi Menular Seksual”
Disusun oleh :
Aulia Rizky Maulida
1610912220004
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru 2018
DAFTAR ISI Hal
COVER ...........................................................................................................
i
DAFTAR ISI ...................................................................................................
ii
BAB I JURNAL UTAMA ..............................................................................
1
BAB II ANALISIS JURNAL ........................................................................
24
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan .........................................................................................
28
B. Saran ...................................................................................................
28
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I JURNAL UTAMA
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
BAB II ANALISIS JURNAL Kemenkes RI (2013) Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat diseluruh dunia baik negara maju industri, maupun negara berkembang. Hal ini disebkabkan karena infeksi menular seksual merupakan satu diantara penyebab penyakit utama di dunia yang telah memberikan dampak luas pada masalah kesehatan berupa kesakitan dan kematian, masalah sosial dan ekonomi di banyak negara termasuk Indonesia (1). Naila Kamila (2009) dan Dewi Rohkmah (2014) menyatakan Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan berbagai infeksi yang dapat menular dari satu orang ke orang yang lain melalui kontak seksual. Infeksi Menular Seksual (IMS) lebih berisiko bila melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan baik melalui vagina, oral maupun anal. Salah satu penyakit dari IMS yang belum dapat disembuhkan adalah HIV/AIDS. Faktor terjadinya penyebaran HIV/AIDS disebabkan karena perilaku seks bebas, merosotnya nilai agama, gaya hidup, pekerjaan, dan gagalnya membina rumah tangga (2). World Health Orgaization(WHO) memperkirakan setiap tahun terdapat 350 juta penderita IMS di negara-negara berkembang. Hal ini menjadikan infeksi dan komplikasi IMS merupakan salah satu dari lima alasan utama tingginya angka kesakitan HIV/AIDS di Negara-negara berkembang. Dengan kata lain IMS merupakan gerbang utama terjadinya kejadian HIV/AIDS. Menurut United States Bureau of Census pada 1995 mengemukakan bahwa di daerah yang tinggi prevalensi IMS-nya, ternyata memiliki prevalensi HIV/AIDS yang tinggi pula dan banyak ditemukan perilaku seksual berisiko tinggi (3). HIV adalah masalah kesehatan terbesar di dunia. Kasus HIV di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. HIV, singkatan dari Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia yang
24
25
menyebabkan sistem kekebalan tubuh melemah dan penderita mudah terkena berbagai penyakit. Kondisi ini disebut AIDS. HIV dapat ditularkan melalui hubungan seks dengan orang yang terinfeksi. Hubungan seksual yang tidak aman berisiko tertular HIV, sehingga Wanita Pekerja Seksual yang menjajakan dirinya untuk melakukan hubungan seksual dengan imbalan uang berisiko tinggi tertular HIV. Prostitusi mengambil andil besar dalam menyumbang prevalensi HIV di Indonesia, dimana 16,88% dari seluruh penduduk Indonesia yang terjangkit HIV disebabkan oleh prostitusi (4). Puspitaningtyas (2016) menyatakan tingginya jumlah Wanita Pekerja Seks (WPS) dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain masalah ekonomi, psikologis, pendidikan yang rendah sehingga mudah terjerumus ke dalam dunia pelacuran. Menurut Syamsuddin (2015) bahwa lingkungan yang mudah untuk mengakses daerah lokalisasi, serta tekanan ekonomi keluarga dapat menyebabkan wanita menjadi pekerja seksual (5). Remaja merupakan masa dimana mereka mencontoh apa yang dilakukan disekitar mereka, dan cenderung mencoba hal-hal baru serta berkeinginan seperti orang dewasa. Remaja akan mudah terpapar oleh berbagai kegiatan prostitusi seperti melihat perempuan berpakaian terbuka, orang-orang yang secara terbuka berpelukan, berciuman, dan saling merayu. Sehingga tidak menutup kemungkinan, seringnya remaja terpapar dengan perilaku seksual dari para Wanita Pekerja Seks (WPS) membuat remaja akan terjerumus bahkan melakukan pekerjaan sebagai WPS (Wanita Pekerja Seks) (6). Jurnal utama menyatakan bahwa penyebaran Infeksi Menular Seksual (IMS) sangat dipengaruhi oleh pola perilaku dan gaya hidup seseorang. Hal ini sejalan dengan penelitian dari Nyagero et al (2012) yang menyatakan bahwa perubahan perilaku dan faktor yang berhubungan dengan wanita pekerja seksual adalah faktor sosiodemografi yang meliputi umur, tingkat pendidikan, agama, status pernikahan,
26
jumlah anak, lama menjadi pekerja seksual, serta faktor pengetahuan tentang HIV/AIDS, pekerjaan alternatif selain menjadi pekerja seksual, tidak menggunakan atau menggunakan kondom secara tidak konsisten (7). Rendahnya keterampilan WPS dalam melakukan negosiasi penggunaan kondom terhadap pelanggan berpengaruh pada konsistensi penggunaan kondom. Konsistensi penggunaan kondom yang rendah berpengaruh pada upaya pemerintah dalam melakukan pencegahan IMS (8). Hasil survey perilaku BPS dan Depkes 2003 dalam Yanti (2011) menunjukkan bahwa kurang dari 10% pelanggan yang memakai kondom secara konsisten pada transaksi seks. Padahal berdasarkan estimasi Depkes (2003) dari 190.000-270.000 WPS saja sudah tejadi 710 juta transaksi seks per tahun, sehingga dapat diperkirakan berapa banyak transaksi seks yang terjadi bila jumlah WPS lebih dari itu. Dan bisa dibayangkan berapa jumlah transaksi seks yang beresiko menularkan PMS dengan tingkat penggunaan kondom yang rendah (kurang dari 10%). Kondisi ini membuka kemungkinan terjadinya saling tukar penyakit seksual maupun HIV/AIDS (9). Wanita Pekerja Seks (WPS) menjadi salah satu sasaran program penanggulangan HIV/AIDS. Karena meskipun HIV/AIDS sudah mulai merambah masyarakat umum, WPS memiliki permasalahan yang lebih kompleks karena WPS memiliki kerentanan yang tinggi terhadap HIV/AIDS. Salah satu bentuk upaya penanggulanangan HIV tidak hanya melalui medis namun juga lewat psikososial dalam bentuk pendeteksian dini status HIV seseorang melalui konseling dan tes sukarela HIV/AIDS, bukan dipaksa ataupun diwajibkan. Para Pekerja Seks dan pelanggannya menjadi salah satu awal penularan HIV/AIDS ke masyarakat umum dari kelompok berisiko (10). BKKBN (2007) menyatakan permasalahan tingginya kasus penyakit menular seksual salah satunya disebabkan oleh kurangnya informasi tentang penyakit menular seksual. Fitriani S (2011) menyatakan pendidikan kesehatan bertujuan untuk
27
menambah kebiasaan hidup sehat agar dapat bertanggung jawab terhadap kesehatan diri sendiri serta lingkungannya serta ikut aktif didalam usaha-usaha kesehatan. Selain itu, pendidikan kesehatan bertujuan memberikan pengetahuan tentang prinsip dasar hidup sehat, menimbulkan sikap dan perilaku hidup sehat, dan membentuk kebiasaan hidup sehat (11). KPA Nasional (2006) menyatakan pemerintah pada saat ini sudah membuat program penanggulangan HIV/AIDS di kabupaten/kota, di mana ada 4 program yang dilaksanakan yaitu (1) Program komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) sebagai upaya komunikasi perubahan perilaku (Behavior Change Communication), (2) Program kondom 100%, (3) Program Voluntary Conseling and Testing (VCT) yaitu jumlah dan mutu pelayanan untuk konseling dan testing sukarela, serta (4) Program perawatan, pengobatan, dan dukungan pada ODHA. Yanti (2011) mengatakan pencegahan PMS yang digalakkan pemerintah adalah konsep “ABC” di mana abstinence melakukan hubungan seksual sama sekali sebelum menikah, be faithfully (bersikap setia pada pasangan), serta penggunaan kondom. Langkah terakhirlah yang dapat digunakan untuk mencegah PMS pada WPS. Namun, dengan minimnya posisi tawar para WPS maka kemungkinan kecil bisa mereka meminta pelanggannya untuk menggunakan kondom pada transasksi seks (9).
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah satu diantara pnyebab penyakit utama di dunia yang memberikan dampak luas bagi masalah kesehatan berupa kesakita, kematian, maalah sosial dan ekonomi. IMS lebih berisiko pada mereka yang melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan, karenanya IMS salah satu penyebab tertingginya HIV/AIDS. Remaja akan mudah terpapar oleh berbagai kegiatan prostitusi seperti melihat perempuan berpakaian terbuka, orang-orang yang secara terbuka berpelukan, berciuman, dan saling merayu. Sehingga tidak menutup kemungkinan, seringnya remaja terpapar dengan perilaku seksual dari para Wanita Pekerja Seks (WPS) membuat remaja akan terjerumus bahkan melakukan pekerjaan sebagai WPS (Wanita Pekerja Seks). Oleh karena itu, salah satu sasaran program penanggulangan HIV/AIDS adalah pada Wanita Pekerja Seks (WPS).
B. Saran Adapun saran yang diberikan terkait kesehatan reproduksi diantaranya: 1. Kepada Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) dapat bekerjasama dengan Dinas Kesehatan untuk memberikan penyuluhan dan pendidikan kesehatan secara rutin keoada para Wanita Pekerja Seksual guna meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku pencegahan IMS. 2. Bagi remaja diharapkan meningkatkan pengetahuan terkait kesehatan reproduksi dan menghindari berhubungan seksual sebelum menikah. 3. Bagi orangtua diharapkan memberikan informasi dan mengawai kepada mereka apabila sudah memasuki usia.
28
DAFTAR PUSTAKA 1. Suci A, Rihiantoro T, Astuti T. Hubungan pengetahuan Wanita Pekerja Seksual dengan kejadian Infeksi Menular Seksual. Jurnal keperawatan 2014; 10(2): 197-202. 2. Aryani D, Mardiana, Ningrum DNA. Perilaku pencegahan Infeksi Menular Seksual pada Wanita Pekerja Seksual kabupaten Tegal. Jurnal kesehatan masyarakat 2015; 10(2): 160-168. 3. Utami YS, CAhyo K, Indraswari R. faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku penggunaan kondom pada klien Wanita Pekerja Seks (WPS) dalam upaya pencehahan Infeksi Menular Seksual (IMS) di kelurahan Bandungan. Jurnal kesehatan masyarakat 2016; 4(3): 1113-1120. 4. Alief F, Shaluhiyah Z, Prabamurti PN. Implementasi area wajib kondom terhadap Wanita Pekerja Seksual di resosialisasi Argorejo kota Semarang. Jurnal kesehatan masyarakat 2017; 5(5): 979-989. 5. Johar SA, Demartoto a, Wekadigunawan CSP. Factors Associated with Women’s Decision to Become Commercial Sex Workers in Banjarsari, Surakarta, Central Java. Journal of Epidemiology and Publich Health 2018; 3(1): 72-82. 6. Putri S, Shaluhiyah Z, Prabamutri PN. Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual remaja yang tinggal di lingkungan resosialisasi Argorejo kota Semarang. Jurnal kesehatan masyarakat 2017; 5(5): 1092-1101. 7. Ambarsari MH, Demartoto A, Wekadigunawan CSP. Factors Associated with Safe Sex Behavior Among Commercial Sex Workers in Banjarsari, Surakarta, Central Java. Journal of Epidemiology and Public Health 2018; 3(1): 60-71. 8. Tamara Metha Dwi. Faktor yang memengaruhi keterampilan WPS dalam melakukan praktik negosiasi penggunaan kondom sebagai upaya mencegah IMS pada WPSdi eks lokalisasi Saritem Bandung tahun 2014. Jurnal bidan “Midwife Journal” 2015; 1(1): 16-26. 9. Susanti R dan Normasari C. Faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan kondom untuk pecegahan PMS pasa WPS di lokalisasi kabuoaten Semarang. Jurnal keperawatan Maternitas 2015; 3(2): 82-89. 10. Wulandari SI, Cahyo K, Syamsulhuda, Widagdi L. Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku Wanita Pekerja Seks (WPS) untuk melakukan VCT di lokalisasi Tegal Panas kabupaten Semarang. Jurnal kesehatan masyarakat 2015; 3(1): 669-678. 11. Darmawan Dadang. Pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan Pekerja Seks Komersial tentang Penyakit Menular Seksual di desa Cikamuning kecamtan Padanglarang kabupaten Bandung Barat. Jurnal kesehatan kartika 2013; 8(1): 56-63.