Asuhan Keperawatan Diare.docx

  • Uploaded by: Erfira
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Asuhan Keperawatan Diare.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,653
  • Pages: 35
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit diare menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting karena merupakan penyumbang utama ketika angka kesakitan dan kematian anak di berbagai Negara termasuk Indonesia. Diperkirakan lebih dari 1,3 milyar serangan dan 3,2 juta kematian per tahun pada balita disebabkan oleh diare. Diare adalah perubahan frekuensi dan konsitensi tinja. WHO pada tahun 1984 mendefinisikan diare sebagai berak air tiga kali atau lebih dalam sehari semalan (24 jam) para ibu mungkin mempunyai istilah tersendiri seperti lembek, cair, berdarah, berlendir, atau dengan muntah (muntaber). Penting untuk menanyakan kepada orang tua mengenai frekuensi dan konsitensi tinja anak yang dianggap sudah tidak normal. Diare merupakan penyebab utama kematian anak-anak berusia kurang dari lima tahun (balita) secara global (Pahwa, 2010). Sekitar lima juta anak di seluruh dunia meninggal karena diare akut. Di Indonesia pada tahun 70-80 an, prevalensi penyakit diare sekitar 200-400/1000 penduduk pertahun, dari angka prevalensi tersebut 70-80% menyerang anak di bawah usia lima tahun (balita). Golongan umur ini mengalami 2-3 episode diare pertahun, diperkirakan kematian anak akibat diare sekitar 200-250 ribu setiap tahunnya. Diare dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah keadaan lingkungan dan perilaku masyarakat (Widoyono, 2008). Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan sabun, terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum menyiapkan makanan, sebelum menyuapi makan anak dan sebelum makan, mempunyai dampak menurunkan angka kejadian diare sebesar 47% (Kemenkes RI, 2011).

B. Rumusan Masalah 1. Apakah pengertian dari penyakit diare?

1

2. Bagaimana etiologi dan cara penularan pada diare? 3. Bagaimana patofisiologi terjadinya diare? 4. Bagaimana manifestasi klinis penyakit diare? 5. Sebutkan stadium demam pada diare? 6. Apa saja komplikasi dan pemeriksaan penunjang pada diare? 7. Bagaimana penatalaksanaan dan pencegahan pada diare? 8. Bagaimana monitoring pemberian cairian pada diare? 9. Bagaimana asuhan keperawatan pada diare?

C. Tujuan 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui asuhan keperawatan tropis infeksi menular akibat bakteri pada diare. 2. Tujuan Khusus Untuk mengetahui konsep dasar penyakit diare.

2

BAB II KONSEP DASAR PENYAKIT A. Pengertian Diare menurut Mansjoer (2000) adalah frekuensi defekasi encer lebih dari 3 x sehari dengan atau tanpa daerah atau tinja yang terjadi secara mendadak berlangsung kurang dari tujuh hari yang sebelumnya sehat. Diare adalah keadaan buang air besar lebih dari 3 kali dalam sehari dengan konsistensi cair atau lunak (NANDA, 2015). Diare merupakan salah satu penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas di negara yang sedang berkembang dengan kondisi sanitasi lingkungan yang buruk, persediaan air yang tidak adekuat, kemiskinan, dan pendidikan yang terbatas (WHO, 2013). Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 g atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah. B. Etiologi dan Cara Penularan Faktor infeksi diare menurut Ngastiyah (2005). 1. Infeksi enteral

: Infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab

utama diare. a. Infeksi bakteria : vibrio, E. coli, salmonella campilo baster. b. Infeksi virus

:

Rotavirus,

calcivilus,

Enterovirus,

Adenovirus,

Astrovirus. c. Infeksi parasite : cacing (ascaris, oxyuris), protozoa (entamoba histolica, giardia lambia), jamur (candida aibicans).

3

2. Infeksi Parenteral : Infeksi diluar alat pencernaan makanan seperti Tonsilitis, broncopneumonia, Ensefalitis, meliputi : a. Faktor Malabsobsi

: karbohidrat, lemak, protein

b. Faktor makanan

: basi, racun, alergi.

c. Faktor psikologis

: rasa takut dan cemas.

Cara Penularan Penularan

terjadi

terutama

karena

mengkonsumsi

makanan

yang

terkontaminasi seperti: tercemar dengan Salmonella, hal ini paling sering terjadi karena daging sapi yang tidak dimasak dengan baik (terutama daging giling) dan juga susu mentah dan buah atau sayuran yang terkontaminasi dengan kotoran binatang pemamah biak. Seperti halnya Shigella, penularan juga terjadi secara langsung dari orang ke orang, dalam keluarga, pusat penitipan anak dan asrama yatim piatu. Penularan juga dapat melalui air, misalnya pernah dilaporkan adanya KLB sehabis berenang di sebuah danau yang ramai di kunjungi orang dan KLB lainnya disebabkan oleh karena minum air PAM yang terkontaminasi dab tidak dilakukan klorinasi dengan semestinya. C. Manifestasi Klinik Diare akut sering disertai dengan tanda dan gejala klinik lainnya seperti muntah, demam, dehidrasi dan gangguan elektrolit. Keadaan ini merupakan gejala infeksi dan disebabkan oleh bakteri, virus dan parasite perut. Diare juga dapat terjadi bersamaan dengan penyakit infeksi lainnya seperti malaria dan campak, begitu juga dengan keracunan kimia. Perubahan flora usus yang dipicu antibiotic dapat menyebabkan diare akut karena pertumbuhan berlebihan dan toksin dari Clostridium diffeciel. Beberapa tanda dan gejala tentang diare menurut Suriadi (2001) antara lain: 1. Sering BAB dengan konsistensi tinja cair atau encer. 2. Terdapat luka tanda dan gejala dehidrasi, turgor kulit jelek (elastisitas kulit menurun) ubun-ubun dan mata cekung, membran mukosa kering. 4

3. Kram abdominal. 4. Demam. 5. Mual dan muntah. 6. Anoreksia. 7. Lemah. 8. Pucat. 9. Perubahan TTV, nadi dan pernafasan cepat. 10. Menurun atau tidak ada pengeluaran urin.

5

D. Patofisiologi 1. Faktor Mal Absobsi Diare akut yang disebabkan oleh malabsorbsi biasanya adalah malabsobsi terhadap laktosa dan malabsobsi terhadap laktosa dan lemak. Penyabab diare ini sering berlanjut menjadi diare kronik, karena adanya underlying disease yang memerlukan penanganan khusus. 2. Faktor makanan a. Alergi makanan/minuman Beberapa jenis makanan/minuman dapat menimbulkan diare akut pada orang tertentu yang rentan yang bersifat indifidual. Biasanya diare timbul dalam beberapa dam hingga beberapa hari setelang mengkonsumsi makanan/minuman tersebut. b. Keracunan Diare akut yang disebabkan oleh keracunan makanan atau minuman biasanya berakibatan dengan kontaminasi makana/minuman oleh berbagai jenis bakteri atau jamur yang menghasilkan toksin atau diare. Disamping menimbulkan diare juga sering disertai dengan muntah serta dehidrasi. 3. Faktor Fisiologi a. Stress emosional Kondisi itu bersifat individual yang mudah mengalami stress dengan manifestasi diare akut. Biasnya bersifat sementara dan hilang tanpa pengobatan, bila factor stress sudah teratasi. Diare yang terjadi merupakan proses dari transpor aktif akibat rangsangan toksin bakteri terhadap elektrolit ke dalam usus halus, sel dalam mukosa intestinal mengalami iritasi dan meningkatnya sekresi cairan dan elektrolit. Mikroorganisme yang masuk akan merusak sel mukosa intestinal sehingga mengurangi fungsi permukaan intestinal. Perubahan kapasitas intestinal dan terjadi gangguan absorbsi cairan dan elektrolit. Peradangan akan menurunkan kemampuan intestinal untuk mengabsorbsi cairan dan elektrolit dan bahan-bahan makanan ini terjadi pada

6

sindrom malabsorbsi. Peningkatan motilitas intestinal dapat mengakibatkan gangguan absorbsi intestinal. Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare ada 3 macam yaitu: 1. Gangguan Osmotik Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan dalam rongga yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare. 2. Gangguan sekresi akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi air dan elektrolit kedalam rongga usus dan selanjutnya timbul diare karena terdapat peningkatan isi rongga usus. 3. Gangguan motilitas usus Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul diare. Sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri kambuh berlebihan, selanjutnya timbul diare pula. Dari ketiga mekanisme diatas menyebabkan : 1. Kehilangan air dan elektrolit (terjadi dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan keseimbangan asam basa (asidosis metabolik hipokalemia). 2. Nutrisi kurang dari kebutuhan akibat kelaparan (masukan kurang, pengeluaran bertambah).

7

Faktor Mal Absorbsi - Karbohidrat - Lemak - Protein

Faktor Psikologi -Rasa takut -Cemas

Faktor Makanan -Makanan besi -Beracun -Alergi makanan

Penyerapan sari-sari makanan dalam saluran pencernaan tidak adekuat

Terdapatnya zat-zat yang tidak diserap

Peradangan isi usus

Gangguan motilitas asus

Gangguan sekresi Tekanan osmotif meningkat

Hiperperistltik Sekresi air dalam elektrolit dalam usus meningkat

Reabsorbsi didalam usus besar terganggu

Kesempatan usus menyerap makanan Merangsang usus mengeluarkan isinya

DIARE

BAB sering dengan konsistensi cair

Kulit disekitar anus lecet dan teriritasi

Cairan yang keluar banyak

Inflamasi saluran pencernaan

Frekuensi defekasi

Agen pirogenic

Mual dan muntah 8

Kemerahan & gatal

Dehidrasi

BAB enter dengan atau tanpa darah

Gangguan pemenuhan cairan & elektrolit

Gangguan eliminasi BAB diare

Suhu tubuh meningkat

Anoreksia

Sering digaruk

Kerusakan integritas kulit

Hipertermi

Nutrisis kurang dari kebutuhan

9

E. Komplikasi & Pemeriksaan Penunjang Beberapa komplikasi dari diare menurut Suriadi (2001) adalah : 1. Hipokalemia (dengan gejala matiorisme hipotoni otot lemah bradikardi perubahan elektrokardiogram). 2. Hipokalsemia 3. Cardiac dysrhythimias akibat hipokalemia dan hipokalsemia. 4. Hiponatremi. 5. Syok hipovalemik. 6. Asidosis 7. Dehidrasi Pemeriksaan penunjang diare menurut Suriadi (2001) adalah : 1. Riwayat alergi pada obat-obatan atau makanan. 2. Pemeriksaan intubasi duodenum. 3. Pemeriksaan elektrolit dan creatinin. 4. Pemeriksaan tinja, PH, Leukosit, glukosa, dan adanya darah. Adapun Pemeriksaan penunjang yang lain menurut Mansjoer (2000) 1. Pemeriksaan tinja : Makroskopis dan mikroskopis PH dan kadar gula juga ada intoleransi gula biarkan kuman untuk mencari kuman penyebab dan uji retensi terhadap berbagai antibiotik. 2. Pemeriksaan darah : perifer lengkap, Analisa Gas Darah (AGD), elektrolit (terutama Na, K, Ca, P Serum pada diare yang disertai kejang). 3. Pemeriksaan kadar ureum dan creatinin darah untuk mengetahui faal ginjal. 4. Duodenal intubation untuk mengetahui kuman penyebab secara kuantitatif dan kualitatif terutama pada diare kronik. F. Penatalaksanaan dan Pencegahan 1. Penatalaksanaan a.

Penatalaksanaan medis menurut Biddulp and Stace (1999) adalah pengobatan dengan cara pengeluaran diet dan pemberian cairan. 10

1) Diare tanpa dehidrasi memerlukan cairan tambahan berupa apapun misalnya air gula, sari buah segar, air teh segar, kuah sup, air tajin, ASI. Jangan memberikan air kembang gula, sari buah air dalam botol karena cairan yang terlalu banyak mengandung gula akan memperburuk diare. 2) Diare dengan dehidrasi sedang memerlukan cairan khusus yang mengandung campuran gula dan garam yang disebut larutan dehidrasi oral ( LRO ). LRO ini dibuat dengan mencampurkan sebungkus garam rehidrasi kedalam 1 liter air bersih. 3) Diare dengan dehidrasi berat memerlukan cairan intravena disamping LRO. b.

Penatalaksanaan keperawatan menurut Nelson (1999) antara lain : 1) Penderita yang dirawat inap harus ditempatkan pada tindakan pencegahan enterik termasuk cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan penderita. 2) Jas panjang bila ada kemungkinan pencernaan dan sarung tangan bila menyentuh barang terinfeksi. 3) Penderita dan keluarganya dididik mengenal cara perolehan entero patogen dan cara mengurangi penularan.

2. Pencegahan Pencegahan diare menurut Pedoman Tatalaksana Diare Depkes RI (2006) adalah sebagai berikut : a.

Pemberian ASI ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya antibodi dan zat- zat lain yang dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare pada bayi yang baru lahir. Pemberian ASI eksklusif mempunyai daya lindung 4 kali lebih besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai dengan susu botol. Flora usus pada bayi-bayi yang disusui mencegah tumbuhnya bakteri penyebab diare (Depkes RI,

11

2006). Pada bayi yang tidak diberi ASI secara penuh, pada 6 bulan pertama kehidupan resiko terkena diare adalah 30 kali lebih besar. Pemberian susu formula merupakan cara lain dari menyusui. Penggunaan botol untuk susu formula biasanya menyebabkan risiko tinggi terkena diare sehingga bisa mengakibatkan terjadinya gizi buruk (Depkes RI, 2006). b. Pemberian Makanan Pendamping ASI Pemberian makanan pendamping ASI adalah saat bayi secara bertahap mulai dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Pada masa tersebut merupakan masa yang berbahaya bagi bayi sebab perilaku pemberian makanan pendamping ASI dapat menyebabkan meningkatnya resiko terjadinya diare ataupun penyakit lain yang menyebabkan kematian (Depkes RI, 2006). 1) Memperkenalkan makanan lunak, ketika anak berumur 4-6 bulan tetapi masih meneruskan pemberian ASI. Menambahkan macam makanan sewaktu anak berumur 6 bulan atau lebih. Memberikan makanan lebih sering (4 kali sehari) setelah anak berumur 1 tahun, memberikan semua makanan yang dimasak dengan baik 4-6 kali sehari dan meneruskan pemberian ASI bila mungkin 2) Memasak atau merebus makanan dengan benar, menyimpan sisa makanan pada tempat yang dingin dan memanaskan dengan benar sebelum diberikan kepada anak (Depkes RI, 2006). c.

Menggunakan air bersih yang cukup Sebagian besar kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur fecal-oral mereka dapat ditularkan dengan memasukkan kedalam mulut, cairan atau benda yang tercemar dengan tinja misalnya air minum, jari-jari tangan, makanan yang disiapkan dalam panci yang dicuci dengan air tercemar (Depkes RI, 2006). Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air yang benar-benar bersih mempunyai resiko menderita diare lebih kecil dibandingkan dengan masyarakat yang tidak mendapatkan air bersih (Depkes RI, 2006). Masyarakat dapat mengurangi resiko terhadap serangan

12

diare yaitu dengan menggunakan air yang bersih dan melindungi air tersebut dari kontaminasi mulai dari sumbernya sampai penyimpanan di rumah (Depkes RI, 2006). Yang harus diperhatikan oleh keluarga adalah : 1) Air harus diambil dari sumber terbersih yang tersedia. 2) Sumber air harus dilindungi dengan menjauhkannya dari hewan, membuat lokasi kakus agar jaraknya lebih dari 10 meter dari sumber yang digunakan serta lebih rendah, dan menggali parit aliran di atas sumber untuk menjauhkan air hujan dari sumber. 3) Air harus dikumpulkan dan disimpan dalam wadah bersih. Dan gunakan gayung bersih bergagang panjang untuk mengambil air. 4) Air untuk masak dan minum bagi anak harus dididihkan (Depkes RI, 2006) d. Pemberian Imunisasi Campak Pemberian imunisasi campak pada bayi sangat penting untuk mencegah agar bayi tidak terkena penyakit campak. Anak yang sakit campak sering disertai diare, sehingga pemberian imunisasi campak juga dapat mencegah diare. Oleh karena itu berilah imunisasi campak segera setelah bayi berumur 9 bulan. e.

Mencuci Tangan Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan sabun, terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum menyiapkan makanan, sebelum menyuapi makanan anak dan sebelum makan, mempunyai dampak dalam kejadian diare (Depkes RI, 2006).

f.

Menggunakan Jamban Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa upaya penggunaan jamban mempunyai dampak yang besar dalam penurunan resiko terhadap penyakit diare. Keluarga yang tidak mempunyai jamban harus

13

membuat jamban, dan keluarga harus buang air besar di jamban (Depkes RI, 2006). Yang harus diperhatikan oleh keluarga : 1) Keluarga harus mempunyai jamban yang berfungsi baik dan dapat dipakai oleh seluruh anggota keluarga. 2) Bersihkan jamban secara teratur. 3) Bila tidak ada jamban, jangan biarkan anak-anak pergi ke tempat buang air besar sendiri, buang air besar hendaknya jauh dari rumah, jalan setapak dan tempat anak-anak bermain serta lebih kurang 10 meter dari sumber air, hindari buang air besar tanpa alas kaki (Depkes RI, 2006). g.

Sarana Pembuangan Air Limbah Air limbah baik limbah pabrik atau limbah rumah tangga harus dikelola sedemikian rupa agar tidak menjadi sumber penularan penyakit. Sarana pembuangan air limbah yang tidak memenuhi syarat akan menimbulkan bau, mengganggu estetika dan dapat menjadi tempat perindukan nyamuk dan bersarangnya tikus, kondisi ini dapat berpotensi menularkan penyakit seperti leptospirosis, filariasis untuk daerah yang endemis filaria. Bila ada saluran pembuangan air limbah di halaman, secara rutin harus dibersihkan, agar air limbah dapat mengalir, sehingga tidak menimbulkan bau yang tidak sedap dan tidak menjadi tempat perindukan nyamuk.

G. Monitoring Pemberian Cairan Salah satu keadaan emergensi pada pasien diare akut adalah keadaan tubuh pasien yang kekurangan cairan akibat diare yang terjadi. Apapun penyebab diare akut, apabila terjadi dehidrasi, maka penanganan utamanya adalah pemberian cairan pengganti secara oral maupun parenteral. Klasifikasi dehidrasi 1. Dehidrasi ringan (kehilangan cairan tubuh kurang dari 5% BB) 2. Dehidrasi sedang (kehilangan cairan tubuh 5-10% BB) 3. Dehidrasi berat (kehilangan cairan tubuh lebih dari 10% BB)

14

Pemeriksaan penunjang pada pasien dehidrasi akibat diaere akut mencakup darah rutin. Dari darah rutin yang perlu diperhatikan adalah nilai hematocrit yang mencerminkan kepekatan darah dalam sirkulasi. Bilai nilai hematocrit tinggi (lebih dari 50%), menunjukkan dehidrasi. Atau terjadi peningkatan nilai hematocrit lebih dari 20% dari nilai hematocrit lebih dari 20% dari nilai sebelumnya.

H. Monitoring Pemberian Cairan Salah satu keadaan emergensi pada pasien diare akut adalah keadaan tubuh pasien yang kekurangan cairan akibat diare yang terjadi. Apapun penyebab diare akut, apabila terjadi dehidrasi, maka penanganan utamanya adalah pemberian cairan pengganti secara oral maupun parenteral. Klasifikasi dehidrasi 4. Dehidrasi ringan (kehilangan cairan tubuh kurang dari 5% BB) 5. Dehidrasi sedang (kehilangan cairan tubuh 5-10% BB) 6. Dehidrasi berat (kehilangan cairan tubuh lebih dari 10% BB) Pemeriksaan penunjang pada pasien dehidrasi akibat diaere akut mencakup darah rutin. Dari darah rutin yang perlu diperhatikan adalah nilai hematocrit yang mencerminkan kepekatan darah dalam sirkulasi. Bilai nilai hematocrit tinggi (lebih dari 50%), menunjukkan dehidrasi. Atau terjadi peningkatan nilai hematocrit lebih dari 20% dari nilai hematocrit lebih dari 20% dari nilai sebelumnya. 1. Pemilihan Cairan Untuk dehidrasi akibat diare akut, pilihan jenis cairan infus adalah Ringer laktat atau Ringer asetat. Bila kedua jenis cairan tersebut tidak ada, dapat juga diberikan larutan NaCl 0,9%, Ringer solution, atau larutan elektrolit komersil lainnya. Hindari pemberian Dekstrosa, karena tidak dapat memperbaiki kehilangan elektrolit yang terjadi 2. Penggantian Cairan dan Elektrolit

15

Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga hidrasi yang adekuat dan keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan dengan rehidrasi oral, dimana harus dilakukan pada semua pasien kecuali yang tidak dapat minum atau yang terkena diare hebat yang memerlukan hidrasi intavena yang membahayakan jiwa.17 Idealnya, cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 g Natrium klorida, dan 2,5 g Natrium bikarbonat, 1,5 g kalium klorida, dan 20 g glukosa per liter air. 2,4 Cairan seperti itu tersedia secara komersial dalam paket-paket yang mudah disiapkan dengan mencampurkan dengan air. Jika sediaan secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi oral pengganti dapat dibuat dengan menambahkan ½ sendok teh garam, ½ sendok teh baking soda, dan 2 4 sendok makan gula per liter air. Dua pisang atau 1 cangkir jus jeruk diberikan untuk mengganti kalium.. Pasien harus minum cairan tersebut sebanyak mungkin sejak mereka merasa haus pertama kalinya.3 Jika terapi intra vena diperlukan, cairan normotonik seperti cairan saline normal atau laktat Ringer harus diberikan dengan suplementasi kalium sebagaimana panduan kimia darah. Status hidrasi harus dimonitor dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan urin, dan penyesuaian infus jika diperlukan. Pemberian harus diubah ke cairan rehidrasi oral sesegera mungkin. 3. Pengobatan Prinsip pengobatan adalah menghilangkan kausa diare dengan memberikan antimikroba yang sesuai dengan etiologi, terapi supportive atau fluid replacement dengan intake cairan yang cukup atau dengan Oral Rehidration Solution (ORS) yang dikenal sebagai oralit, dan tidak jarang pula diperlukan obat simtomatik untuk menyetop atau mengurangi frekwensi diare. Untuk

mengetahui

mikroorganisme

penyebab

diare

akut

dilakukan

pemeriksaan feses rutin dan pada keadaan dimana feses rutin tidak menunjukkan adanya miroorganisme atau ova, maka diperlukan pemeriksaan kultur feses dengan medium tertentu sesuai dengan mikroorganisme yang dicurigai secara klinis dan pemeriksaan laboratorium rutin.

16

Indikasi pemeriksaan kultur feses antara lain, diare berat, suhu tubuh > 38,50C, adanya darah dan/atau lender pada feses, ditemukan leukosit pada feses, laktoferin, dan diare persisten yang belum mendapat antibiotik. Oralit Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah tangga dengan memberikan oralit osmolaritas rendah, dan bila tidak tersedia berikan cairan rumah tangga seperti air tajin, kuah sayur, air matang. Oralit saat ini yang beredar di pasaran sudah oralit yang baru dengan osmolaritas yang rendah, yang dapat mengurangi rasa mual dan muntah. Oralit merupakan cairan yang terbaik bagi penderita diare untuk mengganti cairan yang hilang. Bila penderita tidak bisa minum harus segera di bawa ke sarana kesehatan untuk mendapat pertolongan cairan melalui infus. Pemberian oralit didasarkan pada derajat dehidrasi (Kemenkes RI, 2011). a. Diare tanpa dehidrasi 2) Umur < 1 tahun : ¼ - ½ gelas setiap kali anak mencret 3) Umur 1 – 4 tahun : ½ - 1 gelas setiap kali anak mencret 4) Umur diatas 5 Tahun : 1 – 1½ gelas setiap kali anak mencret b. Diare dengan dehidrasi ringan sedang Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama 75 ml/ kg bb dan selanjutnya diteruskan dengan pemberian oralit seperti diare tanpa dehidrasi. c. Diare dengan dehidrasi berat Penderita diare yang tidak dapat minum harus segera dirujuk ke Puskesmas untuk di infus (Kemenkes RI, 2011) d. Dehidrasi

Dewasa

Anak

Ringan

4%

4%-5%

Sedang

6%

5%-10%

Berat

8%

10%-15%

Rumus Dehidrasi = BB sebelum sakit – BB sesudah sakit

x 100% 17

BB sebelum sakit Diketahui: BB pasien saat sehat : 55 kg BB pasien saat sakit : 53 kg Ditanya

: Derajat dehidrasi

Dehidrasi

= (55-53) x 100% 55 = 3% Maka pasien mengalami Dehidrasi Ringan

Pasien usia 30 tahun datang dengan dehidrasi. BB pasien saat datang 56 kg. Tinggi pasien : 170 cm. Berapa kebutuhan cairan yang dibutuhkan pasien tersebut? Jawab : BB pasien : 56 kg Maka 10 kg pertama : 1000 cc cairan 10 kg kedua

: 500 cc

36 kg terakhir = 20 ml x 36 kg = 720 cc cairan Total cairan yang dibutuhkan = 1000 cc + 500 cc + 720 cc = 2220 ml = 2,2 liter I. Pengkajian Keperawatan 1. Berak-berak dengan frekuensi lebih dari 3 kali konsistensi lunak sampai cair, mual, dan muntah. 2. Terjadi peningkatan suhu tubuh, dan disertai ada atau tidak ada peningkatan nadi, pernafasan. 3. Bila terjadi kekurangan cairan ditandai dengan haus, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit menurun.

18

4. Bila terjadi gangguan biokimia : Asidosis metabolik nafas cepat/dalam (kusmaul), bila banyak kekurangan kalium Aritmia jantung. 5. Bila syok hipovolumik berat ; nadi cepat lebih 120x/menit, tekanan darah menurun sampai dari tak terukur. 6. Pasien gelisah, muka pucat, ujungujung ekstremitas dingin, sianosis. Fokus pengkajian menurut Doenges ( 2000 ) 1. Aktivitas / istirahat a. Gejala : Gangguan pola tidur, misalnya insomnia dini hari, kelemahan, perasaan “hiper” dan ansietas, peningkatan aktivitas/partisipasi dalam latihan-latihan energi tinggi. b. Tanda : Periode hiperaktivitasi, latihan keras terus-menerus. 2. Sirkulasi a. Gejala : Perasaan dingin pada ruangan hangat. b. Tanda : TD rendah takikardi, bradikardia, disritmia. 3. Integritas ego a. Gejala : Ketidakberdayaan/putus asa gangguan (tak nyata) gambaran dari melaporkan diri-sendiri sebagai gendut terus-menerus memikirkan bentuk tubuh dan berat badan takut berat badan meningkat, harapan diri tinggi, marah ditekan. b. Tanda : Status emosi depresi menolak, marah, ansietas. 4. Eliminasi a. Gejala : Diare/konstipasi,nyeri abdomen dan distress, kembung, penggunaan laksatif/diuretik. 5. Makanan, cairan a. Gejala : Lapar terus-menerus atau menyangkal lapar, nafsu makan normal atau meningkat. b. Tanda : Penampilan kurus, kulit kering, kuning/pucat, dengan turgor buruk, pembengkakan kelenjar saliva, luka rongga mulut, luka tenggorokan terusmenerus, muntah, muntah berdarah, luka gusi luas.

19

6. Higiene a. Tanda : Peningkatan pertumbuhan rambut pada tubuh, kehilangan rambut ( aksila/pubis ), rambut dangkal/tak bersinar, kuku rapuh tanda erosi email gigi, kondisi gusi buruk 7. Neurosensori a. Tanda : Efek depresi ( mungkin depresi ) perubahan mental ( apatis, bingung, gangguan memori ) karena mal nutrisi kelaparan. 8. Nyeri / kenyamanan a. Gejala : Sakit kepala. 9. Keamanan a. Tanda : Penurunan suhu tubuh, berulangnya masalah infeksi.

J. Diagnosa Keperawatan 1. Resiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan terhadap muntah dan diare. 2. Defisit nutrisi berhubungan dengan masukkan makanan tak adekuat. 3. Defisist pengetahuan pemaparan informasi terbatas, salah interpretasi informasi dan atau keterbatasan kognitif. K. Rencana Keperawatan 1. Resiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan terhadap muntah dan diare. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi kekurangan cairan / hipovalumik Kreteria hasil : -Mepertahankan/menunjukkan perubahan keseimbangan cairan. -Haluran urine adekuat -Tanda vital stabil -Membran mukosa lembab -Turgor kulit baik Intervensi : a.

Rencanakan tujuan masukan cairan untuk setiap pergantian.

20

b.

Jelaskan tentang alasan-alasan untuk mempertahankan hidrasi yang adekuat dan metoda-metoda untuk mencapai tujuan masukan cairan.

c.

Pantau masukan, pastikan sedikitnya 1000-1500 ml/24 jam. Pantau terhadap penurunan berat jenis urin.

d.

Timbang BB setiap hari dengan jenis baju yang sama, pada waktu yang sama.

e.

Pertimbangkan kehilangan cairan tambahan yang berhubungan dengan muntah, diare, demam.

f.

Kolaborasi dengan dokter untuk pemeriksaan kadar elektolit darah, nitrogen urea darah, urine dan serum, kreatinin, hematokrit dan hemoglobin.

g.

Kolaborasi dengan pemberian cairan secara intravena.

2. Defisit nutrisi berhubungan dengan Masukkan makanan tak adekuat. Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan nutrisi dapat terpenuhi. Kreteria hasil : Menyatakan pemahaman kebutuhan nutrisi dapat menunjukkan peningkatam BB Intervensi: a. Buat pilihan menu yang ada dan diizinkan b. Berikan makanan sedikit tapi sering c. Timbang dengan timbangan yang sama d. Libatkan klien dalam penyusunan Nutrisi e. Kolaborasi dengan ahli gizi dan pemberian obat sesuai dengan indikasi

3. Defisist pengetahuan pemaparan informasi terbatas, salah interpretasi informasi dan atau keterbatasan kognitif. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien mengerti tentang penyakitnya Intervensi: a. Kaji kesiapan klien mengikuti pembelajaran, termasuk pengetahuan klien tentang penyakit dan perawatannya.

21

b. Jelaskan tentang proses penyakit, penyebab dan akibatnya terhadap gangguan aktivitas sehari-hari. c. Jelaskan tentang tujuan pemberian obat, dosis, frekuensi dan cara pemberian serta efek samping yang mungkin timbul. d. Jelaskan dan tunjukkan cara perawatan perineal setelah defekasi.

22

BAB III PEMBAHASAN KASUS A. Faktor Resiko Terjadinya Diare Banyak faktor resiko yang diduga menyebabkan terjadinya penyakit diare. Salah satu faktor antara lain adalah sanitasi lingkungan yang kurang baik, persediaan air yang tidak hiegienis, dan kurangnya pengetahuan (WHO, 2013). Selain itu, faktor hygiene perorangan yang kurang baik dapat menyebabkan terjadinya diare (Primona dkk, 2013; Azwinsyah dkk, 2014), kepemilikan jamban yang tidak ada dapat menyebabkan diare (Azwinsyah dkk, 2014). 1. Ketersediaan Air Bersih Ketersediaan air bersih yang kurang yaitu sebanyak 62,86% dan ketersediaan air bersih yang baik yaitu sebanyak 37,14%. Hal ini menjelaskan bahwa sebagian besar masyarakat ketersediaan air bersihnya adalah kurang. Ketidaktersediaan air bersih sangat berpengaruh terhadap kejadian diare, sehingga sangat diperlukan air bersih untuk mengurangi terjadinya penyakit diare. Bakteri infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur fekal oral. Proses penularan antara lain mencuci peralatan masak dengan menggunakan air yang tidak bersih, minum air yang tidak dimasak lebih dahulu, dan sebagainya (CDC, 2012; DEPKES RI, 2010). Penelitian sebelumnya juga menjelaskan bahwa ketersediaan air yang tercemar dapat menyebabkan diare (Primadani dkk, 2012). Sarana air bersih dalam kehidupan sehari-hari yang digunakan sebagai minum, memasak, membersihkan atau mencuci, mandi, wajib memenuhi syarat kualitas dan syarat fisik agar vektor penyakit yang dapat berkembang biak atau dapat menularkan melalui air dapat dikurangi hususnya pada penyakit diare sehingga angka kesakitan penyakit diare menurun (Agus dkk, 2009; Pebriani dkk, 2012).

23

Kualitas air rumah tangga yang baik harus memenuhi beberapa syarat antara lain syarat fisis, syarat kimiawi, dan syarat bakteriologis. Syarat fisis air rumah tangga yaitu harus jernih, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau. Syarat kimiawi adalah tidak mengandung zat-zat yang berbahaya untuk kesehatan seperti zat-zat racun, serta tidak mengandung mineral mineral serta zat organik lebih tinggi dari jumlah yang ditentukan. Syarat Bakteriologi air tidak boleh mengandung bibit penyakit yang sering menular dengan perantaraan air adalah penyakit yang tergolong dalam golongan water borne diseases, salah satunya seperti penyakit diare (DEPKES RI, 2010; Soegijanto, 2009). 2. Sanitasi Lingkungan Lingkungan yang berkategori kurang sebesar 51,43% dan sanitasi baik sebesar 48,57%. Hal ini menjelaskan bahwa sebagian besar sanitasi lingkungannya adalah kurang. Sanitasi lingkungan merupakan status kesehatan lingkungan yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebagainya. Lingkungan yang sanitasinya buruk akan berdampak buruk pula bagi kesehatan (Chandra, 2007; Chandra, 2009) Hasil penelitian yang lain menjelaskan bahwa salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian diare yaitu sanitasi lingkungan (Karyono dkk, 2009). Semakin bagus sanitasi lingkungan, maka semakin rendah pula angka kejadian penyakit pada masyarakat tersebut terutama yang berhubungan dengan penyakit diare. Buruknya sanitasi lingkungan mempengaruhi keberlanjutan lingkungan hidup yang ada. Kebiasaan masyarakat melakukan pola hidup tidak sehat seperti memanfaatkan sungai sebagai sarana MCK dan air bersih untuk kebutuhan hidup, serta kebiasaan membuang limbah rumah tangga langsung ke sungai yang berpotensi sebagai penyebab penyebaran wabah penyakit terutama diare (Jimung, 2011; Godana & Mengiste, 2013; Wardani, 2012). 3. Ketersediaan Jamban

24

Tidak ada ketersediaan jamban sebesar 68,57% dan ada ketersediaan jamban sebesar 31,43%. Hal ini menjelaskan bahwa sebagian besar masyarakatr tidak memiliki ketersediaan jamban. Salah satu proses penularan diare adalah kurangnya ketersediaan jamban. Pada pasien diare yang tidak memiliki jamban, maka mereka akan BAB (buang air besar) di sembarang tempat. Hal ini akan menyebababkan penularan diare melalui tinja penderita oleh karena tinja pasien diare mengandung bakteri penyebab diare yang akan ditularkan secara tidak langsung oleh lalat (Pebriani dkk, 2012). Syarat pembuangan kotoran yang memenuhi aturan kesehatan adalah tidak mengotori permukaan tanah di sekitarnya, tidak mengotori air permukaan di sekitarnya, tidak mengotori air dalam tanah di sekitarnya, kotoran tidak boleh terbuka sehingga dapat dipakai sebagai tempat vektor bertelur dan berkembang biak (DEPKES RI, 2010). Pembuangan tinja yang tidak sanitasi dapat menyebabkan berbagai penyakit, karenanya perilaku buang air besar sembarangan, sebaiknya segera dihentikan. Keluarga masih banyak yang berperilaku tidak sehat dengan buang air besar di sungai. Pekarangan rumah atau tempat-tempat yang tidak selayaknya. Selain mengganggu udara segar karena bau yang tidak sedap juga menjadi peluang awal tempat berkembangnya vektor penyebab penyakit akibat kebiasaan perilaku manusia sendiri. 4. Hygiene Perorangan Hygiene perorangan yang kurang sebesar 64,76% dan hygiene perorangan yang baik sebesar 35,24%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar hygiene perorangannya adalah kurang. Hygiene perorangan sangat dipengaruhi oleh nilai individu dan kebudayaan. Kebersihan perorangan meliputi: a. Kebersihan kulit. Untuk selalu memelihara kebersihan kulit kebiasaankebiasaan yang sehat harus selalu memperhatikan: mandi minimal 2 kali

25

sehari, mandi memakai sabun, menjaga kebersihan pakaian dan menjaga kebersihan lingkungan. b. Kebersihan rambut. Memperhatikan kebersihan rambut dengan mencuci rambut sekurang kurangnya 2 kali seminggu, mencuci rambut dengan sampo atau pembersih lainnya. c. Kebersihan gigi. Menggosok gigi dengan benar dan teratur dianjurkan setiap sesudah makan, menghindari makan makanan yang dapat merusak gigi, menggunakan gosok gigi sendiri, membiasakan makan buah buahan yang menyehatkan gigi d. Kebersihan tangan, kaki dan kuku, kuku dan tangan yang kotor dapat menyebabkan bahaya kontaminasi dan menimbulkan penyakit penyakit tertentu. Kebersihan diri merupakan kunci utama tentang terjadinya suatu penyakit. Kebersihan diri merupakan faktor penting dalam usaha pemeliharaan kesehatan, agar kita selalu dapat hidup sehat. Menjaga kebersihan diri berarti juga menjaga kesehatan umum. Cara menjaga kebersihan diri dapat dilakukan dengan mandi setiap hari minimal 2 kali sehari secara teratur dengan menggunakan sabun, muka harus bersih, telinga juga harus dibersihkan serta bagian genital, tangan harus dicuci sebelum menyiapkan makanan dan minuman, sebelum makan, sesudah buang air besar atau buang air kecil, kuku digunting pendek dan bersih, agar tak melukai kulit atau menjadi sumber infeksi. pakaian perlu diganti sehabis mandi dengan pakaian yang habis dicuci bersih dengan sabun atau detergen. Pemeliharaan kebersihan diri berarti tindakan memelihara kebersihan dan kesehatan diri sesorang untuk kesejahteraan fisik dan psikisnya. Seseorang dikatakan memiliki kebersihan diri baik apabila, orang tersebut dapat menjaga kebersihan tubuhnya yang meliputi kebersihan kulit, tangan dan kuku,dan kebersihan genitalia (Mengistie et al, 2013; Gaffey et al, 2013). 5. Perilaku Buang Tinja

26

Perilaku buang tinja di sembarang tempat adalah sebanyak 74,29% dan perilaku buang tinja di jamban adalah sebesar 25,71%. Hal ini menjelaskan bahwa sebagian besar warga Desa Solor membuang tinja di sembarang tempat. Sarana jamban merupakan bagian dari usaha sanitasi yang cukup penting peranannya. Ditinjau dari sudut kesehatan lingkungan, pembuangan kotoran yang tidak saniter akan dapat mencemari lingkungan terutama tanah dan sumber air. Pembuangan tinja yang tidak saniter akan menyebabkan berbagai macam penyakit terutama diare. Jika akses buang tinja jauh, atau bahkan tidak mempunyai akses maka akan BAB disembarang tempat yang akan mudah bagi vector membawa penyakit dan menularkan kepada orang lain terutama penularan penyakit diare. Tinja atau kotoran manusia merupakan media sebagai tempat berkembang dan berinduknya bibit penyakit menular (misal kuman atau bakteri, virus dan cacing). Apabila tinja tersebut dibuang di sembarang tempat, missal kebon, kolam, sungai, dan lain sebagainya maka bibit penyakit tersebut akan menyebar luas ke lingkungan, dan akhirnya akan masuk dalam tubuh manusia, dan berisiko menimbulakan penyakit pada seseorang dan bahkan bahkan menjadi wabah penyakit pada masyarakat yang lebih luas (Surawicz et al, 2007). 6. Sanitasi Makanan Sanitasi makanan kurang sebesar 62,86% dan sanitasi makanan baik sebesar 37,14%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar sanitasi makanannya adalah kurang. Prinsip hygiene sanitasi makanan dan minuman adalah pengendalian terhadap empat factor yaitu tempat atau bangunan, peralatan, orang, dan bahan makanan. Terdapat 6 (enam) prinsip hygiene sanitasi makanan dan minuman yaitu: pemilihan bahan makanan, penyimpanan bahan makanan, pengolahan makanan, penyimpanan makanan jadi, pengangkutan makanan, dan penyajian makanan (Indan, 2008; Fausi, 2008). Makanan merupakan suatu hal yang sangat penting di dalam kehidupan manusia, makanan yang dimakan bukan saja memenuhi gizi dan mempunyai

27

bentuk menarik, akan tetapi harus aman dalam arti tidak mengandung mikroorganisme dan bahan-bahan kimia yang dapat menyebabkan penyakit. Penyehatan makanan adalah upaya untuk mengendalikan factor tempat, peralatan, orang dan makanan yang dapat atau mungkin dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Ada dua faktor yang menyebabkan suatu makanan menjadi berbahaya bagi manusia antara lain: parasite misalnya: cacing dan amuba, golongan mikro organisme misalnya: salmonela dan shigella, zat kimia misalnya: bahan pengawet dan pewarna, bahan-bahan radioaktif misalnya: kobalt dan uranium, toksin atau racun yang dihasilkan mikroorganisme (Soegijanto, 2009). Kebersihan sanitasi makanan sangat berpengaruh terhadap kejadian diare sehingga sangat diperlukan sanitasi yang baik untuk mengurangi terjadinya penyakit diare. Sanitasi makanan berarti suatu usaha pencegahan yang menitikberatkan kegiatan dan tindakan untuk membebaskan makanan dan minuman dari segala bahaya-bahaya yang dapat mengganggu atau merusak kesehtan, mulai dari pemilihan bahan makanan, penyimpanan bahan mentah, proses pengolahan, penyimpanan makanan, pengangkutan, penjualan sampai pada penyajian makanan untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Peneliti berharap agar masyarakat melakukan satu usaha pencegahan yang menitikberatkan kegiatan dan tindakan yang perlu untuk membebaskan makanan dan minuman dari segala bahaya yang dapat menganggu atau memasak kesehatan, mulai dari sebelum makanan diproduksi, selama dalam proses pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, sampai pada saat dimana makanan dan minuman tersebut siap untuk dikonsumsikan kepada masyarakat atau konsumen. Sanitasi makanan ini bertujuan untuk menjamin keamanan dan kemurnian makanan, mencegah konsumen dari penyakit, mencegah penjualan makanan yang akan merugikan pembeli. Mengurangi kerusakan atau pemborosan makanan. 7. Kejadian Diare Kejadian diare sebesar 74,29% dan tidak diare sebesar 25,71%. Hal ini menjelaskan bahwa sebagian besar penduduk Desa Solor mengalami diare.

28

Tingginya kejadian diarendisebabkan oleh beberapa faktor antara lain kesehatan lingkungan belum memadai, sosial ekonomi, pengetahuan masyarakat, perilaku masyarakat dan sebagainya yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kejadian diare (Wijaya, 2013). Penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa faktor kejadian diare antara lain disebabkan oleh sumber air minum masyarakat, kualitas fisik air bersih, dan kepemilikan jamban (Murtiana dkk, 2014). Mekanisme dasar penyebab timbulnya diare adalah gangguan osmotik (makanan yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus, isi rongga usus berlebihan sehingga timbul diare). Selain itu menimbulkan gangguan sekresi akibat toksin di dinding usus, sehingga sekresi air dan elektrolit meningkat kemudian terjadi diare. Gangguan motilitas usus yang mengakibatkan hiperperistaltik dan hipoperistaltik. Akibat dari diare itu sendiri adalah kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan asam basa (asidosis metabolik dan hypokalemia), gangguan gizi (intake kurang, output berlebih), hipoglikemia dan gangguan sirkulasi (Smeltzer & Bare, 2008; Black & Hawks, 2014).

B. Karakteristik Penderita Diare Akut Karakteristik

Umur

Variasi

Jumlah

Persentase

Kelompok

Penderita

%

< 1 Bulan

6

7,14%

1 – 5 Bulan

14

16,66%

6 – 11 Bulan

13

15,47%

1 – 5 Tahun

36

42,85%

6 – 10 Tahun

12

14,28%

11 – 20 Tahun

1

1,19%

21 – 30 Tahun

1

1,19%

Total

84 (100%)

29

>31 Tahun

1

1,19%

Laki -Laki

53

63,09%

Perempuan

31

36,90%

34

40,47%

Jenis Kelamin

84 (100%)

Diare Akut Jenis Diare

Tanpa

Akut

Dehidrasi

Berdasarkan

Diare Akut

Keperahan

Dehidrasi

Dehidrasi

Ringan -

84 (100%) 50

59,52%

Sedang

Penderita diare akut terbanyak berdasarkan kriteria kelompok umur adalah pada kelompok umur 1 – 5 tahun yaitu sebanyak 42,85 % (36 penderita). Kelompok usia 1- 5 tahun adalah kelompok anak yang mulai aktif bermain dan rentan terkena infeksi penyakit terutama diare. Anak pada kelompok umur ini dapat terkena infeksi bakteri penyebab diare pada saat bermain di lingkungan yang kotor serta melalui cara hidup yang kurang bersih (Wulandari, 2012). Berdasarkan karakteristik jenis kelamin, penderita diare akut terbanyak adalah berjenis kelamin laki - laki yaitu 63,09 % (53 penderita) dan perempuan sebanyak 36,90 % (31 penderita). Aktifitas fisik yang banyak pada laki – laki remaja dan dewasa dapat membuat kondisi fisik tubuh cepat mengalami penurunan termasuk penurunan sistem kekebalan tubuh, sehingga lebih beresiko terkena penyakit termasuk diare akut (Pudjiadi S, 2010). Hasil penelitian jenis diare akut berdasarkan keparahan dehidrasi, diketahui jenis diare akut terbanyak yaitu diare akut dehidrasi ringan sampai sedang sebanyak 59,52 % (50 penderita). Penderita dengan diare akut dehidrasi ringan sampai sedang merupakan penderita terbanyak yang dirawat inap di rumah sakit karena

30

kemungkinan pasien tersebut menjadi lebih parah cukup besar sehingga perlunya penanganan medis secepatnya (Pramita, dkk, 2005).

C. Penggunaan Obat Pada Penderita Diare Akut Hasil penelitian berdasarkan jenis obat ORS yang digunakan oleh penderita diare akut diketahui bahwa seluruh penderita diare akut menggunakan ORS. Dari hasil penelitian, ORS yang digunakan oleh penderita diare akut ada 3 yaitu oralit dan pedialyte atau renalyte. Diantara ORS tersebut, yang paling banyak digunakan adalah oralit sebanyak 75 penderita (89,28 %). Selain ORS, terdapat penggunaan cairan rehidrasi intravena IVFD (Intravenous Fluids) yang digunakan sebagai pertolongan pertama pada penderita yang sudah banyak kehilangan banyak cairan pada saat masuk dan selama perawatan di rumah sakit karena rute intravena mempunyai bioavailbilitas yang sempurna di dalam tubuh sehingga penderita dapat segera pulih dan bisa segera sembuh. Dari hasil penelitian, dapat dilihat bahwa penderita diare akut yang di rawat Inap yang menggunakan suplemen zinc adalah 69 % (58 penderita). Pengetahuan mengenai penggunaan suplemen zinc dalam pengobatan diare masih kurang sehingga penggunaannya pada penderita diare akut belum digunakan secara menyeluruh. Hasil penelitian berdasarkan penggunaan obat antipiretik, diketahui penderita diare akut yang menggunakan antipiretik yaitu 59 % (49 penderita). Antipiretik yang diberikan pada penderita diare akut adalah paracetamol. Antipiretik bukan merupakan pengobatan utama pada penderita diare dan hanya digunakan sesuai dengan indikasi dan gejala yang dialami penderita sehingga tidak semua penderita menggunakan obat golongan ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah penderita diare akut yang di rawat inap yang menggunakan obat antiemetik yaitu 27 % (23 penderita). Berdasarkan hasil penelitian, obat antiemetik yang digunakan adalah domperidone. Muntah pada saat diare juga dapat mengakibatkan dehidrasi sehingga pemberian

31

obat antiemetik selain menghentikan rasa mual juga membantu dalam mengurangi kehilangan cairan pada saat diare. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah penderita diare akut yang di rawat inap yang menggunakan obat antibiotik hanya berjumlah 16 % (13 penderita). Dari hasil penelitian, diketahui antibiotik yang digunakan adalah ciprofloxacin, cotrimoxazole, metronidazole, injeksi gentamicine, dan amoxicillin. Antibiotik yang paling banyak digunakan adalah cotrimoxazole dan injeksi gentamicine yaitu 5,95 % (5 penderita). Cotrimoxazole merupakan antibiotiotik yang mengandung kombinasi sulfametoksazol dan trimetoprin. Cotrimoxazole mempunyai spectrum aktifitas luas dan efektif terhadap gram positif dan gram negatif termasuk E. coli yang merupakan bakteri gram negatif serta salah satu penyebab utama diare akut, sedangkan gentamicine merupakan antibiotik golongan aminoglikosida yang digunakan untuk membunuh bakteri gram negative (Rosen dan Quinn, 2000). Hasil penelitian berdasarkan penggunaan obat lain, diketahui penderita yang menggunakan obat lain yaitu 12 % (10 penderita). Obat lain yang digunakan adalah probiotik. Probiotik diberikan pada penderita diare akut untuk membantu penyembuhan diare akut (Anonim, 2011). Hasil berdasarkan terapi penggunaan obat di atas, diperoleh kombinasi obat terbanyak yang digunakan oleh penderita diare akut adalah kombinasi obat ORS, suplemen zinc, serta antipiretik yaitu 34,52 % (29 penderita). Kombinasi pengobatan ini diberikan karena penderita selain mengalami dehidrasi akibat diare akut, juga mengalami demam. Penderita yang mengalami gejala lain diberikan tambahan pengobatan lain seperti, penderita yang mengalami mual dan muntah akan diberikan antiemetik, dan penderita diare akut akibat infeksi bakteri akan diberikan antibiotik, serta akan diberikan obat probiotik untuk membantu menjaga keseimbangan mikroflora dalam tubuh.

32

33

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Penyakit diare menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting karena merupakan penyumbang utama ketika angka kesakitan dan kematian anak di berbagai Negara termasuk Indonesia. Diperkirakan lebih dari 1,3 milyar serangan dan 3,2 juta kematian per tahun pada balita disebabkan oleh diare. Diare adalah perubahan frekuensi dan konsitensi tinja. Diare merupakan penyebab utama kematian anak-anak berusia kurang dari lima tahun (balita) secara global (Pahwa, 2010). Sekitar lima juta anak di seluruh dunia meninggal karena diare akut. Di Indonesia pada tahun 70-80 an, prevalensi penyakit diare sekitar 200-400/1000 penduduk pertahun, dari angka prevalensi tersebut 70-80% menyerang anak di bawah usia lima tahun (balita). Golongan umur ini mengalami 2-3 episode diare pertahun, diperkirakan kematian anak akibat diare sekitar 200-250 ribu setiap tahunnya. Pengkajian Keperawatan 1. Berak-berak dengan frekuensi lebih dari 3 kali konsistensi lunak sampai cair, mual, dan muntah. 2. Terjadi peningkatan suhu tubuh, dan disertai ada atau tidak ada peningkatan nadi, pernafasan. 3. Bila terjadi kekurangan cairan ditandai dengan haus, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit menurun. 4. Bila terjadi gangguan biokimia : Asidosis metabolik nafas cepat/dalam (kusmaul), bila banyak kekurangan kalium Aritmia jantung. 5. Bila syok hipovolumik berat ; nadi cepat lebih 120x/menit, tekanan darah menurun sampai dari tak terukur. 6. Pasien gelisah, muka pucat, ujungujung ekstremitas dingin, sianosis.

34

Diagnosa Keperawatan 1. Resiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan terhadap muntah dan diare. 2. Defisit nutrisi berhubungan dengan masukkan makanan tak adekuat. 3. Defisist pengetahuan pemaparan informasi terbatas, salah interpretasi informasi dan atau keterbatasan kognitif. B. Saran Perawat harus lebih memperhatikan pasien, dalam memberikan asuhan keperawatan hendaknya harus sesuai standar yang berlaku dan meningkatkan kerja sama dengan pasien, keluarga dan tim kesehatan lainnya .

35

Related Documents


More Documents from "Anonymous WZKx99"