LAPORAN PENDAHULUAN OSTEOPOROSIS
OLEH : KELOMPOK II KEPERAWATAN A
1. ROHIMIN MUH IKRAM 2. ANDI RISKA ROSWATI 3. RINA NUR INSANI 4. DINASARI 5. NURHUDAYA FAUZIAH.L 6. IKRANSYAH 7. ALMASARI KANITA
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UIN ALAUDDIN MAKASSAR 2018
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Salah satu masalah gangguan kesehatan yang menonjol pada usia lanjut adalah gangguan muskoloskeletal, terutama osteoartritis dan osteoporosis. Menghadapi problem ini tanpa adanya persiapa yang baik, di khawatirkan akan menjadikan beban yang akan di tanggung pemerintah, masyarakat, dan warga usia lanjut dengan keluarga akan menjadi
sangat besar dan akan
menghambat perkembangan ekonomi
serta
memperburuk kualitas hidup manusia secara utuh. Osteoporosis adalah suatu problem klimakterium yang serius. Di amerika serikat dijumpai satu kasus osteoporosis di antara dua sampai tiga wanita pascamonopause. Massa tulang pada manusia mencapai maksimum pada usia sekita 35 tahun, kemudian terjadi penurunan massa tulang secara eksponensial. Penurunan massa tulang ini berkisar antara 3-5% setiap decade, sesuai dengan kehilangan massa otot dan hal ini di alami baik pada pria dan wanita. Pada masa klimakterium, penurunan massa tulang pada wanita lebih mencolok dan dapat mencapai 2-3% setahun secara eksponensial. Pada usia 70 tahun kehilangan massa tulang pada wanita ini baru mencapai 25% . Kecepatan resorpsi tulang lebih besar dari kecepatan pembentukan tulang, sehingga dapat menurunkan massa tulang total. Osteoporosis adalah penyakit yang mempunyai sifat-sifat khas berupa massa tulang yang rendah, disertai mikroarsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang. Tulang secara progresif menjadi rapuh dan mudah patah. Tulang menjadi mudah patah dengan stres, yang pada tulang normal tidak menimbulkan pengaruh. Sherwood (2001), mengatakan selama dua decade pertama kehidupan, saat terjadi pertumbuhan, pengendapan tulang melebihi resorpsi tulang dibawah pengaru hormone pertumbuhan. Sebaiknya pada usia 50-6- tahun, resorpsi tulang melebihi pembentukan tulang. Kalsitonin yang menghambat resorpsi tulang dan merangsang pembentukan tulang mengalami penurunan. Hormone paratiroid meningkat bersama bertambahnya dan meningkatkan resorpsi tulang. Hormone estrogen yang menghambat pemecahan tulang, juga berkurang bersama bertambahnya usia.
Menurut Ganong (2003), perempuan dewasa memiliki massa tulang yang lebih sedikit daripada pria dewasa, dan setelah menopause mereka mulai kehilangan tulang lebih cepat daripada pria. Akibatnya perempuan lebih rentang menderita ospteoporosis serius. Penyebab utama berkurangnya tulang setelah menopause adalah defesiensi hormone estrogen. Pada osteoporosis, matriks dan mineral tulang hilang, hingga massa dan kekuatan tulang, dengan peningkatan fraktur. Osteoporosis sering menimbulkan fraktur kompresi pada vertebra
torakalis.
Terdapat penyempitan diskus vertebra, apabila penyebaran berlanjut keseluruh korpus vertebra akan menimbulkan kompresi vertebra dan terjadi gibus. Fraktur kolum femur sering terjadi pada usia di atas 60 tahun dan lebih sering pada perempuan, yang disebabkan oleh penuaan dan osteoporosis pascamenopause. Kolaps bertahap tulang vertebra mungkin tidak menimbulkan gejala, namun terlihat sebagai kifosis progresif. Kifosis dapat mengakibatkan pengurangan tinggi badan. Pada beberapa perempuan dapat kehilangan tinggi badan sekitar 2,5-15 cm, akibat kolaps vertebra. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana konsep medis osteoporosis ? 2. Bagaimana konsep asuhan keperawatan osteoporosis ?
C. Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui konsep medis osteoporosis. 2. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan osteoporosis.
BAB II KONSEP MEDIS OSTEOPOROSIS
A. Defenisi Osteoporosis Osteoporosis adalah suatu kondisi berkurangnya massa tulang secara nyata yang berakibat pada rendahnya kepadatan tulang, sehingga tulang menjadi keropos dan rapuh. “Osto” berarti tulang, sedangkan “porosis” berarti keropos. Tulang yang mudah patah akibat Osteoporosis adalah tulang belakang, tulang paha, dan tulang pergelangan tangan (Endang Purwoastuti : 2009) . Osteoporosis yang dikenal dengan keropos tulang menurut WHO adalah penyakit skeletal sistemik dengan karakteristik massa tulang yang rendah dan perubahan mikroarsitektur dari jaringan tulang dengan akibat meningkatnya fragilitas tulang dan meningkatnya kerentanan terhadap tulang patah. Osteoporosis adalah kelainan dimana terjadi penurunan massa tulang total (Lukman, Nurma Ningsih : 2009). Osteoporosis adalah suatu keadaan dimana terdapat pengurangan jaringan tulang per unit volume,sehingga tidak mampu melindungi atau mencegah terjadinya fraktur terhadap trauma minimal (Kholid Rosyidi : 2013). Osteoporosis adalah kelainan di mana terjadi penurunan massa tulang total. Terdapat perubahan pergantian tulang homeostasis normal, kecepatan resorpsi tulang lebih besar dari kecepatan pembentukan tulang, pengakibatkan penurunan masa tulang total. Tulang secara progresif menjadi porus, rapuh dan mudah patah; tulang menjadi mudah fraktur dengan stres
yang tidak akan menimbulkan pengaruh pada tulang normal
(Brunner&Suddarth, 2000).
B. Klasifikasi Osteoporosis Klasifikasi osteoporosis dibagi ke dalam dua kelompok yaitu osteoporosis primer dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer terdapat pada wanita postmenopause (postmenopause osteoporosis) dan pada laki-laki lanjut usia (senile osteoporosis). Penyebab osteoporosis belum diketahui dengan pasti. Sedangkan osteoporosis sekunder disebabkan
oleh
misalnya Chusing’s
penyakit
yang
berhubungan
disease,hipertiriodisme,
dengan
Kelainan
hiperparatiriodisme,
endokrin
hipogonadisme,
kelainan hepar, gagal ginjal kronis, kurang gerak, kebiasaan minum alcohol, pemakaian
obat-obatan/kortikosteroid, kelebihan kafein, dan merokok (Lukman, Nurma Ningsih : 2009). Djuwantoro (1996) dalam sudoyo (2009), membagi osteoporosis menjadi osteoporosis postmenopause (Tipe I), Osteoporosis involutional (Tipe II), osteoporosis idiopatik, osteoporosis juvenil dan osteoporosis sekunder. 1. Osteoporosis Postmenopause (Tipe I) Merupakan bentuk yang paling sering ditemukan pada wanita kulit putih dan Asia. Bentuk osteoporosis ini disebabkan oleh percepatan resopsi tulang yang berlebihan dan lama setelah penurunan sekresi hormon estrogen pada masa menopause. 2. Osteoporosis involutional (Tipe II) Terjadi pada usia diatas 75 tahun pada perempuan maupun laki-laki. Tipe ini diakibatkan oleh ketidakseimbangan yang samar dan lama antara kecepatan resorpsi tulang dengan kecepatan pembentukan tulang. 3. Osteoporosis idiopatik Adalah tipe osteoporosis
primer
yang jarang terjadi
pada wanita
premenopouse dan pada laki-laki yang berusi di bawah 75 tahun. Tipe ini tidak berkaitan dengan penyebab sekunder atau faktor resiko yang mempermudah timbulnya penurunan densitas tulang. 4. Osteoporosis juvenil Merupakan bentuk yang paling jarang terjadi dan bentuk osteoporosis yang terjadi pada anak-anak prepubertas. 5. Osteoporosis sekunder Penurunan densitas tulang yang cukup berat untuk menyebabkan fraktur atraumatik akibat faktor ekstrinsik seperti kelebihan kortikosteroid, atraumatik reumatoid, kelainan hati/ ginjal kronis, sindrom malabsorbsi, mastisitosis sistemik, hipertiriodisme , varian status hipogonade dan lain-lain. (Sudoyo, 2009)
C. Etiologi Osteoporosis Osteoporosis postmenopouse terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia diantara 51-75 tahun, tetapi bisa mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki resiko yang sama untuk menderita osteoporosis postmenopouse, pada wanita kulit putih dan
daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam (Lukman, Nurma Ningsih : 2009). Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan kasium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan diantara kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan tulang yang baru. Senilis yaitu keadaan penurunan masa tulang yang hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia diatas 70 tahun dan dua kali lebih sering menyerang wanita. Wanita sering kali menderita osteoporosis senilis dan postmenopouse (Lukman, Nurma Ningsih : 2009). Kurang dari lima persen penderita osteoporosis juga mengalami osteoporosis sekunder, yang disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau oleh obet-obatan. Penyakit ini bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid, dan adrenal) dan obat- obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat, antikejang, hormon tiroid yang berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan dan kebiasaan merokok bisa memperburuk keadaan ini (Lukman, Nurma Ningsih : 2009). Osteoporosis juvenil idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa yang normal dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang (Lukman, Nurma Ningsih : 2009). Faktor genetik juga berpengaruh terhadap timbulnya osteoporosis. Pada seseorang dengan tulang yang kecil akan lebih mudah mendapat risiko fraktur daripada seseorang dengan tulang yang besar. Sampai saat ini tidak ada ukuran universal yang dapat dipakai sebagai ukuran tulang normal. Setiap individu memiliki ketentuan normal sesuai dengan sifat genetiknya beban mekanis dan besar badannya. Apabila individu dengan tulang besar, kemudian terjadi proses penurunan massa tulang (osteoporosis) sehubungan dengan lanjutnya usia, maka individu tersebut relatif masih mempunyai tulang lebih banyak daripada individu yang mempunyai tulang kecil pada usia yang sama (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
D. Patofisiologi Osteoporosis Genetik, nutrisi, gaya hidup (misal merokok, konsumsi kafein, dan alkohol), dan aktivitas mempengaruhi puncak massa tulang. Kehilangan masa tulang mulai terjadi setelah tercaipainya puncak massa tulang. Pada pria massa tulang lebih besar dan tidak mengalami perubahan hormonal mendadak. Sedangkan pada perempuan, hilangnya estrogen pada saat menopouse dan pada ooforektomi mengakibatkan percepatan resorpsi
tulang dan berlangsung terus selama tahun-tahun pasca menopouse (Lukman, Nurma Ningsih : 2009). Diet kalsium dan vitamin D yang sesuai harus mencukupi untuk mempertahankan remodelling tulang selama bertahun-tahun mengakibatkan pengurangan massa tulang dan fungsi tubuh. Asupan kasium dan vitamin D yang tidak mencukupi selama bertahuntahun mengakibatkan pengurangan massa tulang dan pertumbuhan osteoporosis. Asupan harian kalsium yang dianjurkan (RDA : recommended daily allowance) meningkat pada usia 11 – 24 tahun (adolsen dan dewasa muda) hingga 1200 mg per hari, untuk memaksimalakan puncak massa tulang. RDA untuk orang dewasa tetap 800 mg, tetapi pada perempuan pasca menoupose 1000-1500 mg per hari. Sedangkan pada lansia dianjurkan mengkonsumsi kalsium dalam jumlah tidak terbatas. Karena penyerapan kalsium kurang efisisien dan cepat diekskresikan melalui ginjal (Smeltzer, 2002). Demikian pula, bahan katabolik endogen (diproduksi oleh tubuh) dan eksogen dapat menyebabkan osteoporosis. Penggunaan kortikosteroid yang lama, sindron Cushing, hipertiriodisme dan hiperparatiriodisme menyebabkan kehilangan massa tulang. Obatobatan seperti isoniazid, heparin tetrasiklin, antasida yang mengandung alumunium, furosemid, antikonvulsan, kortikosteroid dan suplemen tiroid mempengaruhi penggunaan tubuh dan metabolisme kalsium. Imobilitas juga mempengaruhi terjadinya osteoporosis. Ketika diimobilisasi dengan gips, paralisis atau inaktivitas umum, tulang akan diresorpsi lebih cepat dari pembentukannya sehingga terjadi osteoporosis.
E. Manifestasi Klinis Osteoporosis Kepadatan tulang berkurang secara perlahan, sehingga pada awalnya osteoporosis tidak menimbulkan gejala pada beberapa penderita. Jika kepadatan tulang sangat berkurang yang menyebabkan tulang menjadi kolaps atau hancur, maka akan timbul nyeri tulang dan kelainan bentuk. Tulang-tulang yang terutama terpengaruh pada osteoporosis adalah radius distal, korpus vertebra terutama mengenai T8-L4, dan kollum femoris (Lukman, Nurma Ningsih : 2009). Kolaps tulang belakang menyebabkan nyeri punggung menahun. Tulang belakang yang rapuh bisa mengalami kolaps secara spontan atau karena cedera ringan. Biasanya nyeri timbul secara tiba-tiba dan dirasakan di daerah tertentu dari pungung yang akan bertambah nyeri jika penderita berdiri atau berjalan. Jika disentuh, daerah tersebut akan terasa sakit, tetapi biasanya rasa sakit ini akan menghilang secara bertahap setelah
beberapa minggu atau beberapa bulan. Jika beberapa tulang belakang hancur, maka akan terbentuk kelengkungan yang abnormal dari tulang belakang (punuk), yang menyebabkan terjadinya ketegangan otot dan rasa sakit (Lukman, Nurma Ningsih : 2009). Tulang lainnya bisa patah, yang sering kali disebabkan oleh tekanan yang ringan atau karena jatuh. Salah satu patah tulang yang paling serius adalah patah tulang panggul. Selain itu , yang juga sering terjadi adalah patah tulang lengan (radius) di daerah persambungannya dengan pergelangan tangan, yang disebut fraktur Colles. Pada penderita osteoporosis, patah tulang cenderung mengalami penyembuhan secara perlahan (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
F. Pengobatan Osteoporosis Pengobatan osteoporosis yang telah lama digunakan yaitu terapi medis yang lebih menekankan pada pengurangan atau meredakan rasa sakit akibat patah tualng. Selain itu, juga dilakukan terapi hormone pengganti (THP) atau hormone replacement therapy (HRT) yaitu menggunakan estrogen dan progresteron. Terapi lainnya yaitu terapi non hormonal antara lain suplemen kalsium dan vitamin D. 1. Terapi medis Sebenarnya belum ada terapi yang secara khusus dapat mengembalikan efek dari osteoporosis. Hal yang dapat dilakukan adalah upaya-upaya untuk menekan atau memperlambat menurunnya massa tulang serta mengurangi rasa sakit. a. Obat pereda sakit Pada tahap awal setelah terjadinya patah tulang, biasanya diperlukan obat pereda sakit yang kuat, seperti turunan morfin. Namun, obat tersebut memberikan efek samping seperti mengantuk, sembelit dan linglung. Bagi yang mengalami rasa sakit yang sangat dan tidak dapat diredakan dengan obat pereda sakit, dapat diberikan suntikan hormone kalsitonin. Bila rasa sakit mulai mereda, tablet pereda rasa sakit seperti paracetamol atau codein ataupun kombinasi keduanya seperti co-dydramol, co- codramol, atau coproxamol bagi banyak pasien cukup memadai untuk menghilangkan rasa sakit sehingga pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari. 2. Terapi hormone pada wanita Osteoporosis memang tidak dapat disembuhkan, semua upaya pengobatan hanya dimaksudkan untuk mencegah kehilangan massa tulang yang lebih besar.
Namun, demikian, pengobatan masih perlu dilakukan pada kasus osteoporosis berat untuk mencegah terjadinya patah tulang. Obat-obat untuk mencegah penurunan massa tulang biasanya bekerja lambat dan efeknya kurang terasa sehingga banyak pasien penderita osteoporosis merasa putus asa dan menghentikan pengobatan. Hal tersebut sangat tidak baik karena pengobatan jangka panjang diperlukan untuk dapat secara maksimal menekan laju penurunan massa tulang dan patah tulang. Terapi hormone pada wanita diberikan pada masa pramenopause. Lamanya pemberian terapi hormone sulit ditentukan. Yang jelas jika ingin terhindar dari osteoporosis, terapi hormone dapat terus dilakukan. Sebagian dokter menganjurkan untuk dilakukan terapi hormone seumur hidup semenjak menopause pada wanita yang mengalami osteoporosis. Namun, sebagian juga berpendapat bahwa penggunaan terapi hormone sebaiknya dihentikan setelah penggunaan selama 5-10 tahun untuk menghindari kemungkinan terjadinya kanker. a. Hormone Replacement Theraphy (HRT) Hormone Replacement Theraphy (HRT) atau terapi hormone pengganti (THP) menggunakan hormone estrogen atau kombinasi estrogen dan progesterone. Hormone-hormon tersebut sebenarnya secara alamiah diproduksi oleh indung telur, tetapi produksinya semakin menurun selama menopause sehingga perlu dilakukan HRT. Penggunaan estrogen memang efektif
dalam upaya pengobatan dan
pencegahan osteoporosis. Namun, tidak terlepas dari kemungkinan terjadinya efek samping berupa munculnya kanker endometrium (dinding rahim). Dengan adanya hormone tersebut akan merangsang pertumbuhan sel-sel di dinding rahim yang apabila pertumbuhannya terlalu pesat dapat berkembang menjadi kanker ganas. Oleh karena itu, penggunaan estrogen biasanya di kombinasikan dengan progesterone untuk mengurangi resiko tersebut. Efek lain yang juga dapat timbul dalam pemberian terapi hormone, diantaranya adalah pembesaran payudara, kembung, retensi cairan, mual, muntah, sakit kepala, gangguan pencernaan, dan gangguan emosi. Namun, demikian, efek tersebut biasanya hanya terjadi pada awal terapi dan kondisi berangsur membaik dengan sendirinya. Dapat juga dilakukan pemberian hormone estrogen dan progesterone secara bertahap, dosis kecil diberikan pada awal terapi dilihat dulu reaksinya terhadap tubuh. Bila dosis dapat diterima tubuh, dosis kemudian dinaikkan secara bertahap.
b. Kalsitonin Selain hormone estrogen dan progesterone, hormone lain yang biasa digunakan dalam pencegahan dan pengobatan osteoporosis adalah kalsitonin. Kalsitonin turut menjaga kestabilan struktur tulang dengan mengaktifkan kerja sel osteoblast dan menekan kinerja sel osteoclast. Kalsitonin juga berperan dalam mengurangi rasa sakit yang mungkin timbul pada keadaan patah tulang. Hormone ini secara normal dihasilkan oleh kelenjar tiroid yang memiliki sifat meredakan rasa sakit yang cukup ampuh. Kalsitonin biasanya diberikan dalam bentuk suntikan yang diberikan setiap hari atau dua hari sekali selama dua atau tiga minggu. Hormone ini juga dapat menimbulkan efek samping berupa rasa mual dan muka merah, mungkin pula terjadi muntah dan diare serta rasa sakit pada bekas suntikan. c. Testosterone Testosterone adalah hormone yang biasa dihasilkan oleh tubuh pria. Penggunaan hormone testosterone pada wanita dengan osteoporosis pasca menopause mampu menghambat kehilangan massa tulang. Namun, dapat muncul efek maskulinasi seperti penambahan rambut secara berlebihan di dada, kaki, tangan, timbulnya jerawat dimuka dan pembesaran suara seperti yang biasa terjadi pada pria. 3. Terapi non-hormonal Terapi hormone selama ini memang dianggap sebagai jalan yang paling baik untuk mengobati osteoporosis. Namun, karena banyaknya efek samping yang dapat ditimbulkan dan tidak dapat diterapkan pada semua pasien osteoporosis, maka sekarang mulai dikembangkan terapi non-hormonal. a. Bisfosfonat Bisfosfonat merupakan golongan obat sintetis yang saat ini sangat dikenal dalam pengobatan osteoporosis non-hormonal. Efek utama dari obat ini adalah menonaktifkan sel-sel penghancur tulang (osteoclast) sehingga penurunan massa tulang dapat dihindari. Obat-obat yang termasuk golongan bisfosfonat adalah etidronat dan alendronat. b. Etidronat Etidronat adalah obat golongan bisfosfonat pertama yang biasa digunakan dalam pengobatan osteoporosis. Obat ini diberikan dalam bentuk tablet dengan dosis satu kali sehari selama dua minggu. Penggunaan obat ini harus dikombinasikan dengan konsumsi suplemen kalsium. Namun, perlu diperhatikan agar konsumsi
suplemen kalsium harus dihindari dalam waktu dua jam sebelum dan sesudah mengkonsumsi etidronat karena dapat mengganggu penyerapannya. Kadang kala konsumsi etidronat memberikan efek samping,tetapi relative kecil. Misalnya timbul mual, diare, ruam kulit dan lain-lain. c. Alendronat Alendornat mempunyai fungsi dan peran yang serupa dengan etidronat, perbedaannya adalah pada penggunaannya tidak perlu dikombinasikan dengan konsumsi suplemen kalsium, tetapi bila asupan kalsium masih rendah, pemberian kalsium tetap dianjurkan. Efek samping yang mungkin ditimbulkan pada konsumsi alendronat adalah timbulnya diare, rasa sakit dan kembung pada perut, serta gangguan pada tenggorokan. 4. Terapi alamiah Terapi alamiah adalah terapi yang diterapkan untuk mengobati osteoporosis tanpa menggunakan obat-obatan atau hormone. Terapi ini berhubungan dengan gaya hidup dan pola konsumsi. Beberapa pencegahan yang dapat diberikan yaitu dengan berolahraga secara teratur, hindari merokok, hindari minuman beralkohol dan menjaga pola makan yang baik. G. Pemeriksaan Diagnostik Sebenarnya langkah terbaik dalam penanganan osteoporosis adalah pencegahan karena bila sudah terkena susah, bahkan tidak dapat dipulihkan. Seyogyanya, sedini mungkin dilakukan diagnosis untuk mendeteksi keadaan massa tulang sebelum terjadi akibat yang lebih fatal seperti terjadinya patah tulang . penilaian langsung tulang untuk mengetahui ada tidaknya osteoporosis dapat dilakukan dengan berbagai cara , yaitu sebagai berikut : 1. Pemeriksaan radiologic Saat ini, sing dkk telah mengembangkan indeks sing untuk mengukur ketebalan colum femaris dan komponen-komponen trabekulasinya secara radiologic . caranya dengan menganalisis komponen-komponen yang berkolerasi cukup tepat dengan adanya osteoporosis. Namun hasil pengukuran pengukuran ini masih sangat lemah untuk mendiagnosis adanya osteoporosis. Pada pemeriksaan radiologic ini digunakan X-ray konvensional sehingga osteoporosis baru akan terlihat apabila massa tulang sudah berkurang hingga 30% atau lebih.
2. Pemeriksaan radioisotope Pemeriksaan ini menggunakan sinar foton radionuklida yang dapat mendeteksi densitas tulang dan ketebalan korteks tulang. Ada dua jenis pemeriksaan yaitu : single photon absorptiometry dan dual photon absorptiometry. a. Single photon absorptiometry (SPA) sinar photon bersumber dari 1-125 dengan dosis 200 mci yang diperiksa. b. Dual photon absorptiometry (DPA) sinar photon bersumber dari nuklida GA-135 sebanyak 1,5 Cl yang mempunyai energy (44 kev dan 100 kev). Pemeriksaan ini digunakan untuk mengukur vertebra dan colum femoris. 3. Pemeriksaan Quantitative Computerized Tamography (QCT). Quantitative computerized tomography (QCT) merupakan salah satu cara yang dipakai untuk mengukur mineral tulang karena dapat menilai secara volumetric trabekulasi tulang radius , tibia, dan vertebra. artefak
keuntungan kalsifikasi
QCT
adalah
osteosit
dan
tidak
dipengaruhi
kalsifikasi
aorta,
oleh
korteks
serta
tidak
dan perlu
diperhitungkan dengan berat badan dan tinggi badan. Kerugiannya adalah paparan radiasinya yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jenis pemeriksaan lainnya. 4. Magnetic resonance imaging (MRI) Cara ini dapat mengukur struktur trabekuler tulang dan kepadatannya. Alat tersebut tidak memakai radiasi, melainkan hanya dengan lapangan magnet yang sangat kuat. Sayangnya pemeriksaan ini mahal dan membutuhkan sarana yang banyak. 5. Quantitative Ultra Sound (QUS) Cara ini menggunakan kecepatan gelombang suara ultra yang menembus tulang. Kemudian dinilai atenuasi kekuatan dan daya tembus melalui tulang yang dinyatakan sebagai pita lebar ultrasonic (ultrasound broad band ) dan kekuatan (stiffness). Keuntungannya
adalah mudah
dibawah kemana-mana , tetapi
kerugiannya adalah tidak dapat mengetahui lokalisasi osteoporosis secara tepat. 6. Densitometer (X-ray absorptiometry) Menggunakan radiasi sinar X yang sangat rendah. Ada dua jenis X-ray absorptiometry yaitu SXA (Single X-ray absorptiometry) yang juga disebut scan tulang. Pengukuran dilakukan pada tulang yang kemungkinan mudah patah, seperti tulang belakang, pinggul, dan pergelangan tangan atau seluruh rangka tubuh.
Nilai massa tulang yang didapat dari pengukuran ini disebut kerapatan mineral tulang (BMD= bone mineral density). Pengukuran ini tidak menimbulkan rasa sakit, mudah dilakukan, hasil pemeriksaan diperoleh dalam waktu singkat, dan relative aman. Walaupun menggunakan sinar X, tingkat radiasinya sangat kecil , seingkali lebih kecil dari radiasi alamiah. Oleh karenanya, pengukuran dapat dilakukan pada anak-anak dan ibu hamil, serta dapat pula di ulang bila diperlukan. 7. Tes darah dan urine Sebenarnya osteoporosis tidak dapat di deteksi menggunakan tes darah dan urine. Namun demikian tes itu kedua tes ini masih mungkin dilakukan untuk mengetahui dan melihat kondisi lain yang terkait dengan hilangnya massa tulang.
BAB II KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian Pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu dalam menentukan status kesehatan dan pola pertahanan penderita, mengidentifikasikan, kekuatan dan kebutuhan penderita yang dapat diperoleh melalui anamnese, pemeriksaan fisik dan riwayat psikososial. 1. Anamnase a. Identitas 1) Identitas klien Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor register, diagnosa medik, alamat, semua data mengenai identitaas klien tersebut untuk menentukan tindakan selanjutnya. 2) Identitas penanggung jawab Identitas penanggung jawab ini sangat perlu untuk memudahkan dan jadi penanggung jawab klien selama perawatan, data yang terkumpul meliputi nama, umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat. b. Riwayat Kesehatan Dalam pengkajian riwayat kesehatan, perawat perlu mengidentifikasi adanya: 1) Rasa nyeri atau sakit tulang punggung (bagian bawah), leher,dan pinggang 2) Berat badan menurun 3) Biasanya diatas 45 tahun 4) Jenis kelamin sering pada wanita 5) Pola latihan dan aktivitas c. Pola aktivitas sehari-hari Pola aktivitas dan latihan biasanya berhubungan dengan olahraga, pengisian waktu luang dan rekreasi, berpakaian, makan, mandi, dan toilet. Olahraga dapat membentuk pribadi yang baik dan individu akan merasa lebih baik. Selain itu, olahraga dapat mempertahankan tonus otot dan gerakan sendi. Lansia memerlukan
aktifitas yang adekuat untuk mempertahankan fungsi tubuh. Aktifitas tubuh memerlukan interaksi yang kompleks antara saraf dan muskuloskeletal. Beberapa perubahan yang terjadi sehubungan dengan menurunnya gerak persendian adalah agility ( kemampuan gerak cepat dan lancar ) menurun, dan stamina menurun. 2. Pemeriksaan Fisik a. B1 (Breathing) Inspeksi
: Ditemukan ketidaksimetrisan rongga dada dan tulang belakang
Palpasi : Taktil fremitus seimbang kanan dan kiri Perkusi
: Cuaca resonan pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Pada kasus lanjut usia, biasanya didapatkan suara ronki b. B2 ( Blood) Pengisian kapiler kurang dari 1 detik, sering terjadi keringat dingin dan pusing. Adanya pulsus perifer memberi makna terjadi gangguan pembuluh darah atau edema yang berkaitan dengan efek obat. c. B3 ( Brain) Kesadaran biasanya kompos mentis. Pada kasus yang lebih parah, klien dapat mengeluh pusing dan gelisah. 1) Kepala dan wajah
: ada sianosis
2) Mata
: Sklera biasanya tidak ikterik, konjungtiva tidak
anemis 3) Leher
: Biasanya JVP dalam normal
Nyeri punggung yang disertai pembatasan pergerakan spinal yang disadari dan halus merupakan indikasi adanya satu fraktur atau lebih, fraktur kompresi vertebra d. B4 (Bladder) Produksi urine biasanya dalam batas normal dan tidak ada keluhan pada sistem perkemihan. e. B5 ( Bowel) Untuk kasus osteoporosis, tidak ada gangguan eliminasi namun perlu di kaji frekuensi, konsistensi, warna, serta bau feses.
f. B6 ( Bone) 3. Pada inspeksi dan palpasi daerah kolumna vertebralis. Klien osteoporosis sering menunjukan kifosis atau gibbus (dowager’s hump) dan penurunan tinggi badan dan berat badan. Ada perubahan gaya berjalan, deformitas tulang, leg-length inequality dan nyeri spinal. Lokasi fraktur yang sering terjadi adalah antara vertebra
Pemeriksaan penunjang a. Radiologi Gejala radiologi yang khas adalah densitas atau massa tulang yang menurun yang dapat dilihat pada vertebra spinalis. Dinding dekat korpus vertebra biasanya merupakan lokasi yang paling berat. Penipisan korteks dan hilangnya trabekula transversal merupakan kelainan yang sering ditemukan. Lemahnya korpus vertebrae menyebabkan penonjolan yang menggelembung dari nucleus pulposus kedalam ruang intervertebral dan menyebabkan deformitas bikonkaf. b. CT-Scan Dapat mengukur densitas tulang secara kuantitatif yang mempunyai nilai penting dalam diagnostik dan terapi follow up. Mineral vertebra diatas 110 mg/cm3 biasanya tidak menimbulkan fraktur vertebra atau penonjolan, sedangkan mineral vertebra dibawah 65 mg/cm3 ada pada hampir semua klien yang mengalami fraktur. (Nanda, 2015)
B. Diagnosa Keperawatan 1. Nyeri 2. Hambatan mobilitas fisik 3. Gangguan harga diri rendah 4. Resiko cedera 5. Defisiensi pengetahuan (Nanda, 2015)
C. Intervensi D. Diagnosa N
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan o 1
Nyeri
NOC :
Definisi : Sensori yang
Pain Level, Pain -
tidak control,
menyenangkan dan pengalaman
yang -
Lakukan
pengkajian
nyeri secara komprehensif termasuk
Comfort level
Kriteria Hasil :
emosional muncul
Pain Management
Mampu
lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan factor presipitasi. -
Observasi reaksi nonverbal dari
secara mengontrol nyeri (tahu ketidaknyamanan.
actual
atau penyebab nyeri, mampu -
potensial
menggunakan
Gunakan
tehnik komunikasi
teknik terapeutik
untuk
kerusakan jaringan nonfarmakologi
untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien.
atau
mengurang
nyeri, -
menggambarkan
mencari bantuan).
respon nyeri.
adanya
-
-
kerusakan
bahwa nyeri berkurang masa lampau.
(Asosiasi
Melaporkan
Studi dengan
Kaji kultur yang mempengaruhi
Evaluasi
pengalaman
nyeri
menggunakan -
Nyeri
manajemen nyeri.
Internasional):
-
serangan
mengenali nyeri (skala, ketidakefektifan kontrol nyeri masa
mendadak
Mampu
m
kesehatan
lain
tentang
atau intensitas, frekuensi dan lampau.
pelan intensitasnya tanda nyeri). dari ringan
Evaluasi bersama pasien dan ti
-
-
Menyatakan rasa untuk
sampai nyaman
setelah
Bantu
pasien
mencari
dan
dan
keluarga
menemukan
nyeri dukungan.
berat yang dapat berkurang.
-
diantisipasi dengan
mempengaruhi
akhir yang dapat
ruangan, pencahayaan dan kebisingan.
diprediksi
-
Kurangi faktor presipitasi nyeri.
-
Pilih
dan
dengan durasi kurang
dari
6
Kontrol lingkungan yang dapat nyeri
seperti
suhu
dan lakukan penanganan nyeri (farm
bulan.
akologi, non farmakologi dan inter
Batasan
personal).
karakteristik :
-
-
untuk menentukan intervensi.
Laporan
Kaji tipe dan sumber nyeri
secara verbal atau
-
non verbal.
farmakologi.
-
Fakta
dari
-
Ajarkan tentang teknik non
Berikan
observasi.
mengurangi nyeri.
-
-
Posisi
antalgic
untuk
Evaluasi
analgetik
untuk
keefektifan
kontrol
nyeri.
menghindari nyeri.
-
Tingkatkan istirahat.
-
-
Kolaborasikan dengan dokter
Gerakan
melindungi.
jika ada keluhan dan tindakan nyeri
-
tidak berhasil.
Tingkah
laku berhati-hati.
-
-
tentang manajemen nyeri
Muka
Monitor
penerimaan
topeng.
Analgesic Administration
-
-
Gangguan
pasien
Tentukan
lokasi,
tidur (mata sayu,
karakteristik,
tampak capek, sulit
nyeri sebelum pemberian obat.
atau
-
gerakan
kualitas,
dan
derajat
Cek instruksi dokter tentang
kacau,
jenis obat, dosis, dan frekuensi.
menyeringai).
-
Cek riwayat alergi.
-
-
Pilih
Terfokus
analgesic
pada diri sendiri.
yang diperlukan atau kombinasi dari
-
analgesik ketika pemberian lebih dari
Fokus
menyempit
satu.
(penurunan
-
Tentukan
pilihan
analgesik
persepsi
waktu,
tergantung tipe dan beratnya nyeri.
kerusakan
proses
-
Tentukan
analgesik
pilihan,
berpikir,
rute pemberian, dan dosis optimal.
penurunan
-
interaksi
dengan
orang lingkungan).
dan
Pilih rute pemberian secara IV,
IM untuk pengobatan nyeri secara teratur. -
-
Tingkah
Monitor vital sign sebelum da
laku
distraksi,
n
contoh
:
pertama kali.
jalan,
menemui
jalan-
-
sesudah
pemberian
Berikan analgesik tepat waktu
orang lain dan/atau
terutama saat nyeri hebat.
aktivitas, aktivitas
-
berulang-ulang).
analgesik,
-
samping).
Respon
autonom
(seperti
diaphoresis, perubahan tekanan darah,
perubahan
nafas,
nadi
dan
dilatasi pupil) -
Perubahan
autonomic
dalam
tonus
otot
(mungkin
dalam
rentang dari lemah ke kaku). -
Tingkah
laku
ekspresif
(contoh : gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel, nafas panjang/berkeluh kesah). -
Perubahan
dalam
nafsu
makan dan minum. Faktor
yang
analgesik
Evaluasi tanda dan
efektivitas gejala
(efek
berhubungan : Agen (biologi,
injuri kimia,
fisik, psikologis) 2
Hambatan
NOC
mobilitas fisik
·
Defenisi
NIC: Joint
movement: Exercise theraphy : ambulation
: active
·
Monitoring
vital
sign
keterbatasan pada ·
Mobility level
sebelum/sesudah
pergerakan fisik
Self care : ADLs
latihan dan lihat respon pasien saat
·
Tubuh atau satu Kriteria hasil : atau
lebih ·
ekstremitas secara Mandiri terarah
Klien
latihan meningkat ·
dalam aktifitas fisik
atau ·
Mengerti
dari
Konsultasikan
dengan
terapi
fisik tentang
tujuan rencana
ambulasi
sesuai
dengan
peningkatan kebutuhan
mobilias
·
·
tongkat
Memverbalisasika
n perasaan dalam meningkatkan
Bantu klien untuk menggunakan
Saat berjalan dan cegah terhadap
kekuatan cedera
dan kemampuan
·
berpindah
kesehatan
·
Lain tentang teknik ambulasi
Memperagakan
Ajarkan
penggunaan alat bantu
·
Untuk mobilisasi
mobilisasi ·
pasien
atau
tenaga
Kaji kemampuan pasien dalam
Latih pasien dalam pemenuhan
kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai dengan Kemampuan ·
Damping dan bantu pasien saat
mobilisasi Dan bantu penuhi kebutuhan ADLs pasien ·
Berikan alat bantu jika klien
memerlukan
3
Risiko cidera
NOC
Definisi : beresiko ·
NIC Risk control
Environment management (manajemen
mengalami cedera Kriteria hasil : sebagai
akibat -
lingkungan
Klien
terbebas ·
kondisi lingkungan dari cedera yang
untuk
berinteraksi Klien
dengan
mampu Pasien
sumber menjelaskan cara atau ·
adaptif dan sumber metode
mencegah Sesuai dengan kondisi fisik dan fungsi
injury/cedera ·
Identifikasi kebutuhan keamanan
pasien
defensive individu Untuk .
Sediakan lingkungan yang aman
Klien
Kognotif pasien dan riwayat penyakit mampu Terdahulu pasien.
menjelaskan factor resiko · dari
Menghindari lingkungan yang
berbahaya
Lingkungan / perilaku (memindahkan perabotan) personal
·
·
nyaman
Mampu
Menyediakan tempat tidur yang
memodifikasi gaya hidup Dan bersih untuk
·
Mencegah injury/ cedera
untuk
·
Menemani pasien
Menggunakan
fasilitas kesehatan yang · ada ·
Menganjurkan keluarga pasien
Memindahkan
barang-barang
yang dapat Mampu mengenali Membahayakan
perubahan status Kesehatan. 4
Harga
diri NOC
NIC
rendah
·
Body image
Self estreem enhancement
situasional
·
Coping ineffective
·
Definisi
Kriteria hasil :
: Perkembangan
·
persepsi negative
ketunandayaan
Tentang harga diri Fisik: sebagai
Tunjukan
rasa
percaya
diri
terhadap
Adaptasi terhadap Kemampuan pasien untuk mengatasi
respon
respon klien terhadap
Situasi adaptif ·
Dorong pasien mengidentifikasi
kekuatan
terhadap
Tantangan
Situasi saat ini
penting akibat
·
Ketunandayaan fisik
yang positif
·
fungsional Dirinya Ajarkan keterampilan perilaku
Resolusi berduka : Melalui bermain peran, atau diskusi
penyusuaian dengan
·
Monitor frekuensi komunikasi
Kehilangan actual atau verbal kehilangan yang
Pasien yang negative
Akan terjadi
·
·
mengkritik atau
Penyusuaian
psikososial:
Kaji
alasan-alasan
untuk
perubahan Menyalahkan diri sendiri
hidup Respon
psikososial
adaptif individu terhadap Perubahan
bermakna
dalam hidup ·
Mengungkapkan
penerimaan diri Komunikasi terbuka ·
Menggunakan
strategi koping efektif 5
Defisiensi
NOC :
Pengetahuan
-
Definisi
NIC : Kowlwdge
: Tidak disease process.
adanya
atau -
kurangnya
dengan
Berikan
penilaian
tentang proses penyakit yang spesifik.
informasi kognitif Kriteria Hasil : -
-
Kowledge : health tentang tingkat pengetahuan pasien
Behavior
sehubungan
: Teaching : disease Process
Pasien
topic keluarga
-
Jelaskan
dan penyakit
dan
menyatakan berhubungan
patofisiologi bagaimana dengan
hal
anatomi
dari ini dan
spesifik.
pemahaman
tentang fisiologi, dengan cara yang tepat.
Batasan
penyakit,
kondisi, -
karakteristik
prognosis dan program yang biasa muncul pada penyakit,
:memverbalisasika
pengobatan.
n adanya masalah, -
Pasien
Gambarkan tanda dan gejala
dengan cara yang tepat. dan -
Gambarkan
proses
penyakit,
ketidakakuratan
keluarga
mengikuti
melaksanakan
mampu dengan cara yang tepat. prosedur -
Identifikasi
kemungkinan
instruksi, perilaku yang dijelaskan secara penyebab, dengna cara yang tepat. tidak sesuai.
benar. yang -
Faktor
Pasien
dan
Sediakan informasi pada pasie
berhubungan
keluarga
mampu n tentang kondisi, dengan cara yang
:keterbatasan
menjelaskan kembali apa tepat.
kognitif,
yang
dijelaskan -
Hindari harapan yang kosong.
interpretasi
perawat/tim
kesehatan -
Sediakan
bagi
terhadap informasi lainnya
keluarga informasi tentang kemajuan
yang
pasien dengan cara yang tepat.
salah,
kurangnya keinginan
untuk
Diskusikan perubahan gaya hid
mencari informasi,
up yang mungkin diperlukan untuk
tidak
mencegah komplikasi di masa yang
mengetahui
sumber-sumber
akan
informasi.
pengontrolan penyakit. -
datang
dan
atau
proses
Diskusikan pilihan terapi atau
penanganan. -
Dukung
pasien
mengeksplorasi
untuk atau
mendapatkan second opinion dengan cara yang tepat atau diindikasikan. Eksplorasi kemungkinan sumbe r atau dukungan, dengan cara yang tepat. -
Rujuk pasien pada grup atau
agensi di komunitas lokal, dengan cara yang tepat. -
Instruksikan pasien mengenai
tanda melaporkan
dan
gejala pada
untuk pemberi
perawatan
kesehatan, dengan cara
yang tepat.
E. Implementasi Selama tahap implementasi, perawat melaksanakan rencana asuhan keperawatan. Instruksi keperawatan diimplementasikan untuk membantu klien memenuhi kebutuhan yang telah direncanakan. (Nanda, 2015) F. Evaluasi Hasil yang diharapkan : 1. Nyeri berkurang 2. Terpenuhinya kebutuhan mobilitas fisik 3. Status psikologi yang seimbang 4. Tidak terjadi cedera 5. Terpenuhinya kebutuhan, pengetahuan dan informasi
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Osteoporosis merupakan kondisi terjadinya penurunan densitas/ matriks/massa tulang, peningkatan prositas tulang, dan penurunan proses mineralisasi deisertai dengan kerusakakn arsitektur mikro jaringan tulang yang mengakibatkan penurunan kekokohan tulang sehingga tulang menjadi mudah patah. Beberapa faktor resiko Osteoporosis antara lain yaitu : usia, genetik, defisiensi kalsium, aktivitas fisik kurang, obat-obatan (kortikosteroid, anti konvulsan, heparin, siklosporin), merokok, alcohol serta sifat fisik tulang (densitas atau massa tulang) dan lain sebagainya. Osteoporosis sering mengakibatkan fraktur kompresi. Fraktur kompresi ganda vertebra mengakibatkan deformitas skelet. B. Saran 1. Lansia Harus lebih memperhatikan kesehatan dengan menghindari faktor-faktor resiko osteoporosis serta memenuhi asupan gizi yang lengkap terutama untuk tulang 2. Tenaga medis Sebagai seorang tenaga medis harus mampu memberikan pendidikan kesehatan yang baik terutama bagi lansia sehingga dapat menghindarkan atau mencegah terjadinya penyakit osteoporosis
DAFTAR PUSTAKA
Purwoastuti Endang. 2009. Waspada ! OSTEOPOROSIS. Yogyakarta. Kanisius Emma Wirakusumah.2007. Mencegah Osteopporosis. Jakarta. Penebar plus Tandra hans. 2009. Segala sesuatu yang harus anda ketahui tentang osteoporosis mengenal, mengatasi dan mencegah Tulang Keropos. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Suratun, Heryati. 2008. KLIEN GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL : SERI ASUHAN KEPERAWATAN. Jakarta : EGC Rosyidi Kholid. 2013. MUSKULOSKELETAL. Jakarta : CV. TRANS INFO MEDIA Lukman, Ningsih Nurma. 2012. ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL. Jakarta : Salemba Medika Sudoyo, Aru dkk. 2009. Buku Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3 Edisi 5. Jakarta : Internal Publishing.
Nanda. (2015). Diagnosis keperawatan defenisi & klasifikasi 2015-2017 (10th ed.). Jakarta: EGC.