Askep Osteoporosis.docx

  • Uploaded by: nurhudaya
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Askep Osteoporosis.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,210
  • Pages: 26
LAPORAN PENDAHULUAN OSTEOPOROSIS

OLEH : KELOMPOK II KEPERAWATAN A

1. ROHIMIN MUH IKRAM 2. ANDI RISKA ROSWATI 3. RINA NUR INSANI 4. DINASARI 5. NURHUDAYA FAUZIAH.L 6. IKRANSYAH 7. ALMASARI KANITA

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UIN ALAUDDIN MAKASSAR 2018

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Salah satu masalah gangguan kesehatan yang menonjol pada usia lanjut adalah gangguan muskoloskeletal, terutama osteoartritis dan osteoporosis. Menghadapi problem ini tanpa adanya persiapa yang baik, di khawatirkan akan menjadikan beban yang akan di tanggung pemerintah, masyarakat, dan warga usia lanjut dengan keluarga akan menjadi

sangat besar dan akan

menghambat perkembangan ekonomi

serta

memperburuk kualitas hidup manusia secara utuh. Osteoporosis adalah suatu problem klimakterium yang serius. Di amerika serikat dijumpai satu kasus osteoporosis di antara dua sampai tiga wanita pascamonopause. Massa tulang pada manusia mencapai maksimum pada usia sekita 35 tahun, kemudian terjadi penurunan massa tulang secara eksponensial. Penurunan massa tulang ini berkisar antara 3-5% setiap decade, sesuai dengan kehilangan massa otot dan hal ini di alami baik pada pria dan wanita. Pada masa klimakterium, penurunan massa tulang pada wanita lebih mencolok dan dapat mencapai 2-3% setahun secara eksponensial. Pada usia 70 tahun kehilangan massa tulang pada wanita ini baru mencapai 25% . Kecepatan resorpsi tulang lebih besar dari kecepatan pembentukan tulang, sehingga dapat menurunkan massa tulang total. Osteoporosis adalah penyakit yang mempunyai sifat-sifat khas berupa massa tulang yang rendah, disertai mikroarsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang. Tulang secara progresif menjadi rapuh dan mudah patah. Tulang menjadi mudah patah dengan stres, yang pada tulang normal tidak menimbulkan pengaruh. Sherwood (2001), mengatakan selama dua decade pertama kehidupan, saat terjadi pertumbuhan, pengendapan tulang melebihi resorpsi tulang dibawah pengaru hormone pertumbuhan. Sebaiknya pada usia 50-6- tahun, resorpsi tulang melebihi pembentukan tulang. Kalsitonin yang menghambat resorpsi tulang dan merangsang pembentukan tulang mengalami penurunan. Hormone paratiroid meningkat bersama bertambahnya dan meningkatkan resorpsi tulang. Hormone estrogen yang menghambat pemecahan tulang, juga berkurang bersama bertambahnya usia.

Menurut Ganong (2003), perempuan dewasa memiliki massa tulang yang lebih sedikit daripada pria dewasa, dan setelah menopause mereka mulai kehilangan tulang lebih cepat daripada pria. Akibatnya perempuan lebih rentang menderita ospteoporosis serius. Penyebab utama berkurangnya tulang setelah menopause adalah defesiensi hormone estrogen. Pada osteoporosis, matriks dan mineral tulang hilang, hingga massa dan kekuatan tulang, dengan peningkatan fraktur. Osteoporosis sering menimbulkan fraktur kompresi pada vertebra

torakalis.

Terdapat penyempitan diskus vertebra, apabila penyebaran berlanjut keseluruh korpus vertebra akan menimbulkan kompresi vertebra dan terjadi gibus. Fraktur kolum femur sering terjadi pada usia di atas 60 tahun dan lebih sering pada perempuan, yang disebabkan oleh penuaan dan osteoporosis pascamenopause. Kolaps bertahap tulang vertebra mungkin tidak menimbulkan gejala, namun terlihat sebagai kifosis progresif. Kifosis dapat mengakibatkan pengurangan tinggi badan. Pada beberapa perempuan dapat kehilangan tinggi badan sekitar 2,5-15 cm, akibat kolaps vertebra. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana konsep medis osteoporosis ? 2. Bagaimana konsep asuhan keperawatan osteoporosis ?

C. Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui konsep medis osteoporosis. 2. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan osteoporosis.

BAB II KONSEP MEDIS OSTEOPOROSIS

A. Defenisi Osteoporosis Osteoporosis adalah suatu kondisi berkurangnya massa tulang secara nyata yang berakibat pada rendahnya kepadatan tulang, sehingga tulang menjadi keropos dan rapuh. “Osto” berarti tulang, sedangkan “porosis” berarti keropos. Tulang yang mudah patah akibat Osteoporosis adalah tulang belakang, tulang paha, dan tulang pergelangan tangan (Endang Purwoastuti : 2009) . Osteoporosis yang dikenal dengan keropos tulang menurut WHO adalah penyakit skeletal sistemik dengan karakteristik massa tulang yang rendah dan perubahan mikroarsitektur dari jaringan tulang dengan akibat meningkatnya fragilitas tulang dan meningkatnya kerentanan terhadap tulang patah. Osteoporosis adalah kelainan dimana terjadi penurunan massa tulang total (Lukman, Nurma Ningsih : 2009). Osteoporosis adalah suatu keadaan dimana terdapat pengurangan jaringan tulang per unit volume,sehingga tidak mampu melindungi atau mencegah terjadinya fraktur terhadap trauma minimal (Kholid Rosyidi : 2013). Osteoporosis adalah kelainan di mana terjadi penurunan massa tulang total. Terdapat perubahan pergantian tulang homeostasis normal, kecepatan resorpsi tulang lebih besar dari kecepatan pembentukan tulang, pengakibatkan penurunan masa tulang total. Tulang secara progresif menjadi porus, rapuh dan mudah patah; tulang menjadi mudah fraktur dengan stres

yang tidak akan menimbulkan pengaruh pada tulang normal

(Brunner&Suddarth, 2000).

B. Klasifikasi Osteoporosis Klasifikasi osteoporosis dibagi ke dalam dua kelompok yaitu osteoporosis primer dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer terdapat pada wanita postmenopause (postmenopause osteoporosis) dan pada laki-laki lanjut usia (senile osteoporosis). Penyebab osteoporosis belum diketahui dengan pasti. Sedangkan osteoporosis sekunder disebabkan

oleh

misalnya Chusing’s

penyakit

yang

berhubungan

disease,hipertiriodisme,

dengan

Kelainan

hiperparatiriodisme,

endokrin

hipogonadisme,

kelainan hepar, gagal ginjal kronis, kurang gerak, kebiasaan minum alcohol, pemakaian

obat-obatan/kortikosteroid, kelebihan kafein, dan merokok (Lukman, Nurma Ningsih : 2009). Djuwantoro (1996) dalam sudoyo (2009), membagi osteoporosis menjadi osteoporosis postmenopause (Tipe I), Osteoporosis involutional (Tipe II), osteoporosis idiopatik, osteoporosis juvenil dan osteoporosis sekunder. 1. Osteoporosis Postmenopause (Tipe I) Merupakan bentuk yang paling sering ditemukan pada wanita kulit putih dan Asia. Bentuk osteoporosis ini disebabkan oleh percepatan resopsi tulang yang berlebihan dan lama setelah penurunan sekresi hormon estrogen pada masa menopause. 2. Osteoporosis involutional (Tipe II) Terjadi pada usia diatas 75 tahun pada perempuan maupun laki-laki. Tipe ini diakibatkan oleh ketidakseimbangan yang samar dan lama antara kecepatan resorpsi tulang dengan kecepatan pembentukan tulang. 3. Osteoporosis idiopatik Adalah tipe osteoporosis

primer

yang jarang terjadi

pada wanita

premenopouse dan pada laki-laki yang berusi di bawah 75 tahun. Tipe ini tidak berkaitan dengan penyebab sekunder atau faktor resiko yang mempermudah timbulnya penurunan densitas tulang. 4. Osteoporosis juvenil Merupakan bentuk yang paling jarang terjadi dan bentuk osteoporosis yang terjadi pada anak-anak prepubertas. 5. Osteoporosis sekunder Penurunan densitas tulang yang cukup berat untuk menyebabkan fraktur atraumatik akibat faktor ekstrinsik seperti kelebihan kortikosteroid, atraumatik reumatoid, kelainan hati/ ginjal kronis, sindrom malabsorbsi, mastisitosis sistemik, hipertiriodisme , varian status hipogonade dan lain-lain. (Sudoyo, 2009)

C. Etiologi Osteoporosis Osteoporosis postmenopouse terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia diantara 51-75 tahun, tetapi bisa mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki resiko yang sama untuk menderita osteoporosis postmenopouse, pada wanita kulit putih dan

daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam (Lukman, Nurma Ningsih : 2009). Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan kasium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan diantara kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan tulang yang baru. Senilis yaitu keadaan penurunan masa tulang yang hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia diatas 70 tahun dan dua kali lebih sering menyerang wanita. Wanita sering kali menderita osteoporosis senilis dan postmenopouse (Lukman, Nurma Ningsih : 2009). Kurang dari lima persen penderita osteoporosis juga mengalami osteoporosis sekunder, yang disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau oleh obet-obatan. Penyakit ini bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid, dan adrenal) dan obat- obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat, antikejang, hormon tiroid yang berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan dan kebiasaan merokok bisa memperburuk keadaan ini (Lukman, Nurma Ningsih : 2009). Osteoporosis juvenil idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa yang normal dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang (Lukman, Nurma Ningsih : 2009). Faktor genetik juga berpengaruh terhadap timbulnya osteoporosis. Pada seseorang dengan tulang yang kecil akan lebih mudah mendapat risiko fraktur daripada seseorang dengan tulang yang besar. Sampai saat ini tidak ada ukuran universal yang dapat dipakai sebagai ukuran tulang normal. Setiap individu memiliki ketentuan normal sesuai dengan sifat genetiknya beban mekanis dan besar badannya. Apabila individu dengan tulang besar, kemudian terjadi proses penurunan massa tulang (osteoporosis) sehubungan dengan lanjutnya usia, maka individu tersebut relatif masih mempunyai tulang lebih banyak daripada individu yang mempunyai tulang kecil pada usia yang sama (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).

D. Patofisiologi Osteoporosis Genetik, nutrisi, gaya hidup (misal merokok, konsumsi kafein, dan alkohol), dan aktivitas mempengaruhi puncak massa tulang. Kehilangan masa tulang mulai terjadi setelah tercaipainya puncak massa tulang. Pada pria massa tulang lebih besar dan tidak mengalami perubahan hormonal mendadak. Sedangkan pada perempuan, hilangnya estrogen pada saat menopouse dan pada ooforektomi mengakibatkan percepatan resorpsi

tulang dan berlangsung terus selama tahun-tahun pasca menopouse (Lukman, Nurma Ningsih : 2009). Diet kalsium dan vitamin D yang sesuai harus mencukupi untuk mempertahankan remodelling tulang selama bertahun-tahun mengakibatkan pengurangan massa tulang dan fungsi tubuh. Asupan kasium dan vitamin D yang tidak mencukupi selama bertahuntahun mengakibatkan pengurangan massa tulang dan pertumbuhan osteoporosis. Asupan harian kalsium yang dianjurkan (RDA : recommended daily allowance) meningkat pada usia 11 – 24 tahun (adolsen dan dewasa muda) hingga 1200 mg per hari, untuk memaksimalakan puncak massa tulang. RDA untuk orang dewasa tetap 800 mg, tetapi pada perempuan pasca menoupose 1000-1500 mg per hari. Sedangkan pada lansia dianjurkan mengkonsumsi kalsium dalam jumlah tidak terbatas. Karena penyerapan kalsium kurang efisisien dan cepat diekskresikan melalui ginjal (Smeltzer, 2002). Demikian pula, bahan katabolik endogen (diproduksi oleh tubuh) dan eksogen dapat menyebabkan osteoporosis. Penggunaan kortikosteroid yang lama, sindron Cushing, hipertiriodisme dan hiperparatiriodisme menyebabkan kehilangan massa tulang. Obatobatan seperti isoniazid, heparin tetrasiklin, antasida yang mengandung alumunium, furosemid, antikonvulsan, kortikosteroid dan suplemen tiroid mempengaruhi penggunaan tubuh dan metabolisme kalsium. Imobilitas juga mempengaruhi terjadinya osteoporosis. Ketika diimobilisasi dengan gips, paralisis atau inaktivitas umum, tulang akan diresorpsi lebih cepat dari pembentukannya sehingga terjadi osteoporosis.

E. Manifestasi Klinis Osteoporosis Kepadatan tulang berkurang secara perlahan, sehingga pada awalnya osteoporosis tidak menimbulkan gejala pada beberapa penderita. Jika kepadatan tulang sangat berkurang yang menyebabkan tulang menjadi kolaps atau hancur, maka akan timbul nyeri tulang dan kelainan bentuk. Tulang-tulang yang terutama terpengaruh pada osteoporosis adalah radius distal, korpus vertebra terutama mengenai T8-L4, dan kollum femoris (Lukman, Nurma Ningsih : 2009). Kolaps tulang belakang menyebabkan nyeri punggung menahun. Tulang belakang yang rapuh bisa mengalami kolaps secara spontan atau karena cedera ringan. Biasanya nyeri timbul secara tiba-tiba dan dirasakan di daerah tertentu dari pungung yang akan bertambah nyeri jika penderita berdiri atau berjalan. Jika disentuh, daerah tersebut akan terasa sakit, tetapi biasanya rasa sakit ini akan menghilang secara bertahap setelah

beberapa minggu atau beberapa bulan. Jika beberapa tulang belakang hancur, maka akan terbentuk kelengkungan yang abnormal dari tulang belakang (punuk), yang menyebabkan terjadinya ketegangan otot dan rasa sakit (Lukman, Nurma Ningsih : 2009). Tulang lainnya bisa patah, yang sering kali disebabkan oleh tekanan yang ringan atau karena jatuh. Salah satu patah tulang yang paling serius adalah patah tulang panggul. Selain itu , yang juga sering terjadi adalah patah tulang lengan (radius) di daerah persambungannya dengan pergelangan tangan, yang disebut fraktur Colles. Pada penderita osteoporosis, patah tulang cenderung mengalami penyembuhan secara perlahan (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).

F. Pengobatan Osteoporosis Pengobatan osteoporosis yang telah lama digunakan yaitu terapi medis yang lebih menekankan pada pengurangan atau meredakan rasa sakit akibat patah tualng. Selain itu, juga dilakukan terapi hormone pengganti (THP) atau hormone replacement therapy (HRT) yaitu menggunakan estrogen dan progresteron. Terapi lainnya yaitu terapi non hormonal antara lain suplemen kalsium dan vitamin D. 1. Terapi medis Sebenarnya belum ada terapi yang secara khusus dapat mengembalikan efek dari osteoporosis. Hal yang dapat dilakukan adalah upaya-upaya untuk menekan atau memperlambat menurunnya massa tulang serta mengurangi rasa sakit. a. Obat pereda sakit Pada tahap awal setelah terjadinya patah tulang, biasanya diperlukan obat pereda sakit yang kuat, seperti turunan morfin. Namun, obat tersebut memberikan efek samping seperti mengantuk, sembelit dan linglung. Bagi yang mengalami rasa sakit yang sangat dan tidak dapat diredakan dengan obat pereda sakit, dapat diberikan suntikan hormone kalsitonin. Bila rasa sakit mulai mereda, tablet pereda rasa sakit seperti paracetamol atau codein ataupun kombinasi keduanya seperti co-dydramol, co- codramol, atau coproxamol bagi banyak pasien cukup memadai untuk menghilangkan rasa sakit sehingga pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari. 2. Terapi hormone pada wanita Osteoporosis memang tidak dapat disembuhkan, semua upaya pengobatan hanya dimaksudkan untuk mencegah kehilangan massa tulang yang lebih besar.

Namun, demikian, pengobatan masih perlu dilakukan pada kasus osteoporosis berat untuk mencegah terjadinya patah tulang. Obat-obat untuk mencegah penurunan massa tulang biasanya bekerja lambat dan efeknya kurang terasa sehingga banyak pasien penderita osteoporosis merasa putus asa dan menghentikan pengobatan. Hal tersebut sangat tidak baik karena pengobatan jangka panjang diperlukan untuk dapat secara maksimal menekan laju penurunan massa tulang dan patah tulang. Terapi hormone pada wanita diberikan pada masa pramenopause. Lamanya pemberian terapi hormone sulit ditentukan. Yang jelas jika ingin terhindar dari osteoporosis, terapi hormone dapat terus dilakukan. Sebagian dokter menganjurkan untuk dilakukan terapi hormone seumur hidup semenjak menopause pada wanita yang mengalami osteoporosis. Namun, sebagian juga berpendapat bahwa penggunaan terapi hormone sebaiknya dihentikan setelah penggunaan selama 5-10 tahun untuk menghindari kemungkinan terjadinya kanker. a. Hormone Replacement Theraphy (HRT) Hormone Replacement Theraphy (HRT) atau terapi hormone pengganti (THP) menggunakan hormone estrogen atau kombinasi estrogen dan progesterone. Hormone-hormon tersebut sebenarnya secara alamiah diproduksi oleh indung telur, tetapi produksinya semakin menurun selama menopause sehingga perlu dilakukan HRT. Penggunaan estrogen memang efektif

dalam upaya pengobatan dan

pencegahan osteoporosis. Namun, tidak terlepas dari kemungkinan terjadinya efek samping berupa munculnya kanker endometrium (dinding rahim). Dengan adanya hormone tersebut akan merangsang pertumbuhan sel-sel di dinding rahim yang apabila pertumbuhannya terlalu pesat dapat berkembang menjadi kanker ganas. Oleh karena itu, penggunaan estrogen biasanya di kombinasikan dengan progesterone untuk mengurangi resiko tersebut. Efek lain yang juga dapat timbul dalam pemberian terapi hormone, diantaranya adalah pembesaran payudara, kembung, retensi cairan, mual, muntah, sakit kepala, gangguan pencernaan, dan gangguan emosi. Namun, demikian, efek tersebut biasanya hanya terjadi pada awal terapi dan kondisi berangsur membaik dengan sendirinya. Dapat juga dilakukan pemberian hormone estrogen dan progesterone secara bertahap, dosis kecil diberikan pada awal terapi dilihat dulu reaksinya terhadap tubuh. Bila dosis dapat diterima tubuh, dosis kemudian dinaikkan secara bertahap.

b. Kalsitonin Selain hormone estrogen dan progesterone, hormone lain yang biasa digunakan dalam pencegahan dan pengobatan osteoporosis adalah kalsitonin. Kalsitonin turut menjaga kestabilan struktur tulang dengan mengaktifkan kerja sel osteoblast dan menekan kinerja sel osteoclast. Kalsitonin juga berperan dalam mengurangi rasa sakit yang mungkin timbul pada keadaan patah tulang. Hormone ini secara normal dihasilkan oleh kelenjar tiroid yang memiliki sifat meredakan rasa sakit yang cukup ampuh. Kalsitonin biasanya diberikan dalam bentuk suntikan yang diberikan setiap hari atau dua hari sekali selama dua atau tiga minggu. Hormone ini juga dapat menimbulkan efek samping berupa rasa mual dan muka merah, mungkin pula terjadi muntah dan diare serta rasa sakit pada bekas suntikan. c. Testosterone Testosterone adalah hormone yang biasa dihasilkan oleh tubuh pria. Penggunaan hormone testosterone pada wanita dengan osteoporosis pasca menopause mampu menghambat kehilangan massa tulang. Namun, dapat muncul efek maskulinasi seperti penambahan rambut secara berlebihan di dada, kaki, tangan, timbulnya jerawat dimuka dan pembesaran suara seperti yang biasa terjadi pada pria. 3. Terapi non-hormonal Terapi hormone selama ini memang dianggap sebagai jalan yang paling baik untuk mengobati osteoporosis. Namun, karena banyaknya efek samping yang dapat ditimbulkan dan tidak dapat diterapkan pada semua pasien osteoporosis, maka sekarang mulai dikembangkan terapi non-hormonal. a. Bisfosfonat Bisfosfonat merupakan golongan obat sintetis yang saat ini sangat dikenal dalam pengobatan osteoporosis non-hormonal. Efek utama dari obat ini adalah menonaktifkan sel-sel penghancur tulang (osteoclast) sehingga penurunan massa tulang dapat dihindari. Obat-obat yang termasuk golongan bisfosfonat adalah etidronat dan alendronat. b. Etidronat Etidronat adalah obat golongan bisfosfonat pertama yang biasa digunakan dalam pengobatan osteoporosis. Obat ini diberikan dalam bentuk tablet dengan dosis satu kali sehari selama dua minggu. Penggunaan obat ini harus dikombinasikan dengan konsumsi suplemen kalsium. Namun, perlu diperhatikan agar konsumsi

suplemen kalsium harus dihindari dalam waktu dua jam sebelum dan sesudah mengkonsumsi etidronat karena dapat mengganggu penyerapannya. Kadang kala konsumsi etidronat memberikan efek samping,tetapi relative kecil. Misalnya timbul mual, diare, ruam kulit dan lain-lain. c. Alendronat Alendornat mempunyai fungsi dan peran yang serupa dengan etidronat, perbedaannya adalah pada penggunaannya tidak perlu dikombinasikan dengan konsumsi suplemen kalsium, tetapi bila asupan kalsium masih rendah, pemberian kalsium tetap dianjurkan. Efek samping yang mungkin ditimbulkan pada konsumsi alendronat adalah timbulnya diare, rasa sakit dan kembung pada perut, serta gangguan pada tenggorokan. 4. Terapi alamiah Terapi alamiah adalah terapi yang diterapkan untuk mengobati osteoporosis tanpa menggunakan obat-obatan atau hormone. Terapi ini berhubungan dengan gaya hidup dan pola konsumsi. Beberapa pencegahan yang dapat diberikan yaitu dengan berolahraga secara teratur, hindari merokok, hindari minuman beralkohol dan menjaga pola makan yang baik. G. Pemeriksaan Diagnostik Sebenarnya langkah terbaik dalam penanganan osteoporosis adalah pencegahan karena bila sudah terkena susah, bahkan tidak dapat dipulihkan. Seyogyanya, sedini mungkin dilakukan diagnosis untuk mendeteksi keadaan massa tulang sebelum terjadi akibat yang lebih fatal seperti terjadinya patah tulang . penilaian langsung tulang untuk mengetahui ada tidaknya osteoporosis dapat dilakukan dengan berbagai cara , yaitu sebagai berikut : 1. Pemeriksaan radiologic Saat ini, sing dkk telah mengembangkan indeks sing untuk mengukur ketebalan colum femaris dan komponen-komponen trabekulasinya secara radiologic . caranya dengan menganalisis komponen-komponen yang berkolerasi cukup tepat dengan adanya osteoporosis. Namun hasil pengukuran pengukuran ini masih sangat lemah untuk mendiagnosis adanya osteoporosis. Pada pemeriksaan radiologic ini digunakan X-ray konvensional sehingga osteoporosis baru akan terlihat apabila massa tulang sudah berkurang hingga 30% atau lebih.

2. Pemeriksaan radioisotope Pemeriksaan ini menggunakan sinar foton radionuklida yang dapat mendeteksi densitas tulang dan ketebalan korteks tulang. Ada dua jenis pemeriksaan yaitu : single photon absorptiometry dan dual photon absorptiometry. a. Single photon absorptiometry (SPA) sinar photon bersumber dari 1-125 dengan dosis 200 mci yang diperiksa. b. Dual photon absorptiometry (DPA) sinar photon bersumber dari nuklida GA-135 sebanyak 1,5 Cl yang mempunyai energy (44 kev dan 100 kev). Pemeriksaan ini digunakan untuk mengukur vertebra dan colum femoris. 3. Pemeriksaan Quantitative Computerized Tamography (QCT). Quantitative computerized tomography (QCT) merupakan salah satu cara yang dipakai untuk mengukur mineral tulang karena dapat menilai secara volumetric trabekulasi tulang radius , tibia, dan vertebra. artefak

keuntungan kalsifikasi

QCT

adalah

osteosit

dan

tidak

dipengaruhi

kalsifikasi

aorta,

oleh

korteks

serta

tidak

dan perlu

diperhitungkan dengan berat badan dan tinggi badan. Kerugiannya adalah paparan radiasinya yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jenis pemeriksaan lainnya. 4. Magnetic resonance imaging (MRI) Cara ini dapat mengukur struktur trabekuler tulang dan kepadatannya. Alat tersebut tidak memakai radiasi, melainkan hanya dengan lapangan magnet yang sangat kuat. Sayangnya pemeriksaan ini mahal dan membutuhkan sarana yang banyak. 5. Quantitative Ultra Sound (QUS) Cara ini menggunakan kecepatan gelombang suara ultra yang menembus tulang. Kemudian dinilai atenuasi kekuatan dan daya tembus melalui tulang yang dinyatakan sebagai pita lebar ultrasonic (ultrasound broad band ) dan kekuatan (stiffness). Keuntungannya

adalah mudah

dibawah kemana-mana , tetapi

kerugiannya adalah tidak dapat mengetahui lokalisasi osteoporosis secara tepat. 6. Densitometer (X-ray absorptiometry) Menggunakan radiasi sinar X yang sangat rendah. Ada dua jenis X-ray absorptiometry yaitu SXA (Single X-ray absorptiometry) yang juga disebut scan tulang. Pengukuran dilakukan pada tulang yang kemungkinan mudah patah, seperti tulang belakang, pinggul, dan pergelangan tangan atau seluruh rangka tubuh.

Nilai massa tulang yang didapat dari pengukuran ini disebut kerapatan mineral tulang (BMD= bone mineral density). Pengukuran ini tidak menimbulkan rasa sakit, mudah dilakukan, hasil pemeriksaan diperoleh dalam waktu singkat, dan relative aman. Walaupun menggunakan sinar X, tingkat radiasinya sangat kecil , seingkali lebih kecil dari radiasi alamiah. Oleh karenanya, pengukuran dapat dilakukan pada anak-anak dan ibu hamil, serta dapat pula di ulang bila diperlukan. 7. Tes darah dan urine Sebenarnya osteoporosis tidak dapat di deteksi menggunakan tes darah dan urine. Namun demikian tes itu kedua tes ini masih mungkin dilakukan untuk mengetahui dan melihat kondisi lain yang terkait dengan hilangnya massa tulang.

BAB II KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian Pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu dalam menentukan status kesehatan dan pola pertahanan penderita, mengidentifikasikan, kekuatan dan kebutuhan penderita yang dapat diperoleh melalui anamnese, pemeriksaan fisik dan riwayat psikososial. 1. Anamnase a. Identitas 1) Identitas klien Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor register, diagnosa medik, alamat, semua data mengenai identitaas klien tersebut untuk menentukan tindakan selanjutnya. 2) Identitas penanggung jawab Identitas penanggung jawab ini sangat perlu untuk memudahkan dan jadi penanggung jawab klien selama perawatan, data yang terkumpul meliputi nama, umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat. b. Riwayat Kesehatan Dalam pengkajian riwayat kesehatan, perawat perlu mengidentifikasi adanya: 1) Rasa nyeri atau sakit tulang punggung (bagian bawah), leher,dan pinggang 2) Berat badan menurun 3) Biasanya diatas 45 tahun 4) Jenis kelamin sering pada wanita 5) Pola latihan dan aktivitas c. Pola aktivitas sehari-hari Pola aktivitas dan latihan biasanya berhubungan dengan olahraga, pengisian waktu luang dan rekreasi, berpakaian, makan, mandi, dan toilet. Olahraga dapat membentuk pribadi yang baik dan individu akan merasa lebih baik. Selain itu, olahraga dapat mempertahankan tonus otot dan gerakan sendi. Lansia memerlukan

aktifitas yang adekuat untuk mempertahankan fungsi tubuh. Aktifitas tubuh memerlukan interaksi yang kompleks antara saraf dan muskuloskeletal. Beberapa perubahan yang terjadi sehubungan dengan menurunnya gerak persendian adalah agility ( kemampuan gerak cepat dan lancar ) menurun, dan stamina menurun. 2. Pemeriksaan Fisik a. B1 (Breathing) Inspeksi

: Ditemukan ketidaksimetrisan rongga dada dan tulang belakang

Palpasi : Taktil fremitus seimbang kanan dan kiri Perkusi

: Cuaca resonan pada seluruh lapang paru

Auskultasi : Pada kasus lanjut usia, biasanya didapatkan suara ronki b. B2 ( Blood) Pengisian kapiler kurang dari 1 detik, sering terjadi keringat dingin dan pusing. Adanya pulsus perifer memberi makna terjadi gangguan pembuluh darah atau edema yang berkaitan dengan efek obat. c. B3 ( Brain) Kesadaran biasanya kompos mentis. Pada kasus yang lebih parah, klien dapat mengeluh pusing dan gelisah. 1) Kepala dan wajah

: ada sianosis

2) Mata

: Sklera biasanya tidak ikterik, konjungtiva tidak

anemis 3) Leher

: Biasanya JVP dalam normal

Nyeri punggung yang disertai pembatasan pergerakan spinal yang disadari dan halus merupakan indikasi adanya satu fraktur atau lebih, fraktur kompresi vertebra d. B4 (Bladder) Produksi urine biasanya dalam batas normal dan tidak ada keluhan pada sistem perkemihan. e. B5 ( Bowel) Untuk kasus osteoporosis, tidak ada gangguan eliminasi namun perlu di kaji frekuensi, konsistensi, warna, serta bau feses.

f. B6 ( Bone) 3. Pada inspeksi dan palpasi daerah kolumna vertebralis. Klien osteoporosis sering menunjukan kifosis atau gibbus (dowager’s hump) dan penurunan tinggi badan dan berat badan. Ada perubahan gaya berjalan, deformitas tulang, leg-length inequality dan nyeri spinal. Lokasi fraktur yang sering terjadi adalah antara vertebra

Pemeriksaan penunjang a. Radiologi Gejala radiologi yang khas adalah densitas atau massa tulang yang menurun yang dapat dilihat pada vertebra spinalis. Dinding dekat korpus vertebra biasanya merupakan lokasi yang paling berat. Penipisan korteks dan hilangnya trabekula transversal merupakan kelainan yang sering ditemukan. Lemahnya korpus vertebrae menyebabkan penonjolan yang menggelembung dari nucleus pulposus kedalam ruang intervertebral dan menyebabkan deformitas bikonkaf. b. CT-Scan Dapat mengukur densitas tulang secara kuantitatif yang mempunyai nilai penting dalam diagnostik dan terapi follow up. Mineral vertebra diatas 110 mg/cm3 biasanya tidak menimbulkan fraktur vertebra atau penonjolan, sedangkan mineral vertebra dibawah 65 mg/cm3 ada pada hampir semua klien yang mengalami fraktur. (Nanda, 2015)

B. Diagnosa Keperawatan 1. Nyeri 2. Hambatan mobilitas fisik 3. Gangguan harga diri rendah 4. Resiko cedera 5. Defisiensi pengetahuan (Nanda, 2015)

C. Intervensi D. Diagnosa N

Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Keperawatan o 1

Nyeri

NOC :

Definisi : Sensori yang

Pain Level, Pain -

tidak control,

menyenangkan dan pengalaman

yang -

Lakukan

pengkajian

nyeri secara komprehensif termasuk

Comfort level

Kriteria Hasil :

emosional muncul

Pain Management

Mampu

lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan factor presipitasi. -

Observasi reaksi nonverbal dari

secara mengontrol nyeri (tahu ketidaknyamanan.

actual

atau penyebab nyeri, mampu -

potensial

menggunakan

Gunakan

tehnik komunikasi

teknik terapeutik

untuk

kerusakan jaringan nonfarmakologi

untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien.

atau

mengurang

nyeri, -

menggambarkan

mencari bantuan).

respon nyeri.

adanya

-

-

kerusakan

bahwa nyeri berkurang masa lampau.

(Asosiasi

Melaporkan

Studi dengan

Kaji kultur yang mempengaruhi

Evaluasi

pengalaman

nyeri

menggunakan -

Nyeri

manajemen nyeri.

Internasional):

-

serangan

mengenali nyeri (skala, ketidakefektifan kontrol nyeri masa

mendadak

Mampu

m

kesehatan

lain

tentang

atau intensitas, frekuensi dan lampau.

pelan intensitasnya tanda nyeri). dari ringan

Evaluasi bersama pasien dan ti

-

-

Menyatakan rasa untuk

sampai nyaman

setelah

Bantu

pasien

mencari

dan

dan

keluarga

menemukan

nyeri dukungan.

berat yang dapat berkurang.

-

diantisipasi dengan

mempengaruhi

akhir yang dapat

ruangan, pencahayaan dan kebisingan.

diprediksi

-

Kurangi faktor presipitasi nyeri.

-

Pilih

dan

dengan durasi kurang

dari

6

Kontrol lingkungan yang dapat nyeri

seperti

suhu

dan lakukan penanganan nyeri (farm

bulan.

akologi, non farmakologi dan inter

Batasan

personal).

karakteristik :

-

-

untuk menentukan intervensi.

Laporan

Kaji tipe dan sumber nyeri

secara verbal atau

-

non verbal.

farmakologi.

-

Fakta

dari

-

Ajarkan tentang teknik non

Berikan

observasi.

mengurangi nyeri.

-

-

Posisi

antalgic

untuk

Evaluasi

analgetik

untuk

keefektifan

kontrol

nyeri.

menghindari nyeri.

-

Tingkatkan istirahat.

-

-

Kolaborasikan dengan dokter

Gerakan

melindungi.

jika ada keluhan dan tindakan nyeri

-

tidak berhasil.

Tingkah

laku berhati-hati.

-

-

tentang manajemen nyeri

Muka

Monitor

penerimaan

topeng.

Analgesic Administration

-

-

Gangguan

pasien

Tentukan

lokasi,

tidur (mata sayu,

karakteristik,

tampak capek, sulit

nyeri sebelum pemberian obat.

atau

-

gerakan

kualitas,

dan

derajat

Cek instruksi dokter tentang

kacau,

jenis obat, dosis, dan frekuensi.

menyeringai).

-

Cek riwayat alergi.

-

-

Pilih

Terfokus

analgesic

pada diri sendiri.

yang diperlukan atau kombinasi dari

-

analgesik ketika pemberian lebih dari

Fokus

menyempit

satu.

(penurunan

-

Tentukan

pilihan

analgesik

persepsi

waktu,

tergantung tipe dan beratnya nyeri.

kerusakan

proses

-

Tentukan

analgesik

pilihan,

berpikir,

rute pemberian, dan dosis optimal.

penurunan

-

interaksi

dengan

orang lingkungan).

dan

Pilih rute pemberian secara IV,

IM untuk pengobatan nyeri secara teratur. -

-

Tingkah

Monitor vital sign sebelum da

laku

distraksi,

n

contoh

:

pertama kali.

jalan,

menemui

jalan-

-

sesudah

pemberian

Berikan analgesik tepat waktu

orang lain dan/atau

terutama saat nyeri hebat.

aktivitas, aktivitas

-

berulang-ulang).

analgesik,

-

samping).

Respon

autonom

(seperti

diaphoresis, perubahan tekanan darah,

perubahan

nafas,

nadi

dan

dilatasi pupil) -

Perubahan

autonomic

dalam

tonus

otot

(mungkin

dalam

rentang dari lemah ke kaku). -

Tingkah

laku

ekspresif

(contoh : gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel, nafas panjang/berkeluh kesah). -

Perubahan

dalam

nafsu

makan dan minum. Faktor

yang

analgesik

Evaluasi tanda dan

efektivitas gejala

(efek

berhubungan : Agen (biologi,

injuri kimia,

fisik, psikologis) 2

Hambatan

NOC

mobilitas fisik

·

Defenisi

NIC: Joint

movement: Exercise theraphy : ambulation

: active

·

Monitoring

vital

sign

keterbatasan pada ·

Mobility level

sebelum/sesudah

pergerakan fisik

Self care : ADLs

latihan dan lihat respon pasien saat

·

Tubuh atau satu Kriteria hasil : atau

lebih ·

ekstremitas secara Mandiri terarah

Klien

latihan meningkat ·

dalam aktifitas fisik

atau ·

Mengerti

dari

Konsultasikan

dengan

terapi

fisik tentang

tujuan rencana

ambulasi

sesuai

dengan

peningkatan kebutuhan

mobilias

·

·

tongkat

Memverbalisasika

n perasaan dalam meningkatkan

Bantu klien untuk menggunakan

Saat berjalan dan cegah terhadap

kekuatan cedera

dan kemampuan

·

berpindah

kesehatan

·

Lain tentang teknik ambulasi

Memperagakan

Ajarkan

penggunaan alat bantu

·

Untuk mobilisasi

mobilisasi ·

pasien

atau

tenaga

Kaji kemampuan pasien dalam

Latih pasien dalam pemenuhan

kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai dengan Kemampuan ·

Damping dan bantu pasien saat

mobilisasi Dan bantu penuhi kebutuhan ADLs pasien ·

Berikan alat bantu jika klien

memerlukan

3

Risiko cidera

NOC

Definisi : beresiko ·

NIC Risk control

Environment management (manajemen

mengalami cedera Kriteria hasil : sebagai

akibat -

lingkungan

Klien

terbebas ·

kondisi lingkungan dari cedera yang

untuk

berinteraksi Klien

dengan

mampu Pasien

sumber menjelaskan cara atau ·

adaptif dan sumber metode

mencegah Sesuai dengan kondisi fisik dan fungsi

injury/cedera ·

Identifikasi kebutuhan keamanan

pasien

defensive individu Untuk .

Sediakan lingkungan yang aman

Klien

Kognotif pasien dan riwayat penyakit mampu Terdahulu pasien.

menjelaskan factor resiko · dari

Menghindari lingkungan yang

berbahaya

Lingkungan / perilaku (memindahkan perabotan) personal

·

·

nyaman

Mampu

Menyediakan tempat tidur yang

memodifikasi gaya hidup Dan bersih untuk

·

Mencegah injury/ cedera

untuk

·

Menemani pasien

Menggunakan

fasilitas kesehatan yang · ada ·

Menganjurkan keluarga pasien

Memindahkan

barang-barang

yang dapat Mampu mengenali Membahayakan

perubahan status Kesehatan. 4

Harga

diri NOC

NIC

rendah

·

Body image

Self estreem enhancement

situasional

·

Coping ineffective

·

Definisi

Kriteria hasil :

: Perkembangan

·

persepsi negative

ketunandayaan

Tentang harga diri Fisik: sebagai

Tunjukan

rasa

percaya

diri

terhadap

Adaptasi terhadap Kemampuan pasien untuk mengatasi

respon

respon klien terhadap

Situasi adaptif ·

Dorong pasien mengidentifikasi

kekuatan

terhadap

Tantangan

Situasi saat ini

penting akibat

·

Ketunandayaan fisik

yang positif

·

fungsional Dirinya Ajarkan keterampilan perilaku

Resolusi berduka : Melalui bermain peran, atau diskusi

penyusuaian dengan

·

Monitor frekuensi komunikasi

Kehilangan actual atau verbal kehilangan yang

Pasien yang negative

Akan terjadi

·

·

mengkritik atau

Penyusuaian

psikososial:

Kaji

alasan-alasan

untuk

perubahan Menyalahkan diri sendiri

hidup Respon

psikososial

adaptif individu terhadap Perubahan

bermakna

dalam hidup ·

Mengungkapkan

penerimaan diri Komunikasi terbuka ·

Menggunakan

strategi koping efektif 5

Defisiensi

NOC :

Pengetahuan

-

Definisi

NIC : Kowlwdge

: Tidak disease process.

adanya

atau -

kurangnya

dengan

Berikan

penilaian

tentang proses penyakit yang spesifik.

informasi kognitif Kriteria Hasil : -

-

Kowledge : health tentang tingkat pengetahuan pasien

Behavior

sehubungan

: Teaching : disease Process

Pasien

topic keluarga

-

Jelaskan

dan penyakit

dan

menyatakan berhubungan

patofisiologi bagaimana dengan

hal

anatomi

dari ini dan

spesifik.

pemahaman

tentang fisiologi, dengan cara yang tepat.

Batasan

penyakit,

kondisi, -

karakteristik

prognosis dan program yang biasa muncul pada penyakit,

:memverbalisasika

pengobatan.

n adanya masalah, -

Pasien

Gambarkan tanda dan gejala

dengan cara yang tepat. dan -

Gambarkan

proses

penyakit,

ketidakakuratan

keluarga

mengikuti

melaksanakan

mampu dengan cara yang tepat. prosedur -

Identifikasi

kemungkinan

instruksi, perilaku yang dijelaskan secara penyebab, dengna cara yang tepat. tidak sesuai.

benar. yang -

Faktor

Pasien

dan

Sediakan informasi pada pasie

berhubungan

keluarga

mampu n tentang kondisi, dengan cara yang

:keterbatasan

menjelaskan kembali apa tepat.

kognitif,

yang

dijelaskan -

Hindari harapan yang kosong.

interpretasi

perawat/tim

kesehatan -

Sediakan

bagi

terhadap informasi lainnya

keluarga informasi tentang kemajuan

yang

pasien dengan cara yang tepat.

salah,

kurangnya keinginan

untuk

Diskusikan perubahan gaya hid

mencari informasi,

up yang mungkin diperlukan untuk

tidak

mencegah komplikasi di masa yang

mengetahui

sumber-sumber

akan

informasi.

pengontrolan penyakit. -

datang

dan

atau

proses

Diskusikan pilihan terapi atau

penanganan. -

Dukung

pasien

mengeksplorasi

untuk atau

mendapatkan second opinion dengan cara yang tepat atau diindikasikan. Eksplorasi kemungkinan sumbe r atau dukungan, dengan cara yang tepat. -

Rujuk pasien pada grup atau

agensi di komunitas lokal, dengan cara yang tepat. -

Instruksikan pasien mengenai

tanda melaporkan

dan

gejala pada

untuk pemberi

perawatan

kesehatan, dengan cara

yang tepat.

E. Implementasi Selama tahap implementasi, perawat melaksanakan rencana asuhan keperawatan. Instruksi keperawatan diimplementasikan untuk membantu klien memenuhi kebutuhan yang telah direncanakan. (Nanda, 2015) F. Evaluasi Hasil yang diharapkan : 1. Nyeri berkurang 2. Terpenuhinya kebutuhan mobilitas fisik 3. Status psikologi yang seimbang 4. Tidak terjadi cedera 5. Terpenuhinya kebutuhan, pengetahuan dan informasi

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Osteoporosis merupakan kondisi terjadinya penurunan densitas/ matriks/massa tulang, peningkatan prositas tulang, dan penurunan proses mineralisasi deisertai dengan kerusakakn arsitektur mikro jaringan tulang yang mengakibatkan penurunan kekokohan tulang sehingga tulang menjadi mudah patah. Beberapa faktor resiko Osteoporosis antara lain yaitu : usia, genetik, defisiensi kalsium, aktivitas fisik kurang, obat-obatan (kortikosteroid, anti konvulsan, heparin, siklosporin), merokok, alcohol serta sifat fisik tulang (densitas atau massa tulang) dan lain sebagainya. Osteoporosis sering mengakibatkan fraktur kompresi. Fraktur kompresi ganda vertebra mengakibatkan deformitas skelet. B. Saran 1. Lansia Harus lebih memperhatikan kesehatan dengan menghindari faktor-faktor resiko osteoporosis serta memenuhi asupan gizi yang lengkap terutama untuk tulang 2. Tenaga medis Sebagai seorang tenaga medis harus mampu memberikan pendidikan kesehatan yang baik terutama bagi lansia sehingga dapat menghindarkan atau mencegah terjadinya penyakit osteoporosis

DAFTAR PUSTAKA

Purwoastuti Endang. 2009. Waspada ! OSTEOPOROSIS. Yogyakarta. Kanisius Emma Wirakusumah.2007. Mencegah Osteopporosis. Jakarta. Penebar plus Tandra hans. 2009. Segala sesuatu yang harus anda ketahui tentang osteoporosis mengenal, mengatasi dan mencegah Tulang Keropos. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Suratun, Heryati. 2008. KLIEN GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL : SERI ASUHAN KEPERAWATAN. Jakarta : EGC Rosyidi Kholid. 2013. MUSKULOSKELETAL. Jakarta : CV. TRANS INFO MEDIA Lukman, Ningsih Nurma. 2012. ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL. Jakarta : Salemba Medika Sudoyo, Aru dkk. 2009. Buku Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3 Edisi 5. Jakarta : Internal Publishing.

Nanda. (2015). Diagnosis keperawatan defenisi & klasifikasi 2015-2017 (10th ed.). Jakarta: EGC.

Related Documents

Askep
October 2019 90
Askep
July 2020 51
Askep
May 2020 71
Askep Malaria.docx
April 2020 6
Askep Parkinson.pptx
November 2019 14

More Documents from ""

Laporan Pendahuluan Ggk.docx
November 2019 25
Psoriasis.docx
May 2020 10
Askep Osteoporosis.docx
November 2019 22
Lp Ckd Vv.docx
November 2019 18
Tugas 3 Gadar Overdosis.docx
November 2019 24