Anticipatory Guidance Pada Ibu Nifas.docx

  • Uploaded by: Munss
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Anticipatory Guidance Pada Ibu Nifas.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 12,286
  • Pages: 31
Analisis Penerapan Breastfeeding Peer CounselingPada PasienPost Partum Fisiologis Dengan Masalah Keperawatan Menyusui Tidak Efektif Berdasarkan Teori Maternal Role AttainmentBecoming A Mother Ramona T. Mercer Dwi Rahayu, Yunarsih Akademi Keperawatan Dharma Husada Kediri Email: [email protected] ABSTRACT The postpartum period is a critical time for the mother of one side is happy at the same times stressful to adapt after childbirth. Adaptation includes adjusting to build a positive interaction with the baby. One of the problems that occur in the postpartum period is the failure of mothers in exclusive breastfeeding. The low exclusive breastfeeding for mothers because they do not know the benefits of breastfeeding for children's health. Support from father also affect the success of exclusive breastfeeding for six months. Mother's decision to breastfeed affected family members information about the benefits of breastfeeding, as well as a lactation consultant. The purpose of this study is to analyze specific interventions ,namely breastfeeding peer Counseling to improve exclusive breastfeeding in the postpartum period using theory of nursing, Maternal Role Attainment -Becoming a Mother developed by Ramona T. Mercer. The method used in this paper is a case report on the Physiological Postpartum Mothers treated in Kabupaten Kediri Hospital. On The assessment results according to the theory of Ramona T Mercer in the antisipatori data obtained on the condition of pregnancy that the mother does not experience problems, the ANC program appropriate with the schedule of health workers. In the Formal assessment of the phase Formal acceptance by the baby's mother obtained the difficulty breast-feeding mother to baby and family support is still lacking. In the Informal phase obtained for fear the baby's mother in the care especially during the current bathing and cord care. In the personal phase obtained mother feel mother’s role is very important in baby care. Breastfeeding Peer Counseling can be applied to postpartum mothers who experience difficulties with breastfeeding to their babies. The program is to motivate mothers to give babies the best nutrition to their infants through exclusive breastfeeding and provide psychological support to the mother to perform maintenance on the b aby independently. Keywords : Breastfeeding Peer Counseling, Postpartum mother, exclusive Breastfeeding Pendahuluan Periode postpartum merupakan saat kritis bagi ibu salah satu sisi merupakan masa-masa membahagiakan sekaligus penuh dengan stress untuk beradaptasi setelah melahirkan. Adaptasi termasuk menyesuaikan dengan pasangan dan membangun interaksi positif dengan bayi ( Fleming, et.al,1998). Salah satu masalah yang terjadi pada masa postpartum adalah ketidakberhasilan ibu dalam memberikan ASI eksklusif. Pada tahun 2007 delapan belas persen ibu di Indonesia memberi ASI eksklusif selama empat hingga enam bulan. Persentase itu jauh dari target nasional yaitu 80%. Rendahnya pemberian ASI eksklusif karena para ibu belum mengetahui manfaat ASI bagi kesehatan anak. Dukungan dari ayah juga mempengaruhi keberhasilan pemberian ASI eksklusif selama enam bulan. Keputusan ibu untuk menyusui dipengaruhi informasi anggota keluarga tentang manfaat menyusui, serta konsultan laktasi (Wulandari, 2009). Pemberian ASI secara eksklusif dapat menyelamatkan lebih dari tiga puluh ribu balita di Indonesia. Jumlah bayi di Indonesia yang mendapatkan ASI eksklusif terus menurun karena semakin banyaknya bayi dibawah 6 bulan yang diberi susu formula. Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) dari 1997 hingga 2002, jumlah bayi usia enam bulan yang mendapatkan ASI eksklusif menurun dari 7, 9% menjadi 7,8%. Sementara itu, hasil SDKI 2007 menunjukkan penurunan jumlah bayi yang mendapatkan ASI eksklusif hingga 7,2% dan jumlah bayi di bawah enam bulan yang diberi susu formula meningkat dari 16,7% pada 2002 menjadi 27,9% pada 2007 (Sutama, 2008). Pemberian ASI sangat penting bagi tumbuh kembang yang optimal baik fisik maupun mental dan kecerdasan bayi. Oleh karena itu pemberian ASI perlu mendapat perhatian para ibu dan tenaga kesehatan agar

proses menyusui dapat terlaksana dengan benar. ASI Eksklusif atau lebih tepat disebut pemberian ASI secara eksklusif, artinya bayi hanya diberi ASI saja, tanpa tambahan cairan lain, seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih, juga tanpa tambahan makanan padat, seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi ataupun tim mulai lahir sampai usia 6 bulan (Roesli, 2005).Soetjiningsih (1997) menyatakan bahwa masih rendahnya cakupan ASI Eksklusif disebabkan oleh berbagai macam faktor, di antaranya adalah: (1) perubahan sosial budaya, (2) meniru teman , (3) merasa ketinggalan zaman,(4) faktor psikologis, (5) kurangnya penerangan oleh petugas kesehatan, (6) meningkatnya promosi susu formula, dan (7) informasi yang salah. Sebenarnya pemerintah telah serius meningkatkan cakupan ASI Eksklusif. Hal ini dibuk tikan dengan dikeluarkannya Kepmenkes RI No. 450/MENKES/SK/ IV/2004 tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif pada Bayi di Indonesia. Keputusan ini memuat Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui, di antaranya adalah menjelaskan kepada semua ibu hamil tentang manfaat menyusui, membantu ibu mulai menyusui bayinya dalam 30 menit setelah melahirkan yang dilakukan di ruang bersalin, tidak memberikan makanan atau minuman apapun selain ASI kepada bayi baru lahir, melaksanakan rawat gabung dengan mengupayakan ibu bersama bayi 24 jam sehari, dan tidak memberikan dot atau kempeng kepada bayi yang diberi ASI. Asuhan keperawatan maternitas yang di berikan seorang perawat profesional sangat mempengaruhi kualitas pelayanan, khususnya pelayanan pasien pada masa postpartum. Mengingat kompleksnya permasalahan kesehatan ini maka perlu kemampuan professional perawat dan sehingga mampu melakukan intervensi yang tepat terhadap permasalahan pada ibu pada masapostpartum. Keperawatan maternitas dikembangkan dalam rangka menjawab tuntunan kebutuhan masyarakat saat ini dan tuntunan perkembangan profesi keperawatan melalui berbagai perannya sehingga mampu bekerja sebagai pemberi dan pengelola asuhan keperawatan, pendidik, peneliti, bimbingan dan konseling, menerima dan melakukan rujukan dalam mengatasi masalah pasien.Perawat maternitas yang professional didalam memberikan asuhan keperawatan pada ibu postpartum harus berdasarkan konseptual keperawatan. Salah satu model konseptual keperawatan yaitu Maternal Role Attainment-Becoming a Mother yang dikembangkan oleh Ramona T. Mercer. Fokus utama dari teori ini adalah gambaran proses pencapaian peran ibu dan proses menjadi seorang ibu dengan berbagai asumsi yang mendasarinya. Berdasarkan hal di atas penulis tertarik untuk menyusun dan mengaplikasikan intervensi khusus yaitu breastfeeding peer conseling untuk meningkatkan pemberian ASI eksklusif pada periode postpartum dengan menggunakan model konseptual keperawatan yaitu Maternal Role ISSN 2303-143362 Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 3 No. 2 Mei 2015 Harapan selama Kehamilan Ingin melahirkan secara normal dan kondisi bayi nya sehat. Peran yang dilakukan ibu selama kehamilan Sebagai ibu rumah tangga yang memiliki 1 putra berusia 6 tahun.Ranah Formal 1.Fase Penerimaan Bayi oleh Ibu Ibu menerima bayinya, tetapi ibu masih kesulitan dalam hal perawatan bayinya dan proses menyusui bayinya karena ASInya belum keluar dengan lancar. 2.Bonding Attachment Terlaksana dengan baik, bayi tenang ketika disusui ibunya 3.Breast feeding/ kolostrum Sudah keluar tetapi belum lancar 4.Interaksi sosial selama kelahiran Baik, ibu mampu berinteraksi dengan perawat ataupun pasien yang lain dengan baik 5.Peran ayah selama kelahiran

Ayah menunggu bayi dan ibunya dan memenuhi kebutuhan yang dibutuhkan selama perawatan bayi dan ibu, meskipun di ruangan ini, keluarga hanya di ijinkan masuk ke ruangan selama jam besuk. Ranah Informal 1.Orang yang terlibat dalam perawatan bayi Ketika di rumah sakit, Ny. M diajari cara perawatan bayi meliputi memandikan dan merawat tali pusat. Dengan bekal ini diharapkan ibu bisa melakukanya secara mandiri ketika di Rumah. 2.Peran dalam perawatan bayi Ibu mampu melakukan perawatan pada bayinya, meskipun masih agak takut ketika memandikan bayi 3.Pengalaman dalam perawatan bayi Pernah melakukan perawatan bayi pada anak pertamanya, tetapi perannya masih banyak dibantu oleh keluarga (orang tuanya) ISSN 2303-143363 Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 3 No. 2 Mei 2015 4.Harapan untuk perawatan bayi yang akan datang Mampu melakukan perawatan bayinya secara mandiri dan lebih baik Ranah Personal 1.Pandangan ibu terhadap perannya Ny. M merasa bahwa perannya dalam perawatan bayi ini sangat penting, untuk kesehatan bayinya dan menumbuhkan kontak batin antara ibu dan bayinya. 2.Pengalaman masa lalu yang mempengaruhi peran ibu Ny. M merasa bahwa peranya pada masa lalu, ketika melahirkan anak pertama belum begitu nampak, karena banyak dibantu oleh keluarga 3.Percaya diri dalam menjalankan peran Ny. M merasa masih takut ketika memandikan bayinya, dan merasa kurang yakin mampu memberikan ASI secara eksklusif, sehingga Ny. M memberikan ASI untuk mencukupi kebutuhan minum bayinya. 4.Pencapaian peran Ny. M mempunyai minat yang besar dalam upaya pencapaian peran sebagai seorang ibu yang melakukan perawatan pada bayinya secara optimal. Pengkajian Bayi 1.Temperamen bayi Di status pasien tertulis : bayi menangis kuat 2.Apgar’s Score 8-9 3.Penampilan Umum a. Tanggal Lahir: 10 Nopember 2014 pukul 21.45 b. Berat badan : 3300 gram c. Panjang badan : 50 cm d. Lingkar kepala: 35 cm e. Lingkar dada: 32 cm f. RR: 38 x/menit g. Suhu: 36°C h. Nadi: 140 x/menit 4.Karakteristik umum a. Usia bayi: 3hari b. Kepala: simetris c. Fontanel anterior: teraba datar d. Sutura: teraba dan belum menyatu e. Postur: lengan dan tungkai fleksi f. Hidung: tidak ada kelainan

g. Telinga: tidak ada kelainan h. Mulut: tidak ada kelainan 5.Responsiveness a. Kontak mata: bayi mampu untuk membuka mata b. Reflek morro: baik Reflek rotting: baik Reflek sucking: baik Reflek tonick neck: baik Reflek babinski: baik Terapi dan Pemeriksaan Laboratorium 1.Terapi ASI/PASI 8x 20-25cc Amphicilin 2 x 165 mg IV Gentamicin 1 x 16 mg IV Thermoregulasi Rawat Tali pusat Diagnosa Keperawatan dan Rencana Keperawatan Diagnosa Keperawatan : Menyusui tidak efektif berhubungan dengan kurangnya kepercayaan diri ibu untuk memenuhi kebutuhan ASI pada bayinya. Tujuan : meningkatkan kepercayaan ibu untuk memberikan ASI secara eksklusif pada bayinya sehingga proses menyusuinya menjadi efektif Kriteria Hasil : Proses menyusui bisa efektif dan berhasil melakukan ASI Eksklusif Rencana Keperawatan : 1.Kaji tentang kesehatan ibu post partum dan sesuaikan dengan kemampuan ibu untuk melakukan perawatan diri dan bayinya 2.Kaji kemampuan ibu dalam proses pemberian ASI ISSN 2303-143364 Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 3 No. 2 Mei 2015 3.Lakukan breastfeeding peer counseling untuk meninngkatkan kemampuan ibu dalam proses pemberian ASI kepada bayinya. Pembahasan Analisis Penerapan Teori Maternal Role Attainment -Becoming a Mother pada Ny. M Post Partum Fisiologis Model Mercer memaparkan hal-hal yang seharusnya terindentifikasi dan memfasilitasi ibu agar mampu menerima dan melaksanakan peranannya sebagai ibu. Kemampuan ibu menerima peran sebagai ibu sejak awal akan meningkatkan ikatan ibu dengan bayi dan mendukung perkembangan kesehatan fisik dan mental ibu dan bayi sepanjang kehidupan. Bila ibu telah menerima perannya, maka ia akan berusaha menjalankan peran sebaik-baiknya, dan bila berhasil akan merasakan kepuasan. Kepuasan yang diperoleh merupakan kekuatan yang mendorong dalam memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis ibu beserta bayinya. Namun model ini tidak dapat diterapkan pada ibu yang mengalami penurunan kesadaran dan gangguan jiwa, karena peran yang seharusnya dilaksanakan oleh ibu akan digantikan oleh orang lain atau keluarganya. Mercer juga menekankan pentingnya dukungan suami dan keluarga sejak kehamilan, kelahiran dan setelah melahirkan. Pendekatan Mercer digunakan sejak awal sehingga kesiapan peran ibu dapat terdeteksi oleh perawat. Di Indonesia umumnya suatu kehamilan dan kelahiran akan disambut dengan sangat antusias oleh seluruh keluarga besar sehingga pengaruh keluarga sangat kuat dalam perawatan ibu dan bayi, justru peran ayah yang menjadi berkurang karena banyaknya dukungan dari keluarga besar. Disamping itu aturan atau kebijakan RS yang tidak mengijinkan suami atau keluarga menunggu istri selama proses melahirkan akan mengurangi interaksi orang tua dengan bayinya selama proses persalinan sehingga menurunkan proses pencapaian peran. Peran

ayah yang aktif dalam proses persalinan maupun perawat bayi akan menunjukkan keterikatan yang lebih kuat dari pada ayah yang tidak terlibat dalam proses persalinan dan perawatan bayi (Reeder, 1997). Pada awalnya model konseptual Mercer lebih lebih ditujukan pada pengkajian ibu post partum karena model ini berfokus pada proses pencapaian peran ibu dan bagaimana menjadi seorang ibu. Namun jika meninjau konsep model yang dikemukakan oleh Mercer ini bayi adalah bagian yang sangat penting dalam proses pencapaian peran tersebut, dimana interaksi bayi dengan ibu yang terjalin utuh dan sistematis akan mempererat kasih sayang antara keduanya. Penerapan konsep model Mercer dalam praktek keperawatan maternitas dikenal sebagai bonding attachment. Bonding attachment adalah interaksi antara orang tua dengan bayinya yang dimulai sejak dalam kandungan, dilanjutkan saat proses persalinan serta dipertahankan selama dan setelah proses post partum. Pengertian bonding sendiri adalah dimulainya interaksi emosi, fisik dan sensoris antara orang tua dan bayinya segera setelah lahir ditampilkan melalui daya tarik satu arah oleh orang tua tehadap bayinya. Sedangkan attachment adalah ikatan perasaan kasih sayang antara oarang tua dengan bayinya meliputi pencurahan perhatian serta adanya hubungan emosi, fisik yang kuat berupa hubungan timbal balik yang saling menguntungkan melalui sinyal antara pemberi asuhan utama dan bayi yang berkembang secara berangsur-angsur. (Matterson, 2001) Pengkajian terhadap bonding dapat dilakukan dengan melakukan observasi terhadap perilaku orang tua dengan mengenali bayinya, memberi nama dan mengakui adanya bayi sebagai anggota keluarga. Attachment meliputi pengkajian verbal dan non verbal ibu dan keluarga saat berinteraksi dengan bayinya, meliputi ISSN 2303-143365 Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 3 No. 2 Mei 2015 respon orang tua saat bayi menangis, apakah orang tau menunda pekerjaan atau kebutuhan dan berjalan mendekat, menerima tanggung jawab mengasuh bayinya dan melaksanakan perawatan pada bayi, merubah panggilan orang tua dengan panggilan yang diharapkan anak. (Mercer, 1995). Perilaku orang tua yang menunjukkan adanya bonding attachment adalah adanya sentuhan fisik dengan menyusui, sentuhan kulit, adanya kontak mata saat menyusui dan saat bayi terbangun, berbicara serta memeriksa tubuh bayi. Hal-hal tersebut sejalan dengan bagaimana Mercer menggambarkan bagaimana pencapaian peran menjadi ibu. Tetapi bonding attachment bisa terhambat pelaksanaannya jika di rumah sakit tersebut tidak fasilitas untuk melakukan rooming in sesuai dengan kondisi ibu dan bayi setelah post partum. Mercer menegaskan pada teorinya bahwa proses pencapaian peran ibu yang dilalui dengan empat fase akan selalu berhubungan dengan respon bayi. Pada fase anticipatory yang dimulai sejak kehamilan, bayi juga dilibatkan untuk berinteraksi, lalu fase kedua yang dimulai saat kelahiran bayi yang juga memerlukan peran perawat dalam melakukan pengkajian fisik secara umum, model Mercer ini juga mendukung dengan pengkajian yang lebih difokuskan pada psikososial. Pada fase ketiga informal, peran ibu dalam proses interaksi dengan bayinya menjadikan ibu lebih matang di dalam menjalankan perannya. Fase keempat personal, ibu telah menginternalisasi perannya sehingga ibu mulai merasa percaya diri,merasa mampu dalam menjalankan tugasnya.Model konseptual Mercer memandang bahwa sifat bayi berdampak pada identitas peran ibu yang meliputi : temperamen, kemampuan memberikan isyarat, penampilan, karakteristik umum, responsiveness dan kesehatan umum.Mercer juga mengembangkan teorinya pada bayi baru lahir yang lebih spesifik dengan mengkaji kontak mata antara bayi dengan ibunya sebagai isyarat pembicaraan,adanya refleks menggenggam, refleks tersenyum dan tingkah laku yang tenang sebagai respon terhadap perawatan yang dilakukan ibu. Konsistensi tingkah laku interaksi dengan ibu dan respon yang datang dari ibu akan meningkatkan pergerakan. Meighan (2001), mengemukakan bahwa teori Mercer sangat relevan digunakan pada berbagai setting praktek keperawatan maternitas dan anak. Hal ini didasarkan pada hasil penelitiannya yang selalu dapat diaplikasikan dalam tatanan pelayanan keperawatan. Penerapan konsep Mercer ini lebih banyak terfokus pada kondisi psikologis dan fisik sedangkan pemenuhan kebutuhan dasar manusia tidak terkaji. Oleh karena itu agar dapat menggali data yang komprehensif konsep model Mercer ini harus dikombinasi dengan teori lain yang mencakup kebutuhan dasar manusia. Analisa Rekomendasi Breastfeeding Peer

Counseling Dengan Masalah Keperawatan Menyusui tidak Efektif Pada Pasien Post partum Fisiologis. Guna mereview perlu adanya breastfeeding peer counseling pada ibu yang memberikan ASI, maka penulis mengkaji beberapa riset yang meneliti tentang hal tersebut. Pencarian artikel dilakukan secara elektronik. Pencarian tidak terbatas pada artikel penelitian yang diterbitkan oleh negara tertentu. Artikel yang digunakan diterbitkan pada tahun 2003 sampai 2013. Kombinasi kata kunci (key words) yang digunakan yaitu breastfeeding, peer, support. Pencarian menemukan 2 artikel. Pada makalah ini kami mereview 2 artikel yang berkaitan dengan upaya meningkatkan status nutrisi pada bayi dengan melakukan health promotion kepada ibu agar memberikan asupan nutrisi yang efektif dan maksimal dengan breastfeeding peer counseling.Dari beberapa artikel diatas ditemukan bahwa breastfeeding peer ISSN 2303-143366 Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 3 No. 2 Mei 2015 counseling merupakan cara yang dilakukan untuk memberdayakan ibu yang menyusui degan meningkatkan motivasi, pengetahuan, sikap dan kepercayaan diri ibu untuk memberikan asupan ASI kepada bayinya. Breastfeeding peer counseling merupakan training/pelatihan yang didampingi oleh konselor/perawat dan beberapa ibu lain yang juga menyusui bayinya. Program ini meliputi pelatihan tentang teori (anatomy dan fisiologi payudara dan manajemen menyusui yang efektif), melakukan role play, praktik langsung kepada bayi, dan kemampuan komunikasi yang selalu dimonitor oleh konsultan secara rutin dan dilakukan home visit/kunjungan rumah. Peer Conselor diobservasi selama 2 bulan oleh seorang konsultan laktasi yang mendampingi ibu dengan gangguan menyusui. Intervensi ini sesuai apabila diterapkan pada Ny.M yang mengalami masalah dalam menyusui bayinya yang merasa kesulitan untuk memposisikan bayinya ketika menetek. Penerapan intervensi ini juga dapat meningkatkan pengetahuan, kemampuan ibu, kepercayaan diri ibu dalam merawat bayi secara mandiri agar tidak mengalami malnutrisi yang dapat mempengaruhi tumbuh kembangnya dan bisa memberikan ASI secara Eksklusif kepada bayinya.Dengan adanya peer counseling dari konsultan laktasi dalam hal ini bisa juga dilakukan oleh perawat maternitas dan support dari sesama anggota kelompok training/pelatihan laktasi dapat meningkatkan kemampuan ibu dalam memberikan ASI yang efektif pada bayi. Dalam peer / kelompok ibu bisa saling sharing dengan sesama ibu yang lain sehingga dapat meningkatkan pemahaman ibu mengenai pemberian ASI yang efektif. Bayi baru lahir mempunyai resiko yang tinggi mengalami malnutrisi karena ketidakseimbangan antara intake yang didapat dan proses hipermetabolisme yang ada dalam tubuh. Perawat sebagai konselor dan educator harus memberikan health education dan konseling pada ibu tentang manajemen laktasi yang efektif agar dapat meningkatkan nutrisi pada bayi baru lahir. Kesimpulan & Saran Kesimpulan 1.Penerapan konsep dari teori Maternal Role Attainment-Becoming a Mother ini tepat digunakan untuk melakukan pengkajian pasien post partum untuk mencapai adaptasi perubahan fisiologis ataupun psikologis pada masa postpartum sehingga bisa mencapai peran yang diharapkan dalam perawatan diri dan bayinya. 2.Breastfeeding Peer Counseling Dapat diaplikasikan pada ibu postpartum yang mengalami kesulitan dalam hal pemberian ASI kepada bayinya. Program ini untuk memotivasi ibu bayi agar memberikan nutrisi terbaik pada bayinya melalui ASI Eksklusif dan memberikan support kepada ibu secara psikologis untuk melakukan perawatan pada bayinya secara mandiri. Saran 1.Bagi praktek keperawatan Intervensi Breastfeeding Peer Counseling dapat diterapkan tidak hanya pada menyusui saja tetapi pada

penatalaksaan faktor psikologis ibu terkait ketidakpercayadirian ibu dalam pemberian ASI secara Eksklusif yang membutuhkan support dari kelompok untuk sharing mengenai masalah pemberian ASI secara Eksklusif 2.Bagi riset keperawatan Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai intervensi lain yang digunakan untuk meningkatkan helth promotion khususnya masalah pemberian ASI secara Eksklusif dan proses untuk meningkatkan kualitas produksi ASI sehingga ibu tidak kuatir dalam pemberian nutrisi pada bayinya. Daftar Pustaka Alex K. Anderson, P; Grace Damio& etc . (2005). A Randomized Trial Assessing the Efficacy of Peer Counseling on Exclusive Breastfeeding in a Predominantly Latina Low-Income Community. Arch Pediatric Adolesc Med. 2005;159:836-841 Bobak, I.M., Lowdermilk, D.L., & Jensen, M.D. (2005). Buku ajar keperawatan maternitas. (edisi 4). Jakarta: EGC. Casey, P.H., Mansell, L.M., Barrett, K., Bradley, R.H., & Gargus, R. (2006). Impact of prenatal and/or postnatal growth problems in low birth weight preterm infants on school-age outcomes: An 8-year longitudinal evaluation. Pediatrics, 118(3), 1078-1086 Chin P.L.& Kramer. 1997. Theory and Nursing : A System Approach. Sint Louis: Mosby Company. Doengoes Merillynn. (1999) (Rencana Asuhan Keperawatan). Nursing care plans. Guidelines for planing and documenting patient care. Alih bahasa : I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati. EGC. Jakarta. Dorland. (1998). Kamus Saku Kedokteran Dorland. Alih Bahasa: Dyah Nuswantari Ed. 25. Jakarta: EGC Esther HY Wong1, EAS Nelson. (2007). Evaluation of a peer counselling programme to sustain breastfeeding practice in HongKong. International Breastfeeding Journal 2007, 2:12 doi:10.1186/1746-4358-2-12 Judith M.W .(2005) Prentice Hall Nursing Diagnosis Handbook With NIC Intervention and NOC Outcomes. Pearson Marriner-Tomey & Alligood (2006). Nursing theorists and their works. 6thEd.St.Louis:Mosby Elsevier, IncMerestein,. G.B & Gradner, S.L (2002). Handbook of neonatal intensive care (5thed) St. Louis : Mosby.Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional 2010. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. Taylor C., Lilis, C., LeMone, P. 1995. Fundamental of Nursing the Art and Science of Nursing Care. Philadelphia: Lippincot Tomey, A.M., & Alligood, M.R. 2006. Nursing Theorists and their Work, 4th Edition. St.Louis: Mosby. Tomey, M.A. 1994. Nursing Theorist and Their Work. St. Louis : Mosby Company

ISSN 2303-1433

99 Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 3 No. 2 Mei 2015

The relationship between the speed of early initiation of breastfeeding with postpartum hemorrhage volume on stage labor Yunarsih, Dwi Rahayu Akper Dharma Husada Kediri ABSTRACT Maternal mortality rate in Indonesia is assumed to be high enough; it is 228 per a hundred thousand alive birth case in 2010 with the main factor is a heavy bleeding. The decrease of maternal mortality rate can be done by decreasing one of its factors that is avoiding a heavy bleeding after the delivery by doing a first breast feeding procedure.The purpose of the study is to find the correlation between the speed of early initiation of breastfeeding with the volume of blood occur at the fourth stage of the labor (post partum hemorrhage). The method used in the study is an analytical observation (longitudinal prospective). While the population of study is some mothers who experience a vaginal birth in BPM Bunda district Prambon.The number of the sample is 29 mothers using a random sampling technique. The independent variable is the speed of early initiation breastfeeding and the dependent variable is the volume of blood on the fourth stage (post partum hemorrhage). The datum are analyzed by ( SPSS ) T analyzed on two random sample and match to the meaningful degree of α< 0,05.The result of the study shows that there is a correlation between the speed of first breastfeeding with the volume of the blood p = 0,00.Therefore the conclusion of the study is that there is a correlation between the speed of the first breastfeeding and the volume of the blood, so that the researcher hope that the person on duty for the delivery process to encourage the first breastfeeding procedure to the mother and also to enlarge the knowledge of health education of the expecting mother about the essential effect of first breast feeding application.Keyword : early initiation of breastfeeding, post partum hemorrhage, maternal mortality Pendahuluan Inisiasi menyusui dini adalah proses alami mengembalikan bayi manusia untuk menyusu, yaitu dengan memberi kesempatan pada bayi untuk mencari dan menghisap ASI sendiri, dalam satu jam pertama pada awal kehidupannya (Roesli Utami, 2008). Adapun manfaat dari inisiasi menyusui dini antara lain adalah sentuhan tangan bayi di puting susu dan sekitarnya, hisapan dan jilatan bayi pada puting susu merangsang hormon oksitosin yang dapat membantu rahim berkontraksi sehingga membantu pengeluaran plasenta dan mengurangi perdarahan post partum. Normalnya plasenta akan lepas dalam waktu kurang dari 30 menit setelah kelahiran bayi. Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) AKI di Indonesia cukup tinggi, 228 per seratus ribu kelahiran hidup pada tahun 2010. Penyebab utama kematian ibu di Indonesia adalah perdarahan, infeksi, eklamsi yang terbanyak disebabkan perdarahan yaitu 27 persen. Kebanyakan perdarahan terjadi setelah bayi dilahirkan, hal ini berkaitan dengan plasenta dan relaksasi otot rahim. Oleh karena itu, penatalaksanaan dan observasi pada kala IV harus mendapat perhatian. Penurunan AKI ini bisa dilakukan dengan mengatasi penyebabnya yang salah satunya adalah mencegah terjadinya perdarahan paska persalinan dengan salah satu caranya dengan menerapkan inisiasi menyusui dini.

MetodePenelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jenis penelitian observasional Analitik untuk mencari hubungan antar variabel dan dilakukan analisis terhadap data yang dikumpulkan untuk mengetahui seberapa hubungan antar variabel yang ada. Peneliti melakukan observasi waktu yang dibutuhkan bayi sejak diletakkan di dada antara dua payudara ibu sampai bayi berhasil mencapai puting susu ibu dan menghisapnya dan Volume perdarahan kala empat diukur sejak setelah plasenta lahir sampai 2 (dua) jam setelah melahirkan dengan cara menimbang underpad (pembalut)yang digunakan ibu penelitian dilakukan terhadap 29 Ibu yang melahirkan normal di BPM (Bidan Praktek Mandiri) Bunda wilayah Kecamatan Prambon pada bulan Oktober,Desember 2014. Data dianalisis menggunakan uji T bebas (Independent T-Test) dengan derajat kemaknaan (α) = 0,05.Hasil PenelitianTabel 1 Hubungan antara kecepatan inisiasi menyusui dini dengan volume perdarahan pada kala empat dalam cc. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah pada penelitian ini respondennya ibu yang mengalami perdarahan setelah melahirkan kemudian dihubungkan dengan apakah ibu melakukan inisiasi menyusui dini, sehingga kesimpulan penelitiannya bahwa ibu yang mengalami perdarahan setelah melahirkan ada hubungan dengan penundaan inisiasi menyusui dini. Sedangkan penelitian yang peneliti lakukan, respondennya adalah ibu yang melahirkan normal kemudian dilakukan inisiasi menyusui dini diobservasi waktunya dan diukur volume perdarahan kala empat dan ternyata setelah dilakukan inisiasi menyusui dini tidak ada responden yang mengalami perdarahan setelah melahirkan, perdarahan yang keluar masih dalam batas normal yaitu kurang dari 500cc. ISSN 2303-1433101Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 3 No. 2 Mei 2015

Penelitian serupa juga dilakukan oleh Rahmanin gtyas dkk. di Kediri dengan hasil penelitian ada perbedaan kontraksi uterus pada ibu post partum sebelum dan sesudah melaksanakan inisiasi menyusui dini.Perbedaan dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah peneliti tersebut menghubungkan antara i nisiasi menyusui dini dengan variabel kontraksi uterus yang nantinya juga akan berpengaruh terhadap volume perdarahan ibu,sedangkan penelitian yang peneliti lakukan saat ini dihubungkan dengan variabel volume perdarahan pada kala empat. Kontraksi uterus nantinya juga bisa sebagai indikator volume perdarahan dimana kalau kontraksi uterusnya baik maka perdarahan juga akan sedikit begitu pula sebaliknya. Pada ibu setelah melaksanakan inisiasi menyusui dini, kontraksi uterusnya lebih baik dibandingkan dengan sebelum dilaksanakan inisiasi menyusui dini. Menurut Gusnita, 2008 dengan adanya bayi di perut ibu, akan menahan perdarahan karena otot-otot yang mengeluarkan darah akan mengkerut karena ditekan oleh badan bayi. Menurut (Mander, 1998) kontraksi uterus yang baik akan membantu mempercepat pelepasan plasenta dari dinding rahim dan secara fisiologis akan menyebabkan kontraksi serabut-serabut miometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta sehingga pembuluh-pembuluh darah tersebut terjepit dan akan menutup dengan demikian perdarahan akan berkurang. Sehingga semakin cepat inisiasi menyusui dini maka semakin sedikit perdarahan yang keluar pada kala empat.

KESIMPULAN Setelah dilakukan analisis data, dapat disimpulkan bahwa:Terdapat hubungan yang signifikan antara kecepatan inisiasi menyusui dini dengan volume perdarahan pada ibu bersalin kala empat di BPM Bunda wilayah Kecamatan Prambon yaitu semakin cepat waktu yang dibutuhkan untuk inisiasi menyusui dini semakin sedikit perdarahan yang keluar. SARAN Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian diatas, beberapa saran yang dapat peneliti sampaikan:hendaknya pengambil kebijakan pada tatanan pelayanan kesehatan lebih meningkatkan pendidikan kesehatan pada ibu hamil tentang pentingnya pelaksanaan inisiasi menyusui dini dan mengharuskan petugas kesehatan khususnya bidan dan perawat untuk benar-benar melaksanakan IMD dalam upaya membantu program pemerintah menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu bersalin /AKI karena HPP.

DAFTAR PUSTAKA Aziz. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Jakarta: Penerbit Salemba Medika.Bobak.,Lowdermilk.,Jensen. (2004). Keperawatan Maternitas edisi 4 Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.Chandra, Budiman. (2007). Metodologi Penelitian Kesehatan Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Corwin. (1997). Buku Saku Patofisiologis Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.Cunningham., Gant., Leveno.,Gilstrap.,Hauth., Wenstrom. (1995). ObstetriWilliam.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.Frisda. (2010). Faktorfaktor Pada bidan Yang Mempengaruhi Praktik Inisiasi Menyusui Dini. Tesis Universitas Diponegoro Semarang.Hamilton, PM. (1995). Dasar-Dasar Keperawatan Maternitas Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.Idris. (2009).Peran Faktor Perilaku Dalam Penerapan Inisiasi Menyusui Dini di Kota Pare Pare. ISSN 2303 1433

102 Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 3 No. 2 Mei 2015Tesis Universitas Hasanuddin

Makasar.Lowdermilk.,Bobak.,Jensen. (1999). Maternity Nursing 5th edition. Missouri: Mosby Year Book Mander. (2004). Nyeri Peralinan Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Manuaba (1998). Ilmu Kebidanan,Penyakit Kandungan & Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan .Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Mehta.Gupta.,Goel. (2009).Postoperative Oral Feeding After Cesarean Section Early Versus Late Initiation: A Prospective Randomized Trial Journal of Gynecologic Surgery December 2010, Vol. 26,ISSN: 1528-8439 No. 4: 247-250. Nakao, Moji, Honda, Oishi, (2008).Initiation of breastfeeding within 120 minutes after birth is associated with breastfeeding at four months among Japanese women: A self-administered questionnaire survey International Breastfeeding Journal 2008,3:1doi:10.1186/1746-4358-3-1 Notoatmodjo,Soekidjo. (2008). Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi revisi Rineka Cipta: Jakarta.Rahmaningtyas. Wijanti, Hardjito .(2010). Perbedaan kekuatan kontraksi uterus pada ibu post partum antara sebelum dan sesudah melaksanakan inisiasi menyusui dini.

Jurnal penelitian kesehatan forikes vol.1 No.3.ISSN 2086-3098 Roesli,Utami (2008). Inisiasi Menyusui Dini Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Saifuddin.,Adriaansz.,Wiknjosastro.,Waspodo. (2000). Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Jakarta: Penerbit JNPKKR-POGI bekerjasama dengan Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.Setiadi (2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu Theresia Catur Wulan Setyaningrum. (2009). Pengaruh inisiasi menyusui dini terhadap jumlah perdarahan pada kala II sampai kala IV di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Surakarta.Skripsi. Universitas Sebelas Maret Solo. Varney.,Kriebs.,Gegor., (2008). Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Edisi 4. Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Weisbrod., Sheppard.,Chernofsky., Gage.,(2009).Emergent management of postpartum hemorrhage for the general and acute care surgeon.World Journal of Emergency Surgery 2009,4:43 doi:10.1186/1749-7922-4-43

ISSN : 2579-7301

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 5 No. 2, Mei 2017 46 PENGARUH PEMBERIAN TEKNIK MARMET (memerah asi) TERHADAP PRODUKSI ASI PADA IBU POST PARTUM DI BPM WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUKORAME KOTA KEDIRI ABSTRACT The decrease of breast milk production of postpartum mother in the early breast feeding process that become a problem for mother to provide breast milk early on her baby. Based on a preliminary study of the lowest exclusive breastfeeding rate coverage in the Kediri city is at Sukorame Public Health Center. This is because many postpartum mothers who felt less that give their milk formula or food other than breast milk in early lactation. The breast milk production could be stimulated by the use of intervention marmet technique. The purpose of this study was to investigate the influence of giving marmet technique to the breast milk production of the postpartum mother. This study is a quasi-experimental research design with post-test only control group design. The population in this study were all post partum mothers who met the inclusion criteria for the study in BPM working area of Sukorame Public Health Center Kediri City. The sampling technique is consecutive sampling with a sample of 26 respondents. Data collection was done by dividing into 2 groups: the experimental group and the control group and to assess the breast milk production using the observation sheet of breast milk production. Data analysis technique used is the Fisher Exact Test Test. The results obtained p value count (0.0074) < = (0.05) then H0 is rejected, meaning that there is the effect of giving marmet technique to the breast milk production. The conclusion of this study was the Marmet technique affects breast milk production of post partum mother. Giving Marmet technique can be applied to help the adequacy of breast milk production. Suggestions researchers is that all medical person can continue to support the improvement of service quality by taking into account maternal postpartum milk production that can impact the breastfeeding process. Keywords: marmet technique, breast milk production, post partum PENDAHULUAN Laktasi adalah keseluruhan proses menyusui mulai dari Air Susu Ibu (ASI) di produksi sampai proses bayi menghisap dan menelan ASI. Sementara itu, yang dimaksud manajemen laktasi ialah suatu upaya yang dilakukan oleh ibu, ayah, dan keluarga untuk menunjang keberhasilan menyusui. Ruang lingkup pelaksanaan manajemen laktasi dimulai pada masa kehamilan, setelah persalinan, dan masa menyusui bayi. Aktivitas menyusui bayi dapat merangsang rahim untuk mengecil. Pemeriksaan dokter pada akhir minggu ke-6, biasanya rahim berukuran lebih kecil dan lebih kencang dari pada ibu yang tidak menyusui. Masa laktasi mempunyai tujuan meningkatkan pemberian ASI eksklusif dan meneruskan pemberian ASI sampai anak umur 2 tahun secara baik dan benar serta anak mendapatkan kekebalan tubuh secara alami (Prasetyono, 2009).

ASI adalah makanan bayi ciptaan Tuhan sehingga tidak dapat digantikan dengan makanan dan minuman yang lain. ASI merupakan makanan bayi yang terbaik dan setiap bayi berhak mendapatkan ASI, dan untuk mempromosikan pemberian ASI, maka Kementerian Kesehatan telah menerbitkan ISSN : 25797301

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 5 No. 2, Mei 2017 47

surat keputusan Menteri Kesehatan nomor: 450/Menkes/SK/IV/2004 tentang Pemberian ASI secara eksklusif pada bayi di Indonesia. Pada tahun 2012 telah terbit Peraturan Pemerintah (PP) nomor 33 tentang Pemberian ASI Eksklusif dan telah diikuti dengan diterbitkannya 2 (dua) Peraturan Menteri Kesehatan yaitu : Permenkes Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui Dan/Atau Memerah Air Susu Ibu dan Permenkes Nomor 39 Tahun 2013 tentang Susu Formula Bayi dan Produk Bayi Lainnya (Depkes gizi, 2013). Anak-anak yang mendapat ASI eksklusif 14 kali lebih mungkin untuk bertahan hidup dalam enam bulan pertama kehidupan dibandingkan anak yang tidak disusui. Mulai menyusui pada hari pertama setelah lahir dapat mengurangi risiko kematian bayi baru lahir hingga 45 persen. Selain manfaat bagi bayi, ibu yang memberikan ASI eksklusif juga berkecenderungan lebih kecil untuk menjadi hamil lagi dalam enam bulan pertama setelah melahirkan dan lebih cepat pulih dari persalinan. Meskipun manfaatmanfaat dari menyusui ini telah didokumentasikan di seluruh dunia, hanya 39 persen anak-anak di bawah enam bulan mendapatkan ASI eksklusif pada tahun 2012. Angka global ini hanya meningkat dengan sangat perlahan selama beberapa dekade terakhir, sebagian karena rendahnya tingkat menyusui di beberapa negara-negara besar, dan kurangnya dukungan untuk ibu menyusui dari lingkungan sekitar (Unicef, 2013). Data Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) 2013 menunjukkan cakupan ASI di Indonesia hanya 42 persen. Angka ini jelas berada di bawah target WHO yang mewajibkan cakupan ASI hingga 50 persen. Angka kelahiran di Indonesia mencapai 4,7 juta per tahun, maka bayi yang memperoleh ASI selama enam bulan hingga dua tahun, tidak mencapai dua juta jiwa. Angka ini menandakan hanya sedikit anak Indonesia yang memperoleh kecukupan nutrisi dari ASI. Riset Eropa membuktikan pemberian ASI mendukung anak meraih pendidikan lebih tinggi. Hasil senada diperoleh riset yang dilakukan di Denmark pada 3.203 anak. Anak yang menyusu ASI kurang dari satu bulan memiliki tingkat IQ lebih rendah dibanding yang memperoleh ASI hingga 7-9 bulan. ASI juga meningkatkan daya tahan tubuh anak. Berdasarkan riset yang dimuat dalam buletin Lancet pada tahun 2013 diungkapkan, pemberian ASI bisa menekan kematian balita hingga 13 persen (Widiani, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2004) menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain ASI tidak segera keluar setelah melahirkan / produksi ASI kurang, kesulitan bayi dalam menghisap, keadaan puting susu ibu yang tidak menunjang, ibu bekerja, dan pengaruh/promosi pengganti ASI. Colin dan Scott (2002) dalam penelitiannya yang dilakukan di Australia menjelaskan bahwa 29 persen ibu post partum berhenti menyusui karena produksi ASI berkurang. Kenyataan di lapangan menunjukkan produksi dan ejeksi ASI yang sedikit pada hari-hari pertama setelah melahirkan menjadi kendala dalam pemberian ASI secara dini. Menurut Cox (2006) disebutkan bahwa ibu yang tidak menyusui bayinya pada hari-hari pertama menyusui disebabkan oleh kecemasan dan ketakutan ibu akan kurangnya produksi ASI serta kurangnya pengetahuan ibu tentang proses menyusui (Mardiyaningsih, 2010). Teknik marmet mengeluarkan ASI secara manual dan membantu refleks pengeluaran susu (Milk Ejection Reflex) telah bekerja bagi ribuan ibu dengan cara yang tidak dimiliki sebelumnya. Bahkan ibu menyusui berpengalaman yang telah mampu mengeluarkan ASI diungkapkan akan menghasilkan lebih banyak susu dengan metode ini. Ibu yang sebelumnya telah mampu mengeluarkannya hanya sedikit, atau tidak sama sekali, mendapatkan hasil yang sangat baik ISSN : 2579-7301 Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 5 No. 2, Mei 2017 48

dengan teknik ini. Teknik Marmet mengembangkan metode pijat dan stimulasi untuk membantu kunci reflek keluarnya ASI. Keberhasilan dari teknik ini adalah kombinasi dari metode pijat dan pengeluaran ASI. Teknik ini efektif dan tidak menimbulkan masalah (Hormann, 2006). Teknik marmet ini merupakan salah satu cara yang aman yang dapat dilakukan untuk merangsang payudara untuk memproduksi lebih banyak ASI (Nurdiansyah, 2011). Berdasarkan studi pendahuluan, peneliti memperoleh data dari Dinkes Kota Kediri berupa data cakupan ASI eksklusif Kota Kediri tahun 2011 dan tahun 2012. Data tersebut menunjukkan bahwa terjadi penurunan pencapaian ASI eksklusif di Kota Kediri. Hal ini juga terjadi pada pencapaian ASI eksklusif di Puskesmas Sukorame Kota Kediri, dimana pada tahun 2011 hanya tercapai 42,2 % dan pada tahun 2012 turun menjadi 29,44 %, dimana posisi tersebut merupakan posisi terendah cakupan ASI eksklusif di wilayah Kota Kediri. Hasil cakupan tersebut tentunya masih jauh dari target yang ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Kota Kediri yaitu sebesar 95%. Menurut keterangan dari Puskesmas Sukorame, hal ini disebabkan karena banyaknya ibu post partum yang merasa produksi ASInya kurang sehingga memberikan susu formula atau makanan selain ASI. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada 2 BPM yang aktif melayani persalinan yaitu pada BPM Endang Sumaningdyah diketahui bahwa dari 9 ibu post partum, 6 ibu sudah memberikan susu formula karena produksi ASI kurang dan 3 ibu masih memberikan ASI secara eksklusif. Sedangkan studi pendahuluan yang dilakukan di BPM Kurniawati diketahui bahwa dari 5 ibu post partum, 3 ibu sudah memberikan susu formula dan 2 ibu masih memberikan ASI secara eksklusif. Dengan melihat latar belakang di atas, maka dirasa perlu untuk memberikan intervensi berupa pemberian teknik marmet terhadap produksi ASI, sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pengaruh pemberian teknik marmet terhadap produksi ASI pada ibu post partum di BPM Wilayah Kerja Puskesmas Sukorame Kota Kediri.” PEMBAHASAN 1. Produksi ASI Pada Ibu Post Partum Yang Tidak Diberi Teknik Marmet di BPM Wilayah Kerja Puskesmas Sukorame Kota Kediri Berdasarkan hasil penelitian pada ibu post partum yang tidak diberikan teknik marmet di BPM wilayah kerja Puskesmas Sukorame Kota Kediri, didapatkan hasil bahwa sebanyak 7 responden mendapatkan produksi ASI cukup, sedangkan 6 responden didapatkan produksi ASI yang tidak cukup, dengan kriteria 4 responden mendapatkan hasil penurunan berat badan bayi melebihi 10% dari berat badan saat lahir dan 2 responden mendapatkan frekuensi buang air kecil kurang dari 6 kali dalam sehari. Sedangkan dari 7 responden yang mendapatkan produksi ASI cukup, 4 responden mendapatkan berat badan bayi yang meningkat dari berat badan saat lahir, 1 responden mendapatkan berat badan yang tetap dari berat badan saat lahir, dan 2 responden mengalami peunurunan berat badan bayi tetapi tidak melebihi 10 % dari berat badan bayi saat lahir. Terdapatnya 7 responden kelompok kontrol yang mendapatkan produksi ASI cukup dapat disebabkan salah satunya karena faktor usia ibu. Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar responden (6 responden) pada kelompok kontrol yang mendapatkan produksi ASI cukup berada dalam rentang umur 20-35 tahun. Umur ibu berpengaruh terhadap produksi ASI. Ibu yang umurnya muda lebih banyak memproduksi ASI dibandingkan dengan ibu yang sudah tua (Soetjiningsih, 2005). Menurut Biancuzzo (2003) bahwa ibu-ibu yang lebih muda atau umurnya kurang dari 35 tahun lebih banyak memproduksi ASI dari pada ibu-ibu yang lebih tua. Fenomena adanya hambatan dalam pengeluaran ASI pada awal menyusui menjadi kendala dalam pemberian ASI secara dini. Salah satu penyebab produksi ASI kurang adalah masih kurangnya asupan nutrisi untuk mendukung proses menyusui (Soetjiningsih, 2005). Proses produksi ASI membutuhkan asupan nutrisi yang cukup dari ibu menyusui sehingga proses produksi ASI dapat berjalan dengan lancar (Roesli, 2008). Hasil penelitian yang dilakukan Rahayu (2012) yang berjudul faktor – faktor yang mempengaruhi produksi ASI pada ibu nifas diperoleh hasil faktor makanan mempunyai pengaruh signifikan terhadap produksi ASI (ρ=0,018).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 26 ibu post partum mengatakan tidak tarak makanan sehingga konsumsi makanan pada responden harusnya tercukupi dan kebutuhan nutrisi pada ibu dapat terpenuhi serta tidak menjadi penghalang pada kecukupan produksi ASI Ibu post partum. Masih adanya 6 responden pada kelompok kontrol dengan produksi ASI tidak cukup diperlukan lebih dalam lagi untuk pemantauan konsumsi makanan selama di rumah. Makanan merupakan bahan yang penting untuk proses produksi ASI. Makanan yang kurang memenuhi jumlah kebutuhan ibu per hari menyebabkan produksi ASI tidak cukup. Karena dalam proses produksi ASI diperlukan kandungan gizi makanan untuk mendapatkan jumlah ASI yang dibutuhkan oleh bayi. Selain faktor yang mempengaruhi produksi ASI seperti makanan dan gizi ibu saat menyusui, produksi ASI juga dipengaruhi oleh faktor psikis. Kondisi jiwa ibu yang selalu dalam keadaan tertekan, sedih, kurang percaya diri dan berbagai bentuk ketegangan emosional akan menurunkan volume ASI bahkan tidak akan terjadi produksi ASI. Oleh karena itu untuk memproduksi ASI yang baik, ibu harus dalam keadaan tenang (Kristiyansari, 2009). Berdasarkan teori faktor psikologis ibu merupakan faktor yang penting dimana dukungan dari orang terdekat dan lingkungan, sangat mempengaruhi kesiapan psikologis ibu untuk menyusui. Kondisi jiwa ibu yang tenang dan tidak cemas dapat membantu meningkatkan kepercayaan diri sehingga ibu dapat menyusui dengan baik. 2. Produksi ASI Pada Ibu Post Partum Yang Diberi Teknik Marmet di BPM Wilayah Kerja Puskesmas Sukorame Kota Kediri Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tanggal 9 Juni -12 Juli 2014 terhadap ibu post partum yang diberikan teknik marmet di BPM wilayah kerja Puskesmas Sukorame Kota Kediri, didapatkan hasil bahwa seluruh responden (100%), yaitu sebanyak 13 orang responden yang diberi teknik marmet mendapatkan produksi ASI yang cukup. Berdasarkan hasil observasi produksi ASI dilihat dari indikator berat badan bayi, sebagian besar responden (8 orang responden) didapatkan hasil berat badan bayi yang meningkat dari berat badan saat lahir, 2 responden mendapatkan berat badan yang tetap dari berat badan saat lahir, dan 3 orang responden mendapatkan berat badan bayi yang menurun tetapi tidak melebihi 10% dari berat badan bayi saat lahir. Sedangkan berdasarkan frekuensi buang air kecil, didapatkan seluruh responden frekuensi buang air kecilnya 6-8 kali dalam sehari. Pencapaian dari produksi ASI yang cukup dari seluruh responden ini kemungkinan dapat dipengaruhi oleh pemberian teknik marmet yang dilakukan oleh peneliti kepada responden 2 kali dalam sehari selama 7 hari. Menurut Dalzell (2010) dengan melakukan teknik marmet dapat membantu kunci reflek pengeluaran ASI (letdown reflex) yang efektif dalam hari-hari pertama menyusui, karena tebalnya konsistensi kolostrum dan ketika susu matang diproduksi. Teknik Marmet mengembangkan metode pijat dan stimulasi untuk membantu kunci reflek pengeluaran ASI. Keberhasilan dari teknik ini adalah kombinasi dari metode pijat dan pengeluaran ASI yang membantu refleks pengeluaran susu (Milk Ejection Reflex) sehingga ibu menyusui yang sebelumnya hanya mampu mengeluarkan ASI sedikit atau tidak sama sekali, mendapatkan hasil yang sangat baik dengan teknik ini (Hormann, 2006). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian teknik marmet mempengaruhi produksi ASI ibu post partum yang dapat dicapai oleh seluruh responden perlakuan. Pada sebagian ibu post partum dapat terjadi hambatan

pengeluaran ASI pada hari pertama setelah persalinan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam masyarakat khususnya ibuibu yang cenderung menolak menyusui bayinya sendiri dan lebih memilih menggunakan susu formula dengan alasan produksi ASInya hanya sedikit atau tidak keluar sama sekali. Keadaan ini tentu memberikan dampak negatif terhadap status kesehatan, gizi serta tingkat kecerdasan anak. Oleh karena itu, untuk menanggulangi permasalahan tersebut perlu dilakukan upaya preventif dan promotif dalam meningkatkan penggunaan ASI. Pembentukan air susu sangat dipengaruhi oleh hormon prolaktin dan kontrol laktasi serta penekanan fungsi laktasi. Pada seorang ibu yang menyusui dikenal 2 refleks yang masing-masing berperan sebagai pembentukan dan pengeluaran air susu refleks prolaktin dan refleks “Let down” (Proverawati, 2010). Produksi ASI yang rendah bisa diakibatkan dari kurang sering menyusui atau memerah payudara dan memijat payudara. Teknik marmet merupakan kombinasi antara cara memerah ASI dan memijat payudara sehingga reflek keluarnya ASI dapat optimal. Pengosongan ASI dari sinus laktiferus yang terletak di bawah areola diharapkan akan merangsang pengeluaran hormon prolaktin yang merangsang mammary alveoli untuk memproduksi ASI. Makin banyak ASI dikeluarkan atau dikosongkan dari payudara maka akan semakin banyak ASI akan diproduksi (Astutik, 2014). Mardiyaningsih (2010) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa kombinasi teknik marmet dan pijat oksitosin efektif dalam meningkatkan produksi ASI ibu post seksio sesarea, dimana ibu post seksio sesarea yang mendapatkan intervensi kombinasi teknik marmet dan pijat oksitosin berpeluang 11,5 kali lebih besar produksi ASI nya lancar dibandingkan dengan kelompok kontrol. Bowles (2011) menyatakan bahwa untuk produksi ASI dan kelancaran pengeluaran ASI memerlukan rangsangan pada otot-otot payudara agar kelenjar payudara bekerja dengan lebih efektif, sehingga otot-otot akan berkontraksi lebih baik dan kontraksi yang baik ini diperlukan dalam proses laktasi. Rangsangan pada otot-otot payudara ini dapat dilakukan dengan pemijatan atau masase payudara salah satunya melalui pemberian teknik marmet ini. Berdasarkan penelitian ini didapatkan bahwa seluruh responden mendapatkan produksi ASI yang cukup. Hal ini dapat

disebabkan salah satunya melalui diberikannya rangsangan pada otot-otot payudara agar bekerja lebih efektif melalui pemberian teknik marmet yang dapat merangsang refleks pengaliran / let down refleks yang memicu keluarnya ASI. Sehingga dengan dilakukannya teknik marmet pada ibu post partum dapat membantu meningkatkan kecukupan produksi ASI pada ibu post partum. 3. Pengaruh Pemberian Teknik Marmet Terhadap Produksi ASI Pada Ibu Post Partum di BPM Wilayah Kerja Puskesmas Sukorame Kota Kediri Berdasarkan hasil analisa uji Fisher Exact Test didapatkan hasil p hitung = 0,0074 < = 0,05 sehingga H0 ditolak dan H1 diterima yang artinya ada pengaruh pemberian teknik marmet terhadap produksi ASI pada ibu post partum di BPM wilayah kerja Puskesmas Sukorame Kota Kediri. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi ibu dengan produksi ASI cukup ditemukan paling banyak pada kelompok umur 20-35 tahun dengan responden sebanyak 15 orang (75%) dari seluruh responden (20 orang) yang mendapatkan produksi ASI cukup. Umur merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi produksi ASI, ibu yang usianya lebih muda akan lebih banyak memproduksi ASI dibandingkan dengan ISSN : 2579-7301 Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 5 No. 2, Mei 2017 53

ibu yang usianya lebih tua (Biancuzzo, 2003). Pendapat lain oleh Pudjiati (2005) bahwa ibu yang berumur 19-25 pada umunya dapat menghasilkan cukup ASI dibandingkan dengan ibu yang berumur 30 tahun ke atas. Penelitian yang dilakukan oleh Moore dan Coty (2006) menunjukkan bahwa keberhasilan menyusui tidak ditentukan dari tingkat pendidikan ibu akan tetapi oleh informasi tentang menyusui yang diterima ibu pada saat prenatal. Ibu post partum ternyata membutuhkan pendidikan tentang menyusui pada saat prenatal dan informasi yang diberikan harus konsisten dan realistis. Hasil penelitian ini juga menujukkan bahwa ibu yang produksi ASInya cukup sebagian besar berpendidikan rendah. Sebanyak 11 orang responden (55%) yang mendapatkan produksi ASI cukup memiliki pendidikan yang rendah. Tingkat pendidikan seseorang tidak dapat dijadikan pedoman bahwa seseorang akan berhasil pada saat proses menyusui. Akan tetapi informasi yang benar dan diterima tentang proses menyusui sebelumnya akan menentukan keberhasilan proses menyusui. Seseorang yang mempunyai pendidikan rendah akan tetapi dia memperoleh informasi yang benar tentang menyusui maka dia akan berhasil dalam proses menyusui. Pengetahuan yang memadai akan meningkatkan rasa percaya diri ibu pada saat menyusui. Rasa percaya diri inilah yang akan memperlancar produksi ASI pada masa laktasi, sehingga pendidikan kesehatan tentang menyusui yang diberikan kepada ibu pada saat masa kehamilan dapat membantu ibu untuk mempunyai keyakinan bahwa dia akan berhasil dalam proses menyusui. Terjadinya penyulit pada saat dilakukan proses laktasi tentunya akan sangat merugikan ibu maupun bayi. Fenomena yang ditemukan di lapangan bahwa produksi ASI menurun pada awal meyusui. Pada umumnya masalah tidak keluar atau terhambatnya produksi ASI dikarenakan dua hal yaitu ASI yang penuh dan saluran ASI yang tersumbat. ASI yang tidak

langsung keluar setelah melahirkan adalah hal yang wajar, karena itu ibu post partum harus memancing keluarnya ASI salah satunya melalui teknik marmet. Teknik marmet merangsang reflek keluarnya ASI (let down reflex) yang merangsang reflek pengaliran produksi ASI. Hasil penelitian ini sudah sesuai dengan teori, didukung pula dengan adanya hasil penelitian Setiawandari (2013) yang membuktikan bahwa teknik marmet berpengaruh dalam meningkatkan produksi ASI ibu post partum. Jika teknik marmet ini diterapkan oleh ibu post partum maka masalah menyusui yang muncul pada harihari pertama kelahiran seperti ASI tidak lancar, ASI belum keluar yang menyebabkan ibu memutuskan untuk memberikan susu formula kepada bayinya dapat diatasi sehingga dapat meningkatkan angka cakupan pemberian ASI pada satu jam pertama kelahiran bahkan pemberian ASI eksklusif. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian pengaruh pemberian teknik marmet terhadap produksi ASI pada ibu post partum di BPM Wilayah Kerja Puskesmas Sukorame Kota Kediri yang dilakukan pada tanggal 9 Juni sampai 12 Juli 2014 maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Seluruh responden yang diberi teknik marmet mendapatkan produksi ASI yang cukup pada hari ke-7. 2. Sebagian besar responden yang tidak diberi teknik marmet mendapatkan produksi ASI yang cukup pada hari ke-7. 3. Ada pengaruh pemberian teknik marmet terhadap produksi ASI pada ibu post partum di BPM Wilayah Kerja Puskesmas Sukorame Kota Kediri. Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang telah dirumuskam di atas ISSN : 25797301

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 5 No. 2, Mei 2017 54

maka perlu disampaikan saran sebagai berikut : 1. Bagi Tempat Penelitian Dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai peningkatan mutu pelayanan ibu post partum dengan memperhatikan produksi ASI yang dapat berdampak pada proses pemberian ASI, misal dengan mengadakan sosialisasi teknik marmet pada ibu saat ANC / masa kehamilan. 2. Bagi Institusi Pendidikan Dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menambah wawasan dan informasi serta data dasar untuk penelitian selanjutnya. 3. Bagi peneliti selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat dilakukan penelitian lanjutan dengan membandingkan antara intervensi teknik marmet dan breast care, menyusui dini dan teratur untuk meningkatkan produksi ASI pada ibu post partum. DAFTAR PUSTAKA Anggraini, Y. 2010. Asuhan Kebidanan Masa Nifas. Yogyakarta: Pustaka Rihama. Astutik, R. 2014. Payudara dan Laktasi. Jakarta: Salemba Medika. Biancuzzo, M. 2003. Breastfeeding the newborn: Clinical strategies for nurses. St. Louis: Mosby. Bowles, B.C., 2011. Breast Massage A “Handy” Multipurpose Tool to Promote Breastfeeding Succes. United States: Lactation Consultan Association. http://www.clinicallactation.org/sites/defaul t/files/articlepdf/CL2-4bowles.pdf. Diakses pada tanggal 13 Februari 2014. Dalzell, J. 2010. Breastfeeding. United Kingdom: Radcliffe Publishing Ltd. Depkes gizi. 2013. PEKAN ASI SEDUNIA 2013. http://www.gizikia.depkes.go.id/archives/86 59. Diakses pada tanggal 3 Februari 2014. Derni, M. 2007. Serba-serbi Menyusui. Depok: WaRM Publishing Dewi, V. 2012. Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas. Jakarta: Salemba Medika. Gibney, M.J. 2008. Gizi kesehatan Masyarakat. Terjemahan oleh Andry Hartono,dkk. Jakarta: EGC. Hidayat, AAA. 2007. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika. Hormann, E. 2006. Breastfeeding an Adopted Baby and Relactation. United

States of America: La Leche League International. Kristiyansari, W. 2009. ASI, Menyusui & Sadari. Yogyakarta: Muha Medika. La Leche League International. 27 Oktober 2003. Manual Expression of Breast Milk Marmet Technique. http://lllrochester.weebly.com/uploads/7/9/5 /4/795404/marmet_technique_tearoff.pdf. Diakses pada tanggal 13 Februari 2014. Mardiyaningsih, E. 2010. Efektifitas kombinasi teknik marmet dan pijat oksitosin terhadap Produksi asi ibu post seksio di rumah sakit wilayah jawa tengah. Depok: FIK UI. http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/202826 66-T+Eko+Mardiyaningisih.pdf. Diakses pada tanggal 13 Februari 2014. Maryunani, A. 2012. Inisiasi Menyusui Dini, ASI Eksklusif dan Manajemen Laktasi. Jakarta: Trans Info Medika. Moore, E. R., Coty, M.B. 2006. Prenatal and postpartum focus groups with primiparas: breastfeeding attitudes, support, barriers, self-efficacy, and intention. Journal Pediatrics Health Care 20, 35-46. ISSN : 2579-7301 Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 5 No. 2, Mei 2017 55

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Nugroho, T. 2011. ASI dan Tumor Payudara. Yogyakarta: Nuha Medika. Nurdiansyah, N. 2011. Buku Pintar Ibu dan Bayi. Jakarta: Bukune. Nursalam. 2011. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrume Penelitian keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Prasetyono, D. 2009. Buku Pintar ASI eksklusif pengenalan, praktik, dan pemanfaatannya. Jogjakarta: Diva Press. Proverawati, A. 2010. Kapita Selekta ASI dan Menyusui. Yogyakarta: Nuha Medika. Pudjiadi. 2005. Ilmu gizi klinis pada anak Edisi 4. Jakarta: FK UI. Rahayu, D. 2012. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Produksi ASI pada Ibu Nifas.http://stikesbaptis.ac.id/utama/index.php?option=com_docman&task=doc_download&gid=17&It emid=111.Diakses tanggal 18 Juli 2014. Ramaiah, S. 2006. ASI dan Menyusui. Jakarta: Buana Ilmu Populer. Saleha, S. 2009. Asuhan Kebidanan pada Masa Nifas. Jakarta: Salemba Medika. Sears, W. 2007. The Baby Book, Everything You Need to Know About Your Baby From Birth to Age Two. Terjemahan oleh Dwi karyani, dkk. Jakarta: SERAMBI ILMU SEMESTA. Setiawandari. 2013. Perbedaan Pengaruh Teknik Marmet Dengan Pijat Oksitosin Terhadap Produksi ASI Ibu Postpartum Di Rumah Sakit Ibu Dan Anak Ibi Surabaya. http://s2mkk.pasca.uns.ac.id/?m=201404&paged=5. Diakses tanggal 18 Juli 2014. Soetjiningsih. 2005. ASI, Petunjuk Untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta : EGC Sugiyono. 2012. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Suryawati, C. 2007. Faktor Sosial Budaya dalam Praktik Perawatan Kehamilan, Persalinan, dan Pasca Persalinan di Kecamatan Bangsri Kabupaten Jepara. http://ejournal.undip.ac.id/index.php/jpki/article/view/2800. Diakses tanggal 18 Juli 2014. Unicef Indonesia. 2013. ASI adalah penyelamat hidup paling murah dan efektif di dunia. http://www.unicef.org/indonesia/id/media_21270.html. Diakses pada tanggal 3 februari 2014. Weiss, E. 2006. The better Way to Breastfeed. LCCE.CLC. Widiani, R. 2013. Cakupan ASI 42 Persen, Ibu Menyusui Butuh Dukungan. http://health.kompas.com/read/2013/12/21/0917496/Cakupan.ASI.42.Persen.Ibu.Menyusui.Butuh.Duku ngan. Diakses pada tanggal 3 Februari 2014. Widuri, H. 2013. Cara Mengelola ASI Eksklusif Bagi Ibu Bekerja. Yogyakarta: Gosyen Publishing. Wiji, R.N. 2013. ASI dan Panduan Ibu Menyusui. Yogyakarta: Nuha Medika

Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian Alergi pada Bayi dan Anak Usia 6-7 Bulan di RSIA Kota Kediri Suwoyo1, Indah Rahmaningtyas2 Poltekkes Kemenkes Malang Prodi Kebidanan Kediri Abstract The prevalence of allergic reaction in this world reported to have increased dramatically in recent years. Currently, allergic becomes common disease for babies and infants. Infants younger than six months has limited choice of food be consumed. This limitation is due to the baby's immature gastrointestinal system. This will greatly facilitate the foreign protein to penetrate the baby's intestines, so it can cause allergies. One of the factors of allergies in babies and infants are breastfeeding, because protein contained in the breast milk is perfect for baby's body and almost entirely absorbed by the baby's digestive system. This study aims to determine the correlation of exclusive breastfeeding and allergic reaction in babies and infants (age 7-60 months) at RSIA Kediri City. The design used was a retrospective cohort. The population in this study were all mothers whose children examined aged 7-60 months in RSIA Kediri city. The sampling technique used is the Systematic Random Sampling, with a sample of 80 people. From this study showed that the majority of infants and children who are exclusively breastfed do not have allergies (68,75%). Through the Chi-Square correlation test, showed that there is a correlation between exclusive breastfeeding and allergic reaction in babies and infant age 7-60 months. This is because breast milk is basically naturally produced according to baby's needs, and contains proteins that helps to reduce the risk of allergies. Therefore, cooperation between health workers, the mother nearby, and public figures have a very important role in the success of exclusive breastfeeding. Pendahuluan Air susu ibu (ASI) adalah makanan paling sempurna bagi bayi. Sebagai makanan tunggal yang mengandung seluruh zat gizi yang diperlukan bayi, ASI juga mengandung zat untuk meningkatkan daya tahan (kekebalan) tubuh dari berbagai infeksi. Bayi memiliki hak untuk mendapatkan ASI. ASI ini sebaiknya diberikan kepada bayi minimal hingga usia enam bulan atau yang sering disebut sebagai ASI eksklusif. Definisi ASI eksklusif menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) adalah pemberian hanya ASI saja tanpa cairan atau makanan padat apapun kecuali vitamin, mineral atau obat dalam bentuk tetes atau sirup sampai usia enam bulan. Hal ini bertujuan untuk menghindari alergi dan menjamin kesehatan bayi secara optimal. (Kemenkes RI, 2012). Namun, sangat disayangkan masih banyak diantara ibu-ibu melupakan keuntungan menyusui ini. Banyak alasan yang menjadi penyebab ibu tidak memberikan ASI eksklusif seperti ibu harus bekerja, budaya memberikan makanan pralaktal, memberikan tambahan susu formula karena ASI tidak keluar, menghentikan pemberian ASI karena bayi atau ibu sakit, serta ibu ingin mencobakan susu formula kepada bayi. (Fikawati, 2010). Banyak penelitian yang menilai pengaruh jangka pendek dan panjang dari menyusui terhadap kesehatan bayi dan anak. Menyusu eksklusif selama enam bulan terbukti memberikan risiko yang lebih kecil terhadap berbagai penyakit infeksi seperti diare, infeksi saluran napas, infeksi telinga, pneumonia, infeksi saluran kemih, dan penyakit lainnya seperti obesitas, diabetes, alergi, penyakit ISSN 2303-1433 42

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 4 No. 2 Mei 2016 inflamasi saluran cerna, dan kanker di kemudian hari. Inilah beberapa alasan bahwa ASI dianjurkan sebagai sumber makanan utama selama enam bulan pertama kehidupan bayi. (IDAI, 2013). Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 450/Menkes/VIII/2004, tanggal 7 April 2004 telah menetapkan pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pada ibu di Indonesia. Survey yang dilakukan oleh Helen Keller International menyebutkan bahwa rata-rata bayi di Indonesia hanya mendapatkan ASI eksklusif selama 1,7 bulan. Masyarakat telah menargetkan cakupan ASI eksklusif enam bulan sebesar 80%. Namun demikian, angka ini sangat sulit dicapai bahkan tren prevalensi ASI eksklusif dari tahun ke tahun terus menurun. Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 1997-2007 memperlihatkan terjadinya penurunan prevalensi ASI eksklusif dari 40,2% pada tahun 1997 menjadi 39,5% dan 32% pada tahun 2003 serta tahun 2007. Ditinjau dari Pencapaian kadarzi di Jawa Timur tahun 2010, untuk pencapaian ASI eksklusif sebesar 56,4% (Fikawati, 2010) dan pada tahun 2012 cakupan ASI eksklusif untuk Kota Kediri sebesar 67%. (Dinkes Kota Kediri, 2014). Munculnya Peraturan pemerintah (PP) No. 33 tahun 2012 tentang pemberian ASI eksklusif, diharapkan mampu mempercepat proses peningkatan cakupan ASI eksklusif di Jawa Timur karena ASI sudah terbukti sebagai makanan terbaik bagi bayi. (Kemenkes RI, 2012) Saat ini, alergi sudah tidak asing lagi menyerang bayi maupun anak. Istilah alergi, menunjukkan suatu kondisi respon imunitas yang menimbulkan reaksi yang berlebihan di tubuh penderita. Angka kejadian alergi di berbagai dunia dilaporkan meningkat drastis dalam beberapa tahun terakhir. World Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat 50 juta manusia menderita asma. Tragisnya lebih dari 180.000 orang meninggal setiap tahunnya karena asma. (Indonesian Children, 2009). Berdasarkan data dari World Allergy Organization (WAO) 2011 menunjukkan bahwa prevalensi alergi terus meningkat dengan angka 30-40 persen dari total populasi dunia. Data tersebut sejalan dengan data dari Center for Disease Control and Prevention (CDC) yang mencatat bahwa angka kejadian alergi meningkat tiga kali lipat sejak 1993 hingga 2006. Di Indonesia, beberapa peneliti juga memperkirakan bahwa peningkatan kasus alergi mencapai 30 persen per tahunnya. (Pdpersi, 2012). Rinitis alergi menjadi penting karena prevalensi semakin meningkat (10-20% dari populasi) yang berdampak pada kualitas hidup, produktivitas kerja dan sekolah, biaya pengobatan tinggi, serta keterkaitan dengan asma. (IDAI, 2013) Menurut salah satu jurnal pada media Litbang Kesehatan tahun 2010 untuk propinsi di Indonesia, tercatat prevalensi penderita asma di Propinsi Jawa Timur adalah terbesar kedua setelah Propinsi Jawa Barat yaitu sebesar 162.567. (Oemiati, Ratih, dkk, 2010) Sementara itu lebih dari 80% bayi mengalami alergi. Insiden alergi pada bayi merupakan hal yang sering menjadi perhatian. Data menunjukkan bahwa di Indonesia alergi dialami oleh 20% dari total populasi bayi yang baru lahir dan cenderung meningkat pada bayi berusia di bawah satu tahun. Lebih dari 80% dari bayi yang mengalami alergi ini, menunjukkan gejala sebelum mereka berusia 4 bulan, dan hampir 90% sebelum 12 bulan. Penelitian klinis menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif selama enam bulan terbukti menurunkan insiden dermatitis atopik yang merupakan masalah umum selama bulanbulan pertama kehidupan bayi. Sedangkan dari penelitian lainnya terhadap bayi sampai berusia 17 bulan, diketahui bahwa pemberian ASI eksklusif menurunkan risiko eksim dan alergi makanan dibandingkan bayi yang tidak diberikan ASI. (Gitta, 2012). Selain itu, ISSN 2303-1433 43

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 4 No. 2 Mei 2016

Penelitian dilakukan di sini Apakah terjadi efek? Alergi Tidak Alergi alergi Non ASI Eksklusif Bayi dan anak usia 6-7 bulan Paparan Alergi Tidak Alergi berdasarkan data kunjungan penderita di puskesmas Kota Kediri pada tahun 2012 terdapat 8.170 penderita dermatitis kontak alergi (Dinkes Kota Kediri, 2014). Serta menurut data hasil penelusuran di dokter spesialis Kota Kediri diperoleh jumlah kunjungan pasien anak di dr.Wasis, Sp.A tiap bulannya berkisar 550 pasien, dr.Lily Dyah, Sp.A berkisar 600 pasien, dan dr.Arshi, Sp.A berkisar 400 pasien. Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk mengambil judul “Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian Alergi pada Bayi dan Anak Usia 7-60 Bulan di RSIA Kota Kediri” Metode Penelitian Dalam penelitian ini menggunakan desain penelitian kohort retrospektif. Subjek diidentifikasi oleh adanya paparan yang terjadi di masa lalu, tetapi pada penelitian kohort retrospektif, baik paparan maupun penyakit terjadi sebelum penelitian dilaksanakan. (Behrman, dkk, 2000). Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang memeriksakan anaknya usia 6-7 bulan di RSIA Kota Kediri. Populasi prediksi sebanyak 100 orang. Jumlah populasi ini didapat dari studi pendahuluan yang dilakukan peneliti selama lima hari Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian ibu yang memeriksakan anaknya usia 6-7 bulan di RSIA Kota Kediri. Untuk mengetahui jumlah sampel digunakan rumus: n = Keterangan n = jumlah sampel N = jumlah populasi d = tingkat signifikansi (5% = 0,05) (Nursalam, 2012) Dengan penghitungan sebagai berikut: n = = 80 orang Teknik sampling yang digunakan untuk penelitian ini adalah Systematic Random Sampling dengan menetukan interval sampel. analisis untuk mengetahui hubungan kedua variabel. Oleh karena kedua skala data nominal, maka menggunakan uji korelasi Chi - Square. Data akan dihitung melalui bantuan komputer dengan SPSS (Statistical Product and Service Solutions) versi 17.N 1 + N (d)2 100 1 + 100 (0,05)2

Pembahasan 1 Pemberian ASI Eksklusif Berdasarkan hasil penelitian, responden yang memberikan ASI eksklusif yaitu sebanyak 61 orang anak (76,25%), sedangkan 19 orang anak tidak memberikan ASI eksklusif (23,75%). Hal ini menunjukkan bahwa lebih banyak responden yang memberikan ASI saja tanpa tambahan makanan atau minuman lain selama enam bulan dibandingkan dengan responden yang sepenuhnya atau sesekali memberikan makanan atau minuman lain selain ASI kepada anaknya selama enam bulan. Faktor dorongan petugas kesehatan menjadi salah satu indikator penting dalam pemberian ASI eksklusif tersebut. Dari informasi responden saat penelitian didapatkan, bahwa semua responden pernah mendapatkan informasi mengenai ASI eksklusif (100%), baik dari petugas kesehatan, leaflet, maupun media massa ISSN 2303-1433 45 Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 4 No. 2 Mei 2016 seperti majalah. Informasi mengenai pemberian ASI secara eksklusif serta cara menyusui yang benar sangat penting diberikan kepada ibu. Dengan pendidikan kesehatan tersebut, ibu akan memahami betapa pentingnya ASI untuk pertumbuhan serta perkembangan bayi dan diharapkan ibu memberikan ASI eksklusif pada buah hatinya. Penelitian yang mendukung tentang pentingnya peran petugas kesehatan dalam memberikan penyuluhan mengenai manfaat ASI eksklusif dilaporkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Agustin tahun 2010, yang menyatakan perlu adanya suatu bentuk kerjasama yang baik antara petugas kesehatan, tokoh masyarakat, dan keluarga dalam menggalakkan program pemberian ASI eksklusif. Hal ini didukung oleh Ulya Prastika (2013), bahwa pendidikan dan dukungan dari petugas kesehatan, baik dokter, bidan, perawat maupun kader kesehatan, memiliki peran yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan pemberian ASI eksklusif.

Kerjasama dan komunikasi yang baik antara petugas kesehatan serta kemampuan petugas kesehatan dalam menunjukkan sikap terbuka dan bersedia menjadi pendengar yang baik serta menciptakan suasana yang nyaman akan dapat menggali sejauh mana pengetahuan ibu dan mengembangkan pengetahuan ibu tersebut menjadi lebih baik. Dalam pemberian informasi guna mengembangkan pengetahuan ibu dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya yaitu menggunakan media komunikasi. Melalui media komunikasi, informasi akan mudah diterima dan mudah diingat oleh ibu sehingga mendorong keinginan ibu untuk mengetahui dan akhirnya mendapatkan pemahaman yang lebih baik. Berbagai bentuk media yang dapat digunakan adalah leaflet, lembar balik, alat peraga laktasi, poster, dan pemutaran film (Ambarwati, 2013). Dari data yang diperoleh, meskipun semua responden telah mendapat informasi mengenai ASI masih terdapat responden yang tidak memberikan ASI eksklusif. Hal tersebut bisa dikarenakan oleh perilaku tenaga kesehatan yang belum sepenuhnya mendukung program tersebut misalnya ketika pulang dari rumah sakit, ibu sering dibekali dengan susu formula. Tindakan tersebut dapat menyebabkan ibu malas untuk memberikan ASI-nya. Sedikit saja masalah yang ditemui ketika menyusui, ibu

akan segera beralih ke susu formula yang dibawanya dari rumah sakit. Selain itu, faktor dukungan dari suami atau keluarga juga sangat mempengaruhi. Banyak nasihat yang diberikan oleh para anggota keluarga, khusunya keluarga yang lebih tua, yang justru menimbulkan persepsi yang salah pada ibu. Misalnya, bahwa bayi baru lahir harus diberi madu supaya kuat. Faktor lain yang juga mempengaruhi adalah faktor pekerjaan ibu. Ketatnya aturan kerja, lokasi tempat tinggal yang jauh dari tempat kerja, atau ketiadaan fasilitas kendaraan pribadi kerap menjadi faktor yang menghambat ibu untuk memberikan ASI kepada bayinya. Pendapat mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pemberian ASI eksklusif dinyatakan oleh Damayanti (2010), bahwa adanya “tradisi” pemberian susu formula di rumah sakit dapat menjadikan ibu terbiasa untuk memberikan susu formula pada bayi. Pemberian informasi yang salah dapat menimbulkan pemahaman pada ibu baru bahwa susu formula adalah susu yang terbaik untuk bayinya. Selain itu, disebutkan juga bahwa banyak pasangan yang merasa tidak nyaman jika istrinya menyusui. Faktor lain yang berpengaruh adalah faktor ibu bekerja. Pada saat ini banyak ibu yang bekerja untuk membantu perekonomian keluarga, sehingga ibu tidak mempunyai cukup banyak waktu untuk menyusui bayinya. Tidak hanya itu, ibu yang bekerja secara fisik juga lebih ISSN 2303-1433 46

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 4 No. 2 Mei 2016 cepat merasa lelah, sehingga merasa tidak punya tenaga untuk menyusui. Selain faktor dari ibu, tenaga kesehatan, dan keluarga, Syamsianah (2010) menambahkan, faktor pendekatan informal dari tokoh masyarakat setempat juga diperlukan guna memotivasi ibu agar lebih memperhatikan dan mengutamakan kesehatan buah hatinya serta memupus anggapan bahwa pemberian susu formula pada bayi dapat meningkatkan derajat sosial keluarga. Dari data dan konsep yang ada, peneliti menyimpulkan bahwa pencapaian pemberian ASI eksklusif dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang berpengaruh tersebut adalah faktor ibu bekerja, kebiasaan pemberian susu formula di rumah sakit, dan faktor dukungan dari tenaga kesehatan, orang terdekat atau keluarga serta dukungan dari tokoh masyarakat. 2 Kejadian Alergi Dari hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat sejumlah 21 anak mengalami alergi (26,25%). Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan jumlah anak yang tidak mengalami alergi, yakni sebanyak 59 anak (73,75 %). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dari 59 anak yang tidak mengalami alergi tersebut terdapat 55 anak yang mendapatkan ASI eksklusif, sedangkan sisanya 4 anak tidak mendapatkan ASI eksklusif (5 %). Jika ditinjau dari faktor genetis, dari 51 anak yang tidak mengalami alergi, tidak ada anak yang memiliki riwayat alergi dari keluarga (0%). Hal ini karena didalam ASI mengandung bahan kekebalan non spesifik antara lain : faktor bifidus, lactoferin dan lizosim. Jika dilihat dari 21 anak yang mengalami alergi terdapat 6 anak yang mendapatkan ASI eksklusif (7,5%), sedangkan sisanya 15 anak tidak mendapatkan ASI eksklusif (18,75%). Dari 6 anak yang mendapatkan ASI eksklusif terdapat 2 anak yang memiliki riwayat alergi dari orang tua (2,5 %), sedangkan sisanya 4 anak tidak memiliki riwayat alergi dari orang tua (5 %). Sedangkan dari 19 anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif seluruhnya tidak ada riwayat alergi dari orang tuanya. Dari data di atas, dapat dilihat bahwa meskipun anak telah diberi ASI eksklusif dan tidak memiliki riwayat alergi dari keluarga, tetapi anak dapat mengalami alergi karena pada dasarnya alergi adalah salah satu jenis gangguan dari sistem kekebalan. Alergi dapat terjadi bila sistem kekebalan seseorang memiliki sensitivitas yang berlebihan terhadap protein asing yang bagi orang lain tidak menimbulkan masalah. Jadi, alergi tergantung dari sistem kekebalan pada tubuh seseorang dan gejala alergi tersebut dapat muncul kapan saja, baik pada masa bayi, anak-anak, remaja, maupun dewasa. Bisa saja saat bayi tidak mengalami alergi, tetapi pada saat remaja atau dewasa gejala alergi tersebut baru muncul. Pendapat tersebut didukung oleh Espeland (2008) yang menyatakan bahwa alergi pada dasarnya merupakan reaksi tubuh terhadap zat (alergen) yang pada umumnya tidak menyebabkan efek yang merusak dalam sebagian orang. Ketika mengalami alergi, sistem kekebalan tubuh memberikan reaksi yang berlebihan, sehingga tubuh menghasilkan antibodi. Antibodi-antibodi yang bereaksi terhadap alergen disebut IgE. Antibodi IgE mengikat dan bereaksi pada permukaan sel-sel khusus yang disebut mast cell, yang ditemukan pada lapisan hidung, paru-paru, kulit, dan usus. Begitu alergen berhubungan sel-sel ini, mereka melepaskan banyak zat kimia, termasuk histamin, yang dapat menghasilkan perubahan-perubahan di berbagai macam bagian tubuh, seperti penyakit galegata, pembengkakan pada hidung, dan lapisan-lapisan dada serta meningkatnya produksi lendir. Perubahan-perubahan ini dapat menyebabkan berbagai macam gejala. Tidak ada usia yang pasti kapan seseorang menderita alergi. Gejala alergi dapat ISSN 2303-1433 47

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 4 No. 2 Mei 2016 muncul selama masa anak-anak, remaja, atau pada usia dewasa (Espeland, 2008). Kemunculan atau semakin parahnya gejala alergi pada anak dapat disebabkan oleh tekanan fisik atau tekanan psikis. Namun, tekanan-tekanan tersebut akan secara efektif memicu gejala alergi bila terjadinya bersamaan dengan kondisi anak yang sedang terpapar dan mengalami sensitivitas terhadap alergen makanan, bulu binatang, debu rumah, atau alergen lain. Tekanan fisik dapat terjadi dalam bentuk kedinginan, kepanasan, sakit influenza, kelelahan akibat beraktivitas fisik seperti berlari, berenang, dan olah fisik lainnya. Tekanan psikis dalam bentuk menangis, ketakutan, marah atau bahkan karena tertawa terbahak-bahak (IDAI, 2013). Faktor pemberian ASI secara tidak langsung juga dapat mempengaruhi kejadian alergi yang timbul pada bayi. Hal tersebut dapat terjadi dari pengaruh makanan yang dikonsumsi oleh ibu yang kemungkinan dapat menjadi alergen pada tubuh bayi. Zat makanan yang terkandung dapat disalurkan dari ibu ke bayi melalui ASI, sehingga apabila bayi sensitif terhadap bahan makanan tertentu yang dikonsumsi oleh ibu, dapat menyebabkan respon tubuh yang tidak biasa dan muncullah gejala alergi pada tubuh bayi. Pengaruh makanan ibu dapat menyebabkan alergi dijelaskan oleh Simkin (2007) yang menyatakan bahwa pada keadaan tertentu, makanan yang dikonsumsi ibu dapat berpengaruh buruk terhadap bayi dan bayi akan mengalami ruam, hidung yang terus-menerus beringus, diare, atau kegelisahan berlebih. Seorang bayi yang mempunyai riwayat keluarga yang kuat dalam hal makanan dapat bereaksi terhadap beberapa jenis makanan, pengawet makanan, pewarna makanan, dan zat aditif makanan dari makanan yang dikonsumsi ibunya. Makanan yang paling berpotensi untuk menimbulkan reaksi ini adalah susu sapi, telur, ikan, kerang, dan kacang. Beberapa bayi ini bereaksi terhadap makanan tertentu dalam jumlah besar yang dikonsumsi ibunya. Faktor lain yang dapat mempengaruhi kejadian alergi adalah adanya riwayat alergi dalam keluarga. Widjaja mamaparkan bahwa jika kedua orang tua tidak ada riwayat alergi, maka kemungkinan anak terkena alergi adalah sebesar 12,5%. Pada anak yang salah satu dari orang tuanya menderita alergi, kemungkinannya menjadi 19,8%. Jika terdapat saudara kandung yang memiliki riwayat alergi, kemungkinan anak terkena alergi sebesar 30% dan jika kedua orang tuanya menderita alergi, kemungkinan anak menderita alergi bertambah lagi menjadi 42,9%. Faktor lain yang juga sering menjadi pencetus alergi adalah gangguan kejiwaan, seperti rasa cemas, marah, dan takut (IDAI, 2013). Dari data dan konsep yang ada, peneliti menyimpulkan bahwa kejadian alergi pada bayi dan anak dapat dipicu oleh beberapa faktor. Faktor penyebab alergi yang harus diwaspadai tersebut adalah faktor dietik atau pemberian ASI, faktor keturunan (genetis), dan faktor kejiwaan. 3 Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian Alergi Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan uji korelasi Chi- Square, diperoleh hasil ada hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian alergi pada bayi dan anak usia 7-60 bulan. Menurut hasil kuesioner, diperoleh sebanyak 61 bayi dan anak yang mendapatkan ASI eksklusif (76,25 %). Dari 61 bayi dan anak yang mendapatkan ASI eksklusif tersebut, terdapat sebanyak 55 bayi dan anak tidak mempunyai alergi (68,75 %), sedangkan sisanya 6 anak mempunyai alergi (7,5%). Jika dilihat dari 19 anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif terdapat 15 anak mengalami alergi. Dari sejumlah anak tersebut terdapat 3 anak yang sepenuhnya diberi susu formula dan makanan padat mulai dari lahir (3,75 %), sedangkan sisanya 12 ISSN 2303-1433

48

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 4 No. 2 Mei 2016 anak sesekali diberi ASI, susu formula, madu, air putih, dan makanan padat (15%). Susu formula yang biasa dikonsumsi mengandung protein susu sapi yang tidak cocok untuk tubuh bayi. Pada beberapa kondisi tubuh tertentu, pajanan oleh protein susu sapi dapat menjadi alergen, sehingga dapat terjadi alergi. Penelitian terkait mengenai protein susu sapi sebagai salah satu faktor penyebab alergi adalah penelitian pada tahun 2007 yang menyebutkan bahwa alergi susu sapi merupakan bentuk alergi makanan yang paling sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 2 tahun, diperkirakan 2,75% anak dalam kelompok umur ini mengalami alergi protein susu sapi (Yuliarti, 2010). Protein yang terkandung dalam susu sapi tidak dapat diarbsorbsi secara sempurna oleh tubuh bayi. Sedangkan protein yang terkandung dalam ASI sangat cocok karena unsur protein di dalamnya hampir seluruhnya terserap oleh sistem pencernaan bayi. Hal ini disebabkan oleh protein ASI yang merupakan kelompok protein whey. Kelompok whey merupakan protein yang sangat halus, lembut, dan mudah dicerna, sedangkan komposisi protein yang ada dalam air susu sapi adalah kelompok kasein yang kasar, bergumpal, dan sangat sukar dicerna oleh usus bayi. Perbandingan protein unsur whey dan kasein dalam ASI adalah 60:40, sedangkan di dalam air susu sapi 20:80 (Sri Purwanti, 2004). Artinya, protein pada air susu sapi hanya 1/3nya protein ASI yang dapat diserap oleh sistem pencernaan bayi dan harus membuang dua kali lebih banyak protein yang sukar diresorbsi dan harus dikeluarkan dari sistem pencernaan yang tentunya akan menimbulkan gangguan metabolisme dan membebani sistem pencernaan (ekologi) usus bayi. Damayanti juga berpendapat bahwa ASI dapat melindungi bayi dari berbagai penyakit, seperti alergi (asma, eksim, alergi makanan), influenza, difteria, diare, obesitas, diabetes, limfoma, dan leukemia. Dari data dan konsep yang ada, peneliti menyimpulkan bahwa pemberian ASI eksklusif hingga bayi berumur enam bulan dapat mengurangi risiko kejadian alergi karena pada dasarnya ASI secara alami diproduksi sesuai dengan kebutuhan bayi, serta mengandung protein yang berperan untuk mengurangi risiko alergi. Sehingga pemberian ASI eksklusif sangat bermanfaat untuk mencegah terjadinya alergi sejak dini. Kesimpulan dan Saran 1 KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang dilakukan di RSIA Kota Kediri, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Sebagian besar responden memberikan ASI eksklusif. 2. Sebagian kecil bayi dan anak mengalami alergi. 3. Hasil analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa ada hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian alergi pada bayi dan anak. 2 SARAN Berdasarkan penjelasan pada bab sebelumnya, maka peneliti memberikan saran kepada pihak-pihak terkait antara lain: 1. Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan penelitian ini dapat dikembangkan lagi oleh peneliti selanjutnya tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian alergi pada anak, misalnya faktor genetik dan faktor kejiwaan serta dapat dilakukan penelitian observasional mengenai hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian alergi. Daftar Pustaka Agusjaya Mataram, I Komang. 2011. Aspek Imunologi Air Susu Ibu. Jurnal Ilmu Gizi Volume 2 No.1. Halaman 37-48. ISSN 2303-1433 49

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 4 No. 2 Mei 2016 Bahiyatun. 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Nifas Normal. Jakarta: EGC. Behrman,dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC Brooks, Geo F, dkk. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Salemba Medika. Damayanti, Diana. 2010. Asyiknya Minum ASI. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Dinas Kesehatan Jawa Timur. 2014. Pembahasan Hasil Survei Kadarzi di Jawa Timur Diakses tanggal 14/11/2013 pukul 04.00 WIB Dinas Kesehatan Kota Kediri. 2014. Data Kunjungan Penderita Dermatitis Kontak Alergi di Puskesmas. Espeland, Nancy. 2008. Petunjuk Lengkap Mengatasi Alergi dan Asma pada Anak. Jakarta: Prestasi Pustakarya. Fikawati, Sandra, dan Shafiq, Ahmad. 2010. Kajian Implementasi dan Kebijakan Air Susu Ibu. Makara Kesehatan Volume 14 No.1. Halaman 17-24 FKUI. 2009. Imunologi Dasar Edisi 8. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Gitta.2012. ASI Kurangi Kejadian Alergi. Diakses tanggal 15/02/2014 pukul 19.00 WIB H.Effendi, Evita. 2004. Peran Uji Kulit pada Dermatitis Atopik. Dalam S.A. Boediardja, dkk: Dermatitis pada Bayi dan Anak. Jakarta: Balai penerbit FKUI Hidayat, A.Aziz Alimul. 2008. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika. IDAI Cabang Jatim IV dan IDI Kediri. 2013. Cough and Respiratory Problem in Children. Jawa Timur: IDI dan IDAI. Indonesian Children, 2009. Angka Kejadian Alergi. Diakses tanggal 14/01/2014 pukul 17.00 WIB Kemenkes RI, 2012. ASI Eksklusif Bayi Cerdas, Ibu pun Sehat. Diakses tanggal 14/01/2014 pukul 17.30 WIB Judarwanto, Widodo.2009. Angka Kejadian Alergi. Diakses tanggal 14/02/2014 pukul 04.20 WIB Manuaba, Ida Bagus Gde, dkk. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC. Notoadmodjo, Soekidjo. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Oemiati, Ratih, dkk. 2010. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Penyakit Asma di Indonesia. Halaman 41-49 Nursalam. 2009. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Pdpersi.2012. Setiap Tahun, Penderita Alergi di Indonesia Bertambah 30 Persen. ISSN 2303-1433 50

Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 4 No. 2 Mei 2016

Diakses tanggal 15/02/2014 pukul 17.15 WIB Penerbit Buku Kompas. 2010. Rahasia Kecerdasan Anak, Memaksimalkan Perkembangan Otak, Jakarta: PT.Kompas Media Nusantara. Rubertus, Arian Datusanantyo. 2009. Seri Penyembuhan Alami Bebas Alergi, Yogyakarta: Kansius. Rudolph, Abraham N. 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph. Jakarta: EGC. Sears, William, dkk. 2007. The Baby Book. Jakarta: PT.Serambi Ilmu Semesta. Simkin P.Y, Penny, dkk. 2008. Panduan Lengkap Kehamilan, Melahirkan, dan Bayi. Jakarta: Arcan. Siregar, Sjawitri, P. 2004. Peran Alergen Makanan dan Alergen Hidup pada Dermatitis Atopik. Dalam S.A. Boediardja, dkk: Dermatitis pada Bayi dan Anak. Jakarta: Balai penerbit FKUI Soebaryo, Retno W. 2004. Etiologi dan Patogenesis Dermatitis Atopik. Dalam S.A. Boediardja, dkk: Dermatitis pada Bayi dan Anak. Jakarta: Balai penerbit FKUI. Sri Purwanti, Hubertin. 2004. Konsep Penerapan ASI Eksklusif, Buku Saku untuk Bidan. Jakarta: EGC. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta, cv. ________.2012. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta, cv Syamsianah, A. 2010. Hubungan Tingkat Pendidikan dan pengetahuan Ibu tentang ASI. Diakses tanggal 13/03/2014 pukul 17.00 WIB Widjaja, M.C. 2005. Mencegah dan Mengatasi Alergi dan Asma pada Balita. Depok: PT.Kawan Pustaka. Yuliarti, N. 2010. Keajaiban ASI, Makanan Terbaik unuk Kesehatan, Kecerdasan, dan Kelincahan SI Kecil. Yogyakarta: CV.Andi

Related Documents


More Documents from "ibnu lathiif"

Muns.docx
November 2019 33
Rahmawati(nh0417076).docx
December 2019 26
Rahma Jurnal.docx
April 2020 23
Kata Pengantar.doc
November 2019 28
Seminar Pnc Benar.docx
April 2020 24