2 Tinjauan Pustaka.docx

  • Uploaded by: Nana Nanase
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 2 Tinjauan Pustaka.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,878
  • Pages: 9
2 TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Lamun Lamun adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri untuk hidup terbenam dalam laut. Rhizome pada flora lamun merupakan batang yang terbenam dan menjalar secara mendatar, serta berbuku-buku. Pada buku-buku tersebut tumbuh akar dan batang pendek yang tegak ke atas, berdaun dan berbunga. Oleh karena rhizome dan akar inilah flora lamun dapat menancapkan diri dengan kokoh di dasar laut hingga tahan terhadap hempasan gelombang dan arus. Sebagian besar lamun berumah dua, artinya dalam satu individu hanya ada bunga jantan atau bunga betina saja. Memiliki sistem perkembangbiakan yang khas karena mampu melakukan penyerbukan di dalam air (hydrophilous pollination) (Nontji, 2002). Pola hidup lamun sering berupa hamparan maka dikenal juga istilah padang lamun (seagrass beds) yaitu hamparan vegetasi lamun yang menutup suatu area pesisir/laut dangkal, terbentuk dari satu jenis atau lebih dengan kerapatan padat atau jarang. Sedangkan sistem ekologi padang lamun yang tediri dari komponen biotik dan abiotik disebut ekosistem lamun (seagrass ecosystem). Habitat tempat hidup lamun adalah perairan dangkal agak berpasir dan sering juga dijumpai di terumbu karang (Kawaroe, 2009). Selain itu, menurut Azkab (2006), padang lamun adalah hamparan vegetasi lamun yang menutupi suatu area pesisir/laut dangkal yang terbentuk oleh satu jenis lamun (monospecific) atau lebih (mixed vegetation) dengan kerapatan tanaman yang padat (dense) atau jarang (sparse). Ekosistem lamun (seagrass ecosystem) adalah satu sistem (organisasi) ekologi padang lamun yang di dalamnya terjadi hubungan timbal balik antara komponen abiotik (air dan sedimen) dan biotik (hewan dan tumbuhan). Lamun dapat berkembang biak di perairan laut dangkal karena mempunyai beberapa sifat yang memungkinnya untuk hidup yaitu mampu tumbuh dan berkembang dalam lingkungan air asin, mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam, mempunyai sistem perakaran jangkar yang berkembang baik, mampu melaksanakan penyerbukan bunga dalam keadaan terbenam dalam air (Kiswara, 2009). Di seluruh dunia diperkirakan terdapat sebanyak 60 jenis lamun, di mana di Indonesia ditemukan sekitar 12 jenis yang termasuk ke dalam dua famili: (1) Hydrocharitaceae, dan (2) Cymodoceae. Jenis yang membentuk komunitas padang lamun tunggal, antara lain: Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Cymodocea serrulata, dan Thallassodendron ciliatum. Secara rinci klasifikasi lamun menurut Den Hartog (1970) dan Menez, Phillips, dan Calumpong (1983) dalam Graha et al (2016) dapat dilihat pada Tabel 1. Penyebaran padang lamun di Indonesia cukup luas, mencakup hampir seluruh perairan nusantara yakni Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Irian Jaya. Lamun atau seagrass merupakan tumbuhan berbunga yang sepenuhnya menyesuaikan diri dengan hidup terbenam dalam laut. Lamun terdiri dari rhizome (rimpang), daun, dan akar. Rhizome merupakan batang yang terbenam dan merayam secara mendatar, serta berbuku-buku. Pada buku-buku tersebut tumbuh batang pendek yang tegak keatas, berdaun dan berbunga, serta tumbuh akar. Dengan rhizome dan akar inilah tumbuhan tersebut menampakan diri dengan kokoh di dasar laut sehingga tahan terhadap hempasan ombak dan arus. (Azkab, 2006). Morfologi lamun dapat dilihat pada Gambar 2.

Tabel 1. Klasifikasi lamun di Indonesia Divisi Kelas Sub kelas Ordo Famili Genus Spesies Famili (2) Genus Spesies

Anthophyta Angiospermae Monocotiledonae Helobiae Hydrocharitaceae Enhalus Halophila Enhalus acoroides Halophila decipiens Halophila ovalis Halophila minor Halophila spinulosa

Thalassia Thalassia hemprichii

Cymodoceaceae/Potamogetonaceae Cymodocea Cymodocea rotundata Cymodocea serrulata

Halodule Halodule pinifolia Halodule uinervis

Syringodium Syringodium isoentifolium

Thalassodendron Thalassodendron ciliatum

Gambar 2. Struktur morfologi lamun Akar-akar lamun memiliki beberapa fungsi yang sama dengan tumbuhan daratan, yaitu untuk menancapkan tumbuhan ke substrat dan menyerap zat-zat hara. Karena lamun mendiami lingkungan perairan, maka akar-akarnya tidak berperan penting dalam mengambil air (dibandingkan dengan akar-akar tumbuhan daratan), dan zat-zat hara juga langsung diserap dari kolom air melalui daundaunnya. Lamun mempunyai saluran udara yang berkembang di daun dan tangkainya, sehingga tidak menjadi masalah dalam mendapatkan oksigen meskipun lamun berada di bawah permukaan air (Setyobudiandi dkk, 2009)

Secara anatomi dan morfologi, akar lamun memiliki perbedaan yang jelas. Pada jenis halophila dan halodule akar mempunyai rambut berdiameter kecil. Sedangkan pada jenis thalassodendron, lamun memiliki akar yang kuat berkayu. Jika dibandingkan dengan tumbuhan darat, maka baik akar maupun rambut akar pada tumbuhan lamun tidak berkembang sebaik ranaman darat. Akar-akar halus yang tumbuh pada rhizoma memiliki adaptasi khusus perairan, dimana akar memiliki pusat steele yang dikelilingi oleh edodermis. Steele mengandung phloem atau jaringan transport nutrien dan xylem atau jaringan yang memyalurkan air. Karena xylem sangat tipis, maka akar lamun tidak berkembang baik untuk menyalurkan air, seihingga tidak berperan penting dalam penyaluran air. (Tuwo, 2011). Semua lamun memiliki batang (rhizoma). Perkembangbiakan lamun secara vegetatif tergantung pada pertumbuhan dan percabangan rhizoma. Rhizoma merupakan tangkai horizontal yang terletak di bawah tanah. Bintik-bintik dari daun yang tua (nodes) membagi rhizoma menjadi internodes. Walaupun rhizoma tumbuh secara horizontal, beberapa canang tersebut dikenal dengan tunas-tunas tegak dan memiliki panjang yang bervariasi dari beberapa milimeter sampai dengan lebih dari setengah meter. Ujung-ujung pertumbuhan (meristem) pada rhizoma dan cabang tumbuhan lamun menghasilkan jaringan-jaringan tumbuhan baru yang terus-menerus (Kusmana et al. 2015). Rhizoma dapat meluas secara ekstensif dan memiliki peran yang utama dalam melakukan perkembangbiakan secara vegetatif. Perkembangbiakan yang dilakukan secara vegetatif ini merupakan hal yang lebih penting daripada perkembangbiakan dengan biji (generatif) karena lebih menguntungkan untuk penyebaran lamun. Secara teori, lamun yang memiliki rimpang lebih panjang akan lebih mampu bertahan dibandingkan lamun yang memiliki rimpang lebih pendek jika ditransplantasi (Kuriandewa dan Indarto, 2008). Secara morfologis, daun mudah dikenali dari bentuk daun dan ujung daun, keberadaan atau ketiadaan ligula atau lidah daun. Ujung daun Cymodocea serrulata berbentuk lingkaran dan berserat, sedangkan ujung daun Cymodoceae rotundata datar dan halus. Daun lamun terdiri atas dua bagian yang berbeda yaitu pelepah dan daun. Pelepah daun menutupi rhizoma yang baru tumbuh dan melindungi daun muda. Pada genus Halophila yang memiliki daun petiolate, tidak memiliki pelepah (Tuwo, 2011). Pada beberapa jenis lamun (kecuali Halophila), helaian daunnya panjuang seperti rumput dan berfungsi untuk fotosintesis dan pembuluh. Khusus untuk halophilia, daun-daunnya terdiri atas beberapa tangkai atau petiole dan helai daun. Sementara jenis halophila yan lain terdiri atas kumpulan-kumpulan daun yang tersusun di sekeliling tangkai (Kusmana et al. 2015) Dalam ekosistemnya, padang lamun memiliki berbagai macam fungsi. Berdasarkan fungsifungsi tersebut, keberadaan lamun memiliki peranan penting bagi biota laut lainnya, manusia, dan lingkungan sehingga kemungkinan penurunan kualitas dan kuantitasnya dapat mengurangi manfaat yang dihasilkan oleh padang lamun dan memberikan dampak yang cukup signifi kan bagi lingkungan sekitarnya. Beberapa fungsi tersebut .antara lain: 1. Sebagai media untuk filtrasi atau menjernihkan perairan laut dangkal. 2. Sebagai tempat tinggal berbagai biota laut, termasuk biota laut yang bernilai ekonomis, seperti ikan baronang/lingkis, berbagai macam kerang, rajungan atau kepiting, teripang dll. Keberadaan biota tersebut bermanfaat bagi manusia sebagai sumber bahan makanan. 3. Sebagai tempat pemeliharaan anakan berbagai jenis biota laut. Pada saat dewasa, anakan tersebut akan bermigrasi, misalnya ke daerah karang. 4. Sebagai tempat mencari makanan bagi berbagai macam biota laut, terutama duyung (Dugong dugon) dan penyu yang hampir punah.

5. Mengurangi besarnya energi gelombang di pantai dan berperan sebagai penstabil sedimen sehingga mampu mencegah erosi di pesisir pantai. 6. Berperan dalam Berperan dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (Kennedy & Björk, 2009; McKenzie, 2008; Dorenbosch et al. 2005; Green & Short, 2003; Nagelkerken et al. 2002; Nagelkerken et al., 2000 dalam Rahmawti, et al. 2014). Tangakapan komersial yang bernilai tinggi seperti udang dan ikan tergantung pada ekosistem lamun. Lamun sendiri merupakan sumber makanan penting bagi dugong, manatee, penyu dan unggas air. Banyak spesies lain dari ikan dan invertebrata, termasuk kuda laut, udang dan kerang, memanfaatkan lamun untuk bagian dari siklus hidup mereka, sering untuk berkembang biak atau sebagai juvenil. Lamun dianggap salah satu ekosistem laut dangkal yang paling penting bagi manusia, mengikat sedimen, penyaringan perairan pesisir, dan memberikan perlindungan pantai dari erosi. Hal - hal tersebut menjadikan nilai ekonomi lamun substansial. Belakangan, tumbuh pula kesadaran lamun sebagai "blue carbon" mengacu pada fakta bahwa lamun menyerap dan menyimpan karbon dalam akar dan sedimendi bawahnya. Meskipun lamun hanya mewakili 0,2% dari permukaan laut, diperkirakan bahwa lamun mampu menyimpan 20% karbon. Akan tetapi, yang sangat disayankan lamun menjadi salah satu diantara ekosistem yang paling terancam di dunia dan belum banyak diketahui karena lamun biasanya terendam dan tidak mudah terlihat (Chmura et al. 2016) Blue Carbon Industrialisasi yang tumbuh dengan pesat dan urbanisasi belakangan ini telah mengubah iklim bumi. Kenaikan signifikan gas rumah kaca tidak hanya mempengaruhi suhu, pola curah hujan, kelembaban, hujan salju, dan lainnya, tapi pada saat yang sama juga mempengaruhi keanekaragaman hayati. Atas dasar tersebut, sekarang ini tengah digalakkan gerakan penyerapan karbon oleh vegetasi pesisir dan laut (Mitra, 2013). Upaya untuk mengurangi pemanasan global sebelumnya selalu berfokus pada lingkungan darat, seperti pemanfaatan hutan di wilayah beriklim sedang dan tropis. Namun, studi terbaru menyebutkan jika kontribusi dari ekosistem pesisir dan laut untuk mengurangi perubahan iklim melalui penyerapan dan penyimpanan karbon bisa menyaingi fungsi ekosistem terestrial. Pengelolaan ini disebut sebagai blue carbon. Penyerap blue carbon termasuk laut terbuka, rawa garam, padang lamun, terumbu karang, dan mangrove (Thompson et al. 2014). Karbon disimpan dalam vegetasi ekosistem pesisir di seluruh dunia. Padang lamun ditemukan dari perairan yang dingin di kutub sampai ke daerah tropis. Mangrove terbatas pada tropis dan sub-tropis daerah, sedangkan rawa-rawa pasang surut yang ditemukan di semua daerah, tetapi kebanyakan umumnya di daerah beriklim sedang. Dikombinasikan, ekosistem ini mencakup sekitar 49 juta hektar dan memberikan beragam jasa ekosistem seperti produksi perikanan, perlindungan pantai dan penyerapan karbon yang tinggi (Pendleton et al. 2012). Blue carbon pertama kali di luncurkan di Indonesia pada acara Forum Menteri Lingkungan Hidup Sedunia di Nusa Dua, Bali pada 24 Februari 2010. Pada kesempatan tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan, Dr. Fadel Muhammad dan Direktur Eksekutif United Nations Environment Programme (UNEP) Dr. Achim Steiner bersama-sama program Blue Carbon yang merujuk pada kemampuan ekosistem laut dan pesisir dalam menjaga keseimbangan penyerapan karbon dioksida (CO ) dan potensi pengurangan emisi gas rumah2 kaca. Konsep ini membuktikan peranan ekosistem laut dan pesisir yang didominasi oleh vegetasi laut seperti hutan mangrove, padang lamun, rawa payau dalam mendeposisi karbon. Disamping itu, ekosistem pesisir dan laut ini diyakini mampu menjadi garda depan penyeimbang bersama hutan tropis untuk mengurangi

laju emisi melalui penyerapan karbon dioksida dari atmosfer. Langkah ini telah membuka kesempatan yang luas bagi Indonesia untuk mulai melakukan riset ilmiah tentang peran penting ekosistem laut dan pesisir sebagai pengendali perubahan iklim global (Lawrence 2012). Ekosistem pesisir merupakan bagian penting dalam memelihara kesejahteran manusia dan biodiversitasnya. Ekosistem seperti bakau, rawa payau, dan padang lamun menyediakan banyak manfaat dan jasa yang berperan untuk untuk mengurangi dan menyesuaikan dampak perubahan iklim (Howard et al. 2014). Perkiraan jangka waktu tersimpannya kapasitas karbon pada blue carbon sangat bervariasi. Tingkat karbon yang tersimpan dalam rawa-rawa garam atau hutan mangrove dapat dipengaruhi oleh variabilitas salinitas, status hara (misalnya masukan nutrisi dari polusi), dan pasokan sedimen tersuspensi. Variasi kapasitas C yang tersimpan terkait dengan perubahan di antara bagian-bagian tanaman (misalnya akar dann daun), dekomposisi, dan produktivitas primer, yang pada gilirannya disokong oleh variabel fisik (misalnya suhu, curah hujan, permukaan laut, nutrisi, jenis sedimen ) dan variabel biologis (misalnya komposisi spesies, kompetisi tanaman, herbivora, dan tingkatan trofik) variabel (Mcleod et al. 2011). Walaupun luasan lahan hutan bakau, rawa payau, dan padang lamun relatif kecil dibandingkan dengan lahan pertanian atau hutan daratan, karbon yang tersimpan di sedimen habitat pesisir sangat besar. Bila dilepas ke atmosfer, karbon yang tersimpan dalam hutan bakau seluas 1 hektar setara dengan emisi gas rumah kaca 3 hingga 5 hektar hutan tropis. Satu hektar rawa garam yang utuh dapat menyimpan karbon setara dengan 488 asap kendaraan bermobil di Amerika Serikat setiap tahunnya. Sedangkan hamparan 1 hektar padang lamun, dengan biomasanya yang kecil, dapat menyimpan karbon sebanding dengan 1 hingga 2 hektar hutan sub tropis (Lawrence, 2012). Laju serapan karbon oleh ekosistem pesisir dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Laju serapan karbon Walaupun memberikan banyak keuntungan dan layanan, ekosistem blue carbon pesisir merupakan salah satu ekosistem yang paling terancam di Bumi, dengan sekitar 340.000 hingga 980.000 hektar ekosistem ini hancur setiap tahunnya. Diperkirakan sampai dengan 67% dan sedikitnya 35% dan 29% dari seluruh cakupan global hutan bakau, rawa pasang surut, dan padang lamun, secara berurutan, telah hilang. Jika hal ini berlanjut terus dengan laju yang tetap, maka 3040% rawa pasang surut dan padang lamun dan hampir semua bakau yang tidak dilindungi akan hilang dalam 100 tahun ke depan. Saat terdegradasi atau hilang, ekosistem ini akan menjadi

sumber gas karbon dioksida rumah kaca yang besar (Sondak, 2015). Begitu pula menurut catatan CEC (2016), istilah "blue carbon" diciptakan sebagai pengakuan atas tingginya peran lamun, rawa garam, dan mangrove dalam penyerapan karbon dioksida. Ekosistem-ekosistem tersebut dianggap sebagai penyerap karbon yang paling efisien di dunia; di banyak daerah pesisir ekosistemekosistem tersebut telah mengumpulkan karbon selama ribuan tahun. Akan tetapi karena terletak di antara darat dan laut, lamun, rawa garam, dan mangrove sensitif terhadap dampak dari keduanya. Ekosistem-ekosistem tersebut semakin mengalami degradasi dan eksploitasi baik karena pencemaran dan perubahan fungsi lahan melalui drainase, pengerukan dan dialihkan ke bentuk lainnya (Chmura et al. 2016) Menurut Herr et al. (2015), sebuah strategi dan komunikasi yang terkorsinasi diperlukan untuk mendukung pelaksanaan kebijakan berdasarkan blue carbon untuk memastikan masyarakat mengetahui informasi yang terbaru dan relevan berkaitan hal tersebut. Prioritas-prioritas yang harus dilakukan meliputis: 1. Komunikasi dari dasar ilmiah untuk blue carbon termasuk source and sink dari blue carbon dan tentang pentingnya melakukan manajemen terhadap untuk pengelolaan sumber penyerap karbon alam; 2. Menjelaskan dasar bukti terhadap tindakan atas kebijakan baik yang sedang dilaksanakan maupun yang akan dilaksanakan di masa yang akan datang dan juga menetapkan serta meningkatkan keilmuan untuk mengurangi ketidakpastian 3. Menunjukkan tindakan yang sudah diambil oleh organisasi dan negara-negara yang telah memanfaatkan peluang blue carbon - showcase proyek percontohan yang sudah berjalan; 4. Komunikasikan praktik terbaik tentang metodologi, standar dan proses pelaksanaan proyek. Cadangan karbon terbesar di ekosistem pesisir terkubur dalam sedimen, yang mengandung karbon lebih besar dari biomassa. Karbon yang tersimpan dalam biomassa hutan bakau telah berkisar antara 25-2254 Mg CO2/ha dengan perkiraan paling jatuh antara 300 dan 1000 Mg CO2/ha. Sebaliknya, cadangan karbon di meter pertama dari tanah mangrove berkisar 570-4712 Mg CO2/ha dengan perkiraan paling jatuh antara 800 dan 3000 Mg CO2/ha. Demikian pula untuk rawa garam, biomassa karbon telah ditemukan berkisar 5,1-18,3 Mg CO2e/ha sementara rentang karbon di tanah mencapai 174-6967 Mg CO2/ha. Di padang lamun, biomassa karbon berkisar 0-13 Mg CO2/ha sementara rentang karbon di tanah 880-6000 Mg CO2/ha (Sifleet et al. 2011). Sedimen vegetasi pesisisr sangat kaya akan bahan organik dan termasuk diantaranya karbon. Namun, ketika sistem ini mengalami degradasi atau hancur mereka menjadi sumber signifikan dari pemasukan emisi karbon dioksida, karena oksidasi karbon dalam biomassa dan tanah organik akan terlepas. Tingkat emisi karbon dioksida sangat tinggi dalam satu dekade segera setelah gangguan, terus selama oksidasi sedimen terjadi, melepaskan karbon yang sudah tersimpan dalam sedimen hingga ribuan tahun (Grimditch et al. 2013) Lamun Sebagai Blue Carbon Lamun merupakan tanaman sejati yang tumbuh di laut. Lamun mampu beradaptasi dengan keberadaan salinitas dan pasang surut air laut. Keberadaan lamun dapat membentuk padang lamun dengan luas dapat mencapai ribuan hektar. Fungsi ekologis padang lamun sebagai sumber makanan (penyu hijau, dugong, beronang), daerah pemijahan, daerah pembesaran berbagai biota laut. Padang lamun juga berperan seperti hutan di daratan dalam mengurangi karbondioksida (CO). Lamun seperti tanaman darat lainnya memanfaatkan karbondioksida (CO) untuk fotosintesis dalam pertumbuhannya dan disimpan dalam biomasa yang dikenal dengan blue

carbon selain itu serasah dan biomassa bagian bawah seperti rhizome dan akar dapat tersimpan dalam sedimen dalam waktu yang sangat lama. Keberadaan dan peranan padang lamun sebagai blue carbon saat ini semua para peneliti di dunia sedang melakukan penelitian yang berkesinambungan dan menyeluruh yang dapat dijadikan sebagai upaya mitigasi perubahan iklim (Rustam et al. 2014). Aliran karbon dioksida dari udara melewati muka air laut merupakan fungsi dari kelarutan (solubility) CO2 di dalam air laut dan dikenal sebagai solubility pump. Jumlah CO2 terlarut di air laut adalah utamanya dipengaruhi oleh kondisi fisika-kimia (suhu air laut, salinitas, total alkalinitas) dan proses biologi (produktivitas primer) yang terjadi di laut. Melalui proses pertukaran gas, CO2 ditransfer dari udara ke laut dan berubah bentuk menjadi dissolved inorganik carbon (DIC). Proses ini terjadi secara terus menerus karena laut tidak jenuh oleh kandungan CO2 jika dibandingkan atmosfer. Proses ini sangat efisien terjadi di wilayah dengan posisi lintang tinggi (temperate) karena kelarutan CO2 sangat efisien pada kondisi suhu rendah. Pada proses seperti ini, CO2 di atmosfer dalam jumlah banyak akan terlarut dan tersimpan sehingga tidak menjadi gas rumah kaca di atmosfer (Kawaroe, 2009). Waktu pergantian komponen lamun yang relatif lama, terutama pada jenis lamun yang berukuran besar, dan kemampuan lamun menyimpan kelebihan produksi karbon di dalam sedimen, serta kemampuan akumulasi jangka panjang yang relatif besar menjadikan peran padang lamun dalam menyimpan cadangan karbon (carbon stock) lebih signifikan dibandingkan pengukuran berdasarkan luas tutupan dan produksi primer bersih saja. Dengan demikian, padang lamun dapat berperan sebagai reservoir karbon (carbon sink) (Kennedy & Björk, 2009; Mateo et al. 1997 dalam Rahmawati, 2011). Kontribusi vegetasi lamun terhadap penyerapan karbon dimulai dari proses fotosintesis yang kemudian disimpan sebagai biomassa. Biomassa lamun adalah satuan berat (berat kering atau berat abu) lamun bagian tumbuhan yang berada di atas substrat (daun, seludang, buah dan bunga) dan atau bagian di bawah substrat (akar dan rimpang) yang sering dinyatakan dalam satuan gram berat kering per m2 (gbk/m2). Karbon dalam biomassa ini akan tersimpan selama lamun masih hidup (Graha et al 2015). Simpanan karbon di bawah substrat biasanya cenderung lebih tinggi, hal ini disebabkan oleh ukuran rhizoma dan akar yang besar, disamping penetrasi akar yang bisa mencapai 40 cm. Salah satu fungsi tingginya penyimpanan biomassa di bawah substrat adalah memperkuat penancapan lamun. Jenis lamun yang secara morfologi berukuran besar cenderung mengembangkan biomassa yang tinggi di bawah substrat, dan karena itu mempunyai kapasitas untuk mengakumulasi karbon yang lebih tinggi. Selain itu karbon di bawah substrat merupakan tempat menyimpan hasil fotosintesis yang akan mendukung pertumbuhan lamun jika proses fotosintesis tidak berjalan secara optimal. Berkaitan dengan fungsi lamun sebagai carbon sink, maka tingginya cadangan karbon di jaringan lamun bagian bawah substrat sangat penting karena merupakan karbon yang terkunci di sedimen. Disamping itu proporsi simpanan karbon di bawah substrat mempertinggi laju penguburan karbon organik di sedimen (Supriadi, et al. 2014). Padang lamun menempati kurang dari 0,2% dari luas wilayah lautan di dunia, tetapi diperkirakan mengubur 27,4 TgC/tahun, kira-kira 10% dari estimasi tahunan Corg yang ada di lautan. Meskipun beberapa komponen penyimpanan C-org telah diketahu, terutama yang ada di dalam biomass, sedimen lamun juga turut menyimpan karbon. Tanah ini sebagian besar anaerob, dan sebagai hasilnya, Corg di tanah dapat dipertahankan untuk ribuan tahun. Kandungan Corganik yang berada di bawah tanah lamun jarang diukur, karena pengukuran bersamaan Corg dan bulk density jarang dilaporkan, dan sejauh ini tidak ada penelitian yang terintegrasi untuk

memperkirakan penyimpanan Corg di ekosistem lamun pada skala global. Mengingat pentingnya lamun untuk menyimpan candangan karbon di lautan, memperkirakan besarnya kolam karbon merupakan langkah pertama untuk mengetahui tentang dampak potensial dari pelepasan CO2 yang tersimpan ke atmosfer dari rusaknya padang lamun (Fourqurean et al. 2012). Status lamun Indonesia kurang diketahui, memang terdapat beberapa penelitian mengenai lamun tetapi tidak ada inventaris data lamun dalam skala nasional maupun regional (Nadiarti et al. 2012). Setidaknya, UNEP pada tahun 2008 mencatat telah terjadi penurunan luas tutupan lamun sebesar 30-40% sejak tahun 1960-an memperkirakan bahwa terdapat 30.000 km2 tutupan lamun di laut Indonesia, tetapi hanya ada sedikit data kuantitatif. Apa yang dapat disimpulkan dengan pasti adalah saat ini tengah terjadi tren penurunan tutupan lamun (Ooi et al. 2011). Mengingat kerugian yang besar karena hilangnya mangrove dan padang lamun yang terus berlanjut di seluruh Indonesia, penting untuk mengetahui dan melestarikan habitat-habitat tersebut karena karbon-karbon yang berada di atas dan di bawah sedimen di ekosistem yang hancur tersebut akan hilang dan lepas ke atmosfer. Perhitungan terbaru oleh (Donato et al. 2011;. Pendelton et al. 2012;. Alongi dan Mukhopadhyay 2014). menunjukkan bahwa penghancuran hutan mangrove global pada tingkat deforestasi 1% berhasil merilis karbon sebesar tahunan 90970 Tg C/tahun dan menambahkan sekitar 10% untuk rilis karbon global dari deforestasi hutan tropis. Perkiraan ini mencerminkan fakta jika mangrove menyimpan karbon karbon (956 t C/ha lebih besar dari ekosistem lainnya, seperti hutan hujan tropis (481 t C/ha) dan rawa garam (593 t C ha-1); Mangrove menyimpan sebagian besar karbonnya (75%) di bawah tanah, lebih sedikit jika dibanding dengan padang lamun ([90%). Penilaian terbaru dari kapasitas penyerapan karbon dari lamun (Fourqurean et al. 2012;. Duarte et al. 2013, Lavery et al. 2013;. Siikama¨ki et al. 2013;.. Macreadie et al. 2014) menunjukkan bahwa, seperti mangrove, lamun adalah salah satu ekosistem paling efektif untuk menyimpan karbon, dan bahwa kerugian dari kerusakan padang lamun bisa memberikan kontribusi tambahan 11-90 Tg C/tahun ke atmosfer (Fourqurean et al. 2012;. Pendleton et al. 2012 in Alongi et al. 2015). Lamun menampilkan variasi dalam atribut morfologi dan struktur yang dapat mengubah tingkat produksi dan akumulasi bahan organik dan, terutama ketika terintegrasi di skala spasial dan temporal yang besar. Selain tingkat yang bervariasi dari produksi primer, perbedaan species yang spesifik di (1) biomassa di atas / di bawah tanah, (2) tingkat bahan faktor material, dan (3) struktur kanopi dan morfologi, semua berfungsi untuk mempengaruhi tingkat penyerapan karbon di padang lamun. Sebagai contoh, beberapa perkiraan karbon tertinggi yang berasal dari lokasi di Mediterania didominasi oleh spesies yang relatif bertubuh besar seperti Posidonia oceanica, yang menghasilkan jumlah besar biomassa di bawah tanah dan struktur kanopi yang kompleks membantu dalam perangkap partikel dan stabilisasi sedimen. Selain variasi dalam penyimpanan karbon yang didorong oleh perbedaan spesies, terdapat faktor-faktor lingkungan yang lebih luas seperti pengaruh akumulasi sedimen, kedalaman, aliran arus, dan paparan aktivitas badai (Campbell et al. 2014). Oleh karena itu, padang lamun menggabungkan kapasitas metabolisme yang tinggi untuk bertindak sebagai penyerap karbon dengan kapasitas untuk mengakumulasi kolam karbon yang besar dalam sedimen dari skala waktu seribu tahun. Waktu retensi karbon disimpan di sedimen padang lamun cukup unik dan membuat padang lamun sebagai ekosistem paling kaya karbon dalam Biosphere. Memahami alasan tingginya kapasitas lamun untuk menangkap dan menyimpan karbon merupakan dasar untuk mengelola ekosistem ini dalam mendukung strategi mitigasi perubahan iklim.

Padang lamun menjadi efektif sebagai penyerap karbon karena karbon tersebut awet berada di jaringan dan sedimen lamun selama berabad-abad bahkan ribuan tahun. Mekanisme tingginya penyerapan pada lamun diakibatkan: (1) nitrogen dan fosfor yang rendah dalam jaringan lamun yang membuat pertumbuhan mikroba dan hasil tingkatan dekomposisi rendah; (2) konsentrasi oksigen yang rendah dalam sedimen lamun sehingga menghasilkan kondisi anaerobik, yang mengarah ke metabolisme mikroba menjadi tidak efisien dan meningkatkan tingginya strok karbon lamun; (3) akar lamun mampu menembus pada kedalaman puluhan sentimeter memberikan kontribusi karbon yang tinggi untuk jaringan ini; (4) karena hidup di bawah air, sedimen lamun bebas dari kebakaran tidak seperti hutan di darat yang rentan terbakar sehingga emisi CO2 dari hutan yang terbakar pun dapat diserap oleh lamun dan (5) disipasi gelombang dan turbulensi oleh kanopi lamun mencegah resuspension sedimen dan meningkatkan retensi sedimen dan karbon yang terkait. Kombinasi dari semua faktor ini menyebabkan tingginya simpanan karbon di ekosistem lamun, yang bersama-sama dengan input metabolisme yang tinggi dan tingkat partikel yang terjebak menjelaskan betapa peran padang lamun sebagai penyerap karbon yang intens dalam biosfer (Duarte et al. 2013). Faktor paling penting yang membatasi distribusi dan biomassa lamun adalah kapasitas cahaya yang mampu menembus kolom dan dasar perairan. Sebagaimana meningkatnya aktivitas antropogenik di darat dan laut, hal tersebut menurunkan tingkat kejernihan perairan pesisir, mengurangi jumlah cahaya yang masuk ke dalam perairan dan menyebabkan ancaman lainnya terjadap ekosistem tersebut (orth et al. 2006). Ancamana lainnya adalah temperature, yang mempengaruhi tingkat metabolism lamun; temperatur ideal untuk lamun berbeda-beda tiap spesies. 3 ancaman yang dominan dan menyebar terhadap lamun antara lain tingkat kekeruhan air, konsentrasi fitoplankton di perairan, dan suhu perairan. Naiknya level kekeruhan dan fitoplankton memiliki efek negatif terhadap kemampuan cahaya menembus habitat lamun, sementara suhu mempengaruhi pertumbuhan lamun dan distribusi spesies (Grech et al. 2012).

Related Documents

Tinjauan
November 2019 43
Tinjauan Pustaka 2.docx
November 2019 16
Bab 2 Tinjauan Teori
June 2020 30
Bab 2 Tinjauan Pustaka.docx
November 2019 26

More Documents from "Eka Aprilia Ayuningtiyas"

Alat.docx
May 2020 6
Moyenag[1]
November 2019 45
Rekom Geuchik Tijue.doc
October 2019 43