LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PADA SISTEM SARAF STROKE NON HEMORAGIK (SNH) 1. Anatomi Fisiologi
Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang dikenal sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua orang memiliki jumlah neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di antara berbagi neuron berbeda-beda. Pada orang dewasa, otak membentuk hanya sekitar 2% (sekitar 1,4 kg) dari berat tubuh total, tetapi mengkonsumsi sekitar 20% oksigen dan 50% glukosa yang ada di dalam darah arterial.
Otak harus menerima lebih kurang satu liter darah per menit, yaitu sekitar 15% dari darah total yang dipompa oleh jantung saat istirahat agar berfungsi normal. Otak mendapat darah dari arteri. Yang pertama adalah arteri karotis interna yang terdiri dari arteri karotis (kanan dan kiri), yang menyalurkan darah ke bagian depan otak disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum anterior. Yang kedua adalah vertebrobasiler, yang memasok darah ke bagian belakang otak disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum posterior. Selanjutnya sirkulasi
arteri serebrum anterior bertemu dengan sirkulasi arteri serebrum posterior membentuk suatu sirkulus willisi. Ada dua hemisfer di otak yang memiliki masing-masing fungsi. Fungsifungsi dari otak adalah otak merupakan pusat gerakan atau motorik, sebagai pusat sensibilitas, sebagai area broca atau pusat bicara motorik, sebagai area wernicke atau pusat bicara sensoris, sebagai area visuosensoris, dan otak kecil yang berfungsi sebagai pusat koordinasi serta batang otak yang merupakan tempat jalan serabutserabut saraf ke target organ.
Jika terjadi kerusakan gangguan otak maka akan mengakibatkan kelumpuhan pada anggota gerak, gangguan bicara, serta gangguan dalam pengaturan nafas dan tekanan darah. Gejala di atas biasanya terjadi karena adanya serangan stroke.
Darah mengalir ke otak melalui dua arteri karotis dan dua arteri vertebralis Arteri karotis interna, setelah memisahkan diri dari arteri karotis komunis, naik dan masuk ke rongga tengkorak melalui kanalis karotikus, berjalan dalam sinus kavernosus, mempercabangkan arteri untuk nervus optikus dan retina, akhirnya bercabang dua: arteri serebri anterior dan arteri serebri media. Arteri karotis interna memberikan vaskularisasi pada regio sentral dan lateral hemisfer. Arteri serebri anterior memberikan vaskularisasi pada korteks frontalis, parietalis bagian tengah, korpus kalosum dan nukleus kaudatus. Arteri serebri media memberikan vaskularisasi pada korteks lobus frontalis, parietalis dan temporalis.
Sistem vertebral dibentuk oleh arteri vertebralis kanan dan kiri yang berpangkal di arteri subklavia, menuju dasar tengkorak melalui kanalis transversalis di kolumna vertebralis servikalis, masuk rongga kranium melalui foramen magnum, lalu mempercabangkan masing-masing sepasang arteri serebeli inferior. Pada batas medula oblongata dan pons, keduanya bersatu menjadi arteri basilaris dan setelah mengeluarkan 3 kelompok cabang arteri,
pada tingkat mesensefalon, arteri basilaris berakhir sebagai sepasang cabang arteri serebri posterior. Arteri vertebralis memberikan vaskularisasi pada batang otak dan medula spinalis atas. Arteri basilaris memberikan vaskularisasi pada pons. Arteri serebri posterior memberikan vaskularisasi pada lobus temporalis, oksipitalis, sebagian kapsula interna, talamus, hipokampus, korpus genikulatum dan mamilaria, pleksus koroid dan batang otak bagian atas.
2. Definisi Stroke atau cedera cerebrovaskuler adalah gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui system suplai arteri otak (Sylvia A Price, 2006)
Stroke non hemoregik adalah sindroma klinis yang awalnya timbul mendadak, progresi cepat berupa deficit neurologis fokal atau global yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbul kematian yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non straumatik (Arif Mansjoer, 2000)
Stroke non hemoragik merupakan proses terjadinya iskemia akibat emboli dan trombosis serebral biasanya terjadi setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di pagi hari dan tidak terjadi perdarahan. Namun terjadi iskemia yang menimbulkan hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder. (Arif Muttaqin, 2008)
3. Etiologi Pada tingkatan makroskopik, stroke non hemoragik paling sering disebabkan oleh emboli ektrakranial atau thrombosis intrakranial. Selain itu, stroke non hemoragik juga dapat diakibatkan oleh penurunan aliran serebral. Pada tingkatan seluler, setiap proses yang mengganggu aliran darah menuju
otak menyebabkan timbulnya kaskade iskemik yang berujung pada terjadinya kematian neuron dan infark serebri.
3.1 Emboli 3.1.1
Embolus yang dilepaskan oleh arteri karotis atau vertebralis, dapat berasal dari “plaque arthesclerotique” yang berulerasi atau dari thrombus yang melekat pada intima arteri akibat trauma tumpul pada daerah leher.
3.1.2
Embolisasi kardiogenik dapat terjadi pada : 3.1.2.1 Penyakit jantung dengan “shurt” yang menghubungkan bagian kanan dan bagian kiri atrium atau ventrikel. 3.1.2.2 Penyakit jantung rheumatoid akut atau menahun yang meninggalkan gangguan pada katup mitralis. 3.1.2.3 Fibrilasi atrium. 3.1.2.4 Infarksio kordis akut. 3.1.2.5 Embolus yang berasala dari vena pulmonalis. 3.1.2.6 Kadang-kadang pada kardiomiopati fibrosis endrokardial, jantung miksomatosus siskemik.
3.1.3
Embolisasi akibat gangguan iskemik terjadi sebagai : 3.1.3.1 Embolia
septik,
misalnya
dari
abses
paru
atau
bronkiektasis. 3.1.3.2 Metastasis neoplasma yang sudah tiba di paru. 3.1.3.3 Embolisasi lemak dan udara atau gas N (seperti penyakit :caisson”) Emboli dapat berasal dari jantung, arteri ekstrakranial, ataupun dari right-sided circulation (emboli paradoksikal). Penyebab terjadinya emboli kardiogenik adalah trombi valvular seperti pada mitral stenosis, endokarditis, katup buatan), trombi mural (seperti infark miokard, atrial fibrilasi, kardiomiopati, gagal jantung kongestif) dan atrial miksoma. Sebanyak 2-3 persen stroke emboli diakibatkan oleh infark miokard dan
85 persen di antaranya terjadi pada bulan pertama setelah terjadinya infark miokard.
3.2 Thrombosis Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pembuluh darah besar (termasuk sistem arteri karotis) dan pembuluh darah kecil (termasuk sirkulus Willisi dan siklus posterior). Tempat terjadinya thrombosis yang paling sering adalah titik percabangan arteri serebral utamanya pada daerah distribusi dari arteri karotis interna. Adanya stenosis arteri dapat menyebabkan terjadinya turbulensi aliran darah (sehingga meningkatkan resiko pembentukan thrombus aterosklerosis (ulserasi plak) dan perlengketan platelet.
Penyebab lain terjadinya trombosis adalah polisetemia, anemia sickle sel, defisiensi protein C, displasia fibromuskular dari arteri serebral, dan vasokonstriksi yang berkepanjangan akibat gangguan migren. Setiap proses yang menyebabkan diseksi arteri serebral juga dapat menyebabkan terjadinya stroke trombotik (contohnya trauma, diseksi aorta thorasik, arteritis).
4. Patofisiologi Stroke non haemorhagic dapat berupa iskemia atau emboli dan thrombosis serebral, biasanya terjadi saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di pagi hari. Tidak terjadi perdarahan namun terjadi iskemia yang menimbulkan hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder.
Iskemia disebabkan oleh adanya penyumbatan aliran darah otak oleh thrombus atau embolus. Trombus umumnya terjadi karena berkembangnya aterosklerosis pada dinding pembuluh darah, sehingga arteri menjadi tersumbat, aliran darah ke area thrombus menjadi berkurang, menyebabkan
iskemia kemudian menjadi kompleks iskemia akhirnya terjadi infark pada jaringan otak. Emboli disebabkan oleh embolus yang berjalan menuju arteri serebral melalui arteri karotis.
Terjadinya blok pada arteri tersebut menyebabkan iskemia yang tiba-tiba berkembang cepat dan terjadi gangguan neurologist fokal. Perdarahan otak dapat ddisebabkan oleh pecahnya dinding pembuluh darah oleh emboli.
5. Manifestasi Klinis Gejala dari stroke non hemoragik yang mana tergantung pada lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat dan jumlah aliran darah kolateral. Adapun gejala Stroke non hemoragik adalah: 5.1 Kehilangan
motorik:
stroke
adalah
penyakit
neuron
atas
dan
mengakibatkan kehilangan kontrol volunter. Gangguan kontrol volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukan kerusakan pada neuron atas pada sisi yang belawanan dari otak. Disfungsi neuron paling umum adalah hemiplegi (paralisis pada salah satu sisi tubuh) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan dan hemiparises (kelemahan salah satu sisi tubuh).
5.2 Kehilangan komunikasi: fungsi otak lain yang yang dipengaruhi oleh stroke adalah bahasa dan komunikasi. Stroke adalah penyebab afasia paling umum. Disfungsi bahasa dan komunikasi dapat dimanifestasikan oleh hal berikut : 5.2.1
Disatria (kesulitan berbicara), ditunjukan dengan bicara yang sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab menghasilkan bicara.
5.2.2
Disfasia atau afasia (kehilangan bicara), yang terutama ekspresif atau reseptif.
5.2.3
Apraksia, ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya.
5.3 Defisit lapang pandang, sisi visual yang terkena berkaitan dengan sisi tubuh yang paralisis yaitu kesulitan menilai jarak, tidak menyadari orang atau objek ditempat kehilangan penglihatan.
5.4 Defisit sensori, terjadi pada sisi berlawanan dari lesi yaitu kehilangan kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh.
5.5 Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologik, bila kerusakan pada lobus frontal, mempelajari kapasitas, memori atau fungsi intelektual mungkin terganggu. Disfungsi ini dapat ditunjukan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa dan kurang motivasi. 5.6 Disfungsi kandung kemih, setelah stroke pasien mungkin mengalami inkontenensia urinarius karena kerusakan kontrol motorik. (Suzzane C. Smelzzer, dkk, 2001)
6. Pemeriksaan Diagnostik 6.1 Pemeriksaan diagnostik : 6.1.1
CT Scan (Computer Tomografi Scan) Pembidaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi hematoma adanya jaringan otak yang infark atau iskemia, dan posisinya secara pasti. Hasil pemerikasaan biasanya didapatkan hiperdens fokal, kadang pemadatan terlihat di ventrikel atau menyebar ke permukaan otak.
6.1.2
Angiografi serebral Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan atau obstruksi arteri adanya titik okulasi atau raftur.
6.1.3
Pungsi Lumbal Menunjukan adanya tekanan normal, tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukan adanya perdarahan.
6.1.4
Magnatik Resonan Imaging (MRI) Menunjukan daerah yang mengalami infark, hemoragik.
6.1.5
Ultrasonografi Dopler Mengidentifikasi penyakit arteriovena.
6.1.6
Sinar X Tengkorak Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal.
6.1.7
Elektro Encephalografi (EEG) Mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak dan mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
6.2 Pemeriksaan Laboratorium : 6.2.1
Lumbal pungsi, pemeriksaan likuor merah biasanya di jumpai pada perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya warna likuor masih normal sewaktu hari – hari pertama.
6.2.2
Pemeriksaan kimia darah, pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia. Gula darah dapat mencapai 250 mg didalam serum. (Arif Muttaqin, 2008)
7. Penatalaksanaan Medis 7.1 Untuk mengobati keadaan akut perlu diperhatikan faktor-faktor kritis sebagai berikut : 7.1.1
Berusaha menstabilkan tanda-tanda vital dengan : 7.1.1.1 Mempertahankan saluran nafas yang paten yaitu lakukan pengisapan lendir yang sering, oksigenasi, kalau
perlu
lakukan
trakeostomi,
membantu
pernafasan. 7.1.1.2 Mengontrol tekanan darah berdasarkan kondisi pasien, termasuk usaha memperbaiki hipotensi dan hipertensi.
7.1.2
Berusaha menemukan dan memperbaiki aritmia jantung.
7.1.3
Merawat kandung kemih, sedapat mungkin jangan memakai kateter.
7.1.4
Menempatkan pasien dalam posisi yang tepat, harus dilakukan secepat mungkin pasien harus dirubah posisi tiap 2 jam dan dilakukan latihan-latihan gerak pasif.
7.1.5
Nutrisi per oral hanya diberikan jika fungsi menelan baik. Jika kesadaran menurun atau ada gangguan menelan sebaiknya dipasang NGT.
7.1.6
Pemberian cairan intravena berupa kristaloid atau koloid dan hindari penggunaan glukosa murni atau cairan hipotonik
7.2 Pengobatan konservatif 7.2.1
Vasodilator meningkatkan aliran darah serebral (ADS) secara percobaan, tetapi maknanya: pada tubuh manusia belum dapat dibuktikan.
7.2.2
Dapat diberikan histamin, aminophilin, asetazolamid, papaverin intra arterial.
7.2.3
Anti agregasi thrombosis seperti aspirin digunakan untuk menghambat reaksi pelepasan agregasi thrombosis yang terjadi sesudah ulserasi alteroma.
8. Pengkajian Keperawatan 8.1 Identitas klien Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, diagnosa medis.
8.2 Keluhan utama Biasanya didapatkan kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo dan tidak dapat berkomunikasi.
8.3 Riwayat penyakit sekarang Serangan storke seringkali berlangsung sangat mendadak, pada saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan kejang sampai tidak sadar, di samping gejala kelumpuhan separoh badan atau gangguan fungsi otak yang lain.
8.4 Riwayat penyakit dahulu Adanya riwayat hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral lama, penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, kegemukan.
8.5 Riwayat penyakit keluarga Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi ataupun diabetes melitus.
Pengkajian fokus : a. Aktivitas/istirahat Klien akan mengalami kesulitan aktivitas akibat kelemahan, hilang rasa, paralisis, hemiplegi, mudah lelah dan susah tidur.
b. Sirkulasi Adanya riwayat penyakit jantung, katup jantung, disritmia, CHF, polisitemia dan hipertensi arterial.
c. Integritas ego Emosi labil, respon yang tidak tepat, mudah marah, kesulitan untuk mengekspresikan diri.
d. Eliminasi Perubahan kebiasaan BAB dan BAK. Misalnya inkontinensia urine, anuria, distensi kandung kemih, distensia abdomen, suara usus menghilang.
e. Makanan/cairan Nausea, vomiting, daya sensori hilang, di lidah, pipi, tenggorokan, dysphagia.
f. Neuro sensori Pusing, sinkope, sakit kepala, perdarahan sub arachnoid dan intracranial. Kelemahan dengan berbagai tingkatan, gangguan penglihatan, kabur, dyspalopia, lapang pandang menyempit. Hilangnya daya sensori pada bagian yang berlawanan di bagian ekstremitas dan kadang-kadang pada sisi yang sama di muka.
g. Nyaman/nyeri Sakit kepala, perubahan tingkah laku, kelemahan, tegang pada otak/muka.
h. Respirasi Ketidakmampuan menelan, batuk, melindungi jalan napas. Suara napas wheezing, ronchi.
i. Keamanan Sensorik motorik menurun atau hilang mudah terjadi injury. Perubahan persepsi dan orientasi, tidak mampu menelan sampai ketidakmampuan mengatur kebutuhan nutrisi. Tidak mampu mengambil keputusan.
j. Interaksi sosial Gangguan dalam bicara, ketidakmampuan berkomunikasi.
9. Diagnosa Keperawatan 9.1 Keidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan aliran darah ke otak terhambat. 9.2 Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan sirkulasi ke otak. 9.3 Defisit perawatan diri : makan, mandi, berpakaian, toileting berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler. 9.4 Kerusakan
mobilitas
fisik
berhubungan
dengan
kerusakan
neurovaskuler. 9.5 Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi fisik. 9.6 Resiko aspirasi berhubungan dengan penurunan kesadaran. 9.7 Resiko injuri berhubungan dengan penurunan kesadaran. 9.8 Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan kesadaran.
10. Intervensi Keperawatan No 1
Diagnosa keperawatan Keidakefektifan perfusi jaringan serebral b.d aliran darah ke otak terhambat.
Tujuan Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan suplai aliran darah keotak lancar dengan kriteria hasil : Nyeri kepala / vertigo berkurang sampai dengan hilang Berfungsinya saraf dengan baik Tanda-tanda vital stabil
Intervensi Monitorang neurologis 1. Monitor ukuran, kesimetrisan, reaksi dan bentuk pupil 2. Monitor tingkat kesadaran klien 3. Monitor tanda-tanda vital 4. Monitor keluhan nyeri kepala, mual, muntah 5. Monitor respon klien terhadap pengobatan 6. Hindari aktivitas jika TIK meningkat 7. Observasi kondisi fisik klien Terapi oksigen 1. Bersihkan jalan nafas dari secret 2. Pertahankan jalan nafas tetap efektif 3. Berikan oksigen sesuai intruksi 4. Monitor aliran oksigen, kanul oksigen dan sistem humidifier 5. Beri penjelasan kepada klien tentang pentingnya pemberian oksigen 6. Observasi tanda-tanda hipo-ventilasi 7. Monitor respon klien terhadap pemberian oksigen 8. Anjurkan klien untuk tetap memakai oksigen selama aktifitas dan tidur
2
Kerusakan komunikasi verbal b.d penurunan sirkulasi ke otak.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan klien mampu untuk berkomunikasi lagi dengan kriteria hasil: dapat menjawab pertanyaan yang diajukan perawat dapat mengerti dan memahami pesan-pesan melalui gambar dapat mengekspresikan perasaannya secara verbal maupun nonverbal
1. Libatkan keluarga untuk membantu memahami / memahamkan informasi dari / ke klien 2. Dengarkan setiap ucapan klien dengan penuh perhatian 3. Gunakan kata-kata sederhana dan pendek dalam komunikasi dengan klien 4. Dorong dengan klien 5. Programkan speech-language terapi 6. Lakukan speech-language teraphy setiap interaksi dengan klien 7. klien untuk mengulang kata-kata 8. Berikan arahan / perintah yang sederhana setiap interaksi
3
Defisit perawatan diri : makan, mandi, berpakaian, toileting b.d kerusakan neurovaskuler.
4
Kerusakan mobilitas fisik b.d kerusakan neurovaskuler.
5
Resiko kerusakan integritas kulit b.d immobilisasi fisik.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan kebutuhan mandiri klien terpenuhi, dengan kriteria hasil : Klien dapat makan dengan bantuan orang lain / mandiri Klien dapat mandi de-ngan bantuan orang lain Klien dapat memakai pakaian dengan bantuan orang lain / mandiri Klien dapat toileting dengan bantuan alat Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama, diharapkan klien dapat melakukan pergerakan fisik dengan kriteria hasil : Tidak terjadi kontraktur otot dan footdrop Pasien berpartisipasi dalam program latihan Pasien mencapai keseimbangan saat duduk Pasien mampu menggunakan sisi tubuh yang tidak sakit untuk kompensasi hilangnya fungsi pada sisi yang parese/plegi
1. Kaji kamampuan klien untuk perawatan diri 2. Pantau kebutuhan klien untuk alat-alat bantu dalam makan, mandi, berpakaian dan toileting 3. Berikan bantuan pada klien hingga klien sepenuhnya bisa mandiri 4. Berikan dukungan pada klien untuk menunjukkan aktivitas normal sesuai kemampuannya 5. Libatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan 6. perawatan diri klien
Setelah dilakukan tindakan perawatan selama, diharapkan pasien mampu mengetahui dan mengontrol resiko dengan kriteria hasil : Klien mampu mengenali tanda dan gejala adanya resiko luka tekan Klien mampu berpartisi-pasi dalam pencegahan resiko luka tekan (masase sederhana, alih ba-ring, manajemen nutrisi, manajemen tekanan).
1. Beri penjelasan pada klien tentang: resiko adanya luka tekan, tanda dan gejala luka tekan, tindakan pencegahan agar tidak terjadi luka tekan. 2. Berikan masase sederhana. a. Ciptakan lingkungan yang nyaman b. Gunakan lotion, minyak atau bedak untuk pelican c. Lakukan masase secara teratur d. Anjurkan klien untuk rileks selama masase e. Jangan masase pada area kemerahan utk menghindari kerusakan kapiler f. Evaluasi respon klien terhadap masase 3. Lakukan alih baring
1. Ajarkan klien untuk latihan rentang gerak aktif pada sisi ekstrimitas yang sehat 2. Ajarkan rentang gerak pasif pada sisi ekstrimitas yang parese / plegi dalam toleransi nyeri 3. Topang ekstrimitas dengan bantal untuk mencegah atau mangurangi bengkak 4. Ajarkan ambulasi sesuai dengan tahapan dan kemampuan klien 5. Motivasi klien untuk melakukan latihan sendi seperti yang disarankan 6. Libatkan keluarga untuk membantu klien latihan sendi
a. b.
Ubah posisi klien setiap 30 menit- 2 jam Pertahankan tempat tidur sedatar mungkin untuk mengurangi kekuatan geseran c. Batasi posisi semi fowler hanya 30 menit d. Observasi area yang tertekan (telinga, mata kaki, sakrum, skrotum, siku, ischium, skapula) 4. Berikan manajemen nutrisi a. Kolaborasi dengan ahli gizi b. Monitor intake nutrisi c. Tingkatkan masukan protein dan karbohidrat untuk memelihara keseimbangan nitrogen positif 5. Berikan manajemen tekanan a. Monitor kulit adanya kemerahan dan pecah-pecah b. Beri pelembab pada kulit yang kering dan pecah-pecah c. Jaga sprei dalam keadaan bersih dan kering d. Monitor aktivitas dan mobilitas klien e. Beri bedak atau kamper spritus pada area yang tertekan 6
Resiko aspirasi b.d penurunan kesadaran.
7
Resiko injuri b.d penurunan kesadaran.
8
Pola nafas tidak efektif b.d
Setelah dilakukan tindakan perawatan, diharapkan tidak terjadi aspirasi pada pasien dengan kriteria hasil : Dapat bernafas dengan mudah,frekuensi pernafasan normal Mampu menelan,mengunyah tanpa terjadi aspirasi Setelah dilakukan tindakan perawatan, diharapkan tidak terjadi trauma pada pasien dengan kriteria hasil: bebas dari cedera mampu menjelaskan factor resiko dari lingkungan dan cara untuk mencegah cedera menggunakan fasilitas kesehatan yang ada Setelah dilakukan tindakan perawatan,
Aspiration Control Management : 1. Monitor tingkat kesadaran, reflek batuk dan kemampuan menelan 2. Pelihara jalan nafas 3. Lakukan saction bila diperlukan 4. Haluskan makanan yang akan diberikan 5. Haluskan obat sebelum pemberian Risk Control Injury 1. Menyediakan lingkungan yang aman bagi pasien 2. Memberikan informasi mengenai cara mencegah cedera 3. Memberikan penerangan yang cukup 4. Menganjurkan keluarga untuk selalu menemani pasien
Respiratori Status Management
penurunan kesadaran.
diharapkan pola nafas pasien efektif dengan kriteria hasil : Menujukkan jalan nafas paten ( tidak merasa tercekik, irama nafas normal, frekuensi nafas normal,tidak ada suara nafas tambahan Tanda-tanda vital dalam batas normal
1. 2. 3. 4. 5.
Pertahankan jalan nafas yang paten Observasi tanda-tanda hipoventilasi Berikan terapi O2 Dengarkan adanya kelainan suara tambahan Monitor vital sign
DAFTAR PUSTAKA Johnson, M., et all. 2002. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid Kedua. Jakarta: Media Aesculapius FKUI Mc Closkey, C.J., et all. 2002. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika NANDA, 2012, Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi. Price, A. Sylvia.2006 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima Medika
Smeltzer, dkk. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2. alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih. Jakarta: EGC