Zaman Paleolithikum Dan Mesolitikum.docx

  • Uploaded by: Endar
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Zaman Paleolithikum Dan Mesolitikum.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,937
  • Pages: 8
Zaman Paleolithikum (Zaman Batu Tua) Materiku kali ini akan memberikan artikel mengenai Zaman Paleolithikum (Zaman Batu Tua). Tahukah Kalian apa itu Zaman Batu Tua ? Pada tahun berapakah Zaman Paleolithikum (Zaman Batu Tua) ini terjadi ? Mungkin pada waktu itu kita belum terlahir ke dunia ini. Zaman Batu adalah suatu zaman dimana manusia hidup dengan menggunakan peralatan dari batu baik yang digunakan untuk berburu, meramu, dan bahkan mengumpulkan makanan pun menggunakan batu. Di zaman ini, meskipun ada alat-alat lain yang menunjang untuk memenuhi atau pun mencari makanan untuk kehidupan sehari-hari seperti bambu maupun kayu, tetapi mereka tetap memakai batu. Karena batu lebih kuat, lebih kokoh serta tahan lama daripada kayu dan batu.

Zaman Batu Tua (Paleolithikum) diperkirakan berlangsung kira-kira 600.000 tahun yang lalu. Pada zaman Palelithikum ini alat-alat yang dihasilkan masih sangat kasar dan sederhana sekali. Maka jangan heran ketika pada zaman ini, alat-alat yang dihasilkan belum terlalu halus. Di kesempatan ini admin akan berbagi info dan artikel mengenai Zaman Paleolithikum (Zaman Batu Tua). Untuk lebih detailnya lagi, baca artikel di bawah ini :

Paleolitikum atau zaman batu tua disebut demikian sebab alat-alat batu buatan manusia masih dikerjakan secara kasar, tidak diasah atau dipolis. Apabila dilihat dari sudut mata pencariannya periode ini disebut masa berburu dan meramu makanan tingkat sederhana. Manusia pendukung zaman ini adalah Pithecantropus Erectus, Homo Wajakensis, Meganthropus Paleojavanicus dan Homo Soloensis. Fosil-fosil ini ditemukan di sepanjang aliran sungai Bengawan Solo. Mereka memiliki kebudayaan Pacitan dan Ngandong. Kebudayaan Pacitan pada tahun 1935, Von Koenigswald menemukan alat-alat batu dan kapak genggam di daerah Pacitan. Cara kerjanya digenggam dengan tangan. Kapak ini dikerjaan dengan cara masih sangat kasar. Para ahli menyebut alat pada zaman Paleolithikum dengan nama chopper. Alat ini ditemukan di Lapisan Trinil. Selain di Pacitan, alat-alat dari zaman Paleplithikum ini temukan di daerah Progo dan Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), dan Lahat (Sumatera Selatan).

A. CIRI-CIRI ZAMAN PALEOLITHIKUM 1. Jenis Manusia Berdasarkan penemuan fosil manusia purba, jenis manusia purba hidup pada zaman Paleolitikum adalah Pithecanthropus Erectus, Homo Wajakensis, Meganthropus paleojavanicus, dan Homo Soliensis. Fosil ini ditemukan di aliran sungai Bengawan Solo.

2. Kebudayaan Berdasarkan daerah penemuannya maka alat-alat kebudayaan Paleolithikum tersebut dapat dikelompokan menjadi kebudayaan pacitan dan kebudayaan ngandong.

a. Kebudayaan Pacitan Pada tahun 1935, von Koenigswald menemukan alat batu dan kapak genggam di daerah Pacitan. Kapak genggam itu berbentuk kapak tetapi tidak bertangkai. Kapak ini masih dikerjakan dengan sangat kasar dan belum dihaluskan. Para ahli menyebutkan bahwa kapak itu adalah kapak penetak. Selain di Pacitan alat-alat banyak ditemukan di Progo dan Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), dan Lahat (Sumatera Utara)

b. Kebudayaan Ngandong Para ahli berhasil menemukan alat-alat dari tulang, flakes, alat penusuk dari tanduk rusa dan ujung tombak bergigi di daerah Ngandong dan Sidoarjo. Selain itu di dekat Sangiran ditemukan alat sangat kecil dari betuan yang amat indah. Alat ini dinamakan Serbih Pilah, dan banyak ditemukan di Cabbenge (Sulawesi Selatan) yang terbuat dari batu-batu indah seperti kalsedon. Kebudayaan Ngandong juga didukung oleh penemuan lukisan pada dinding goa seperti lukisan tapak tangan berwarna merah dan babi hutan ditemukan di Goa Leang Pattae (Sulawesi Selatan)

Zaman Paleolithikum ditandai dengan kebudayan manusia yang masih sangat sederhana. Ciri-ciri kehidupan manusia pada zaman Paleolithikum, yakni: 1. Hidup berpindah-pindah (Nomaden) 2. Berburu (Food Gathering) 3. Menangkap ikan

B. ALAT-ALAT ZAMAN PALEOLITHIKUM Pada zaman ini alat-alat terbuat dari batu yang masih kasar dan belum dihaluskan. Contoh alatalat tersebut adalah:

1. Kapak Genggam

Kapak genggam banyak ditemukan di daerah Pacitan. Alat ini biasanya disebut "chopper" (alat penetak/pemotong) Alat ini dinamakan kapak genggam karena alat tersebut serupa dengan kapak, tetapi tidak bertangkai dan cara mempergunakannya dengancara menggenggam. Pembuatan kapak genggam dilakukan dengan cara memangkas salah satu sisi batu sampai menajam dan sisi lainnya dibiarkan apa adanyasebagai tempat menggenggam. Kapak genggam berfungsi menggali umbi, memotong, dan menguliti binatang.

2. Kapak Perimbas

Kapak perimbas berpungsi untuk merimbas kayu, memahat tulang dan sebagai senjata. Manusia kebudayan Pacitan adalah jenis Pithecanthropus. Alat ini juga ditemukan di Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), lahat, (Sumatra selatan), dan Goa Choukoutieen (Beijing). Alat ini paling banyak ditemukan di daerah Pacitan, Jawa Tengah sehingga oleh Ralp Von Koenigswald disebut kebudayan pacitan.

3. Alat-alat dari tulang binatang atau tanduk rusa

Salah satu alat peninggalan zaman paleolithikum yaitu alat dari tulang binatang. Alat-alat dari tulang ini termasuk hasil kebudayaan Ngandong. Kebanyakan alat dari tulang ini berupa alat penusuk (belati) dan ujung tombak bergerigi. Fungsi dari alat ini adalah untuk mengorek ubi dan keladi dari dalam tanah. Selain itu alat ini juga biasa digunakan sebagai alat untuk menangkap ikan.

4. Flakes

Flakes yaitu alat-alat kecil yang terbuat dari batu Chalcedon, yang dapat digunakan untuk mengupas makanan. Flakes termasuk hasil kebudayaan Ngandong sama seperti alat-alat dari tulang binatang. Kegunaan alat-alat ini pada umumnya untuk berburu, menangkap ikan, mengumpulkan ubi dan buah-buahan.alat-alat ini pada umumnya untuk berburu, menangkap ikan, mengumpulkan ubi dan buah-buahan.

MESOLITHIKUM ( ZAMAN BATU TENGAH ) Setelah pleistosen berganti dengan holosen, kebudayaan paleolithikum tidak begitu saja lenyap melainkan mengalami perkembangan selanjutnya. Di Indonesia, kebudayaan paleolithikum itu mendapat pengaruh baru dengan mengalirnya arus kebudayaan baru dari daratan Asia ygna membawa coraknya sendiri. Kebudayaan baru yang timbul itu dinamakan Mesolithikum. Kebudayaan mesolithikum ini banyak ditemukan bekas-bekasnya di Sumatra, Jawa , Kalimantan, Sulawesi dan di Flores. Dari peninggalan-peninggalan tersebut dapat diketahui bahwa jaman itu manusia masih hidup dari berburu dan menangkap ikan (Food-Gathering). Akan tetapi sebagian sudah mempunyai tempat tinggal tetap, sehingga bisa dimungkinkan sudah bercocok tanam walau masih sangat sederhana dan secara kecil-kecilan. Bekas-bekas tempat tinggal mereka ditemukan di pinggir pantai (Kjokkenmoddinger) dan di dalam gua-gua (Abris Sous Roche). Disitulah pula banyak didapatkan bekas-bekas kebudayaannya. Penelitian di bukit kerang menghasilkan banyak penemuan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam Paleolithikum). Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan pebble / kapak Sumatra. Bentuk pebble dapat dikatakan sudah cukup sempurna dan buatannya agak halus. Hal ini membuktikan bahwa alat-alat pada zaman mesolithikum merupakan pengembangan dari alat-alat zaman paleolithikum, dimana cara pembuatannya lebih baik dan lebih halus dari zaman paleolithikum. A. HASIL KEBUDAYAAN MESOLITHIKUM 1. Kebudayaan Pebble (Pebble Culture) 1. Kjokkenmoddinger (Sampah Dapur)

Kjokkenmoddinger adalah istilah yang berasal dari bahasa Denmark yaitu kjokken artinya dapur dan modding artinya sampah jadi Kjokkenmoddinger arti sebenarnya adalah sampah dapur. Dalam kenyataan Kjokkenmoddinger adalah timbunan atau tumpukan kulit kerang dan siput yang mencapai ketinggian ± 7 meter dan sudah membatu atau menjadi fosil. Kjokkenmoddinger ditemukan disepanjang pantai timur Sumatera yakni antara Langsa dan Medan. Dari bekas-bekas penemuan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba yang hidup pada zaman ini sudah menetap. Tahun 1925 Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya banyak menemukan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam Palaeolithikum). 1. Pebble (kapak genggam Sumatera = Sumateralith)

Tahun 1925, Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya menemukan kapak genggam. Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan pebble/kapak genggam Sumatra (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu dipulau Sumatra. Bahan-bahan untuk membuat kapak tersebut berasal batu kali yang dipecah-pecah. 1. Hachecourt (kapak pendek) Selain pebble yang diketemukan dalam bukit kerang, juga ditemukan sejenis kapak tetapi bentuknya pendek (setengah lingkaran) yang disebut dengan hachecourt/kapak pendek. 1. Pipisan Selain kapak-kapak yang ditemukan dalam bukit kerang, juga ditemukan pipisan (batu-batu penggiling beserta landasannya). Batu pipisan selain dipergunakan untuk menggiling makanan juga dipergunakan untuk menghaluskan cat merah. Bahan cat merah berasal dari tanah merah. Cat merah diperkirakan digunakan untuk keperluan religius dan untuk ilmu sihir.

2. Kebudayaan Tulang dari Sampung (Sampung Bone Culture)

Berdasarkan alat-alat kehidupan yang ditemukan di goa lawa di Sampung (daerah Ponorogo – Madiun Jawa Timur) tahun 1928 – 1931, ditemukan alat-alat dari batu seperti ujung panah dan flakes, kapak yang sudah diasah, alat dari tulang, tanduk rusa, dan juga alat-alat dari perunggu

dan besi. Oleh para arkeolog bagian terbesar dari alat-alat yang ditemukan itu adalah tulang, sehingga disebut sebagai Sampung Bone Culture.



3. Kebudayaan Flakes (Flakes Culture) Abris Sous Roche (Gua tempat tinggal)

Abris Sous Roche adalah goa-goa yang yang dijadikan tempat tinggal manusia purba pada zaman Mesolithikum dan berfungsi sebagai tempat perlindungan dari cuaca dan binatang buas. Penyelidikan pertama pada Abris Sous Roche dilakukan oleh Dr. Van Stein Callenfels tahun 1928-1931 di goa Lawa dekat Sampung Ponorogo Jawa Timur. Alat-alat yang ditemukan pada goa tersebut antara lain alat-alat dari batu seperti ujung panah, flakes, batu pipisan, kapak yang sudah diasah yang berasal dari zaman Mesolithikum, serta alat-alat dari tulang dan tanduk rusa.Di antara alat-alat kehidupan yang ditemukan ternyata yang paling banyak adalah alat dari tulang sehingga oleh para arkeolog disebut sebagai Sampung Bone Culture / kebudayaan tulang dari Sampung. Karena goa di Sampung tidak ditemukan Pebble ataupun kapak pendek yang merupakan inti dari kebudayaan Mesolithikum. Selain di Sampung, Abris Sous Roche juga ditemukan di daerah Besuki dan Bojonegoro Jawa Timur. Penelitian terhadap goa di Besuki dan Bojonegoro ini dilakukan oleh Van Heekeren. Di Sulawesi Selatan juga banyak ditemukan Abris Sous Roche terutama di daerah Lomoncong yaitu goa Leang Patae yang di dalamnya ditemukan flakes, ujung mata panah yang sisi-sisinya bergerigi dan pebble. Di goa tersebut didiami oleh suku Toala, sehingga oleh tokoh peneliti Fritz Sarasin dan Paul Sarasin, suku Toala yang sampai sekarang masih ada dianggap sebagai keturunan langsung penduduk Sulawesi Selatan zaman prasejarah. Untuk itu kebudayaan Abris Sous Roche di Lomoncong disebut kebudayaan Toala. Kebudayaan Toala tersebut merupakan kebudayaan Mesolithikum yang berlangsung sekitar tahun 3000 sampai 1000 SM. Selain di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, Abris Sous Roche juga ditemukan di daerah Timor dan Rote. Penelitian terhadap goa tersebut dilakukan oleh Alfred Buhler yang di dalamnya ditemukan flakes dan ujung mata panah yang terbuat dari batu indah. 1. KEBUDAYAAN BACSON-HOABINH Kebudayaan ini ditemukan dalam gua-gua dan dalam bukit-bukit kerang di Indo-China, Siam, Malaka, dan Sumatera Timur. Alat-alat kebudayaannya terbuat dari batu kali, seperti bahewa batu giling. Pada kebudayaan ini perhatian terhadap orang meninggal dikubur di gua dan juga di bukit-bukit kerang. Beberapa mayatnya diposisikan dengan berjongkok dan diberi cat warna merah. Pemberian cat warna merah bertujuan agar dapat mengembalikan hayat kepada mereka yang masih hidup. Di Indonesia, kebudayaan ini ditemukan di bukit-bukit kerang. Hal seperti ini banyak ditemukan dari Medan sampai ke pedalaman Aceh. Bukit-bukit itu telah bergeser sejauh 5 km dari garis pantai menunjukkan bahwa dulu pernah terjadi pengangkatan lapisan-lapisan bumi. Alur masuknya kebudayaan ini sampai ke Sumatera melewati Malaka. Di Indonesia ada dua kebudayaan Bacson-Hoabinh, yakni:

1. Kebudayaan pebble dan alat-alat dari tulang yang datang ke Indonesia melalui jalur barat. 2. Kebudayaan flakes yang datang ke Indonesia melalui jalur timur. Dengan adanya keberadaan manusia jenis Papua Melanosoide di Indonesia sebagai pendukung kebudayaan Mesolithikum, maka para arkeolog melakukan penelitian terhadap penyebaran pebble dan kapak pendek sampai ke daerah teluk Tonkin daerah asal bangsa Papua Melanosoide. Dari hasil penyelidikan tersebut, maka ditemukan pusat pebble dan kapak pendek berasal dari pegunungan Bacson dan daerah Hoabinh, di Asia Tenggara. Tetapi di daerah tersebut tidak ditemukan flakes, sedangkan di dalam Abris Sous Roche banyak ditemukan flakes bahkan di pulau Luzon (Filipina) juga ditemukan flakes. Ada kemungkinan kebudayaan flakes berasal dari daratan Asia, masuk ke Indonesia melalui Jepang, Formosa dan Filipina. C. KEBUDAYAAN TOALA

Kebudayaan Toala dan yang serumpun dengan itu disebut juga kebudayaan flake dan blade. Alat-alatnya terbuat dari batu-batu yang menyerupai batu api dari eropa, seperti chalcedon, jaspis, obsidian dan kapur. Perlakuan terhadap orang yang meninggal dikuburkan didalam gua dan bila tulang belulangnya telah mengering akan diberikan kepada keluarganya sebagai kenangkenangan. Biasanya kaum perempuan akan menjadikan tulang belulang tersebut sebagai kalung. Selain itu, didalam gua terdapat lukisan mengenai perburuan babi dan juga rentangan lima jari yang dilumuri cat merah yang disebut dengan “silhoutte”. Arti warna merah tanda berkabung. Kebudayaan ini ditemukan di Jawa (Bandung, Besuki, dan Tuban), Sumatera (danau Kerinci dan Jambi), Nusa Tenggara di pulau Flores dan Timor.

Related Documents

Zaman
June 2020 37
Zaman
October 2019 46
Zaman Time
May 2020 26

More Documents from "sunay sensoz"

Globalindo Group.docx
December 2019 26
Cover Smk Muh.docx
December 2019 33
Laporan Praktikum 5.docx
April 2020 26
Asyiela 9.docx
December 2019 22
Eksperimen 7.docx
April 2020 26