Zainal Arifin - Pengelolaan Hutan Terpadu

  • Uploaded by: Grahat Nagara
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Zainal Arifin - Pengelolaan Hutan Terpadu as PDF for free.

More details

  • Words: 4,762
  • Pages: 20
 

IMPLEMENTASI PENGELOLAAN HUTAN TERPADU DI KALIMANTAN TENGAH Oleh: Muhamad Zainal Arifin (Analis Hukum ELSDA Institute)

1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Simpang siur statistik kehutanan terus menggelayuti pengelolaan hutan di Kalimantan Tengah. Selama periode 2001-2002, terjadi perbedaan yang cukup mencolok terkait jumlah produksi kayu yang berasal dari Kalimantan Tengah. Produksi kayu bulat periode 2001-2002 berdasarkan data Dinas Kehutanan Kalimantan Tengah berjumlah tiga kali lipat dibandingkan data yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan. Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksaan terhadap Laporan Keuangan Kalimantan Tengah tahun 2006, menunjukkan bahwa Dispenda Kalimantan Tengah tidak punya data yang valid mengenai penetapan bagi hasil yang dibuat oleh Dinas Kehutanan. Jika pembagian Dana Alokasi Khusus yang diterima Kalimantan Tengah berdasarkan data dari Departemen Kehutanan, maka tentu saja akan merugikan daerah penghasil kayu. Di samping itu, kesimpangsiuran data tersebut juga akan menyulitkan pendeteksian illegal logging. Untuk mengatasi permalahan di atas, perlu dilakukan pengelolaan hutan terpadu di Kaliamantan Tengah. Pengelolaan Hutan Terpadu (PHT) adalah pengelolaan hutan dengan fokus kepada transparansi dan akuntabilitas data hutan; profil perusahaan kehutanan; dan pendapatan negara dari hutan. Dengan adanya pengelolaan hutan terpadu, pemerintah daerah dapat menelusuri berapa jumlah Dana Alokasi Khusus didapat dari Dana Reboisasi dan Provisi Sumber Daya Hutan. 1.2. Rumusan Masalah Di dalam tulisan ini, ada dua rumusan masalah: a. Mengapa Kalimantan Tengah perlu pengelolaan hutan terpadu? b. Bagaimana implementasi pengelolaan hutan terpadu?

Kertas Kerja No. 2/AH‐2/04/2008 ELSDA Institute   

Page 1 

 

2. Pengelolaan Hutan di Kalimantan Tengah 2.1. Profil Kalimantan Tengah Kalimantan Tengah Terletak di jantung Kalimantan. Secara geografis wilayah Propinsi Kalimantan Tengah memiliki kekhususan tersendiri yakni berada di 2 (dua) Garis Lintang atau dengan kata lain “dibelah” oleh equator, di sepanjang 0°45 LU, 3°30 LS, 111 ° BT dan 116° BT.1 Menurut data BPS Kalimantan Tengah, luas wilayahnya mencapai 153.564 m2 dan terdiri dari 14 Kabupaten/Kota. Secara administratif pemerintahan, Kalimantan Tengah beribukota di Palangka Raya. Jumlah penduduk di Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2005 berjumlah 1.934.545 jiwa. Tabel 2.1. Luas Wilayah Kabupaten/Kota di Kalimantan Tengah Kabupaten/Kota

Luas (km²)

Ibukota /Kota

1. Kotawaringin Barat

10.759

Pangkalan Bun

2. Kotawaringin Timur

16.496

Sampit

3. K a p u a s

14.999

Kuala Kapuas

4. Barito Selatan

8.830

Buntok

5. Barito Utara

8.300

Muara Teweh

6. Sukamara

3.827

Sukamara

7. Lamandau

6.414

Nanga Bulik

8. Seruyan

16.404

Kuala Pembuang

9.Katingan

17.800

Kasongan

10.Pulang Pisau

8.997

Pulang Pisau

11.Gunung Mas

10.804

Kuala Kurun

12.Barito Timur

3.834

Tamiang Layang

13.Murung Raya

23.700

Puruk Cahu

2.400

Palangka Raya

153.564

Palangka Raya

14. Palangka Raya Kalimantan Tengah

Sumber: www.kalteng.bps.go.id Batas-batas Wilayah Kalimantan Tengah yakni: „

Utara: Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur

„

Timur: Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan

„

Selatan: Laut Jawa

                                                             1

http://www.kalteng.go.id/INDO/informasi_umum_kalimantan_tengah.htm

Kertas Kerja No. 2/AH‐2/04/2008 ELSDA Institute   

Page 2 

  „

Barat: Kalimantan Barat

Wilayah Kalimantan Tengah terdapat banyak sungai yang membelah Kabupaten dan Kota. Di dalam praktek illegal logging, keberadan sungai-sungai tersebut sering dijadikan sarana transportasi untuk mempermudah pengiriman kayu bulat. Tabel 2.2. Nama-Nama Sungai di Kalimantan Tengah Nama Sungai

Panjang

Rata-rata

Kilometer

Dapat dilayari

Kedalaman

Lebar

(km)

(km)

(meter)

(meter)

1. Sungai Jelai

200

150

8

150

2. Sungai Arut

250

190

4

100

3. Sungai Lamandau

300

250

6

150

4. Sungai Kumai

175

100

6

250

5. Sungai Seruyan

350

300

5

250

6. Sungai Mentaya

400

270

6

350

7. Sungai Katingan

650

520

6

250

8. Sungai Sebangau

200

150

5

100

9. Sungai Kahayan

600

500

7

450

10. Sungai Kapuas

600

420

6

450

11. Sungai Barito

900

700

8

500

Sumber: www.kalteng.bps.go.id Kalteng juga terkenal akan kekayaan alamnya. Kekayaan alam ini merupakan salah satu nilai yang sangat menarik bagi para investor untuk menanamkan modalnya baik itu di sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, perindustrian dan perdagangan, pertambangan, dan sebagainya. Meski kaya dengan berbagai potensi alam, ternyata jumlah kemiskinanan cukup besar. Jumlah keluarga miskin di Propinsi ini berjumlah 212.800 atau sekitar 11 % dari jumlah penduduk. 2.2. Kondisi Hutan di Kalimantan Tengah Propinsi Kalimantan Tengah memiliki luas kawasan hutan terluas ke-3 di Indonesia setelah Papua dan Kalimantan Timur. Kawasan Hutan Propinsi Kalimantan Tengah yang ditetapkan berdasarkan hasil paduserasi

Kertas Kerja No. 2/AH‐2/04/2008 ELSDA Institute   

Page 3 

  TGHK dan RTRWP pada Oktober 1999 adalah seluas 10.735.935 ha.2 Luas kawasan hutan ini mencakup 69,9 % dari luas Kalimantan Tengah. Gambar 2.1. Peta RTRWP Kalteng 19993

Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi 1999, bentang alam wilayah Kalimantan Tengah ditunjukkan table di bawah ini. Tabel 2.3. Pembagian RTRWP Kalimantan Tengah Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP)

Luas Wilayah (Ha)

A. Kawasan Hutan Lindung 1. Hutan Lindung (HL)

766.392,06

2. Cagar Alam (CA)

235.079,45

3. Taman Wisata (TW)

19.142,61

4. Taman Nasional (TN)

480.056,29

                                                             2 Badan Planologi Kehutanan Departemen Kehutanan, Data dan Informasi Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah, Jakarta, 2002, hlm 3 3 Peta yang ditampilkan dalam tulisan ini masih menggunakan Peta tahun 1999, karena penulis belum mendapatkan Peta Rencana Tata Ruang yang terbaru

Kertas Kerja No. 2/AH‐2/04/2008 ELSDA Institute   

Page 4 

  5. Suaka Marga Satwa (SM)

71.664,71

6. Perlindungan dan Pelestarian Hutan (PPH)

1.628,43

7. Konservasi Magrove (KM)

31.018,40

8. Konservasi Air Hitam (KEAH)

37.225,55

9. Konservasi Flora dan Fauna (KFF)

161.849,04

10. Konservasi Gambut Tebal (KGTB)

253.797,99

11. Konservasi Hidrologi (KH)

185.023,14 2.242.817,67

Jumlah / Total A B. Kawasan Budi Daya 1. Hutan Produksi Terbatas (HPT)

3.784.495,64

2. Hutan Produksi (HP)

4.232.518,38

3. Hutan Kawasan Pengembangan Produksi (KPP)

2.789.108,09

4. Hutan Kawasan Pemukiman & Penggunaan Lain

1.920.054,97

5. Hutan Tanaman Industri (HTI)

21.958,04

6. Areal Transmigrasi (T1 & T2)

137.920,13

7. Hutan Pendidikan dan Penelitian (HPP)

-

8. Kawasan Handil Rakyat (KHR)

59.046,32

9. Perairan (DS)

155.716,95 Jumlah/TotalB

13.078.250,80

Jumlah/Total A + B

15.356.685,18

Sampai tahun 2007, hutan konservasi yang telah ditunjuk dan ditetapkan sejumlah 4 unit Cagar Alam, 2 Unit Taman Nasional dan 2 unit Taman Wisata:4 Tabel 2.4. Hutan Konservasi di Kalimantan Tengah No

Nama Kawasan

Kabupaten

Fungsi

1.

Bukit Tangkling

Palangkaraya

Cagar Alam

2.061 46/Kpts/Um/1/1977

2.

Pararaen I/II

Barito Utara

Cagar Alam

6.200 705/Kpts/Um/1979

3.

Bukit Sapat Hawung

Cagar Alam

239.000 174/Kpts/Um/3/1983

4.

Lamandau

Cagar Alam

5.

Tanjung Putting

Kotawaringin

Luas (Ha) SK Penetapan

76.110 162/KptsII/1998

Taman Nasional

415.040 687/KptsII/1996

Taman Nasional

568.700 SK No.423/Menhut-

Barat/Timur 6.

Sebangau

Katingan,Pulang Pisau, Palangkaraya

II/2004

                                                             4 Diolah dari Buku Data dan Informasi Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah dan ditambah data terbaru terkait pembentukan Taman Nasional Sebangau

Kertas Kerja No. 2/AH‐2/04/2008 ELSDA Institute   

Page 5 

  7.

Bukit Tangkling

Palangkaraya

Taman Wisata

8.

Tanjung Keluang

Kumai

Taman Wisata

533 46/Kpts/Um/1/1997 2.000 046/KptsII/1984

Sumber: Diolah dari Badan Planologi, 2002 2.3. Pengelolaan Hutan di Kalimantan Tengah Karena sebagian besar wilayah Kalimantan Tengah berhutan, maka sektor kehutanan menjadi primadona dalam mendukung pelaksanaan Otonomi Daerah. Sektor ini merupakan salah satu sektor andalan Kalimantan Tengah yang dapat mendongkrak pendapatan daerah. Dari tahun ke tahun, produksi kayu bulat di Kalimantan termasuk penyumbang terbesar produksi kayu nasional. Misalnya, Menurut Buku Eksekutif Data Strategis Kehutanan Tahun 2007 yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan, produksi kayu bulat secara nasional pada tahun 2005 berjumlah 24.222.638 m3.5 Dari jumlah tersebut, Kalimantan Tengah memberikan kontribusi kayu bulat sebesar 4.213.751 m3 atau sekitar 17,4 % dari produksi nasional. Sedangkan tahun 2006, Kalimantan Tengah memproduksi kayu bulat sebesar 1.499.699 m3 dari produksi nasional sebesar 21.792.144 m36.

Grafik 2.1. Produksi Kayu Bulat di Kalimantan Tengah 4,500,000 4,000,000 3,500,000 3,000,000 2,500,000 2,000,000 1,500,000 1,000,000 500,000 Produksi Kayu Bulat

1999/2000 2000 4,198,99 1,281,43

2001 593,499

2002 602,676

2003 1,594,81

2004 1,096,63

2005 4,213,751

2006 1,499,69

Sumber: Departemen Kehutanan, 2007

                                                             Departmen Kehutanan, Eksekutif Data Strategis Kehutanan Tahun 2007, dapat diakses secara online di http://www.dephut.go.id/Halaman/Buku-buku/2007/strategis07/IV3.pdf 6 Ibid 5

Kertas Kerja No. 2/AH‐2/04/2008 ELSDA Institute   

Page 6 

  Data yang terdapat dalam situs Pemerintah Provinsi Kalteng7 terkait produksi kayu bulat berbeda jauh dengan data Departemen Kehutanan. Misalnya pada tahun 2001, Dephut mencatat bahwa produksi kayu bulat berjumlah 593.499 m3. Menurut catatan Pemprov Kalteng, produksi kayu bulat yang berasal dari areal HPH seluruhnya berjumlah 1.743.753,96 m3 atau 3 kali lipat dari catatan Dephut untuk kayu bulat.8 Kayu bulat yang berasal dari areal Izin Pemanfaatan Kayu berjumlah 29.961 m3.9 Total keseluruhan kayu bulat untuk tahun 2001 yang dihimpun Dinas Kehutanan sebesar 1.773.714,96 m3. Selain itu berdasarkan data yang ada pada Kantor Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah, untuk tahun pengusahaan 2002, total produksi kayu bulat (Log) yang berasal dari areal HPH seluruhnya sebanyak 1.479.322,32 M3.10 Sedangkan khusus untuk produksi kayu bulat (log) yang berasal dari areal Izin Pemanfaatan Kayu, total produksinya pada tahun 2002 sebesar 429.444,48 M3 terdiri dari IPK HTI sebesar 110.469,98 M3 dan IPK selain HTI sebesar 318.974,5 M3.11 Data total kayu bulat dari HPH dan IPK yang dihimpun oleh Dinas Kehutanan Kalteng berjumlah 1.908.766,7 m3. Padahal jumlah produksi kayu bulat yang dihimpun oleh Departemen Kehutanan untuk wilayah Kalimantan Tengah tahun 2002 berjumlah 602.676 m3. Berdasarkan data yang ada pada Kantor Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah, untuk tahun pengusahaan 2003, total produksi kayu bulat (Log) yang berasal dari areal HPH seluruhnya sebanyak 1.624.094,55 m3.12 Sedangkan khusus untuk produksi kayu bulat (log) yang berasal dari areal Izin Pemanfaatan Kayu, total produksinya pada tahun 2003 sebesar 607.046,84 m3. Jadi total kayu bulat untuk tahun 2003 berjumlah 2.231.141,39 m3. Padahal menurut catatan Departemen Kehutanan, total kayu bulat untuk tahun 2003 berjumlah 1.594.811 m3. Tabel 2.5. Perbandingan Data Produksi Kayu yang Dikeluarkan Departemen Kehutanan dengan Dinas Kehutanan Kalimantan Tengah Instansi

2001

Dephut Dinas Kehutanan

2002

2003

593.449,00 m3

602.676,00 m3

1.594.811 m3

1.773.714,96 m3

1.908.766,7 m3

2.231.141,39 m3

Sumber: Departemen Kehutanan dan Dinas Kehutanan Kalimantan Tengah

                                                             http://www.kalteng.go.id Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, Kehutanan Kalimantan Tengah Tahun 2001, diakses di http://www.kalteng.go.id/indo/Kehutanan2.htm 9 Ibid 10 Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, Resume Kehutanan Tahun 2002, diakses di http://www.kalteng.go.id/indo/Kehutanan2002.htm 11 Ibid 12 Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, Resume Kehutanan Tahun 2003, diakses di http://www.kalteng.go.id/indo/Kehutanan2003.htm 7 8

Kertas Kerja No. 2/AH‐2/04/2008 ELSDA Institute   

Page 7 

  Versi lain terkait data kayu bulat di Kalimantan Tengah juga dimiliki oleh Badan Pusat Statistik Kalimantan Tengah. Menurut catatan BPS Kalteng, Produksi kayu bulat dari IUPHHK13 pada tahun 2002 berjumlah 1.338.236,71 m3.14 Sedangkan untuk tahun 2003 berjumlah 2.008.338,02 m3.15 Padahal menurut klaim pihak BPS Kalteng, data itu bersumber dari Seksi Rencana Pengusahaan Hutan Sub Dina BUK dan Seksi Peredaran Hasil Hutan Sub Dinas PHH. Tabel 2.6. Produksi Kayu Bulat Kalteng dari IUPHHK Menurut BPS Tahun

Target (m3)

Realisasi (m3)

2006

1.213.105,00

1.561.253,43

2005

4.391.587,02

985.510,61

2004

2.198.685,00

1.001.278,18

2003

2.213.681,00

2.008.338,02

2002

2.570.894,97

1.338.236,71

Sumber: BPS Kalteng, 2006 2.4. Perusahaan Kehutanan di Kalimantan Tengah 2.4.1.

Perusahaan HPH dan HTI Produksi kayu bulat Kalimantan Tengah disokong oleh perusahaan-perusahaan pemilik Izin Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Alam, IUPHHK Hutan Tanaman Industri (HTI), Izin Lainnya yang Sah (ILS). Sampai dengan bulan Juli 2001 terdapat 63 unit perusahaan IUPHHK Hutan Alam (dulu disebut HPH) dengan total luas 5.203.256 ha. Pada bulan Agustus 2006, pemilik IUPHHK Hutan Alam menurun menjadi 62 perusahaan dengan luas hutan 4.603.723 ha. Sedangkan untuk perusahaan pemilik IUPHHK HTI berjumlah 22 dengan total luas 525.639 ha (Data Dephut Sampai Agustus 2006). Kontribusi kayu bulat dari hutan alam menyumbang cukup besar dari total keseluruhan kayu bulat yang diambil dari hutan Kalimantan Tengah.

                                                             13 Belum bisa dipastikan apakah data kayu bulat yang dihimpun BPS Kalteng berasal dari IUPHHK Hutan Alam saja ataukah total keseluruhan kayu bulat. 14 Diakses di http://kalteng.bps.go.id/ 15 Ibid

Kertas Kerja No. 2/AH‐2/04/2008 ELSDA Institute   

Page 8 

 

Sumber: Departemen Kehutanan, 2007 2.4.2.

Industri Kehutanan Menurut Dinas Kehutanan Kalteng, kapasitas terpasang Industri Pengolahan Kayu Hulu (IPKH) di

Kalimantan Tengah untuk tahun 2001 sebesar 1.004.775 m3/tahun.16 Kayu olahan yang dihasilkan sebesar 201.832 m3 dengan jenis produk berupa plywood, kayu gergajian, moulding/dowel, vener, block board dan lumber core. Untuk tahun 2002 tidak ada perbedaan terkait kapasitas terpasang IPKH. Jumlah perusahaan IPKH yakni 164 unit.17 Sedangkan untuk produksi kayu olahan Propinsi Kalimantan Tengah Tahun 2002 sampai dengan bulan November 2002, berdasarkan daftar Gabungan Produksi Kayu Olahan (DGLPKO) sebesar 337.871 M3 dengan jenis Produk berupa Plywood, Kayu Gergajian, Moulding/Dowel, Veneer, Block Board dan Lumber Core. Pada tahun 2003, kapasitas terpasang Industri Pengolahan Kayu Hulu (IPKH) di Kalimantan Tengah menurun menjadi 479.145 m3/tahun dengan jumlah IPKH 115 Unit.18 Untuk produksi kayu olahan Propinsi Kalimantan Tengah Tahun 2003 sampai dengan bulan Nopember 2003, berdasarkan Daftar Gabungan Produksi Kayu Olahan (DGLPKO) sebesar 348.014,95 m3 dengan jenis Produk berupa Plywood, Kayu Gergaji-an, Moulding/Dowel, Veneer, Block Board dan Lumber Core.                                                              Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, Kehutanan Kalimantan Tengah Tahun 2001, diakses di http://www.kalteng.go.id/indo/Kehutanan2.htm 16

Pemerintah Provinsi Kalimantan http://www.kalteng.go.id/indo/Kehutanan2002.htm 17

Tengah,

Resume

Kehutanan

Tahun

2002,

diakses

di

Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, Resume Kehutanan Tahun 2003, diakses di http://www.kalteng.go.id/indo/Kehutanan2003.htm 18

Kertas Kerja No. 2/AH‐2/04/2008 ELSDA Institute   

Page 9 

  2.5. Mengapa Perlu Pengelolaan Hutan Terpadu? Seperti yang dijelaskan di atas, sebagian besar kondisi geografis Kalimantan Tengah terdiri dari hutan. Namun, dalam kurun waktu 2001 hingga 2007 terjadi deforestasi besar-besaran di wilayah Kalimantan Tengah. Menurut penelitian yang dilakukan ELSDA Institute, dalam kurun waktu 6 tahun terjadi deforestasi 780.200,3 ha. Wilayah deforestasi yang paling parah terjadi di daerah luar konsesi yakni sebesar 534.893,1 ha. Praktek penebangan di luar konsesi mengakibatkan kerugian negara yang besar. Pemerintah pusat dan daerah kehilangan pendapatan dari DR PSDH akibat praktek illegal logging. Deforestasi di Kalimantan Tengah 2001-2007 LOKASI DEFORESTASI Total Dalam Konsesi HPH Dalam Konsesi HTI Luar Konsesi

LUAS (ha) PROS (%) 780.200,3 100 122.579,1 15.71 122.728,0 15.73 534.893,1 68.55

Sumber: ELSDA Institute, 2008

Untuk mengetahui siapa saja yang menampung kayu illegal logging sebenarnya dapat dilakukan dengan instrumen pengelolaan hutan terpadu. Instrumen pengelolaan hutan terpadu bertujuan untuk memetakan kondisi hutan, profil perusahaan kehutanan dan produksi kayu tiap tahun yang diambil dari Kalimantan Tengah. Dengan adanya pemetaan tersebut, kita dapat mengetahui kondisi pengelolaan hutan di Kalimantan Tengah. Pemetaan kondisi hutan digunakan untuk mengetahui kualitas hutan secara riil. Pemetaan ini dilakukan dengan menggunakan Geographic Information System (GIS). Luasan hutan yang terkini dapat diketahui dengan GIS. Lokasi deforestasi dan perusahaan kehutanan yang tidak melakukan pengelolaan hutan lestari juga bisa dianalisis dengan GIS. Para pihak yang bertanggung jawab atas setiap kerusakan hutan dapat dilihat dari analisis GIS. Setelah mengetahui kondisi hutan di lapangan, langkah selanjutnya melakukan pembuatan profil perusahaan kehutanan. Pembuatan profil ini penting dalam rangka menertibkan pasokan kayu illegal logging. Salah satu penyebab terjadinya illegal logging yakni ketimpangan pasokan dan permintaan kayu. Untuk itulah, perusahaan / industri kehutanan yang tidak mempunyai pasokan kayu yang jelas, izinnya harus dicabut. Penertiban ini sangat penting dalam rangka menyeimbangkan pasokan dan permintaan kayu.

Kertas Kerja No. 2/AH‐2/04/2008 ELSDA Institute   

Page 10 

  3. Implementasi Pengelolaan Hutan Terpadu di Kalimantan Tengah Dalam rangka mendukung pengelolaan hutan terpadu di Kalimantan Tengah, maka perlu dibentuk Kelompok Kerja yang tediri atas: „

Analisis data dan kondisi hutan ƒ Badan Planologi ƒ Dinas Kehutanan Kalteng ƒ Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

„

Monitoring perusahaan kehutanan ƒ Perwakilan BPK di Kalteng ƒ Dinas Kehutanan Kalteng ƒ Dirjen Bina Produksi Kehutanan ƒ LSM

„

„

Audit PNBP dan Pasokan Kayu ƒ

Perwakilan BPK di Kalteng

ƒ

Departemen Kehutanan

ƒ

Dinas Kehutanan

ƒ

LSM

Monitoring perizinan dan kebijakan pengelolaan hutan ƒ Perwakilan BPK di Kalteng ƒ LSM Untuk tahap awal pembentukan Kelompok Kerja Pengelolaan Hutan Terpadu, perlu dilaksanakan

lokakarya dengan melibatkan pihak-pihak yang terkait. Tujuan dilaksanakan lokakarya yakni untuk menyatukan persepsi tentang pentingnya monitoring profil perusahaan kehutanan. Di dalam lokakarya tersebut, masingmasing instansi akan memaparkan tentang peranan dan kinerja mereka dalam Kelompok Kerja Pengelolaan Hutan Terpadu. Di samping itu perlu dijelaskan bahwa pemberantasan illegal logging membutuhkan kerja sama intens, tukar menukar informasi atau data supaya dapat menutupi kelemahan dari masing-masing instansi. Pengungkapan kejahatan kehutanan membutuhkan sarana/prasarana dan teknologi yang memadai. Aparat penegak hukum tidak dapat sendirian dalam mengungkap kasus.

Kertas Kerja No. 2/AH‐2/04/2008 ELSDA Institute   

Page 11 

  3.1. Memetakan Data dan Kondisi Hutan di Kalteng  Di dalam pemetaan data dan kondisi hutan di Kalteng ada tiga kegiatan yang dilakukan. Pertama, digitasi tutupan lahan. Dalam hal sistem informasi data hutan, sepertinya Indonesia kurang akurat dalam menginventarisasi. Ada banyak versi data yang terkait tentang hutan Indonesia. Departemen Kehutanan menganut faham bahwa data hutan yang benar adalah data hutan yang ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan. Padahal data hutan yang dikeluarkan Departemen Kehutanan tidak update dan tidak mengikuti perkembangan waktu. Untuk itulah digitasi tutupan lahan sangat penting untuk mengetahui perkembangan hutan secara riil. Digitasi lahan harus dilakukan secara per periodik misalnya tiap 3 bulan atau 6 bulan. Data hasil digitasi harus dipublikasikan kepada masyarakat supaya masyarakat bisa tahu tentang kondisi hutan yang dimilikinya. Berdasarkan data GIS tutupan lahan yang diolah ELSDA Institute, wilayah hutan yang riil tahun 2007 jauh berbeda dengan peta RTRWP Kalimantan Tengah Tahun 1999.

Gambar 4.2. Peta Deforestasi Kalimantan Tengah 2001‐2007 

Kedua, analisis deforestasi. Analisis deforestasi sangat penting untuk mengetahui sejauh mana, pemerintah dan perusahaan dalam mengelola hutan. Analisis ini membantu mendeteksi perusahaan yang over eksploitasi dalam menebang hutan dan mengetahui terjadinya illegal logging di Kawasan Konservasi. Indikator terjadinya deforestasi dapat menjadi petunjuk kepada penegak hukum untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kepada perusahaan yang bersangkutan. Dephut juga Kertas Kerja No. 2/AH‐2/04/2008 ELSDA Institute   

Page 12 

  harus menerapkan sanksi administrasi bila melanggar ketentuan Peraturan Menteri Kehutanan. Dijatuhkannnya sanksi administrasi tidak menutup kemungkinan dilanjutkannya proses pidana karena telah merusak lingkungan. Analisis deforestasi juga dapat dapat digunakan mengetahui ada atau tidaknya kerusakan hutan secara dini di kawasan konservasi. Berdasarkan data GIS, Kabupaten di Kalimantan Tengah yang mengalami banyak deforestasi yakni Kabupaten Barito Utara. Tingginya tingkat deforestasi menunjukkan bahwa pemerintah dan perusahaan tidak melakukan pengelolaan hutan secara lestari. Ketiga, analisis jatah tebang lestari. Analisis untuk mengetahui ketaatan perusahaan dalam menerapkan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (bagi perusahan IUPHHK Hutan Alam). Indikator ini berguna dalam mengukur dan menganalisis keberlanjutan hutan di Kalimantan Tengah. Dengan indikator ini, maka kita dapat menilai apakah Rencana Kerja Tahunan (RKT) yang diajukan perusahaan tidak over eksploitasi. Realisasi hasil penebangan juga perlu dibandingkan indikator jatah tebang lestari. 3.2. Membuat Profil Perusahaan Kehutanan  Profil perusahaan kehutanan sangat penting untuk mendukung penerapan instrumen anti pencucian uang. Penyebab minimnya hasil analisis transaksi keuangan mencurigakan yang dilakukan PPATK dan perbankan terkait dengan kasus illegal logging, karena PPATK belum memiliki profil perusahaan kehutanan. Dengan tidak adanya data profil perusahaan yang komprehensif, maka akan menyulitkan PPATK untuk menganalisis transaksi dari perusahaan kehutanan apakah merupakan transaksi yang normal atau mencurigakan. Di samping mempermudah PPATK untuk analisis transaksi mencurigakan, profil tersebut juga dapat diberikan kepada bank-bank maupun Penyedia Jasa Keuangan lainnya untuk menerapkan prinsip kehati-hatian. Profil perusahaan kehutanan akan menjadi acuan terkait transaksi keuangan yang normal. Dalam praktek illegal logging, sistem keuangan merupakan media vital kejahatan pencucian uang. Sistem keuangan juga memungkinkan bandar kayu mentransfer dananya untuk menyuap pegawai kehutanan, aparat militer dan polisi, membayar perusahaan jasa angkutan, serta melakukan transaksi pembayaran dengan pembeli kayu di dalam maupun luar negeri. Bank dan Penyedia Jasa Keuangan tidak hanya berperan sebagai perantara keuangan untuk transaksi kehutanan yang legal, tapi juga dapat terlibat sebagai perantara transaksi kehutanan yang ilegal. Jika Penyedia Jasa Keuangan mendeteksi transaksi di luar normal, maka mereka harus melaporkan ke PPATK. PPATK akan melakukan analisis perihal dugaan terjadinya pencucian uang. Kertas Kerja No. 2/AH‐2/04/2008 ELSDA Institute   

Page 13 

  Profil perusahaan kehutanan yang perlu dibuat meliputi: „

Pemilik

„

Perizinan

„

Aset dan Modal

„

Kapasitas Produksi

„

Analisis Arus Uang

„

Analisis PNBP

„

Track Record dalam Kejahatan Profil perusahaan kayu dapat dilihat dari kapasitas terpasang industrinya. Contoh dari redflags

yang dapat digunakan untuk perusahaan HPH dan HTI adalah:19 „

Rasio jumlah pendapatan (omzet) dengan rencana produksi kayu tahunan atau RKT

„

Rasio jumlah pembayaran DR dan PSDH dengan RKT

„

Frekuensi dan nilai transaksi Sedangkan contoh redflags untuk perusahaan industri kayu (sawmill, plywood, dan pulp) adalah: 20

„

Rasio jumlah pendapatan (omzet) dengan kapasitas terpasang

„

Rasio jumlah pendapatan (omzet) dengan kebutuhan kayu sesuai RPBBI

„

Rasio jumlah pembayaran DR dan PSDH dengan kebutuhan kayu sesuai RPBBI

„

Frekuensi dan nilai transaksi

3.3. Analisis Data PNBP dengan Produksi Kayu  Seperti yang dipaparkan bagian 2.3 data jumlah kayu bulat yang diproduksi di Kalimantan Tengah ada banyak versi. Data yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan sangat jauh berbeda dengan data dari Dinas Kehutanan Kalimantan Tengah. Jika memang telah terjadi perbedaan data kayu bulat, tentu saja ada pihak-pihak yang membantu penggelapan DR-PSDH. Bisa saja, perusahaan yang melakukan manipulasi pembayaran DR-PSDH dan dibantu oleh oknum pemerintah. BPK dapat melakukan audit PNBP. Mereka dapat membandingkan dan melakukan verifikasi data dari dua instansi tersebut. Jika memang ada kesengajaan dari pejabat pemerintah dalam manipulasi DR-PSDH, BPK dapat menyerahkan hasil investigasinya ke KPK atau Kepolisian.

                                                             19 20

Bambang Setiono, “Analisis Kasus Illegal logging di Kabupaten Katingan….”, hlm 33 Ibid

Kertas Kerja No. 2/AH‐2/04/2008 ELSDA Institute   

Page 14 

  Di Kalimantan Tengah, total Penerimaan negara dari sektor kehutanan untuk tahun 20001 (periode Januari 2001 s/d Nopember 2001), menurut data yang ada pada kantor Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah berdasarkan data penerbitan dokumen, PSDH

sebesar

Rp.

81.166.726.203,23 dan DR sebesar US$. 19.757.298,29. Jika kita menggunakan asumsi bahwa PSDH yang dibayarkan untuk tiap meter kubik kayu sebesar Rp 64.000,-(Harga kayu meranti untuk tahun 2001 = Rp 640.000/m3), maka seharusnya jumlah kayu bulat yang ditebang sejumlah 1.268.230,097 m3. Padahal jumlah kayu bulat menurut data Dinas Kehutanan untuk tahun 2001 sebesar 1.773.714,96 m3 dan menurut data Dephut sebesar 593.449,00 m3. Sedangkan untuk tahun 2002 (periode Januari 2002 s/d Desember 2002), menurut data yang ada pada kantor Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah berdasarkan data penerbitan dokumen, jumlah PSDH sebesar Rp. 106.438.402.625,52 dan DR sebesar US$. 14.816.651,01,- dan Rp. 11.159.290.677,-. Pada tahun 2002, harga kayu meranti untuk semester I sebesar Rp 640.000 dan Semester II sebesar Rp 500.000, maka rata-rata harga kayu meranti Rp 570.000,- per meter kubik. Jika kita menggunakan asumsi PSDH yang dibayarkan untuk tiap meter kubik sebesar Rp 57.000, maka seharusnya jumlah kayu bulat yang ditebang sejumlah 1.867.340,39 m3. Menurut data Dinas Kehutanan, jumlah produksi kayu 2002 sebesar 1.908.766,7 m3, sedangkan data Departemen Kehutanan sejumlah 602.676,00 m3. Untuk tahun 2003 (periode Januari 2003 s/d Desember 2003), menurut data yang ada pada kantor Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah berdasarkan data penerbitan dokumen, PSDH sebesar Rp.103.355.218.978,88 dan DR sebesar US$. 28.214.771,12,- dan Rp.34.113.422.346,40,-. Untuk tahun 2002, PSDH yang dibayarkan untuk kayu meranti sebesar Rp 50.000,-. Karena itu kayu yang ditebang seharusnya berjumlah 2.067.104,38 m3. Padahal menurut Dinas Kehutanan, produksi kayu untuk tahun 2003 berjumlah 2.231.141,39 m3 dan Departemen Kehutanan sebesar 1.594.811 m3. 3.4. Analisis Perizinan Kehutanan  „

P ROSEDURAL P ERIZINAN Analisis prosedur perizinan dapat dilihat dari langkah-langkah pengurusan izin.

Pemberian izin kehutanan yang terlampau cepat dan tidak melewati prosedur yang benar dapat diindikasikan bahwa dalam proses izin tersebut diindikasikan terjadinya korupsi. Di dalam konsep hukum administrasi, suatu izin yang dikeluarkan dari prosedur yang salah, tetapi diberikan oleh pejabat yang berwenang, maka izin itu tetap sah. Izin tersebut tidak bisa digugat oleh individu di dalam Peradilan Tata Usaha Negara, karena tidak ada individu yang dirugikan secara langsung akibat keluarnya izin mengingat hutan merupakan kawasan milik negara. Kertas Kerja No. 2/AH‐2/04/2008 ELSDA Institute   

Page 15 

  Salah satu cara mempermasalahkan izin tersebut yakni dengan menggunakan instrumen anti korupsi. Metode ini diterapkan terhadap Waskito (Mantan Dirjen PHP Dephutbun) dalam kasus sejuta hektar kelapa sawit.

Dalam kasus tersebut, Waskito selaku Dirjen PHP

menerbitkan 10 Izin Prinsip Izin Pemanfaatan Kayu yang tidak penerbitan persetujuan prinsip, sesuai yang tercantum dalam

memenuhi ketentuan

Surat Keputusan Menteri

Kehutanan dan Perkebunan No. 538/Kpts-II/1999, tanggal 12 Juli 1999 tentang Izin Pemanfaatan Kayu karena: ƒ

Yang mengajukan permohonan kepada Dirjen PHP bukan Ka Kanwil Kehutanan Kaltim tetapi berdasarkan permohonan langsung dari masing-masing perusahaan SDG.

ƒ

Belum ada Surat Persetujuan Prinsip Pelepasan Kawasan Hutan dari Menhutbun kecuali pada areal KBNK yang tidak dibebani hak, tidak diperlukan surat pelepasan kawasan dari Menhutbun.

ƒ

Tidak ada feasibility study atau studi kelayakan

ƒ

Tidak ada bukti tata batas areal yang dilepaskan atau areal yang dicadangkan

ƒ

Belum dilakukan Pemeriksaan areal yang dimohon untuk mengetahui keadaan fisik lapangan

ƒ

Belum dilakukan pemeriksaan timber cruising untuk mengetahui potensi tegakan.

ƒ

Belum dilakukan pemeriksaan kemampuan teknis dan manajemen perusahaan pemohon IPK serta rencana dan realisasi pembangunan non kehutanan pada areal yang dimohon IPK Menurut Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 538 Tahun 1999,

Waskito memang mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan IPK.

Namun, yang

dipermasalahkan dari keluarnya PK tersebut yakni prosedur peizinannya bermasalah. Karena prosedur menyalahi aturan dan merugikan keuangan negara, maka perbuatan Waskito merupakan tindak pidana korupsi.

Kertas Kerja No. 2/AH‐2/04/2008 ELSDA Institute   

Page 16 

  „

S UBSTANSI P ERIZINAN Analisis substansi perizinan dapat dilakukan dengan uji kepatuhan terhadap

persyaratan perizinan terhadap seluruh perusahaan kehutanan, perkebunan, dan pertambangan yang berlokasi di kawasan hutan. Analisis ini dapat dilihat dalam kasus illegal logging di Riau. Ketentuan pasal 3 ayat (4) Kepmenhut Nomor 10.1/KptsII/2000 menyatakan bahwa kriteria hutan yang dapat diberikan HTI yakni penutupan vegetasi berupa non hutan ( semak belukar, padang alang-alang, dan tanah kosong) atau areal bekas tebangan yang kondisinya rusak dengan potensi kayu bulat berdiameter 10 cm untuk semua jenis kayu dengan kubikasi tidak lebih dari 5 m3 per hektar. Jika pejabat pemerintah mengeluarkan izin HTI di kawasan hutan yang masih mempunyai potensi di atas 5 m3, maka izin tersebut bermasalah dan diindikasikan telah melakukan korupsi. Di daerah Kalimantan Tengah, perusahaan pertambangan sering melakukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. Ada beberapa perusahaan pertambangan yang berusaha mengajukan permohonan izin di wilayah hutan lindung. Padahal menurut Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 2004, hanya ada 13 perusahaan yang diberikan kompensasi untuk melakukan pertambangan terbuka di hutan lindung. Tidak ada perusahaan di Kalimantan Tengah yang ada di dalam daftar Keppres No. 41 Tahun 2004. Tabel Perusahaan Pertambangan yang Mendapat Izin di Hutan Lindung No .

Persetujuan Pemerintah

Tanggal Penandatang anan

Nama Perusahaan

Bahan Galian

Tahap Kegiata n

Lokasi Provinsi

1

82/EK/KEP/4/196 7 7 April 1967 B392/Pres/12/1991 26 Desember 1991

7 April 1967

Freeport Indonesia Comp. Freeport Indonesia Comp.

Tembag a, Emas, dmp Tembag a, Emas, dmp

Produksi

Papua

Mimika

Eksplora si

Papua

B-121/Pres/9/71 22 September 1971 B745/Pres/12/1995 29 Desember 1995

4 Oktober 1971

Karimun Granit

Granit

Produksi

Kepulau an Riau

Mimika, Paniai, Jaya Wijaya, Puncak Jaya Karimun

15 Januari 1996

INCO Tbk.

Nikel

produksi

Sulsel, Sulteng, Sultra

2 3

30 Desember 1991

Kertas Kerja No. 2/AH‐2/04/2008 ELSDA Institute   

Kebupaten /Kota

Luwu Utara, Kolaka, Kendari, Morowari

Luas Wilaya h Perizi nan (Ha) 10.000 202.95 0

2.761 218.52 8

Page 17 

  4

097B/Ji.292/U/199 0 5 Oktober 1990

5 Oktober 1990

Indominco Mandiri

Batubar a

Produksi

Kaltim

5

1053.K/20.13/MP E/1997 9 Juli 1997 B43/Pres/11/1086 6 November 1986

9 Juli 1997

Aneka Tambang Tbk (A) Natarang Mining

Nikel

Produksi

Maluku Utara

Emas dmp

Konstruk si

Lampun g

Produksi , Konstruk si, Eksplora si Eksplora si

Maluku Utara

6

2 Desember 1986

7

B.143/Pres/3/1997 17 Maret 1997

28 April 1997

Nusa Halmahera Minerals

Emas dmp

8

B-53/Pres/I/1998 19 Januari 1998

19 Pebruari 1998

Pelsart Tambang Kencana

Emas dmp

9

850/A.I/1997 20 November 1997 B-53/Pres/I/1998 19 januari 1998

20 November 1997

Interex Sacra Raya

Batubar a

19 Pebruari 1998

Weda Nickel

Nikel

11

B-53/Pres/I/1998 19 januari 1998

19 Pebruari 1998

Gag Nikel

Nikel

12

B-53/Pres/I/1998 19 januari 1998

19 Pebruari 1998

Sorikmas Mining

Emas dmp

13

1170/20.01/UPG/1 999 7 September 1999

7 September 1999

Aneka Tambang Tbk (B)

Nikel

10

Bay

Studi Kelayak an eksplora si (Detail) Eksplora si (Detail) Eksplora so (Detail) Eksplora si (detail)

Kutai Timur, Kota Bontang Halmahera Tengah

25.121

Lampung Selatan, Tanggamu s, Lampung Barat Halmahera Utara, Halmahera Barat

12.790

Kotabaru, Banjar, Tanah Laut Pasir, Tabalong

201.00 0

halmahera tengah

76.280

Papua

Sorong

13.136

Sumut

Mandailing , Natal

66.200

Sulawesi Tenggar a

Kendari

14.570

Kalsel

Kaltim dan Kalsel Maluku Utara

39.040

29.622

15.650

Sumber: Lampiran Keppres No. 41 Tahun 2004 Menurut data analisis GIS yang dilakukan ELSDA Institute, perusahaan pertambangan yang mendapat izin pertambangan di hutan lindung yakni PT. Pasific Masao Mineral dengan SK No. S 267/Menhut-VII/PW/06 dari Departemen Kehutanan. Perusahaan tersebut bergerak di bidang pertambangan emas. Untuk itulah harus dilakukan pemeriksaan, apakah perusahaan melakukan tambang terbuka atau tidak. Jika melakukan tambang terbuka, maka perusahaan dan pejabat yang mengeluarkan izin telah melanggar ketentuan perundang-undangan.

Kertas Kerja No. 2/AH‐2/04/2008 ELSDA Institute   

Page 18 

 

GAMBAR 4.3.

Sedangkan PT Borneo Prima dan PT Maruwai Coal masih dalam tahap pengajuan permohonan izin pertambangan di hutan lindung. Ketiga perusahaan tidak termasuk daftar perusahaan pertambangan yang mendapat izin di hutan lindung.

4. Kesimpulan dan Saran 4.1. Kesimpulan a. Pengelolaan hutan di Kalimantan Tengah masih belum dilaksanakan secara terpadu. Hal ini dapat dilihat dari simpang siurnya data kehutanan dan kurang transparansinya data tersebut disajikan ke publik. Dengan minimnya integrasi data tersebut, maka tidak ada data valid mengenai jumlah kayu yang diambil dari Kalimantan Tengah. Tentu saja, hal ini akan menyulitkan pendeteksian illegal logging sulit dilakukan. b. Untuk mengetahui siapa saja yang menampung kayu illegal logging sebenarnya dapat dilakukan dengan instrumen pengelolaan hutan terpadu. Instrumen pengelolaan hutan terpadu bertujuan untuk memetakan kondisi hutan, profil perusahaan kehutanan dan produksi kayu tiap tahun yang diambil dari Kalimantan Tengah.

Kertas Kerja No. 2/AH‐2/04/2008 ELSDA Institute   

Page 19 

 

4.2. Saran a. Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah diharapkan menjadi koordinator implementasi pengelolaan hutan terpadu di Kalimantan Tengah. b. Data deforestasi harus disajikan secara berkala minimal satu tahun sekali untuk mengetahui kinerja pemerintah dalam menjaga hutan. c.

Perlu dibentuk sistem informasi data hutan supaya publik dapat mengawasi pengelolaan hutan di Kalimantan Tengah.

Kertas Kerja No. 2/AH‐2/04/2008 ELSDA Institute   

Page 20 

Related Documents


More Documents from ""