Mengejar Harta Kejahatan Kehutanan Pasca Putusan Kasasi Kasus Adelin Lis Oleh: Muhamad Zainal Arifin 1. Latar Belakang Meski agak terlambat, vonis bersalah yang dijatuhkan Mahkamah Agung terhadap Adelin Lis merupakan pertanda baik bagi penegakan hukum kehutanan di Indonesia. Maklum saja, sebelum dinyatakan bersalah, Adelin Lis diputus bebas di Pengadilan Negeri Medan. Putusan PN Medan pada bulan November 2007 merupakan anti klimaks upaya penghukuman pelaku kelas kakap illegal logging. Putusan PN menambah daftar panjang pelaku illegal logging yang diputus bebas. Meski secara normatif putusan kasasi yang dijatuhkan Mahkamah Agung sudah cukup baik, tapi persoalan selanjutnya adalah pelaksanaan eksekusi terhadap putusan tersebut. Putusan Mahkamah Agung memidana Adelin Lis selama 10 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan, serta membayar uang pengganti Rp 119,8 Milyar dan dana reboisasi 2,938 juta Dollar AS susah untuk dilakukan. Dengan kaburnya Adelin Lis, maka proses pemenjaraan dan pengembalian kerugian negara tidak bisa dilakukan dilakukan. Pengembalian kerugian negara susah dilakukan karena sejak awal aparat penegak tidak membekukan aset‐aset Adelin Lis sebagai jaminan. Di samping itu, poin penting lain dari putusan bersalah, yakni penindakan terhadap pelaku lain yang terlibat seperti pejabat daerah dan pusat. Berdasarkan fakta‐fakta hukum, banyak Pejabat Negara Daerah dan Pusat yang bermain dalam kasus Adelin Lis. Praktek illegal logging yang dilakukan Adelin Lis tidak akan berjalan lancar, jika tidak dibantu oleh pejabat pemerintah. Penegak hukum hanya berani membawa tersangka seperti Oscar Sipayung (Direktur Utama PT KNDI), Washington Pane (Direktur
Kertas Kerja No. 4/AH‐2/08/2008 ELSDA Institute
Page 1
Perencanaan dan Produksi PT KNDI), Budi Ismoyo (Kadis Kehutanan Kab Madina periode 2006), dan Sucipto (mantan Kadis Kehutanan Madina periode 2002) ke pengadilan. 2. Kasus Posisi 2.1. Fakta Hukum 1. Bahwa Tersangka Adelin Lis selaku Direktur Keuangan / Umum di PT. Keang Nam Development Indonesia tidak pernah mengeluarkan dana operasional untuk kegiatan sistim Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia ( TPTI ) yang mengakibatkan penebangan pohon kayu hasil hutan dari periode tahun 2000 s/d tahun 2005 tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, antara lain lokasi penebangan berada diluar Blok Tebangan / Petak Tebangan Rencana Karya Tahunan (RKT) yang menimbulkan kerusakan hutan. 2. Bahwa PT. Keang Nam Development Indonesia milik Adelin Lis diduga melakukan penebangan di luar RKT pada periode 2000‐2005. Hal ini dapat dilihat dalam titik‐titik koordinat: a) Tahun 2000 berada pada titik koordinat 000 57’ 22,4” LU dan 990 03’ 26,4” BT, kemudian diploting kedalam Peta Lampiran Rencana Kerja Tahunan (RKT) 2000, diketahui Posisi Titik Koordinat tersebut berada diluar RKT 2000 dalam IUPHHK PT. Keang Nam Development Indonesia, dengan menggunakan alat mesin Chain Saw dan hasil penebangan 12.153 batang atau volume 30.706,02 M³, dengan jenis Meranti, Kapur, Keruing, Damar, Resak, Jelutung dan Kelompok Rimba Campuran. b) Tahun 2001 berada dilokasi Jalan Danau KM 12, berada diluar Rencana Kerja Tahunan (RKT) 2001, dengan menggunakan alat mesin Chain Saw dan hasil penebangan 11.521 batang atau volume 24.497,95 M³, dengan jenis Meranti, Kapur, Keruing, Damar, Resak, Jelutung dan Kelompok Rimba Campuran. c) Tahun 2002 berada pada titik koordinat 000 55’ 06,9” LU dan 990 07’ 09,0” BT, kemudian diploting kedalam Peta Lampiran Rencana Kerja Tahunan (RKT) 2002, diketahui Posisi Titik Koordinat tersebut berada diluar RKT 2002 dalam IUPHHK PT. Keang Nam Development Indonesia, dengan menggunakan alat mesin Chain Saw dan hasil penebangan 24.533 batang atau volume 51,340.73 M³, dengan jenis Meranti, Kapur, Keruing, Damar, Resak, Jelutung dan Kelompok Rimba Campuran.
Kertas Kerja No. 4/AH‐2/08/2008 ELSDA Institute
Page 2
d) Tahun 2003 berada pada titik koordinat 000 54’ 55,6” LU dan 990 06’ 55,4” BT, kemudian diploting kedalam Peta Lampiran Rencana Kerja Tahunan (RKT) 2003, diketahui Posisi Titik Koordinat tersebut berada diluar RKT 2003 dalam IUPHHK PT. Keang Nam Development Indonesia, dengan menggunakan alat mesin Chain Saw dan hasil penebangan 9,027 batang atau volume 20,334.51 M³, dengan jenis Meranti, Kapur, Keruing, Damar, Resak, Jelutung dan Kelompok Rimba Campuran. e) Tahun 2004 berada pada titik koordinat 000 55’ 30,8” LU dan 990 04’ 25,3” BT, kemudian diploting kedalam Peta Lampiran Rencana Kerja Tahunan (RKT) 2004, diketahui Posisi Titik Koordinat tersebut berada diluar RKT 2004 dalam IUPHHK PT. Keang Nam Development Indonesia, dengan menggunakan alat mesin Chain Saw dan hasil penebangan 7,961 batang atau volume 21,250.88 M³, dengan jenis Meranti, Kapur, Keruing, Damar, Resak, Jelutung dan Kelompok Rimba Campuran. f) Tahun 2005 berada pada titik koordinat 000 56’ 50,4” LU dan 990 05’ 21,2” BT dan titik koordinat 000 54’ 06,9” LU dan 990 06’ 43,3” BT, kemudian diploting kedalam Peta Lampiran Rencana Kerja Tahunan (RKT) 2005, diketahui Posisi Titik Koordinat tersebut berada diluar RKT 2005 dan juga berada diluar IUPHHK PT. Keang Nam Development Indonesia, dengan menggunakan alat mesin Chain Saw dan hasil penebangan 12,874 batang atau volume 28.299,85 M³, dengan jenis Meranti, Kapur, Keruing, Damar, Resak, Jelutung dan Kelompok Rimba Campuran. 3. Bahwa Perusahaan PT. Keang Nam Development Indonesia sejak tahun 2000 s/d tahun 2005 ada melakukan pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR), akan tetapi bukan atas kayu bulat yang ditebangnya, melainkan berdasarkan LHP Fiktif. 4. Bahwa berdasarkan Audit Ahli dari BPKP menyatakan kerugian negara: a) Nilai Tegakan kayu yang ditebang di luar RKT
= Rp. 108.911.266.400,00.
b) Provisi Sumber Daya Hutan ( PSDH )
= Rp. 10.891.126.640,00.
= Rp. 119.802.393.040.
= US $ 2.938.556,24.
JUMLAH
dan Dana Reboisasi 2.2. Dakwaan Kertas Kerja No. 4/AH‐2/08/2008 ELSDA Institute
Page 3
Adelin Lis didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan dakwaan No. B‐07/N.2.10/Ft.2/06/2007. Dakwaan JPU tersusun secara kombinasi, yaitu: kombinasi antara dakwaan kumulatif dan dakwaan subsidair. Dalam kondisi dakwaan kombinasi seperti ini, berarti JPU wajib untuk membuktikan ke‐2 bentuk dakwaan tersebut, baik kumulatif maupun dakwaan subsidair. Pada dakwaan kesatu primair, JPU mendakwa terdakwa dengan ancaman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke‐1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Jaksa menyatakan, Adelin bersama dengan Direktur Utama PT KNDI Oscar Sipayung dan Direktur Operasional PT KNDI Washington Pane merambah hutan di kawasan hutan Sikuang‐ Sungai Natal Kab Madina yang berada di luar Rencana Kerja Tahunan (RKT) yang telah ditetapkan sejak 2000–2005. Akibat penebangan kayu dan tunggakan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) serta tunggakan Dana Reboisasi (DR) negara dirugikan sebesar Rp119.802.399.040 dan USD2.938.556,24. Sedangkan pada dakwaan kedua primair, JPU mendakwa Terdakwa dengan ancaman pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50 ayat 2 Jo Pasal 78 ayat (1) dan ayat (14) UU No. 41 Tahun 1999 Jo UU No. 19 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Penebangan hutan yang dilakukan PT KNDI menurut jaksa, juga tidak dibarengi kegiatan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dalam penebangan pohon kayu hasil hutan dari periode 2000–2005 mengakibatkan kerusakan hutan yang parah. 2.3. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan tuntutan dengan No. Reg Perkara: PDS‐ 03/N.2.10/Ft.1/03/2007 tanggal 22 Oktober 2007, agar Majelis Hakim PN Medan yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan: a) Menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama‐sama dan berlanjut sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Kertas Kerja No. 4/AH‐2/08/2008 ELSDA Institute
Page 4
UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke‐1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP dan bersalah melakukan tindak pidana kehutanan secara bersama‐sama dan berlanjut sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat (2) Jo Pasal 78 ayat (1), ayat (14) UU No. 41 Tahun 1999 Jo. UU No. 19 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP sebagaimana dalam Dakwaan Kesatu Primair dan Dakwaan Kedua Primair. b) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara 10 tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap ditahan dan denda Rp. 1.000.000.000,‐ (satu milyar rupiah) subs. 6 (enam) bulan dan membayar uang pengganti secara tanggung renteng dengan Ir. Oscar A. Sipayung dan Ir. Washington Pane, Msc, Ir. Budi Ismoyo dan Ir. Sucipto L. Tobing sebesar Rp. 119.802.393.040,‐ dan US $ 2.938.556,24 dengan ketentuan apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terdakwa tidak dapat melunasi uang pengganti tersebut maka hartanya disita dan apabila hartanya tidak cukup maka diganti dengan hukuman penjara selama 5 (lima) tahun. c) Menetapkan supaya terdakwa dibebani biaya perkara sebesar Rp.5.000 (lima ribu rupiah). 2.4. Putusan Pengadilan Tingkat Pertama Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan menilai penebangan hutan yang dilakukan PT KNDI hanya merupakan kelalaian administrasi, bukan pidana. Soal pidana korupsi, menurut majelis hakim, tidak terbukti adanya penebangan hutan di luar areal RKT (rencana kerja tahunan). Dengan begitu, dakwaan penunggakan provisi sumber daya hutan dan dana reboisasi tidak terbukti pula. Dalam amar putusannya, majelis hakim menilai bukti yang diajukan jaksa kurang lengkap. Tidak ada foto atau video yang membuktikan kerusakan hutan yang dituduhkan. Saksi ahli dari Institut Pertanian Bogor yang diajukan jaksa, yakni Basuki Wasis dan Darsono, pun dinilai tidak kuat. Bagaimana saksi bisa membuktikan kerusakan hutan hanya dengan penelitian lapangan selama satu hari, yang seharusnya dilakukan selama dua bulan, untuk area seluas 58 ribu hektare milik keluarga Adelin Lis? Karena itu, hakim pun meloloskan Adelin dari jerat pasal perusakan hutan.
Kertas Kerja No. 4/AH‐2/08/2008 ELSDA Institute
Page 5
Walaupun mengakui PT KNDI tidak menerapkan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), hakim menyerahkan sanksinya kepada menteri kehutanan sebagai pemberi dan pencabut izin HPH. Dengan kata lain, majelis sepakat bahwa PT KNDI hanya dikenai sanksi administratif atas perusakan maupun pelanggaran hukum lain terhadap 58 ribu ha hutan di Kecamatan Muara Batang Gadis, Kabupaten Madina. Dalam putusan, majelis juga menyatakan bahwa izin HPH PT KNDI masih sah hingga sekarang. Mereka berpegang pada surat sakti Menhut M.S. Kaban kepada Kapolda Sumatera Utara bertanggal 21 April 2006 dan Kapolri Jenderal Sutanto bertanggal 7 Juni 2006. Inti surat Menhut ke Kapoldasu yang sempat menjadi polemik itu, antara lain, menyebutkan, PT Mujur Timber, PT Inanta Timber, dan PT Keangnam Development merupakan perusahaan swasta PMDN yang memiliki IUPHHK/HPH. Kaban juga minta Kapoldasu memproses kasus tersebut secara objektif. Kapoldasu juga diminta dapat membedakan pelanggaran administratif dan pelanggaran pidana. Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2240/Pid.B/2007/PN.MDN berbunyi: 1. Menyatakan terdakwa Adelin Lis tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya baik dalam dakwaan kesatu dan dalam dakwaan kedua; 2. Membebaskan terdakwa Adelin Lis oleh karena itu dari segala dakwaan; 3. Memulihkan hak terdakwa, dalam kedudukan, kemampuan, harkat serta martabatnya semula; 4. Memerintahkan agar terdakwa dikeluarkan dari dalam tahanan; 5. Menyatakan barang bukti berupa no. Urut 1 sampai dengan 16 digunakan dalam berkas perkara Ir. Budi Ismoyo; 6. Membebankan biaya perkara kepada negara. 2.5. Putusan Kasasi Vonis kasasi terhadap Adelin Lis dibacakan dalam sidang pada 31 Juli lalu oleh Majelis hakim agung yang terdiri Bagir Manan (Ketua Majelis) dengan anggota, Djoko Sarwoko, Artidjo Alkostar, Harifin A Tumpa Kertas Kerja No. 4/AH‐2/08/2008 ELSDA Institute
Page 6
dan Mansyur Kartayasa. Di dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Medan (yang memvonis bebas Adelin Lis,‐red) telah salah menerapkan hukum. Di antaranya, terkait keterangan saksi dan ahli. Djoko mengatakan ada sekitar 23 saksi maupun ahli yang keterangannya tak menjadi dasar pertimbangan majelis hakim tingkat pertama itu. Saksi maupun ahli tersebut terdiri dari berbagai bidang. Mereka adalah dari pihak departemen kehutanan, kepolisian dan ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Majelis hakim PN justru mendengarkan keterangan saksi yang sudah mencabut keterangannya, sedangkan keterangan saksi dan ahli yang penting tak dipertimbangkan. Vonis MA memutuskan terdakwa Adelin Lis bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan menjatuhkan pidana penjara 10 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Adelin juga harus membayar uang pengganti Rp 119.802.393.040 dan US$ 2.938.556,24. Jika dalam waktu 1 bulan uang tidak dibayar, maka Adelin dikenai hukuman 5 tahun penjara. Dengan putusan ini, maka MA membatalkan putusan Pengadilan Negeri Medan No 2240 Bid B tahun 2007 yang menjatuhkan vonis bebas pad Adelin. 3. Langkah Ke Depan 3.1. Penggunaan UU Korupsi dalam Kasus Kehutanan Dengan adanya putusan Mahkamah Agung yang memutuskan Adelin Lis bersalah, maka ke depan diharapkan aparat penegak hukum untuk lebih percaya diri dalam menggunakan UU Anti Korupsi terhadap kasus kehutanan. Aparat penegak hukum tidak perlu lagi berdebat bahwa kejahatan kehutanan lebih terkait dengan pelanggaran administrasi daripada korupsi. Sebelum putusan kasasi Adelin Lis, Kejaksaan Agung sempat menerbitkan Surat Edaran tentang UU Kehutanan daripada UU Anti Korupsi merupakan langkah mundur penegakan hukum. Penerbitan Surat Edaran akibat adanya kekalahan kejaksaan dalam putusan PN Medan Kasus Adelin Lis dan Putusan DL Sitorus tentang penggunaan UU Kehutanan dalam memeriksa kasus kehutanan. Dengan adanya putusan kasasi kasus Adelin Lis, seharusnya Surat Edaran tersebut perlu dicabut.
Kertas Kerja No. 4/AH‐2/08/2008 ELSDA Institute
Page 7
Ada banyak keuntungan dalam penerapan UU Anti Korupsi dibandingkan UU Kehutanan dalam mengungkap kasus kehutanan. Pengungkapan kasus kehutanan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi contoh baik tentang penggunaan anti korupsi dalam menelusuri kejahatan kehutanan. Pada awal tahun 2007, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggebrak penegakan hukum di Indonesia dengan membawa Kasus “Sejuta Hektar Kelapa Sawit” di Kalimantan Timur ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana korupsi tersebut melibatkan banyak pihak seperti Mantan Gubernur, Mantan Kakanwil Departemen Kehutanan, Mantan Kepala Dinas Kehutanan, Mantan Dirjen PHP Departemen Kehutanan dan pengusaha kayu. Kasus tersebut menghasilkan happy ending karena semua terdakwa dihukum dan kerugian negara berhasil dikembalikan. Kerugian negara yang dikembalikan dari kasus tersebut merupakan rekor tertinggi dibandingkan kasus‐kasus korupsi lainnya. Martias dipaksa membayar kerugian negara sebesar Rp 346 milliar. Masyarakat berharap pengembalian kerugian negara akibat kerusakan hutan tidak hanya berhenti pada Kasus “Sejuta Hektar Sawit”, tetapi juga menular ke kasus‐kasus lainnya mengingat kondisi hutan sudah rusak parah. Di samping itu, aparat hukum lainnya seperti kepolisian dan kejaksaan meniru langkah KPK dalam investigasi mengungkap kasus kehutanan. Mereka tidak perlu lagi berkutat pada persoalan apakah kejahatan kehutanan hanya dianggap pelanggaran administrasi, tetapi harus lebih mengembangkan pada prosedur pencarian bukti yang menggunakan teknologi dan mengejar harta hasil kejahatan kehutanan. Untuk lebih mempermudah pengembalian kerugian negara, diharapkan ke depan aparat penegak hukum perlu melakukan pembekuan dan penyitaan terhadap harta kekayaan pelaku kejahatan kehutanan sampai mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan adanya pembekuan aset pelaku yang diduga berasal dari kejahatan, maka proses eksekusi pengembalian kerugian negara akan lebih. Kasus yang menimpa Martias menjadi contoh yang baik dalam pembekuan aset. Martias dengan suka rela mengembalikan kerugian negara sebesar Rp 346 milliar, karena sebagian asetnya dibekukan oleh KPK. 3.2. Mengungkap Keterlibatan Pejabat dalam Kasus Adelin Lis Di dalam kasus Adelin Lis, modus operandi kejahatan kehutanan terletak pada tahapan penebangan dan pengangkutan. Untuk mempermulus kejahatan yang dilakukan, perusahaan yang dimiliki Adelin Lis harus melakukan penyuapan terhadap pejabat‐pejabat yang berwenang melakukan pengawasan. Kertas Kerja No. 4/AH‐2/08/2008 ELSDA Institute
Page 8
3.2.1. Ijin Peralatan Sebelum melakukan penebangan, PT KNDI harus mengajukan pemasukan ijin peralatan di kawasan hutan. Ijin Peralatan diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 428/Kpts‐II/2003 jo. SK.401/Menhut‐II/2004. Pejabat‐pejabat yang terlibat dalam ijin peralatan yakni: •
Direktur Jenderal c.q. Direktur yang bertanggung jawab di Departemen Kehutanan
•
Kepala Dinas Provinsi
•
Kepala Dinas Kabupaten/Kota. 3.2.2. Pembuatan Laporan Hasil Cruising
Pemegang IUPHHK yang akan melakukan penebangan mempunyai kewajiban melaksanakan timber cruising. Pemegang IUPHHK mempunyai kewajiban membuat Laporan Hasil Cruising (LHC) dan rekapitulasi LHC Tebangan Tahunan dari hasil pelaksanaan timber cruising pada hutan alam tersebut. Dan Laporan harus ditandatangani oleh pimpinan perusahaan. Prosedur LHC diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan 126/KPTS‐II/2003 jis. Nomor 334/Kpts‐II/2003; Nomor279/Menhut‐II/2004; Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut‐II/2005 yang mengatur tentang Penatausahaan Hasil Hutan. Pejabat yang terlibat yakni Pejabat Pengesah RLHC (Bupati atau Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten) 3.2.3. Pembuatan RKT Berdasarkan Rekapitulasi LHC Tebangan Tahunan pemegang IUPHHK Hutan Alam mengusulkan Rencana Kerja Tahunan (RKT) kepada Kepala Dinas Provinsi untuk mendapatkan penilaian dan pengesahan. Berdasarkan RKT yang telah disahkan, pemegang IUPHHK dapat melakukan penebangan atas hasil hutan kayu. Pejabat yang terlibat dalam tahapan RKT yakni Kepala Dinas Kehutanan Provinsi. 3.2.4. Penerbitan SPP DR‐PSDH Pengenaan DR‐PSDH atas hasil hutan kayu pada hutan alam dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) didasarkan pada Rekapitulasi Laporan Hasil Cruising (LHC) Tebangan Tahunan hutan alam yang disahkan oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditugaskan. Sebelum tahun 2007 pemegang ijin di bidang kehutanan dalam memenuhi kewajibannya membayar PSDH dan DR mengacu Kertas Kerja No. 4/AH‐2/08/2008 ELSDA Institute
Page 9
pada Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 124/KPTS‐II/2003 Jis. No.445/ KPTS‐II/2003, Nomor 450/Menhut‐II/2005, No.79/ Menhut‐II/2006 dan Nomor Kepmenhut 128/KPTS‐II/2003 Jis. No.446/KPTS‐II/2003, No. 451/Menhut‐II/2005, No.80/ Menhut‐II/2006. Pejabat Penagih wajib menerbitkan Surat Perintah Pembayaran Provisi DR (SPP‐DR) sebagai dasar pembayaran DR yang Terhutang. Pengangkatan Pejabat Penagih ditetapkan oleh Kepala Dinas Kabupaten/ Kota. Dalam hal berdasarkan LHP yang telah disahkan oleh Pejabat Pengesah LHP (P2LHP) ternyata terdapat kelebihan volume dibandingkan dengan usulan LHP, maka Pejabat Penagih menerbitkan SPP‐DR Tambahan. Dalam fase ini pejabat yang terlibat: •
Pejabat Penagih DR PSDH
•
P2LHP
•
Kepala Dinas Kabupaten
3.2.5. Pembuatan Laporan Hasil Penebangan Laporan Hasil Penebangan Kayu Bulat (LHP‐KB) adalah dokumen yang berisi nomor batang, jenis, panjang, diameter dan volume kayu bulat dari hasil penebangan/pemanenan pohon pada petak/blok yang ditetapkan, pengisiannya berasal dari buku ukur dan dibuat di TPK. LHP‐KB berikut rekapitulasinya dibuat dua kali dalam setiap bulan, yaitu pada setiap pertengahan dan akhir bulan dan dilakukan di TPK hutan dengan memasukkan data yang berasal dari Buku Ukur. Lokasi tempat pembuatan LHP‐KB di TPK hutan, ditetapkan dengan Keputusan Kepala Dinas Kabupaten/Kota setempat berdasarkan usulan pemegang izin yang bersangkutan. Setiap pertengahan dan akhir bulan, Pembuat LHP‐KB wajib mengajukan permohonan pengesahan usulan LHP‐KB kepada P2LHP dengan melampirkan bukti pembayaran PSDH dan atau DR atas kayu bulat tersebut dengan tembusan Kepala Dinas Kabupaten/Kota. Apabila hasil pemeriksaan fisik kayu bulat telah dinyatakan benar, maka LHP‐KB disahkan oleh P2LHP. Pejabat yang terlibat dalam fase ini: •
Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten
Kertas Kerja No. 4/AH‐2/08/2008 ELSDA Institute
Page 10
•
P2LHP
3.2.6. Pembuatan SKSHH Dokumen SKSHH diperlukan untuk setiap pengangkutan kayu bulat dari Tempat Penimbunan Kayu (TPK) hutan dalam areal IUPHHK ke tempat lain di luar areal ijin. Dalam setiap penerbitan SKSHH, pemohon mengajukan permohonan penerbitan SKSHH kepada P2SKSHH dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota. Kayu Bulat yang akan diangkut harus berasal dari LHP yang telah disahkan dan telah dibayar lunas PSDH dan DR‐nya. Permohonan penerbitan SKSHH antara lain harus dilampiri: persediaan/stock Kayu Bulat pada saat pengajuan permohonan; bukti pelunasan PSDH dan DR, dan Daftar Hasil Hutan. Pejabat yang terlibat yakni: •
P2SKSHH
•
Kepala Dinas Kabupaten
3.2.7. Penerapan Sanksi Adminitrasi Penerapan sanksi administrasi diatur dalam Kepmenhut 6887/Kpts‐II/2002. Jenis sanksi administratif berupa : a. Penghentian sementara pelayanan administratif; b. Penghentian sementara kegiatan di lapangan; c. Denda administratif; d. Pengurangan areal kerja; atau e. Pencabutan izin. Selama periode 2000‐2005, PT KNDI tidak pernah dikenakan sanksi administrasi. Padahal PT KNDI telah melakukan pelanggaran administrasi seperti menebang pohon dibawah limit diameter tebang yang diizinkan dan menebang kayu hasil penebangan yang dilakukan di luar blok tebangan yang diizinkan. Pejabat terlibat dalam penerapan sanksi administrasi: •
Menteri Kehutanan
Kertas Kerja No. 4/AH‐2/08/2008 ELSDA Institute
Page 11
•
Dirjen Bina Produksi Kehutanan Dephut
•
Kepala Dina Kehutanan Provinsi
•
Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten
3.3. Penerapan Putusan Adelin Lis Terhadap Kasus Lainnya Banyak perusahaan IUPHHK Hutan Alam di Indonesia yang tidak melakukan TPTI dalam pengelolaan hutan. Modus operandi dalam menjalankan usaha mirip dengan perusahaan milik Adelin. Jika memang, perusahaan IUPHHK Hutan benar‐benar melakukan sistem TPTI, tidak mungkin ada deforestasi di wilayah HPH. Misalnya, di Provinsi Kalimantan Tengah dalam kurun waktu 2001 hingga 2007 terjadi deforestasi besar‐ besaran. Menurut penelitian yang dilakukan ELSDA Institute, dalam kurun waktu 6 tahun terjadi deforestasi 780.200,3 ha. Wilayah deforestasi yang paling parah terjadi di daerah luar konsesi yakni sebesar 534.893,1 ha. Praktek penebangan di luar konsesi mengakibatkan kerugian negara yang besar. Pemerintah pusat dan daerah kehilangan pendapatan dari DR PSDH akibat praktek illegal logging. Wilayah HPH yang harusnya bersih dari deforestasi ternyata menyumbang 122.579 ha atau sekitar 15,71% dari wilayah deforestasi. Deforestasi di Kalimantan Tengah 2001‐2007 LOKASI DEFORESTASI LUAS (ha) PROS (%) Total
780.200,3
100
Dalam Konsesi HPH
122.579,1
15.71
Dalam Konsesi HTI
122.728,0
15.73
Luar Konsesi
534.893,1
68.55
Sumber: ELSDA Institute, 2008 Untuk melakukan pendeteksian apakah perusahaan IUPHHK Hutan telah melakukan tindak korupsi yakni dengan menggunakan GIS. Jika data GIS menunjukkan deforestasi dalam jumlah besar di wilayah IUPHHK, maka langkah selanjutnya yakni melakukan pengecekan di lapangan dan penelusuran Kertas Kerja No. 4/AH‐2/08/2008 ELSDA Institute
Page 12
pembayaran DR‐PSDH maupun denda administratif. Jika di dalam wilayah terdapat deforestasi dan ternyata perusahaan tidak pernah diterapkan denda administrasi, maka perusahaan dan pejabat pengawas telah melakukan korupsi. Mereka sengaja membuat dokumen palsu untuk menutupi kejehatan. Berikut ini cara‐cara mendeteksi korupsi kehutanan dalam tahapan penebangan dan pengangkutan: Jenis
Indikator
Peraturan
•
•
Pejabat yang Terlibat
Alat Bukti yang Harus Dicari
Pelanggaran Menebang di
Data GIS time
Pasal 74 jo
•
Pejabat
•
Data GIS atau foto
Luar RKT (di
series per
pasal 132 PP
luar toleransi)
tahun
No. 6 Tahun
tetapi tidak
menunjukkan
2007
dikenakan
terjadi
sanksi
penebangan di
administrasi
luar RKT
penerapan sanksi
Tidak ada
denda administrasi
•
udara
Pengesah RLHC • •
Pejabat Penagih
•
Bandingkan antara
SPP DR‐PSDH
RLHC, SPP DR‐PSDH,
P2LHP
dan pengesahan LHP •
Apakah ada
pengenaaan sanksi denda administrasi Menebang di
•
Data GIS time
•
Pasal 74 jo
•
Pejabat
•
Data GIS atau foto
di dalam RKT
series per
pasal 132 PP
dengan jumlah
tahun
No. 6 Tahun
di atas 105 %,
menunjukkan
2007
tetapi tidak
terjadi
dikenakan
penebangan di
sanksi
di dalam RKT
penerapan sanksi
administrasi
tetapi dengan
denda administrasi
udara
Pengesah RLHC • •
Pejabat Penagih
•
Bandingkan antara
SPP DR‐PSDH
RLHC, SPP DR‐PSDH,
P2LHP
dan pengesahan LHP •
Apakah ada
luasan yang besar •
Tidak ada pengenaaan sanksi denda administrasi
Kertas Kerja No. 4/AH‐2/08/2008 ELSDA Institute
Page 13
Menebang di
•
Terjadi tebang
•
Pasal 74 jo
bawah limit
habis di area
pasal 132 PP
tetapi tidak
HPH yang
No. 6 Tahun
dikenakan
harusnya
2007
sanksi
melakukan
administrasi
TPTI •
•
•
Pejabat
udara
Pengesah RLHC • •
Data GIS atau foto
•
Pejabat Penagih
Bandingkan antara
SPP DR‐PSDH
RLHC, SPP DR‐PSDH,
P2LHP
dan pengesahan LHP •
Apakah ada
Tidak ada
penerapan sanksi
penerapan
denda administrasi
sanksi denda administrasi Menebang
•
Rekapitulasi
•
Kepmenhut
kayu lebih
Hasil Cruising
128/Kpts‐
dari DR‐PSDH
lebih besar
II/2003 jo
yang
dari DR‐PSDH
Kepmenhut
dibayarkan
yang
446/Kpts‐
dibayarkan
II/2003 jo.
Tidak ada
Permenhut
perbedaan
80/Menhut‐
antara Daftar
II/2006
•
Pemeriksaan
•
•
•
Pejabat
•
RLHC
Pengesah RLHC
•
SPP DR PSDH
P2LHP
•
LHP
•
SPP DR PSDH Tambahan
Kepmenhut
Kayu Bulat
124/Kpts‐
yang dilakukan
II/2003 jo
oleh P2LHP
Kepmenhut
dengan RLHC
445/Kpts‐
Tidak ada
II/2003 jo
penerbitan
Permenhut
DR‐PSDH
79/Menhut‐
tambahan
II/2006 •
•
Kepmenhut
Petugas Pos
SKSKB ketika membawa
128/Kpts‐
Pemeriksaaan
kayu
II/2003 jo
Membawa
Tidak ada dokumen
kayu tanpa SKSKB
Kepmenhut 446/Kpts‐ II/2003 jo.
Kertas Kerja No. 4/AH‐2/08/2008 ELSDA Institute
Page 14
Permenhut 80/Menhut‐ II/2006 •
Kepmenhut 124/Kpts‐ II/2003 jo Kepmenhut 445/Kpts‐ II/2003 jo Permenhut 79/Menhut‐ II/2006
•
Membawa
Terjadi perbedaan
kayu dengan
antara data SKSKB
128/Kpts‐
SKSKB fiktif
dengan Daftar Kayu
II/2003 jo
Bulat
Kepmenhut
Kepmenhut
P2SKSKB
Kepala Desa
Periksa jenis pohon apakah
446/Kpts‐ II/2003 jo. Permenhut 80/Menhut‐ II/2006 •
Kepmenhut 124/Kpts‐ II/2003 jo Kepmenhut 445/Kpts‐ II/2003 jo Permenhut 79/Menhut‐ II/2006
Membawa
Membawa kayu di luar
kayu dari
jenis yang diatur dalam
•
Permenhut No.
Kertas Kerja No. 4/AH‐2/08/2008 ELSDA Institute
sesuai dengan aturan SKAU
Page 15
hutan negara
Permenhut No.
51/Menhut‐
(sengon, kayu karet, kayu
dengan
51/Menhut‐II/2006
II/2006
kelapa, dll)
menggunakan
dengan SKAU
SKAU Menebang
•
Data GIS
•
Kepmenhut
•
Petugas
•
Data GIS
Pengesah RLHC
•
Analisis lebih
kayu di luar
menunjukkan
128/Kpts‐
areal konsesi
terjadi
II/2003 jo
•
P2LHP
mendalam data
penebangan di
Kepmenhut
•
P2SKSKB
perbedaan antara
luar area
446/Kpts‐
RLHC dengan LHP
dekat konsesi
II/2003 jo.
yang disahkan
RLHC lebih
Permenhut
kecil LHP yang
80/Menhut‐
disahkan
II/2006
•
•
Kepmenhut 124/Kpts‐ II/2003 jo Kepmenhut 445/Kpts‐ II/2003 jo Permenhut 79/Menhut‐ II/2006
Membayarkan
•
Izin yang
•
Kepmenhut
DR‐PSDH,
diberikan
128/Kpts‐
padahal
melanggar
II/2003 jo
izinnya illegal
peraturan,
Kepmenhut
tetapi tetap
446/Kpts‐
membayarkan
II/2003 jo.
DR‐PSDH
Permenhut
80/Menhut‐ II/2006 •
Kepmenhut 124/Kpts‐
Kertas Kerja No. 4/AH‐2/08/2008 ELSDA Institute
Page 16
II/2003 jo Kepmenhut 445/Kpts‐ II/2003 jo Permenhut 79/Menhut‐ II/2006
Kertas Kerja No. 4/AH‐2/08/2008 ELSDA Institute
Page 17