Wakaf K5-converted.docx

  • Uploaded by: Roro
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Wakaf K5-converted.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,910
  • Pages: 25
MAKALAH (Implementasi Fiqh Wakaf dan Bentuk Wakaf di Indonesia) Disusun untuk memenuhi tugas Fiqh dan Manajemen Wakaf di Indonesia Dosen Pengampu: Akhmad Farroh Hasan, M.Si

Nama Kelompok 05/Smt.4: 1. Raden Roro Ajar Wikhu Redhati 2. Muhammad Yusuf Imaduddin 3. Devi Endah Fitriani 4. Yulianti R

(17230018) (17230018) (17230027)

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG 2019

Daftar isi Judul Makalah ................................................................................................... 1 Daftar isi ............................................................................................................ 2 A.

Latar Belakang ........................................................................................ 3

B.

Rumusan Masalah ................................................................................... 4

C.

Tujuan Masalah ....................................................................................... 4

D.

Konsep Wakaf Dalam Fiqh dan Yuridis di Indonesia............................. 5 1.

Menurut Mażhab Fikih ........................................................................ 5

a.

Menurut Ulama Hanâfiyah .................................................................. 5

2.

Menurut PP 28 Tahun 1977............................................................... 10

3.

Menurut UU Nomor 41 Tahun 2004 ................................................. 10

4.

Wakaf Menurut Kompilasi Hukum Islam( KHI ) ............................. 10

E.

Objek Wakaf dalam Fiqh ...................................................................... 13

F.

Problematika Wakaf di Indonesia ......................................................... 17

G.

1.

Kurangnya Sosialisasi ....................................................................... 17

2.

Pengelolaan dan Manajemen yang Kurang Baik ............................... 18

3.

Objek Wakaf dan Komitmen Nadzir ................................................. 19

4.

Lemahnya Sistem Pengawasan.......................................................... 22 Kesimpulan ........................................................................................... 24

Daftar Pustaka ................................................................................................. 25

2

A. Latar Belakang Hukum Islam merupakan perpaduan antara wahyu Allah Swt. dengan kondisi masyarakat yang ada pada saat wahyu itu diturunkan. Misi hukum Islam sebagai aturan untuk mengejawantahkan nilai-nilai keimanan dan aqidah mengemban misi utama yaitu mendistribusikan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat, baik keadilan hukum, keadilan sosial maupun keadilan ekonomi. Salah satu institusi atau pranata sosial Islam yang mengandung nilai sosial ekonomi adalah lembaga perwakafan. Sebagai kelanjutan dari ajaran tauhid, yang berarti bahwa segala sesuatu berpuncak pada kesadaran akan adanya Allah Swt., lembaga perwakafan adalah salah satu bentuk perwujudan keadilan sosial dalam Islam. Prinsip pemilikan harta dalam ajaran Islam menyatakan bahwa harta tidak dibenarkan hanya dikuasai oleh sekelompok orang, karena akan melahirkan eksploitasi kelompok minoritas (si kaya) terhadap kelompok mayoritas (si miskin) yang akan menimbulkan kegoncangan sosial dan akan menjadi penyakit masyarakat yang mempunyai akibat-akibat negatif yang beraneka ragam. Wakaf telah disyari'atkan dan telah dipraktekkan oleh umat Islam seluruh dunia sejak zaman Nabi Muhammad Saw. sampai sekarang, termasuk oleh masyarakat Islam di negara Indonesia. Hukum wakaf merupakan cabang yang terpenting dalam syari'at Islam, sebab ia terjalin kepada seluruh kehidupan ibadat dan perekonomian sosial kaum muslimin. Kajian wakaf sebagai pranata sosial merujuk pada tiga corpus, yaitu: 1.

Wakaf sebagai lembaga keagamaan, yang sumber datanya meliputi: Quran, Sunnah, dan Ijtihâd;

2.

Wakaf sebagai lembaga yang diatur oleh negara, yang merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara itu;

3.

Wakaf sebagai lembaga kemasyarakatan atau suatu lembaga yang hidup di masyarakat berarti mengkaji wakaf dengan tinjauan sosial yang meliputi fakta dan data yang ada dalam masyarakat.

3

Pada tulisan yang sederhana ini, penulis akan mencoba memaparkan wakaf sebagai lembaga yang diatur oleh negara, yang merujuk pada peraturan perundangundangan yang berlaku di negara Indonesia mulai zaman Kolonial Hindia Belanda, zaman kemerdekaan, mulai keluarnya UU No. 5 Tahun 1960 sampai keluarnya PP No. 28 Tahun 1977, dan Kompilasi Hukum Islam.

B. Rumusan Masalah Dari latar belakang tersebut dapat diambil beberapa rumusan masalah. diantaranya, 1. Bagaimana konsep wakaf ditinjau berdasarkan fiqh dan yuridis di Indonesia? 2. Bagaimana objek wakaf ditinjau berdasarkan fiqh dan yuridis di Indonesia? 3. Bagaimana problematika wakaf di Indonesia?

C. Tujuan Masalah Dari rumusan masalah tersebut dapat diambil beberapa tujuan. diantaranya, 1. Dapat memahami konsep wakaf ditinjau berdasarkan fiqh dan yuridis di Indonesia. 2. Dapat memahami objek wakaf ditinjau berdasarkan fiqh dan yuridis di Indonesia? 3. Dapat memahami problematika wakaf di Indonesia?

4

D. Konsep Wakaf Dalam Fiqh dan Yuridis di Indonesia Kata Wakaf berasal dari bahasa Arab waqafa yang menurut bahasa berarti “menahan” atau “berhenti”.1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata wakaf diberi arti sebagai sesuatu yang diperuntukan bagi kepentingan umum sebagai derma atau untuk kepentingan yang berhubungan dengan agama, seperti tanah wakaf disediakan untuk madrasah atau masjid.2 1. Menurut Mażhab Fikih Sejak dulu telah terjadi perbedaan pendapat tentang pengertian wakaf karena memang belum ada satu pengertian mengenai hal itu yang disepakati. Akibat perbedaan dalam memberi pengertian wakaf tersebut pada akhirnya menimbulkan perbedaan akibat hukum yang ditimbulkan. Bukan sekedar berbeda dalam hal redaksi, berikut pengertian wakaf dari para Fuqaha dalam 4 mażhab, yaitu: a. Menurut Ulama Hanâfiyah Wakaf bermakna “menahan benda yang statusnya tetap milik si wakif dan yang disedekahkan adalah manfaatnya saja”.3 Berdasarkan definisi itu maka pemilikan harta wakaf menurut Abû Hanîfah tidak lepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh menjualnya. Jika si wakif wafat, harta tersebut menjadi harta warisan buat ahli warisnya. Jadi yang timbul dari wakaf hanyalah “menyumbangkan manfaat”. Oleh karena itu, mazhab Hanâfi mendefinisikan wakaf dengan ”tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus tetap sebagai hak milik, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (social), baik sekarang maupun akan datang”.

1

Satria Efendi, Problematika Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: Departemen Agama RI, 1992), hlm. 425. 2 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 1006. 3 Ibnu Nâjim, al-Bahr al-Raiq, Juz 5 (Mishr: Dâr alKutub al-Arabiyah al-Kubra, t.th.), hlm. 187.

5

Berkenaan dengan hal tersebut, Imam Abû Hanîfah memberikan penge cualian pada tiga hal, yakni wakaf masjid, wakaf yang ditentukan oleh keputusan pengadilan dan wakaf wasiat. Selain tiga hal yang tesebut, yang dilepaskan hanya manfaatnya saja bukan benda itu secara utuh. Terhadap wakaf masjid, menurut Imam Hanâfi, apabila seseorang mewa kafkan hartanya untuk kepentingan masjid, atau seseorang membuat pemba ngunan dan diwakafkan untuk masjid, maka status wakafnya berbeda; karena seseorang berwakaf untuk masjid, sedangkan masjid itu milik Allah, maka secara spontan masjid itu berpindah menjadi milik Allah dan tinggallah kekuasaan si wakif dalam hal ini. Sedangkan bagi wakaf yang ditentukan oleh keputusan pengadilan, apabila terjadi suatu sengketa tentang harta wakaf, dan pengadilan memutuskan bahwa harta itu menjadi harta wakaf, maka tidak dapat diktarik lagi oleh orang yang mewakafkannya atau ahli warisnya, setelah adanya putusan hakim yang tetap. Adapun wakaf wasiat, apabila seseorang diwaktu masih hidupnya membuat wasiat, jika ia meninggal dunia maka harta yang telah ditentukannya menjadi wakaf. Maka dalam contoh seperti ini kedudukannya sama dengan wasiat. Abû Hanîfah berpendirian seperti itu dengan menggunakan dalil sebuah hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Dâr al-Quthni dari Ibn Abbas, “Lâ Habasa ‘an Farâidillah” (tidak ada penahanan harta/habsa dalam hal-hal yang sudah ada ketentuannya). b. Menurut Ulama Mâlikiyah Wakaf bermakna “menjadikan manfaat bagi benda yang dimiliki, baik yang berupa sewa, atau hasilnya untuk diserahkan kepada orang yang berhak dengan bentuk penyerahan berjangka waktu, sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh yang mewakafkan”.4 Mazhab Mâliki bependapat bahwa

4

Sayyid ‘Ali Fikry, al-Muâmalat al-Maddiyyah wa alAdabiyyah, Juz 2 (t.tt: Dâr al Kutub alArabiyyah, Bayrût), hlm. 304.

6

wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah. Wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya. Perbuatan si wakif menjadikan manfaat hartanya untuk digunakan oleh mustahiq (penerima wakaf), walaupun yang dimilikinya itu berbentuk upah, atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan uang. Wakaf dapat dilakukan dengan mengucapkan lafadz wakaf untuk masa tertentu sesuai dengan keinginan pemilik. Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu dari penggunaan secara pemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan, yaitu pemberian manfaat benda secara wajar sedang benda itu tetap menjadi milik si wakif. Perwakafan itu berlaku untuk suatu masa tertentu, dan karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal (selamanya). Pendapat mazhab Mâliki ini sepintas sama dengan Abû Hanîfah. Akan tetapi,

Mâliki

menyatakan

mentasarrufkannya,

baik

tidak

dengan

boleh

mentransaksikannya

menjualnya,

mewariskannya

atau atau

menghibahkannya selama harta itu diwakafkan. Menurutnya, boleh wakaf untuk waktu tertentu, bukan sebagai syarat bagi Mâliki selama-lamanya. Apabila habis jangka waktu yang telah di tentukan, maka boleh mengambilnya lagi, walaupun benda itu untuk masjid. Wakaf menurut interpretasi ulama Mâlikiyah, tidak terputus hak si wakif terhadap benda yang diwakafkan. Adapun yang terputus itu hanyalah dalam hal bertasarruf. Mâlikiyah beralasan dengan hadits Ibn Umar. Ketika Rasulullah menyatakan, “jika kamu mau, tahanlah asalnya dan sedekahkanlah hasilnya”. Dari kalimat ini menurut Mâliki adalah isyarat dari Rasul kepada umat untuk mensedekahkan hasilnya saja.

7

c. Menurut Ulama Syâfi’iyah Wakaf bermakna “Menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap utuhnya barang, dan barang itu lepas dari penguasaan si wakif serta dimanfaatkan pada sesuatu yang diperbolehkan oleh agama”.5 d. Menurut Ulama Hanâbilah Wakaf bermakna “menahan kebebasan pemilik harta dalam membelan jakan hartanya yang bermanfaat dengan tetap utuhnya harta itu sedangkan manfaatnya dimanfaatkan pada suatu kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah”.6 Mengacu kepada beberapa pendapat di atas, Syâfi’i dan Ahmad berpan dangan bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepe milikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Dalam hal ini, wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan, seperti: perlakuan pemilik dengan cara pemilikannya kepada yang lain, baik dengan tukaran atau tidak. Jika wakif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh ahli warisnya. Wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakaf kannya kepada mauquf ’alaih (yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang mengikat,

di

mana wakif tidak dapat

melarang penyaluran

sumbangannya tersebut. Apabila wakif mela rangnya, maka Qadhi berhak memaksanya agar memberikannya kepada mauquf ’alaih. Oleh karena itu, mazhab Syâfi’iyah mendefinisikan wakaf adalah “tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus sebagai milik Allah Swt. dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial)”. Menurut Imam al-Syâfi’iyah harta yang diwakafkan terlepas dari si wakif menjadi milik Allah dan berarti menahan harta untuk selama-lamanya. Karena itu tidak boleh wakaf yang ditentukan jangka waktunya seperti yang dibolehkan Mâliki. Bagi Syâfi’iyah, disyaratkan benda yang diwakafkan itu tahan lama, tidak cepat habis seperti makanan. Alasannya ialah hadits yang

5 6

Al-Syarbiny, Mughni al-Muhtâj, Juz 2 (t.tt: Mustafa al-Bâb al-Halaby, Mishr), hlm. 376. Sayyid ‘Ali Fikry, al-Muâmalat al-Maddiyyah wa alAdabiyyah, Juz 2, hlm. 312.

8

diriwayatkan oleh Ibn Umar tentang tanah di Khaibar. Imam al-Syâfi’iyah juga memahami bahwa tindakan Umar me nyede kahkan harta nya dengan tidak menjual, mewariskannya, dan menghibahkannya, juga sebagai hadits karena Nabi melihat tindakan Umar itu dan Rasulullah ketika itu hanya diam. Maka diamnya Rasul dapat ditetapkan sebagai hadits taqrîry, walaupun telah didahului oleh hadits qauly. Berpijak dari pengertian yang dikemukakan fukaha tersebut, paling tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat dua pandangan di dalam memberikan pengertian wakaf. Kedua pengertian tersebut sangat bertolak belakang akibat hukumnya, yaitu menurut ulama Hanâfiyyah dan Mâlikiyyah di satu pihak dan menurut Ulama Syâfi’iyah di pihak lain. Pendapat pertama berakibat hukum bahwa benda wakaf tidak mengakibatkan barang yang diwakafkan keluar dari kepemilikan wakif, sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa wakaf dapat mengakibatkan yang diwakafkan keluar dari kepemilikannya.7 Adapun pengertian wakaf secara umum juga muncul dari tradisi Islam. Dalam istilah lain sering disebut dengan shadaqah jariyah. Oleh karena memang dianjurkan oleh syariat Islam, wakaf kemudian menjadi sesuatu yang umum dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan tidak hanya dilakukan oleh warga Muslim. Dalam beberapa kasus, praktik wakaf juga dilakukan oleh non-Muslim. Mazhab Hanâfi berpendapat bahwa wakaf orang nonMuslim untuk kepentingan apapun adalah tidak sah. Sementara Menurut mazhab Mâliki wakaf orang non-Muslim selain untuk masjid adalah sah. Dan menurut mazhab Syâfi’iyah dan Hambali wakaf mereka (non-Muslim) apapun peruntukkannya adalah sah.17 Lebih Lanjut, menurut kalangan Syâfi’iyah,

7

Siah Khosyi’ah, Wakaf dan Hibah (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 35-36.

9

nonMuslim yang berwakaf ataupun bersedekah mendapatkan pahala hanya di dunia.8 Wakaf Menurut Peraturan Perundang-undangan di Indonesia Dalam tata hukum Indonesia, wakaf telah diatur dalam sejumlah peraturan perundangundangan sebagai berikut: a. 2. Menurut PP 28 Tahun 1977 Dalam ketentuan Umum Wakaf diberi pengertian sebegai berikut: “Perbutan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran.9 3. Menurut UU Nomor 41 Tahun 2004 Dalam ketentuan umum wakaf diberi pengertian sebagai berikut: “Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau jangka waktu tertentu, sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.” 10 4. Wakaf Menurut Kompilasi Hukum Islam( KHI ) Sebagaimana termuat dalam BUKU III KHI, pada Pasa 215 ayat (1) dijelaskan dengan redaksi: “Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagaian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam”.11

8

Khoirul Abror, Dinamika Perwakafan Dalam Pemikiran Hukum Islam, Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia Dan Negara-Negara Muslim (Bandar lapmpung: Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung , 2014), hlm. 6. 9 , Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977. Pasal 1 ayat (1) 10 , Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004. Pasal 1 ayat (1) 11 , Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 (Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991) (t.tt: t.tp., t.th.). Pasal 215 ayat (1) KHI

10

Perwkafan sebagaimana diatur oleh KHI pada dasarnya sebagian besar mempunyai kemiripan dengan apa yang telah diatur oleh perundangundangan yang telah ada sebelumnya (PP Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik). Hanya saja PP Nomor 28 Tahun 1977 terbatas pada perwakafan tanah milik, sedangkan dalam KHI memuat tentang perwakafan secara umum, yang mencakup benda bergerak dan benda tidak bergerak yang mempunyai daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut Islam. Dalam beberapa hal merupakan penegembangan dan penyempurnaan peng aturan perwakafan sesuai dengan hukum Islam.12 Oleh karena itu, dalam perkembangan hukum di Indonesia jelas mengacu kepada nilai-nilai ajaran Islam yang disesuaikan dengan budaya dan tradisi bangsa Indonesia, khususnya dalam masalah perwakafan. Maka wakaf secara hukum yang terdapat dalam fikih klasik dengan mengikuti mazhab fikih yang empat, terdapat perbedaan dengan pola hukum Islam gaya Indonesia yang terdapat dalam KHI. Pasal 215 ayat (2) KHI dan Pasal 1 ayat (2) PP 28 Tahun 1977 disebutkan bahwa Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan benda miliknya.13 Syarat-syaratnya dikemukakan dalam Pasal 217. Dalam kaitan ini, tidak ada ketentuan yang mengharuskan seorang wakif haruslah seorang Muslim, Oleh sebab itu, seorang non-Muslim-pun dapat melakukan wakaf, sepanjang ia melakukannya sesuai dengan ketentuan ajaran Islam dan Peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam beberapa kitab klasik yang ditulis oleh para ulama dari pelbagai penganut mazhab menyatakan bahwa, ada dua model wakaf. Pertama, wakaf khairi (umum), ialah mewakafkan sesuatu yang manfaatnya untuk

12

Khoirul Abror, Dinamika Perwakafan Dalam Pemikiran Hukum Islam, Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia Dan Negara-Negara Muslim, hlm. 7. 13 Khoirul Abror, Dinamika Perwakafan Dalam Pemikiran Hukum Islam, Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia Dan Negara-Negara Muslim, hlm. 7.

11

kepentingan umum tanpa ditentukan. Kedua, wakaf ahli (keluarga), ialah mewakafkan sesuatu yang manfaatnya untuk kepentingan tertentu atau keluarga. Dengan kata lain diperuntukan bagi anak cucu atau kaum kerabat, atau fakir miskin.14 Sementara dalam KHI hanya terdapat wakaf khairi (umum) dan tidak memeperbolehkan wakaf ahli. Hal ini atas dasar ijtihad bersama (ijtihad jama’i) dikalangan ulama dan pemikir hukum Islam mempertimbangkan kepentingan publik (maslahah al-âmmah) tidak mencantumkan wakaf ahli (keluarga), mengingat akses negatifnya Pasal 215 ayat (4) disyaratkannya “harta wakaf (obyek wakaf) baik benda bergerak dan benda tidak bergerak itu yang memiliki daya tahan lama dan bernilai menurut ajaran Islam” agar benda wakaf tersebut dapat dimanfaatkan untuk jangka panjang, tidak hanya sekali pakai. Syarat harta wakaf menurut versi KHI ini merupakan benda milik yang bebas segala pembebanan, ikatan, sitaan, dan sengketa (Pasal 217 ayat (3)). Pendapat

ulama

mazhab

tidak

terdapat

persyaratan

yang

mengharuskan bagi yang memberi wakaf (wakif) harus disaksikan oleh minimal dua orang dan dicatat secara administratif, sebab dalam hukum Islam menganggap harta yang diwakafkan sepenuhnya adalah milik Allah dan yang memberi wakaf adalah semata-mata demi mengharap ridha Allah Swt. Berbeda halnya dengan ketentuan yang terdapat dalam KHI. Pasal 218 KHI yang menyatakan bahwa: “Pihak yang mewakafkan harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada Nażir dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), yang kemudian menuangkannya dalam bentuk Ikrar Wakaf, dengan disaksikan oleh sekurangkurangnya 2 (dua) orang saksi. Penulis dapat memahami bahwa pendapat para ulama mazhab menjelaskan bahwa pelaksanaan perwakafan tidak terikat dengan birokrasi

14

Khoirul Abror, Dinamika Perwakafan Dalam Pemikiran Hukum Islam, Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia Dan Negara-Negara Muslim, hlm. 7.

12

atau administratif. Sebab harta yang diwakafkan sepenuhnya milik Allah. Jika nażir telah memenuhi syarat dan demi kebaikan umum, maka pelaksanaannya tidak terikat dengan orang lain, sepenuhnya merupakan ijtihad nażir yang sesuai dengan tuntunan Islam. Berbeda halnya dengan harta wakaf menurut KHI yang mensyaratkan harus didaftarkan kepada pejabat yang berwewenang. Dalam Pasal 224 KHI menye butkan “fungsi pendaftaran benda wakaf ini pada prinsipnya adalah untuk memperoleh kepasitian hukum dan jaminan mengenai benda yang diwakafkan” Pasal 227 KHI menjelaskan secara lebih rinci bahwa: “Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Nażir dilakukan secara bersama-sama oleh Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan dan Pengadilan Agama yang mewilayahinya”.

E. Objek Wakaf dalam Fiqh Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa benda, baik bersifat tetap

(al-Uqar),

maupun bergerak (al-Manqul) seperti perlengkapan rumah, mashahif, buku- buku, senjata, dan kendaraan boleh dijadikan objek wakaf. Disamping itu, setiap benda yang boleh diperdagangkan dan dimanfaatkan (dengan tetap kekal zatnya), boleh juga dijadikan objek wakaf. Sebaliknya, al- Sayyid Sabiq berpendapat bahwa benda yang rusak (berubah) karena dimanfaatkan seperti uang, lilin, makanan dan minuman, tidak syah untuk dijadikan objek wakaf. Adapun yang menjadi permasalaahan baru apabila dicermati secara tekstual, dalam pengawasan dan bimbingan terhadap benda wakaf. Pasal tersebut melibatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) kecamatan. Oleh karena itu secara eksplisit perlu segera membentuk Majlis Ulama kecamatan di-tiap wilayah kecamatan, terutama wilayah yang terdapat benda wakaf. Sedang kan keberadaan MUI Kecamatan masih dipertanyakan eksistensinya. Muhammad Mushthafa Syalabi menjelaskan bahwa syarat- syarat objek wakaf ada empat: Pertama, harta tersebut harus mutaqawwim (memungkinkan untuk

13

dijaga atau dipelihara dan memungkinkan untuk dimanfaatkan dengan cara tertentu); Kedua, harta yang diwakafkan dapat diketahui secara sempurna oleh wakif dan pengelola (penerima) wakaf ketika wakaf diikrarkan; Ketiga, benda yang diwakafkan adalah milik wakif secara sempurna dan dapat dipindah tangankan ketika benda tersebut diikrarkan untuk wakaf; Keempat, benda yang diwakafkan dapat dipisahkan secara tegas tanpa terikat dengan yang lain. Pendapat ulama fiqih mengenai objek wakaf memperlihatkan bahwa syaratsyarat benda wakaf (harus benda, bermanfaat, tidak sekali pakai, tidak haram zatnya, dan harus milik wakif secara sempurna) tidak didukung hadis secara khusus dan mereka menggunakan ayat-ayat Al-Quran dan Hadis yang bersifat umum. Oleh karna itu, penentuan syarat-syarat objek wakaf termasuk wilayah ijtihadi. Imam Malik berpendapat bahwa akad wakaf bersifat Mulazamat (kepemilikan benda wakaf berpindah dari milik wakif menjadi milik Allah-umum). Akan tetapi, beliau berpendapat bawa wakaf tidak mesti dilakukan secara mu’abbad (untuk selamanya); ia boleh dilakukan dalam tenggang waktun tertentu, dengan syarat, wakaf tersebut tidak boleh ditarik sebelum durasi yang disepakati selesai. Oleh karena itu, sebagai lanjutan dari gagasan mengenai wakaf uang, boleh saja seorang muslim mewakafkan sejumlah uang. Menurut KHI, bahwa obyek wakaf tersebut tidak hanya berupa tanah milik sebagaimana disebutkan dalam PP No. 28 Tahun 1977. Obyek wakaf menurut kompilasi lebih luas. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam pasal 215 (4) yang berbunyi: "Benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam". Adapun hukum positif yang mengatur perwakafan di Indonesia sebelum Tahun 2004 adalah UU PA No. 5 Tahun 1960 Pasal 49 ayat (1) sampai (3), jo PP No. 28 Tahun 1978 tentang Perwakafan Tanah Milik, Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan PP No. 28 Tahun 1978 dan Kompilasi

14

Hukum Islam buku III, dan masih banyak peraturan lain. Namun semua peraturan perundang- undangan tersebut belum menjelaskan secara pasti mengenai persoalan pengembangan obyek wakaf (benda wakaf). Sebagai salah satu dari reformasi hukum adalah lahirnya Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Dalam Pasal 16 Ayat (1) Sampai (3) menyebutkan bahwa obyek wakaf (benda wakaf) terdiri dari benda tidak bergerak dan benda bergerak . Benda tidak bergerak meliputi: (1) Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar; (2) Bangunan atau bagian dari bangunan yang terdiri atas tanah sebagaimana dimaksud pada huruf a; (3) Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah; (4) Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku; (5) Benda tidak bergerak lain dengan ketentuan Syariah dan peraturan Perundang- undangan yang berlaku. Sedangkan benda bergerak meliputi: (1) Uang; (2) Logam Mulia; (3) Surat Berharga; (4) Kendaraan; (5) Hak Atas Kekayaan Intelektual; (6) Hak Sewa; (7) Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan Syariah dan Peraturan Perundangundangan yang berlaku. Peran Pengadilan AgamaPeradilan Agama semakin diperluas peranannya untuk ikut menangani sengketa pengelolaan zakat, wakaf, dan bisnis syariah. Bahtsul Masa’il NU menetapkan bahwa (hak cipta) sama dengan harta biasa. Pada tanggal 17-21 Nopember 1997, diadakan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdatul Ulama yang diselenggarakan di pondok pesantren Qamarul Huda. Desa Bagu, Pringgarata, Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat. Salah satu keputusan Bahtsul Masa’il NU dalam acara tersebut adalah hukum hak cipta. Jadi, keputusan Bahtsul Masa’il NU tentang hak cipta yang pertama berkenaan dengan kedudukannya sebagai harta pusaka, sedangkan keputusan yang kedua berkenaan dengan hukumnya, lebih tepatnya hukum hak cipta karya tulis. Bahthsul Masa’il NU menetapkan bahwa: (1) hak cipta dlindungi oleh hukum Islam sebagai

15

hak milik dan dapat menjadi harta peninggalan bagi ahli warisnya; (2) hukum mencetak dan menerbitkan karya tulis pihak lain adalah boleh selama ada izin dari pemilik hak, pengarang, penulis, ahli waris, atau yang menguasi hak cipta tersebut, dan (3) apabila pemilik hak, pengarang, penulis, ahli waris, atau yang menguasai hak cipta tersebut sudah tidak ada, maka karya tulis tersebut menjadi milik umat Islam. Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang wakaf tidak mewajibkan membawa Sengketa Ke Pengadilan Agama atau Mahkamah Syariah. Akan tetapi bila dibawa ke peradilan umum, apakah peradilan umum akan memahami wakaf yang diatur dalam konsepsi hukum Islam. Sengketa dalam masalah Muamalah yang diatur oleh syariat Islam merupakan wilayah kewenangan Peradilan Agama, sementara sengketa wakaf sekarang bisa terjadi misalnya ketika terjadi kesalahan dalam pencatatan atau pengelolaan dana wakaf. Dalam hal ini bisa terjadi pelanggaran perdata maupun pidana. Oleh karena itu, pengembangan obyek wakaf (benda wakaf) yang menjadi beban hukum baru bagi peradilan agama sangat menarik untuk terus dikaji lebih mendalam sehingga para Hakim Peradilan Agama dapat memperoleh suatu cakrawala pandang yang lebih luas dan komprehensip tentang pengembangan objek wakaf dan permasalahan hukum baru yang akan ditimbulkannya. Sehingga ketika dikemudian hari muncul masalah hukum wakaf yang kemungkinan sangat tipis titik singgungnya dengan perkara pidana, terutama benda wakaf yang bergerak, para Hakim Peradilan Agama dapat mengkontruksi hukum dalam sebuah putusan peradilan agama yang sesuai dengan rasa keadilan hukum, kegunaan hukum, dan kepastian hukum. Cita-cita ideal tersebut di atas, bahwa Hakim Peradilan Agama harus mengedepankan intelektualitas, profesionalitas, dan moralitas dalam mengkontruksi hukum sesuai dengan rasa keadilan, kegunaan, dan kepastian hukum, hanya akan menjadi sebuah Authopia saja, apabila pihak yang memiliki tanggung jawab moral untuk meningkatkan kualitas Hakim Peradilan Agama tidak segera mengambil langkah nyata dalam mencapai cita-cita tersebut. Sebab permasalahan hukum wakaf saat ini sangat berbeda dengan permasalahan hukum wakaf masa lalu. Apakah hakim peradilan agama sudah memahami secara komprehensip tentang konsepsi cash waqf

16

misalnya, bagaimana bentuk dan mekanismenya? Aspek mana yang rentan terhadap timbulnya permasalahan hukum? Begitu pula konsepsi wakaf logam mulia, wakaf surat berharga, wakaf hak atas kekayaan intelektual, dan wakaf hak sewa dengan sejumlah permasalah hukum barunya?Di samping itu, hubungan dengan program “Anonimisasi” (pengkaburan identitas putusan), maka produk putusan Hakim Peradilan Agama termasuk di dalamnya putusan perkara wakaf, harus benar- benar mengedepankan kualitas, baik kualitas sistimatika hukumnya, bahasa hukum yang digunakannya, maupun substansi hukum yang dihasilkannya.

F. Problematika Wakaf di Indonesia Wakaf pada umumnya berupa tanah yang diberikan untuk umat. Sayangnya di Indonesia tanah wakaf tersebut belum dikelola secara produktif, sehingga belum dapat berperan dalam memberdayakan ekonomi umat. Berbagai masalah sering terjadi terkait dengan tanah wakaf. Di antaranya, tanah wakaf yang tidak atau belum disertifikasi, tanah wakaf yang masih digugat oleh sebagian keluarga, tanah wakaf yang dijual oleh pihak yang diberi amanat untuk mengelolanya, termasuk tukar guling (ruislag) tanah wakaf yang tidak adil dan tidak proporsional dan konflikkonflik lain.15 Ada banyak faktor yang menyebabkan esensi wakaf di Indonesia ini sangatlah rendah, diantaranya: 1. Kurangnya Sosialisasi Pada umumnya masyarakat awam belum memahami hukum wakaf dengan baik dan benar, baik dari segi rukun dan syarat wakaf, maupun maksud disyariatkannya wakaf. Memahami rukun wakaf bagi masyarakat sangat penting, karena dengan memahami rukun wakaf masyarakat bisa mengetahui siapa yang boleh berwakaf, apa saja yang boleh diwakafkan, untuk apa dan kepada siapa wakaf diperuntukkan, bagaimana cara berwakaf, dan siapa saja yang boleh menjadi nadzir.

15

Amelia Fauzia, Tim Penyusun Fenomena Wakaf di Indonesia: Tantangan (jakarta: Badan Wakaf Indonesia, 2016), hlm. 92.

17

Pemahaman masyarakat yang masih berbasis pada wakaf konsumtif berakibat nadzir yang dipilih oleh wakif juga mereka yang ada waktu untuk menjaga dan memelihara masjid. Dalam hal ini wakif kurang mempertimbangkan kemampuan nadzir untuk mengembangkan masjid sehingga masjid menjadi pusat kegiatan umat. Dengan demikian wakaf yang ada hanya terfokus untuk memenuhi kebutuhan

peribadatan,

dan

sangat

sedikit

wakaf

diorientasikan

untuk

meningkatkan perkonomian umat. Padahal jika dilihat dari sejarah wakaf pada masa lampau, baik yang dilakukan Nabi Muhammad maupun para sahabat, selain masjid dan tempat belajar, cukup banyak wakaf yang berupa kebun yang hasilnya diperuntukkan bagi mereka yang memerlukan. 2. Pengelolaan dan Manajemen yang Kurang Baik Saat ini pengelolaan dan manajemen wakaf sangat memprihatinkan. Sebagai akibatnya cukup banyak harta wakaf telantar dalam pengelolaannya, bahkan ada harta wakaf yang hilang.16 Salah satu sebabnya antara lain adalah karena umat Islam pada umumnya hanya mewakafkan tanah dan bangunan sekolah, sementara itu wakif kurang memikirkan biaya operasional sekolah, serta nadzir yang kurang profesional. Oleh karena itu kajian mengenai manajemen pengelolaan wakaf ini sangat penting. Kurang berperannya wakaf dalam memberdayakan ekonomi umat di Indonesia dikarenakan wakaf tidak dikelola secara produktif. Untuk mengatasi masalah ini, paradigma baru dalam pengelolaan wakaf harus diterapkan. Wakaf harus dikelola secara produktif dengan menggunakan manajemen modern. Pendayagunaan wakaf secara produktif mengharuskan pengelolaan secara profesional dengan melibatkan sistem manajemen. Rumusan dasar manajemen yang terdiri dari perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating), dan pengawasan (controlling) akan memaksimalkan

16

Firman Muntaqo, Problematika dan Prospek Wakaf Produktif di Indonesia (Palembang: Universitas Sriwijaya Palembang, 2015 ), hlm. 92.

18

pendayagunaan wakaf.17 Penerapan prinsip pengawasan (controlling) ini akan menjadikan pengelolaan wakaf berjalan secara efektif dan efisien. Sejalan dengan hal ini UU No. 41 Tahun 2004 Pasal 64 menyatakan bahwa pelaksanaan pengawasan dapat menggunakan jasa akuntan publik.18 Dalam pelaksanaan organisasi, fungsi pengawasan (controlling) ini akan berimplikasi pada terwujudnya good governance (tata kelola yang baik) yang dicirikan dengan ditegakkannya prinsip akuntabilitas. Pada tahap berikutnya implementasi prinsip akuntabilitas ini akan berdampak pada meningkatkan kepercayaan publik (public trust) pada lembaga tersebut. Pemberdayaan pengelolaan wakaf perlu segera diawali mengingat masih banyak lembaga pengelola wakaf yang belum mengedepankan prinsip akuntabilitas ini, sehingga dikhawatirkan akan berimplikasi pada hilangnya kepercayaan (distrust) masyarakat terhadap lembaga itu. Dalam pengelolaan wakaf sendiri, kepercayaan masyarakat merupakan social capital yang terpenting. Karena itu, hilangnya kepercayaan masyarakat kepada lembaga pengelola wakaf, amat kontra produktif dengan cita-cita menjadikan wakaf sebagai instrumen untuk mensejahterakan umat. 3. Objek Wakaf dan Komitmen Nadzir Objek wakaf dikembangkan mencakup benda bergerak yang dapat diwakafkan, seperti: uang rupiah, logam mulia, surat berharga, benda bergerak lain yang berlaku, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa sesuai ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Benda wakaf adalah segala benda, baik bergerak atau tidak bergerak, yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam. Jumlah aset wakaf tanah di Indonesia sangat besar. Wakaf tanah di Indonesia sebanyak

17

Budi Kho, "Pengertian Manajemen dan Empat Fungsi Dasar Manajemen," Ilmu Manajemen industri, https://ilmumanajemenindustri.com/pengertian-manajemen-empatfungsi-dasar-manajemen/, diakses pada 9 Maret 2018. 18 , Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004. Pasal 64.

19

358.710 lokasi, dengan luas tanah 1,538,198,586 m2.19 Akan tetapi potensi ini belum dapat memberi peran maksimal dalam mensejahterakan rakyat dan memberdayakan ekonomi masyarakat. Nadzir adalah salah satu unsur penting dalam perwakafan. Berfungsi atau tidaknya wakaf sangat tergantung pada kemampuan nadzir. Di berbagai negara yang wakafnya telah berkembang dan berfungsi untuk memberdayakan umat, wakaf dikelola oleh nadzir yang profesional. Pada umumnya wakaf di Indonesia dikelola nadzir yang belum mampu mengelola wakaf yang menjadi tanggung jawabnya.20 Wakaf yang diharapkan dapat memberi kesejahteraan pada umat, akan sia-sia jika dikelola oleh nazir yang kurang profesional. Seorang nadzir dituntut bisa kreatif dan bisa mengelola wakaf secara produktif agar lebih maslahat. Nadzir memegang peranan yang sangat penting, karena berkembang tidaknya harta wakaf, salah satu di antaranya sangat tergantung pada nadzir wakaf. Agar harta itu dapat berfungsi sebagaimana mestinya dan dapat berlangsung terus-menerus, maka harta itu harus dijaga, dipelihara, dan jika mungkin dikembangkan. Dilihat dari tugasnya, seorang nadzir berkewajiban untuk mengadministrasikan harta benda wakaf, menjaga, mengembangkan harta benda sesuai dengan fungsi, tujuan, dan peruntukannya serta melestarikan manfaat dari harta yang diwakafkan bagi orang-orang yang berhak menerimanya. Di samping itu nadzir juga berkewajiban mengawasi dan melindungi harta wakaf. Dengan demikian jelas bahwa berfungsi dan tidaknya suatu perwakafan sangat tergantung pada kemampuan nadzir. Berkenaan dengan tugasnya yang cukup berat, maka nadzirpun mempunyai hak untuk memperoleh hasil dari pengembangan wakaf.

19

Firman Muntaqo, Problematika dan Prospek Wakaf Produktif di Indonesia (Palembang: Universitas Sriwijaya Palembang, 2015 ), hlm. 94. 20 Firman Muntaqo, Problematika dan Prospek Wakaf Produktif di Indonesia, hlm. 94.

20

Dalam UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 10 disebutkan bahwa seseorang hanya dapat menjadi nadzir apabila memenuhi persyaratan: a) Warga negara Indonesia; b) Beragama Islam; c) Dewasa; d) Amanah; e) Mampu secara jasmani dan rohani; dan f) Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.21 Adapun tugas nadzir dalam Pasal 11, yakni: a) melakukan pengadministrasian harta benda wakaf; b) mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya; c) mengawasi dan melindungi harta benda wakaf; d) melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.22 Selain nazir harus memahami hukum wakaf dan peraturan perundangundangan yang terkait dengan masalah perwakafan, memahami pengetahuan mengenai ekonomi syari’ah dan instrumen keuangan syari’ah, memiliki wawasan tentang praktik perwakafan khususnya praktik wakaf uang di berbagai Negara, memiliki akses kepada calon wakif., mengelola keuangan secara professional dan sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah, seperti melakukan investasi dana wakaf, melakukan distribusi hasil investasi dana wakaf, dan mengelola dana wakaf secara transparan dan akuntabel. Agar wakaf dapat berkembang dengan baik dan nadzir melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka harus dilakukan pengawasan terhadap pengelolaan wakaf. UU No. 41 Tahun 2004 Pasal 42 menegaskan nadzir wajib mengelola dan me-ngembangkan harta wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya. Agar memiliki daya guna yang maksimal, nadzir harus bersifat amanah dan profesional. Karena perannya yang sangta urgen, hukum positif Indonesia menetapkan nadzir sebagai unsur dalam perwakafan sebagaimana ditunjukkan oleh PP No. 28 Tahun 1977 Pasal 1, KHI Pasal 215 (5) dan UU No. 41 Tahun 2004 Pasal 6.

21 22

, Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004. Pasal 10 , Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004. Pasal 11

21

4. Lemahnya Sistem Pengawasan Pengawasan adalah hal yang sangat mutlak dilakukan. Setidaknya ada dua bentuk pengawasan yang sangat penting yaitu pengawasan masyarakat setempat dan pengawasan pemerintah yang berkompeten. Barangkali yang menyebabkan hilangnya banyak harta wakaf adalah lemahnya kontrol administrasi dan keuangan. Oleh karena itu, pengawasan pada kedua hal ini memerlukan keseriusan. Di samping pengawasan oleh masyarakat setempat, peran pengawasan pemerintah juga sangat penting. Pengawasan masyarakat dilakukan oleh dewan harta wakaf atau organisasi kemasyarakatan sesuai dengan standar kelayakan adminstrasi dan keuangan yang ketetapannya diambil dari standar yang berlaku di pasar, yang pada intinya menurut standar harga atau standar gaji di lembaga ekonomi yang berorientasi pada keuntungan, dengan tetap menjaga ciri-ciri objektif dan tujuan-tujuannya. Pengawasan masyarakat ini bisa lebih efektif dari pengawasan yang dilakukan oleh pihak pemerintah, karena bersifat lokal terutama untuk setiap harta wakaf terikat dengan orang-orang yang berhak atas wakaf dan dengan tujuannya secara langsung. Pengawasan masyarakat meliputi aspek administrasi dan keuangan secara bersamaan. Adapun pengawasan oleh pemerintah dapat melalui dua aspek administrasi dan keuangan namun pengawasan ini merupakan jenis pengawasan eksternal secara berkala. Dengan pengawasan ganda, yakni dari masyarakat dan pemerintah tersebut, diharapkan harta wakaf dapat berkembang dengan baik dan hak-hak mawqūf‘alayh terpenuhi, sehingga wakaf benar-benar dapat meningkatkan kesejahteraan umat. Regulasi pengawasan perwakafan di Indonesia sudah diatur dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dalam Pasal 63 ayat (1) disebutkan bahwa Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan wakaf untuk mewujudkan tujuan dan fungsi wakaf.23 Kemudian

23

, Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004. Pasal 63 ayat (1)

22

dalam ayat (3) pasal yang sama disebutkan bahwa pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan saran dan pertimbangan Majelis Ulama Indonesia. Kemudian dalam Pasal 65 disebutkan bahwa dalam pelaksanaan pengawasan, Menteri dapat menggunakan akuntan publik. Masalah pengawasan ini lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 42 Tahun 2006 tentang Pe- laksanaan UndangUndang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Dalam Pasal 56 PP No. 42 Tahun 2006 disebutkan: (1) Pengawasan terhadap perwakafan dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, baik aktif maupun pasif; (2) Pengawasan aktif dilakukan dengan melakukan pemeriksaan langsung terhadap nadzir atas pengelolaan wakaf, sekurang-kurangnya sekali dalam setahun; (3) Pengawasan pasif dilakukan dengan melakukan pengamatan atas berbagai laporan yang disampaikan nadzir berkaitan dengan pengelolaan wakaf; (4) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemerintah dan masyarakat dapat meminta bantuan jasa akuntan publik independen; (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan terhadap perwakafan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.24 Pembinaan dan pengawasan dalam persoalan wakaf ini sangat penting. Itulah sebabnya Pasal 63 menegaskan bahwa: (1) Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan wakaf untuk mewujudkan tujuan dan fungsi wakaf. (2) Khusus mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri mengikutsertakan Badan Wakaf Indonesia. (3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan saran dan pertimbangan Majelis Ulama Indonesia.25

24 25

, Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006. Pasal 56 , Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006. Pasal 63.

23

G. Kesimpulan Dalam memahami konsep dari wakaf masih terjadi perselisihan sejak dulu. Perbedaan pendapat dikalangan fuqaha (4 mazhab Sunni) dalam memberi pengertian wakaf tersebut pada akhirnya menimbulkan perbedaan akibat hukum yang ditimbulkan. Bukan sekedar berbeda dalam hal redaksi baik itu di kalangan Ulama Hanâfiyah, Ulama Mâlikiyah,dan Ulama Syâfi’iyah. Adapum dalam pengertian berdasar yuridis di Indonesia terdapat banyak peraturan yang menjelaskan terkait wakaf diantaranya, UU Nomor 41 Tahun 2004, dan KHI. Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa benda, baik bersifat tetap (al-Uqar), maupun bergerak (al-Manqul) seperti perlengkapan rumah, mashahif, bukubuku, senjata, dan kendaraan boleh dijadikan objek wakaf. Disamping itu, setiap benda yang boleh diperdagangkan dan dimanfaatkan (dengan tetap kekal zatnya), boleh juga dijadikan objek wakaf. Sebaliknya, al- Sayyid Sabiq berpendapat bahwa benda yang rusak (berubah) karena dimanfaatkan seperti uang, lilin, makanan dan minuman, tidak syah untuk dijadikan objek wakaf. Wakaf pada umumnya berupa tanah yang diberikan untuk umat. Sayangnya di Indonesia tanah wakaf tersebut belum dikelola secara produktif, sehingga belum dapat berperan dalam memberdayakan ekonomi umat. Ada banyak faktor yang menyebabkan esensi wakaf di Indonesia ini sangatlah rendah, diantaranya: kurangnya sosialisasi, pengelolaan dan manajemen yang kurang baik, objek wakaf dan komitmen nadzir,dan lemahnya sistem pengawasan.

24

Daftar Pustaka . Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004. Muntaqo, Firman. Problematika dan Prospek Wakaf Produktif di Indonesia. Palembang: Universitas Sriwijaya Palembang. 2015. Kho, Budi. "Pengertian Manajemen dan Empat Fungsi Dasar Manajemen." Ilmu Manajemen industri. https://ilmumanajemenindustri.com/pengertianmanajemen-empat-fungsi-dasar-manajemen/. diakses pada 9 Maret 2018. Fauzia, Amelia. Tim Penyusun Fenomena Wakaf di Indonesia: Tantangan. jakarta: Badan Wakaf Indonesia. 2016. Efendi, Satria. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Departemen Agama RI. 1992. Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1990. Nâjim, Ibnu. al-Bahr al-Raiq, Juz 5. Mishr: Dâr alKutub al-Arabiyah al-Kubra. Fikry, Sayyid ‘Ali. al-Muâmalat al-Maddiyyah wa alAdabiyyah, Juz 2. Dâr al Kutub al-Arabiyyah: Bayrût. Al-Syarbiny. Mughni al-Muhtâj, Juz 2. Mustafa al-Bâb al-Halaby: Mishr. Khosyi’ah, Siah. Wakaf dan Hibah. Bandung: Pustaka Setia. 2010. Abror, Khoirul. Dinamika Perwakafan Dalam Pemikiran Hukum Islam, Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia Dan Negara-Negara Muslim. Bandar lapmpung: Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung. 2014. . PP Nomor 28 Tahun 1977. . Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 (Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991). . Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006.

25

Related Documents


More Documents from "Roro"

Wakaf K5-converted.docx
April 2020 16
Metpen.docx
April 2020 13
Wakaf K5.docx
April 2020 12
Fiqh Siyasah.docx
April 2020 10
Distributed System
May 2020 15
Cara Shlat Lima Waktu.doc
October 2019 75