Wakaf Kontemporer
Dari Wakaf Uang, Gagasan, Saham hingga Aplikasi “Yang namanya wakaf itu, harta yang diwakafkan. Yang namanya al maal, itu ada al maal yang ‘ainiyah dan al maal yang al fukukiah. Ada mal yang bentuknya benda, ada mal yang bentuknya hak. Hak cipta, termasuk mungkin aplikasi. Aplikasi sebenarnya itu kalau dipatenkan berarti hak cipta, tapi kalau belum dipatenkan berarti termasuk hak intelektual. Bisa juga diwakafkan,” Praktek wakaf terus berkembang dari masa ke masa, sebagaimana pernah Alhikmah angkat dalam edisi 107 ‘Wakaf (Harus) Produktif 2’. Sebagai contoh, kita intip bagaimana negeri Jiran Singapura mengelola wakaf produktifnya. Pengembangan wakaf secara produktif ini pula yang menginisiasi berdirinya anak perusahaan MUIS (Majelis Ugama Islam Singapura), Waqf Real Estate Singapore (Warees) Investment Pte Ltd, pada 2001 dalam mengelola seluruh asset wakaf di Singapura. Saat itu, kompleksitas investasi tanah semakin meningkat, sehingga mau tak mau MUIS perlu mendirikan anak perusahaan. Melalui Warees Investment Pte Ltd, MUIS berupaya memisahkan fungsi-fungsinya. Sementara Warees Investment Pte Ltd fokus mengelola fungsi komersial dari asset wakaf, MUIS dapat lebih leluasa menjalankan peran regulasi, mendistribusikan hasil wakaf, dan meningkatkan manajemen wakaf. Salah satu pengembangan wakaf yang dilakukan adalah rekonstruksi wakaf Somerset Bencoolen, yang sebelumnya merupakan wakaf masjid dan 4 buah toko dari Syed Omar. Pada 2002, Warees membangun asset ini menjadi kompleks komersial. Kompleks ini berisi apartemen 12 lantai, 3 unit toko, 3 unit kantor, dan 1 bangunan masjid berdesain modern. Proyek ini mengembangkan pembiayaan keuangan syariah dalam bentuk musyarakah dan ijarah. Mereka menyiapkan dana sekira 35 juta SGD dari para investor (gabungan dari sejumlah waqif), dengan profit sebesar 3.03 persen pertahunnya. Oleh International Islamic Finance Forum, Singapura disebut-sebut sebagai satu-satunya negara di dunia yang melakukan inovasi wakaf dengan memanfaatkan konsep musyarakah. Dari data yang dihimpun Zaki Halim Mubarak, melalui jurnalnya Peran Wakaf dalam Membangun Identitas Muslim Singapura, asset wakaf Singapura saat ini mencapai
angka 586.700.000 SGD. Dari jumlah tersebut, MUIS menyalurkan dana sebanyak 98.900.000 SGD untuk kemaslahatan umat dan pemanfaatan sektor strategis. Itu baru Singapura, belum negara – negara lainnay seperti Arab Saudi, Turki, Bangladesh, Kuwait, Qatar, dll. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Anggota Badan Wakaf Indonesia (BWI) bidang Pengelolaan dan Pemberdayaan Wakaf Ir. Jurist Efrida Robbiyantono mengatakan bahwa edukasi tentang wakaf khususnya wakaf produktif harus terus digalakan. Menurut pria yang karib disapa Robbi ini, di negara-negara lain wakaf sudah maju dan berkembang pesat hingga wakaf saham, wakaf korporasi hingga untuk instrument pasar keuangan seperti sukuk, saham syariah, dll. “Di Turki itu, zaman Turki Utsmani sudah dikenal dan popular wakaf uang. Kita ketinggalan jauh, baru-baru ini saja 10 tahun terakhir,” kata Robbi. Malah, masih ada yang mempermasalahkan perbedaan pendapat mengenai wakaf uang. Mengenai wakaf uang, Direktur Rumahfiqih, ustaz Ahmad Sarwat, Lc, MA mengatakan bahwa wakaf uang merupakan bagian dari wakaf yang diperbolehkan. “Wakaf uang itu sebenarnya termasuk wakaf juga, hanya saja pemberi wakaf tidak mengeluarkan harta berupa aset, melainkan berupa uang tunai. Tetapi uang tunai ini nanti diinvestasikan di dalam berbagai jenis usaha.,” kata ustaz Ahmad Sarwat kepada Alhikmah medio Agustus lalu. Menurut beliau, pada hakikatnya, wakaf uang dengan wakaf aset yang diproduktifkan adalah sama, karena hasil dari usaha wakaf tersebut digunakan untuk kebermanfaat masyarakat luas. “Sama saja dengan wakaf kebun kurma oleh Umar bin Al-Khattab, ujung-ujungnya yang akan diambil adalah hasil panennya tiap tahun. Nah, kalau pakai pakai wakaf uang, uangnya dibelikan kebun kurma dan hasil panennya tiap tahun akan memberikan manfaat dan mengalirkan pahala,” katanya. Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof. Dr. Uswatun Hasanah mengatakan bahwa wakaf uang hukumnya boleh dan di atur oleh Undang-undang Wakaf no 41 tahun 2004. MUI sendiri telah mengeluarkan fatwa kebolehan wakaf uang yang wajib digunakan untuk kemaslahatan umat. Dalam fatwa MUI tahun 2002, disebutkan bahwa wakaf uang adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
“Wakaf Uang hukumnya jawaz (boleh),” kata fatwa yang diteken KH Ma’ruf Amin dan Prof. Hasanuddin ini. Namun, dalam salinan fatwa tersebut disebutkan bahwa nilai pokok Wakaf Uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan. Menurut Prof. Dr. Uswatun Hasanah, nazir (pengelola wakaf) harus benar-benar ahli dalam mengelola wakaf uang agar wakaf menjadi produktif seperti halnya di negara-negara lainnya. Prof. Uswatun mengaku, pernah melakukan riset tentang perkembangan wakaf di negara-negara muslim seperti Turki dan Arab. “Pengalaman saya ke Arab Saudi, dalam beberapa tahun saja wakafnya sudah berkembang. Ada hotel, yang hasilnya digunakan untuk kepentingan jamaah,” kata Prof. Uswatun kepada Alhikmah beberapa waktu lalu di kantornya di Gedung Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Guru Besar Fakultas Hukum UI ini mengatakan bahkan di negara-negara muslim, wakaf sudah jauh berkembang ketimbang zakat. Hal ini seharusnya membuat nazir di Indonesia harus semakin giat dalam inovasi-inovasi terkait wakaf. Wakaf Investasi dan Surat Berharga Beberapa lembaga (nazir) wakaf di negara-negara muslim sudah mulai mengembangkan wakaf korporasi, termasuk wakaf surat berharga seperti saham, obligasi syariah (sukuk), hingga investasi. Pakar Ekonomi Islam cum anggota BWI bidang Pengelolaan Pemberdayaan Wakaf Dr. Muhammad Maksum mengatakan bahwa pada prinsipnya, wakaf modern seperti saham, sukuk, dll bisa dilakukan dengan tetap menjaga nilai pokok wakaf dan hasilnya digunakan untuk kemaslahatan. “Itu sama dengan wakafnya reksadana atau surat berharga yang lain. Jadi ketika wakif bilang statusnya diwakafkan maka setiap dividen itu menjadi hasil dari wakaf yang digunakan, bukan sahamnya itu sendiri, tapi yang digunakan dividennya. Kalau reksadana berarti keuntungannya,” kata Dr. Maskum. Dosen Fakultas Hukum dan Syariah UIN Syarif Hidayatullah ini memberikan contoh sederhana. Misal, seseorang berwakaf 10 lembar saham dengan nilai 1 lembar 500.000. Ketika ia mendapatkan deviden, maka 500.000 (10 lembar saham) dipegang pokoknya, dan devidennya merupakan hasil dari wakaf saham. Jika wakafnya bercampur antara saham yang berstatus wakaf dengan yang bukan, maka tinggal dihitung pembagiannya secara akuntansi modern. Hasil dari wakaf saham tersebut, digunakan tergantung akad muwakif di awal untuk apa. Pun dengan sukuk, menurut Dr. Maksum, sukuk link wakaf kini dikeluarkan oleh Bank Indonesia. “Prinsipnya orang yang membeli sukuk, memiliki tujuan tadi,
pertama wakaf. Bisa ada 2 kemungkinan, wakafnya selamanya, atau wakafnya sampai progress sukuk habis,” kata Dr. Maksum. Karenanya, bonus yang diterima dari sukuk atau imbang hasil tidak diterima, tetapi diserahkan sebagai hasil wakaf. “Kan sama saja sukuk, saham, itu sama saja. Statusnya sama sebagai surat berharga. Kalau dia wakaf, maka itu yang tidak boleh habis, hasilnya yang bisa langsung dimanfaatkan,” katanya. Untuk wakaf surat berharga ini, anggota Komisi Fatwa MUI cum Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI Prof. Dr. Uswatun Hasanah mengingatkan betul agar nazir betul-betul paham seluk beluk investasi, wakaf, sukuk. “Prinsipnya harus sesuai syariah. Kalau berubungan dengan bank harus di bank syariah, bukan konvensional. Nazir juga seharusnya memiliki ilmu mumpuni tentang keuangan modern, atau praktisi seperti bankir. Jadi jangan setiap orang berhak menjadi nazir, harus orang yang benar-benar menguasai,” katanya. Wakaf Gagasan hingga Website Mengacu pada UU Wakaf no 41 tahun 2004, Prof. Dr. Uswatun Hasanah menjelaskan bahwa benda yang diwakafkan dapat berupa benda bergerak seperti tanah, uang, dll dan wakaf benda tidak bergerak seperti hak intelektual, hak cipta, dll. Hal ini, menurut anggota Komisi Fatwa MUI ini membuat peluang inovasi wakaf lebih terbuka ketimbang zakat dan lainnya. “Menurut para ulama, wakaf itu bisa bendar bergerak dan tidak bergerak. Yang penting pokok wakafnya tetap ada, dan hasil pengelolaannya jelas,” katanya. Sebagai contoh, menurut Prof. Dr, Uswatun Hasanah, seorang arsitek mewakafkan keahliannya untuk mendesain sebuah bangunan yang seharusnya orang membayar akan jasanya merancang bangunan. “Itu termasuk wakaf, wakaf keahliannya, wakaf gagasan,” kata Prof. Dr. Uswatun Hasanah. Pun jika hasil rancangan sang arsitek dibangun, maka beliau mendoakan agar pahala terus mengalir kepada sang perancang bangunan tersebut selama bangunan tersebut digunakan untuj Senada dengan Prof. Uswatun Hasanah, Dr. Muhammad Maksum mengatakan bahwa harta yang diwakafkan bisa berupa benda atau ‘bukan benda’. “Yang namanya wakaf itu, harta yang diwakafkan. Yang namanya al maal, itu ada al maal yang ‘ainiyah dan al maal yang al fukukiah. Ada mal yang bentuknya benda, ada mal yang bentuknya hak. Hak cipta, termasuk mungkin aplikasi.
Aplikasi sebenarnya itu kalau dipatenkan berarti hak cipta, tapi kalau belum dipatenkan berarti termasuk hak intelektual. Bisa juga diwakafkan,” katanya. Direktur Rumahfiqih Ustaz Ahmad Sarwat pun mengatakan bahwa wakaf benda tidak bergerak ‘bukan benda’ sangat mungkin sekali untuk dikembangkan menjadi model wakaf modern. “Silahkan saja model-model wakaf modern dikembangkan, yang penting prinsip wakaf itu bisa berjalan dengan baik. Dan memang pada dasarnya aturan pada wakaf itu sangat longgar, bisa dimodifikasi sedemikian rupa,” katanya. Ia mengatakan model seperti wakaf website, wakaf aplikasi, wakaf IT merupakan hal yang sangat bisa dilakukan selama pengelolaan dan prinsip utama wakaf dijalankan. “Wakaf itu bisa sangat fleksible. Pokoknya apa pun yang sekiranya bisa mendatangkan harta (manfaat) secara legal dan halal, bisa dijadikan salah satu model wakaf modern, termasuk wakaf hak cipta, HAKI, dan seterusnya sesuai dengan perkembangan zaman,” pungkasnya. Pemanfaatan Hasil Wakaf Jika zakat diperuntukkan untuk 8 asnaf dengan hitungan tertentu,lantas, bagaiman dengan wakaf? Anggota BWI cum Dosen Fakultas Hukum dan Syariah UIN Syarif Hidayatullah Dr. Muhammad Maksum mengatakan bahwa dalam wakaf dikenal istilah wakaf mutlak dan wakaf khusus. Wakaf khusus, menurut Dr. Maksum merupakan keinginan wakif agar hasil wakafnya digunakan untuk apa. Seperti ia mewakafkan mobil untuk wakaf produktif dan diminta hasilnya untuk anak yatim, maka hasil wakaf produktif mobil –missal disewakan- harus digunakan untuk anak yatim. “Ketika wakaf, pihak wakif menyebutkan wakaf digunakan untuk apa dan siapa. Kalau sudah ditetapkan, “ini saya berwakaf, nanti hasil dari manfaat ini untuk fakir miskin.” Berarti untuk fakir miskin. Untuk pendidikan sekolah, berarti untuk pendidikan sekolah. Untuk masjid, berarti harus digunakan untuk masjid,” katanya. Namun, jikaJika wakif tidak menyebutkan apa-apa, misal ‘saya wakaf ini, terserah hasilnya mau digunakan untuk apa.’”Dengan begitu bisa digunakan untuk apa saja oleh nazir untuk kepentingan umum,” kata Dr. Maksum. Dalam Undang-undang Wakaf sendiri, menurut Dr. Maksum, nazir bisa mendapatkan dana pengelolaan dan operasional dari hasil wakaf sebesar 10 %, namun untuk pokok wakaf harus terus dipertahankan dan tidak boleh digunakan.
Ustaz Ahmad Sarwat mengatakan bahwa seharusnya wakaf menjadi sumber pemasukan utama dalam sistem ekonomi ketimbang zakat, karena dana hasil pemanfaatan wakaf lebih bebas digunakan untuk kemaslahatan umat. “Wakaf sangat jauh berbeda dengan zakat, khususnya dalam masalah alokasi dan pemanfaatannya. Zakat itu terlalu ketat dan sempit, tidak boleh dialokasikan kecuali hanya kepada 8 ashnaf saja. Di luar itu, haram hukumnya dan amil zakat harus siap disiksa di neraka kalau menyelewengkan dana zakat di luar apa yang Allah sudah tentukan.” Katanya. “Adapun harta wakaf, sama sekali tidak ada batasan seperti 8 asnaf. Pemanfaatannya sangat-sangat free style, boleh dialokasikan di bidang apa saja, dengan model yang bagaimana saja,” pungkasnya.