TUGAS PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK MATERI MORAL KRISTIANI BUDAYA KEKERASAN VERSUS BUDAYA KASIH “HUKUM MATI”
1.
PENGERTIAN Hukuman mati atau pidana mati diartikan sebagai suatu hukuman yang
dijatuhkan oleh instansi pengadilan kepada seseorang yang melanggar hukum pidana, dilaksanakan dengan cara tertentu sehingga mengakibatkan terpisahnya jiwa dari raga (Hamzah, 1986:475). Hukuman mati telah dikenal sejak perundang-undangan Nabi Musa (mozaische wetgeving), demikian juga pada zaman berlangsungnya hokum Yunani, Romawi, Jerman, dan Katolik. Bahkan pelaksanaanya lebih kejam, terutama pada zaman kekaisaran Romawi (Arba‟I, 2002:5). Hukuman mati dikatakan sebagai hukuman tertua, disamping hukuman denda dan pidana fisik. Pidana mati dikenal di seluruh dunia meski sejak awal abad 20 banyak negara yang menghapuskannya. Beberapa negara memang telah menghapuskan hukuman mati dari aturan hukum yang berlaku, namun tidak pernah melaksanakannya. Beberapa negara juga mencoba membatasi penerapan hukuman mati dengan memperkenalkan hukuman mati yang ditunda. Ada pula negara, baik negara maju maupun berkembang, yang sepenuhnya menghapuskan hukuman mati untuk semua bentuk kejahatan tanpa pengecualian (Arba‟I, 2002:8-9). Tujuan hukuman mati berdasarkan yaitu sebagai upaya mengembalikan rasa keadilan masyarakat. Pelaku kejahatan harus ditimpa derita yang berupa pidana atau hukuman yang sekaligus sebagai pengajaran agar pelaku kejahatan menjadi jera. Hukuman mati mencegah adanya tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat kepada pelaku kejahatan. Hukuman mati berfungsi sebagai pelajaran bagi setiap anggota masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan. Hukuman mati bertujuan sebagai upaya mendidik pelaku kejahatan agar menyadari kesalahan untuk bertobat. Hukuman mati sebagai sarana mendidik masyarakat agar tidak
mencoba melakukan kejahatan yang akan merugikan dirinya sendiri serta orang lain (Hameda, 2013: 114-115).
2.
SEJARAH HUKUMAN MATI Hukuman mati resmi diakui bersamaan dengan adanya hokum tertulis,
yakni sejak adanya undang-undang Raja Hamurabi di Babilonia pada abad ke-18 Sebelum Masehi. Saat itu ada 25 macam kejahatan yang diancam dengan hukuman mati. Selanjutnya jenis tindak pidana yang diancam hukuman mati berubah-ubah. Sejak saat itu semakin banyak negara yang mulai menerapkan hukuman mati bagi rakyat yang melakukan kejahatan.
3.
PERKEMBANGAN HUKUMAN MATI Metode eksekusi yang dilakukan setiap negara dari waktu ke waktu semakin
berubah. Pada awal berlakunya hukuman mati, diterapkan cara eksekusi yang sangan kejam, seperti dikubur hidup-hidup, dibakar hidup-hidup, hukuman pancung, disalib, dirajam atau dilempar batu ramai-ramai atau dengan diinjak gajah. Pada periode ini hukuman mati sangat bervariasi di setiap tempat. Kebanyakan negara melaksanakan eksekusi didepan public dengan harapan rakyat akan jera. Pada periode ini pelaku kejahatan ringan seperti mencopet atau mencuri pun bias dihukum mati.
4.
CARA MELAKUKAN / PRAKTEKNYA Hukuman mati dilakukan dengan cara yang bervariasi tergantung setiap
tempat melakukannya, seperti : a.
Pancung
: hukuman dengan cara potong kepala.
b.
Sengatan Listrik : hukuman dengan cara duduk dikursi yang kemudian dialiri listrik.
c.
Hukum Gantung : hukuman dengan cara di gantung di tiang gantungan.
d.
Suntik Mati membunuh.
: Hukuman dengan cara disuntik obat yang dapat
e.
Hukum tembak
:
hukuman
dengan
cara
menembak
jantung
seseorang. f.
5.
Rajam
: hukuman dengan cara dilempar batu hingga mati.
SEBAB AKIBAT Dukungan terhadap hukuman mati didasarkan dengan argument diantaranya
bahwa hukuman mati untuk pembunuhan sadis akan mencegah banyak orang untuk membunuh karena gentar akan hukuman yang sangat berat. Dalam berbagai kasus banyak pelaku kejahatan, yang merupakan residivis yang terus berulang kali melakukan kejahatan karena ringannya hukuman. Praktek hukuman mati juga kerap dianggap bersifat bias terutama bias kelas dan bias ras. Hukuman mati merupakan cara yang tepat, untuk menghadapi penjahat yang kejam. Gereja pun tidak mendukung hukuman mati tetapi gereja tidak melarangnya. Bagi orang katolik masalah ini problematis, karena ajaran gereja mengenai kekudusan hidup manusia dan martabat manusia yang sepintas lalu tampak menentang tindakan mengakhiri hidup manusia.
6.
DASAR AJARAN GEREJA Ajaran-ajaran Yesus menitik-beratkan pada belas-kasih, rekonsiliasi dan
penebusan dosa; tema yang berulang-ulang ini dalam pesan Injil digunakan oleh Gereja Katolik Roma untuk menentang hukuman mati. Para Bapa Gereja seperti Santo Klemens dari Roma dan Santo Yustinus Martir menegaskan bahwa mengambil nyawa manusia adalah bertentangan dengan Injil dan mendorong umat Kristiani untuk tidak ikut-serta melaksanakan hukuman mati. Santo Agustinus menilai hukuman mati seharusnya hanya sebagai sebuah jalan untuk mencegah kejahatan dan melindungi pihak-pihak yang tidak bersalah. Pada Abad Pertengahan, Santo Thomas Aquinas menegaskan kembali sikap ini. Berikut ini adalah rangkuman dari Summa Contra Gentiles, Buku 3, Bab 146, yang ditulis oleh St Thomas Aquinas sebelum Summa Theologica. Santo Thomas adalah seorang pendukung vokal dari hukuman mati. Ini adalah
berdasarkan teori (yang ada di dalam Hukum Moral Alami), bahwa negara tidak hanya berhak, tapi juga merupakan tugasnya untuk melindungi warga negaranya dari para musuh negara, baik dari dalam maupun dari luar. Bagi mereka yang telah diangkat secara tepat, tidak ada dosa di dalam pelaksanaan hukuman mati tersebut. Bagi mereka yang menolak untuk mematuhi hukum Tuhan, adalah benar bagi masyarakat untuk menghukum mereka dengan sanksi-sanksi sipil dan kriminal. Tidak ada orang yang berbuat dosa dalam bekerja demi keadilan, dalam ruang lingkup hukum. Tindakan-tindakan yang perlu dilakukan untuk menjaga kesejahteraan masyarakat pada dasarnya bukanlah kejahatan. Kebaikan bersama di seluruh masyarakat adalah lebih penting dan lebih baik daripada kesejahteraan pribadi individu tertentu. "Kehidupan seorang yang berbahaya menjadi suatu hambatan untuk tercapainya kesejahteraan bersama yang adalah dasar dari kerukunan masyarakat manusiawi. Oleh karena itu, beberapa orang tertentu harus disingkirkan lewat kematian dari masyarakat manusia." Hal ini disamakan dengan tindakan dokter yang harus mengamputasi salah satu bagian tubuh yang sakit atau terkena kanker demi kebaikan diri seseorang. Santo Thomas Aquinas mendasari pemikirannya ini pada:
Kitab Surat Paulus yang Pertama kepada Jemaat di Korintus 5:6 : "Tidak tahukah kamu, bahwa sedikit ragi merusak seluruh adonan?"
dan 5:13 : "Usirlah orang yang melakukan kejahatan dari tengahtengah kamu.;
Surat Paulus kepada Jemaat di Roma 13:4 : "Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat,
takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah
menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat";
Surat Petrus yang Pertama 2: 13-14 : "Tunduklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi, maupun kepada wali-wali yang diutusnya untuk menghukum orang-orang yang berbuat jahat dan menghormati orang-orang yang berbuat baik."
Ia percaya kalimat-kalimat ini membawahi teks dari Kitab Keluaran 20:13 : "Jangan membunuh." Hal ini disebut lagi di dalam Injil Matius 5:21. Juga, bisa dihubungkan dengan kalimat di dalam Injil Matius 13:30: "Biarkanlah keduanya tumbuh bersama sampai waktu menuai." Waktu menuai diinterpretasikan sebagai rujukan untuk hari kiamat. Hal ini dijelaskan dalam Matius 13: 38-40. Aquinas sadar bahwa kalimat-kalimat ini bisa juga diartikan bahwa seharusnya tidak boleh ada hukuman mati apabila terdapat kemungkinan apa pun bahwa pihak tidak bersalah menjadi terkena dampaknya. Larangan "Jangan membunuh" dibawahi oleh Kitab Keluaran 22:18 : "Seorang ahli sihir perempuan janganlah engkau biarkan hidup." Argumen yang menyatakan bahwa pelaku kejahatan seharusnya diberikan kesempatan hidup supaya mereka bisa menebus dosanya ditolak dan dianggap sebagai argumen yang tidak tepat. Apabila mereka tidak bertobat di hadapan maut, adalah tidak masuk akal untuk menganggap mereka akan bertobat sama sekali. "Berapa banyak orang yang kita perbolehkan untuk dibunuh ketika menunggu orang yang bersalah untuk bertobat?", ia bertanya secara retoris. Menggunakan hukuman mati untuk balas dendam adalah pelanggaran atas hukum moral alami. Banyak pihak percaya bahwa interpretasi yang tepat dari perintah Allah tersebut adalah "Jangan melakukan kejahatan pembunuhan." Interpretasi ini mendukung kepercayaan Aquinas bahwa hukuman mati adalah sebuah tindakan yang bisa diterima sebagaimana yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berwenang atas hal tersebut, seperti pemerintah, yang diangkat secara ilahi menurut kehendak Tuhan. Di bawah Paus Yohanes Paulus II, Gereja Katolik malah menganjurkan hukuman penjara daripada hukuman mati, walaupun hukuman mati tersebut masil diperbolehkan di beberapa kasus ekstrem.