Tugas Ujian Stase Anak.docx

  • Uploaded by: yosua
  • 0
  • 0
  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tugas Ujian Stase Anak.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,619
  • Pages: 15
UJIAN AKHIR STASE Disusun untuk memenuhi syarat kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Bethesda pada Program Pendidikan Dokter tahap Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana

Disusun oleh : Yosua Harianto Gagola 42170209

Penguji : dr. Devie Kristiani, M.Sc, Sp.A (K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT BETHESDA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA YOGYAKARTA 2018

A. KASUS

E, seorang anak berusia 5 tahun, Berat badan 20kg, datang ke RS dengan keluhan buang air besar/BAB cair disertai lendir dan darah selama 2 hari. Dalam 1 hari BAB cair kira-kira 10-15 kali. Tiap kali mau BAB, E menangis kesakitan. Ada muntah tiap kali minum dan makan, tidak demam. Buang air kecil terakhir 12 jam yang lalu. Orang tua sudah memberikan oralit tetapi dimuntahkan kembali. Pemeriksaan fisik menunjukan E tampak lemah, bibir kering, nampak haus, dan peristaltik usus meningkat, akral hangat.

Pertanyaan : 1. 2. 3. 4.

Tuliskan diagnosis kerja (lengkap) pada pasien tersebut Bagaimana penanganannya termasuk obat yang harus diberikan pada pasien tersebut ? Pemeriksaan penunjang apa yang diperlukan untuk membantu penegakan diagnosis ? Sepuluh jam kemudian setelah mendapatkan penanganan di RS, E masih BAB cair 10 kali, muntah, belum BAK, nampak lebih lemas sehingga malas minum, mata tampak lebih cekung, tidak ada tanda syok. Bagaimana penanganan pada pasien E sekarang ?

B. PENANGANAN KEGAWATDARURATAN PEDIATRI 1. Gambarkan alur penanganan kejang pada neonatus 2. Gambarkan penanganan kejang pada anak usia >1 bulan

A. KASUS

1.

Diagnosis kerja : Disentri dengan dehidrasi ringan-sedang

2.

Penatalaksanaan :  Terapi cairan Berikan oralit 75ml/KgBB  75 x 20kg = 1500ml, selama 3 jam Jika anak muntah, tunggu selama 10 menit lalu berikan larutan oralit lebih lambat (misalnya 1 sendok setiap 2-3 menit) Setelah 3 jam nilai kembali derajat dehidrasi

Bila anak sama sekali tidak bisa minum oralit karena muntah profus, berikan terapi cairan melalui IV untuk mencegah terjadinya dehidrasi berat pada anak walaupun tanda dehidrasi berat belum muncul. Berikan infus RL atau Ringer Asetat 70ml/KgBB Kebutuhan cairan 70ml x 20kg = 1400ml, selama 21/2 jam 1

tetes mikro =

3

x Kebutuhan cairan x factor tetes waktu (jam x menit)

1

=

3

× 1400 × 60 150

= 187 tpm

setelah pemberian rehidrasi selama 21/2 jam, dilakukan evaluasi ulang derajat dehidrasi. Nilai urin output, mukosa bibir, turgor kulit, mata cekung, dan tanda dehidrasi lainnya. Setelah tanda dehidrasi sudah berkurang/hilang kurangi faktor tetesannya. Dan ganti kebutuhan cairan dengan kebutuhan cairan harian. Kebutuhan cairan BB 20 kg (menggunakan rumus Holiday Segar) Untuk 10 kg pertama : 100ml/kgBB  100 x 10 = 1000 ml Untuk 10 kg berikut : 50m/KgBB  50 x 10 = 500

tetes mikro =

1 x Kebutuhan cairan x factor tetes 3

waktu (jam x menit)

=

1 x 1500 x 60 3

24x60

= 20 tpm

 Antiemetik Bila mual dan muntah diberikan Domperidone 0,2mg/KgBB/kali BB anak : 20kg Dosis : 0,2mg x 20kg = 4mg Dengan Domperidone syrup 5mg/5ml  1 cth/kali diberikan 3 kali sehari  Antibiotik Pada infeksi amoeba diberikan Metronidazole 7,5mg/KgBB/kali BB anak : 20kg Dosis : 7,5mg x 20kg = 150mg Dengan Metronidazole tablet 500mg  150mg = 1/3 tablet/kali diberikan 3 kali sehari Pada infeksi shigellosis diberikan Cefixime 1,5-3mg/KgBB/kali BB anak : 20kg Dosis : 2,5mg x 20kg = 50mg Dengan Cefixime syrup 100mg/5ml  50mg = 1/2 cth/kali diberikan 2 kali sehari  Zinc Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut meskipun diare sudah berhenti Usia anak : 5 tahun Dosis : 20mg/hari

3.

Pemeriksaan Penunjang 

Pemeriksaan darah lengkap Dilakukan untuk melihat apakah keluhan pasien disebabkan oleh adanya infeksi (bakteri, viru, parasit) atau bukan, dan bisa melihat tanda-tanda jika terjadi anemia pada anak.



Pemeriksaan Feses rutin Pemeriksaan feses rutin dilakukan dengan tujuan untuk melihat tanda-tanda infeksi seperti adanya eritrosit dan leukosit PMN dalam feses. Dengan pemeriksaan feses juga dapat dilihat infeksi dari amoeba dengan adanya tropozoit Entamoeba Histolitica ataupun kista berbentuk bulat dan berkilau seperti mutiara. Kadang diperlukan pemeriksaan

berulang-ulang, minimal 3 kali seminggu dan sebaiknya dilakukan sebelum pasien mendapat pengobatan. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah infeksi disebabkan oleh amoeba atau Shigella. 

Kultur feses Kultur feses dilakukan untuk melihat spesies bakteri yang menginfeksi. Biasanya pada kasus disentri basiler bisa didapatkan strain shigella yang menyebabkan munculnya keluhan.

4.

Penatalaksanaan  muncul tanda dehidrasi berat  Rencana terapi Plan C, berikan cairan intravena segera RL atau NaCl 0,9% (bila RL tidak tersedia) 100ml/KgBB, selama 3 jam BB anak : 20kg 

30 menit awal : 30ml x 20kg = 600ml tetes mikro =



Kebutuhan cairan x factor tetes 600 × 60 = = 1200 tpm waktu (jam x menit) 30

21/2 jam berikutnya : 70ml x 20 = 1400 ml tetes mikro =

Kebutuhan cairan x factor tetes 1400 × 60 = = 560 tpm waktu (jam x menit) 150

B. PENANGANAN KEGAWATDARURATAN PEDIATRI

1. Alur penanganan kejang pada neonatus

Buka jalan napas, beri O2 bila perlu. Pasang jalur intravena, ukur gula darah

Fenobarbital ( IV atau IM ) Dosis awal : 20 mg/KgBB

30 menit, kejang menetap

Fenobarbital 10 mg/KgBB ( IV atau IM ) Kejang menetap

30 menit

Fenobarbital 10 mg/KgBB ( IV atau IM ) 30 menit

Kejang menetap

Fenitoin 20 mg/KgBB (bolus pelan dalam 20 menit)

Rumatan fenitoin 4-8 mg/KgBB/hari

Kejang berhenti

Rumatan fenobarbital 5 mg/KgBB/ hari

2. Penanganan Kejang pada Anak usia >1 Bulan

Keterangan : 0-5 menit  Yakinkan bahwa aliran udara pernapasan baik  Monitor tanda vital, berikan oksigen, pertahankan perfusi oksigen ke jaringan  Bila keadaan pasien stabil, lakukan anamnesis terarah, pemeriksaan umum, dan pemeriksaan neurologis secara cepat  Cari tanda-tanda trauma, kelumpuhan fokal dan infeksi

5-10 menit  Pemasangan akses intravena  Pengambilan darah untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, glukosa, elektrolit  Pemberian diazepam 0,2 – 0,5 mg/kgBB secara intravena (kecepatan 2mg/menit) atau dapat diberikan diazepam rektal 0,5 mg/kgBB (jika BB <10 kg diberikan 5 mg: bila BB > 10 kg diberikan 10 mg)  Atau dapat diberikan lorazepam 0,05 – 0,1 mg/kgBB intravena (maksimum 4 mg). alternatif lain adalah midazolam 0,05 – 0,1 mg/kgBB intravena.  Pemberian diazepam intravena atau rektal dapat diulang 1-2x setelah 5 – 10 menit, lorazepam 0,1 mg/kgBB dapat diulang sekali setelah 10 menit.  Jika didapatkan hipoglikemia, diberikan cairan dekstrosa 25% 2 ml/kgBB 10-15 menit  Cenderung menjadi status konvulsius  Berikan fenitoin 15 – 20 mg/kgBB intravena, diencerkan dengan NaCl 0,9% diberikan dengan kecepatan 25-50 mg/menit  Dapat diberikan dosis ulangan fenitoin 5 – 10 mg/kgBB, sampai maksimum dosis 30 mg/kgBB Lebih dari 30 menit  Pemberian antikonvulsan masa kerja panjang  Fenobarbital 10 mg/kgBB intravena bolus perlahan-lahan dengan kecepatan 100 mg/menit. Dapat diberikan dosis tambahan 5 – 10mg/kgBB dengan interval 10 – 15 menit.  Pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan meliputi analisis gas darah, elektrolit, gula darah. Koreksi kelainan yang ada. Awasi tanda-tanda depresi pernapasan.  Bila kejang masih berlangsung, siapkan intubasi dan kirim ke Unit Perawatan Intensif. Berikan fenobarbital 5 – 8 mg/kgBB secara bolus intravena, diikuti rumatan fenobarbital drips dengan dosis 3 – 5 mg/kgBB/jam.

LANDASAN TEORI

DEFINISI Disentri merupakan peradangan pada usus besar yang ditandai dengan sakit perut dan diare yang encer secara terus menerus yang bercampur lendir dan darah. Disentri amoeba (amoebiasis) adalah infeksi atau peradangan usus yang disebabkan oleh adanya infeksi parasit Entamoeba histolytica sedangkan Disentri basiler adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi bakteri Shigella, hal ini yang dapat menyebabkan diare semakin parah. Bakteri tersebut bila terus hidup dan berkembang biak dalam usus akan merusak dinding usus besar dan menyebabkan usus menjadi luka, infeksi dan mengalami perdarahan ulserasi

ETIOLOGI Etiologi dari disentri ada 2, yaitu : 1. Disentri Basiler Disentri basiler dapat disebabkan oleh bakteri Shigella,sp. Shigella adalah basil non motil, gram negatif, famili enterobacteriaceae. Ada 4 spesies Shigella, yaitu S.dysentriae, S.flexneri, S.bondii, dan S.sonnei. Penyakit ini kadang-kadang bersifat ringan dan kadangkadang berat. Suatu keadaan lingkungan yang jelek akan menyebabkan mudahnya penularan penyakit. Secara klinis mempunyai tanda-tanda berupa diare, adanya lendir dan darah dalam tinja, perut terasa sakit dan tenesmus

2. Disentri Amoeba Entamoeba histolytica merupakan protozoa usus, sering hidup sebagai komensal (apatogen) di usus besar manusia. Apabila kondisi mengijinkan dapat berubah menjadi patogen (membentuk koloni di dinding usus, menembus dinding usus menimbulkan ulserasi) dan menyebabkan disentri amoeba

PATOGENESIS & PATOFISIOLOGI a.

Disentri Basiler Kuman Shigella secara genetik bertahan terhadap pH yang rendah, maka dapat melewati barrier asam lambung. Ditularkan secara oral melalui air, makanan, dan lalat yang tercemar oleh ekskreta pasien. Setelah melewati lambung dan usus halus, kuman ini menginvasi sel epitel mukosa kolon dan berkembang biak didalamnya. Pada keadaan akut dan fatal ditemukan mukosa usus hiperemik, lebam dan tebal, nekrosis superfisial, tapi biasanya tanpa ulkus. Pada keadaan subakut terbentuk ulkus pada daerah folikel limfoid, dan pada selaput lendir lipatan transversum didapatkan ulkus yang dangkal dan kecil, tepi ulkus menebal dan infiltrat tetapi tidak berbentuk ulkus bergaung. S.dysentriae, S.flexeneri, dan S.sonei menghasilkan eksotoksin yang merupakan salah satu faktor virulen sehingga kuman lebih mampu menginvasi sel eptitel mukosa kolon.

b.

Disentri Amoeba Trofozoit yang mula-mula hidup sebagai komensal di lumen usus besar dapat berubah menjadi patogen sehingga dapat menembus mukosa usus dan menimbulkan ulkus. Akan tetapi faktor yang menyebabkan perubahan ini sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Diduga baik faktor kerentanan tubuh pasien, sifat keganasan (virulensi) amoeba, maupun lingkungannya mempunyai peran. Amoeba dapat memproduksi enzim fosfoglukomutase dan lisozim yang dapat mengakibatkan kerusakan dan nekrosis jaringan dinding usus. Bentuk ulkus amoeba sangat khas yaitu di lapisan mukosa berbentuk kecil, tetapi di lapisan submukosa dan muskularis melebar (menggaung). Akibatnya terjadi ulkus di permukaan mukosa usus menonjol dan hanya terjadi reaksi radang yang minimal.

GEJALA KLINIS a. Manifestasi klinis pada disentri basiler :  Nyeri perut bawah  demam yang mencapai 400C  diare disertai darah dan lendir, tenesmus, dan nafsu makan menurun

 Pada bentuk yang berat (fulminating cases) gejalanya timbul mendadak dan berat, berjangkitnya cepat, berak-berak seperti air dengan lendir dan darah, muntahmuntah, cepat terjadi dehidrasi dan dapat meninggal bila tidak cepat ditolong,  Kadang-kadang gejalanya tidak khas, dapat berupa seperti gejala kolera atau keracunan makanan

b. Beberapa manifestasi klinis pada penyakit disentri amoeba :  Perut kembung  Nyeri perut  Diare frekuen dengan tinja berbau busuk. Tinja bercampur darah dan lendir  Terdapat sedikit nyeri tekan di daerah sigmoid, jarang nyeri di daerah epigastrium. Keadaan tersebut bergantung pada lokasi ulkusnya  Keadaan umum pasien biasanya baik, tanpa atau sedikit demam ringan (subfebris)  Mual dan muntah.

PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Disentri basiler a) Pemeriksaan tinja Pemeriksaan tinja secara langsung terhadap kuman penyebab serta biakan hapusan (rectal swab). b) Endoskopi Gambaran endoskopi memperlihatkan mukosa hemoragik yang terlepas dan ulserasi. Kadang-kadang tertutup dengan eksudat. Sebagian besar lesi berada di bagian distal kolon dan secara progresif berkurang di segmen proksimal usus besar 2. Disentri amoeba a) Pemeriksaan tinja Biasanya tinja berbau busuk, bercampur darah dan lendir. Untuk pemeriksaan mikroskopik diperlukan tinja yang segar. Kadang diperlukan pemeriksaan berulang-ulang, minimal 3 kali seminggu dan sebaiknya dilakukan sebelum pasien mendapat pengobatan.

Pada pemeriksaan tinja yang berbentuk (pasien tidak diare), perlu dicari bentuk kista karena bentuk trofozoit tidak akan dapat ditemukan. Dengan sediaan langsung tampak kista berbentuk bulat dan berkilau seperti mutiara. Di dalamnya terdapat badan-badan kromatoid yang berbentuk batang dengan ujung tumpul,sedangkan inti tidak tampak. Untuk dapat melihat intinya, dapat digunakan larutan lugol. Akan tetapi dengan larutan lugol ini badan-badan kromatoid tidak tampak. Bila jumlah kista sedikit, dapat dilakukan pemeriksaan menggunakan metode konsentrasi dengan larutan seng sulfat dan eterformalin. Dengan larutan seng sulfat, kista akan terapung di permukaan sedangkan dengan larutan eterformalin, kista akan mengendap b)

Pemeriksaan sigmoidoskopi dan kolonoskopi Pemeriksaan ini berguna untuk membantu diagnosis penderita dengan gejala disentri, terutama apabila pada pemeriksaan tinja tidak ditemukan amoeba. Akan tetapi pemeriksaan ini tidak berguna untuk carrier. Pada pemeriksaan ini akan didapatkan ulkus yang khas dengan tepi menonjol, tertutup eksudat kekuningan, mukosa usus antara ulkus-ulkus tampak normal.

DIAGNOSIS a. Disentri Basiler Perlu dicurigai adanya Shigellosis pada pasien yang datang dengan keluhan nyeri abdomen bawah, dan diare. Pemeriksaan mikroskopik tinja menunjukkan adanya eritrosit dan leukosit PMN. Untuk memastikan diagnosis dilakukan kultur dari bahan tinja segar atau hapus rektal. Pada fase akut infeksi Shigella, tes serologi tidak bermanfaat. Pada disentri subakut gejala klinisnya serupa dengan kolitis ulserosa. Perbedaan utama adalah kultur Shigella yang positif dan perbaikan klinis yang bermakna setelah pengobatan dengan antibiotik yang adekuat. b. Disentri amoeba Pemeriksaan tinja sangat penting di mana tinja penderita amebiasis tidak banyak mengandung leukosit tetapi banyak mengandung bakteri. Diagnosis pasti baru dapat ditegakkan bila ditemukan amoeba (trofozoit). Akan tetapi ditemukannya amoeba bukan berarti meyingkirkan kemungkinan penyakit lain karena amebiasis dapat terjadi bersamaan

dengan penyakit lain. Oleh karena itu, apabila penderita amebiasis yang telah menjalani pengobatan spesifik masih tetap mengeluh nyeri perut, perlu dilakukan pemeriksaan lain, misalnya endoskopi, foto kolon dengan barium enema atau biakan tinja. Abses hati ameba sukar dibedakan dengan abses piogenik dan neoplasma. Pemeriksaan

ultrasonografi

dapat

membedakannya

dengan

neoplasma,

sedang

ditemukannya echinococcus dapat membedakannya dengan abses piogenik. Salah satu caranya yaitu dengan dilakukannya pungsi abses.

TATALAKSANA Farmakologi : a)

Penanganan dehidrasi dengan input cairan yang cukup sesuai kebutuhan cairan tubuh.

b)

Yang paling baik adalah pengobatan yang didasarkan pada hasil pemeriksaan tinja rutin, apakah terdapat amuba vegetatif. Jika positif maka berikan metronidazol dengan dosis 7,5mg/kg/BB dibagi tiga dosis selama 7 hari. Jika tidak ada amuba, maka dapat diberikan pengobatan untuk Shigella.

c)

Beri pengobatan antibiotik oral (selama 5 hari), yang sensitif terhadap sebagian besar strain shigella. Contoh antibiotik yang sensitif terhadap strain shigella di Indonesia adalah siprofloxasin, sefiksim dan asam nalidiksat.

d)

Beri tablet zinc sebagaimana pada anak dengan diare cair tanpa dehidrasi.

e)

Pada bayi muda (umur < 2 bulan), jika ada penyebab lain seperti invaginasi rujuk anak ke spesialis bedah.

Non Farmakologi : a)

Diet tinggi kalori tinggi protein Biasanya pada penderita disentri mengalami malnutrisi yang biasanya disebabkan adanya malabsorbsi karbohidrat, vitamin dan mineral. Penderita disarankan untuk makan makanan dalam bentuk yang relatif lembek (dengan tujuan mengurangi kerja usus).

b)

Penggunaan air bersih untuk minum.

c)

Mencuci tangan (sesudah buang air besar, sebelum menyiapkan makanan atau makan).

d)

Membuang tinja secara benar.

KOMPLIKASI Beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat disentri amoeba antara lain : 1.

Intestinal. Berupa perdarahan kolon, perforasi, peritonitis, ameboma, intususepsi, dan striktur

2.

Ekstraintestinal. Dapat terjadi abses hati, amebiasis kulit, amebiasis pleuropulmonal, abses otak, limpa, atau organ lain.

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat disentri basiler antara lain : 1. Instestinal. Berupa toksik megakolon, prolaps rectal dan perforasi 2. Ekstraintestinal. Dapat terjadi Haemolytic Uremic Syndrome (HUS), reaksi leukemoid (leukosit lebih dari 50.000/mikro liter), trombositopenia (30.000-100.000/mikro liter), hiponatremia, hipoglikemia berat bahkan gejala susunan saraf pusat seperti ensefalopati, serta artritis. PROGNOSIS Prognosis ditentukan dari berat ringannya penyakit, diagnosis dan pengobatan dini yang tepat serta kepekaan amoeba terhadap obat yang diberikan. Pada umumnya prognosis amoebiasis adalah baik terutama pada kasus tanpa komplikasi. Pada bentuk yang berat, angka kematian tinggi kecuali bila mendapatkan pengobatan dini. Tetapi pada bentuk yang sedang, biasanya angka kematian rendah; bentuk dysentriae biasanya berat dan masa penyembuhan lama meskipun dalam bentuk yang ringan. Bentuk flexneri mempunyai angka kematian yang rendah

DAFTAR PUSTAKA

1. Price. A, Wilson. L. M. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi VI. Jakarta: ECG, 2004 2. WHO, IDAI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta: WHO Indonesia, 2011. 3. WHO. 2007. Growth reference data for 5-19 years. United States 4. http://www.ichrc.org/54-disenteri 5. Marie, C., & Petri Jr., W. A. (2013). Amoebic dysentery. BMJ Clinical Evidence, 2013 6. Alvarez-Ordóñez, A., Martínez-Lobo, F. J., Arguello, H., Carvajal, A., & Rubio, P. (2013). Swine Dysentery: Aetiology, Pathogenicity, Determinants of Transmission and the Fight against the Disease. International Journal of Environmental Research and Public Health, 10(5), 1927–1947. http://doi.org/10.3390/ijerph10051927 7. Traa, B. S., Walker, C. L. F., Munos, M., & Black, R. E. (2010). Antibiotics for the treatment of dysentery in children. International Journal of Epidemiology, 39(Suppl 1), i70–i74. http://doi.org/10.1093/ije/dyq024 8. Tribble, D. R. (2017). Antibiotic Therapy for Acute Watery Diarrhea and Dysentery. Military Medicine, 182(Suppl 2), 17–25. http://doi.org/10.7205/MILMED-D17-00068

Related Documents


More Documents from "Hardy Putranto"