Tugas Kebijakan Kesehatan.docx

  • Uploaded by: purnama siregar
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tugas Kebijakan Kesehatan.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 31,007
  • Pages: 115
A. Kebijakan Kesehatan 1. Pengertian Kebijakan Kesehatan Kebijakan diartikan sebagai sejumlah keputusan yang dibuat oleh pihak yang bertanggungjawab dalam bidang kebijakan kesehatan untuk membuat keputusan atau bertindak atas suatu permasalahan. Kebijakan dapat disusun dalam semua tingkatan dari paling bawah sampai pusat dari swasta maupun Negara (Buse et al.,2005). Kebijakan atau “policy” secara umum digunakan untuk menunjukkan perilaku seorang aktor dari munculnya kebijakan misalnya seorang pejabat, organisasi maupun lembaga atau sejumlah aktor dalam bidang tertentu (Winarno B, 2012). Dalam menyusun kebijakan dikenal kerangka segitiga kebijakan kesehatan yang digunakan untuk memahami pentingnya mempertimbangkan isi kebijakan, proses penyusunan kebijakan dan bagaimana kekuatan yang digunakan dalam kebijakan kesehatan. 2. Implementasi Kebijakan Kesehatan Implementasi diartikan sebagai suatu perbedaan antara yang diinginkan arsitek kebijakan dan hasil akhir dari sebuah kebijakan atau yang terjadi antara harapan kebijakan dan hasil kebijakan. Proses pelaksanaan kebijakan dari pembuat kebijakan untuk direalisasikan oleh 7 8 pihak-pihak lain untuk mempengaruhi agenda kebijakan (Buse et al., 2005). Implementasi kebijakan adalah tahap krusial dalam proses kebijakan itu sendiri. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau mencapai tujuan yang diingankan. Menurut van Meter dan van Horn (Winarno B, 2012) membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan individu – individu atau kelompok baik swasta maupun pemerintah untuk mencapai tujuan dalam keputusan kebijakan sebelumnya. 3. Teori Implementasi Kebijakan Implementasi Kebijakan menurut van Meter dan van Horn (Winarno B, 2012) memfokuskan diri pada aktivitas atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk menjalankan keputusan kebijakan yang telah ditetapkan. Implementasi kebijakan tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh aktor pelaksana saja namun ada banyak variabel yang mempengaruhi. Beberapa variable dapat kita lihat dari beberapa teori implemetasi kebijakan antara lain : a. Model Edward III Menurut Edward III menyebutkan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variable, yaitu: (1) komunikasi; (2) sumber daya; (3) disposisi; dan (4) struktur birokrasi 9 b. Model Van Metter dan Van Horn

Menurut Van Metter dan Horn lima variable yang mempengaruhi implementasi kebijakan antara lain: (1) standart dan sasaran kebijakan; (2) sumber daya; (3) komunikasi antar organisasi dan penguatan komunitas; (4) karakteristik agen pelaksana; (5) kondisi sosial, ekonomi dan politik. c. Model Grindle Menurut Grindle terdapat dua variable besar yang mempengaruhi kebijakan yaitu isi kebijakan dan lingkungan implementasi. Variabel isi kebijakan ini mencakup (1) sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan; (2) jenis manfaat yang diterim;a (3) sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan; (4) apakah letak sebuah program sudah tepat; (5) apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci; (6) apakah sebuah program didukung oleh sumber daya yang memadai. Sedangkan variabel lingkungan kebijakan mencakup: (1) seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan; (2) karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa; (3) tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran (Subarsono, 2005).

B. Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional

Suara Hati Dokter: Mau Dibawa Kemana Hubungan Kita (Kolom Gagasan Solopos, 4 Desember 2013). Menarik membaca paparan “Doktor Mogok adalah Malapraktik” (Solopos, 2/12/2013). Sebagai seorang anggota Dewan Kehormatan Ikatan Advokat Indonesia, tentu beliau penulis artikel dimaksud, sangat menguasai permasalahan seputar hukum. Karena itu, sebagai hanya seorang dokter dan dosen, penulis menempatkan diri dalam penulisan berikut ini untuk lebih banyak bertanya. Awal mula kegaduhan soal dokter ini berawal dari munculnya penangkapan Dr Ayu di Manado sebagai terpidana kasus malapraktik sesuai keputusan MA. Berita ini kemudian direspon dengan gelombang keprihatinan para dokter, yang semakin lama semakin meluas, sampai ke tingkat nasional. Puncaknya adalah aksi keprihatinan secara nasional pada tanggal 27 November 2013 kemarin. Atas aksi tersebut, penulis terdahulu menyebut sebagai malpraktik. Alasannya adalah termasuk kesalahan profesional pasif karena dokter mogok kerja dan menelantarkan pasien. Disebutkan juga bahwa hal itu direstui oleh induksi organisasi PB IDI. Ada yang harus diluruskan dalam hal ini.

Dalamsuratnya tertanggal 25 November 2013, atas dasar hasil Rapat Koordinasi Nasional dengan para Ketua Perhimpunan Dokter, PB IDI menyerukan 2 hal utama. Pertama, agar para dokter bertafakur di rumah pada tanggal 27 November 2013 disertai doa semoga seluruh bangsa Indonesia senantiasa sehat. Kedua, sebagai aksi solidaritas, para dokter diseru untuk mengenakan pita hitam di lengan kanan sebagai tanda keprihatinan. Juga, bila hendak menyuarakan aspirasi di publik, untuk dapat disampaikan dengan cara yang menjaga harkat dan martabat dokter. Seruan itu lebih dahulu dinyatakan dengan syarat bahwa pelayanan emergensi dan untuk masyarakat miskin tetap berjalan. Penulis pribadi terlibat dalam rapat-rapat maraton di rumah sakit tempat penulis bekerja pada tanggal 26 November 2013. Tujuannya semata-mata untuk merumuskan formulasi agar baik aksi keprihatinan maupun pelayanan di rumah sakit tetap dapat berjalan. Diputuskan bahwa pelayanan pelayanan di rawat inap, IGD, rawat jalan yang bersifat segera dan tindakan penting yang sudah terjadwal seperti cuci darah maupun kemoterapi, tetap berjalan seperti biasanya. Kemudian informasi mengenai rencana pengaturan pelayanan dimaksud, telah penulis informasikan di media sosial untuk memperoleh efektivitas penyebaran. Harapannya, masyarakat bisa lebih menyesuaikan untuk keesokan harinya sekaligus upaya itu untuk meminimalkan distorsi informasi. Pagi-pagi sebelum dimulainya aksi, penulis dan teman-teman sejawat, lebih dulu memastikan jalannya pelayanan sesuai rencana. Baru setelah itu, sebagian diantara kami memulai aksi. Sedangkan sebagian yang lain, tetap menjalankan pelayanan di rumah sakit. Jelas dalam hal ini bahwa tidak ada niatan untuk menghentikan pelayanan emergensi (gawat darurat yang memerlukan pertolongan segera). Sedangkan untuk kasus-kasus yang ringan, maka sebagaimana biasa pada hari-hari libur, masih bisa dilayani pada hari berikutnya. Berita-berita yang kemudian muncul tentang terhambatnya pelayanan, selayaknya dapat disikapi lebih bijak. Misalnya berita pasien melahirkan di kamar mandi. Ternyata dari penelusuran didapatkan bahwa pasien itu dalam penanganan IGD. Ketika ke kamar mandi untuk buang air kecil, ternyata terjadi his (kontraksi untuk mulai proses melahirkan). Segera pasien ditolong dan ditangani beberapa lama sampai akhirnya melahirkan di ruang bersalin. Informasi ini berasal dari sejawat dokter yang menangani langsung kasus tersebut. Juga tentang pasien yang disebutkan “ditolak”, ternyata adalah memang kasus yang tidak tergolong emergensi. Tentu saja, dengan usaha maksimal pun masih ada ketidak nyamanan dalam pelayanan. Namun apakah sebesar itu salah para dokter sehingga aksi itupun terus dihujat?

Apakah semua berita tentang terhambatnya layanan itu tidak benar? Banyak yang diberitakan sebagai akibat “dokter demo” itu sebenarnya adalah berita-berita yang sudah rutin kita dengar sejak jauh sebelum aksi 27 November 2013. Pasien terlantar tidak mendapat kamar karena rumah sakit penuh, pasien kurang mampu terhambat karena administrasi sistem asuransi, anak-anak dengan gizi kurang, terpaksa tidak optimalnya terapi karena batasan asuransi, adalah bukan berita baru. Ini adalah potret pelayanan kesehatan kita yang memang masih perlu diperbaiki bersama. Kasus dr Ayu dkk, dalam pandangan penulis, hanyalah starting point atau pintu masuk untuk mengungkap banyak masalah dalam bidang kedokteran maupun sistempelayanan kesehatan kita. Itu yang lebih ingin disuarakan pada Aksi 27 November 2013 kemarin. Itu pula yang merupakan tanggung jawab pemerintah dan kita bersama, bukan hanya para dokter. Hari Sabtu lalu, ada berita di koran nasional bahwa pemerintah masih menunggak sebesar 1,8 T (trilyun agar tidak salah dibaca) untuk anggaran Jamkesmas dalam bingkai BPJS 2014. Artinya itu adalah uang yang seharusnya untuk memenuhi premi bagi masyarakat miskin. Padahal program itu akan mulai berjalan 1 Januari 2014 yang tinggal menghitung jari. Apakah hal ini bukan masalah besar bagi kita bersama? Beberapa saat lalu juga muncul berita dalam koran nasional bahwa kalau BPJS dilaksanakan dokter bisa memperoleh 924 juta per tahun. Padahal kalau diuraikan secara rinci, angka 19.225 rupiah itu adalah angka premi untuk per jiwa, bukan untuk dokternya saja. Jatah untuk kapitasi dokter masih belum final. Maksimal kalau mengikuti patokan layanan dari asuransi kesehatan pemerintah yang sekarang berjalan, maka angka kapitasi di kisaran 6 ribu rupiah. Dari angka itu, maksimal yang bisa diperoleh sebagai jasa dokter untuk setiap pasien adalah 44% nya. Betul, hanya sekitar 2500 rupiah. Mohon kiranya dapat dibantu merenung untuk dibandingkan dengan restribusi parkir di zona A, tanpa berarti meremehkan pekerjaan saudara-saudara kita yang bertugas di sana. Salahkah kalau penulis dan teman-teman dokter berharap, bahwa pemberitaan semacam itu dapat lebih jernih disampaikan? Hal kedua yang menjadi kritik dari artikel terdahulu adalah klaim bahwa dokter tidak pernah berniat buruk dan dokter tidak pernah salah. Sebagaimana komunitas profesi lainnya, pasti ada dokter yang tidak menjalankan profesi dengan benar. Sama dengan adanya hakim yang “menjual pasal”, polisi yang minta suap, pengacara yang bermain perkara, jaksa yang tersandung korupsi, wartawan “bodrek”, akuntan nakal, notaris menyalahgunakan sertifikat, insinyur konsultan proyek melakukan mark-up, dosen menjual jasa penyusunan tugas akhir atau peneliti yang plagiat. Tetapi

penulis yakin, masih jauh lebih banyak para anggota profesi itu yang tetap berusaha lurus menjalankan profesinya, tanpa niat jahat. Pasti ada perasaaan tidak terima dan berontak, kalau ada penilaian buruk terhadap profesi akibat adanya oknum anggotanya yang tidak profesional. Begitu juga dengan dokter. Dalam bingkai itulah, penulis juga yakin bahwa dokter yang benar, pasti tidak pernah berniat buruk kepada pasiennya. Apakah salah keyakinan penulis yang demikian? Apakah dokter tidak pernah salah? Dulu sekali barangkali berkembang dalam masyarakat bahwa “dokter itu tidak pernah salah”. Jadi justru itu berkembang di masyarakat. Namun sejak era Voltaire (1694-1778) sekalipun, sudah disadari bahwa dokter itu pun berisiko melakukan kesalahan karena luasnya masalah yang dihadapi. Tentu saja kesalahan yang tidak disengaja. Semua itu didasari kenyataan bahwa “medicine is a science of uncertaintity and art of probabilities” (William Osler, 1849-1919) yang mendasari era Evidence-based Medicine (Terapi berbasis bukti). Sejak era 2000an, semakin berkembang paradigma patient safety (keselamatan pasien) dalam layanan kedokteran. Dalam konsep itu, justru sangat dipahami bahwa to err is human (melakukan kesalahan tanpa sengaja itu adalah manusiawi). Karena itu dikampanyekan untuk to build a safer system (membangun sistem yang lebih aman). Jelas disadari bahwa dokter bukanlah dewa yang tidak pernah salah. Dengan sistem yang baik, maka risiko kesalahan yang memang manusiawi itu, bisa diluruskan. Terjadinya hal yang tidak diharapkan dalam pelayanan kesehatan, terbagi atas Kejadian Potensial Cedera, Kejadinan Nyaris Cedera, Kejadian Tidak Diharapkan dan Sentinel. Berturut-turut semakin berat implikasinya, namun juga berturut-turut makin kecil frekuensinya. Bila terjadi halhal itu, maka harus dilakukan penelusuran akar masalah (root cause analysis) dan dilaporkan kepada Komisi Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KPKRS) Kementerian Kesehatan. Dasarnya adalah Pasal 43 UU Rumah Sakit no 44/2009, diperjelas dalam Permenkes tentang Keselamatan Pasien no 1691/2011. Tujuan dari pelaporan secara nasional itu adalah agar menjadi pelajaran sehingga tidak terulang. Tidak semua kejadian itu menimbulkan kerugian bagi pasien. Bisa jadi juga “kelalaian” itu terjadi akibat keterbatasan kondisi setempat, maupun batasan dalam regulasi asuransi. Justru dengan sistem yang semakin baik, semakin kecil kerugiannya, semakin jarang kejadiannya. Tanpa menghilangkan tanggung jawab personal, tujuan mencari akar masalah adalah memperbaiki sistem agar “kelalaian” itu tidak terulang.

Adanya unsur kesengajaan dalam terjadinya kesalahan oleh dokter, sudah pasti harus ditindak. Hal ini misalnya diatur dalam Pasal 190 UU Kesehatan no 36/2009. Untuk hal seperti ini, tentu tidak layak dokter kalau sampai demo. Contoh nyata, bulan Maret 2013 kemarin ada keputusan MA yang memvonis seorang dokter akibat kelalaian sehingga perawat yang diberi instruksi memberikan obat, melakukan kesalahan dan berakibat meninggalnya pasien. Mohon dikoreksi kalau penulis salah mengingat, bukankah saat itu sama sekali tidak ada reaksi negatif dari dokter, apalagi sampai demo? Sedangkan unsur kelalaian oleh dokter, diatur dalam UU Praktek Kedokteran no 29/2004, UU Kesehatan no 32/2009 maupun UU Rumah Sakit no 44/2009, tidak mengandung unsur pidana. Penilaiannya diberikan wewenang kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (pasal 55-65 UU Praktek Kedokteran no 29/2004). Untuk diketahui, MKDKI ini bersifat otonom dengan keanggotaan terdiri dari 3 (tiga) orang dokter dan 3 (tiga) orang dokter gigi dari organisasi profesi masing-masing, seorang dokter dan seorang dokter gigi mewakili asosiasi rumah sakit, dan 3 (tiga) orang sarjana hukum (pasal 55). Dengan demikian, salahkah bila penulis merasa bahwa sinyalemen “MKDKI itu tidak obyektif” adalah tidak pada tempatnya? Hal berikut yang dikritik dalam artikel terdahulu adalah alasan mengapa diputuskan terjadi malpraktik dalam kasus Dr Ayu dkk. Penulis menyadari sangat kurang pengetahuan soal hukum, sehingga memilih tidak membahas secara khusus kasus tersebut. Pertama soal persetujuan tindakan. Penulis artikel terdahulu merujuk pada pasal 45 ayat 1 UU Praktek Kedokteran no 29/2004. Disebutkan bahwa setiap tindakan yang berisiko tinggi harus diberikan persetujuan tertulis yang ditanda tangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. Penulis yakin, tidak ada dokter yang membantah isi pasal tersebut. Namun ada penjelasan atas pasal tersebut dalam dokumen yang menyatu dengan UU dimaksud. Disebutkan dalam penjelasan pasal 45 ayat 1 bahwa “Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan. Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah

memungkinkan, segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan”.

Barangkali hal ini belum sempat terbahas pada artikel terdahulu tersebut. Secara rinci, hal ini juga disebutkan dalam Pasal 4 Permenkes tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran no 290/2008 bahwa “Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran”.

Dari sudut pandang institusi, hal ini juga diperkuat pada pasal 45 ayat 2 UU Rumah Sakit no 44/2009 bahwa “Rumah Sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam rangka menyelamatkan nyawa manusia”. Sebaliknya, bila sampai dokter dan/atau rumah sakit sengaja tidak mau memberikan pertolongan pertama pada pasien yang dalam keadaan gawat darurat, maka ancamannya adalah pidana (Pasal 190 UU Kesehatan no 32/2009). Hal ini menjadikan serba salah. Bagaimana seharusnya para dokter bertindak dalam kondisi seperti ini? Berikut ada contoh kasus nyata, baru-baru ini saja terjadi, setelah maraknya kasus Dr Ayu. Kejadian ini di sebuah pinggiran kota di pulau Jawa, bukan di pelosok. Malam itu ada seorang pasien hamil diantar ke sebuah RS dengan kondisi kejang-kejang. Diantar oleh mobil ambulans, sedangkan keluarganya dilaporkan akan menyusul. Kondisi pasien gawat, janinnya sudah menunjukkan tanda-tanda depresi (gawat janin). Seharusnya dilakukan operasi cito (segera, tanpa direncanakan sebelumnya). Namun, para dokter yang bertugas tidak berani bertindak, sebelum keluarganya datang. Selama menunggu, dicoba dilakukan pemeriksaan EKG dan foto rontgen karena bercermin pada kasus di Manado. Tetapi ternyata sulit dilakukan karena kondisi pasien kejang. Bila diberi obat anti kejang, justru itu bisa membahayakan. Setelah ditunggu-tunggu dengan penuh kecemasan, baru 2 jam kemudian, suaminya datang. Apa yang terjadi? Suami pasien marah-marah mengapa istrinya ditelantarkan tidak segera dioperasi. Bagaimana seharusnya dokter bertindak dalam hal ini? Masalah kedua yang menarik adalah soal kompetensi dan kewenangan. Disebutkan bahwa Dr Ayu dkk dinilai tidak memenuhi unsur kompetensi dan kewenangan. Dalam naskah keputusan PN Manado dan MA, yang penulis dapatkan dari situs resmi, diketahui bahwa status Dr Ayu dkk saat kejadian adalah residen atau peserta didik. Karena itu dinilai dalam putusan MA sebagai tidak berwenang karena belum Dokter Spesialis dan tanpa pendampingan. Bahkan ssebuah koran nasional terbitan tanggal 28 November 2013 di halaman depan menulis judul “SIP Dr Ayu palsu” Memang betul bahwa setiap dokter harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Ijin Praktik (SIP) sebelum menjalankan praktik (UU Praktek Kedokteran no 29/2004). Dalam hal sebagai peserta didik, maka yang harus ada dan menjadi kewajiban pribadi adalah STR sebagai Dokter Umum karena posisinya sedang belajar menjadi Dokter Spesialis. Untuk itu, penyelenggara pendidikan mengusulkan kepada Dinas Kesehatan setempat untuk menerbitkan SIP Kolektif yang berlaku di RS Pendidikan dan/atau jejaringnya selama yang bersangkutan dalam pendidikan (Pasal 7 Permenkes tentang Izin Praktik Kedokteran no 512/2007). Kompetensi yang dimiliki

seorang peserta didik, dinilai dan ditentukan sesuai aturan Kolegium (Dewan Pakar) masingmasing bidang spesialisasi. Semakin tinggi kelasnya dalam pendidikan, makin lengkap tingkatan kompetensinya. Dalam kasus Dr Ayu, sebelum kejadian tahun 2010 tersebut, yang bersangkutan telah melakukan lebih dari 100 kali operasi sesar tanpa timbul masalah berarti (berdasarkan naskah keputusan PN Manado). Sesuai penjelasan, yang bersangkutan memang sudah pada tahap mandiri. Artinya sudah dinilai mampu melaksanakan tindakan tersebut tanpa pendampingan, walaupun tetap harus melaporkan kepada pembimbingnya. Kalaupun misalnya memang benar bahwa SIP bagi Dr Ayu dkk belum diterbitkan, maka hal ini bukan merupakan klausul pidana. Memang pasal 75, 76 dan 79 UU Praktek Kedokteran no 29/2004 mengandung unsur pidana terkait tidak adanya SIP. Namun, terhadap hal itu telah dilakukan Judicial Review pada tahun 2007. Keputusan MK menyatakan bahwa unsur pidana terkait pasal-pasal tersebut, tidak lagi mengandung kekuatan hukum (Keputusan MK No 4/PUUV/2007). Tugas tentang SIP bagi peserta didik adalah kewajiban penyelenggara pendidikan dan Dinas Kesehatan setempat. Aturan tersebut pula yang dirujuk pada kasus Dr Ayu karena kejadian tahun 2010. Pada tahun 2011, ada perbaruan aturan dimaksud dengan Permenkes no 2052/2011. Perubahannya secara prinsip tidak mengubah terkait SIP bagi peserta didik, karena yang ditambahkan adalah tentang SIP bagi Dokter yang secara khusus ditugaskan ke RS daerah sebagai Tenaga residen calon spesialis maupun Dokter Internship. Memang di banyak daerah pelosok, sangat kekurangan tenaga dokter spesialis. Akhirnya Kemkes mengambil kebijakan bahwa residen yang sudah dinilai kompeten, dikirim ke daerah untuk melaksanakan tugas pelayanan dokter spesialis. Pegangannya adalah Surat Tugas dari Kemkes dan persetujuan dari Dinas Kesehatan setempat. Tentu saja, dalam banyak kasus, mereka bekerja tanpa didampingi oleh Dokter spesialis. Karena adanya kasus ini, muncul kekhawatiran pada sejawat-sejawat dokter yang dikirim ke daerah tersebut. Apakah mereka harus ditarik agar tidak bertabrakan dengan yurisprudensi kasus dr Ayu? Lantas, bagaimana pelayanan pasien di sana? Mohon kiranya kepada para ahli hukum untuk dapat memantapkan hati para dokter, bagaimana seharusnya kami bertindak? Hal lain adalah soal “tanda tangan karangan” pada surat persetujuan tindakan. Setelah membaca naskah keputusan PN Manado maupun MA yang penulis peroleh dari situs resmi, disebut bahwa tanda tangan pada surat persetujuan di kasus Dr Ayu itu adalah “karangan”. Dasarnya tidak sesuai dengan tanda tangan pada KTP, Kartu Askes dan Slip pengambilan uang di bank. Regulasi

menyebut bahwa selama pasien dalam keadaan sadar dan bisa berkomunikasi, maka persetujuan harus diperoleh langsung dari pasien. Sulit penulis bayangkan, dalam keadaan menahan sakit, dan posisi berbaring, akan bisa melakukan tanda tangan secara sempurna. Para dokter menjadi khawatir sekarang. Saat ini, form informed consent terbagi menjadi 2 bagian. Pertama tetang pemberian penjelasan. Kedua tentang persetujuan maupun penolakan tindakan. Pada kedua bagian, disertakan tanda tangan yang memberikan persetujuan, maupun 2 orang saksi. Bagaimana agar menjadi benar dan tidak berisiko? Mohon kiranya para pakar hukum berkenan memberikan penjelasan seperti apa cara yang memenuhi standar, agar ke depan tidak perlu lagi dituding melakukan pemalsuan tanda tangan surat persetujuan. Apakah harus seperti persetujuan akad kredit yang berlembar-lembar dengan tulisan huruf kecil-kecil, ditempel materai, dan setiap halaman diberi paraf/tanda tangan? Terkait dengan upaya mediasi, maupun penggantian kerugian, sudah banyak dibahas pada artikel oleh Agung Pambudi, seorang Advokat (Solopos, 30/11/2013). Disebutkan di sana bahwa bila terbukti terjadi suatu kelalaian, maka memang tidak ada unsur pidana. Penyelesaiannya melalui Peradilan Khusus Sengketa Medis. Dengan demikian, diperoleh putusan yang berkeadilan bagi semua pihak. Tentu saja dalam hal ini, penilaian terhadap terjadinya kelalaian dokter adalah oleh MKDKI sesuai amanat UU Praktek Kedokteran no 29/2004. Hal ini adalah mekanisme yang wajar dalam banyak organisasi profesi. Barangkali sama dengan kritik terhadap kasus dimana pilot dipersalahkan pada kasus kecelakaan pesawat. Atau juga kurang lebih ini sama dengan dengan mekanisme di kalangan pewarta bahwa “Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers” (www.dewanpers.or.id). Penulis, maaf, tidak mendapatkan penjelasan pasti untuk kasus seperti pada Dr Ayu ini, apakah juga ada mekanisme penilaian serupa terhadap hakim di PN Manado yang sesuai naskah keputusan MA dianggap melakukan kesalahan penerapan hukum. Satu hal yang pasti, komunikasi antara dokter dan pasien, telah lama menjadi perenungan kita. Relasi dokter pasien, sebagaimana digambarkan Dr Prastyadi Mawardi (Solopos, 27/11/2013) memang menyimpan “gunung es” masalah, walaupun sangat mungkin bukan dimaksudkan sebagai malpraktik. Bahkan akhir-akhir ini seolah meluas menjadi antara dokter dengan aparat

penegak hukum, maupun dokter dengan awak media. Suatu kondisi yang jelas sangat merugikan bagi kedua pihak, maupun bagi masyarakat. Penulis sendiri menggambarkan hubungan itu sebagai “benci tapi rindu”. Sebenarnya saling membutuhkan, tetapi juga terkesan saling curiga. Kondisi itu berkepanjangan, sehingga makin jauh jaraknya. Akibatnya, pasal-pasal regulasi yang memang harus kaku itu, diterjemahkan menjadi semakin kaku karena ketegangan hubungan antar para pihak. Semoga kasus dr Ayu dkk ini membuka mata kita bersama. Banyak masalah dalam hal kedokteran dan pelayanan kesehatan, yang akan makin merenggakan hubungan kalau tidak justru diungkap agar diketahui dan diperjuangkan bersama.

"Uji Cocok Serasi" Seri Layanan Darah (1)Untuk memastikan bahwa proses transfusi aman, dilakukan serangkaian proses pemeriksaan pra-transfusi. Inti dari proses itu adalah menguji apakah antara darah pasien dan donor yang akan ditransfusikan benar-benar cocok dan serasi. Bila terjadi ketidak cocokan dan ketidak serasian, maka timbul risiko bila ditransfusikan. Bisa berupa reaksi yang ringan, semacam gatal-gatal dan demam. Bisa juga sampai menimbulkan sesak nafas bahkan kematian. Uji pertama kecocokan dimulai dari memeriksa apakah keduanya se"golongan". Tentu harapannya adalah menemukan yang segolongan. Hanya pada kondisi ekstrem tertentu saja, ada klausul yang memaksa untuk justru menggunakan darah lain golongan. Bila sudah "cocok" golongannya, masih harus diteruskan dengan uji ke"serasi"an. Proses uji keserasian ini dilakukan secara bertahap. Pertama, dilakukan pencampuran secara langsung apa adanya, dan dilihat reaksinya. Tujuannya mendeteksi adanya interaksi antigen-antibodi yang secara alami memang menimbulkan ketidak serasian. Bila lolos, diteruskan fase kedua dengan menambahkan bovine albumin dan diberi penghangatan (inkubasi sesuai suhu tubuh). Tujuannya mendeteksi adanya ikatan antigen dengan antibodiantibodi yang awalnya masih tersembunyi. Setelah tersensitisasi, antibodi itu muncul dan aktif, sehingga berisika menimbulkan ketidak serasian. Bila lolos lagi, masih harus menjalani uji ketiga dengan melakukan inkubasi dan menambahkan Serum Coombs yang berisi anti-human-globulin. Tujuannya mendeteksi antibodi tersembunyi yang sebenarnya dalam kondisi normal bersifat tidak aktif dan tidak berpotensi fatal. Karena inkubasi dan sensitisasi, antibodi itu bisa menjadi aktif,

namun tetap belum menimbulkan ketidak serasian. Penambahan Serum Coombs yang kemudian "menjembatani" sehingga timbul ketidak serasian. Masih ada lagi catatan bahwa pada ketiga tahapan itu, diberi perlakuan "goncangan berputar" berupa sentrifugasi. Langkah ini untuk menguji seberapa besar "daya tahan" keserasian. Semua itu merupakan upaya untuk mensimulasikan berbagai kondisi yang mungkin terjadi bila darah donor benar-benar ditransfusikan. Hanya yang lolos ketiga tahap itu yang dinyatakan aman. Begitupun, ketika darah donor benar-benar ditransfusikan, tetap masih ada risiko, sehingga tetap diperlukan kehati-hatian dan kewaspadaan. Risiko reaksi transfusi pun tidak hanya yang timbul segera atau sesaat setelah ditransfusikan. Bahkan ada risiko yang baru timbul beberapa lama kemudian. Dalam hidup sehari-hari, untuk berteman, bersahabat dan terutama membentuk keluarga, seringkali kita sudah berhenti hati-hati saat merasa "cocok". Kita sering terhenti untuk tidak lagi waspada pada saat merasa "sudah segolongan, sudah setara, sudah sederajat, sama-sama sekolah tinggi, sama-sama bekerja yang mapan" dan banyak hal yang "setara" lainnya. Untuk kemudian bisa diharapkan kebersamaan itu bertahan lama, ternyata kita perlu menguji ke"serasi"annya. Ujian itupun bertahap, berjenjang, bervariasi dan berulang bahkan ketika kemudian membaur dalam hidup bermasyarakat. Pada setiap jenjang dan tahapan, akan ada ujian. Ada darah yang sudah cocok golongan darahnya, ternyata harus gugur baru pada uji keserasian fase pertama. Akibatnya hanya bertahan singkat, tanpa kelanjutan. Di masa selanjutnya, ada ujian yang bentuknya menyenangkan. Mirip dengan penambahan bovine albumin dan penghangatan darah. Bentuknya bisa harta bertambah, jabatan meninggi, anak-anak menyenangkan atau kemesraan yang seolah tak pernah hilang. Tanpa sadar, kondisi menyenangkan ini bisa membuat kita terlena. Saat mengalami goncangan, muncullah "antibodi tersembunyi" yang berisiko mengoyak keserasian. Kadang pula muncul godaan "dari pihak luar" sebagaimana penambahan Serum Coombs. Sebenarnya wajar bila ada perbedaan, karena tentu saja tidak pernah ada yang benar-benar sama. Namun perbedaan itu sebenarnya telah dapat diterima dan tidak menimbulkan masalah. Baru setelah ada "dari luar", perbedaan itu menjadi masalah dan mengancam keserasian. Bahkan setelah kemudian membaur dalam hidup yang sebenarnya di masyarakat, risiko yag mengancam keserasian itu masih ada. Kita harus tetap hati-hati dan waspada. Namun minimal,

bila fase-fase ujian "internal" itu sudah kita lalui, risiko yang tersisa makin kecil dan kita makin percaya diri menghadapinya.

Haruskah Uji Cocok Serasi? Seri Layanan Darah (2)Seorang sejawat bertanya ttg bagaimana bila dilakukan pemberian transfusi tanpa uji cocok serasi krn kondisi emergensi? Dicontohkan oleh Sejawat tersebut, ada kasus seorang SpOG yang dituntut akibat reaksi transfusi tanpa uji cocok serasi. Peraturan yang - sependek saya pahami - terbaru untuk masalah ini dapat dibaca pada pasal 16-19 PP 7/2011 ttg Pelayanan Darah. Intinya uji cocok serasi bersifat HARUS dan bila tidak dilakukan berarti pelanggaran dgn sanksi mulai administratif sampai pencabutan ijin. Dalam prakteknya secara logis bisa diikuti penerapan sebagai tindak pidana, artinya kalau terjadi masalah, bisa dijadikan sandaran untuk suatu tuntutan pidana. Bagaimana bila kondisi emergensi? Dalam standar Akreditasi RS versi 2012 dan aturan terkait (karena sebenarnya standar akreditasi selalu mendasarkan pada aturan terkait yang sudah ada), pelayanan darah mendapat tempat penting. Pada standar Hak Pasien, pemberian transfusi merupakan salah satu dari 4 hal yang harus mendapatkan persetujuan pasien. Harus diperoleh informed consent, tidak cukup dengan general consent for treatment. Standar lain juga banyak menyinggung soal pelayanan darah termasuk Pencegahan dan Pengendalian Infeksi. Yang berkaitan erat dengan pertanyaan Aris Handono, ada pada Standar Pelayanan Anesthesi dan Bedah (tanpa harus diartikan hanya menyangkut bidang bedah dan anesthesti, tetapi maksudnya mencakup semua layanan anesthesi dan tindakan pembedahan). Standar menyatakan bahwa bila ada kemungkinan diperlukan tindakan transfusi, maka harus diberitahukan kepada pasien dan keluarga, sebelum dimulainya tindakan. Tentu sekaligus informed consent-nya. Pada prakteknya, bila sudah diperkirakan kebutuhan, maka BDRS/UTDRS harus diminta menyiapkannya. Kesiapan ini diklarifikasi saat melakukan Sign-in sebelum tindakan pembiusan dimulai. Cara yang lazim dipakai, BDRS akan melakukan uji cocok-serasi lebih dulu, tetapi darah masih disimpan di BDRS. Bila nanti benar dibutuhkan, maka tinggal dibawa ke ruang tindakan. Bila ternyata tidak jadi dipakai, atau tidak semua kantung jadi dipakai, maka biaya yang dikeluarkan hanya untuk uji cocok-serasi saja. Bagaimana kalau ada kasus seperti paparan seorang Sejawat ini:

"Pernah alami seorang pasien yg butuh tranfusi sktr 30 colf dlm rentang 2 jam dlm kondisi emergency. Apakah setiap saat tersedia darah yg sudah uji kecocokan dan keserasian dlm jumlah yg cukup? Lalu berapa lama waktu yg dibutuhkan untuk tiap colf darah diuji kecocokan dan keserasian?" Waktu untuk uji cocok serasi bervariasi. Bila lancar, dalam arti tidak ada masalah kecocok serasian, maka cukup dalam waktu maksimal 1 jam. Tetapi bila ada masalah, tentu menjadi lebih panjang. Lantas bagaimana mengatasi kasus spt di atas? Tentu, selalu ada diskresi dalam setiap peraturan. Kondisi yang ada memaksa tindakan emergensi. Dalam hal ini yang penting komunikasi dengan keluarga harus maksimal dilakukan, dengan memperoleh informed consent. Termasuk bahwa kemungkinan terpaksa memberikan darah tanpa sempat melewati uji cocok serasi, namun sejauh mungkin tetap mencari kecocokan golongan darah. Maupun pada kondisi yang lebih berat lagi, terutama kemampuan penyediaan darah oleh UDD PMI setempat, menggunakan prinsip O universal. Dalam PP 7/2011, tidak ditemukan klausul secara rinci bagaimana menghadapi kasus khusus atau emergensi. Dalam pandangan saya, ini menjadi wilayah Komisi Nasional Pelayanan darah (Kepmenkes 1262/Menkes/SK/XII/2009) untuk menyusun panduan. Namun yang jelas, kasus ekstrem seperti ini tentu jarang. Namanya saja ekstrem. Untuk itu aturan secara umum harus dibuat ketat. Dalam kondisi memaksa, tentu saja keputusan itu ada pada klinisi yang menghadapinya. Secara praktek lokal, bagaimana agar tidak terjadi kegamangan pada kondisi spt itu, di rumah sakit harus dibentuk Panita Transfusi Darah. Selanjutnya disusun prosedur sebagai kesepakatan bersama multi disiplin, ditetapkan sebagai Prosedur Standar (Panduan Praktek Klinis, Alur klinis, Algoritma maupun protokol). Secara berkala Panitia Transfusi melakukan analisis terhadap pelayanan darah. Misalnya, apakah perkiraan kebutuhan darah pra tindakan, bersesuaian dengan kebutuhan sebenarnya. Dengan analisis ini, klinisi akan mendapat banyak informasi untuk mendasari keputusan klinis pada kasuskasus selanjutnya.

Apakah harus Uji Cocok Serasi (2) Seri Layanan Darah (3)Apakah tabel di bawah ini "betul"? Jawabannya tentu tidak sederhana. Hanya kalau mengacu pada prinsip "memberikan pelayanan dengan kemampuan tertinggi", tentu ada banyak hal yang perlu direnungkan. Terutama terkait dengan apakah harus Uji Cocok Serasi?

Sebenarnya sudah banyak yang paham soal Uji Cocok Serasi (adopsi dari kata Cross-Match). Prinsipnya melakukan uji secara ex vivo terhadap percampuran darah donor dan darah resipien/pasien. Komponen utama darah adalah sel dan serum. Mayoritas sel - hampir total bila dilihat perbandingannya - diwakili oleh eritrosit. Karena itu, prinsip cocok-serasi adalah "apa yang akan terjadi bila eritrosit dan serum donor bertemu dengan eritrosit dan serum pasien". Dalam pertemuan itu, fokusnya adalah "apakah berisiko terjadi ikatan aglutinasi dan berlanjut ke lisis eritrosit". Pemicunya adalah ikatan antigen-antibodi. Dalam hal eritrosit dan serum, antigen utama adalah Antigen A dan B di permukaan eritrosit, dengan anti-A dan Anti-B yang ada di serum. Kalau terjadi ikatan, berarti berisiko memicu aglutinasi dan lisis. Itu prinsip utamanya, sehingga kecocokan golongan darah menjadi uji pertama.

Tanggapan untuk Wawancara Ketua MKDKI (Wawancara dimaksud ditampilkan di

Tempo 4242/16-22 Desember 2013 hlm131-

135)(Tanggapan ini ditampilkan di Tempo Edisi 4244/30 Des 2013 - 5 Jan 2014) Membaca wawancara dengan Ketua MKDKI pada Tempo edisi 4242/16-22 Desember 2013 halaman 131-135, sangat menarik. Ada beberapa hal positif seperti penjelasan posisi dan komposisi MKDKI, perannya sebagai penentu ada tidaknya kesalahan tindakan dokter, sifat kerjanya yang harus pasif, kenyataan bahwa MKDKI masih kurang dikenal maupun bisa terjadinya kesalahan tindakan dokter karena beban kerja yang melebihi kepatutan. Hal-hal itu sangat patut didorong, untuk tercapainya kesepahaman dan penanganan permasalahan pelayanan kedokteran secara optimal. Namun terdapat pula beberapa poin yang hemat saya perlu mendapatkan informasi pembanding agar lebih jelas. Sebagai dokter, tentu kajian ini sebatas pemahaman saya, untuk saya bagi kepada masyarakat. Dasarnya adalah kekhawatiran saya akan timbulnya persepsi yang bukan tidak mungkin justru memperkeruh suasana. Pertama terkait SIP bagi Dr Ayu. Pada sebuah tulisan saya di sebuah koran harian tanggal 4 Desember 2013 lalu, hal ini telah saya jelaskan. Sebagai peserta PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis), Dr Ayu memang belum memiliki SIP Dokter Spesialis. Kewajiban pribadi yang bersangkutan adalah memiliki STR (Surat Tanda Registrasi) sebagai Dokter Umum yang diterbitkan oleh KKI (Konsil Kedokteran Indonesia). Selanjutnya, penyelenggara pendidikan mengusulkan kepada Dinas Kesehatan setempat untuk menerbitkan SIP Kolektif yang berlaku di

RS Pendidikan dan/atau jejaringnya selama yang bersangkutan dalam pendidikan. Dasar saya adalah Pasal 7 Permenkes tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran no 512/MENKES/PER/X/2007 yang berlaku saat kejadian tahun 2010 tersebut. Kemudian hal itu diperbarui dengan Pasal 3 dan 12 Permenkes 052/MENKES/PER/X/2011. Atas dasar ini pula, ada Program Kemkes untuk mengirimkan tenaga peserta PPDS tingkat akhir sebagai pelaksana pelayanan dokter spesialis di daerah-daerah yang masih kekurangan SDM. Atas dasar penugasan dari Kemkes, secara otomatis Dinas Kesehatan setempat mengeluarkan SIP selama melaksanakan penugasan. Apa saja yang berhak dilakukan seorang Peserta PPDS, sesuai kompetensinya. Tingkatan kompetensi yang dimiliki, dinilai dan ditentukan sesuai aturan Kolegium (Dewan Pakar) masingmasing bidang spesialisasi. Semakin tinggi kelasnya dalam pendidikan, makin lengkap tingkatan kompetensinya. Dalam kasus Dr Ayu, sebelum kejadian tahun 2010 tersebut, yang bersangkutan telah melakukan lebih dari 100 kali operasi sesar tanpa timbul masalah berarti (berdasarkan naskah keputusan PN Manado). Sesuai penjelasan, yang bersangkutan memang sudah pada tahap mandiri. Artinya sudah dinilai mampu melaksanakan tindakan tersebut tanpa pendampingan, walaupun tetap harus melaporkan kepada pembimbingnya. Kalaupun misalnya memang benar bahwa SIP bagi Dr Ayu dkk belum diterbitkan, maka hal ini bukan merupakan klausul pidana. Memang pasal 75, 76 dan 79 UU Praktik Kedokteran no 29/2004 mengandung unsur pidana terkait tidak adanya SIP. Namun, terhadap hal itu telah dilakukan Judicial Review pada tahun 2007. Keputusan MK menyatakan bahwa unsur pidana terkait pasalpasal tersebut, tidak lagi mengandung kekuatan hukum yang mengikat (Keputusan MK No 4/PUUV/2007 tanggal 19 Juni 2007). Yang masih berlaku dalam pasal-pasal tersebut adalah pidana denda, dan tidak ada lagi pidana kurungan. Mohon dapat dipahami bahwa menilik pasal-pasal tersebut, dicabutnya SIP bagi dokter karena suatu keputusan MKDKI, walaupun hanya sementara, adalah hukuman berat, secara material maupun imaterial. Melinik alur wawancara dalam laporan dimaksud, yang barangkali disebut “tindakan pidana” oleh Ketua MKDKI dalam wawancara tersebut, saya menduga adalah terkait pasal 42 UU Praktik Kedokteran no 29/2004. Isinya, sarana pelayanan kesehatan dilarang mengizinkan dokter atau dokter gigi yang tidak memiliki surat izin praktik untuk melakukan praktik kedokteran di sarana pelayanan kesehatan tersebut. Tentu pemerintah, aparat maupun masyarakat harus konsekuen dan tegas dalam hal ini.

Dalam semangat yang sama, hemat saya, kita semua juga harus tegas terhadap ketentuan pasal 73, 77 dan 78 UU Praktik Kedokteran no 29/2004. Tidak jarang kita lihat ada yang memasang nama tempat praktik, menggunakan alat dan/atau metode yang mirip dengan dokter bahkan sampai menuliskan resep, surat keterangan sakit atau surat rujukan sehingga menimbulkan kesan seolaholah adalah dokter atau dokter gigi. Terhadap hal-hal tersebut, jelas adalah pelanggaran terhadap pasal-pasal dimaksud yang mengandung ancaman pidana. Tidak berlebihan rasanya kalau kita menilai bahwa penegakan aturan terhadap hal tersebut masih kurang nyata. Minimal kita tidak cukup menaruh perhatian, sebagaimana kita menuntut dokter/dokter gigi untuk memenuhi semua aturan. Hal menarik lain adalah terkait prosedur informed consent. Prinsip dasar, semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien, harus mendapatkan persetujuan. Diperolehnya persetujuan setelah mendapat informasi atau penjelasan. Bentuk persetujuannya bisa diberikan secara isyarat, lisan maupun tulisan. Untuk tindakan berisiko tinggi, harus diperoleh persetujuan secara tertulis. Pengecualian pada kondisi gawat darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecatatan, tidak diperlukan persetujuan. Demikian juga bila tindakan itu merupakan program pemerintah untuk kepentingan masyarakat banyak (Pasal 2, 3, 4 dan 15 Permenkes 290/MENKES/PER/III/2008). Dalam pelayanan RS sesuai Standar Akreditasi versi 2012, dipilah antara General Consent dan Informed Consent. Persetujuan umum diberikan untuk hal-hal yang bersifat umum dan rutin atau berulang selama perawatan. Dijelaskan dan ditanda tangani pada saat mulai masuk RS untuk mendapatkan pelayanan. Informed Consent secara umum harus didapatkan secara tertulis sebelum dilakukan 4 hal: tindakan operasi atau prosedur invasif, pemberian anesthesi termasuk sedasi sedang dan dalam, pemberian darah atau produk darah, maupun tindakan atau pengobatan berisiko tinggi. Beberapa RS menambahkan beberapa kondisi yang dianggap juga berisiko tinggi di luar 4 kelompok tersebut. Misalnya dalam hal keikutsertaan sebagai subyek penelitian. Pasal 10 Permenkes yang sama menjelaskan bahwa untuk memberikan penjelasan sebelum mendapatkan informed consent, prinsip dasar adalah menjadi tanggung jawab dari dokter yang akan melakukan tindakan (ayat 1). Dalam hal dokter dimaksud tidak bisa menjelaskan langsung, maka dapat didelegasikan kepada dokter lain yang berkompeten (ayat 2). Tenaga kesehatan

tertentu dapat membantu menjelaskan sesuai kewenangannya (ayat 3), asalkan tenaga tersebut terlibat langsung dalam pelayanan terhadap pasien dimaksud (ayat 4). Pemberian delegasi untuk menjelaskan, tidak melepaskan tanggung jawab pada dokter yang melakukan tindakan (Manual KKI tentang Persetujuan Tindakan Medik). Prinsip selanjutnya, persetujuan harus diperoleh langsung dari pasien yang kompeten. Bila memang pasien tidak kompeten, maka beralih pada keluarga dekat (istri/suami, orang tua, anak dan saudara kandung). Selain keluarga dekat tersebut, boleh disertakan dalam mendapatkan penjelasan,t etapi tidak berhak memberikan persetujuan. Dokter wajib menanyakan soal hubungan keluarga ini, tetapi beban pembuktian terhadap kebenaran hubungan tersebut tidak pada dokter. Beban itu pada pihak pasien. Yang ingin saya kedepankan bahwa jelas diperlukannya persetujuan ini bukan semata-mata karena ketakutan atau kekhawatiran dari kalangan kedokteran, tetapi atas alasan keselamatan pasien. Bila dipandang secara kaku, justru pelayanan terbaik yang bukan tidak mungkin justru terkorbankan. Semoga informasi ini bisa melengkapi isi wawancara pada edisi Tempo dimaksud.

Bukan Insentif Dokter, tetapi Standar Pelayanan (Dimuat

di

Kolom

Opini

Suara

Pembaruan,

16

Januari

2014 http://www.suarapembaruan.com/pages/e-paper/2014/01/16/index.html#/11/zoomed ) Pelaksanaan JKN dengan penyelenggara BPJS Kesehatan telah memasuki pekan ke tiga sejak 1 Januari 2014. Suara-suara tentang “kok begini kok begitu” bermunculan. Baik pasien maupun pemberi pelayanan menjadi merasa sangat dibatasi. Sebaliknya, dokter diberitakan mendapat penghasilan tinggi Bahkan akan mendapat insentif. Kondisi ini menimbulkan saling curiga dan ketegangan di lapangan. Sejatinya, JKN adalah program bagus, program mulia. Menempatkan segitiga antara pengguna layanan kesehatan, pemberi layanan dan pengelola pembiayaan. Ketiganya setara, berbagi hak dan kewajiban, saling checks-and-balances. Pemerintah menjadi “wasit” dan pengayomnya. Muara JKN adalah memberikan perlindungan semesta (universal coverage). Tujuannya semua rakyat mendapatkan jaminan layanan kesehatan yang sama, apapun latar belakangnya. PNS, anggota TNI, penerima upah, maupun bukan penerima upah dan yang mendapatkan PBI, semua mendapat layanan yang sama.

Kita bayangkan sebuah kubus besar. Dari salah satu sudut pada dasar kubus, kita tarik 3 garis. Masing-masing 1 garis menyusur sisi mendatar, dan 1 garis menyusur sisi tegaknya. Kemudian ketiga garis itu saling dihubungkan sedemikian sehingga terbentuk sebuah kubus baru yang lebih kecil di dalam kubus yang pertama. Garis pertama menunjukkan proporsi jumlah penduduk yang dicakup dalam pertanggungan. Garis kedua menunjukkan cakupan layanan atau manfaat yang ditanggung. Garis ketiga menunjukkan besarnya proporsi biaya yang ditanggung dan yang masih harus dibayar langsung oleh pengguna atau pasien. Banyaknya dana yang terkumpul dari premi itu seperti kubus kecil. Targetnya menyamai ukuran kubus besar (perlindungan semesta). Menambah jumlah penduduk yang ditanggung, berarti 2 garis yang lain terpaksa berkurang panjangnya. Bentuk kubus menjadi lonjong. Begitu juga sebaliknya. Tarik ulur ini harus dicari titik optimalnya. Bila sulit karena ukuran kubus terlalu kecil, padahal pemerintah berkewajiban menjamin kesehatan rakyat, pilihannya adalah menambah “ukuran kubus kecil” melalui anggaran kesehatan minimal 5% dari APBN. Sejak awal, bahkan oleh Presiden, seringkali dinyatakan bahwa “semua pelayanan kesehatan akan gratis, semua orang tidak boleh ditolak di RS”. Artinya, garis cakupan penduduk dimaksimalkan, garis cakupan pelayanan dimaksimalkan, sementara garis proporsi pembiayaan sendiri dihilangkan sepenuhnya (gratis). Padahal sejak awal pula kita tahu terjadi tarik ulur soal besaran premi. Jelas ada yang tidak sinkron. Kubus kecil itu menjadi tidak karuan bentuknya. Akibatnya muncul keluhan yang bersumber pada “berkurangnya” layanan. Ada yang berkilah bahwa sebenarnya plafon di era JKN dengan BPJS ini sudah lebih tinggi daripada Askes. Kalaupun ini benar, masalahnya garis cakupan penduduk yang ditanggung juga bertambah. Padahal ada beda besaran premi yang dibayarkan peserta Askes dengan PBI maupun non-PBI. Tentu mudah dipahami bahwa terjadi pergeseran “bentuk kubus” tadi. Kembali bahwa sebenarnya JKN adalah program bagus. Pola rujukan yang ketat, memang seharusnya demikian. Dokter Layanan Primer sebagai PPK 1, dituntut sangat profesional dengan memenuhi kompetensi pada 144 diagnosis yang harus paripurna ditanganinya. Para dokter di tingkat lanjut (PPK 2 dan PPK 3) juga dituntut profesional untuk menangani kasus sesuai tingkatan spesialisasinya. Langkah ini juga berusaha menggeser keseimbangan pola pembiayaan kesehatan. Selama ini, 80% biaya diserap pada tingkat layanan sekunder dan tersier (RS dan RS Rujukan). Hanya 20% di tingkat primer. Diharapkan ke depan menjadi seimbang pada kurang lebih sama.

Masalahnya kembali pada kubus kecil yang ditarik-tarik ke segala arah tadi. Selama 2 pekan pertama ini yang terjadi adalah “meraba-raba dalam ketidak pastian”. Pegangan pasti memang belum cukup rinci, baru regulasi umum. Bahkan di beberapa tempat, daftar pasien dalam tanggungan saja belum jelas. “Kekesalan” pasien di hari-hari awal tertuju pada RS dan dokter. Padahal posisi mereka juga sama-sama masih bingung. Acuan JKN sebenarnya adalah kendali mutu dan kendali biaya. Sebelum UU SJSN no 40/2004, sebenarnya UU Praktik Kedokteran no 29/2004 sudah menegaskan prinsip itu sebagai kewajiban dalam penyelenggaraan praktik kedokteran (Paragraf 5 pasal 49). Pasal 51 huruf (a) menegaskan bahwa dokter atau dokter gigi berkewajiban “memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien”. Bila tidak dipenuhi, ada ancaman pidananya, sesuai pasal 79 huruf (c). Hemat saya, kendali mutu adalah “pelayanan sesuai dengan standar”, kendali biaya adalah “pembiayaan sesuai kebutuhan”. Pasal 51 tersebut, diturunkan pada Peraturan Menteri Kesehatan no 1438/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran. Standar ini dibuat dengan tujuan “memberikan jaminan kepada pasien untuk memperoleh pelayanan kedokteran yang berdasarkan pada nilai ilmiah sesuai dengan kebutuhan medis pasien” (pasal 2). Selanjutnya, pasal 3, standar itu disusun dalam bentuk Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK). Penyusunnya adalah organisasi profesi yang kemudian disahkan oleh Menteri. Selanjutnya, PNPK tersebut menjadi acuan bagi pimpinan fasilitas kesehatan untuk menyusun Standar Prosedur Operasional (pasal 10). Tentu saja, dalam hal ini melibatkan Komite Medik yang mengkoordinasikan para pakar di masing-masing bidang spesialisasi. SPO ini yang menjadi pegangan dokter menjalankan praktik kedokteran di fasilitas kesehatan tersebut. Dalam 2 pekan ini, banyak dokter merasa bahwa akibat tarik-menarik kubus kecil tadi, berisiko mutu pelayanan terpaksa menurun. Padahal jelas itu berisiko sekali bagi pasien, maupun bagi pemberi pelayanan. Instrumen pengendali mutu, mau tidak mau, seharusnya adalah standar pelayanan kedokteran. Sekaligus standar ini juga mengendalikan biaya agar sesuai kebutuhan medis pasien, bukan sekedar “keinginan” dokter maupun pasien.

Sayangnya, dalam JKN ini, terkesan sekali bahwa instrumen pengendali itu adalah “plafon tarif”. Akhirnya, bagi rumah sakit tentu mengharapkan dokter mau tidak mau “menyesuaikan” plafon. Kesan ini terasa kuat, karena yang ditonjolkan adalah soal tarif, bukan standar pelayanan. Bila ini dibiarkan, minimal ada 2 kemungkinan buruk. Pertama, pelayanan sub standar yang berisiko buruk bagi pasien dan kecenderungan dilakukannya praktik up-coding (“mengakali” sistem agar mendapat klaim tinggi). Pada kedua-duanya, risiko hukum yang harus dihadapi oleh para dokter dan rumah sakit. Kiranya kita sepakat, hal ini harus dihindari, lebih penting daripada soal peningkatan insentif dokter. Apakah memang insentif bagi dokter itu tidak penting? Itu penting, itu perlu. Tetapi bentuknya bukan uang langsung. JKN mensyaratkan PPK 1 adalah Dokter Layanan Primer. Padahal produk dokter umum yang ada saat ini, belum dalam kapasitas tersebut. Kurikulum Pendidikan Dokter yang menyiapkan ke sana, baru mulai menghasilkan lulusan beberapa tahun ke depan. Insentif pemerintah, salah satunya, sebaiknya dalam bentuk biaya pendidikan menuju Dokter Layanan Primer. Kewajiban dokter lain pada pasal 51 UU Praktik Kedokteran no 29/2004 adalah “menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran”. Kalau tidak dipenuhi, para dokter tidak bisa memperpanjang sertifikat kompetensinya, sehingga tidak bisa lagi melayani masyarakat. Pemerintah seharusnya juga memberikan insentif dalam bentuk kemudahan dokter memenuhi kewajiban tersebut. Cara ini, banyak nilai positifnya. Termasuk juga positif untuk keberhasilan implementasi program JKN. Mari kita dukung bersama program JKN ini dengan bersikap kritis agar lebih baik dalam implementasinya. Semata-mata, semua itu, demi kemaslahatan bersama, seluruh rakyat Indonesia, termasuk pemberi layanan kesehatan di dalamnya.

The World Health Report. Health System Financing; the Path to Universal Coverage, WHO, 2010, p.13

RS Berbohong soal jumlah tempat tidur? Berita soal sebuah RS di Jakarta yang dituding berbohong soal ketersediaan tempat tidur, bahkan sampai dianggap menelantarkan pasien sehingga meninggal, mengingatkan saya ke tulisan lama di April 2013 lalu. "Jumlah tempat tidur 150, yang indikasi rawat inap 155, maka akan diberitakan bahwa 5 pasien ditolak RS"... Ungkapan ini benar, tetapi masih belum tepat. Kalau total beds 150, maka operasional yang efektif mensyaratkan hanya terisi sekitar 80% (itungitungannya agak kompleks, itu estimasinya). Artinya hanya digunakan sekitar 120. Disebut efektif, bukan sekedar soal itung-itungan bisnis. Diperhatikan juga soal tingkat kelelahan. Ini juga bukan sekedar itung-itungan uang lembur, tetapi meminimalkan risiko kesalahan. Ini pun bukan sematamata kesalahan petugas (human error), tetapi "kesalahan sistem" karena tidak sempatnya terjadi rotasi bed, agar menjadi bersih setelah seorang pasien pulang atau meninggal, sebelum harus diisi oleh pasien lain. Sebelum soal kesalahan, ada juga faktor lain. Harapannya, pasien dengan infeksi misalnya, harus disendirikan, tidak bersama-sama pasien lain. Pasien anak-anak, dipisahkan dari pasien dewasa.

Bahkan, di satu ruangan, seharusnya pasien laki-laki tidak berdampingan tempat tidurnya dengan pasien perempuan. Jadilah angka sekitar 80% itu yang dipakai, agar "efektif" untuk banyak alasan. Lebih dari itu, sisa bed yang belum dipakai, juga merupakan bagian dari Surge Capacity. Kalau semua bed diisi, bagaimana bila tiba-tiba ada KLB (Kejadian Luar Biasa - bukan KLB Partai), atau KLL dengan korban massal, atau bencana alam? Mau dikemanakan mereka? Ini merupakan bagian dari Surge Capacity tersebut. Jadi, ungkapan itu harus dirinci lagi, agar tidak tergesa-gesa menarik simpulan. Mari saling bercermin. Tambahan informasi terkini: Beberapa RS sudah memasang informasi real-time mengenai jumlah tempat tidur. Dinas Kesehatan Jawa Tengah juga sudah membangun situs SPGDT (Sistem Penanggulangan Gawat Darurat

Terpadu).

Salah

satunya

menampilkan

PSC

(Public

Service

Center)

di

situs http://spgdt.dinkesjatengprov.go.id/ untuk informasi jumlah tempat tidur RS. Saling memahami dan keterbukaan informasi spt ini, semoga menjadi positif untuk kita semua. Mari!

Kondom, Seks Bebas dan HIV/AIDS Pada malam tahun baru 2014 lalu, ada berita tentang lonjakan penjualan kondom sampai 100%. Juga ditemukan kondom bekas di taman-taman kota. Menjelang tanggal 14 Februari ini pula, muncul kekhawatiran akan kembali terjadi lonjakan. Di sisi lain juga sedang berlangsung penyusunan Raperda oleh DPRD Surakarta untuk penanggulangan HIV/AIDS. Ada 3 hal yang merangkai semua itu: kondom, seks bebas dan HIV. Bagaimana sebenarnya peran kondom dalam penanggulangan HIV/AIDS dikaitkan dengan perilaku seks bebas terutama pada generasi muda? Kasus HIV/AIDS pertama di Indonesia dilaporkan pada 1 April 1987. Laporan Kemkes per Juni 2013, tercatat penambahan 5.369 kasus HIV dan 460 kasus AIDS. Secara kumulatif sampai 30 Juni 2013 tercatat 108.600 kasus HIV 43.667 kasus AIDS dengan 8.340 kematian. Pada Oktober 2012, UNICEF melaporkan bahwa setiap 25 menit ada 1 orang baru di Indonesia terinfeksi HIV. Satu diantaranya berusia di bawah 25 tahun. Bila tanpa percepatan penanggulangan, tahun 2014 ini jumlah yang terinfeksi HIV diproyeksikan mencapai setengah juta orang. Pemicu epidemi tersebut terutama penularan seksual dan penyalahgunaan narkoba melalui suntikan.

Salah satu diskusi hangat soal kondom dan HIV/AIDS adalah apakah benar-benar efektif? Penelitian laboratorium menunjukkan ukuran pori yang kurang sebanding dengan ukuran virus. Tetapi mekanisme penularan memang tidak sepenuhnya linier dengan perbandingan ukuran itu. Dari penelitian epidemiologi, efektivitas kondom untuk mencegah penularan HIV mencapai 70% dengan syarat digunakan secara tepat dan konsisten. Masalahnya penggunaan secara tepat dan konsisten itu hanya pada sebagian kecil orang. Peran

kondom

mulai

mencuat,

ketika

mengemuka

kampanye

“ABC”.

Rinciannya

adalah: Abstinence, Be faithful dan use of Condom. Kampanye ini awalnya untuk merespon berkembangnya epidemi HIV/AIDS di Afrika. Hasilnya berupa menurunnya kasus AIDS di negara-negara seperti Uganda, Kenya dan Zimbabwe. Dari tahun 1900 sampai 2001, persentase ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) di Uganda turun dari 15% menjadi 5%. Di akhir era 1980an, HIV menyebar dengan cepat di sana. Tidak seperti presiden lain di daerah Afrika, Yoweri Museveni menggunakan kewenangannya untuk memimpin penanggulangan HIV/AIDS. Awalnya dengan kampanye melalui banyak media. Juga mendidik guru untuk mengajarkan cara penanggulangan di sekolah. Namun yang paling penting adalah menggerakan pemimpin non formal, gejera dan masyarakat umum. Masing-masing kelompok didekati dengan cara berbeda sesuai kebutuhan dan kemampuan responnya. Anak muda didorong untuk menunda melakukan hubungan seksual (Abstinence), atau kembali menahan diri bila sudah terlanjur pernah melakukannya. Sedangkan kepada pasangan yang sudah aktif secara seksual, didorong untuk “Zero Grazing” yaitu bertahan hanya dengan satu pasangan tetap. Kondom hanya dianjurkan pada mereka yang tidak sanggup menahan diri. Satu poin penting adalah usaha untuk memberdayakan wanita agar sanggup berperan aktif, tidak selalu dalam posisi obyek. Langkah ini yang mendukung keberhasilan Zero Grazing. Para ahli menyimpulkan bahwa keberhasilan Uganda adalah mengedepankan Risk Avoidance (menghindari risiko) melalui Abstinence dan Zero Grazing sebelum menerapkan Risk Reduction (mengurangi risiko) seperti penggunaan kondom. Terinspirasi yang terjadi di Uganda ini, muncullah inisitiatif kampanye Go Girl. Fokusnya adalah menurunkan risiko bagi perempuan remaja dari terinfeksi HIV. Lokasinya terutama di Botswana, Malawi dan Mozambique. Tujuannya agar gadis-gadis usia 10-17 tahun lebih tahu tentang HIV, juga lebih mampu mengambil keputusan. Lebih jauh, pemerintah setempat juga menerapkan

serangkaian aturan agar tidak terjadi lagi “memperkerjakan” gadis dibawah umur untuk tujuan komersial. Poin pentingnya sama, mendahulukan risk avoidance daripada risk reduction. Amerika sangat berperan dalam mengembangkan kampanye ABC. Namun disadari kebanyakan orang terjebak hanya pada unsur “C”, tanpa banyak berpikir untuk unsur “A” dan “B”. Hal ini mendorong pemikiran baru di tahun 2002, yang lebih menekankan sisi “Abstinence only program”. Ada 2 tipe program ini. Pertama, Abstinence-only-until-marriage (disingkat AUM) yang fokus pada prinsip dasar untuk menahan diri dari hubungan seksual sebelum menikah. Kedua, adalah abstinence-based comprehensive sexuality education (pendidikan seks komprehensif berbasis abstinensia). Mulanya diterapkan tipe pertama. Fokusnya menahan diri atau menunda hubungan seksual sebelum menikah. Caranya melalui pemberian informasi, merubah paradigma tentang seks dan meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan (decision-making skills). Tipe ini menekankan bahwa “hubungan monogami dalam konteks pernikahan adalah standar yang diharapkan untuk aktivitas seksual manusia”. Juga ditekankan bahwa “aktivitas seksual di luar pernikahan memiliki efek psikologis dan fisik yang tidak diharapkan”. Tipe pertama ini tidak memperbolehkan diskusi tentang teknologi untuk tujuan kontrasepsi maupun pencegahan penyakit, seperti kondom misalnya. Akibatnya, dianggap terjadi masalah karena kehilangan pijakan basis ilmiah dan medis. Karena itu kemudian berkembang tipe kedua dengan bentuk edukasi yang lebih komprehensif. Termasuk di dalamnya pengenalan terhadap kondom untuk tujuan kontrasepsi maupun pencegahan penyakit bagi yang memang tidak bisa menahan diri. Konsep ini menarik tentu saja, dalam kacamata kita memadang Amerika. Namun menarik pula kemudian, karena hasil penelitian oleh pemerintah federal menyimpulkan bahwa program tersebut tidak berefek positif. Mengapa? Salah satu faktor utama adalah memang kultur yang ada tidak mendukung program tersebut, dan tidak bisa serta merta diubah dengan program itu. Tidak disebutkan dengan jelas, bagaimana faktor pemuka atau pemahaman tentang agama, berkaitan dengan program tersebut. Ada yang menarik dicatat. Saat awal penerapan program tipe pertama, justru kelompok remaja yang didorong untuk menunda, malah semakin tinggi yang melakukannya sebelum menikah. Dalam hal ini dilaporkan terjadi indikasi disonansi kognitif. Akibatnya angka kesakitan penyakit menular seksual termasuk HIV justru tidak banyak berubah. Karena itu sekarang diberlakukan

program tipe kedua dengan harapan bisa mengatasi masalah pada tipe pertama. Dalam hal ini, risk avoidance dibarengi dengan risk reduction, sesuai kondisi setempat. Pelajaran menarik lain adalah di Thailand dan Filipina. Keduanya menjadi contoh perbandingan klasik dalam hal epidemiologi HIV/AIDS. Pada akhir era 1980an, kedua negara memiliki prevalensi kasus kurang lebih sama yaitu berturut-turut 112 dan 135. Pada awal era 1990an, pemerintah

Thailand

mencanangkan

program 100%

Condom

Use dalam

menghadapi booming industri seks komersial. Pada kurun waktu yang sama, penggunaan kondom di Filipina justru sangat rendah. Hal ini dipengaruhi oleh penentangan pihak gereja dan pemerintah terhadap penggunaan kondom selain untuk tujuan kontrasepsi. Pada tahun 2003, sekitar 15 tahun kemudian, jumlah kasus di Thailand meningkat sampai 750.000 sementara di Filipina masih bertahan di angka 1.935 kasus. Padahal sampai tahun itu, jumlah penduduk Filipina justru meningkat 30% lebih tinggi daripada Thailand. Pada titik ini, peran kondom dipertanyakan. Para pemerhati HIV/AIDS sekarang agak was-was karena penggunaan kondom di Filipina justru meningkat. Kalau perkembangan ini tidak dikawal dengan hati-hati, dikhawatirkan justru itu mengganggu prevalensi HIV/AIDS yang relatif rendah. Angka yang “tinggi” di Thailand itu pun sudah lebih menunjukkan penurunan dibandingkan dugaan awal. Tanpa menegasikan peran kondom, faktor perubahan pola perilaku seksual yang dianggap lebih berperan. Contohnya adalah penurunan kunjungan ke industri seks komersial turun dari 22% menjadi 10%. Juga perilaku seks dengan bukan pasangan tetap dari 28% menjadi 15%. Salah satu poin menarik adalah pemerintah sangat mendorong untuk memberdayakan agar – maaf – PSK dapat memaksa pelanggannya untuk menggunakan kondom. Apakah lantas berarti kondom memang tidak berperan penting? Laporan penelitian menyatakan bahwa sebagai upaya risk reduction kondom tetap berperan. Yang dilaporkan sebagai kemungkinan penyebab kegagalan adalah cummulative risk dan risk compensation. Faktor pertama, bahwa terjadinya penularan HIV/AIDS tidak sekedar melalui cairan sperma dan vagina dalam konteks hubungan seksual. Jadi tentu saja, harus diterima kalau efektivitasnya “hanya” 70%, tidak bisa mendekati 100%, walaupun sudah digunakan secara tepat dan konsisten. Faktor kedua, terjadi risk compensation (kompensasi risiko) sehingga seseorang yang sudah menggunakan kondom, menjadi merasa aman untuk melakukan hubungan seksual yang semakin berisiko. Tentu saja, frekuensi dan kualitas risiko tertularnya justru semakin tinggi. Kondisi ini

yang diduga mendasari mengapa pada program penyebaran kondom secara masal, justru berisiko angka penularan meningkat. Pelajaran penting adalah kampanye kondom harus selalu menyertakan pemahaman ilmiah yang terbuka dan terkini. Kesadaran soal efektivitas, dengan syarat-syaratnya, harus selalu disertakan dalam pendidikan ke masyarakat. Lebih dari itu, juga harus peka terhadap realitas sosial di masyarakat berbasis nilai-nilai lokal. Karena jelas, kondom adalah usaha risk reduction yang seharusnya menjadi pilihan berikutnya setelah usaha risk avoidance. Bagaimana di Indonesia? Laporan UNICEF bulan Oktober 2012, 1% dari anak laki-laki dan 4% anak perempuan telah melakukan hubungan seksual sebelum usia 13 tahun. Ketika mencapai usia 17 tahun, sepertiga diantaranya telah melakukan hubungan seksual minimal 1 kali. Di sisi lain, pengetahuan anak muda tentang HIV/AIDS masih rendah. Masih ada 42% dari penduduk berusia di atas 15 tahun yang belum tahu tentang penyakit tersebut. Bahkan pada anak-anak SMA, masih ada 64% yang salah memahaminya. Laporan Kemkes bulan Juni 2013 menunjukkan bahwa modus penularan HIV/AIDS tertinggi tetap karena hubungan seksual (60,2%). Modus kedua melalui penggunaan jarum suntik untuk penyalahgunaan narkoba (18,0%). Fakta-fakta tersebut menjadikan beralasan mengapa angka prevalensi HIV/AIDS tertinggi juga pada kelompok usia 20-29 tahun (45,4%) diikuti usia 30-39 tahun (30,7%). Kampanye kondom pada sekitar tanggal 1 Desember, mulai berlangsung sejak tahun 2007. Di sisi lain, peningkatan kasus HIV/AIDS terbesar justru dari tahun 2005 ke 2011. Selama 7 tahun terakhir ini pula, kita seperti beritual untuk “ribut” berdebat soal kondom setiap awal Desember. Tidak jarang bahkan sampai menimbulkan pertentangan tajam. Sampai kapan kita harus terus begini? Undang-undang Kependudukan dan Pengembangan Keluarga ( UU No. 52 / 2009) dan Undangundang Kesehatan (UU No. 36 / 2009) menetapkan bahwa hanya pasangan yang menikah secara sah yang dapat mengakses layanan seksual dan kesehatan reproduksi. Walaupun kenyataan di lapangan memang kondom relatif mudah didapatkan di pasaran. Laporan UNICEF Oktober 2012 menilai ini menjadi hambatan akses bagi kelompok risiko yang belum menikah sehingga mereka melakukan hubungan berisiko. Tentu kita bisa memiliki pandangan lain karena jelas kita memiliki ukuran nilai dan normal yang berbeda.

Memperhatikan nilai-nilai agama, budaya, dan norma kemasyarakatan merupakan prinsip pertama menurut pasal 4 ayat (1) butir (a) Permenkes 21/2013 tentang Penanggulangan HIV/AIDS. Demikian juga tentang “kesetaraan gender” serta “mempertahankan dan memperkokoh ketahanan dan kesejahteraan keluarga” menjadi prinsip-prinsip utama berikutnya. Tentu saja dengan prinsip ini, akses terhadap kondom untuk tujuan pencegahan penyakit memang harus dalam konsep terkendali. Konsep risk avoidance lebih mengemuka dengan prinsip ini, lebih dahulu dan lebih utama daripada risk reduction. Pada pasal 5 Permenkes tersebut, strategi yang dikembangkan juga tidak ada yang eksplisit menyebut soal kondom. Dalam cakupan kegiatan di pasal 9, promosi kesehatan dan pencegahan menjadi urutan utama tanpa mengabaikan kegiatan lainnya. Promosi kesehatan bertujuan meningkatkan pengetahuan yang benar dan komprehensif mengenai pencegahan penularan HIV dan menghilangkan stigma serta diskriminasi (pasal 10). Dalam hal promosi ini ada populasi kunci, yang diantaranya mencakup 2 kelompok utama: pengguna jarum suntik untuk penyalahgunaan obat, dan para pihak yang terkait dalam industri seks komersial atau hubungan seksual sejenis. Kepada kelompok yang rentan melakukan hubungan seksual berisiko inilah dilakukan kampanye penggunaan kondom (pasal 11). Dari pemahaman itu, dan belajar dari negara-negara lain, kampanye ABC haruslah ditegakkan sesuai dengan konsep awalnya. Dalam konsep ini dan sesuai konteks budaya kita, bahkan keyakinan agama kita, perlu sangat ditekankan untuk mengedepankan unsur “A” dan “B” bukan justru tergesa-gesa melompat pada unsur “C”. Dalam pada itu, peran ibu dan keluarga sangat penting. Pendidikan seksual paling dini, sangat diharapkan berawal dari ibu dan keluarga. Pemberdayaan wanita sebagai ibu, sebagaimana pelajaran dari Uganda, juga berperan pada suaminya. Lebih-lebih bila dikaitkan dengan remaja dan risiko pergaulan yang mengarah ke seks bebas. Dari posisi itulah kita berharap, kampanye ABC dalam penanggulangan HIV/AIDS akan berjalan, pada rel yang sebenarnya sejak awal diharapkan. Mari.

Pakai BPJS, Kok masih tombok? Ini pertanyaan yang juga sering muncul dalam pelayanan di era JKN-BPJS Kesehatan. Apakah benar-benar gratis?

Konsep dasar JKN adalah dapat dijaminnya pelayanan kesehatan sebagai kebutuhan dasar untuk semua orang. Prinsipnya berbasis asuransi sosial (pasal 19 UU SJSN 40/2004). Dengan konsep ini, diharapkan semua orang mendapat pelayanan tanpa harus dibebani pembiayaan mendadak dalam ukuran relatif besar. "Risiko" itu dialihkan dengan pembayaran premi secara rutin setiap bulan (prinsip asuransi). Risiko itu juga "dibagi" bersama-sama secara komunal dalam masyarakat (prinsip sosial atau gotong royong). Dengan konsep ini, pelayanan kesehatan menjadi "gratis". Tentu harus dalam tanda kutip karena, pertama, ada pengalihan risiko menjadi premi bulanan. Kedua, ini yang barangkali terlewat dalam "kampanye JKN", ada syarat dan ketentuan yang berlaku. Batasannya adalah "kendali mutu dan kendali

biaya".

Tentang

hal

ini,

sudah

saya

uraikan

dalam

tulisan

terdahulu

(https://www.facebook.com/notes/tonang-dwi-ardyanto/bukan-insentif-dokter-tetapi-standarpelayanan/648378315224494) Yang selama ini kita dapatkan sosialisasinya "pasien tidak perlu bayar sama sekali". Sebenarnya, ada batasan mana yang dijamin dan mana yang tidak dijamin. Prinsip mudahnya, yang dijamin adalah pelayanan kesehatan yang bersifat "kebutuhan primer". Sedangkan yang bersifat sekunder, tidak dijamin. Lebih ringkas lagi, dijamin kalau memang dibutuhkan, tidak jamin kalau itu sekedar keinginan lebih. Contoh yang gampang, operasi untuk mengembalikan fungsi (misalnya gigi tanggal karena kecelakaan) itu dijamin. Tetapi usaha perbaikan gigi karena alasan kosmetik, tidak masuk dalam jaminan. "Tidak boleh ada iur biaya" juga sering kita dengar. Ini sebenarnya adalah implementasi dari kendali mutu dan kendali biaya. Disebut "tidak boleh ada iur biaya" erat kaitannya dengan moral hazard. Pengguna layanan maupun pemberi layanan, rentan melakukannya dalam bentuk "meminta atau memberi layanan melebihi kebutuhan". Karena itu, ada batasan tarif untuk setiap diagnosis (Permenkes 69/2013). Harapannya, membatasi pelayanan yang tidak perlu tadi. Di sisi lain, tetap harus ada standar minimal yang dipenuhi. Untuk mudah dipahami saja, ada Formularium Nasional yang menetapkan obat standar dalam pelayanan kesehatan. Masuk Fornas, adalah salah satu syrat untuk dijamin (artinya tidak perlu bayar tambahan). JKN-BPJS juga memberi ruang bila ada yang belum masuk Fornas, meskipun dikendalikan secara ketat dengan indikasi jelas dan persetujuan Komite Medik (Pasal 24 ayat 2 Permenkes 71/2013).

Lho, kok itu ada pasien yang harus tombok? Ada 2 klausul utama yang memungkinkan pasien harus tombok dalam arti ada "iur biaya". Pertama, memang pasien menghendaki perawatan di kelas yang lebih tinggi. Pasal 21 Permenkes 71/2013 menyatakan: (1) Peserta yang menginginkan kelas perawatan yang lebih tinggi dari pada haknya, dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan. (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bagi Peserta Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan tidak diperkenankan memilih kelas yang lebih tinggi dari haknya. Hal itu juga sesuai dengan Peraturan BPS no 1/2014 pasal 62: (1) Peserta dapat meningkatkan kelas ruang perawatan lebih tinggi dari yang menjadi haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan berdasarkan tarif INA-CBG’s dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan. (2) Peningkatkan kelas ruang perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Peserta PBI Jaminan Kesehatan. Hal yang sensitif, yang harus dibayar oleh pasien adalah "selisih antara tarif INA-CBGs dengan biaya yang harus dibayar karena peningkatan kelas perawatan". Jadi bukan selisih tarif INA-CBGs antar kelas yang termuat dalam Permenkes 69/2013. Perbedaan biaya ketika naik kelas, sangat ditentukan oleh kebijakan di dalam masing-masing RS. Prinsip kendali menyatakan bahwa "standar tetap harus dipenuhi secara sama di semua kelas perawatan. Mudahnya, apa yang dinyatakan dalam Standar terapi dan sesuai isi Fornas, tetap harus diberikan di kelas perawatan terendah sekalipun. Peningkatan biaya terjadi karena perbedaan manfaat akomodasi atau non medis. Tapi, kok ada pasien yang mendapatkan "obat beda" sehingga harus tombok ketika naik kelas? Sebenarnya, tidak harus naik kelas pun, bisa terjadi perbedaan dalam hal ini. Standar tetap harus dipatuhi. Tetapi ada ruang untuk perbedaan yang di luar standar, karena ada klausul permintaan pasien.

Klausul lain itu adalah pasien menghendaki yang di luar ("melebihi") standar. Pasal 22 UU SJSN 40/2004 menyatakan: (2) Untuk jenis pelayanan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan, peserta dikenakan urun biaya. (3) Ketentuan mengenai pelayanan kesehatan dan urun biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden. Dalam penjelasan pasal tersebut, disebutkan: "Jenis pelayanan yang dimaksud adalah pelayanan yang membuka peluang moral hazaard (sangat dipengaruhi selera dan perilaku peserta), misalnya pemakaian obat-obat suplemen, pemeriksaan diagnostik, dan tindakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan medik. Urun biaya itu harus menjadi bagian upaya pengendalian, terutama upaya pengendalian dalam menerima pelayanan kesehatan. Penetapan urun biaya dapat berupa nilai nominal atau persentase tertentu dari biaya pelayanan, dan dibayarkan kepada fasilitas kesehatan pada saat peserta memperoleh pelayanan kesehatan" Dengan demikian, memang bisa saja pasien meminta yang "melebihi" standar (ambil contoh Fornas untuk hal penggunaan obat). Kalau hal seperti ini ditanggung sepenuhnya, maka akan menimbulkan ketidak adilan bagi peserta lain. Itu satu sisi. Sisi lain, terjadi utilitas sumber daya yang tidak rasional. Ini yang dikhawatirkan sebagai moral hazard. Untuk itu dikenakan iur biaya. Ruang untuk boleh adanya "iur biaya" ini harus disikapi secara hati-hati. Salah satu hak pasien memang mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar. Di sisi lain, pasien juga berhak memilih dokter dan kelas perawatan (Pasal 32 UU RS 44/2009). Untuk itu, pengenaan iur biaya sebaiknya disepakati bersama pasien dalam bentuk formal. Semata agar menghindari masalah di kemudian hari. Selanjutnya, tetap harus dikaji agar "permintaan" pasien tersebut memang tetap sesuai indikasi medisnya. Sesuai amanat UU SJSN, seharusnya soal iur biaya ini diatur lebih rinci dalam Peraturan Presiden. Sayangnya, Perpres 12/2013 maupun 111/2013 tidak mengatur hal tersebut. Demikian juga dalam Permenkes 71/2013. Harapannya tidak menjadi "liar" dan tidak terarah. Karena tidak ada aturan baku, akibatnya di lapangan, terbentuk ruang yang harus hati-hati didekati agar tidak justru mengaburkan tujuan mulia JKN itu sendiri. Alih-alih malah bisa jadi sumber masalah, bahkan bisa jadi masalah hukum. Jangan sampai ruang itu justru menjadi bumerang, termasuk - atau terutama - bagi pemberi layanan itu sendiri.

Kembali, saling kesepahaman, menjadi mutlak dalam hal ini. Mangga.

Ini di-cover BPJS nggak ya? Pekan-pekan ini, pertanyaan itu yang banyak sekali mampir. Bertanya langsung, atau lewat media sosial, sama seringnya. Ini terbawa oleh era Askes yang memang ada klausul: dicover nggak ya? Meski BPJS adalah metamorfosa dari Askes, tetapi ada perbedaan yang cukup signfikan terkait cara pertanggungannya. Era Askes, berbasis pada fee-for-services. Gampangnya: pembayaran sesuai layanan yang diberikan. Walaupun sebenarnya tidak seperti itu juga, karena ada beberapa syarat dan restriksi yang diberlakukan. Untuk setiap "service" ada kriteria yang menjadi syarat untuk mendapat pertanggungan. Begitu juga, penggunaan obat, alkes dan pemeriksaan diagnostik, ada restriksi baik jenis maupun jumlah dengan syarat-syarat tertentu, agar valid untuk mendapatkan pertanggungan. Karena itulah muncul pertanyaan lazim: ini dicover Askses nggak ya? Di era BPJS (lebih tepatnya era JKN dengan BPJS sebagai pengelolanya), berbasis Paket Pembiayaan yang disusun berdasarkan INA-CBGs. Dalam sistem ini, untuk suatu jenis diagnosis (dan level of severity - derajat beratnya penyakit) sudah dipatok dengan paket pembiayaan sekian rupiah. Dapat diperolehnya paket itu oleh pemberi layanan (Puskesmas, klinik, dokter praktek atau RS) harus juga memenuhi beberapa syarat: kesesuaian kompetensi dan kewenangan terhadap jenis layanan yang diajukan klaimnya, penggunaan obat sesuai Fornas (Formularium Nasional) dan validitas kepesertaan pasien yang dilayani. Paket Pembiayaan dan Fornas ditetapkan oleh Kemkes. Obat yang diberikan harus sesuai dengan isi Fornas (yang sudah ditetapkan sesuai dengan tingkatan fasilitas pelayanan kesehatan masingmasing). Paket pembiayaan juga ditentukan berdasarkan regionalisasi wilayah, tipe RS, kelas perawatan dan sifat RS sebagai Rujukan Nasional. Dengan konsep Paket INA-CBGs ini, tidak lagi tepat bila ada pertanyaan: ini dicover nggak ya? Karena dengan besaran paket pembiayaan sekian rupiah itu, fasyankes diharuskan mampu memberikan pelayanan sesuai dengan Panduan Praktik Klinis. Tidak lagi ada pemilahan per tindakan, per pemeriksaan atau per macam obat sebagai "dicover BPJS atau tidak". Semua diserahkan kepada fasyankes, yang penting, pertanggungan yang diberikan adalah sesuai paket yang sudah ditetapkan untuk diagnosis (dan level severity) tersebut. Bagaimana caranya karena

ada suara bahwa paket pembiayaan itu terlalu rendah? Di sini memang tantangan besar bagi RS, terutama RS swasta. Memang pada prateknya tetap ada beberapa aturan yang disusun BPJS agar suatu pelayanan dapat diajukan klaim pertanggungannya. Kurangnya pemahaman, tidak jarang menimbulkan ketegangan dan polemik di lapangan. Pemberi layanan kesehatan sendiri masih sering dibuat bingung dan sosialisasi masih terus berjalan walaupun program sudah berjalan di bulan ke empat. Juga kebijakan dan regulasi masih terus disempurnakan sambil berjalan. Pertanyaan tentang "seberapa yang ditanggung" atau "ini dicover nggak ya" itu lebih tepat diarahkan kepada BPJS. Bukan kepada pemberi pelayanan kesehatan. Silakan disimak Panduan BPJS di situs resminya. Beberapa hari kemarin, kumpulan panduan itu sudah dikompilasikan dalam satu buku. (http://www.bpjs-kesehatan.go.id/) Saling pengertian, saling menghargai dan saling membantu, sangat diperlukan untuk berjalannya Program JKN ini. Tidak perlu ada saling mengatur rumah tangga yang lain dan mencampuri antar pihak. Pemerintah (dalam hal ini Kemkes) yang harus menjadi regulator dan pengayom. "Es Buah" dari PMI Setiap kali memulai sesi simposium maupun perkuliahan tentang layanan darah, saya senang membincangkan tentang Es Buah. Tidak hanya bagi yang awam, untuk mahasiswa pun analogi ini memudahkan pemahaman. Bahkan pada pembahasan lebih lanjut, analogi inipun masih membantu memudahkan proses pembelajaran. Darah kita bisa dibayangkan seperti es buah: ada kuahnya yang dibuat dari air jernih ditambah gula, sirup atau susu. Kemudian di isi potongan buah beraneka warna dan bentuk potongan. Bila kita diamkan di dalam gelas misalnya, maka lama kelamaan, kumpulan potongan buah akan mengendap, dengan kuahnya di bagian atas. Semakin lama, maka potongan buah itu akan makin rusak sehingga es buah tidak lagi dapat dinikmati. Darah pun demikian, bila dibiarkan akan terpisah antara bagian cair (plasma) dan sel-sel darah. Bila diperlakukan pemusingan, maka akan terbagi lebih jelas bagian-bagian: serum, keping darah (trombosit), sel darah putih (lekosit) dan sel darah merah (eritrosit). Minum es buah, tentu berharap yang bersih, segar dan menyehatkan. Kalau bisa, memilih hanya buah yang disukai atau sedikit saja kuahnya agar tidak kekenyangan air. Kadang ada yang sampai: saya sakit perut kalau ditambahkan buah yang ini. Bahkan ada yang: kalau mangga ini saya suka, kalau mangga yang itu saya sakit perut. Di atas itu semua, harganya juga inginnya tetap "murah".

Dalam menghasilkan produk layanan darah di PMI, saya gunakan istilah: memberikan darah secara bermutu dan terjangkau. Disebut bermutu dengan dua indikator: Aman dan Sesuai kebutuhan. Disebut Aman bila memenuhi indikator. Pertama bersih ("segar"dan tidak infeksius) sehingga memiimalkan risiko penularan infeksi. Kedua Cocok (lolos uji kecocokan) sehingga meminimalkan risiko reaksi transfusi. Selanjutnya memenuhi indikator: sesuai kebutuhan artinya hanya memberikan apa yang dibutuhkan, tidak memberikan yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Akhirnya, untuk semua proses itu, biaya pengelolaan darah di PMI harus tetap terjangkau. Es buah dengan persiapan terbaik pun, tetap saja tidak menihilkan risiko bahwa yang meminumnya tidak mengalami masalah. Faktor utamanya adalah kondisi masing-masing yang meminum dan cara meminumnya. Karena itu, setelah es buah disajikan, tetap harus diawasi dan diantisipasi kalau terjadi masalah. PMI berkomitmen untuk turut serta mengawal bahkan setelah kantung darah diserahkan kepada pihak RS. Proses transfusi perlu diawasi karena termasuk 1 dari 9 kelompok pasien berisiko (Standar Akreditasi RS versi 2012 Bab Perawatan Pasien). Begitu juga pengelolaan darah sisa atau kantong darah bekas, termasuk 1 dari 3 indikator utama Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (Standar Akresitasi 2012). Prinsip Sesuai Kebutuhan, dan relatif langkanya persediaan, juga menyertakan pertimbangan bahwa pemberian transfusi harus berdasarkan indikasi yang ketat. Bahkan ini termasuk salah satu indikator penilaian kinerja tenaga medis (Standar Kualifikasi Pendidikan dan Staf, Akreditasi RS 2012). Demikianlah, PMI telah dan akan terus berusaha memberikan "Es Buah" terbaiknya untuk melayani kebutuhan transfusi. Dorongan, kerja sama dan kritik dari banyak pihak, akan membantu kami untuk terus meningkatkannya.

Bagaimana menghadapi pasien "pinter"? Jaman sekarang, pasien makin pinter, karena sumber informasi makin banyak, terutama dari internet. Bagaimana dokter menghadapinya? (Sorry ya kalau campur bahasa Inggris, bukan apa-apa, nulisnya pas lagi mabuk harus nulis ngEnglish) Perkembangan sekarang dengan era internet dan e-health, menonjolkan sekelompok pasien yang empowered, reasoning and demanding. Ini adalah kenyataan. Dokter tidak bisa dan memang tidak perlu menghindarinya. Di sisi lain, adalah kenyataan juga bahwa ada disparitas kesempatan untuk mendapatkan informasi kesehatan secara online. Seperti beberapa kali saya singgung, yang bisa ikut milis kesehatan dan membuka situs informasi kesehatan kira-kira hanya 15% dan itupun in scarce locations. Ini menimbulkan yang disebut "digital divide". Akibatnya pasien datang ke dokter dengan "bekal dan target" yang berbeda-beda. Menghadapi ini, ada 3 pilihan model bagi dokter di lapangan: 1. Medical model. Intinya dokter bergeming pada pendapat bahwa "diagnosa, terapi dan advise medis" hanya bisa diberikan pada face-to-face interaction and cannot be delivered through online interaction, at least not in the same level. Pada model ini, dokter juga berpegang pada prinsip etika kedokteran "first do no harm" (primum nil nocere). Memberikan diagnosa, terapi dan advise tanpa

mengetahui persis kasusnya, dianggap rentan "to do harm". Apalagi kondisi kita di Indonesia, mungkin bagi sebagian (besar) dokter memang favoring to unconsciously choose this model. 2. Patient-oriented model. Dokter menempatkan pasien sebagai konsumen dengan prinsip memenuhi apa yang diinginkan oleh konsumen. Ibaratnya, apa keinginan pasien dituruti, sampai pasien puas. Masalahnya, berarti untuk pasien yang "empowered" dokter harus mengalokasikan "services" lebih dibandingkan kelompok lain. Dari sisi akses, ini berarti tidak adil bagi kelompok yang ter-disparitas (berada di sisi lain dari digital divide). Karena itu, model ini hanya bisa dijalankan kalau kelompok empowered-patient masih relatif minoritas. Juga, prinsip memberikan equalisasi bagi semua pasien tidak tercapai. Termasuk dalam kacamata sempit, apakah berarti different service juga merasionalkan adanya different fee? 3. Educational model. Dokter mengambil langkah "smart". Tidak sekedar "first do no harm" tetapi try to do a good for and protect the patient. Patients frequently have a lot of time to do a specific and focus searching through internet on what medical concern he/she is suffering from or paying attention to. The doctor might not have that much time, but doctor do have a skill and knowledge to analyze and assess the information`s relevance to the particular patient. It is at least an ethical duty for doctor to protect the patients from misunderstanding or becoming lost in complexity and amount of medical information. Menjelaskan semua hal kepada semua pasien agar semua mendapatkan informasi yang berimbang, tentu sangat-sangat time and energy consuming. Langkah yang "smart": Buat situs sendiri. Dengan demikian, banyak pertanyaan yang senada, satu kelompok, bisa dirangkum kemudian dokter bisa menjawabnya dalam satu tulisan (dengan referensi secukupnya). Di dalamnya ditunjukkan situssitus yang credible dan relevance sebagai guidance bagi pasien saat melakukan searching yang lebih mendalam. Selanjutnya, kepada pasien yang empowered, tinggal ditunjukkan alamat situs ini. Sedangkan kepada pasien yang kebetulan tidak memiliki akses, dokter memberikan print-outnya sambil tetap mendorong untuk mencoba membuka situs tersebut. Tentu ini perlu investasi, tetapi tidak sedikit laporan mengatakan bahwa pada akhirnya dokter tersebut justru makin "tenar". Sekaligus, tanpa sadar, untuk bisa memberikan situs yang "baik" tentu dokter harus melakukan recaling, updating and re-collecting datas from many resources. Model ketiga ini yang dianggap smart for doctor to choose.

Pada prakteknya, ketiga model ini tidak harus berjalan terpisah. Semua sesuai dengan kondisinya agar didapatkan kepuasan tertinggi baik bagi dokter maupun pasiennya. Pada akhirnya tentu diharapkan, baik dokter maupun pasiennya, mampu mencapai tahap yang lebih baik, menuju ke educational model, tanpa harus membuat dokternya malah tidak bisa bekerja dengan optimal melayani pasien. Menuju ke "educational model" tentu harapan semua. Tanpa bermaksud membela diri, itu semua tentu perlu proses, dan to some points, market trend might be a strong pressure that doctor do not have much choices but try to accommodate. Masalahnya, tidak sedikit (bahkan sebagian besar) dokter yang juga turut menjadi korban dari "digital divide". Begitupun, tidak diharapkan pula bahwa being empowered patient does not mean we have the power to dictate what doctor should do. It is just that we have more reasons to believe what choice(s) might give us best outcome. Masalah yang kemudian timbul, setelah membuka diri di "internet", then shortly doctor will have to deal with unsolicited emails from ones that the doctor have never met. And that`s another story for doctor to smartly accommodate. Let`s be smart in coping with different expectation.

Rokok dan Kampanye Pilpres Soal rokok ikut menjadi polemik dalam kampanye Pilpres. Sebenarnya, tidak usah berpanjang kata. Dua hal saja yang saya berharap disuarakan dan ditegakkan oleh siapapun Presiden yang terpilih nanti. Hal ke (1) adalah penegakan hukum soal rokok dan tempat merokok. Sudah ada Pasal 113 UU Kesehatan 36/2009 tentang bahaya Rokok sebagai zat adiktif. (2) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya. Kemudian, Pasal 114, kewajiban bagi setiap produsen atau pemasok rokok untuk memberi peringatan kesehatan dalam bentuk tulisan yang jelas dan mudah terbaca dan dapat disertai gambar atau bentuk lainnya.

Pasal 115 mengatur tentang kawasan tanpa rokok: (1) Kawasan tanpa rokok antara lain: a. fasilitas pelayanan kesehatan; b. tempat proses belajar mengajar; c. tempat anak bermain; d. tempat ibadah; e. angkutan umum; f. tempat kerja; dan g. tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan. Penjelasan pasal 115: (1) Khusus bagi tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya dapat menyediakan tempat khusus untuk merokok. Serangkaian pasal itu, ditambah dengan ketentuan yang mewajibkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menetapkan aturan lebih rinci untuk melaksanakan amanat UU tersebut. Jadi, tidak ada yang harus diributkan. Yang penting, tegakkan saja aturan itu. Sudah ada juga ruang bagi perokok untuk silakan bila tetap merokok HANYA pada tempatnya. Hal ke (2) yang harus diketengahkan adalah : "Tembakau bukan untuk rokok saja". Sudah banyak laporan ilmiah dari lembaga pendidikan yang melaporkannya. Di bawah ini hanya salah satu contohnya saja. Dengan demikian, kita bisa memberi alternatif bagi para petani tembakau agar tidak selalu dijadikan "obyek" saja dalam kontroversi soal rokok. Jangan lagi perdebatan soal rokok, menjadikan kita seolah-olah "mengorbankan" Sauara-saudara kita yang menjadi petani tembakau. (soal ketimpangan ekonomi antara petani tembakau dengan produsen rokok, mangga yang ahli bidang itu untuk menjelaskan) Bagi saya, dua hal itu saja yang saya harapkan dari para Capres. Mangga kalau ada Capres atau Timses yang berani menjanjikan dan mewujudkannya nanti.

Persetujuan Tindakan Kedokteran Dulu pernah membahas ini sebagai bagian dari sebuah tulisan saat marak kasus Dr Ayu. (https://www.facebook.com/notes/tonang-dwi-ardyanto/suara-hati-dokter-mau-dibawa-kemanahubungan-kita/618954758166850). Prinsip dasarnya, untuk setiap tindakan kedokteran, harus

mendapatkan persetujuan dari pasien atau yang sah mewakilinya. Bila tindakan itu berisiko tinggi, harus dalam bentuk persetujuan tertulis (Pasal 45 UU Praktek Kedokteran 29/2004). Ayat (6) pasal tersebut menyatakan bahwa tata cara pemberian persetujuan akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Permenkes 290/2008 tentang Tindakan Kedokteran menyatakan bahwa: untuk setiap tindakan kedokteran harus mendapatkan persetujuan pasien, baik lisan maupun tertulis, setelah mendapatkan penjelasan tentang tindakan tersebut (kepentingan, risiko maupun alternatifnya). Dalam hal tindakan berisiko tinggi, harus dalam bentuk persetujuan tertulis. Ini diuraikan dalam pasal 2 dan 3 Permenkes tersebut. Pengecualian dari keharusan tersebut adalah pada kondisi gawat darurat yang mengancam nyawa (Pasal 4). Siapa yang berhak memberikan persetujuan? Pada prinsipnya adalah pasien yang KOMPETEN dan atau keluarga terdekat. Penilaian "kompetensi" ditentukan oleh Dokter saat dilakukan permintaan persetujuan (Pasal 13). Maksud kompeten adalah "pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu membuat keputusan secara bebas (Pasal 1). Batasan usia untuk dewasa adalah lebih dari 18 tahun atau sudah menikah. Dalam versi KKI, menurut Manual KKI ttg Persetujuan Tindakan Kedokteran (tahun 2006), yang disebut kompeten adalah: • Mampu memahami informasi yang telah diberikan kepadanya dengan cara yang jelas, menggunakan bahasa yang sederhana dan tanpa istilah yang terlalu teknis. • Mampu mempercayai informasi yang telah diberikan. • Mampu mempertahankan pemahaman informasi tersebut untuk waktu yang cukup lama dan mampu menganalisisnya dan menggunakannya untuk membuat keputusan secara bebas. Pada pasien yang tidak mau menerima informasi perlu dimintakan siapa yang dia tunjuk sebagai wakil dalam menerima informasi dan membuat keputusan apabila ia menghendakinya demikian, misalnya wali atau keluarga terdekatnya.

Siapa keluarga terdekat? masih menurut KKI, urutannya adalah: suami atau isterinya, orangtua yang sah atau anaknya yang kompeten, dan saudara kandungnya. Sedangkan hubungan kekeluargaan yang lain seperti paman, bibi, kakek, mertua, ipar, menantu, keponakan dan lain-lain tidak dianggap sebagai keluarga terdekat, meskipun mereka pada keadaan tertentu dapat diikutsertakan ke dalam proses pemberian informasi dan pembuatan keputusan. Melanjutkan menurut KKI, Dokter tidak dibebani kewajiban untuk membuktikan hubungan kekeluargaan pembuat persetujuan dengan pasien, demikian pula penentuan mana yang lebih sah mewakili pasien dalam hal terdapat lebih dari satu isteri atau anak. Dokter berhak memperoleh pernyataan yang benar dari pasien atau keluarganya.

Suara Hati Dokter: Mau Dibawa Kemana Hubungan Kita (Kolom Gagasan Solopos, 4 Desember 2013). Menarik membaca paparan “Doktor Mogok adalah Malapraktik” (Solopos, 2/12/2013). Sebagai seorang anggota Dewan Kehormatan Ikatan Advokat Indonesia, tentu beliau penulis artikel dimaksud, sangat menguasai permasalahan seputar hukum. Karena itu, sebagai hanya seorang dokter dan dosen, penulis menempatkan diri dalam penulisan berikut ini untuk lebih banyak bertanya. Awal mula kegaduhan soal dokter ini berawal dari munculnya penangkapan Dr Ayu di Manado sebagai terpidana kasus malapraktik sesuai keputusan MA. Berita ini kemudian direspon dengan gelombang keprihatinan para dokter, yang semakin lama semakin meluas, sampai ke tingkat nasional. Puncaknya adalah aksi keprihatinan secara nasional pada tanggal 27 November 2013 kemarin. Atas aksi tersebut, penulis terdahulu menyebut sebagai malpraktik. Alasannya adalah termasuk kesalahan profesional pasif karena dokter mogok kerja dan menelantarkan pasien. Disebutkan juga bahwa hal itu direstui oleh induksi organisasi PB IDI. Ada yang harus diluruskan dalam hal ini. Dalamsuratnya tertanggal 25 November 2013, atas dasar hasil Rapat Koordinasi Nasional dengan para Ketua Perhimpunan Dokter, PB IDI menyerukan 2 hal utama. Pertama, agar para dokter bertafakur di rumah pada tanggal 27 November 2013 disertai doa semoga seluruh bangsa Indonesia senantiasa sehat. Kedua, sebagai aksi solidaritas, para dokter diseru untuk mengenakan pita hitam di lengan kanan sebagai tanda keprihatinan. Juga, bila hendak menyuarakan aspirasi di publik, untuk dapat disampaikan dengan cara yang menjaga harkat dan martabat dokter.

Seruan itu lebih dahulu dinyatakan dengan syarat bahwa pelayanan emergensi dan untuk masyarakat miskin tetap berjalan. Penulis pribadi terlibat dalam rapat-rapat maraton di rumah sakit tempat penulis bekerja pada tanggal 26 November 2013. Tujuannya semata-mata untuk merumuskan formulasi agar baik aksi keprihatinan maupun pelayanan di rumah sakit tetap dapat berjalan. Diputuskan bahwa pelayanan pelayanan di rawat inap, IGD, rawat jalan yang bersifat segera dan tindakan penting yang sudah terjadwal seperti cuci darah maupun kemoterapi, tetap berjalan seperti biasanya. Kemudian informasi mengenai rencana pengaturan pelayanan dimaksud, telah penulis informasikan di media sosial untuk memperoleh efektivitas penyebaran. Harapannya, masyarakat bisa lebih menyesuaikan untuk keesokan harinya sekaligus upaya itu untuk meminimalkan distorsi informasi. Pagi-pagi sebelum dimulainya aksi, penulis dan teman-teman sejawat, lebih dulu memastikan jalannya pelayanan sesuai rencana. Baru setelah itu, sebagian diantara kami memulai aksi. Sedangkan sebagian yang lain, tetap menjalankan pelayanan di rumah sakit. Jelas dalam hal ini bahwa tidak ada niatan untuk menghentikan pelayanan emergensi (gawat darurat yang memerlukan pertolongan segera). Sedangkan untuk kasus-kasus yang ringan, maka sebagaimana biasa pada hari-hari libur, masih bisa dilayani pada hari berikutnya. Berita-berita yang kemudian muncul tentang terhambatnya pelayanan, selayaknya dapat disikapi lebih bijak. Misalnya berita pasien melahirkan di kamar mandi. Ternyata dari penelusuran didapatkan bahwa pasien itu dalam penanganan IGD. Ketika ke kamar mandi untuk buang air kecil, ternyata terjadi his (kontraksi untuk mulai proses melahirkan). Segera pasien ditolong dan ditangani beberapa lama sampai akhirnya melahirkan di ruang bersalin. Informasi ini berasal dari sejawat dokter yang menangani langsung kasus tersebut. Juga tentang pasien yang disebutkan “ditolak”, ternyata adalah memang kasus yang tidak tergolong emergensi. Tentu saja, dengan usaha maksimal pun masih ada ketidak nyamanan dalam pelayanan. Namun apakah sebesar itu salah para dokter sehingga aksi itupun terus dihujat? Apakah semua berita tentang terhambatnya layanan itu tidak benar? Banyak yang diberitakan sebagai akibat “dokter demo” itu sebenarnya adalah berita-berita yang sudah rutin kita dengar sejak jauh sebelum aksi 27 November 2013. Pasien terlantar tidak mendapat kamar karena rumah sakit penuh, pasien kurang mampu terhambat karena administrasi sistem asuransi, anak-anak dengan gizi kurang, terpaksa tidak optimalnya terapi karena batasan asuransi, adalah bukan berita baru. Ini adalah potret pelayanan kesehatan kita yang memang masih perlu diperbaiki bersama.

Kasus dr Ayu dkk, dalam pandangan penulis, hanyalah starting point atau pintu masuk untuk mengungkap banyak masalah dalam bidang kedokteran maupun sistempelayanan kesehatan kita. Itu yang lebih ingin disuarakan pada Aksi 27 November 2013 kemarin. Itu pula yang merupakan tanggung jawab pemerintah dan kita bersama, bukan hanya para dokter. Hari Sabtu lalu, ada berita di koran nasional bahwa pemerintah masih menunggak sebesar 1,8 T (trilyun agar tidak salah dibaca) untuk anggaran Jamkesmas dalam bingkai BPJS 2014. Artinya itu adalah uang yang seharusnya untuk memenuhi premi bagi masyarakat miskin. Padahal program itu akan mulai berjalan 1 Januari 2014 yang tinggal menghitung jari. Apakah hal ini bukan masalah besar bagi kita bersama? Beberapa saat lalu juga muncul berita dalam koran nasional bahwa kalau BPJS dilaksanakan dokter bisa memperoleh 924 juta per tahun. Padahal kalau diuraikan secara rinci, angka 19.225 rupiah itu adalah angka premi untuk per jiwa, bukan untuk dokternya saja. Jatah untuk kapitasi dokter masih belum final. Maksimal kalau mengikuti patokan layanan dari asuransi kesehatan pemerintah yang sekarang berjalan, maka angka kapitasi di kisaran 6 ribu rupiah. Dari angka itu, maksimal yang bisa diperoleh sebagai jasa dokter untuk setiap pasien adalah 44% nya. Betul, hanya sekitar 2500 rupiah. Mohon kiranya dapat dibantu merenung untuk dibandingkan dengan restribusi parkir di zona A, tanpa berarti meremehkan pekerjaan saudara-saudara kita yang bertugas di sana. Salahkah kalau penulis dan teman-teman dokter berharap, bahwa pemberitaan semacam itu dapat lebih jernih disampaikan? Hal kedua yang menjadi kritik dari artikel terdahulu adalah klaim bahwa dokter tidak pernah berniat buruk dan dokter tidak pernah salah. Sebagaimana komunitas profesi lainnya, pasti ada dokter yang tidak menjalankan profesi dengan benar. Sama dengan adanya hakim yang “menjual pasal”, polisi yang minta suap, pengacara yang bermain perkara, jaksa yang tersandung korupsi, wartawan “bodrek”, akuntan nakal, notaris menyalahgunakan sertifikat, insinyur konsultan proyek melakukan mark-up, dosen menjual jasa penyusunan tugas akhir atau peneliti yang plagiat. Tetapi penulis yakin, masih jauh lebih banyak para anggota profesi itu yang tetap berusaha lurus menjalankan profesinya, tanpa niat jahat. Pasti ada perasaaan tidak terima dan berontak, kalau ada penilaian buruk terhadap profesi akibat adanya oknum anggotanya yang tidak profesional. Begitu juga dengan dokter. Dalam bingkai itulah, penulis juga yakin bahwa dokter yang benar, pasti tidak pernah berniat buruk kepada pasiennya. Apakah salah keyakinan penulis yang demikian?

Apakah dokter tidak pernah salah? Dulu sekali barangkali berkembang dalam masyarakat bahwa “dokter itu tidak pernah salah”. Jadi justru itu berkembang di masyarakat. Namun sejak era Voltaire (1694-1778) sekalipun, sudah disadari bahwa dokter itu pun berisiko melakukan kesalahan karena luasnya masalah yang dihadapi. Tentu saja kesalahan yang tidak disengaja. Semua itu didasari kenyataan bahwa “medicine is a science of uncertaintity and art of probabilities” (William Osler, 1849-1919) yang mendasari era Evidence-based Medicine (Terapi berbasis bukti). Sejak era 2000an, semakin berkembang paradigma patient safety (keselamatan pasien) dalam layanan kedokteran. Dalam konsep itu, justru sangat dipahami bahwa to err is human (melakukan kesalahan tanpa sengaja itu adalah manusiawi). Karena itu dikampanyekan untuk to build a safer system (membangun sistem yang lebih aman). Jelas disadari bahwa dokter bukanlah dewa yang tidak pernah salah. Dengan sistem yang baik, maka risiko kesalahan yang memang manusiawi itu, bisa diluruskan. Terjadinya hal yang tidak diharapkan dalam pelayanan kesehatan, terbagi atas Kejadian Potensial Cedera, Kejadinan Nyaris Cedera, Kejadian Tidak Diharapkan dan Sentinel. Berturut-turut semakin berat implikasinya, namun juga berturut-turut makin kecil frekuensinya. Bila terjadi halhal itu, maka harus dilakukan penelusuran akar masalah (root cause analysis) dan dilaporkan kepada Komisi Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KPKRS) Kementerian Kesehatan. Dasarnya adalah Pasal 43 UU Rumah Sakit no 44/2009, diperjelas dalam Permenkes tentang Keselamatan Pasien no 1691/2011. Tujuan dari pelaporan secara nasional itu adalah agar menjadi pelajaran sehingga tidak terulang. Tidak semua kejadian itu menimbulkan kerugian bagi pasien. Bisa jadi juga “kelalaian” itu terjadi akibat keterbatasan kondisi setempat, maupun batasan dalam regulasi asuransi. Justru dengan sistem yang semakin baik, semakin kecil kerugiannya, semakin jarang kejadiannya. Tanpa menghilangkan tanggung jawab personal, tujuan mencari akar masalah adalah memperbaiki sistem agar “kelalaian” itu tidak terulang. Adanya unsur kesengajaan dalam terjadinya kesalahan oleh dokter, sudah pasti harus ditindak. Hal ini misalnya diatur dalam Pasal 190 UU Kesehatan no 36/2009. Untuk hal seperti ini, tentu tidak layak dokter kalau sampai demo. Contoh nyata, bulan Maret 2013 kemarin ada keputusan MA yang memvonis seorang dokter akibat kelalaian sehingga perawat yang diberi instruksi memberikan obat, melakukan kesalahan dan berakibat meninggalnya pasien. Mohon dikoreksi

kalau penulis salah mengingat, bukankah saat itu sama sekali tidak ada reaksi negatif dari dokter, apalagi sampai demo? Sedangkan unsur kelalaian oleh dokter, diatur dalam UU Praktek Kedokteran no 29/2004, UU Kesehatan no 32/2009 maupun UU Rumah Sakit no 44/2009, tidak mengandung unsur pidana. Penilaiannya diberikan wewenang kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (pasal 55-65 UU Praktek Kedokteran no 29/2004). Untuk diketahui, MKDKI ini bersifat otonom dengan keanggotaan terdiri dari 3 (tiga) orang dokter dan 3 (tiga) orang dokter gigi dari organisasi profesi masing-masing, seorang dokter dan seorang dokter gigi mewakili asosiasi rumah sakit, dan 3 (tiga) orang sarjana hukum (pasal 55). Dengan demikian, salahkah bila penulis merasa bahwa sinyalemen “MKDKI itu tidak obyektif” adalah tidak pada tempatnya? Hal berikut yang dikritik dalam artikel terdahulu adalah alasan mengapa diputuskan terjadi malpraktik dalam kasus Dr Ayu dkk. Penulis menyadari sangat kurang pengetahuan soal hukum, sehingga memilih tidak membahas secara khusus kasus tersebut. Pertama soal persetujuan tindakan. Penulis artikel terdahulu merujuk pada pasal 45 ayat 1 UU Praktek Kedokteran no 29/2004. Disebutkan bahwa setiap tindakan yang berisiko tinggi harus diberikan persetujuan tertulis yang ditanda tangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. Penulis yakin, tidak ada dokter yang membantah isi pasal tersebut. Namun ada penjelasan atas pasal tersebut dalam dokumen yang menyatu dengan UU dimaksud. Disebutkan dalam penjelasan pasal 45 ayat 1 bahwa “Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan. Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah memungkinkan, segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan”. Barangkali hal ini belum sempat terbahas pada artikel terdahulu tersebut. Secara rinci, hal ini juga disebutkan dalam Pasal 4 Permenkes tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran no 290/2008 bahwa “Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran”. Dari sudut pandang institusi, hal ini juga diperkuat pada pasal 45 ayat 2 UU Rumah Sakit no 44/2009 bahwa “Rumah Sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam rangka menyelamatkan nyawa manusia”. Sebaliknya, bila sampai dokter dan/atau rumah sakit sengaja tidak mau memberikan pertolongan pertama pada pasien yang dalam keadaan gawat darurat, maka ancamannya adalah pidana (Pasal 190 UU Kesehatan no 32/2009). Hal ini menjadikan serba salah.

Bagaimana seharusnya para dokter bertindak dalam kondisi seperti ini? Berikut ada contoh kasus nyata, baru-baru ini saja terjadi, setelah maraknya kasus Dr Ayu. Kejadian ini di sebuah pinggiran kota di pulau Jawa, bukan di pelosok. Malam itu ada seorang pasien hamil diantar ke sebuah RS dengan kondisi kejang-kejang. Diantar oleh mobil ambulans, sedangkan keluarganya dilaporkan akan menyusul. Kondisi pasien gawat, janinnya sudah menunjukkan tanda-tanda depresi (gawat janin). Seharusnya dilakukan operasi cito (segera, tanpa direncanakan sebelumnya). Namun, para dokter yang bertugas tidak berani bertindak, sebelum keluarganya datang. Selama menunggu, dicoba dilakukan pemeriksaan EKG dan foto rontgen karena bercermin pada kasus di Manado. Tetapi ternyata sulit dilakukan karena kondisi pasien kejang. Bila diberi obat anti kejang, justru itu bisa membahayakan. Setelah ditunggu-tunggu dengan penuh kecemasan, baru 2 jam kemudian, suaminya datang. Apa yang terjadi? Suami pasien marah-marah mengapa istrinya ditelantarkan tidak segera dioperasi. Bagaimana seharusnya dokter bertindak dalam hal ini? Masalah kedua yang menarik adalah soal kompetensi dan kewenangan. Disebutkan bahwa Dr Ayu dkk dinilai tidak memenuhi unsur kompetensi dan kewenangan. Dalam naskah keputusan PN Manado dan MA, yang penulis dapatkan dari situs resmi, diketahui bahwa status Dr Ayu dkk saat kejadian adalah residen atau peserta didik. Karena itu dinilai dalam putusan MA sebagai tidak berwenang karena belum Dokter Spesialis dan tanpa pendampingan. Bahkan ssebuah koran nasional terbitan tanggal 28 November 2013 di halaman depan menulis judul “SIP Dr Ayu palsu” Memang betul bahwa setiap dokter harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Ijin Praktik (SIP) sebelum menjalankan praktik (UU Praktek Kedokteran no 29/2004). Dalam hal sebagai peserta didik, maka yang harus ada dan menjadi kewajiban pribadi adalah STR sebagai Dokter Umum karena posisinya sedang belajar menjadi Dokter Spesialis. Untuk itu, penyelenggara pendidikan mengusulkan kepada Dinas Kesehatan setempat untuk menerbitkan SIP Kolektif yang berlaku di RS Pendidikan dan/atau jejaringnya selama yang bersangkutan dalam pendidikan (Pasal 7 Permenkes tentang Izin Praktik Kedokteran no 512/2007). Kompetensi yang dimiliki seorang peserta didik, dinilai dan ditentukan sesuai aturan Kolegium (Dewan Pakar) masingmasing bidang spesialisasi. Semakin tinggi kelasnya dalam pendidikan, makin lengkap tingkatan kompetensinya. Dalam kasus Dr Ayu, sebelum kejadian tahun 2010 tersebut, yang bersangkutan telah melakukan lebih dari 100 kali operasi sesar tanpa timbul masalah berarti (berdasarkan naskah keputusan PN Manado). Sesuai penjelasan, yang bersangkutan memang sudah pada tahap mandiri.

Artinya sudah dinilai mampu melaksanakan tindakan tersebut tanpa pendampingan, walaupun tetap harus melaporkan kepada pembimbingnya. Kalaupun misalnya memang benar bahwa SIP bagi Dr Ayu dkk belum diterbitkan, maka hal ini bukan merupakan klausul pidana. Memang pasal 75, 76 dan 79 UU Praktek Kedokteran no 29/2004 mengandung unsur pidana terkait tidak adanya SIP. Namun, terhadap hal itu telah dilakukan Judicial Review pada tahun 2007. Keputusan MK menyatakan bahwa unsur pidana terkait pasal-pasal tersebut, tidak lagi mengandung kekuatan hukum (Keputusan MK No 4/PUUV/2007). Tugas tentang SIP bagi peserta didik adalah kewajiban penyelenggara pendidikan dan Dinas Kesehatan setempat. Aturan tersebut pula yang dirujuk pada kasus Dr Ayu karena kejadian tahun 2010. Pada tahun 2011, ada perbaruan aturan dimaksud dengan Permenkes no 2052/2011. Perubahannya secara prinsip tidak mengubah terkait SIP bagi peserta didik, karena yang ditambahkan adalah tentang SIP bagi Dokter yang secara khusus ditugaskan ke RS daerah sebagai Tenaga residen calon spesialis maupun Dokter Internship. Memang di banyak daerah pelosok, sangat kekurangan tenaga dokter spesialis. Akhirnya Kemkes mengambil kebijakan bahwa residen yang sudah dinilai kompeten, dikirim ke daerah untuk melaksanakan tugas pelayanan dokter spesialis. Pegangannya adalah Surat Tugas dari Kemkes dan persetujuan dari Dinas Kesehatan setempat. Tentu saja, dalam banyak kasus, mereka bekerja tanpa didampingi oleh Dokter spesialis. Karena adanya kasus ini, muncul kekhawatiran pada sejawat-sejawat dokter yang dikirim ke daerah tersebut. Apakah mereka harus ditarik agar tidak bertabrakan dengan yurisprudensi kasus dr Ayu? Lantas, bagaimana pelayanan pasien di sana? Mohon kiranya kepada para ahli hukum untuk dapat memantapkan hati para dokter, bagaimana seharusnya kami bertindak? Hal lain adalah soal “tanda tangan karangan” pada surat persetujuan tindakan. Setelah membaca naskah keputusan PN Manado maupun MA yang penulis peroleh dari situs resmi, disebut bahwa tanda tangan pada surat persetujuan di kasus Dr Ayu itu adalah “karangan”. Dasarnya tidak sesuai dengan tanda tangan pada KTP, Kartu Askes dan Slip pengambilan uang di bank. Regulasi menyebut bahwa selama pasien dalam keadaan sadar dan bisa berkomunikasi, maka persetujuan harus diperoleh langsung dari pasien. Sulit penulis bayangkan, dalam keadaan menahan sakit, dan posisi berbaring, akan bisa melakukan tanda tangan secara sempurna.

Para dokter menjadi khawatir sekarang. Saat ini, form informed consent terbagi menjadi 2 bagian. Pertama tetang pemberian penjelasan. Kedua tentang persetujuan maupun penolakan tindakan. Pada kedua bagian, disertakan tanda tangan yang memberikan persetujuan, maupun 2 orang saksi. Bagaimana agar menjadi benar dan tidak berisiko? Mohon kiranya para pakar hukum berkenan memberikan penjelasan seperti apa cara yang memenuhi standar, agar ke depan tidak perlu lagi dituding melakukan pemalsuan tanda tangan surat persetujuan. Apakah harus seperti persetujuan akad kredit yang berlembar-lembar dengan tulisan huruf kecil-kecil, ditempel materai, dan setiap halaman diberi paraf/tanda tangan? Terkait dengan upaya mediasi, maupun penggantian kerugian, sudah banyak dibahas pada artikel oleh Agung Pambudi, seorang Advokat (Solopos, 30/11/2013). Disebutkan di sana bahwa bila terbukti terjadi suatu kelalaian, maka memang tidak ada unsur pidana. Penyelesaiannya melalui Peradilan Khusus Sengketa Medis. Dengan demikian, diperoleh putusan yang berkeadilan bagi semua pihak. Tentu saja dalam hal ini, penilaian terhadap terjadinya kelalaian dokter adalah oleh MKDKI sesuai amanat UU Praktek Kedokteran no 29/2004. Hal ini adalah mekanisme yang wajar dalam banyak organisasi profesi. Barangkali sama dengan kritik terhadap kasus dimana pilot dipersalahkan pada kasus kecelakaan pesawat. Atau juga kurang lebih ini sama dengan dengan mekanisme di kalangan pewarta bahwa “Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers” (www.dewanpers.or.id). Penulis, maaf, tidak mendapatkan penjelasan pasti untuk kasus seperti pada Dr Ayu ini, apakah juga ada mekanisme penilaian serupa terhadap hakim di PN Manado yang sesuai naskah keputusan MA dianggap melakukan kesalahan penerapan hukum. Satu hal yang pasti, komunikasi antara dokter dan pasien, telah lama menjadi perenungan kita. Relasi dokter pasien, sebagaimana digambarkan Dr Prastyadi Mawardi (Solopos, 27/11/2013) memang menyimpan “gunung es” masalah, walaupun sangat mungkin bukan dimaksudkan sebagai malpraktik. Bahkan akhir-akhir ini seolah meluas menjadi antara dokter dengan aparat penegak hukum, maupun dokter dengan awak media. Suatu kondisi yang jelas sangat merugikan bagi kedua pihak, maupun bagi masyarakat.

Penulis sendiri menggambarkan hubungan itu sebagai “benci tapi rindu”. Sebenarnya saling membutuhkan, tetapi juga terkesan saling curiga. Kondisi itu berkepanjangan, sehingga makin jauh jaraknya. Akibatnya, pasal-pasal regulasi yang memang harus kaku itu, diterjemahkan menjadi semakin kaku karena ketegangan hubungan antar para pihak. Semoga kasus dr Ayu dkk ini membuka mata kita bersama. Banyak masalah dalam hal kedokteran dan pelayanan kesehatan, yang akan makin merenggakan hubungan kalau tidak justru diungkap agar diketahui dan diperjuangkan bersama.

Saling Berbagi Tanpa Curiga di Era JKN (Dimuat

di

Solopos,

9/1/2014

dengan

judul

Dilema

Pelayanan

Kesehatan

Era

JKN http://epaper.solopos.com/index.php/?IdCateg=201401091034) Solopos tanggal 6 Januari 2014 menurunkan berita “Sosialisasi BPJS: Pemasukan Dokter Bisa 30 juta/bulan”. Ini seolah menggenapi ke sekian lagi lontaran serupa sejak sekitar 2 bulan lalu. Waktu itu bahkan disebut, dokter bisa dapat hampir 1 M setahun. Sebenarnya, ada keengganan besar untuk membahas soal JKN dengan penyelenggara BPJS ini. Pasalnya, belum ada petunjuk teknis (juknis) dan pedoman pelaksanaan (manlak) yang baku. Yang saya dapatkan baru dari regulasi baku dan tukar berita dari beberapa tempat. Penjelasan berikut ini sangat dasar, dan semoga bisa membuka wawasan awal untuk kemudian diperjelas dengan paparan lebih mendalam oleh para pakarnya. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan penyelenggara BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) bidang Kesehatan berprinsip pada managed care. Mari kita bayangkan sebuah segitiga di bidang datar. Pada masing-masing sudutnya ada: pengguna layanan kesehatan, penyedia layanan dan pengelola pembiayaan. Pengguna adalah rakyat Indonesia, seluruhnya, termasuk dokter dan tenaga kesehatan. Penyedia layanan meliputi dokter, fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) dan sumber daya terkait (selanjutnya disebut provider). Pengelola pembiayaan dalam hal ini adalah BPJS Kesehatan. Diantara ketiga sudut itu, ada mekanisme check-and-balance, ada keseimbangan, ada kesetaraan. Pengguna berhak mendapatkan layanan, tetapi juga wajib membayar kepada penyedia pembiayaan. Provider berkewajiban melayani pengguna, tetapi juga berhak mendapatkan imbal jasa dari pengelola pembiayaan. Selanjutnya, pengelola pembiayaan berkewajiban membayar

imbal jasa setelah mengumpulkan dana dari pengguna. Artinya, saling berbagi beban, saling berbagi risiko, saling berbagi hak dan kewajiban. Lantas dimana posisi pemerintah? Bayangkan segitiga tadi merupakan dasar dari sebuah limas. Tarik garis ke atas dari masing-masing sudut, kemudian satukan, maka di titik itulah posisi pemerintah. Tugasnya adalah memayungi dengan mengatur hubungan berimbang diantara ketiga pihak yang dipayunginya. Wujud regulasi itu sudah pernah dibahas oleh Solopos beberapa hari kemarin. Yang belum tersampaikan bahwa untuk dokter sudah ada UU Praktek Kedokteran no 29/2004, lebih dulu daripada UU SJSN 40/2004. Pada pasal 49, sudah ditegaskan bahwa dokter wajib menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya. Untuk kepentingan tersebut, dilakukan audit medik secara rutin di fasyankes. Ciri utama dari konsep ini adalah sifat pembayarannya tidak lagi langsung (ouf of pocket). Ada pengelola pembiayaan yang menjadi pihak ketiga dalam hubungan pasien dan provider (termasuk dokter).

Dengan

demikian,

diharapkan

tidak

ada abuse (penyalah

gunaan)

maupun hazard (pelanggaran atau pelecehan) dalam pelayanan kesehatan. Provider tidak bisa seenaknya melakukan pemeriksaan atau memberikan terapi tanpa standar yang dipegang bersama. Sebaliknya pasien juga tidak bisa dengan semaunya sendiri meminta pemeriksaan atau terapi yang memang sebenarnya tidak diperlukan. Pengelola pembiayaan harus juga mempertanggung jawabkan dana yang telah dipercayakan. Dengan mekanisme inilah, seperti sering kita dengar, JKN mendorong menuju Kendali Mutu dan Kendali Biaya. Dari sini saja sudah jelas bahwa “tidak ada pelayanan gratis”. Yang ada adalah pembiayaannya dijamin dengan model asuransi oleh pengelola keuangan (kata asuransi ini eksplisit ada pada UU SJSN 40/2004). Itupun, tidak setiap pelayanan ditanggung. Secara mudah, pelayanan yang bersifat kosmetik dan check-up, tidak masuk dalam pertanggungan. Rincian cakupan pelayanan dan yang tidak tertanggung ini seharusnya disosialisasikan secara luas oleh pemerintah agar tidak timbul salah pengertian. Pengguna membayar sejumlah premi rutin setiap bulan, tanpa harus langsung membayar langsung saat mendapatkan pelayanan. Pengelola yang akan membayarkan jasa layanan tersebut. Keuntungannya adalah biaya kesehatan akan lebih efektif, karena berbasis asuransi. Fasyankes juga lebih fokus pada pelayanan, tidak lagi berpusing soal pemeriksaan atau terapi karena harus menunggu pembayaran dari pasien. Harapannya demikian, bila semua berjalan lancar.

Dalam JKN ini, fasyankes terbagi atas 3 tingkatan: Penyedia Pelayanan Kesehatan (PPK) 1, 2 dan 3. Puskesmas, Klinik swasta dan Dokter Layanan Primer tergolong PPK 1. Rumah sakit terbagi atas PPK 2 (rujukan tingkat pertama) dan PPK 3 (rujukan tingkat lanjut). Kualifikasinya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing RS. Dalam kondisi gawat darurat, semua pasien bisa langsung dilayani di PPK 2 maupun PPK 3. Tetapi dalam kondisi lain, pelayanan dilakukan dengan rujukan berjenjang dari PPK 1 ke PPK2 kemudian ke PPK 3 (Perpres 12/2013 dan Permenkes 71/2013). Pemerintah sudah menetapkan, diagnosis-diagnosis yang dapat ditangani di PPK 1 dan yang harus dirujuk ke PPK 2 atau PPK 3. Ketidak taatan terhadap kriteria ini, menimbulkan masalah dalam pencairan pertanggungan. Untuk pembayaran, PPK 1 dibayar dengan prinsip kapitasi. Secara sederhana, sejumlah pengguna dicakup oleh satu PPK dengan nilai kapitasi tertentu. Untuk dokter dipatok pada kapitasi 800010.000/orang/bulan. Variasi ini sesuai dengan kondisi setempat dan sebaran pengguna yang dicakupnya. Diharapkan rata-rata satu orang dokter mencakup maksimal 3000 orang. Dari sinilah muncul angka “pendapatan bisa 30 juta/bulan” tersebut. Mari kita kupas. Dari besaran kapitasi itu harus mencakup: operasional klinik, peralatan pemeriksaan, gaji karyawan, pemeliharaan dan biaya sejenis lainnya. Dalam konsep BPJS nanti, model pelayanan Dokter Praktek Pribadi didorong ke model Layanan primer. Bahkan ada keinginan didorong ke harus siap 24 jam. Karena itu, biaya operasional dan gaji karyawan akan meningkat dibandingkan sekarang. Ini biaya dasar. Kalau ada yang sakit dan memerlukan pelayanan dari 3000 orang itu, berarti biaya obat, pemeriksaan laboratorium sederhana, tindakan medis kecil dan pendukungnya (bahan habis pakai) juga diambilkan dari kapitasi tersebut. Berikut satu simulasi sederhana. Misalnya dari 3000 orang, kapitasi Rp 10.000/orang dan angka rata-rata kunjungan ke dokter adalah 25%. Berarti ada 750 orang yang dilayani dalam satu bulan. Katakanlah biaya obat dan kebutuhan pemeriksaan rata-rata Rp 20.000/orang. Kemudian dengan menghitung biaya operasional, gaji karyawan, biaya sewa lahan, dan bahan habis pakai lainnya, maka “sisa” yang diperoleh dokter adalah sekitar Rp. 6.000.000/bulan. Bila kapitasi pada Rp. 8000/orang, dengan ilustrasi yang sama, maka sisanya adalah pada kisaran Rp. 4.000.000/bulan. Itu baru berpikir soal “pendapatan”. Kita lanjutkan ilustrasinya. Dengan 750 kunjungan, bila dianggap dokter bekerja 25 hari, berarti ada 30 pasien sehari. Secara etis, lama pemeriksaan satu pasien adalah minimal 12 menit. Maka diperlukan waktu minimal 360 menit atau 6 jam perhari.

Lama waktu ini dengan asumsi 30 pasien datang secara berurutan tidak berjeda. Padahal kenyataannya tentu tidak demikian. Belum lagi bila diperlukan pemeriksaan dan tindakan yang lebih lama. Karena itu JKN mendorong pengelolaan layanan primer secara praktek bersama. Bahkan diharapkan buka 24 jam 7 hari seminggu, karena tentu orang sakit tidak mengenal hari libur. Namun itu berarti biaya operasional bertambah dan jumlah dokter juga bertambah. Angka “sisa” 6 jutaan tadi harus berkurang lagi, baru kemudian harus dibagi lagi diantara para dokter dan karyawan. Dalam kenyataannya, angka kunjungan ke Layanan Primer memang masih berkisar 25-30%. Padahal dalam ilustrasi, “sisa” kapitasi itu akan lebih signifikan bila angka kunjungan bisa ditekan pada angka maksimal 12%. Untuk mencapainya, dokter harus bekerja juga dengan prinsip kesehatan masyarakat dan prinsip Kedokteran Keluarga. Artinya dokter tidak sekedar duduk menunggu ada yang berkunjung. Dokter harus mengedepankan prinsip: lebih baik menyehatkan orang banyak daripada mengobati sedikit yang sakit. Lebih baik mencegah dan meningkatkan kesehatan daripada mengobati yang terlanjur sakit. Tentu, itu semua perlu sumber daya - tenaga, waktu dan biaya - yang relatif juga tidak sedikit. Mengapa kita hanya berbicara angka 8000-10000 rupiah? Bukankan kita membayar premi Rp 19.225 (bagi warga miskin yang ditanggung pemerintah), bahkan Rp. 25.500, 42.000 atau 59.000/bulan/orang? Itu karena premi tersebut juga harus menanggung pelayanan kesehatan di PPK 2 maupun PPK 3 kalau kita terpaksa tidak bisa ditangani di PPK 1. Tapi, kok hanya 750 yang sakit? Uang dari 2250 orang lainnya kemana? Dikelola bersama untuk membiayai yang terpaksa harus sakit. Dari sinilah, maka ada prinsip berbagi, prinsip gotong royong untuk berbagi beban, berbagi risiko. Untuk PPK 2 dan PPK 3, pembayaran bersifat fee for service dengan basis perhitungan tarif yang sudah ditetapkan. Artinya, untuk setiap kasus, sudah ditetapkan plafon biayanya. Plafon tarif ini dikenal sebagai INA-CBGs yang disusun dengan menghitung rata-rata biaya pelayanan dari sekitar 100 RS (versi 2013), dari berbagai kelas RS, negeri dan swasta. Dari sana disusun dalam 5 regional dan 4 kelas RS (selengkapnya pada Permenkes 69/2013). Pembedaan regionalisasi dan kelas ini untuk menyesuaikan kondisi lokal. Uang biaya itu baru bisa cair apabila pelayanan telah selesai, dan klaim yang diajukan memenuhi syarat. Karena inilah, RS sangat berhati-hati dalam memverifikasi pasien agar syarat klaimnya nanti terpenuhi. Pengalaman yang sudah-sudah, lama waktu pencairan klaim ini bisa dalam

hitungan bulan. Jadilah memang RS harus memiliki dana talangan sebelumnya. Regulasi di era BPJS ini dinyatakan selambat-lambatnya 14 hari setelah klaim disetujui. Semoga memang demikian adanya. Pada titik inilah RS dan dokter yang bekerja di dalamnya, harus berpikir dengan cermat. Prinsipnya tetap kendali mutu dan kendali biaya. Mutu tetap dipertahankan sesuai standar, sementara biaya harus tetap dapat tidak melebihi plafon. Komponen obat, reagen pemeriksaan laboratorium, biaya pemeriksaan radiologis dan bahan habis pakai lainnya “relatif sulit” untuk dimodifikasi. Yang lebih mudah tentu adalah komponen jasa pelayanan. Dalam regulasinya, jasa ini dibatasi antara 22-44% dari nilai pertanggungannya. Dalam banyak hal, RS terpaksa melakukan subsidi silang. Bisa saja soal “jasa” ini menjadi perdebatan. Tetapi ada yang lebih esensial bahwa plafon itu pun seharusnya tetap dapat mengadopsi standar pelayanan kedokteran sebagaimana amanat Permenkes 1438/2010. Hal ini yang menjadi sorotan kalangan kedokteran. Tentu saja, pemerintah harus tanggap, untuk melakukan penyesuaian. Muaranya tetap: pasien terlayani sesuai standar mutu, biaya juga terkendali. Kita tentu juga tidak berharap, terjadi lagi polemik soal malpraktik dokter, bila ada sesuatu hal yang “memaksa” pelayanan kesehatan menjadi tidak memenui standar. Di atas itu semua, haruslah juga dipahami bahwa nafas dari JKN adalah semangat kebersamaan mencapai

pelayanan

kesehatan

yang

lebih

baik

sesuai

prinsip: Equity(kesamaan

hak), Access (kesamaan kesempatan) dan Quality (Kualitas layanan). Tentu akan ada tarik ulur agar ketiga prinsip tersebut bisa tercapai dengan optimal, dengan seminimal mungkin mengorbankan prinsip yang lain. Tanggung jawab pemerintah juga melingkupi ketiganya. Juga harus tetap disadari bahwa Dokter itu juga rakyat, juga warga, yang berhak mendapatkan penghargaan selayaknya dari pemerintah. Dokter juga hanya sebagian dari pemberi layanan kesehatan. Ada banyak komponen lain yang juga terlibat. Saat ini, masih relatif banyak hal-hal yang belum sepenuhnya jelas dalam sistem pelayanan era JKN. Regulasi yang ada, masih bersifat umum. Munculnya berita tentang aturan yang lebih rinci, kadang justru menambah kebingungan. Kondisi ini tidak jarang memicu ketegangan bahkan perdebatan sehingga justru menambah masalah dalam pelayanan kesehatan. Tentu hal ini melelahkan dan tidak kita harapkan. Pemerintah harus turun tangan sebagai payung, agar semua pihak terlindungi dalam kesetaraan dan keberimbangan.

Dalam kerangka inilah, pemberitaan seperti disebut di awal tulisan ini, maaf, sama sekali tidak mencerminkan kesepahaman tentang prinsip tersebut. Rasa saling curiga, tentu tidak ada gunanya untuk semua pihak. Mari saling belajar dan berempati agar tidak tergesa-gesa menyusun simpulan.

RUU Keperawatan telah rampung... Selamat kepada teman-teman Perawat atas telah selesainya penyusunan RUU Keperawatan. Tinggal menunggu proses di Sidang Paripurna bulan Oktober. Selalu memang, kewajiban mengiringi hak, dan tanggung jawab mengiringi wewenang. Itu adalah hakikat alamiah, ketika kita menekuni suatu profesi. Begitupun, nuwun sewu, saya agak khawatir dengan pernyataan salah satu anggota Tim Perumus ini: “Perawat itu kan sangat dekat ya dengan masyarakat, ujung tombaknya, jadi dengan adanya payung hukum ini mereka bisa lebih percaya diri dalam memberikan pelayanan kesehatan. Tidak harus

sedikit-sedikit

ke

dokter

atau

sakit,”

rumah

papar

Imam.http://health.detik.com/read/2014/09/14/154241/2689855/763/ruu-keperawatan-sudahrampung-kini-perawat-bisa-buka-praktik-sendiri?991104topnews (Tentang mmYang

Imam

Suroso: http://www.dpr.go.id/id/anggota/2009/281/drs.-h.-imam-suroso,juga

kembali

maju

sebagai

Caleg

2014 http://www.beritasatu.com/pages/pemilu2014/calegdpr.php?act=profil&idcaleg=1858

Kembali

terpilih

aleg

2014

dari

PDIP http://nasional.kompas.com/read/2014/05/15/1039050/Inilah.Daftar.109.Anggota.DPR.PDI -P.Periode.2014-2019.) Tentu adalah sangat baik bila pelaksanaan praktik itu diluruskan secara regulasi melalui STR dan SIPP. Rantai regulasi ini justru untuk mengangkat profesi dan menegakkan standar kompetensi. Di sisi lain, adalah kewajiban pula setiap Organisasi Profesi untuk menegakkan standar itu terhadap diri sendiri dan anggotanya sendiri. Berkaca pada pengalaman IDI, tugas seperti ini bukanlah tugas yang ringan. Seringkali, justru yang tidak mudah adalah mengatur anggotanya sendiri, teman-teman kita sendiri. Itu pengalaman IDI, semoga tidak demikian nanti dengan Organisasi Profesi Perawat.

Hal sederhana misalnya, mendidik masyarakat untuk dapat memahami, apa sebenarnya yang dimaksud "Praktik Keperawatan" yang dirujuk oleh RUU tersebut. Dengan menunggu koreksi dari teman-teman perawat, saya mencoba sedikit merangkum. Yang dimaksud Praktik Keperawatan dan lingkupnya menurut Permenkes 148/2010 tentang Izindan Penyelenggaraan Praktik Perawat pada pasal 8 ayat (3) - (7): (3) Praktik keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui kegiatan: a.pelaksanaan asuhan keperawatan; b.pelaksanaan upaya promotif, preventif, pemulihan, dan pemberdayaan masyarakat; dan c.pelaksanaan tindakan keperawatan komplementer. (4) Asuhan keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a meliputi pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi keperawatan. (5) Implementasi keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi penerapan perencanaan dan pelaksanaan tindakan keperawatan. (6)Tindakan keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) meliputi pelaksanaan prosedur keperawatan, observasi keperawatan, pendidikan dan konseling kesehatan. (7) Perawat dalam menjalankan asuhan keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat memberikan obat bebas dan/atau obat bebas terbatas. Dalam penjelasan Permenkes dimaksud - juga sebenarnya adalah pengertian umum - yang disebut Obat bebas adalah obat yang berlogo bulatan berwarna hijau yang dapat diperoleh tanpa resep dokter. Sedangkan Obat Bebas Terbatas adalah obat yang berlogo bulatan berwarna biru yang dapat diperoleh tanpa resep dokter. Pasal 9 Permenkes tersebut menyebutkan bahwa "Perawat dalam melakukan praktik harus sesuai dengan kewenangan yang dimiliki". Adanya pengecualian atau perluasan wewenang dari isi pasal 8, hanya terjadi pada kondisi kegawat daruratan dan tidak ada dokter di tempat kejadian. Klausul kedua adalah di suatu daerah yang tidak ada dokter, maka untuk melaksanakan program pemerintah, perawat dapat diberikan kewenangan khusus. Pemberian tugas khusus di daerah seperti itu dilakukan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau kota.

Selanjutnya, yang dimaksud "Asuhan Keperawatan" menurut Standar Kompetensi Perawat (PPNI, 2011) - mohon dikoreksi kalau sudah ada yang lebih baru - adalah: Asuhan keperawatan adalah proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan baik langsung atau tidak langsung diberikan kepada sistem klien di sarana dan tatanan kesehatan lainnya, dengan menggunakan pendekatan ilmiah keperawatan berdasarkan kode etik dan standar praktik keperawatan. Asuhan keperawatan langsung merupakan tindakan yang ditetapkan dan dilakukan oleh perawat secara mandiri atas dasar justifikasi ilmiah keperawatan dalam memenuhi kebutuhan dasar klien maupun tindakan kolaborasi yang merupakan tindakan dari hasil konsultasi dengan profesi kesehatan lain dan atau didasarkan pada keputusan pengobatan oleh tim medik. Asuhan keperawatan tidak langsung merupakan kegiatan yang menunjang dan memfasilitasi keterlaksanaan asuhan keperawatan. Menurut

Draft

RUU

Keperawatan

yang

saya

peroleh

dari

situs

resmi

DPR

(https://www.dpr.go.id/uu/delbills/RUU_RUU_Tentang_Keperawatan.pdf), isinya bersesuaian dengan Permenkes dan Standar Kompetensi Perawat tersebut (terutama pasal 30-36 dan 67). Di bagian lain, lingkup RUU itu tentu saja lebih luas, karena juga mengatur tentang Organissi Profesi, Kolegium dan Konsil Keperawatan. Tentu dengan RUU itu, bila nanti sudah ditetapkan, akan menetapkan Hak dan kewajiban maupun Kewenangan dan tanggung jawab perawat secara profesional. Sebagaimana dalam UU Praktek Kedokteran 29/2004, RUU Keperawatan ini juga mengatur perihal Larangan dan Ketentuan Pidana. Salah satu contoh adalah "Menjalankan praktik keperawatan tanpa STR atau SIPP". Beberapa bagian sangat mirip dengan isi UU Praktek Kedokteran 29/2004. Justru karena itu saya mengingatkan beberapa terkait RUU Keperawatan ini dalam hal: 1. Belum ada mekanisme perlindungan profesi dalam bentuk semacam Majelis Kode Etik Keperawatan (MKEK) maupun Majelis Disiplin Keperawatan (MDK). Dalam RUU tersebut, keduanya disematkan tugasnya kepada Konsil Keperawatan. Kalau benar demikian, yang perlu diperjuangkan adalah bunyi secara eksplisit bahwa untuk suatu dugaan malpraktik keperawatan, harus lebih dahulu melalui penilaian oleh semacam MKE dan MDK tersebut. Juga diperjuangkan agar keputusan MKE dan MDK ini bersifat mutlak, sehingga kalau tidak ada yang dianggap pelanggaran, maka tidak bisa diajukan secara pidana ke lembaga lain. Ini yang sedang

diperjuangkan teman-teman Dokter (Judisial Review untuk Pasal 66 UU Praktek Kedokteran 29/2004). Kalau tidak, risiko seperti yang dialami para dokter, juga akan dialami para perawat. 2. Masih ada unsur-unsur ancaman pidana pada bagian pelanggaran administratif seperti praktik tanpa STR dan SIPP. Pada pasal 75 dan 76 UU Praktik Kedokteran, unsur ancaman pidana ini sudah dianggap tidak berkekuatan hukum melalui keputusan MK (NO. 4/PUU-V/2007 dapat diunduh

di http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/Risalah/risalah_sidang_Perkara%204.puu-

2007,%209%20Maret%202007.pdf). Meski demikian, kasus terakhir, masih ada dokter yang mendapat vonis dengan dasar Pasal-pasal tersebut. Teman-teman perawat perlu berjuang, agar kondisi yang sama tidak terjadi pada RUU keperawatan. Semoga RUU ini makin memantapkan teman-teman Perawat untuk secara profesional menjalankan profesi sesuai standar kompetensinya. Tentu saja memang, ada wilayah masingmasing antara Dokter dan Perawat. Dalam beberapa hal, batas itu tegas, walau di beberapa bagian juga ada kesamaan.Prinsip saya hanya dua: penuhi standar profesi dan patuhi ranah kompetensi. Barangkali sebagaimana pesan iklan: walaupun tidak bisa bersatu karena memang beda ranah, tetapi tentu saja, sangat bisa untuk terus berdampingan. Toh muaranya sama: kepentingan pasien bersendikan pilar keluhuran profesi.

Akreditasi Sebagai Kunci Integrasi dalam Baku Mutu RS Pendidikan Sifat padat modal, padat karya dan padat teknologi pada pelayanan rumah sakit (RS) berisiko berujung pada padat masalah. Terjadi silang pendapat tentang bagaimana implementasi regulasi bidang kesehatan misalnya UU Praktik Kedokteran no 29/2004, UU Kesehatan no 36/2009, UU RS no 44/2009, Permenkes 512/2007 dan 2052/2011 tentang Ijin Praktik Kedokteran, Permenkes 1438/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran, Permenkes 36/2012 tentang Wajib Simpan Rahasia Dedokteran dan masih banyak lagi. Belum lagi mulai berlakunya JKN sejak 1 Januari 2014, dengan keraguan maupun kekhawatiran pada praktisi kesehatan. Padahal kedudukan, struktur dan regulasi keuangan sangat berpengaruh terhadap berjalannya berbagai kegiatan di RS. Di sisi lain, Standar Akreditasi RS dari KARS versi 2012 mensyaratkan beberapa hal, dengan fokus pada Keselamatan Pasien (Patient Safety). Kesan yang sangat kuat, keselamatan pasien, apalagi dikaitkan dengan menjaga dan meningkatkan mutu, adalah mahal.

Di sisi yang lain lagi, manat UU Pendidikan Kedokteran no 20/2013 mensyaratkan setiap perguruan tinggi yang membuka Program Studi Pendidikan Dokter untuk memiliki RS Pendidikan. Bahkan untuk yang juga sekaligus membuka Program Studi Dokter Spesialis, harus memiliki 2 RS Pendidikan. Kompleksnya permasalahan di RS, semakin terasa pada RS Pendidikan, yang sejauh ini masih didominasi oleh RS umum yang digunakan untuk proses pendidikan. Hampir semua RS tersebut sejak awal tidak dibangun dengan konsep fisik maupun sistem yang dimaksudkan untuk mewadahi kepentingan pendidikan. Akibatnya, tidak jarang proses pendidikan – termasuk di dalamnya penelitian - tidak mendapat tempat maupun kesempatan yang optimal. Belum lagi terkait soal kedudukan dan risiko hukum bagi pemberi pelayanan oleh yang masih berstatus peserta didik di RS. Tanpa kejelasan dan kepastian, hanya akan menimbulkan keraguraguan yang berujung pada tidak berjalannya proses pendidikan seperti harapan. Kondisi ini masih ditambah lagi dengan status RS Pendidikan yang menjadi milik perguruan tinggi, terutama tentang penganggaran dan sistem manajemen keuangannya. Tidak sedikit sinyalamen bahwa segenap kompleksitas tantangan itu menjadikan penurunan mutu layanan di RS termasuk proses pendidikan. Padahal sebenarnya terbuka peluang bahwa ketika aspek tersebut – pelayanan, pendidikan dan penelitian – dapat membangun sinergi yang justru saling memperkuat. Tanpa pelayanan yang baik, maka wahana pendidikan yang diharapkan tidak akan tersedia. Tanpa pendidikan yang baik, maka aras penelitian tidak akan mendapatkan bibit dan persemaian yang subur. Demikian pula, tanpa proses pendidikan dan penelitian yang berkembang optimal, maka mutu pelayanan tidak akan banyak berubah dan bergerak menuju yang lebih baik sesuai perkembangan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Meneropong kompleksitas masalah tersebut, tantangan utama adalah kesan bahwa Akreditasi, JKN, aspek legal dan proses pendidikan seolah saling menarik ke masing-masing kutub. Ujungujungya, seolah seperti lingkaran setan yang perlahan-lahan menarik ke pusaran air di tengah lingkaran yang berisiko menenggelamkan semuanya (gambar 1). Analisis menunjukkan bahwa yang dapat menjadi kunci integrasi ke-empat aspek tersebut adalah Implementasi Akreditasi Berbasis Patient Safety. Dalam instrumen Akreditasi terbaru versi 2012 dari KARS, yang diadopsi dari JCIA, terdapat 14 standar ditambah standar MDGs. Dalam versi JCIA terbaru, ditambahkan 2 standar baru terkait RS sebagai Pusat Pendidikan dan Penelitian.

Strategi yang diajukan adalah “Strategi Makan Bubur Panas” untuk implementasi Standar Akreditasi, sekaligus mendukung upaya baku mutu menghadapi aspek JKN, Legal yuridis, maupun proses pendidikan di RS Pendidikan. Lingkaran terluar adalah standar yang berpusat pada manajemen termasuk sisi pendidikan dan penelitian. Bagian terluar ini relatif paling memungkinkan lebih dulu ditata dan diperbaiki, karena tidak secara langsung bersinggungan dengan pasien. Lingkaran kedua adalah standar yang berpusat pada pasien. Pada bagian ini, sangat dipengaruhi oleh para pemberi layanan langsung baik tenaga medis maupun non-medis. Lingkaran terdalam adalah inti dari akreditasi: hak pasien, pendidikan bagi pasien dan keselamatan pasien. Strategi makan bubur panas diharapkan dalam lebih dulu “menghabiskan” beban di lingkaran terluar, untuk kemudian bergerak masuk ke lingkaran yang semakin dalam sebelum akhirnya “menyelesaikan” tugas di lingkaran terdalam (gambar 2). Proses peningkatan mutu berkesinambungan (continual improvement) dalam instrumen akreditasi 2012, berfokus hak dan keselamatan pasien. Fokus ini akan sangat positif terhadap minimalnya risiko hukum terkait pelayanan RS. Selanjutnya, akan menumbuhkan kepercayaan (trust). Fokus tersebut juga mendorong pada minimalnya kesalahan (medical error) bertumpu pada EBM dan VBM. Dengan demikian, akan terbentuk proses pelayanan yang ramping tetapi handal (lean but liable) dalam keseluruhan titik pertanggung jawaban prosesnya (responsible unit). Selanjutnya akan bermuara pada manajemen dan pembiayaan yang efisien. Demikian seterusnya bergerak dan berputar dalam kerangka kesinambungan. Dalam keseluruhan proses tersebut, proses pendidikan jelas sangat berperan. Prinsip EBM dan VBM adalah ranah kajian pendidikan yang sangat kuat. Pembentukan dan pengembangan keduanya harus berpijak pada penelitian yang juga berbobot. Sebaliknya, tumbuhnya budaya keselamatan pasien (safety) dan manajemen yang efektif, sangat kondusif bagi berlangsungnya proses pendidikan dan penelitian (gambar 3). Tugas ini tentu bukan tugas yang ringan. Sangat berat bahkan. Tetapi amanah pendidikan dan pelayanan kesehatan merupakan kebutuhan dan tugas dasar bagi pemerintahan manapun. Kehadiran RS Pendidikan, harus mampu mengemban tugas itu, walau memang sungguh berat. Mari.

Gambar 1.

Gambar 2.

Gambar 3,

Dalam bentuk poster

Ini Dia Maksudnya Bila Pasien Diberi Gelang Saat Dirawat di RS

Meski belum semua rumah sakit di Indonesia menggunakan teknologi gelang, tapi alat ini ternyata masih menjadi tren dan cukup menarik karena membantu dokter menangani pasien. Seperti disampaikan Direktur Utama Rumah Sakit MMC Hospital sekaligus mantan Ketua Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) 2003-2009, dr Adib Abdullah Yahya, gelang RS dibuat khusus dengan barcode yang menyimpan banyak riwayat kesehatan pasien. Sehingga alat ini cukup membantu dokter atau perawat. "Gelang itu ada barcodenya yang menyimpan medical record. Sangat membantu. Jadi kalau ada pasien alergi obat amoxilin misalnya, nanti akan dilihat apakah sudah sesuai dengan data RS. Kalau nggak sesuai, maka akan muncul warning kalau obat yang diberikan itu bisa membuatnya alergi," jelasnya. Selain itu, gelang ini juga memberikan informasi yang berkaitan dengan informasi pasien masuk dan keluar RS. Disamping itu, kata Adib, teknologi lain yang menarik adalah sinyal (tak terlihat) yang berada di dekat tempat tidur pasien. Menurut Adib, ketika seorang pasien kakinya turun atau jatuh, saat itu juga perawat akan mendapatkan sinyal dan bisa segera membantu pasien.

Gelang Pasien Kemarin

dikirimi

teman

satu

link

berisi

penjelasan

tentang

Gelang

Pasien

(http://health.liputan6.com/read/2123657/ini-dia-maksudnya-bila-pasien-diberi-gelang-saat-

dirawat-di-rs). Informasi ini penting dan disampaikan oleh narasumber yang kompeten. Saya mengenal beliau sebagai perintis dan tokoh dalam Semangat Keselamatan Pasien di Indonesia. Agar semakin lengkap, perlu disampaikan informasi lanjutan. Memang, sesuai standar keselamatan pasien, maka kepada setiap pasien dikenakan gelang. Ada 2 jenis gelang. Pertama gelang identitas. Prinsipnya adalah memuat identitas pasien agar memastikan proses identifikasi berlangsung dengan benar di segala kondisi dan lokasi (Permenkes 1691/2011). Untuk proses identifikasi, digunakan minimal 2 "unique identifier", berupa nama, nomor RM, atau tanggal lahir. Kombinasi minimal 2 dari 3 data tersebut yang boleh digunakan dalam proses identifikasi di semua tempat pelayanan RS. Nomor tempat tidur, nama ruang, alamat dan data lain tidak boleh digunakan sebagai alat identikasi. Artinya, boleh saja semua dicantumkan, boleh saja digunakan sebagai tambahan, tetapi yang digunakan untuk identifikasi adalah minimal 2 dari 3 tersebut. Yang harus selalu diingat pula, hampir semua data-data tersebut, baik identifikasi unik maupun yang lain, adalah bagian dari Rekam Medis pasien. Karenanya pula harus diperlakukan sebagai suatu rahasia (Permenks 269/2008). Atas dasar ini, sekarang tidak lagi ada pemasangan nama pasien di dinding ruang perawatan atau pintu kamar yang bisa diakses oleh sembarang orang. Apalagi papan besar yang biasanya memuat daftar pasien di satu bangsal. Mengapa, karena ada unsur rahasia dan hak atau privasi pasien yang harus dihormati. Gelang identitas memiliki 2 warna: Pink untuk perempuan dan Biru untuk laki-laki. Dimana gelang dikenakan? Ada beda pendapat soal ini. Prinsip utama adakah kemudahan proses identifikasi, maka pilihan pertama ada di lengan. Kakan atau kiri? Ada yang berpendapat tangan yang tidak sesisi dengan pemasangan saluran infus agar tidak mengganggu. Karena selang infus diusahakan pada lengan yang kurang aktif, maka biasanya dipasang di lengan kiri. Untuk kelompok ini, gelang identitas di pasang di lengan kanan. Sebaliknya ada yang berpendapat bahwa proses identifikasi yang rutin sering berkaitan dengan pemberian obat melalui saluran infus, maka justru dipasang di lengan kiri agar memudahkan prosesnya. Bila ada masalah dengan lengan, barulah dipasang pada kaki. Sedangkan pada kondisi yang tidak memungkinan di pasang di lengan maupun kaki, karena kecatatan atau karena cidera yang terjadi, maka akan dipasang pada baju pasien yang harus selalu diverifikasi setiap kali ada penggantian baju. Pada bayi, terdapat perlakuan istimewa. Gelang identitas diberikan minimal 2 gelang untuk satu pasien yang sama. Gelang pertama dipasang pada lengan bayi, sedang gelang satu lagi dipasang pada lengan kanan

Ibu yang melahirkannya. Bahkan ada yang menambahkan satu gelang lagi pada kaki bayi. Semata untuk menjaga, karena terjadinya bayi yang keluar dari RS bukan oleh yang berhak, termasuk insiden keselamatan pasien yang sangat berat (disebut kejadian Sentinel). Siapa saja yang harus dipasangkan gelang identitas? Pertama, semua pasien rawat inap. Kedua, semua pasien yang masuk di Unit Gawat Darurat. Ketiga, semua pasien rawat jalan yang akan menjalani tindakan intervensi seperti bedah minor, hemodialisis, kemoterapi, endoskopi, bronkhoskopi, radioterapi, foto rontgen dan tindakan sejenisnya. Bila terdapat pasien yang tidak dikenal, tanpa identitas yang jelas dan tidak ada yang bisa mengkonfirmasikan identitasnya, maka pada gelang identitaas ditulis dengan kode Bp X atau Ny X, dilengkapi tanggal dan jam masuk RS. Bila lebih dari satu, diberikan kode Bp. X1 dan Ny. X1 dan seterusnya. Lebih tepat lagi bila pada rekam medis, ditempelkan foto terbaru hasil pemotretan langsung oleh pihak RS. Gelang itu harus selalu dikenakan pasien selama mendapat pelayanan di RS. Baru dilepaskan setelah pasien akan meninggalkan RS. Data tentang proses pemasangan dan pelepasan ini harus tercatat dengan jelas di Rekam Medis. Pasien wajib mematuhi aturan tentang gelang identitias ini semata-mata demi keselamatan pasien itu sediri. Selain gelang identitas, ada lagi gelang lain yang mungkin dikenakan pasien. Yang kedua ini disebut gelang penanda atau gelang risiko. Sifatnya opsional, sesuai kondisi masing-masing pasien. Ada beberapa gelang penanda atau gelang risiko: Gelang warna kuning menunjukkan risiko jatuh. Artinya kondisi pasien membuat pasien lebih berisiko tidak mampu menjaga keseimbangan dirinya sendiri. Sesuai tingkatannya, maka pemberi layanan akan menyesuaikan frekuensi dan intensitas penjagaan maupun pemasangan alat bantu pengaman dari kemungkinan jatuh. Gelang warna merah menunjukkan risiko alergi pada pasien. Bila sudah ada catatan dalam riwayat sebelumnya, maupun yang terdeteksi selama perawatan, maka dipasang warna merah agar lebih mudah dikenali dan diantisipasi. Gelang warna ungu untuk menunjukkan bahwa pasien sudah menyatakan sebagai DNR (Do Not Rescucitate) sehingga tidak akan dilakukan upaya resusitasi bila terjadi kondisi yang tidak diharapkan. Umumnya hanya 3 gelang tersebut sebagai penanda atau risiko. Tetapi ada lagi RS yang menambahkan pula gelang warna abu-abu untuk menunjukkan pasien yang dalam tubuhnya terpasang implant radioaktif untuk tujuan terapi (radioterapi). Ada juga yang menambahkan gelang warna putih untuk pasien yang mengalami keterbatasan ekstremitas. Gelang biasanya dibuat dari bahan yang elastis tetapi ulet dan kuat. Dikunci sekali jadi, agar tidak bisa dilepas, selain dengan

cara paksa. Saat pelepasan, gelang digunting dan dimasukkan ke dalam kelompok sampah medis. Begitu juga bila karena suatu hal gelang terlepas atau terputus, harus dicatat dan diganti pemasangan yang baru. Selain dipasang dalam bentuk gelang, ada RS yang secara simultan juga menetapkan pemasangan pita warna sesuai gelang pada cover berkas RM, kotak penanda di tempat tidur pasien maupun pintu ruang perawatan agar lebih mudah dikenali dan diantisipasi oleh pemberi layanan. Tentu saja, tidak ada nama atau identitas lain dalam hal pemasangan pita warna ini. Dalam kondisi emergensi, pita-pita warna pembantu ini memudahkan proses evakuasi dan pemberian pertolongan. Yang dibahas pada artikel di atas, adalah pengembangan teknologi dari standar pemasangan gelang pasien. Adanya barcode berarti memberi akses untuk penggunaan teknologi dalam proses identifikasi. Juga dengan fitur alarm untuk kondisi risiko jatuh bila pasien melewati batas tertentu sehingga mengingatkan bagi pemberi layanan. Fitur keamanan juga ditambahkan pada gelang bayi agar tidak terjadi keluarnya bayi dari ruang bayi bukan oleh yang berhak. Bila banyak dari atau hampir semua proses pelayanan sudah berbasis digital, maka barcode itu akan membantu memperlancar pemberian layanan. Untuk keperluan pemeriksaan penunjang misalnya, maka proses order pemeriksaan tinggal dilakukan dengan berbasis kode di barcode. Begitu juga proses pelayanan farmasi misalnya. Tentu saja juga, barcode menunjang proses administrasi keuangan. Secara standar, seperti dijelaskan, dapat dilakukan di semua tempat. Sedangkan penambahan fiturfitur digital adalah opsional, sesuai kemampuan setempat. Yang jelas, prinsip dasarnya, pemasangan gelang identitas maupun gelang penanda adalah untuk keselamatan pasien.Karena itu, rasanya tidak ada alasan bagi pasien untuk tidak mendukung dan bekerja sama secara proaktif terhadap regulasi pemasangan gelang ini. Tulisan ini disusun untuk mendukung saling pengertian dan memudahkan tumbuhnya kerjasama proaktif tersebut. Salam Keselamatan Pasien.

Menolak Pasien, RS akan dipidana? Beberapa waktu lalu ada pernyataan anggota DPR tentang pemidanaan RS yang menolak pasien (http://indonesiasatu.kompas.com/read/2014/07/29/14561161/Ini.Janji.Ribka.jika.Ditunjuk.Jadi. Menteri.Kesehatan.oleh.Jokowi). Sebenarnya pernyataan ini bukan pernyataan baru. Sejak akhir tahun

2013,

sudah

pernah

pula

dilontarkan

oleh

Aleg

yang

sama

(http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/11/06/mvuaut-ribka-rs-tolak-pasien-akandipidanakan). Pernyaan ini secara tekstual memang benar. Pasal 32 dan 190 UU Kesehatan no 36/2009 memang menyatakan “(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu. (2) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.” Sedangkan pasal 190 UU yang sama, mengatur tentang ancaman pidana bila dengan sengaja tidak memenuhi ketentuan pasal 32 tersebut. Secara individual, dokter juga terkena kewajiban tersebut, lengkap dengan ancaman pidananya, sesuai UU Praktek Kedokteran 29/2004. (Pernah diulas dalam salah satu tulisan terdahulu: https://www.facebook.com/notes/tonang-dwi-ardyanto/suara-hati-dokter-mau-dibawakemana-hubungan-kita/618954758166850) Berarti mau tidak mau harus demikian ya? RS dan Dokter akan dipidana bila menolak? Mari kita kupas dengan lebih jernih. Pasal-pasal yang disebutkan itu, merujuk pada kondisi kegawat daruratan (emergensi). Jadi bukan dalam kondisi biasa atau umum. Apa yang dimaksud kondisi emergensi? Pasal 1 butir (2) UU RS no 44/2009 menyebutkan: “2. Gawat Darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut.” Bahkan tanpa uang muka? Betul, dalam kondisi emergensi, tidak boleh menarik uang muka. Dalam kondisi bencana atau kejadian luar biasa, tanggung jawab pembiayaan ada pada Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pasal 6 UU RS no 44/2009 menyebutkan Tugas Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam Pelayanan Kesehatan di RS, bunyi pada huruf (h): “h. menjamin pembiayaan pelayanan kegawatdaruratan di Rumah Sakit akibat bencana dan kejadian luar biasa.” Bagaimana pelaksanaan tugas pemerintah dan pemda tersebut? Untuk saat ini, digunakan mekanisme JKN-BPJS. Untuk Faskes (Fasilitas Kesehatan) yang telah bekerjasama dengan BPJS, pelayanan emergensi diberikan tanpa mensyaratkan rujukan berjenjang. Artinya tidak harus urut dari Faskes paling bawah dulu (PPK 1), bisa langsung ke RS (PPK 2 atau PPK 3). Biaya kondisi emergensi itu masuk dalam tarif INA-CBGs yang ditetapkan. Sedangkan untuk Faskes yang belum atau tidak bekerjasama, pasien tetap harus ditangani, kemudian setelah stabil, pasien dirujuk ke Faskes yang sudah bekerja sama dengan BPJS. Biaya yang dikeluarkan Faskes pertama tersebut,

bisa dimintakan kompensasi ke BPJS dengan besaran seperti tarif rawat jalan di INA-CBGs. Pasien pada Faskes yang belum bekerjasama ini, harus dirujuk ke Faskes yang sudah bekerjasama dengan BPJS, agar bisa ditanggung. Bila pasien tidak mau dirujuk, atau sudah diverifikasi oleh BPJS bahwa ada hambatan untuk merujuk sehingga harus dirawat inap, maka selanjutnya tidak lagi menjadi tanggungan BPJS. Poin penting dalam hal ini adalah, pasal 29 UU RS no 44/2009 menyatakan salah satu kewajiban RS adalah: “c. Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya” Dari sisi individu dokter, juga ada klausul “sesuai dengan batas kompetensinya”, seperti bunyi Pasal 51 UU Praktek Kedokteran 29/2004. Bila sudah diluar kompetensi, maka dokter berkewajiban untuk merujuk kepada dokter yang memiliki kompetensi. Artinya, RS yang memang tidak memiliki kemampuan, menjadi terlepas dari kewajiban tersebut. Cakupan ini bisa berarti standar teknis sesuai Klasikasi RS (Tipe A, B, C atau D). Ini diatur dalam Kepmenkes 856/2009 tentang Standar Pelayanan Gawat Darurat di RS. Yang diatur tidak hanya seberapa banyak saraan fisik (ruangan, daya listrik, air, sekat antar ruang, dsb) maupun sarana spesifik (peralatan khusus untuk kondisi gawat darurat). Diatur juga jumlah SDM yang harus siap lengkap dengan tingkatan spesialisasinya. Termasuk juga mengatur bagaimana standar SDM di RS Pendidikan. Pelayanan IGD dibedakan menjadi 4 level, dengan level I yang terendah pada RS tipe D berturutturut sampai Level IV di RS tipe A. Semakin tinggi, berarti semakin lengkap sarana teknis dan kemampuan kompetensi yang harus bisa diberikan di IGD. Pemahaman penulis, RS tidak bisa dituntut bila sudah mengerjakan sesuai standar kompetensi yang seharusnya dimilikinya. Kecuali bila ternyata, tidak sanggup memberikan pelayanan sesuai standar tersebut. Bisa juga kemampuan melayani itu terhambat karena kondisi situasional telah terpakainya sumber daya (resources utility) yang ada saat itu sehingga tidak memungkinkan memberikan pelayanan lagi. Misalnya, alat sudah habis terpakai oleh pasien lain, atau ketersediaan ruangan yang sudah penuh. Pada kondisi itu, kewajiban RS adalah melakukan sebatas kemampuan dan segera merujuknya ke Faskes lain yang memiliki kemampuan pelayanan. Dalam hal seperti inilah, ada kerawanan dalam hal RS terpaksa tidak bisa melayani. Mengapa tidak dipaksa melayani saja? Bukankah kadang ditemukan masih ada ruang yang kosong? Dalam hal ini kita harus menyadari soal Keselamatan Pasien. Adanya ruang yang kosong tidak berarti RS sengaja menolak. Ada basis pemikiran dan regulasinya juga. Silakan disimak tulisan terdahulu soal

ruang

yang

masih

kosong

ini: https://www.facebook.com/notes/tonang-dwi-ardyanto/rs-

berbohong-soal-jumlah-tempat-tidur/663712467024412 Dalam kondisi terpaksa seperti itu, RS berkewajiban memberikan usaha semaksimal kondisi setempat sambil mengupayakan rujukan ke RS lain yang masih bisa melayani. Bagaimana tahu bahwa ada RS lain yang bisa melayani? Untuk itulah Pemerintah dan Pemda maupun RS sendiri berkepentingan menjalin kerjasama untuk kepentingan pasien. Salah satu contohnya adalah sistem yang dibangun oleh Dinas Kesehatan Jawa Tengah dengan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (http://spgdt.dinkesjatengprov.go.id/). Melalui media ini, bisa terlihat RS yang masih memiliki sumber daya untuk penanganan kondisi gawat darurat. Itu tadi semua untuk kondisi Gawat Darurat. Bagaimana dengan kondisi umum atau bukan gawat darurat? Dalam hal ini berlaku Sistem Rujukan Berjenjang (Permenkes 01/2012). Sistem tersebut juga diberlakukan dalam JKN oleh BPJS mulai 1 Januari 2014. Prinsipnya, kita berusaha membalik keadaan yang salah kaprah sebelumnya. Bila dilihat penyebarannya, tergambar di era sebelumnya bahwa RS melayani pasien dalam jumlah yang melebihi kemampuan. Akibatnya sering disindir sebagai “Puskesmas Raksasa”. Dengan sistem berjenjang, diharapkan penyebaran itu mendekati piramida. Kasus yang memang bisa tertangani di level Puskesmas (PPK 1), diharapkan tidak perlu dirujuk ke RS sebagai PPK 2 apalagi RS sebagai PPK 3. Demikian pula dari PPK 2 ke PPK 3. Harapannya, tidak terjadi penuh sesak pasien di RS yang justru menghambat pemberian pelayanan secara optimal. Tapi, tidak sedikit kondisi Puskesmas yang belum seperti diharapkan? Di sanalah tugas pemerintah yang harus menjamin agar Puskesmas juga memenuhi standar. Ini adalah tugas yang penting di sisi hulu, agar pada sisi hilirnya nanti, Faskes dapat melayani masyarakat sesuai dengan kebutuhan. Bila dari hulunya masih banyak masalah, tentu tidak bijak bisa yang di hilir menjadi sasaran. Tidak perlu dipungkiri, ada saja RS yang memang tidak memenuhi kewajiban dengan baik. Termasuk dalam menghadapi pasien dengan kondisi gawat. Tetapi secara gegabah menghakimi banyak RS lain sebagai berperilaku serupa, tentu juga tidak bisa sembarangan dilakukan. Perlu pemahaman bersama agar menjadi jelas duduk masalahnya. Salah satu tantangan terberat bagi pemerintah adalah “mendidik masyarakat” tentang Sistem Pelayanan Kesehatan. Sistem Rujukan Berjenjang banyak menghadapi kendala karena sering justru dianggap merugikan bagi masyarakat. Begitu juga dalam hal pelayanan di RS, Pasal 29 dan 30 UU RS np 44/2009 menyebutkan dengan jelas Kewajiban dan Hak RS. Pasal 32 mengatur

dengan sangat jelas Hak pasien. Sedangkan pasal 31 menyebutkan tentang “Kewajiban Pasien” yang belum diatur dalam UU karena akan diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan. Sampai sekarang, Permenkes tentang hal tersebut, belum diterbitkan. Apakah Hak RS dalam pasal 30 juga bisa diimplikasikan sebagai Kewajiban Pasien terhadap RS? Tentu tidak sesederhana itu mestinya. Semoga semangat untuk menegakkan aturan tentang Kewajiban RS, juga disertai semangat menetapkan Kewajiban Pasien terhadap RS. Hal ini bukan untuk semakin merenggangkan jarak. Justru hak dan kewajiban yang jelas, akan mendudukkan semua pihak pada tempatnya agar tidak perlu ada yang merasa terkalahkan. Semoga bermanfaat.

Apa sih bedanya BPJS sama JKN? Pertanyaan seperti itu sebenarnya sudah lama berulang-ulang ditanyakan kepada saya. Pada awal JKN, sangat wajar pertanyaan itu muncul. Sejak awal pula, saya menuliskan catatan sesuai perkembangan pengetahuan tentang konsep JKN. Tulisan awal dulu, ditulis tanggal 9 Juni 2014, ada di: https://www.facebook.com/notes/tonang-dwi-ardyanto/saling-berbagi-tanpa-curiga-di-erajkn/636769459718713 Entah mengapa, sekira sepekan terakhir, pertanyaan itu kembali sering saya dapatkan. Biasanya berawal dari suatu keluhan terhadap pelayanan kesehatan, kemudian "ditudingkan" ke BPJSK, saya menjelaskan. Begitu terjadi beberapa kali, sampai kemudian tiba-tiba teman diskusi menyela: "Sebentar, dari tadi kok ngomong JKN terus sih, kita ini diskusi soal BPJS, jangan ngomong yang lain-lain".... Saya jadi kaget dan balik bertanya "lha memang kenapa, ya kita ini diskusi tentang JKN". Teman diskusi balik bertanya, "lho, memang ada hubungannya BPJS dengan JKN"... Kebingungan itu sungguh wajar pada awalnya dulu. Semua masih serba meraba-raba. Terpaksalah kemudian kami diskusikan lagi tentang desain JKN berbasis Managed Care. Sebenarnyalah ada segitiga sama sisi di bidang datar. Masing-masing sudutnya ada Peserta (Masyarakat) sebagai pengguna layanan, ada Nakes dan Faskes sebagai pemberi layanan, serta ada BPJSK sebagai pengelola keuangan (gambar 1). Dalam konsep itu, bila dari masing-masing sudut itu ditarik garis lurus ke atas, kemudian disatukan ujungnya, maka akan terbentuk Limas Segitiga. Di puncak limas itulah duduk pemerintah sebagai regulator dan pengayom bagi semua pihak. Dengan kondisi itu, diharapkan ada check-andbalances diantara ketiga pihak. Masing-masing memiliki hak dan kewajiban.

Dari sisi pasien, kondisi tersebut juga positif karena menjadikannya punya "daya tawar" dalam relasi pelayanan kesehatan. Dulu sering kita dengar ungkapan "orang miskin dilarang sakit". Juga "apapun kata dokter, kita bisa apa, ya harus manut saja". Dengan konsep mitra-sejajar itu diharapkan menempatkan semua pihak pada tempatnya. Begitupun, kebingungan itu tidak juga sepenuhnya salah. Sejak awal, kita memang mendapat arus kuat informasi "BPJS" secara lebih dominan daripada JKN. Begitu juga dalam perjalanan JKN selanjutnya, BPJS (K) lebih banyak berperan dan menerbitkan kebijakan. Akibatnya, makin mengaburkan informasi bagi yang belum paham soal apa itu JKN, dan apa itu BPJSK. Di sisi lain, peran dan kebijakan BPJSK itu juga bukan tanpa dasar (gambar 2). Pasal 40 ayat (3) UU SJSN nomor 40/2004 menyatakan: (3) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mengembangkan sistem pelayanankesehatan, sistem kendali mutu pelayanan, dan sistem pembayaran pelayanan,kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas. Jadi memang ada penugasan, dan berarti juga ada kewenangan, bagi BPJSK untuk menerbitkan serangkaian aturan guna melaksanakan tugas tersebut. Selanjutnya dirinci dalam UU BPJS nomor 24/2011, tentang fungsi dan tugas BPJS Kesehatan (gambar 3). Pasal 6 menyatakan: (1)

BPJS

Kesehatan

sebagaimana

dimaksud

dalamPasal

5

ayat

(2)

huruf

a

menyelenggarakanprogram jaminan kesehatan. Dalam banyak pasal-pasal di regulasi JKN dari PP, Perpres sampai Permenkes, juga ditutup dengan kalimat lebih kurang sebagai berikut: "... lebih lanjut diatur dengan Peraturan BPJS". Jadilah kemudian memang BPJSK menerbitkan beberapa kebijakan. Satu sisi, itu membuat kita sering mengritik keras. Minimal, kita merasa kurang nyaman. Di sisil lain, sering juga dengan mudah menudingkan banyak hal yang kurang nyaman sebagai "salahnya BPJS". Antrian panjang di RS, pilihan obat, sistem rujukan, semua mudah kita alamatkan sebagai "gara-gara BPJS". Itulah kondisi sepertinya membuat sampai sudah berjalan 1,5 tahun pun, kebingungan dan salah kaprah itu masih terus berkembang. Tinggal kita sekarang bertanya pada diri sendiri, masihkah kita akan terus berada pada kesalah kaprahan, ataukah kita mau berusaha mencari tahu, agar menjadi lebih tepat memahami, sekaligus lebih tajam mengritik BPJSK.

JKN sudah terbukti bermanfaat bagi masyarakat. JKN juga ternyata masih banyak menghadapi masalah. Karena itu, mari kita kawal JKN dengan semangat gotong royong, saling peduli, sekaligus saling memahami.

Norma Kapitasi 2015 dan Berbasis Komitmen Pelayanan (2) Melanjutkan tulisan terdahulu, ternyata masalah Penerapan Kapitasi 2015 semakin ramai. Terakhir ada pernyataan dari Menkes untuk menunda penerapannya. Malah ada pemberitaan yang tegas memberitakan bahwa Kemkes meminta penerapannya dihentikan. http://www.mediaindonesia.com/misore/read/2994/Menkes-Minta-Norma-Kapitasi-Baru-BPJSDitunda/2015/08/17 Berikut adalah hasil analisis terhadap penelusuran saya. Isinya tidak mewakili siapapun, selain pendapat saya.

Siapa sebenarnya yang berhak menetapkan tarif dalam JKN? Tanpa bermaksud memperkeruh suasana, justru mari kita coba runut pelan-pelan. Bunyi pasal 37 Perpres 12/2013 (gambar 1): (1) Besaran pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan ditentukan berdasarkan kesepakatan BPJS Kesehatan dengan asosiasi Fasilitas Kesehatan di wilayah tersebut dengan mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh Menteri. (2) Dalam hal tidak ada kesepakatan atas besaran pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),Menteri memutuskan besaran pembayaran atas program Jaminan Kesehatan yang diberikan. (3) Asosiasi Fasilitas Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. Terkait asosiasi dimaksud, telah diterbitkan Kepmenkes 455/2013. Dalam putusan tersebut menjelaskan bahwa Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), Asosiasi Dinas Kesehatan Seluruh Indonesia (ADINKES), Asosiasi Klinik Indonesia (ASKLIN), Perhimpunan Klinik dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Indonesia (PKFI) merupakan Forum asosiasi fasilitas kesehatan yang akan melakukan negosisasi dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. Untuk negosiasi INA-CBGs, koordinasinya oleh PERSI. Sedangkan untuk tarif Kapitasi dikoordinasikan oleh ADINKES.

Dalam pelaksanaan JKN tahun pertama sejak 1 Januari 2014, memang kita belum sempat "meributkan" bahwa sebenarnya Norma Kapitasi itu juga sudah ada untuk tahun 2014 (gambar 2 dan gambar 3). Dasar dari Norma Kapitasi 2014 pertama adalah pasal 9 Permenkes 71/2013: (1) Dalam menetapkan pilihan Fasilitas Kesehatan, BPJS Kesehatanmelakukan seleksi dan kredensialing dengan menggunakan kriteria teknis yang meliputi: a. sumber daya manusia; b. kelengkapan sarana dan prasarana; c. lingkup pelayanan; dan d. komitmen pelayanan. (2) Kriteria teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk: a. penetapan kerja sama dengan BPJS Kesehatan, b. jenis dan luasnya pelayanan, c. besaran kapitasi, dan d. jumlah Peserta yang bisa dilayani. (3) BPJS Kesehatan dalam menetapkan kriteria teknis sebagaimana dimaksudpada ayat (1) berpedoman pada Peraturan Menteri. Sedangkan tentang rentang besaran kapitasi FKTP saat itu ditetapkan dengan Permenkes 69/2013 (gambar 4). Sesuai ayat (3) tersebut, terhadap rentang kapitasi itulah disusun Norma Kapitasi 2014. Jadi sebenarnya, sejak awal, ada juga FKTP yang menerima kapitasi tidak sama dengan yang lain. Waktu itu juga tidak menjadi isu atau ribut karena masih banyak masalah lain yang serba belum jelas di awal-awal JKN 2014. Dengan pola yang sama, pada tahun 2015 ini, diterbitkan Norma Kapitasi 2015. Acuannya tetap pada pasal 9 Permenkes 71/2013 yang sudah diserap juga dalam Pasal 4 Permenkes 59/2014: (1) Besaran Tarif Kapitasi ditentukan berdasarkan seleksi dan kredensial yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan sumber daya manusia, kelengkapan sarana dan prasarana, lingkup pelayanan, dan komitmen pelayanan. Berdasarkan itulah, diterbitkan Norma Kapitasi 2015. Indikatornya bertambah dibandingkan Norma Kapitasi 2015, karena memasukkan unsur rasio terhadap jumlah peserta dalam kapitasi dan komitmen jam pelayanan. Indikator tersebut juga mengacu pada Permenkes 75/2014 tentang Puskesmas, Permenkes 24/2015 tentang Instrumen Penilaian FKTP Berprestasi dan Permenkes

46/2015 tentang Standar Akreditasi FKTP. Sekali lagi, ini memenuhi amanah ayat (3) Pasal 9 Permenkes 71/2013. Terhadap Permenkes 24/2015 itu sendiri, saat ini seharusnya terjadwal bahwa proses pemilihan FKTP Berprestasi itu sudah mencapai tahap pengajuan ke seleksi final di Jakarta. Instrumen yang digunakan dalam Norma Kapitasi 2015 maupun Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan, semau diambil dari Permenkes 24/2015 tersebut. Berarti seharusnya sinkron antar keduanya. Selengkapnya ada pada tulisan sebelumnya: https://www.facebook.com/notes/tonang-dwi-ardyanto/kapitasi-berbasis-kinerja-normakapitasi/944626925599630 Indikator dalam Norma Kapitasi 2015 maupun Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan 2015 itu juga merupakan pelaksanaan dari Peta Jalan Penerapan penilaian kinerja FKTP (gambar 5) maupun Peta Jalan Penguatan Fasker Primer (gambar 6). Tentu saja, peta jalan itu sendiri menarik untuk dikaji dan didiskusikan. Tetapi ada satu benang merah bahwa penguatan faskes primer adalah salah satu bagian penting dari JKN.

Kalau begitu, mengapa sekarang jadi ribut? Mengapa sekarang Norma Kapitasi 2015 menjadi ribut? Pertama, hemat saya karena kegagalan komunikasi para pihak, terutama BPJSK dan dalam hubungannya dengan Kemkes. Selengkapnya pada tulisan sebelumnya: https://www.facebook.com/notes/tonang-dwi-ardyanto/kegagalan-komunikasi/948688785193444 Padahal sepengetahuan saya, sebelum suatu regulasi diundangkan dalam Lembaran Negara, tentu harus sudah melewati Harmonisasi antar Kementerian dan Lembaga. Seyogyanya tidak perlu kemudian ada kegaduhan ketika diterbitkan. Lepas dari kekurangan soal waktu, namun memang Peraturan itu menyatakan mulai berlaku per 1 Agustus 2015. Sebelumnya juga sudah dilakukan uji coba KBK di Padang, Pekanbaru dan Jambi. Hasilnya dilaporkan terjadi peningkatan kinerja FKTP: http://antarariau.com/berita/58142/--44-puskesmas-terapkan-kapitasi-berbasis-kinerja-bpjskesehatan

Kalau sudah begitu, mengapa tetap jadi gaduh?

Ada beberapa masalah memang: 1. Saat ini masih belum dicapai kesepakatan dengan asosiasi Faskes tingkat propinsi sesuai amanah Pasal 32 Permenkes 71/2013. Memang sudah ada yang sepakat, tetapi juga masih ada yang belum sepakat. 2. Perubahan di tengah tahun menggangu asumsi RBA FKTP BLUD sehingga menimbulkan kerepotan dan kekhawatiran berakibat pada akuntabilitas penggunaan dan laporan keuangan di akhir tahun. 3. Pada FKTP yang belum BLUD juga mengalami masalah karena sudah terlanjur ditetapkan mata anggaran kegiatan terutama untuk penggunaan 40% dana kapitasi guna operasional Puskesmas. Perubahan besaran berarti merubah kecukupan anggaran yang berarti berisiko mengganggu realisasi program/kegiatan. Untuk itu, diusulkan beberapa langkah: 1. Bagi wilayah yang belum sepakat, sebaiknya Menkes segera memutuskan saja agar segera dapat dilakukan penyesuaian. Wewenang Menkes ini tertuang dalam Pasal 37 Perpres 12/2013. Sebisa mungkin diputuskan secepatnya agar tidak terjadi masalah lagi saat penyesuaian besaran kapitasi bulan September nanti. Atau paling lambat untuk kapitasi bulan Oktober, sambil nanti dilakukan penyesuaian terhadap yang sudah dibayarkan pada bulan Agustus atau September. 2. Berkaitan dengan Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan yang akan berpengaruh terhadap besaran kapitasi mulai November (berdasarkan penilaian Agustus-September-Oktober) segera pula disepakati oleh Kemkes dan BPJSK agar tidak mengulang kegaduhan yang sama. 3. Perlu payung hukum atau penegasan dari Kemdagri dan Kemkeu terkait perubahan asumsi RBA bagi FKTP BLUD agar tidak menimbulkan kekhawatiran terhadap akuntabilitas penggunaan dan laporan keuangan. Juga bagi tidak terealisasinya program/kegiatan pada FKTP yang belum BLUD. Untuk selanjutnya, kiranya dapat dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 1. Memang secara regulasi, adalah kewenangan BPJSK mengatur dan menetapkan tentang Norma Kapitasi maupun Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan. Namun dalam menerapkan kewenangan tersebut, sebaiknya memperhatikan kemaslahatan. Bukankah lebih baik bagi semua bila misalnya Kemkes yang berperan lebih besar, atau katakanlah dalam bentuk Peraturan Bersama Kemkes dan BPJSK.

2. Kemkes hendaknya lebih nyata menunjukkan perannya sebagai Panglima urusan (pelayanan) kesehatan. Dengan demikian tidak perlu baru menjadi heboh ketika sudah terlanjur menjadi suatu regulasi dan diundangkan dalam lembaran negara.

Bagaimana dengan langkah hukum? Secara materi regulasi, kebijakan BPJSK itu memang disusun dengan alur dan landasan yang kuat. Rekomendasi KPK terhadap Kemkes adalah menyusun mekanisme dan indikator penilaian kinerja FKTP dalam penggunaan dana kapitasi. Sebaliknya BPJSK ditugaskan untuk menyusun mekanisme pelaksanaannya. Urutan landasan regulasi sudah dijelaskan lengkap sebelumnya. Dalam hal ini, dari penjelasan seorang Dokter yang juga ahli Hukum Kesehatan menyatakan bahwa Uji Materi bisa saja dilakukan, tetapi rasanya sulit. Yang mungkin adalah Uji Formil untuk menilai proses pembentukan Peraturan BPJSK nomor 2/2015 tersebut, apakah ada proses atau bagian yang tidak dipenuhi terutama untuk proses sosialisasi dan pelibatan obyek aturan sesuai UU nomor 12/2011. Catatan: 1. Semua data dan informasi yang tersaji dalam tulisan ini bersumber dan dirujukkan pada informasi yang berada dan dapat diunduh secara bebas di internet atau media sosial. Tidak ada data yang diperoleh secara privat. 2. Tulisan ini sangat mungkin masih akan terus berkembang seiring perkembangan penyelesaian masalah Norma Kapitasi 2015 dan Kapitasi Berbasis Komtimen Pelayanan.

"Kegagalan komunikasi"? Ada yang sangat mengganjal terkait penerapan kebijakan Peraturan BJPSK terkait penerapan Norma Kapitasi 2015 dan Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan. Seperti tulisan kemarin, saya simpulkan bahw filosofinya saya sepakati dan itu memang kewenangan BPJSK. Hanya soal instrumen penilaian dan "rupiah" nya perlu negosiasi bersama Faskes. Memang demikian regulasinya Tapi ternyata Norma Kapitasi sudah langsung diterapkan sejak bulan ini. Hari ini banyak teman FKTP mengeluhkannya. Peraturan BPJSK nomor 2/2015 baru ditanda tangani tanggal 27 Juli 2015. Diundangkan keesokan harinya. Bahkan link peraturan tersebut untuk diunduh secara publik di laman resmi BPJSK, juga baru mulai diberikan pada tanggal 11 Agustus 2015. Jelas ini waktu terlalu singkat kalau kemudian benar-benar sepenuhnya diterapkan mulai Agustus 2015. Klausul pada Peraturan dimaksud menyatakan adanya "kesepakatan" dengan Asosiasi Faskes: Pasal

29

Norma Penetapan Besaran Tarif Kapitasi dalam Peraturan BPJS Kesehatan ini merupakan pedoman dalam membuat kesepakatan dengan Asosiasi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama di tiap provinsi.

Pasal

39

(1) Teknis Pembayaran Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan merupakan pedoman dalam membuat kesepakatan dengan Asosiasi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama di tiap provinsi. Dalam lampirannya bahkan dirinci urutan kegiatan sebelum mencapai kesepakatan: 1. sosialisasi; 2. pembuatan kesepakatan dengan Asosiasi Fasilitas Kesehatan; 3. penandatanganan perjanjian kerja sama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau pimpinan FKTP. Rasanya tidak logis bila ditetapkan tanggal 27 dan diundangkan tanggal 28 Juli 2015 untuk melakukan semua proses itu sebelum Agustus 2015. Atau bahkan kalaupun diberi waktu sampai tanggal 10 Agustus 2015 saat besaran kapitasi ditetapkan untuk bulan berjalan. Apalagi ada Surat dari Sekjen Kemkes tanggal 5 Agustus 2015 yang menyarankan penundaan rencana sosialisasi Peraturan BPJSK dimaksud justru agar lebih optimal. Di titik ini saya menangkap juga kurang sinkronnya komunikasi antar kedua institusi. Padahal instrumen dalam Norma Kapitasi itu bersumber dari Permenkes 24/2015 tentang Penilaian FKTP Berprestasi (disahkan tanggal 13 Maret 2015, diundangkan tanggal 8 April 2015). Tahapan dalam Permenkes dimaksud menyatakan bulan Agustus adalah pengiriman calon ke tingkat nasional, untuk dinilai sampai Oktober 2015. Proses penilaian itu juga melibatkan BPJSK di tiap tingkatan. Artinya, seharusnya ada proses komunikasi antar keduanya pada masa-masa ini. Saya menilai, ada kegagalan komunikasi pada pihak BPJSK, sekaligus kurang sinkronnya komunikasi antara BPJSK dengan Kemkes. Ada sikap kurang hati-hati. Langkah ini jelas tidak kondusif di tengah situasi seperti sekarang ini. Sebaiknya ditelaah ulang, mengapa sampai terjadi demikian agar tidak perlu terulang. Bukan soal BPJSK semata, saya lebih fokus pada keberlangsungan JKN. Saya usulkan, sesuai pola selama ini, walau itupun saya kritik, terbitnya Peraturan BPJSK biasa diikuti Peraturan Direktur BPJSK untuk Petunjuk Pelaksanaannya. Sebaiknya dipertimbangkan untuk penerbitan Peraturan Direktur BPJSK agar proses menuju kesepakatan sebagaimana disebutkan dalam peraturan dimaksud, dapat dilaksanakan.

Selanjutnya kepada para pihak, mohon proses kesepakatan juga dapat segera dilaksanakan agar tidak menimbulkan perdebatan baru. Dalam proses itulah, dapat saja dirundingkan instrumen penilaiannya, maupun bisa jadi pada besaran kapitasinya. Artinya, tidak perlu ada pencabutan Peraturan BPJSK nomor 2/2015 karena toh memang itu dimaksudkan sebagai pedoman dalam proses kesepakatan dengan FKTP. Dengan demikian, akuntabilitas terhadap rekomendasi KPK tetap dapat dipenuhi. Sementara proses menuju implementasi Peraturan dimaksud bisa diharapkan lebih optimal. Tidak ada salahnya mundur selangkah, justru agar lebih lancar pada langkah-langkah berikutnya. Mari bersama-sama berjiwa besar. Semua semata demi keberlangsungan JKN.

Berhati-hati Memilih Diksi.... SIM/KTP/Pasport harus ikut BPJS? Berita ini menggambarkan apa yang sudah lama muncul dalam pertanyaan-pertanyaan di Grup BPJS Kesehatan: Tidak Ikut BPJS, Negara Akan Cabut Layanan Publik Warga http://nasional.tempo.co/read/news/2015/08/14/173691816/tidak-ikut-bpjs-negara-akan-cabutlayanan-publik-warga Ada satu bagian yang kurang tepat dalam berita ini. Lebih-lebih disampaikan oleh Anggota DJSN. Semoga hanya salah kutip, dan sebaiknya segera dikoreksi oleh para pihak: BPJS sudah menargetkan aturan tegas ini sudah bisa direalisasikan penuh pada 2019. Saat ini ada sejumlah daerah yang mulai memberlakukan aturan tegas sanksi, yakni Jawa Barat, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Timur. "Beberapa daerah mulai melaksanakan aturan tegas dan berkomitmen melaksanakan aturan BPJS,” ujar Ansyori. Sebagai anggota DJSN, kita berharap, beliau lebih berhati-hati memilih diksi. Yang dimaksud dalam berita ini bukanlah Peraturan BPJSK. Itu adalah Regulasi JKN. Adanya sanksi pencabutan hak atas sebagian layanan publik terkait JKN, diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 86/2015. Selengkapnya dapat diunduh dalam link berikut ini: http://www.setneg.go.id/components/com_perundangan/docviewer.php?id=404060&filename=P P%20Nomor%2086%20Tahun%202013.pdf Prinsip aturan itu dikenakan kepada para pemberi kerja, kecuali penyelenggara negara, dan setiap orang yang bukan termasuk kelompok pemberi kerja, pekerja dan PBI. Ada beberapa kewajiban yang dikenakan terkait JKN (sebenarnya juga terhadap BPJSTK, tetapi saya batasi yang terkait BPJSK):

1. Pemberi kerja wajib mendaftarkan pekerja dan anggota keluarganya. 2. Setiap orang wajib mendaftarkan diri dan anggota keluarganya. Tentu saja ini sifatnya sesuai dengan pentahapan dari kepesertaan BPJSK yang menjadi wajib bagi semua warga sebelum 1 Januari 2019. 3. Memberikan data dirinya dan pekerjanya berikut anggota keluarganya kepada BPJSK secara lengkap dan benar. 4. Melaporkan setiap perubahan data dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari kerja kepada BPJSK. Bila kewajiban itu tidak dipenuhi, terdapat sanksi: 1. teguran tertulis (sampai 2 kali, oleh BPJSK) 2. denda (0,1% per bulan. dilakukan oleh BPJSK) 3. tidak mendapat pelayanan publik tertentu. Bentuk dari tidak mendapat pelayanan tertentu untuk pemberi kerja berkaitan dengan: 1. perizinan terkait usaha; 2. izin yang diperlukan dalam mengikuti tender proyek; 3. izin memperkerjakan tenaga kerja asing; 4. izin perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; atau 5. Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Sedangkan terhadap perorangan, bentuk tidak mendapat pelayanan publik tertentu itu berkaitan dengan: a. Izin Mendirikan Bangunan (IMB); b. Surat Izin Mengemudi (SIM) c. sertifikat tanah; d. paspor; atau e. Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK). Bagaimana tata cara pengenaan sanksi? BPJSK TIDAK berwenang memberikan sanksi tidak mendapatkan layanan publik. Alurnya:

Pengenaan sanksi tidak mendapat pelayananpublik tertentu dilakukan olehPemerintah, pemerintah daerah provinsi, ataupemerintah daerah kabupaten/kota ataspermintaan BPJS. BPJS dalam melaksanakan pengawasan danpemeriksaan atas kepatuhan Pemberi Kerja SelainPenyelenggara

Negara

dalam

memenuhikewajibannya

membayar

iuran

atau

memenuhikewajiban lain wajib melaporkan ketidakpatuhanPemberi Kerja Selain Penyelenggara Negarakepada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan sesuai denganperaturan perundang-undangan.

Bagaimana penjaminan pekerja yang belum didaftarkan oleh Pemberi Kerja? (2b) Dalam hal Pekerja belum terdaftar pada BPJS Kesehatan, Pemberi Kerja wajib bertanggung jawab pada saat Pekerjanya membutuhkan pelayanan kesehatan sesuai dengan Manfaat yang diberikan oleh BPJS Kesehatan. Yang jelas, itu bukan PERATURAN BPJSK. Diksi yang tidak hati-hati berisiko memperkeruh suasasana yang sudah tegang. Sebaiknya menempatkan diri lebih hati-hati, apalagi semakin tinggi posisi diri.

"Kok BPJS memaksa mendaftar seluruh keluarga sih?" Salah satu pertanyaan - bahkan kadang dalam bentuk omelan - adalah "BPJS kok maksa mendaftarkan seluruh keluarga, dulu-dulu nggak begitu...". Memang, kepesertaan dalam JKN sifatnya adalah wajib (Pasal 4 UU SJSN 40/2004). Kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindungi. Meskipun kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh rakyat, penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program. Tahapan pertama dimulai dari pekerja di sektor formal, bersamaan dengan itu sektor informal dapat menajdi peserta secara mandiri, sehingga pada akhirnya Sistem Jaminan Sosial Nasional dapat mencakup seluruh rakyat (Penjelasan pasal 4 UU SJSN 40/4004, yang diturunkan dalam Perpres 109/2013 tentang Pentahapan Kepesertaan dalam JKN). Beberapa pasal dalam UU SJSN 40/2004 juga menunjukkan bahwa kewajiban itu meliputi "diri sendiri dan keluarga". Pasal 3 menyatakan bahwa "Sistem Jaminan Sosial Nasional bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinyakebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta

dan/atau anggota keluarganya." Untuk itu, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Wajib memberikan nomor idntitas tunggal kepada setiap peserta dan anggota keluarganya." (Pasal 15). Kemudian dalam UU BPJS 24/2011, hal itu dipertegas lagi pada pasal 16 bahwa: (1) Setiap orang, selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan penerima Bantuan Iuran, yang memenuhi persyaratan kepesertaan dalam program Jaminan Sosial wajib mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya sebagai Peserta kepada BPJS, sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti. (2) Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan data mengenai dirinya dan anggota keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS. Khusus untuk Pemberi Kerja, kewajibannya termasuk mendaftarkan dirinya, pekerjanya berikut anggota keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS (Pasal 15). Kewajiban ini diturunkan juga pada Perpres 12/2013 Pasal 10-11 dengan bunyi yang sama ditambah dengan pemenuhan kewajiban membayar iuran.

Bagaimana bila tidak mentaati? Peraturan Pemerintah nomor 86/2013 memang mewajibkan untuk mendaftarkan diri dan keluarganya (pasal 4). Juga kepada pemberi kerja untuk mendaftarkan seluruh pekerja dan menyerahkan data anggota keluarga seluruh pekerjanya (pasal 5). Kepada keduanya diwajibkan untuk memberikan data secara benar dan lengkap. Termasuk bila terjad perubahan data (kelahiran, kematian, pernikahan, perceraian, pindah tempat tinggal dll) harus dilaporkan dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari. Apa sanksi bila tidak dipenuhi: Kepada pemberi kerja, dapat dikenakan sanksi dari (1) Teguran, (2) Denda, dan/atau (3) Tidak mendapat layanan publik tertentu (5). Begitu juga kepada orang per orang (pasal 9). Khusus bagi kelompok Pekerja Penerima Upah, anggota keluarga yang otomatis masuk pertanggungan adalah suami atau istri yang sah dan anak-anak sampai nomor 3 sehingga total 5 anggota. Untuk keluarga selebihnya dapat didaftarkan juga hanya dengan menambahkan potongan gaji sebesar 1%. Anggota keluarga tambahan itu adalah anak-anak ke 4, orang tua dan mertua (diatur sejak dari UU SJSN, UU BPJS, Perpres dan Permenkes). Sering kemudian muncul gugatan: lha wong gaji saya saja hanya sekian, mana cukup untuk membayari? Kalau mendapat gaji, berarti masuk kelompok PPU. Artinya, masuk skema potongan

gaji 1% dari peserta dan 4% dari pemberi kerja. Bahkan sampai Juni 2015 nanti, malah baru terpotong 0,5% dari pekerja. Lha saya kan pekerja informal? Kalau demikian, pilihannya menjadi Peserta Mandiri (Pekerja Bukan Penerima Upah). Silakan memilih kelas perawatan I sampai III dengan besaran premi masing-masing. Lha mana cukup dengan gaji segitu? Kalau demikian, sangat mungkin masuk dalam kategori kurang mampu. Apakah masuk kelompok PBI (sesuai kriteria dari BPS tentang masyarakat miskin?). Kalau memang demikian, berarti berhak mendapatkan premi dari pemeritah. Lewat mana? Jalurnya ke Pemerintah Daerah. Setiap 6 bulan, ada perbaruan data PBI (PP 101/2012). Sebelum 6 bulan saatnya perbaruan data, menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Saat perbaruan, kita juga harus "revolusi mental". Bagi yang sudah mendapat pekerjaan, atau peningkatan ekonomi, harus dengan dewasa mundur atau bersedia dikeluarkan dari daftar PBI. Lha kalau misalnya kena PHK? Bila kena PHK, maka sampai 6 bulan kemudian, kepesertaan tetap aktif TANPA MENGANGSUR (Pasal 21 UU SJSN 40/2004, Pasal 7 Perpres 12/2013, Permenkes 28/2014 pada Bab tentang Perubahan data PBI). Bila sebelum 6 bulan sudah mendapat pekerjaan baru, berarti kembali aktif sebagai PPU (premi dari pemberi kerja baru). Bila setelah 6 bulan belum mendapat pekerjaan baru, kemungkinan ada 2: mendapat sumber ekonomi lain bukan sebagai PPU, atau menjadi kelompok miskin yang berhak masuk pendataan baru sebagai PBI. Bagaimana untuk bayi baru lahir? Memang ada sedikit "masalah" dalam hal ini. Untuk kelompok PPU, maka sampai anak ketiga otomatis masuk pertanggungan. Walaupun ini juga masih menyisakan pertanyaan. Klausul anggota keluarga yang otomatis masuk pertanggungan adalah suami atau istri yang sah, dan anak-anak sampai nomor 3 sehingga total 5 orang. Masalahnya, bagaimana kalau istri sah lebih dari satu? Maka sebenarnya klausul "sampai anak ketiga" ini harus mendapat catatan. Bagaimana untuk bayi baru lahir dari bukan PPU? Anak ke empat, atau di luar 5 anggota keluarga PPU, serta dari kelompok lain yang non PBI, harus didaftarkan sebagai peserta Mandiri. Di sini muncul masalah. Dalam Permenkes 71/2013 maupun 28/2014, ada waktu 3x24 jam hari kerja untuk mendaftarkannya sekaligus langsung berlaku aktif. Namun tanggal 18 Oktober 2014, terbit Peraturan BPJS no 4/2014 yang menetapkan masa tenggang 7 hari sejak pembayaran pertama. Jadi lah masalah termasuk untuk bayi baru lahir.

https://www.facebook.com/notes/tonang-dwi-ardyanto/mitra-sejajarseharusnya/797824510279873 Menyadari masalah itu, pada tanggal 17 November 2014, terbit Peraturan Direksi BPJS no 211/2014 yang mengecualikan beberapa kelompok dari masa tenggang 7 hari, termasuk bagi bayi baru lahir kelompok PBI dan PMKS. Masalahnya harus ada rekomendasi Dinsos setempat. Ini menjadi pelik karena kalau benar direkomendasikan sebagai "tidak mampu", maka seharusnya menjadi tanggungan Pemda. https://www.facebook.com/notes/tonang-dwi-ardyanto/perdir-bpjs-2112014-pengecualiantentang-efektif-berlakunya-kartu-7-hari-setelah/814956568566667 Kembali menjadi pertanyaan, maka pada 17 Desember 2014, ada lagi kebijakan dari BPJS untuk "janin dalam kandungan dapat didaftarkan sebagai peserta BPJS". Sebenarnya regulasi ini sarat kritik. Tapi bagi masyarakat yang memang menginginkannya, maka sah mendapatkannya secara regulasi. https://www.facebook.com/notes/tonang-dwi-ardyanto/janin-dalam-kandungan-bolehdidaftarkan-bpjs/835089346553389 Pemerintah harus segera merapikan regulasi agar tidak timbul kesimpang siuran seperti ini. Karena posisi BPJS adalah Badan Hukum Publik yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, maka Peraturan BPJS tidak bisa dianulir dengan Permenkes. Presiden yang harus menerbitkannya untuk "menyesuaikan" regulasi BPJS yang dianggap tidak sejalan dengan tujuannya. Selanjutnya regulasi dari Presiden itu sebagai rujukan Permenkes. Kembali kepada pertanyaan awal: memang ada kewajiban untuk mendaftarkan seluruh anggota keluarga dalam JKN. Mengapa awalnya dulu tidak? Tentu saja, ada pertimbangan bahwa pada awal Januari 2014, masih banyak kurang informasi. Regulasi pun belum sempurna. Maka ada kebijakan. Namun, setengah tahun JKN berjalan, mulai terasa bahwa masukan kepesertaan makin aktif. Juga mulai dirasakannya potensi miss-match dalam rasio klaim BPJS. Maka regulasi soal kewajiban mendaftarkan seluruh keluarga menjadi secara tegas diterapkan. Ternyata itu pun memunculkan masalah baru: tidak semua anggota keluarga sudah memiliki NIK ketika dicoba didaftarkan. Di sini, tentu masalahnya makin melebar ke soal Data Kependudukan. Tugas pemerintah tentu untuk menyelesaikannya. Apalagi perintah mendaftarkan seluruh keluarga, adalah perintah UU, produk legislasi dari Pemerintah dan DPR.

Di sisi lain, keharusan ini juga menguak kebiasaan "salah kaprah" kita dengan tidak secara taat mencatatkan peristiwa-peristiwa demografi. Saat mendaftarkan BPJS, baru sadar bahwa "di KK saya ada 7 orang, tapi yang 2 kan sudah pindah, boleh tidak saya daftarkan yang 5 saja". Atau "di KK saya memang ada 6 orang, tapi sebenarnya yang 2 itu tinggalnya terpisah kota, boleh tidak mendaftar saja". Atau juga "di KK saya itu ada 6 tapi sebenarnya yang 4 itu dua anak saya dengan menantu yang sudah tinggal sendiri-sendiri....". Juga "Lah, Ibu saya kan sudah meninggal, masak harus didaftarkan hanya gara-gara namanya masih ada di KK?". Tentu, yang seperti ini juga harus ditertibkan. Kalau anak saya domisili sedang di lain kota karena kuliah bagaimana? Mintakan surat Keterangan Domisili bagi anaknya. Pendaftaran tetap satu KK lengkap, tapi nanti khusus untuk anaknya akan dicarikan PPK 1 di dekat tempatnya kuliah. Kalau sudah pindah? Ya kalau namanya pindah, tentu harus mengurus KTP dan KK terpisah. Jadi, mari daftarkan seluruh anggota keluarga. Kalau merasa tidak mampu, segera ke Dinsos setempat untuk memastikan posisi dan hak kepesertaan.

Kapitasi Berbasis Kinerja? Norma Kapitasi? Belum lama, BPJSK menerbitkan Kebijakan Peraturan BPJSK nomor 2/2015 tentang Norma Kapitasi 2015 dan Kapitasi Berbasis Kinerja. Penerbitan ini menjadi diskusi hangat. Kenapa sih harus ada aturan itu? Laporan KPK bulan Januari 2015 menyatakan ada 4 kelemahan pengelolaan Dana Kapitasi JKN. Salah satu poin pentingnya: efektivitas dana kapitasi dalam meningkatkan mutu layanan masih rendah. Padahal dana yang disalurkan sangat besar, yakni hampir 8 triliun rupiah per tahun. Namun, perubahan kualitas layanan puskesmas secara keseluruhan belum terlihat secara nyata. KPK juga menemukan bahwa: tidak ada alat pengawasan dan pengendalian dana kapitasi oleh BPJS Kesehatan. http://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-pers/2440-kpk-temukan-4-kelemahan-pengelolaan-danakapitasi Rekomendasi tersebut direspon oleh BPJSK dengan menginisiasi penilaian QI-9 (Quality Indicator 9). Selengkapnya seperti dalam gambar. Indikator ini adalah rincian dari 4 fungsi Gate Keeper yang menjadi filosofi utama Faskes Primer sebagai PPK 1:

1. Kontak Pertama (First Contact) 2. Pelayanan Berkelanjutan (Continuity) 3. Pelayanan Paripurna (Comprehensiveness) 4. Koordinasi Pelayanan (Coordination). Dari 4 fungsi tersebut, dijabarkan dalam 9 Indikator Kinerja seperti dalam gambar.

Apa hubungannya dengan rekomendasi KPK? Melalui penilaian indikator itulah diterapkan Kapitasi Berbasis Kinerja. Jadi besaran kapitasi yang diterima didasarkan pada capaian indikator tersebut. Dalam bahasa ringkas: kalau prestasinya berbeda, masak mendapatkan kapitasi yang sama? Dalam bahasa baku: akuntabilitas penggunaan dana.

Sejak kapan dilaksanakan QI-9? Program BPJSK melaksanakan QI-9 dimulai pada bulan Juni 2015. Skemanya dilakukan penilaian per 3 bulan. Apa implikasinya? Penurunan kapitasi. Dalam sedikit pengalaman saya, BPJSK cabang tetap harus berperan aktif dalam arti tidak begitu saja melepas dan memaksa PPK 1 memenuhi indikator tanpa ada upaya. Agar kontak pertama minimal 150 per mil terpenuhi, maka didorong PPK1 aktif melakukan kegiatan di masyarakat: ceramah, senam bersama, bersih-bersih lingkungan. BPJSK membantu fasilitasi penyelenggaraannya. Agar kegiatan prolanis berjalan baik, BPJSK juga menerapkan pengawasan rujuk balik ketat di RS. Agar rujukan non-spesialistik tidak tinggi, dilakukan penyegaran kompetensi bersama dokter spesialis dari PPK2 dan PPK3 agar didapatkan sinkroninisasi dan penguatan. Juga kesepakatan bersama Dinkes setempat dalam menjalankan QI-9 dalam indikator rujukan non-spesialistik.

Lantas, apa hubungannya kok bulan Agustus ada Norma Kapitasi 2015 baru? Penerapan QI-9 baru menilai sisi output. Implikasinya pada pengurangan kapitasi. Pertanyaannya: kapitasi itu sendiri berbasis input (SDM, sarpras). Apakah berimbang kalau inputnya lain tetapi indikator prestasinya sama? Maka disusun Norma Kapitasi 2015 (Peraturan BPJSK nomor 2/2015) yang menentukan kapitasi berbasis input. Instrumen penilaian input meliputi: SDM, Sarpras, Lingkup layanan dan komitmen pelayanan. Ini sesuai dengan Permenkes 59/2014 tentang Standar Tarif JKN pada pasal 4 yang mengatur tentang besaran kapitasi bagi FKTP.

Selanjutnya, penyusunan kriteria input itu sendiri banyak mengacu pada Permenkes 24/2015 tentang Instrumen Penilaian FKTP berprestasi. Proses penilaiannya melalui kredensialing FKTP. Regulasi mengatakan, BPJSK yang melakukan kredensialing (Permenkes 71/2013). Bila ada keberatan terhadap hasil kredensialing, jalurnya adalah lapor ke DInkes setempat. Kemudian Dinkes akan membentuk Tim penyelesain. Sedikit pengalaman saya, setiap kali diminta melakukan sosialisasi JKN oleh teman-teman BPJSK, selalu saya tekankan bahwa Dinkes lah yang seharusnya menjadi Panglima Pelayanan Kesehatan di Daerah. Daripada menunggu ada keberatan, maka saya usulkan agar justru sejak awal Proses Kredensialing dilakukan bersama-sama antara BPJSK dengan Dinkes setempat. Semoga bisa berjalan demikian. Sedangkan poin QI-9 diwujudkan dalam penilaian output berprinsip: pembayaran kapitasi berbasis pemenuhan komitmen pelayanan. Dari 9 indikator, sementara ini baru diberlakukan 3 indikator utama: a. Angka Kontak (AK) b. Rasio Rujukan Rawat Jalan Kasus Non Spesialistik (RRNS); dan c. Rasio Peserta Prolanis rutin berkunjung ke FKTP (RPPB). Konsepnya membagi antara target "aman" (artinya sesuai target), atau "berprestasi" (artinya melebihi target) atau "kurang" bila tidak mampu memenuhi target. Misalnya untuk indikator Kontak Pertama, angka aman pada minimal 150 per mil. Disebut berprestasi bila mencapai minimal 250 per mil. Demikian juga untuk angka rujukan rawat jalan non-spesialistik, angka aman pada maksimal 5% dan disebut berprestasi bila maksimal 1%. Pasal 33 Peraturan BPJSK nomor 2/2015 menyatakan: (2) Rasio rujukan rawat jalan kasus non spesialistik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jumlah Peserta yang dirujuk dengan diagnosa yang termasuk dalam level kompetensi FKTP sesuai dengan Panduan Praktik Klinis dibandingkan dengan jumlah seluruh Peserta yang dirujuk oleh FKTP dikali 100 (seratus). Dalam hal ini, BPJSK perlu meredefinisi pemahaman tentang Rujukan Non-spesialistik terutama dalam memahami konsep Kompetensi dan Kewenangan. Ada klausul kriteria rujukan yang menjadi acuan justru untuk harus merujuk. Selengkapnya pada:

https://www.facebook.com/notes/tonang-dwi-ardyanto/salah-kaprah-soal-155-diagnosis-tidakboleh-dirujuk/944344038961252

Kapan mulai dinilai? Setiap berapa lama dilakukan penilaian? Penilaian kapitasi berbasis komitmen pelayanan dimulai bulan ke 4 setelah program mulai dijalankan. Selanjutnya, penyesuaian besaran kapitasi dilakukan berdasarkan penilaian setiap 3 bulan. Jadi tidak lantas berarti setiap bulan besaran kapitasi akan berubah-ubah.

Lantas, mengapa jadi ramai? Menjadi isu hangat, karena konsekuensi aturan itu akan ada dua: (1) penurunan besaran kapitasi, dan (2) pengurangan penerimaan kapitasi berbasis prestasi. Sesuai rekomendasi KPK, maka ada pembedaan angka kapitasi: semakin baik input, semakin maksimal angka kapitasi yang ditetapkan. Juga, realisasi kapitasi ada 3 kemungkinan: sesuai penetapan awal bila kinerja di level aman, lebih tinggi bila kinerja berprestasi dan bisa dikurangi bila tidak mencapai target. Sampai di sini, tidak ada yang aneh. Wajar saja. Namanya target, memang demikian adanya. Yang perlu menjadi kajian bersama itu bukan soal filosofinya. Angka-angka itu nanti akan dibawa ke ranah kesepakatan bersama sesuai amanah Pasal 37 Perpres 12/2013 dan Pasal 37 Permenkes 71/2013. Kesepakatan itu mengacu pada Peraturan Menteri. Sejauh ini, standar tarif terakhir ada pada Permenkes 59/2014. Di sana ada rentang kapitasi untuk FKTP. Pasal 4: a. puskesmas atau fasilitas kesehatan yang setara sebesar Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah) sampai dengan Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah); b. rumah sakit Kelas D Pratama, klinik pratama, praktik dokter, atau fasilitas kesehatan yang setara sebesar Rp 8.000,00 (delapan ribu rupiah) sampai dengan Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah); dan c. praktik perorangan dokter gigi sebesar Rp2.000,00 (dua ribu rupiah). Satu yang awalnya saya belum bisa menjelaskan. Sesuai prinsip pemberian melebihi kapitasi untuk yang berprestasi, maupun mengurangi bagi yang tidak mencapai target kinerja, maka ada risiko FKTP menerima kapitasi melebihi ataupun kurang dari rentang yang tertera pada Permenkes 59/2015. Ternyata ada catatan pada pasal 33 Per BPJSK 2/2015:

(4) Dalam hal pemenuhan target indikator komitmen pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) menyebabkan besaran tarif kapitasi lebih rendah dari standar tarif kapitasi minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) maka besaran kapitasi yang dibayarkan adalah sebesar tarif kapitasi minimal. (5) Dalam hal pemenuhan target indikator komitmen pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) menyebabkan besaran tarif kapitasi lebih tinggi dari standar tarif kapitasi maksimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) maka besaran kapitasi yang dibayarkan adalah sebesar tarif kapitasi maksimal. Pasal 4 ayat (3) yang diacu itu sama isinya dengan pasal 4 dalam Permenkes 59/2014. Apakah hanya itu "imbalan" bagi yang berprestasi? Pasal 33 itu selanjutnya menyatakan: (6) Dalam hal FKTP memenuhi 3 indikator komitmen pelayanan zona prestasi yang berlangsung selama 6 bulan berturut-turut dan berada pada kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), kompensasi kepada FKTP diberikan dalam bentuk peningkatan kompetensi melalui pelatihan/workshop/seminar untuk meningkatkan kompetensi dan/atau performa FKTP. Sebaliknya, ada juga klausul bagi yang tidak mampu memenuhi target: Pasal 38: (1) Dalam hal FKTP selain Puskesmas menunjukan hasil penilaian 3 (tiga) indikator tidak memenuhi target pada zona aman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, Pasal 33 dan Pasal 34 selama 3 (tiga) bulan berturut turut, maka BPJS Kesehatan memberikan surat teguran pertama. Selanjutnya dievaluasi tiap bulan, bisa sampai Surat Teguran ke 3, dapat dipertimbangkan pemutusan kerjasama.

Kapan mulai diterapkan? Bagi Puskesmas di Ibukota propinsi, mulai 1 Agustus 2015. Bagi yang lain secara nasional mulai 1 Januari 2016. Bagi Faskes selain Puskesmas dimulai 1 Januari 2017, kecuali bagi yang di DPTK. Bila disepakati bersama para pihak, pelaksanaan dapat dimulai lebih awal dari target waktu tersebut. Catatan ini masih bisa berkembang, karena isu ini memang masih hangat. Yang jelas, prinsip kendali mutu dan kendali biaya yang harus menjadi landasan bersama. Juga prinsip "memberikan

sesuai prestasi" harus dipahami bersama. Soal instrumen, soal "rupiah" bisa saja menjadi materi negosiasi. Tetapi prinsip-prinsip tadi yang menjadi acuan bersama. Bagi yang belum memiliki, berikut Peraturan BPJSK nomor 2/2015 dan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 24/2015 beserta lampirannya: https://www.dropbox.com/sh/t8mnb0i29h5b0h7/AABtmQk5AlRobIxaOh7ce-Opa?dl=0

Mengapa rujukan "dibatasi" Sering sekali muncul keluhan seperti ini, dari banyak pihak "mengapa rujukan dibatasi"? Pembahasan menarik berasal dari Laporan Jurnal tentang Pengelolaan Pelayanan Kesehatan yang dianggap

efisien.

Laporan

tersebut

muncul

tahun

2001

di

Inggris

(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11430334). Laporan ini telah ditelaah pula di FKM UI pada tahun 2009. Sedang pada tahun 2011, muncul laporan yang sama di Swedia (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3347955/). Ringkasnya (seperti dalam gambar 1 dan 2): Ada proses berjenjang dalam pelayanan kesehatan sehingga penggunaan sumber daya menjadi efisien. Ini merupakan perwujudan juga dari sistem rujukan berjenjang dalam Sistem Kesehatan Nasional kita (gambar 3). Tentu saja ada tanggung jawab besar pemerintah maupun masyarakat untuk mewujudkannya. Itu juga sesuai dengan konsep

Kompetensi Dokter Indonesia yang memberikan standar juga untuk kompetensi dokter di layanan primer.

Lantas apa hubungannya dengan rujukan dibatasi? Model itu menjadi satu indikator penilaian kinerja pelayanan kesehatan. Dapat dicermati bahwa dari 1000 orang, maka angka kunjungan ke PPK 1 diharapkan pada angka 25-30%. Selanjutnya, dari yang berkunjung ke PPK 1, hanya sekitar 21 orang (2,1%) yang harus dirujuk ke Layanan Rawat Jalan. Sedangkan sekitar 13 orang (1,3%) lainnya kasus gawat darurat yang memang pada prinsipnya tidak perlu rujukan berjenjang. Dari yang berobat di rawat jalan PPK 2, hanya sekitar 9 orang (0,9%) yang harus rawat inap. Dari semua yang dirujuk ke PPK 2 tersebut, hanya 5 orang (0,5%) yang perlu dirujuk ke RS lebih tinggi dalam kelompok PPK 2. Selanjutnya, hanya 1 orang (0,01%) yang harus dirujuk ke PPK 3 atau rujukan lebih tinggi (rujukan nasional). Dengan model ini maka penggunaan sumber daya lebih efisien, mengurangi keluhan "antrian panjang di Faskes" maupun "kamar penuh dipaksa naik kelas". Penjenjangan itupun sudah disesuaikan dengan jenjang kompetensi yang dimiliki pada SDM pada RS sesuai jenjangnya. Ini terlihat dari pembagian Standar Kompetensi Dokter Indonesia (versi terakhir sesuai Per KKI 11/2012). Model ini pula yang awal-awal JKN digunakan sebagai indikator bahwa angka rujukan dari PPK 1 diharapkan pada kisaran maksimal 10%.

Kok sekarang ramai soal rujukan non-spesialistik? Diharapkan, tidak hanya menjadikan indikator 10% rujukan sebagai indikator kinerja layanan, tetapi juga rujukan yang sesuai dengan jenjang kompetensi. Maka kemudian diukur juga jumlah rujukan non-spesialistik untuk kasus rawat jalan (bukan kasus emergensi). Indikator yang dipakai sekarang adalah di angka 1% dari total rujukan. Untuk itu, disusun Permenkes 5/2014 tentang Panduan Praktik Klinis di Layanan Primer. Isinya bukan berarti "tidak boleh dirujuk dan harus tuntas di Faskes Primer" tetapi menjadi standar tata laksana kasus. Pada kondisi masuk kriteria rujukan, maka justru wajib dirujuk.

Bagaimana bila masalahnya pada kurangnya sarana prasarana? Sesuai pasal 35 Permenkes 71/2013, maka tanggung jawab ketersediaan sarana prasana ada pada Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Untuk itu, dalam implementasi Permenkes 5/2014, ada penilaian dan kesepakatan bersama Dinas Kesehatan setempat agar menjadi pegangan adanya tata laksana yang tidak mampu laksana karena keterbatasan. Tentu saja tidak berhenti demikian. Diharapkan catatan itu juga mendasari peningkatan pemenuhan sarpras untuk selanjutnya.

Bagaimana kalau memang ada kekurangan dalam hal "kompetensi"? Memang kompetensi harus tetap dijaga dan dipelihara. Karena itu, disamping karena kurangnya sarana prasarana, kita perlu juga menyegarkan kompetensi. Hal-hal terkait Permenkes 5/2014, dibahas selengkapnya di: https://www.facebook.com/notes/tonang-dwi-ardyanto/salah-kaprah-soal-155-diagnosis-tidakboleh-dirujuk/944344038961252

Apakah angka kunjungan ke PPK 1 harus di angka 25-30%? Tidak, bisa saja justru lebih rendah bila memang standar kesehatan masyarakat sudah meningkat. Upayanya melalui preventif dan promotif. Justru di situ lah peran besar PPK 1. Karena itu pula, salah satu indikator kinerja PPK 1 adalah "kontak pertama" dengan anggota kapitasinya. Diharapkan itu menjadi langkah peningkatan kesehatan masyarakat. Katanya kontak pertama juga menjadi indikator pemberian kapitasi? Tentang Kapitasi Berbasis Kinerja, akan dibahas tersendiri.

Salah Kaprah soal "155 diagnosis tidak boleh dirujuk"... Berturut-turut dalam 3 hari terakhir, ada rasa sedih karena muncul polemik soal "155 diagnosis yang tidak boleh dirujuk". Pertama, ada berita di Kompas 8/8/2015. Dalam salah satu bagian beritanya, ada pernyataan dari Humas BPJSK bahwa "Faskes Primer tidak boleh merujuk 144 diagnosis". Disebutkan "akan disiapkan sistem agar tidak bisa merujuk kasus non-spesialistik". Ini tentu perlu diluruskan. Menyusul hari Ahad kemarin, muncul pertanyaan di Grup BPJS Kesehatan juga di Grup suatu Komunitas Dokter terkait hal yang sama. Ada penjelasan dari BPJSK sebuah cabang melalui bentuk Kalender bahwa ada daftar 155 penyakit yang tidak boleh dirujuk. Segera terjadi diskusi hangat. Tidak sedikit - kalau tidak ingin dikatakan mendominasi - lontaran keras yang nampaknya lebih karena belum memahami duduk masalahnya.

Apa sebenarnya terjadi? Pasal 44 UU Praktek Kedokteran menyatakan: (1) Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi. (2) Standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibedakan menurut jenis dan strata sarana pelayanan kesehatan.

(3) Standar pelayanan untuk dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Sebagai pelaksanaannya kemudian diterbitkan Permenkes 1438/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran. Gambarannya seperti dalam lampiran. Lepas dari diskusi soal terminologi, pada tanggal 9 Februari 2015, diterbitkan Panduan Praktik Klinis d Layanan Primer. Saya memilih memandangnya secara positif, bahwa berarti ada standar yang bisa dipegang bersama. JKN meniscayakan standar. Karena bagaimana menilai pemenuhan "kebutuhan medis" yang dipersyaratkan pada tarif INA-CBGs bila tidak ada standar yang dirujuk bersama. https://www.facebook.com/notes/tonang-dwi-ardyanto/bukan-insentif-dokter-tetapi-standarpelayanan/648378315224494 Permenkes 5/2014 berbasis pada Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI versi terakhir Per KKI 11/2012). Prinsip, Dokter di Layanan Primer memiliki kompetensi untuk semua dari 736 daftar penyakit. Hanya berbeda-beda levelnya dari level 1, 2, 3A, 3B, 4A dan 4B. Rinciannya: Tingkat Kemampuan 1: mengenali dan menjelaskan Lulusan dokter mampu mengenali dan menjelaskan gambaran klinik penyakit, dan mengetahui cara yang paling tepat untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai penyakit tersebut, selanjutnya menentukan rujukan yang paling tepat bagi pasien. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan. Tingkat Kemampuan 2: mendiagnosis dan merujuk Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan. Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan merujuk 3A. Bukan gawat darurat: Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan. 3B. Gawat darurat Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada

pasien. Lulusan

dokter

mampu

menentukan

rujukan

yang

paling

tepat

bagi

penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan. Tingkat Kemampuan 4: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas. Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas. 4A. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter 4B. Profisiensi (kemahiran) yang dicapai setelah selesai internsip dan/atauPendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) Di samping daftar penyakit, ada pula Daftar Kompetensi Keterampilan. Levelnya juga bertingkat seperti dalam gambar. Selanjutnya daftar Level Kompetensi Penyakit dan Keterampilan seperti dalam gambar. Bila menilik namanya, maka sebenarnya semua daftar penyakit seharusnya dicantumkan. Tetapi yang dibahas meliputi: 1.Mengacuada Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) 2012 2.Mencakuppenyakit dengan level kompetensi 4A, 3B dan3A terpilih. 3.Katarak(level 2) dimasukkan karena prevalensi tinggi 4.Dasarpemilihan: high volume, high risk, high volume

Jadi yang benar itu 140, 144 atau 155 sih? Jadi, ada 144 penyakit masuk level 4 menurut SKDI. Kemudian, ada beberapa penyakit seperti infeksi fungi, dijadikan satu penyakit. Kok 155? Jadi, tidak semua level 4A menurut SKDI masuk dalam Permenkes 5/2014. Pertimbanganya menurut pendahuluannya karena mempertimbangkan frekuensi kasus, tinggina risiko dan besarnya biaya pelayanan. Bulan Desember 2014, telah disusun revisi PPK tersebut. Saat ini sedang menunggu pengesahan.

Mengapa harus ada PPK bagi Faskes primer? Tujuan PMK 5/2014 adalah menjadi standar pelayanan di Layanan Primer. Justru dengan adanya PMK 5/2014 ini, menjadi jelas pegangan bersama: 1. Bagi Faskes primer untuk mengukur kemampu laksanaan sesuai kompetensi dan kewenangan, 2. Bagi Faskes rujukan untuk menilai juga pelaksanaan rujukan berjenjang. 3. Bagi BPJSK sebagai acuan dalam menilai kinerja FKTP (dalam tulisan tersendiri).

4. Bagi ketiga pihak sebagai acuan bersama meminimalkan ke salah pahaman diantara ketiganya dalam proses pelayanan JKN.

Kalau begitu, mengapa menjadi masalah hangat? Hanya perlu dipahami bahwa ada beda antara Kompetensi dan Kewenangan. SKDI yang diadopsi oleh PMK 5/2014 adalah SKDI. Kompetensi adalah seperangkat kemampuan yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang diuji dan diakui oleh kolegium. Diwujudkan dalam bentuk Surat Tanda Registrasi. Sedangkan kewenangan adalah seperangkat kompetensi yang dilekati wewenang untuk menjalankannya. Bentuknya dalam Surat Ijin Praktek. Maka, setiap kewenangan harus didasari oleh kompetensi. Tetapi tidak setiap kompetensi dilekati oleh kewenangan. Karena itu, SKDI sama sekali bukan standar kewenangan di layanan primer. Konsep ini yang sering disalah pahami, baik oleh teman-teman BPJSK di lapangan, maupun para penyedia layanan kesehatan. Ternyata, pada level Humas BPJSK pun masih ada kesalah pahaman. Semoga segera ada koreksi dan pelurusan terhadap pernyataan Humas di koran tersebut.

Apakah benar-benar tidak boleh dirujuk? Struktur Permenkes 5/2014 sebagai berikut: 1. JudulPenyakit 2. Masalahkesehatan 3. HasilAnamnesis 4. HasilPemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana 5. PenegakanDiagnosis 6. RencanaPenatalaksanaan Komprehensif: a. Farmakologidan non farmakologi b. Edukasidan konseling bagi pasien dan keluarga c. Aspekkomunitas (community oriented) d. Kriteriarujukan e. Sarana prasarana

Dengan demikian, pada penyakit dengan level 4 sekalipun, tetap ada kriteria rujukan. Bila terpenuhi kriteria rujukan, maka justru wajib dirujuk. Di samping kriteria rujukan kasus per kasus, ada kriteria rujukan umum: Dokter akan merujuk pasien apabila memenuhi salah satu dari kriteria “TACC” (Time-AgeComplication-Comorbidity) berikut: Time : jika perjalanan penyakit dapat digolongkan kepada kondisi kronis atau melewati Golden Time Standard. Age : jika usia pasien masuk dalam kategori yang dikhawatirkan meningkatkan risiko komplikasi serta risiko kondisi penyakit lebih berat. Complication

:

jika

komplikasi

yang

ditemui

dapat

memperberat

kondisi pasien.

Comorbidity : jika terdapat keluhan atau gejala penyakit lain yang memperberat kondisi pasien. Selain empat kriteria di atas, kondisi fasilitas pelayanan juga dapat menjadi dasar bagi dokter untuk melakukan rujukan demi menjamin keberlangsungan penatalaksanaan dengan persetujuan pasien. Di banyak daerah, Dinkes dan BPJSK setempat menginisiasi pertemuan untuk merumuskan kesepakatan. Berdasarkan penilaian bersama dalam koordinasi Dinkes, maka disepakati ada sekian penyakit yang karena kondisi setempat dinyatakan tidak mungkin memenuhi standar PMK 5/2014. Dengan menyepakati ini, maka menjadi dasar penilaian implementasi PMK 5/2014. Tiap daerah bisa berbeda-beda. Selanjutnya, sesuai juga dengan salah satu tujuan PMK 5/2014 adalah menjadi standar dalam pemenuhan kelengkapan sarana prasarana di Faskes primer.

Bagaimana bila masalahnya pada kompetensi Dokter di Layanan Primer? Sedikit

pengalaman

saya,

sebaiknya

didorong

organisasi

profesi

setempat

untuk

menyelenggarakan penyegaran kompetensi. Bentuknya belajar bersama, menghadirkan Sejawat Spesialis bidang tertentu untuk membahas kasus-kasus yang sering bermasalah dalam rujukan. Juga

tentang bagaimana

dapat

memenuhi

tatalaksana

sesuai

PMK

5/2014.

Biaya

penyelenggaraan? Saya meminta BPJSK setempat untuk memfasiitasinya. Bagi saya, itulah semangat JKN: saling bersinergi, saling peduli.

Apakah Permenkes 5/2014 sudah benar isinya? Sesuai Permenkes 1438/2010, maka Standar Pelayanan Kedokteran harus terus mendapatkan kajian untuk direvisi sesuai perkembangan. Standarnya, dilakukan revisi maksimal tiap 2 tahun.

Terhadap PMK 5/2014 sendiri sudah dilakukan revisi pada Desember 2014 kemarin, sekarang sedang menunggu pengesahan. Isinya menjadi lebih lengkap, memuat semua penyakit pada level 4. Kepada kolegium organisasi profesi, diharapkan terus melakukan kajian dan koreksi agar isi PPK tersebut semakin sesuai perkembangan ilmu sekaligus juga mampu laksana. Lebih penting lagi, pemerintah juga harus secara konsekuen meningkatkan kapasitas sarana prasana maupun SDM agar PPK tersebut benar-benar dapat dilaksanakan.

Apakah semua kasus harus lewat Faskes primer dulu? Prinsip: dalam keadaan gawat darurat, tidak diperlukan rujukan berjenjang. Peserta dapat langsung menuju Faskes terdekat. Adanya pembahasan penyakit dengan level 3B di PMK 5/2014 adalah memberikan standar tata laksana bila kasus yang demikian datang ke Faskes Primer. Contohnya adalah yang banyak diributkan di medsos seperti fraktur terbuka atau pre/eklampsia maupun atonia uteri. Jadi tidak perlu tergesa-gesa mencela dengan "mau diapain fraktur terbuka di puskesmas, keburu fatal". Terhadap kalender yang diterbitkan oleh beberapa cabang BPJSK terkait "155 penyakit harus tuntas di Faskes Primer", sebaiknya dilengkapi penjelasan tentang kriteria rujukan sehingga menjadi jelas, tidak kabur. Sebuah Cabang BPJSK sudah melaksanakan rekomendasi ini sehingga tidak lagi menjadi ribut. Cabang tersebut juga sudah memfasilitasi forum penyegaran kompetensi, menghadirkan Spesialis untuk diskusi dengan Dokter di layanan primer agar sinkron.

Apa saja yang masuk kriteria gawat darurat? Ada kriteria sesuai KMK 856/2009, Permenkes 416/2011 maupun Permenkes 40/2012. Pembahasannya di sini: https://www.facebook.com/notes/tonang-dwi-ardyanto/soal-gawat-darurat-di-erajkn/909658809096442

Lantas apa hubungannya dengan aturan rujukan non-spesialistik?

Kecelakaan Lalu Lintas dalam Era JKN Sejak sekira 2-3 hari lalu, di media sosial muncul perdebatan seputar bagaimana pertanggungan bila seseorang peserta BPJSK mengalami kecelakaan. Perdebatan itu menyiratkan seolah-olah "harus urus polisi dulu sebelum ditolong, bagaimana kalau terlanjur mati". Sebenarnya bagaimana? Saya tidak banyak tahu soal Asuransi Jasa Raharja maupun BPJS Ketenaga Kerjaan (BPJSTK). Jadi tulisan ini dari sudut BPJS Kesehatan (BPJSK).

Kita coba jernihkan dulu. Saat ini, dengan kewajiban menjadi peserta BPJSK, maka dalam keadaan berlalu lintas, ada dua jenis pertanggungan asuransi: Jasa Raharja dan BPJSK. Dalam hal inilah ada azas koordinasi manfaat (Coordinating of Benefit atau CoB). Ada 3 ciri yang dipegang dalam penerapan CoB dalam era JKN ini: 1. Tidak boleh terjadi manfaat ganda. Artinya, tidak dibenarkan untuk satu kasus pada satu orang, mendapatkan pertanggungan lebih dari satu sumber (asuransi). Dasar pertama, asuransi yang berlaku umum dan wajib yaitu yang dikelola oleh BPJS. Dengan demikian, yang pertama dipertanggungkan adalah BPJSK, selanjutnya baru asuransi lain yaitu asuransi komersial. Artinya, bila masih terdapat selisih bayar setelah pertanggungan BPJSK, maka ditanggungkan ke Asuransi Komersial. 2. Hal yang berbeda bila menyangkut Asuransi Jasa Raharja yang juga sama-sama bersifat wajib (sesuai kondisi persyaratanya). Dalam hal kecelakaan lalu lintas, maka yang lebih dulu dipertanggungkan adalah yang dari Jasa Raharja. Baru kemudian bila masih terdapat kekurangan, akan dipertanggungkan sesuai mekanisme BPJSK. Karena itulah, perlu ada klarifikasi lebih dulu dari kepolisian sebagaimana ada dalam gambar terlampir (yang juga marak beredar di media sosial hari-hari ini). Bila sudah jelas bagaimana posisi pertanggungan dari Asuransi Jasa Raharja, barulah kemudian ditentukan bagaimana pertanggungan BPJSK. Sebenarnya aturan soal Jasa Raharja itu sudah ada sejak tahun 1965 (UU 33 dan 34 tahun 1965). Hanya selama ini, kita cenderung kurang perhatian. Baru mengemuka lagi setelah era JKN. Tidak jarang, sebelum ini, ada yang diam-diam memanfaatkan situasi: sudah mendapat pertanggungan dari Askes atau Jamsostek, tetapi juga masih mengajukan klaim ke Jasa Raharja. Bagaimana dengan BPJSTK? Bisa terjadi, seseorang dalam kondisi perlindungan Jasa Raharja, BPJSK dan BPJSTK. Prinsp yang dipegang: Asuransi yang lebih khusus, menjadi penanggung pertama, baru kemudian yang bersifat lebih umum. Kalau kecelakaan terjadi dalam definisi Kecelakaan Kerja, maka penanggung pertama adalah BPJSTK. Kalau kecelakaan terjadi dalam ranah Asuransi Jasa Raharja, maka penanggung pertama adalah Jasa Raharja. Bisa terjadi dalam suatu kasus ekstrem, seseorang mendapat pertanggungan dari ketiganya. Berdasarkan SE Dirjen Pelayanan BPJSK, dinyatakan bahwa untuk Kecelakaan Kerja ditanggung sepenuhnya oleh Jaminan Kecelakaan Kerja (BPJS Ketenagakerjaan).

Selengkapnya: http://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/index.php/arsip/detail/357 3. Prinsip ketiga adalah komplementer. Bagaimanapun lengkapnya suatu asuransi sosial, tetap saja ada sesuatu yang tidak tercakup, atau terkecualikan. Dengan prinsip komplementer ini, diharapkan akan saling menutupi. Kalau memang suatu kejadian kecelakaan lalu lintas tidak bisa ditanggung dalam ranah asuransi Jasa Raharja, maka akan ditanggung dalam BPJSK. Atau masuk dalam ranah kecelakaan kerja yang memenuhi definisi dalam ranah BPJSTK. Dengan demikian, diharapkan bisa saling menutupi, sekaligus menghindari ada penumpukan manfaat ganda. Bila terjadi kecelakaan, dua langkah dilakukan secara simultan. Pertama, melaporkan kepada polisi, sekaligus kedua, memberikan pertolongan pada pasien. Dalam hal ini, tentu berlaku prosedur-prosedur seperti penandaan lokasi dan kesiapan adanya saksi saat nanti polisi datang. Saya tidak banyak tahu soal prosedur ini, tetapi yang jelas, pertolongan secara medis tetap harus segera diberikan. Tentu akan lebih mudah mekanismenya bila proses pertolongan tersebut juga dilakukan sudah dalam kerangka penanganan oleh polisi. Sampai di RS, pasien akan langsung dilayani, dalam status pembayaran sebagai pasien Jasa Raharja. Bila nanti akhirnya biaya perawatan melebihi plafon pertanggungan dari Jasa Raharja, maka selisihnya ditanggungkan sesuai mekanisme pertanggungan BPJSK. Sesuai dengan UU Praktek Kedokteran 29/2004, UU Kesehatan 36/2009, UU RS 44/2009 maupun UU Tenaga Kesehatan 36/2014, maka kewajiban Dokter, Tenaga Kesehatan lain, dan Rumah sakit untuk memberikan pertolongan kepada setiap orang dalam keadaan gawat daruarat. Dalam hal itu, tidak boleh ada hambatan karena soal prosedur keuangan atau apalagi meminta uang muka. Artinya secara ringkas, pelaporan setiap kejadian kecelakaan lalu lintas kepada polisi, tidak untuk menghambat pemberian pertolongan. Karena kasus kecelakaan, maka pada saat datang atau dibawa ke IGD, akan mendapat status sebagai pasien Jasa Raharja, bukan pasien BPJSK. Selanjutnya, diharapkan pasien, keluarga dan/atau pihak yang mewakilinya, dapat mengurus pelaporan dan surat keterangan penjaminan dari Jasa Raharja. Waktu tenggang yang disediakan adalah 3x24 jam. Selama proses itu, pasien akan dirawat dalam status sebagai pasien Jasa Raharja. Dalam perkembangannya, atas koordinasi yang baik antara Dinas Kesehatan, Kepolisian dan BPJSK, di beberapa daerah memperlakukan bahwa semua pasien kecelakaan yang datang belum atau tanpa adanya Surat Keterangan dari Kepolisian, maka berhak mendaftarkan diri dan dirawat

dalam status BPJSK lebih dahulu. Baru kemudian pasien, keluarga dan atau yang mewakilinya, dapat mengurus ke kepolisian. Bila sudah jelas ada jaminan, maka penanggung akan beralih ke Jasa Raharja. Untuk itu, pasien harus menanda tangani pernyataan di awal tentang mekanisme tersebut. Bila sampai saatnya pasien selesai dalam perawatan, namun belum ada jaminan dari Jasa Raharja, maka akan diproses dalam jaminan BPJSK. Bila kemudian terbit surat jaminan dari Jasa Raharja, maka BPJSK yang akan menagihkan ke Jasa Raharja atas biaya klaim yang telah ditanggung oleh BPJSK. Apakah semua kecelakaan ditanggung oleh Jasa Raharja? Saya tidak banyak tahu soal ini. Yang jelas bagi BPJSK, hanya mengkonfirmasi bahwa tidak ada pertanggungan ganda. Bahwa kecelakaan tunggal tidak termasuk ditanggung oleh Jasa Raharja, maka ada beberapa RS dan BPJSK sepakat meminta pasien yang datang ke IGD dengan kondisi kecelakaan untuk menanda tangani Surat Pernyataan bahwa yang terjadi adalah kecelakaan tunggal dan tidak ada jaminan dari Jasa Raharja. Tentu, di lapangan, masih saja ada yang kurang tepat dalam pelaksanaan. Masih belum berjalan seperti yang diharapkan. Namun minimal, berusaha mengetahui duduk masalah, kemudian memahami regulasinya, untuk dapat mengawal pelaksanaannya, tetap lebih baik daripada tergesagesa mencemoohnya.

Benar ya pegawai BPJSK pakai Inhealth? Pertanyaan kedua ini lebih mudah dijawab. Saya sudah bertanya dan dijawab: Benar, kami melakukan CoB dengan Inhealth. Dana premi Inhealth dipotong dari gaji kam. Sebenarnyalah, CoB adalah amanah regulasi. Pasal 22 UU SJSN 40/2004 menyatakan:

(2) Untuk jenis pelayanan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan, peserta dikenakan urun biaya. Dalam penjelasannya disebutkan : Jenis pelayanan yang dimaksud adalah pelayanan yang membuka peluang moral hazaard (sangat dipengaruhi selera dan perilaku peserta), misalnya pemakaian obat-obat suplemen, pemeriksaan diagnostik,

dan

tindakan

yang

tidak

sesuai

dengan

kebutuhan

medik.

Urun biaya harus menjadi bagian upaya pengendalian, terutama upaya pengendalian dalam menerima pelayanan kesehatan. Penetapan urun biaya dapat berupa nilai nominal atau persentase tertentu dari biaya pelayanan, dan dibayarkan kepada fasilitas kesehatan pada saat peserta memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal 23 menyebutkan: 4. Dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka kelas pelayanan di rumah sakit diberikan berdasarkan kelas standar. Dalam penjelasannya disebutkan: Peserta yang menginginkan kelas yang lebih tinggi dari haknya (kelas standar), dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan. Tentang "dapat mengikuti asuransi kesehatan tambahan" ini diatur lebih lanjut dalam Perpres 12/2013 pada Bab VI pasal 27: (1) Peserta Jaminan Kesehatan dapat mengikuti program asuransi kesehatan tambahan. (2) BPJS Kesehatan dan penyelenggara program asuransi kesehatan tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan koordinasi dalam memberikan Manfaat untuk Peserta Jaminan Kesehatan yang memiliki hak atas perlindungan program asuransi kesehatan tambahan. Pasal 28 : Ketentuan mengenai tata cara koordinasi Manfaat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 diatur dalam perjanjian kerjasama antara BPJS Kesehatan dengan penyelenggara program asuransi kesehatan tambahan. Sesuai amanah tersebut, BPJSK telah menerbitkan regulasi terkait CoB ini. Beberapa poin penting:

1. CoB adalah hak setiap peserta BPJSK. Prinsip umumnya: bila terdapat selisih biaya di atas pertanggungan BPJSK, maka ditanggungka ke asuransi tambahan. (Ada aturan khusus untuk kasus kecelakaan lalu lintas dan kecelakaan kerja. 2. Tidak boleh ada double-manfaat, dalam arti tidak ada pertanggungan melebihi biaya pelayanan kesehatan yang diterima. Sebelum era ini, tidak jarang kita mendengar kabar "sudah ditanggung yang ini, masih bisa klaim ke yang itu". 3. CoB bisa dimanfaatkan di Faskes yang telah bekerjasama dengan BPJSK (sudah menjadi Mitra BPJSK) maupun yang BELUM bekerjasama tetapi SEPAKAT melayani CoB. Kategori ini disebut Non Faskes COB. Sampai Juli 2015, terdapat 24 RS yang sepakat melayani COB. Hampir semua di daerah Jabodetabek, kecuali RS JIH Slemat, RS Premier Surabaya, RS St Antonius Pontianak, RS Santa Maria di Pekanbaru, RS Catherine Booth di Makassar dan RS Columbia di Medan. Sedang Asuransi komersial yang telah sepakat menjalin CoB dengan BPJSK ada 52. Salah satunya adalah PT Asuransi Takaful Keluarga. Apakah dengan rujukan berjenjang? 1. Prinsip rujukan berjenjang tetap harus diikuti bila mendapatkan pelayanan di Faskes Mitra BPJSK. Bila tidak diikuti, maka pertanggungan BPJSK tidak berlaku. Yang berlaku hanya pertanggungan dari asuransi tambahan (sesuai polis masing-masing). 2. Pada Faskes non CoB, BPJSK hanya ikut menanggung untuk rawat inap dan gawat darurat. Layanan rawat jalan menjadi tanggungan asuransi tambahan sesuai polis. Prinsip rujukan berjenjang tetap harus diikuti agar dapat dijamin BPJSK. Apakah pemberi kerja dapat memberikan manfaat tambahan tanpa mengikuti CoB? Pemberi kerja sapat memberikan manfaat tambahan, tanpa harus mengikuti skema CoB. Bentuknya secara Top-Up terhadap manfaat yang sudah masuk pertanggungan BPJSK. Poin yang hemat saya penting: 1. Adalah hak setiap peserta untuk mengikuti CoB. 2. Sebagai Pemberi Kerja, BPJSK tetap berkewajiban mendaftarkan pekerjanya di Program JKN. Bila tidak, berlaku sanksi sebagaimana diatur dalam PP 86/2013. 3. Pegawai BPJSK berhak mengikuti CoB dan tetap harus mengikuti alur CoB sebagaimana diatur oleh ketentuan BPJSK sendiri.

Soal perdebatan "nggak mau pakai produknya sendiri", harus kita dudukkan. JKN adalah produk UU. Regulasinya diatur oleh pemerintah. BPJSK adalah yang ditugasi menyelenggarakan. Jadi tidak tepat bila mengatakan bahwa JKN adalah produk BPJSK. Bahwa secara moral harus mendukung JKN, hemat saya, itu melekat kepada kita semua warga negara Indonesia. Pegawai BPJSK termasuk di dalamnya. Menggunakan CoB adalah hak, asal tetap digunakan sesuai regulasinya.

Peraturan Direksi BPJSK 32/2015: Pola yang berulang Tanggal 14/7/2015 kemarin saya, berkirim email ke BPJSK Pusat. Pasalnya, ada beberapa simpang siur pelaksanaan di lapangan terhadap Peraturan Direksi 1/2015 yang terbit pada 24 April 2015, dan mulai berlaku per 1 Juni 2015. Poin pentingnya adalah masa tenggang 14 hari setelah mendaftar. Jadi setelah mendaftar, proses pembayaran iuran pertama baru bisa dilakukan setelah 14 hari kemudian. Masa tenggang memang diperpanjang dari 7 hari menjadi 14 hari. Tetapi ada satu langkah perbaikan dibandingkan Peraturan BPJS 4/2014 dan Per Direksi BPJSK 211/2014 karena pembayaran pertama juga ditenggang sampai 14 hari. Masalahnya, sampai kapan pembayaran pertama paling lambat dilakukan, belum diatur dalam Peraturan BPJSK1/2015 tersebut. Ada suara-suara bahwa dibatasi 30 hari kemudian. Tetapi dasarnya apa? Saya mendengar ada Peraturan Direksi 32/2015 yang "melengkapi" Peraturan BPJSK 1/2015 tersebut. Nampanya, mengulanngi pola Peraturan BPJSK 4/2014 yang segera disusul Per Direksi BPJSK 211/2014. Kesimpangsiuran yang senada juga terjadi pada klausul pendaftaran janin. Ada yang menerapkan batasan 30 hari setelah pendaftaran, padahal Peraturan BPJSK 1/2015 menyebut eksplisit setelah bayi lahir hidup. Saya kirim email tanggal 14/7/2015 dengan permohonan agar dapat dikirimi Peraturan Direksi 32/2015 dimaksud. Alasan saya, di samping ada kesiampang siuran tersebut, juga karena sesuai UU KIP 14/2008, aturan yang berkait dengan masyarakat, harus dapat diakses oleh publik. Entah kebetulan, entah berkaitan, masih pada hari yang sama, setelah email terkirim, Peraturan Direksi dimaksud ditayangkan di laman resmi BPJSK. Sayangnya, saya yang terlanjur sibuk sebagai panitia zakat, dan persiapan Idul Fitri. Belum lagi, tanggal 14 pagi, saya menjalani satu tindakan minor, yang memaksa saya istirahat.

Terima kasih BPJSK telah menayangkannya. Ternyata Peraturan Direksi dimaksud terbit pada tanggal 7 Juli 2015 dan dinyatakan berlaku mulai 1 Juli 2015 (berlaku surut). Mari kita cermati, kaji, analisis dan usulkan bila masih ada yang belum jelas pada Peraturan Direksi 32/2015 tersebut. Yang jelas, nampaknya ada pola yang sebaiknya dihindari agar tidak terulang lagi: Menerbitkan Peraturan BPJSK kemudian muncul pertanyaan, dan segera disusul dengan Peraturan Direksi BPJSK. Sebaiknya, isi Peraturan Direksi itu sudah dapat dimasukkan dalam Peraturan BPJSK, tanpa harus disusuli "revisi"nya dengan Peraturan Direksi BPJSK.

Dr Rudy Kwang SpOT: JKN-BPJS ... Sedikit berbagi cerita tentang pengalaman pribadi saya berhubungan dengan BPJS di RSUD tipe B dan RS Swasta tipe C selama 6 bulan ini. Ditengah hujatan2 masyarakat dan TS terhadap BPJS, dan di tengah sedemikian banyaknya kekurangan, ketidaksempurnaan BPJS, saya merasa sangat-sangat terbantu dengan adanya BPJS. Sebagai dokter orthopedi yang harus menggunakan implan atau alat2 lain yang harganya tidak murah, saya tidak perlu lagi membebani pasien sepeserpun. Terlebih lagi bekerja di RSUD tipe B. Saya bisa menggunakan berbagai implan mahal, bahkan seringkali menggunakan jenis titanium, yang untuk pasien umum mungkin harus membayar setidaknya > 10 juta, atau operasi ganti sendi yang harga prosthesisnya bisa 20-40 juta, semua bisa saya lakukan, tanpa harus menarik biaya lagi ke pasien. Bahkan untuk RS Swasta tipe C. Iya.. RS Swasta tipe C. Saya tidak pernah menarik tambahan biaya sedikitpun untuk pemasangan implan/bahkan operasi ganti sendi sekalipun, meskipun banyak RS Swasta lain yang meminta tambahan biaya diluar regulasi (tambahan biaya melebihi selisih INA CBG kalau pasien naik kelas). Saya juga tidak pernah dengan sengaja memotivasi pasien untuk naik kelas hanya supaya klaim naik. Memang, saya harus sedikit "legowo" ketika melakukan operasi2 pemasangan implan dengan plafon yang kecil di RS tipe C, tapi saya bisa melakukan subsidi silang sendiri, karena beberapa operasi yang tidak membutuhkan pemasangan implan mahal bisa menghasilkan klaim yang lumayan besar. Hal ini bisa saya lakukan karena saya juga belajar bagaimana melakukan koding INA CBG dengan benar. Masalah dengan verifikator BPJS? banyak dan sering.

Tapi saya selalu memilih untuk menghindari konflik, dan berusaha menjalin komunikasi sebaik mungkin dengan mereka. Terkadang ketemu jalan buntu, klaim tidak terbayarkan karena masalah administrasi atau masalah2 lain.. ya meski sedikit jengkel dan sakit hati karena jerih payah kita tidak dihargai, tapi setidaknya pasien sudah terlayani, dan sudah menjalani pengobatan. Saya berusaha legowo saja. Saya memilih untuk tidak menghabiskan energi secara frontal/ekstrim berselisih dengan verifikator. Ada satu pengalaman yang baru terjadi 1 bulan lalu. Sepuluh tindakan operasi saya di RS Swasta tipe C dengan nilai klaim INA CBG > 100 juta di "pending claim". Pending claim ini artinya dokter verifikator tidak berani memverifikasi suatu kasus, namun juga tidak membatalkan klaimnya. Kasus tersebut akan dibawa ke Dewan Pertimbangan Medis untuk kemudian diputuskan apakah layak klaim atau tidak (dengan jangka waktu sampai 2 tahun). Terima kasih untuk @dr Tonang Dwi Ardyanto atas segala informasinya mengenai hal ini, karena saat itu saya yg kebingungan mendapatkan pencerahan dari beliau. Pending claim pada tindakan operasi saya itu terjadi karena saya menulis diagnosis primer dan skunder di case mix. Padahal saya menulis diagnosis primer/skunder itu dengan dukungan data2 X Ray, Laboratorium, bahkan foto klinis dengan kamera hp. Misal ada kasus ruptur arteri tibialis anterior dan open fraktur tibia. Maka sebelum operasi, durante operasi, bahkan saat repair arteri pun saya ada foto klinisnya. Ini memang kebiasaan yang saya lakukan sejak saya PPDS. Dengan berbekal ini semua, saya maju ke verifikator. saya tunjukkan semua data pasien, berikut foto x ray dan foto klinis yang terdokumentasi di HP saya. Syukurlah dokter verifikator memberikan kemudahan, dan memberi solusi dengan meminta clinical pathway untuk kasus2 saya tersebut. Beruntunglah saya ketika PPDS, saya sudah pernah membuat PPK dan clinial pathway untuk kasus2 Orthopedi secara lengkap dalam rangka akreditasi RS saat itu. AKhirnya happy ending, semua tindakan operasi tersebut dilayakkan oleh verifikator tanpa harus claim pending. Harus saya akui, plafon BPJS untuk banyak penyakit terlalu rendah, dan akibatnya pasien seringkali mengalami kesulitan untuk mendapatkan pengobatan yang sesuai guideline, dan dokter juga harus rela mendapatkan imbalan yang "relatif kurang layak". Terkadang kalau saya pikir lagi, tindakan bedah itu membawa resiko besar.. mulai dari dead on table, atau infeksi yang menjadi momok utama operasi pemasangan implan.. itu semua DPJP yang menanggung, bukan pihak

manajemen RS, namun dengan seenaknya terkadang mereka mengajukan perubahan formulasi pembagian jasa medis. Dan banyak lagi keluhan2 lain. Tapi... saya sangat menyadari bahwa realitanya sekarang ini BPJS telah berjalan, dan di tengah rasa "sakit hati" bekerja di RSUD dengan berbagai problematikanya... saya tidak punya pilihan lain selain "nrimo"/"legowo". Bukan pasrah ya.. Tapi, sedikit terinspirasi kata-kata @dr Tonang: pahami aturan/regulasinya, identifikasi masalahnya, dan pelan2 kita cari solusinya.. Saya pelajari mendalam ICD 9 dan 10, dan program INA CBG, meminimalkan terjadinya underclaimed dengan tetap berpegang pada guideline.. saya lengkapi "bekal" saya untuk "melawan" verifikator dengan selalu melengkapi rekam medis paling tidak 2x24 jam setelah pasien pulang. Saya menjadi sedikit dari sekian banyak dokter yang menulis sendiri diagnosis beserta ICD 9 dan 10 di case mix. Dan semua data2 penunjang mulai dari x ray, foto klinis, foto durante operasi, semua saya simpan dengan baik. Sehingga ketika terjadi suatu masalah, saya bisa meminimalisir "kerugian".

Kebiasaan saya untuk selalu memiliki dokumentasi selengkap mungkin untuk semua pasien saya, selain untuk evaluasi perkembangan penyakit pasien, juga untuk melindungi diri saya seandainya suatu saat ada pertanyaan dari BPJS. Menurut saya, program INA CBGs memiliki banyak kelemahan. Contoh. Pada kasus open fraktur radius ulna grade III C, dengan trauma pada arteri. Diagnosis yg ditulis di case mix: 1. Open fr radius ulna. 2. Ruptur arteri ulnari. Tindakan: 1. External fixasi radius. 2 Repair arteri. Tapi, grouping yang keluar adalah: prosedur peredaran darah ringan, meskipun diagnosis primer tertulis open fraktur. Nah, pada satu kesempatan, ketika saya berdiskusi dengan verifikator, ketika ada dua diagnosis dan grouping yg keluar "aneh" (kriteria "aneh" ini yg belum sempat saya tanyakan lebih lanjut pada verifikator), maka data tersebut akan langsung masuk ke KPK, dan suatu saat akan dilakukan investigasi mendalam. Saat itu verifikator memberi contoh persis seperti kasus yg saya tulis diatas. Bagaimana melindungi diri dari hal ini? Sekali lagi, verifikator meminta DPJP untuk melengkapi PPK (yang sudah saya buat lengkap). Nah, saya sendiri yang kemudian mendapatkan ide untuk melindungi diri saya sendiri di masa depan dengan melakukan dokumentasi untuk hampir 90%

pasien saya, terutama yg kira-kira berpotensi menimbulkan pertanyaan. Sepertinya ini merupakan sedikit

kerja

ekstra,

Semoga bermanfaat.

tapi

menurut

saya

ini

sangat

layak

untuk

dilakukan.

Related Documents


More Documents from "purnama siregar"

Antrian.docx
October 2019 9
Ego Kah Aku
November 2019 28
Apa Adanya.
November 2019 41
Markisah.docx
November 2019 25
Rumah Adat Gadang.docx
December 2019 34