A. Latar Belakang Bahasa hadir dimana-mana, tembus sampai ke pikiran, mengantarai hubungan kita dengan orang lain dan bahkan meresap ke dalam impian. Jelaslah bahwa masyarakat tidaklah mungkin ada tanpa bahasa. Demikian terbiasanya dengan bahasa hingga manusia cenderung menganggapnya biasa-biasa saja. Banyak orang, bahkan yang berpendidikan sekalipun, kurang memahami hakikat yang sebenarnya. Secara berangsur-angsur, para ilmuwan bahasa semakin menghayati alat komunikasi yang ampuh ini. Penting penghayatan akan bahasa ini banyak alasannya, diantaranya banyak persoalan tentang bahasa, ada masalah yang berkaitan dengan disiplin ilmu, dan pengertian akan hakikat kodrat bahasa penting bagi siapa saja. Keanekaragaman struktur bahasa dan unsur-unsur kebahasaan merupakan sesuatu yang sangat komplek dan sulit dipahami. Namun, hal itu merupakan kebutuhan ilmiah dibidang lunguistik. Hasil yang dicapai sangat bermanfaat terutama dalam menyusun kamus bahasa. Secara umum, ruang lingkup sistem kebahasaan yang mengikat setiap bahasa relatif sama yaitu meliputi sistem fonologi (tata bunyi), sistem morfologi (pembentukan kata), sintaksis (pembentukan kalmat), dan semantik (masalah makna). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang asalah tersebut diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah. Apa yang dimaksud fonologi dalam tataran linguistik umum? Apa yang dimaksud morfologi dalam tataran linguistik umum? Apa yang dimaksud sintaksis dalam tataran linguistik umum? Apa yang dimaksud semantik dalam tataran lingustik umum?
C. Tujuan Mengetahui fonologi dalam tataran linguistik umum. Mengetahui morfologi dalam tataran linguistik umum. Mengetahui sintaksis dalam tataran linguistik umum. Mengetahui semantik dalam tataran linguistik umum. D. Manfaat 1. Belajar memahami masalah dan mencari solusinya 2. Menerapkan ilmu pengetahuan yang dipelajari untuk diimplentasikan di lapangan 3. Membuka pikiran untuk memahami permasalahan di lapang 4. Sebagai latihan sebelum membuat tugas skripsi. 5. Memahami cara-cara penulisan makalah dengan benar
BAB II PEMBAHASAN
A. FONOLOGI Bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa disebut fonologi, yang secara etimologi terbentuk dari kata fon yaitu bunyi dan logi yaitu ilmu. Menurut hierarki satuan bunyi yang menjadi objek studinya, fonologi dibedakan menjadi fonetik dan fonemik. Secara umum fonetik biasa dijelaskan sebagai cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Sedangkan fonemik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai pembeda makna. Untuk lebih jelasnya kalau kita perhatikan baik-baik ternyata bunyi [i] yang terdapat pada kata-kata [intan], [angin], dan [batik] adalah tidak sama. Begitu juga bunyi [p] pada kata inggris , , dan , juga tidak sama. Ketidaksamaan bunyi [i] dan bunyi [p] pada deretan kata-kata diatas itulah sebagai salah satu contoh objek atau sasaran studi fonetik.Dalam kajiannya fonetik, akan berusaha mendeskripsikan perbedaan bunyi-bunyi itu serta menjelaskan sebab-sebabnya. Sebaliknya, perbedaan bunyi [p] dan [b] yang terdapat misalnya pada kata [paru] dan [baru] adalah menjadi contoh sasaran studi fonemik, sebab perbedaan bunyi [p] dan [b] itu menyebabkan berbedanya makna kata [paru] dan [baru] itu. 1.
Fonetik Fonetik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa
memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Kemudian menurut urutan proses terjadinya bunyi bahasa itu, dibedakan adanya tiga jenis fonetik, yaitu fonetik artikulatoris, fonetik akustik, dan fonetik auditoris.
Fonetik artikulatoris disebut juga fonetik organis atau fonetik fisiologis, mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam mengahasilkan bunyi bahasa serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan. Fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau fenomena alam. Sedangkan fonetik auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh telinga kita. Dari ketiga jenis fonetik ini yang paling berurusan dengan ilmu linguistik adalah fonetik artikulatoris sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau diucapkan manusia. Sedangkan fonetik akustik lebih berkenaan dengan bidang fisika, danfonetik auditoris lebih berkenaan dengan bidang kedokteran. 2.
Fonemik Identitas fonem sebagai idebtitas pembeda. Dasar bukti identitas fonem
adalah apa yang dapat kita sebut “fungsi pembeda” sebagai sifat khas fonem itu. Seperti contoh tentang rupa dan lupa. Satu-satunya perbedaan diantara kedua kata itu ialah menyangkut bunyi pertama, (r) dan (l). Oleh karena semua yang lain dalam pasangan kedua kata ini adalah sama, maka pasangan tersebut disebut “pasangan minimal” : perbedaan di dalam pasangan itu adalah “minimal”. Dengan perkataan lain, perbedaan antara l dan r adalah apa yang membedakan dari sudut analisis bunyi rupa dan lupa. Maka dari itu, l dan r dalam bahasa Indonesia merupakan fonemfonem yang berbeda identitasnya. Objek penelitian fonemik adalah fonem yakni bunyi bahasa yang dapat atau berfungsi membedakan makna kata. Untuk mengetahui apakah sebuah bunyi fonem atau bukan, kita harus mencari sebuah satuan bahasa, biasanya sebuah kata, yang mengandung bunyi tersebut, lalu membandingkannya dengan satuan bahasa lain yang mirip dengan satuan bahasa yang pertama. Kalau ternyata kedua satuan bahasa itu berbeda maknanya, maka berarti bunyi tersebut adalah sebuah fonem, karena dia bisa atau berfungsi membedakan makna kedua satuan bahasa itu.
Fonem itu berjenis-jenis. John Lyons (1968), Pater Ladefoged (1975), Gleason (1958) mengatakan bahwa fonem setiap bahasa dapat dibagi atas : Fonem segmental adalah fonem yang dapat dianalisis keberadaanya. Fonem segmental dapat dibagi atas vokal dan konsonan. Fonem suprasegmental adalah fonem yang keberadaannya harus bersama-sama fonem segmental.
B. MORFOLOGI 1.
Pengertian morfologi Morfologi adalah bagian linguistik yang mempelajari morfem. Morfologi
mempelajari dan menganalisis struktur, bentuk, klasifikasi kata-kata. Dalam linguistic bahasa Arab morfologi ini adalah tashrif yaitu perubahan satu bentuk (asal) kata menjadi bermacam-macam bentukan untuk mendapatkan makna yang berbeda, yang tanpa perubahan ini, makna yang berbeda itu akan terlahirkan. Dalam pembahasan mengenai fonologi, kita memahami bahwa fonem adalah kesatuan bunyi terkecil yang membedakan arti, seperti pada pasangan matamati, kedua bunyi /a/ dan /i/ adalah dua fonem yang membedakan arti. Sekarang kalau kata mati itu dirubah menjadi kematian atau mati- matian maka dua kata terakhir ini adalah bentukan baru yaitu dengan menambahkan ke dan an dan pengulangan mati ditambah an. Dua kata baru ini mempunyai arti yang berbeda dari makna kata asal mati. Perubahan-perubahan bentuk inilah yang dipelajari morfologi (morphe = form = bentuk). Karena itu ada yang memberi definisi morfem sebagai satu satuan bentuk terkecil yang mempunyai arti. Morfologi ini bukan hanya mencakup studi sinkronik (morphemic), tapi juga sejarah dan perkembangan dan pembentukan kata (historial morphology). 2. Identifikasi morfem Untuk menentukan sebuah satuan bentuk adalah morfem atau bukan, kita harus membandingkan bentuk tersebut didalam kehadirannya dengan bentukbentuk lain. Kalau bentuk tersebut ternyata bisa hadir secara berulang-ulang dengan
bentuk lain maka bentuk tersebut adalah sebuah morfem. Sebagai contoh (1) : Kedua, ketiga, kelima, ketujuh, dsb. Ternyata juga semua bentuk ke pada contoh (1) diatas dapat disegmentasikan sebagai satuan tersendiri dan yang mempunyai makna yang sama, yaitu menan yakan tingkat atau derajat. Dengan demikian bentuk ke pada contoh diatas, karena merupakan bentuk terkecil yang berulang-ulang dan mempunyai makna yang sama, bisa disebut sebagai sebuah morfem. Sekarang perhatikan bentuk ke pada contoh (2) berikut : kepasar, kekampus, kedapur, dsb. Ternyata juga bentuk ke pada contoh (2) dapat disegmentasikan sebagai satuan tersendiri dan juga mempunyai arti yang sama, yaitu menyatakan arah atau tujuan. Dengan demikian bentuk ke pada contoh diatas juga adalah morfem. Dari contoh (1) dan (2) keduanya merupakan morfem yang berbeda, meskipun bentuknya sama. Jadi kesamaan arti dan kesamaan bentuk merupakan cirri atau identitas sebuah morfem. Sekarang perhatikan contoh (3) yang juga terdapat pada contoh sebelumnya, kemudian bandingkan dengan bentuk-bentuk lain yang ada pada contoh (3) : meninggalkan, ditinggal, tertinggal, peninggalan, dsb. Dari contoh diatas ternyata ada bentuk yang sama, yang dapat disegmentasikan dari bagian unsur-unsur lainnya. Bagian yang sama itu adalah bentuk tinggal atau ninggal (tentang perubahan bunyi t- menjadi bunyi n-). Maka, disini pun bentuk tinggal adalah sebuah morfem, karena bentuknya sama dan maknanya juga sama. Untuk menentukan sebuah bentuk adalah morfem atau bukan, kita memang harus mengetahui atau mengenal maknanya. Perhatikan contoh (4) : menelantarkan, telantar, lantaran. Dari contoh tersebut, meskipun bentuk lantar terdapat berulangulang, tapi bentuk lantar itu bukanlah sebuah morfem, karena tidak ada maknanya. Lalu, ternyata kalau bentuk menelantarkan memang punya hubungan dengan terlantar, tetapi tidak punya hubungan dengan lantaran.
3. Morfem, Morf dan Alomorf Seperti halnya dengan bunyi fonetis semata-mata, yang dilambangkan dengan mengapitnya diantara kurung persegi, dan dengan fonem- fonem yang diapit diantara garis kanan, maka morfemmorfem-morfem lazim dilambangkan dengan mengapitnya diantara kurung kurawal. Misalnya, kata Inggris comfort dilambangkan sebagai { comfort }, comfortable sebagai { comfort }+ {-able}, uncomfortable sebagai {comfort}+{-able} dulu, baru {un-}+ {comfortable}, atau (dalam satu rumus) {{un-}{{comfort}{-able}}} (namun rumus ”ganda” seperti itu hanya mungkin bila semua morfem adalah morfem segmental). Dalam analisis struktur-struktur morfemis, apa yang diapit diantara kurung kurawal itu disebut (lambang) “morfem”. Kesulitannya (yang deskriptif) dengan pelambangan seperti itu adalah bahwa tidak semua morfem berupa segmental. Namun dapat saja memerlukan kata jamak Inggris feet sebaga{foot}+ (katakana) {jamak}, atau jamak sheep sebagai {sheep} +{Ǿ}. Pelambangan seperti “{jamak}” itu sudah menunjukan bahwa morfem itu merupakan suatu satuan yang abstrak : dapat berupa segmental (utuh atau terbagi) dapat berupa “nol”, dapat juga berupa nada tertentu. Berbeda dengan morfem itu, almorf-almorfnya adalah jauh lebih konkret, meskipun tetap tidak mutlak perlu berupa segmental. Akan tetapi demi perian yang mudah kita sering membutuhkan suatu bentuk yang kelihatannya cukup konkret. Bentuk konkret yang demikian disebut “morf”. Jadi, alomorf adalah perwujudan konkret (didalam pertuturan) dari sebuah morfem. Setiap morfem tentu mempunyai alomorf, entah satu, entah dua atau juga enam buah. Atau bisa juga dikatakan morf dan alomorf adalah dua buah nama untuk sebuah bentuk yang sama. Morf adalah nama untuk semua bentuk yang belum diketahui statusnya, sedangkan alomorf adalah nama untuk bentuk tersebut kalau sudah diketahui status morfemnya.
4.
Klasifikasi morferm
Morfem-morfem dalam setiap bahasa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria. Antara lain berdasarkan kebebasannya, keutuhannya,maknanya, dsb [6] a.
Morfem bebas dan morfem terikat
Morfem bebas adalah morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul dalam pertuturan. Contoh (dalam bahasa Indonesia) : pulang, makan, dan bagus adalah termasuk morfem bebas. Morfem terikat adalah morfem yang tanpa digabung dulu dengan morfem lain tidak dapat muncul dalam pertuturan. Contohnya adalah semua afiks dalam bahasa Indonesia. b.
Morfem utuh dan morfem terbagi
Perbedaan morfem utuh dan morfem terbagi berdasarkan bentuk formal yang dimiliki morfem tersebut : apakah merupakan satu kesatuan yang utuh atau merupakan dua bagian yang terpisah atau terbagi, karena disisipi morfem lain. Contoh morfem utuh : (termasuk morfem dasar) = {meja}, {kursi}, {kecil}, {laut}, dan {pinsil}, (termasuk morfem terikat) = {ter-},{ber-},{henti},dsb. Sedangkan contoh morfem terbagi (adalah sebuah morfem yang terdiri dari dari dua buah bagian yang terpisah. Umpamanya pada kata Indonesia kesatuan terdapat satu morfem utuh, yaitu {satu} dan satu morfem terbagi, yakni {ke-/-an}. Dalam bahasa Arab, dan juga bahasa Ibrani, semua morfem akar untuk verba adalah morfem terbagi, yang terdiri atas tiga buah konsonan yang dipisahkan oleh tiga buah vocal, yang merupakan morfem terikat yang terbagi pula. Misalnya morfem akar terbagi {k,t,b} ‘tulis’ merupakan dasar untuk kata-kata : kataba (ia laki-laki telah menulis), katabat (ia perempuan telah menulis,), maktabun (perpustakaan).
c.
Morfem segmental dan morfem suprasegmental
Perbedaan morfem segmental dan morfem suprasegmental berdasarkan jenis fonem yang membentuknya. Morfem segmental adalah morfem yang dibentuk oleh fonem-fonem segmental, seperti morfem {lihat},{lah},{sikat}dan {ber}. Jadi, semua morfem yang berwujud bunyi adalah morfem segmental. Sedangkan morfem suprasegmental adalah morfem yang dibentuk oleh , dsb. miunsur-unsur suprasegmental, seperti tekanan, nada, durasi, dsb. d.
Morfem beralomorf zero
Dalam linguistik deskriptif ada konsep mengenai morfem beralomorf zero tau nol (lambangnya berupa Ǿ), yaitu morfem yang salah satu alomorfnya tidak berwujud bunyi segmental maupun berupa prosodi (unsure suprasegmental), melainkan berupa “kekosongan” e.
Morfem bermakna leksikal dan morfem tak bermakna leksikal
Perbedaan lain yang biasa dilakukan orang adalah dikotomi adanya morfem bermakna leksikal dan morfem tidak bermakna leksikal. Yang dimaksud dengan morfem bermakna leksikal adalah morfem-morfem yang secara inheren telah memiliki makna pada dirinya sendiri, tanpa perlu berproses dulu dengan morfem lain. Seperti : {kuda},{pergi},{lari},{merah}. Sebaliknya morfem yang tidak bermakna leksikal tidak mempunyai makna apa-apa pada dirinya sendiri, akan mempunyai makna jika digabung dengan morfem lain. Seperti : {ber-},{me-},dan {ter-}. 5.
Jenis Morfem [7]
Morfem yang dileburi morfem yang lain kita sebut “morfem dasar”, dan yang dileburkan itu berupa “imbuhan” atau “klitika” atau bentuk dasar yang lain (dalam pemajemukan) atau yang sama (dalam reduplikasi). Morfem pangkal adalah morfem dasar yang bebas, contohnya: do dalam undo hak dalam berhak.
Morfem akar adalah morfem dasar yang berbentuk terikat. Agar menjadi bentuk bebas, akan harus mengalami pengimbuhan. Morfem pradasar adalah bentuk yang membutuhkan pengimbuhan atau pengklitikan atau pemajemukan untuk menjadi bentuk bebas.
C. SINTAKSIS 1.
Pengertian Sintaksis Kata sintaksis berasaldari kata Yunani (sun = ‘dengan’ + tattein
‘menempatkan’. Jadi kata sintaksis secara etimologis berarti menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat.[8] Sintaksis adalah tata bahasa yang membahas hubungan antarkata dalam tuturan[9]. Sama halnya dengan morfologi, akan tetapi morfologi menyangkut struktur gramatikal di dalam kata.Unsur bahasa yang termasuk di dalam sintaksis adalah frase, kalusa,dan kalimat. Tuturan dalam hal ini menyangkut apa yang dituturkan orang dalam bentuk kalimat. Ramlan (1981:1) mengatakan: “Sintaksis ialah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frase .”. 2.
Kata sebagai Satuan Sintaksis Dalam tataran sintaksis kata merupakan satuan terkecil, yang secara
hierarkial menjadi komponen pembentuk satuan sintaksis yang lebih besar yaitu frase. Maka di sini, kata, hanya dibicarakan sebgai satuan terkecil dalam sintaksis, yaitu dalam hubungannya dengan unsur-unsur pembentuk satuan yang lebih besar, yaitu frase, klausa, dan kalimat Dalam pembicaraan kata sebagai pengisi satuan sintaksis, pertama-tama harus kita bedakan dulu adanya dua macam kata, yaitu yang disebut kata penuh (fullword) dan kata tugas (funcionword). Yang merupakan kata penuh adalah kata-kata yang termasuk kategori nomina, ajektifa, adverbia, dan numeralia. Sedangkan yang termasuk kata tugas adalah kata-kata yang yang berkategori preposisi dan konjungsi.[10]
3.
Frase
Frase lazim didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif, atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi satah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat. Frase tidak memiliki makna baru, melainkan makna sintaktik atau makna gramatikal bedanya dengan kata majemuk yaitu kata majemuk sebagai komposisi yang memiliki makna baru atau memiliki satu makna. Jenis Fase: 1.
Frase eksosentrik adalah frase yang komponen komponennya tidak
mempunyai perilaku sintaksis yang sama dengan keseluruhan-nya. Misalnya, frase di pasar, yang terdiri dari komponen di dan komponen pasar. Frase eksosentirk biasanya dibedakan atas frase eksosentrik yang direktif dan frase eksosentrik yang nondirektif. 2.
Frase endosentrik adalah frase yang salah satu unsurnya atau komponennya
memiliki perilaku sintaksias yang sama dengan keseluruhannya. Misalnya, sedang komponen keduanya yaitu membaca dapat menggan-tikan kedudukan frase tersebut. 3.
Frase Koordinatif
Frase koordinatif adalah frase yang komponen pembentuknya terdiri dari dua komponen atau lebih yang sama dan sederajat dan secara potensial dapat dihubungkan oleh kunjungsi koordinatif. 4.
Frase Apositif
Frase apositif adalah frase koordinatif yang kedua k komponenanya saling merujuk sesamanya, dan oleh karena itu urutan komponennya dapat dipertukarkan.
4.
Klausa
Klausa adalah satuan sintaksis berupa runtunan kata-kata berkonstruksi predikatif. Artinya, di dalam konstruksi itu ada kom-ponen, berupa kata atau frase, yang berfungsi sebagai predikat; dan yang lain berfungsi sebagai subjek, sebagai objek, dan sebagai keterangan. Badudu (1976 : 10) mengatakan bahwa klausa adalah “sebuah kalimat yang merupakan bagian daripada kalimat yang lebih besar.” Sebuah konstruksi disebut kalimat kalau kepada konstruksi itu diberikan intonasi final atau intonasi kalimat. Jadi, konstruksi nenek mandi baru dapat disebut kalimat kalau kepadanya diberi intonasi final kalau belum maka masih berstatus klausa.Tempat klausa adalah di dalam kalimat. Berdasarkan strukturnya dapat dibedakan adanya klausa bebas dan klausa terikat. Klausa bebas dalah klausa yang mempunyai unsur-unsur lengkap, sekurangkurangnya mempunyai subyek dan predikat, dan karena itu mempunyai potensi untuk menjadi kalimat mayor. Klausa terikat memiliki struktur yang tidak lengkap. Berdasarkan kategori unsur segmental yang menjadi predikatnya dapat dibedakan adanya klausa verbal, klausa nominal, klausa ajektival, klausa adverbial dan klausa preposisional. Dengan adanya berbagai tipe verba, maka dikenal adanya klausa transitif, klausa intransitif, klausa refleksif dan klausa resprokal. Klausa ajektival adalah klausa yang predikatnya berkategori ajektiva, baik berupa kata maupun frase. Klausa adverbial adalah klausa yang predikatnya berupa adverbial. Klausa preposisional adalah klausa yang predikatnya berupa frase berkategori. Klausa numeral adalah klausa yang predikatnya berupa kata atau frase numerila. Klausa berupasat adalah klausa yang subjeknya terikat didalam predikatnya, meskipun di tempat lain ada nomina atau frase nomina yang juga berlaku sebagai subjek.
5.
Kalimat
Ramlan (1981:6) mengatakan : “kalimat adalah satuan gramatik yang dibatasi adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik”. Kalimat merupakan satuan atau deretan kata-kata yang memiliki intonasi tertentu sebagai pemarkah keseluruhannya dan secara ortografi biasanya diakhiri tanda titik atau tanda akhir lain yang sesuai.
Kalimat adalah susunan kata-kata yang teratur yang berisi pikiran yang lengkap. Dalam kaitannya dengan satuan-satuan sintaksis yang lebih kecil (kata, frase, dan klausa) kalimat adalah satuan sintaksis yang disusun dari konstituen dasar yang biasanya berupa klausa, dilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan, serta disertai dengan intonasi final. Intonasi final yang ada yang memberi ciri kalimat ada tiga buah, yaitu intonasi deklaratif, intonasi interogratif (?) dan intonasi seru (!) Jenis kalimat dapat dibedakan berdasarkan berbagai, kriteria atau sudut pandang. Kalimat inti dan Kalimat Non Inti Kalimat inti atau disebut kalimat dasar, adalah kalimat yang dibentuk dari klausa inti yang lengkap bersifat deklaratif, aktif, atau netral, dan afirmarif. Di dalam praktek berbahasa, lebih banyak digunakan kalimat non inti daripada kalimat inti.
1) Kalimat Tunggal dan Kalimat Majemuk Kalau klausanya hanya satu, maka kalimat tersebut disebut kalimat tunggal. Kalau klausa di dalam kalimat terdapat lebih dari satu, maka kalimat itu disebut kalimat majemuk. Berdasarkan sifat hubungan klausa di dalam kalimat, dibedakan adanya kalimat majemuk koordinatif (konjungsi koordinatif seperti dan, atau, tetapi, lalu) kalimat majemuk subordinatif (kalau, ketika, meskipun, karena) dan kalimat majemuk kompleks ( terdiri dari tiga klausa atau lebih, baik dihubungkan secara koordinatif maupun subrodinatif atau disebut kalimat majemuk campuran./
2) Kalimat Mayor dan Kalimat Minor Kalau klausa lengkap sekurang-kurangnya memiliki unsur subjek dan predikat, maka kalimat itu disebut kalimat mayor. Kalau klausanya tidak lengkap, entah terdiri subjek saja, predikat saja, ataukah keterangan saja, maka kalimat tersebut disebut kalimat minor.
3) Kalimat Verbal dan Kalimat Non-Verbal Kalimat verbal adalah kalimat yang dibentuk dari klausa verbal, atau kalimat yang predikatnya berupa kata atau frase yang berkategori verba. Sedangkan kalimat nonverbal adalah kalimat yang predikatnya bukan frase atau frase verbal, bisa nomina, ajektiva, adverbial, atau juga numeralia.
4) Kalimat Bebas dan Kalimat Terikat Kalimat bebas adalah kalimat yang mempunyai potensi untuk menjadi ujaran lengkap atau dapat memulai sebuah paragraf atau wacana tanpa bantuan kalimat atau konteks lain yang menjelaskannya. Sedangkan kalimat terikat adalah kalimat yang tidak dapat berdiri sendiri sebagai ujaran lengkap, atau menjadi pembuka paragraf atau wawancara tanpa bantuan konteks.
Dalam bahasa Indonesia intonasi tidak berlaku pada tataran fonologi dan morfologi, melainkan hanya berlaku pada tataran sintaksis. Intonasi merupakan ciri utama yang membedakan kalimat dari sebuah klausa. Ciri-ciri intonasi berupa tekanan tempo dan nada. 6.
Wacana
Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan gramatikal tertinggi atau terbesar. Persyaratan gramatikal dalam wacana akan terpenuhi kalau dalam wacana itu sudah terbina kekhohesian maka akan terciptalah erensian.
Alat-alat gramatikal yang dapat digunakan untuk membuat sebuah wacana menjadi kohesif antara lain : konjungsi, kedua menggunakan kata ganti dia, nya, mereka, ini, dan itu sebagai rujukan anaforis, ketiga menggunakan elipsis.
Selain dengan upaya gramatikal, sebuah wacana yang kohesif dan koherens dapat juga dibuat dengan bantuan pelbagai aspek semantik.
Berbagai jenis wacana sesuai dengan sudut pandang dari mana wacana itu dilihat. Pertama-tama di lihat adanya wacana lisan dan wacana tulis berkenaan dengan sarannya, yaitu bahasa lisan dan bahasa. Dilihat dari penggunaan bahasanya ada wacana prosa dan wacana puisi.
Wacana adalah satuan bahasa yang utuh dan lengkap, maksudnya adalah wacana ini satuan ”ide” atau ”pesan” yang disampaikan akan dapat dipahami pendengar atau pembaca tanpa keraguan, atau tanpa merasa adanya kekurangan informasi dari ide atau pesan yang tertuang dalam wacana itu.
SIMPULAN Ruang lingkup sistem kebahasaan yang mengikat setiap bahasa relatif sama yaitu meliputi sistem fonologi (tata bunyi), morfologi (pembentukan kata), sintaksis (pembentukan kalmat). Fonologi merupakan bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtunan bunyi-bunyi bahasa. Menurut hierarki
satuan bunyi yang menjadi objek studinya, fonologi dibedakan menjadi fonetik dan fonemik. Morfologi mempelajari dan menganalisis struktur, bentuk, klasifikasi katakata. Dalam kajian morfologi dikenal istilah morferm yang didalamnya terdapat jenis dan klasfikasi dari morferm itu sendiri. Sintaksis adalah tata bahasa yang membahas hubungan antarkata dalam tuturan. Tuturan dalam hal ini menyangkut apa yang dituturkan orang dalam bentuk kalimat atau wacana. Unsur bahasa yang termasuk di dalam sintaksis adalah kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana. DAFTAR PUSTAKA Verhaar, J.W.M. 2010. Asas-asas Linguistik Umum. Gadjah Mada University Press Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta : PT. Rineka Cipta Alwasilah, A. Chaedar. 2011. Beberapa Madzhab dan Dikotomi Teori Linguistik. Bandung : Angkasa. Pateda, Mansoer. 2011. Linguistik Sebuah Pengantar. Bandung : Angkasa Isi materi menurut halaman dalam buku: Abdul Chaer, Linguistik Umum, Jakarta, 2007, hal 102 J.W.M. Verhaar, Asas-asas Linguistik Umum, Yogyakarta, 2010, hal 68 Dr. Mansoer Pateda, Linguistik Sebuah Pengantar, Bandung, 2011, hal. 69 A. Chaedar Alwasilah, Linguistik Suatu Pengantar, Bandung,1993, hal 110 J.W.M. Verhaar, Asas-asas Linguistik Umum, Yogyakarta, 2010, hal 105 Abdul Chaer, Linguistik Umum, Jakarta, 2007, hal 151 J.W.M. Verhaar, Asas-asas Linguistik Umum, Yogyakarta, 2010, hal 98 Dr. Mansoer Pateda, Linguistik Sebuah Pengantar, Bandung, 2011, hal. 97
J.W.M. Verhaar, Asas-asas Linguistik Umum, Yogyakarta, 2010, hal 161 Abdul Chaer, Linguistik Umum, Jakarta, 2007, hal 219 Abdul Chaer, Linguistik Umum, Jakarta, 2007, hal 222 Abdul Chaer, Linguistik Umum, Jakarta, 2007, hal 235