Translate Dupilumab Sebagai Pengobatan Dermatitis Atopik.docx

  • Uploaded by: Bontor Daniel Sinaga
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Translate Dupilumab Sebagai Pengobatan Dermatitis Atopik.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,563
  • Pages: 11
DUPILUMAB SEBAGAI PENGOBATAN DERMATITIS ATOPIK Oleh: S. Ferreira dan T. Torres

ABSTRAK Dermatitis Atopik merupakan kelainan berupa inflamasi kulit, kronis, dan umum terjadi dengan beban fisik dan emosional. DA biasanya dimulai pada masa awal kanak-kanak dan memiliki penyebab yang heterogen. Bukti yang ada menunjukkan bahwa IL-4 dan IL-13 adalah kunci imunopatologi sitokin dari DA. Dupilumab adalah antibodi monoklonal yang ditujukan untuk melawan reseptor subunit IL-4, yang memblokade sinyal IL-4 dan IL-13. Data dari uji fase I-III menguak bahwa dupilumab, yang diberikan baik monoterapi maupun dengan kortikosteroid topikal, efektif dan bertoleransi baik dalam pengobatan pasien dewasa dengan DA sedangberat. Sebagian besar pasien yang menerima dupilumab memiliki peningkatan yang signifikan dalam beberapa indeks keuntungan, termasuk Eczema Area and Severity Index, Investigator’s Global Assesment dan skor SCOring Atopic Dermatitis. Hasilhasil ini memperkenalkan era baru dari terapi target dalam manajemen DA.

PENDAHULUAN Dermatitis Atopik merupakan peradangan kronik yang umum dan penyakit kulit yang dapat disembuhkan dengan prevalensi hingga 25% pada anak-anak dan 5% pada dewasa di seluruh dunia.(1-5) DA muncul selama masa awal kanak-kanak, namun pada 10% kasus terjadi pada usia dewasa.(4,6,7) Hampir 20% pasien memiliki derajat sedang hingga parah.(2) Penyebab DA bermacam-macam dan memiliki tampakan yang khas dengan flare yang intermiten, dengan beberapa pasien berkembang menjadi persisten hingga kronik dan relaps dimana yang lain hampir semua gejalanya menghilang pada masa remaja.(8,9) DA sangat berkaitan dengan penyakit alergi seperti asma, rhinosinusitis, dan alergi makanan,(10,11) dan resiki tinggi pada penyakit psikologis seperti depresi, kecemasan dan kecenderungan bunuh diri,(8,12-15) akibat gangguan tidur yang disebabkan gatal yang intens. Saat ini, DA juga telah dikaitkan dengan penyakit lain, seperti, obesitas dan penyakit kardiovaskular, yang mendukung DA sebagai penyakit sistemik.(16) Lebih lagi, DA juga dikaitkan dengan tingginya biaya pengobatan dan sosioekonomi akibat tidak adanya pendapatan masyarakat.(17)

PATOGENESIS DERMATITIS ATOPIK

DA merupakan penyakit dengan kelainan multifaktorial termasuk antaranya faktor genetik dan lingkungan. Mutasi pada struktur protein filaggrin di epidermis merupakan faktor genetik pada DA, namun tidak semua dijumpai pada pasien DA.(18) Karakteristik DA berupa gangguan barier epidermal kulit yang mengarah pada peradangan kronis dengan hiperplasia epidermis dan infiltrasi seluler, termasuk sel T, sel dendritis, eosinofil, dan sel T-helper tipe 2.(19-21) Jalur imun pada DA menunjukkan Th2 yang dominan, mensekresikan interleukin (IL)-4, IL-5, IL-25, dan IL-31, dengan sedikit kontribusi dari Th1, Th17 dan Th22.(19,22-24) IL-4 dan IL-13 merupakan kunci munculnya aktivitas Th2 termasuk: (i) peningkatan produksi imunoglobulin E (IgE); (ii) peningkatan ekspresi kemokin seperti timus dan activation-regulated chemokine (TARC) dan eotaxin-3; (iii) bekerjanya sel peradangan seperti eosinofil dan sel Th2; (iv) penghambatan pembelahan keratinosit, ekspresi barier protein, seperti filaggrin, sintesis lipid dan peptida antimikroba, menghasilkan disfungsi barier kulit.(25-33) Kegagalan fungsi barier pada pasien dengan DA menyebabkan kulit kering dan meningkatnya jumlah S.aureus pada lesi kulit dan peningkatan resiko infeksi.(34,35)

KEBUTUHAN PENGOBATAN DA YANG BELUM DITEMUKAN Pengobatan DA sekarang masih merupakan sesuatu yang menantang dan terbatas.(36) Mayoritas pasien memiliki derajat yang ringan, namun sekitar 1 dari 5 penderita memiliki derajat sedang hingga berat.(2,37,38) Pada kasus yang ringan, pelembab dan agen topikal [glukokortikoid (TCS) dan calcineurin inhibitors (TCI)] sudah cukup dalam mengontrol keluhan, namun pengobatan pada kasus sedang-berat masih merupakan sesuatu yang menantang. Terapi topikal biasanya tidak memuaskan, dan penggunaan agen imunosupresan, seperti cyclosporin (satu-satunya agen sistemik yang diijinkan pada pasien DA), mehotrexate dan azathriopine, dan mycophenolatemophetil, masih terbatas kemampuan dan efek sampingnya.(39-44) Untuk itu, pilihan terapi sistemik yang baru dan efektif serta aman sangat diperlukan untuk DA sedangberat.

DUPILUMAB Dupilumab adalah sepenuhnya antibodi monoklonal manusia (mAb) yang secara khusus melawan reseptor IL-4 subunit alfa (IL-4Ra) yang memblokade sinyal IL-4 dan IL-13.(45) IL-4 dan IL-13 sangat tinggi jumlahnya dijumpai pada lesi kulit akut

dan kronis pada pasien DA,(19,46) dan dengan menghambat mereka akan sangat efektif pada kasus DA sedang-berat(45-50)(gambar 1). Dupilumab adalah satu-satunya obat biologis yang lolos hingga fase III uji klinis untuk pengobatan DA sedang-berat dan juga sedang dikembangkan pada penyakit asma, sinusitis kronik dengan poliposis nasal, dan eosinophilic esophatgitis.(49)

EFEK KLINIS DUPILUMAB Fase I Dua kelompok percobaan dengan kategori: randomisasi 4 minggu, doubleblind, plasebo terkontrol, peningkatan dosis pada fase pertama uji klinis dengan pasien DA sedang-berat (kelompok M4A dan M4B) dilakukan untuk menilai keamanan dan kemanjuran obat ini.(51) Pada M4A, 30 pasien dilakukan randomisasi kedalam 4 grup yang diberikan plasebo (n=6) atau dupilumab antara 75 mg (n=8), 150 mg (n=8), atau 300 mg (n=8) satu kali dalam satu minggu (qw). Pada M4B, 37

pasien dilakukan randomisasi kedalam 3 grup yang diberikan plasebo (n=10) atau dupilumab antara 150 mg/qw (n=14) atau 300 mg/qw (n=13). Pada kedua uji, pengobatan dengan dupilumab dijumpai hasil yang efektif pada masing-masing dosis.(51) Penurunan hingga 50% skor Eczema Area and Severity Index (EASI-50) pada hari ke-29 terjadi pada semua dosis dupilumab dibandingkan dengan plasebo (59% vs 19%, masing-masing; p<0.05). Peningkatan signifikan pada titik akhir lain telah diamati dengan pengobatan kombinasi pada hari ke-29 dibandingkan dengan plasebo, termasuk skor Investigator’s Global Assesment (IGA), presentase Body Surface Area (BSA) dan Pruritus Numeric Rating Scale (NRS). Juga, perubahan signifikan dan cepat yang tergantung dosis terhadap ekspresi RNA di lesi kulit juga diamati setelah 4 minggu pemberian dupilumab, mendekati ekspresi non-lesi dan menyertai peningkatan EASI. Peningkatan sebesar 24% dan 49% dijumpai pada lesi transriptome pasien yang diobati dengan dupilumab 150 dan 300 mg, masing-masing, dibandingkan dengan 21% dari fenotip molekular lesi pada grup plasebo (p<0,0001 pada semua grup).(49) Juga, penekanan ekspresi K16, marker proliferasi keratinosit dan regulator imunitas bawaan dijumpai, yang menunjukkan bahwa dupilumab dapat menurunkan hiperplasia epidermal.(47) Fase IIb Percobaan fase IIb dilakukan selama 16 minggu secara randomisasi, doubleblind, plasebo terkontrol, perbedaan dosis pada 380 pasien dewasa dengan DA sedang-berat yang diacak, dan dilakukan pembagian dosis plasebo (n=61) atau dupilumab 100mg tiap 4 minggu (qw4) (n=65), 200mg setiap 2 minggu (qw2) (n=61), atau 300mg/qw (n=63), qw2 (n=64) atau qw4 (n=65).(52,53) Keseluruhan, dupilumab menunjukkan peningkatan efektivitas jika dibandingkan dengan plasebo pada semua jenis dosis. Pada minggu ke-16, skor EASI meningkat pada grup dupilumab lawan grup plasebo. Rerata least-square (LS) persen peningkatan pada skor EASI antara lain: -74% (300mg/qw), dan -45% (100mg/qw4) dibanding dengan -18% pada plasebo (p<0.0001 pada semua perbandingan). Lebih lagi, sebagian besar proporsi pasien dengan dupilumab memperoleh IGA 0/1. Terdapat pula peningkatan bermakna dengan skor SCOring Atopic Dermatitis (SCORAD) (hingga -56,9% pada pemberian dupilumab 300mg/qw dibanding plasebo yang hanya -13.8%; p<0.0001 vs plasebo) dan BSA (hingga -65.6% pada dupilumab 300mg/qw dibanding plasebo yang hanya 7.7%; p<0.0001 vs plasebo).(49,52) Tambahan, dupilumab berkaitan dengan peningkatan pruritus, paling cepat pada minggu pertama. Kecuali pada dosis

100mg/qw4, semua dosis dupilumab menunjukkan penurunan rerata presentase LS antara 32.63% dan 46.9% pada minggu ke-16 (p<0.0001 untuk tiap perbandingan).(52) Dupilumab juga meningkatkan kualitas hidup pasien dengan DA, dengan peningkatan dose-dependent dari awal hingga minggu ke-16 berdasarkan Dermatology Quality of Life Index (DLQI) pada semua dosis regimen (p<0.0001) kecuali 100mg/qw4.(52) (Tabel 1)

Fase III Dua kelompok dengan randomisasi, double-blind, plasebo terkontrol pada fase III dilakukan uji efektivitas dan keamanan dupilumab. Pada SOLO 1, 671 subjek dilakukan randomisasi untuk menerima plasebo (n=224), dupilumab 300mg/qw (n=224) atau dengan dosis yang sama namun qw2 dengan alternatif plasebo (n=223).(54) Skor IGA 0/1 dalam 16 minggu tercapai pada 38 dan 37% pasien yang menerima dupilumab qw2 dan qw, masing-masing, dibandingkan dengan 10% pasien dengan plasebo (p<0.001). Rerata peningkatan skor

EASI mencapai 70% pada dua kelompok dupilumab, dengan 51 dan 52% mencapai EASI-75 pada minggu ke-16 dengan kelompok dupilumab qw2 dan qw, masingmasing (p<0.001 vs plasebo).(54) Juga, perubahan rerata presentase LS dari baseline hingga minggu ke-16 adalah -51.0% dan -48.9% pada puncak skor pruritus NRS, 57.7 dan -57.0% pada skor SCORAD pada minggu ke-16 pada kelompok dupilumab qw2 dan qw, masing-masing (p<0.001 vs plasebo).(54) Pada SOLO 2, total 708 pasien dilakukan randomisasi kedalam 3 grup menerima plasebo (n=236), dupilumab 300mg/qw (n=239) atau dosis yang sama dengan qw2 dengan alternatif plasebo (n=233).(54) Pada minggu ke-16, titik puncak IGA 0/1 telah tercapai pada 36% kelompok dupilumab dengan dua regimen, dibanding 20% pada kelompok plasebo (p<0.001). EASI-75 pada minggu ke-16 dilaporkan pada 44 dan 48% pasien yang mendapat dupilumab qw2 dan qw, masingmasing (p<0.001 vs plasebo)/ Perubahan rerata presentas LS dari baseline adalah 44.3% dan -48.3% pada puncak skor pruritus NRS dan -51.1 dan -53.5% skor SCORAD pada minggu ke-16 dengan dupilumab qw2 dan qw, masing-masing (p<0.001 vs plasebo). Tambahan, skor BSA dan DLQI mendapatkan peningkatan yang besar pada minggku ke-16 pada semua regimen dosis dupilumab, pada kedua uji. Pada kedua uji SOLO, efek besar dari kualitas hidup pasien dapat diamati, dengan penurunan signifikan dari gejala kecemasan dan depresi yakni dengan menggunakan Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS).(54) (Tabel 1)

LIBERTY AD CHRONOS (Long-term management of moderate-to-severe atopic dermatitis with dupilumab and concomitant topical corticosteroids) Uji fase III dengan randomisasi, double-blind, plasebo terkontrol selama 52 minggu dilakukan pada pasien dewasa dengan DA sedang-berat untuk mengevaluasi keamanan dan efektivitas dupilumab yang ditambah dengan TCS. 740 pasien dialakukan randomisasi kedalam 3 grup menerima plasebo (n=315) atau dupilumab 300mg.qw (n=319) atau qw2 (n=106), ditambah TCS. IGA 0/1 pada minggu ke-16 telah diamati pada 39% pasien pada kedua grup dupilumab dibanding dengan 12% grup plasebo (p<0.0001 vs plasebo); EASI-75 pada minggu ke-16 berhasil dicapai sebesar 64% pasien dengan dupilumab qw dan 69% pasien dengan dupilumab qw2, versus 23% pasien grup kontrol (p<0.0001 vs plasebo)(55); puncak peningkatan pruritus NRS dari 4 atau lebih pada minggu ke-16, berhasil dicapai pada lebih dari

satu setengah pasien pada kedua grup dupilumab versus 20% pasien yang menerima plasebo (p<0.0001 vs plasebo). Keefektifan yang identik telah diamati pada minggu ke-52 untuk ketiga titik puncak klinis. Dupilumab juga meningkatkan semua indeks pada minggu ke-16 dan 52, termasuk SCORAD, BSA dan DLQI. (Tabel 2) Dupilumab juga berkaitan dengan beberapa hari bebas TCS, rasio penggunaan obat darurat yang rendah, dan penurunan flare DA selama 52 minggu pengobatan dupilumab jika dibandingkan dengan plasebo.(55)

KEAMANAN DUPILUMAB Dupilumab terbukti dapat ditoleransi baik dan memeiliki keamanan yang baik berdasarkan semua penelitian, dengan mayoritas efek samping bersifat ringan-sedang dan bersifat sementara. Efek samping yang serius secara keseluruhan jarang terjadi berdasarkan semua penelitian.(51,52,54) (Tabel 3,4). Pada penelitian fase I-III, efek samping yang paling sering adalah nasofaringitis, reaksi tempat injeksi, sakit kepala, eksaserbasi DA dan infeksi kulit. Pada semua uji, kejadian nasofaringitis sama rata pada semua grup dupilumab dan plasebo, sedangkan eksaserbasi DA dan infeksi kulit sering dijumpai pada pasien yang menerima plasebo.(54) Efek samping serius umum dijumpai dengan plasebo dibanding dengan dupilumab pada semua uji, sama seperti infeksi kulit, dengan kejadian pada semua uji fase I dan Iia 4 kali lipat sama tingginya dengan kejadian pada grup dupilumab (0.20 vs 0.05, masing-masing).(51) Pada uji fase IIb, eksaserbasi DA serius (2% tiap grup)

dan infeksi serius (<1% dengan dupilumab vs 0% dengan plasebo) cukup mirip dan jarang pada kedua grup.(52) Pada SOLO 1 dan 2, infeksi kulit terjadi hampir 6% pasien dengan dupilumab, dan 8 hingga 11% pada pasien dengan plasebo, sedangkan dupilumab tidak dikaitkan dengan peningkatan resiko infeksi pada CHRONOS.(54,55) Infeksi virus Herpes umum dijumpai pada subjek yang menerima dupilumab dibanding dengan yang menerima plasebo pada uji fase IIb (8% vs 2%, masingmasing), SOLO-1 dan -2 (5% pada kedua uji vs 4% dan 3%, masing-masing), dan CHRONOS (7% vs 8%, masing-masing). Penemuan ini tidak dilaporkan pada fase I dan IIa. Kejadian konjungtivitis yang meningkat telah diamati selama pengobatan grup dibanding plasebo pada fase IIb (7% vs 3%, masing-masing), SOLO-1 dan -2 (8% dan 5% vs 2% dan 1%, masing-masing), dan CHRONOS (18% vs 8%, masingmasing), dan kebanyakan kasus bersifat ringan-sedang.(52,55) Hanya 2 pasien yang menerima

dupilumab

yang

tidak

dapat

melanjutkan

penelitian

akibat

konjungtivitis.(56) Tidak ada kematian yang dilaporkan selama uji fase I dan II, sedangkan 3 kematian dijumpai pada fase III, meskipun tidak ada kaitannya dengan dupilumab. Efek samping serius yang mengakibatkan kegagalan obat dan uji sangat rendah berdasarkan semua penelitian, dengan mayoritas terjadi dengan plasebo, kecuali pada uji fase IIb (7% dengan dupilumab vs 5% dengan plasebo). Pada CHRONOS, satu setengah jumlah pasien mengundurkan diri dari penelitian akibat flare DA pada grup plasebo, dan 1 orang akibat konjungtivitis pada kelompok dupilumab qw.

PEMBAHASAN Data yang diperoleh dari uji pada 2000 pasien dewasa telah menunjukkan efektivitas klinis dengan kategori sedang-berat. Kekuatan dari penelitian ini juga didukung oleh peningkatan signifikan beberapa indeks, termasuk EASI, IGA, BSA, puncak pruritus NRS, dan skor DLQI.(52) Respon EASI-75 telah tercapai pada lebih dari separuh pasien uji dan IGA 0/1 juga sering dilaporkan pada kelompok dupilumab di semua penelitian. Selanjutnya, penurunan pruritus yang bermakna telah diamati dengan pengobatan dupilumab, sama halnya dengan penurunan gejala kecemasan dan depresi. Sejak pruritus berkontribusi sebagai efek negatif dari DA terhadap kualitas hidup, dupilumab dapat membuktikan keuntungan perubahan hidup secara kualitas hidup dan mental pasien. Secara keseluruhan, dupilumab sangat baik ditoleransi dan memiliki keamanan yang baik pada semua penelitian, dengan sebagian besar efek samping dikategorikan sebagai ringan-sedang, dengan dengan tingkat yang sama dengan plasebo dan tanpa efek toksik yang membatasi dosis. Infeksi virus Herpes terjadi lebih umum pada pasien dengan dupilumab, meskipun, hingga blokade IL-4 dan IL-13 bukan merupakan faktor resiko dari infeksi ini.(52,54) Sebagai tambahan, pasien dengan DA memiliki resiko lebih tinggi menderita infeksi kulit jika dibandingkan dengan populasi umum, dianggap sebagai akibat dari gangguan barier kulit. Yang menarik,

infeksi kulit dijumpai lebih sering pada grup plasebo, kemungkinan karena gangguan kutaneus yang menetap dan tak diobati.(26) Dupilumab mungkin tidak sebagai imunosupresan maupun terkait dengan peningkatan resiko infeksi, namun lebih sebagai pengembalian barier dan fungsi imun.(55) Peningkatan kejadian konjungtivitis alergi dan non-alergi telah diamati pada semua uji, namun penyebabnya masih belum jelas. Konjungtivitis terjadi lebih sering pada pasien dengan penyakit berat atau konjungtivitis alergi yang sudah ada sebelumnya, dan sebagian besar bersifat ringansedang dan membaik selama penelitian.(55,56) Efek samping ini tidak meningkat dengan dupilumab dalam penelitian yang melibatkan pasien dengan asma atau poliposis hidung, yang menunjukkan mekanisme khusus yang terkait dengan AD, bukan efek yang melekat pada dupilumab sendiri.(54-57) Tampaknya ada hubungan terbalik antara konsentrasi serum dupilumab dan konjungtivitis, yang menunjukkan bahwa perawatan lokal mungkin berperan.(56) Sulit untuk mengekstrapolasikan data dupilumab untuk anak-anak, populasi yang paling sering terkena DA, tetapi studi fase IIa dan III pada anak-anak (NCT02407756 dan NCT02612454) sedang berlangsung dan hasilnya nanti akan membantu menentukan keberhasilan dupilumab dalam kelompok usia ini. Selain itu, follow-up jangka panjang data dari studi penyuluhan dan pencatatan diperlukan untuk mengecualikan efek samping yang tidak umum, dan untuk mengevaluasi kemanjuran, tolerabilitas dan keamanan pengobatan jangka panjang dengan dupilumab. Obat-obat lain sedang dalam pengujian pada pasien DA antara lain: (i) nemolizumab (anti IL-31), dengan hasil dari studi fase II menunjukkan penurunan signifikan ukuran pruritus saat dibandingkan dengan plasebo, dan beberapa penurunan pada DA dengan parameter tertentu(58); (ii) tralokinumab dan lebrikizumab (anti IL-13), sejauh ini menunjukkan tingkat keamanan yang baik; (iii) tezepelumab (anti TSLP), OX40 ligant antagonis, ILV-094 (anti IL-22), secukinumab (anti IL-17), omalizumab (anti reseptor Fc untuk IgE), apremilast (anti PDE4) dan tofacitinib dan baricitinib (JAK inhibitor), sedang dalam tahap uji dan belum ada hasilnya; (iv) tocilizumab (reseptor IL-6/IL-6R antagonis), menunjukkan peningkatan signifikan pada skor klinis DA, tapi dengan peningkatan angka infeksi juga dilaporkan.(59) Agenagen ini dapat menjanjikan bagi DA, namun penelitian lebih besar dibutuhkan untuk mengevaluasi potensi peran pada penyakit kulit ini. Depulimab mungkin memiliki potensi untuk mengembangkan pengobatan terhadap DA dalam beberapa tahun ke depan, mengijinkan diadakannya percobaan

terapi target pada praktek klinis yang serupa dengan yang terjadi pada psoriasis beberapa tahun lalu. Dupilumab mungkin tepat bagi AD sama dengan TNF-a inhibitor bagi psoriasis: efektif dan terapi aman yang mungkin menjadi lompatan baik bagi klinisi untuk membantu meningkatkan kehidupan pasien.(60) Pada tahun-tahun berikutnya obat ini dapat mengurangi beban ekonomik di sistem kesehatan dengan penggunaan depilumab sebagai obat sistemik DA, meskipun dupilumab kemungkinan akan disiapkan hanya untuk kasus DA berat yang tidak berespon terhadap terapi tradisional, meskipun obat ini superior dalam uji klinis.

Related Documents

Dermatitis
May 2020 42
Dermatitis
October 2019 77
Translate
May 2020 36
Translate
October 2019 52

More Documents from ""