Fix Tutorial Hardjo.docx

  • Uploaded by: Bontor Daniel Sinaga
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Fix Tutorial Hardjo.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,963
  • Pages: 31
TUTORIAL KLINIK STASE THT-KL TUMOR DORSUM NASI

Disusun Oleh : Ni Luh Zalilla Gustina

(42170154)

Kevin Aditya Kristanto

(42170155)

Bontor Daniel Sinaga

(42170156)

Pembimbing Klinik : Kolonel Kes dr. Swasono R., Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN RSPAU dr. S.HARDJOLUKITO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA YOGYAKARTA 2019

BAB I PENDAHULUAN

Tumor hidung dan sinus paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang jinak maupun yang ganas. Di Indonesia dan di luar negeri, kekerapan jenis yang ganas hanya sekitar 1 % dari keganasan seluruh tubuh atau 3% dari seluruh keganasan di kepala dan leher. Hidung dan sinus paranasal atau juga disebut sinonasal merupakan rongga yang dibatasi oleh tulang-tulang wajah yang merupa¬kan daerah yang terlindung sehingga tumor yang timbul di daerah ini sulit diketahui secara dini. Asal tumor primer juga sulit ditentukan, apakah dari hidung atau sinus karena biasanya pasien berobat dalam keadaan penyakit telah lanjut dan tumor sudah memenuhi rongga hidung dan seluruh sinus. Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7 propinsi. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien Dari jumlah tersebut 30% mempunyai indikasi operasi BSEF.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI Hidung terdiri dari hidung bagian luar berbentuk piramid dengan bagianbagiannya dari atas ke bawah: 1. Pangkal hidung (bridge). 2. Batang hidung (dorsum nasi). 3. Puncak hidung (hip). 4. Ala nasi. 5. Kolumela. 6. Lubang hidung (nares anterior).

Gambar 1. Anatomi hidung eksternal

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari :

1. Tulang hidung (os nasal) 2. Prosesus frontalis os maksila 3. Prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu : 1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior. 2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor. 3. Tepi anterior kartilago septum. Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang (vibrise).

Gambar 2. Anatomi hidung tampak lateral dan medial Tiap kavum nasi mempunyai empat buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior, dan superior. Dinding medial adalah septum nasi yang dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema ini biasanya rudimenter. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung. Terdapat meatus yaitu meatus inferior, medius, dan superior. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. a. Batas Rongga Hidung Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa=saringan)

tempat

masuknya

serabut-serabut

saraf

olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid. b. Vaskularisasi Bagian atas rongga hidung divaskularisasi oleh arteri etmoidalis anterior dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari arteri karotis interna. Bagian bawah rongga hidung divaskularisasi oleh cabang arteri maksilaris interna, diantaranya arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina.

Arteri

sfenopalatina

keluar

dari

foramen

sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung divaskularisasi oleh cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina mayor, yang disebut pleksus kiesselbach (little's area). Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arteri. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.

Gambar 3. Vaskularisasi hidung c. Jaringan limfatik Jaringan limfatik berasal dari mukosa superfisial. Jaringan limfatik anterior bermuara di sepanjang pembuluh fasialis yang menuju leher. Jaringan limfatik posterior terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok superior bermuara pada kelenjar limfe retrofaringea. Kelompok media menuju ke kelenjar limfe jugularis. Kelompok inferior menuju ke kelenjar limfe di sepanjang pembuluh jugularis interna. d. Innervasi Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n. etmoidalis anterior yang merupakan cabang n. nasosiliaris yang bersal dari n. oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar terdapat persarafan sensorik dari nervus maksilla melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion ini menerima serabut sensoris dari n. maksilaris, serabut parasimpatis dari n. petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari n. petrosus profundus.

Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di ujung posterior konka media. Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrosa dari pemukaan bawah bulbus olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

Gambar 4. Inervasi hidung

e. Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasalis adalah: 1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal, 2. Fungsi penghidu karena terdapat mukosa olfaktorius.

3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang, 4. Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas, dan 5. Refleks nasal, dimana mukosa hidung merupakan reseptor refleks

yang

berhubungan

dengan

saluran

cerna,

kardiovaskuler dan pernapasan yang dapat menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti, rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

B. EPIDEMIOLOGI Keganasan hidung dan sinus paranasal (sinonasal) merupakan tumor yang jarang ditemukan, hanya merupakan 1% dari seluruh tumor ganas pada tubuh dan 3 % dari keganasan di kepala dan leher. Secara tipikal ditemukan pada usia mulai dekade ke lima dan ketujuh kehidupan dan rasio perbandingan antara pria dan wanita adalah sebesar 2:1. Keganasan ini sering terdiagnosis pada usia 50 sampai 70 tahun. Insiden tertinggi tumor ganas hidung dan sinus ditemukan di Jepang yaitu 2- 3,6 per 100.000 penduduk pertahun. Di bagian THT FKUI-RSCM, keganasan ini ditemukan pada 10,1% dari seluruh tumor ganas THT dan berada di peringkat kedua sesudah tumor ganas nasofaring. Keganasan jenis ini tertinggi ditemukan di Jepang, China dan India. Kebanyakan pederita berasal dari golongan sosio- ekonomi rendah. Rifki pada tahun 1985 mengumpulkan data dari 10 kota besar dari Indonesia dan mendapatkan frekuensi relatif tumor ganas sinonasal sebanyak 9,325,3% dari seluruh keganasan THT. Amat disayangkan hingga saat ini di Indonesia belum ada registrasi kanker yang terpadu (Nasional) untuk mendapatkan data mengenai insidens yang sebenarnya. Data dari beberapa kota besar yang dikumpulkan oleh bagian Patologi Anatomi didapatkan

frekuensi tumor ganas sinonasal sebanyak 1,3-2,7% dari keseluruhan keganasan. Menurut Francis (2004) sinus maksilaris adalah lokasi yang paling sering terlibat (70%), dengan sinus etmoid sebagai kedua yang paling umum (20%). Sinus sfenoid (3%) dan sinus frontalis (1%) adalah yang paling umum untuk lokasi tumor primer.

C. ETIOLOGI Etiologi tumor ganas sinonasal belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga beberapa zat kimia atau bahan industri merupakan penyebab antara lain nikel, debu kayu, kulit, formaldehid, kromium, minyak isopropl dan lainlain. Pekerja di bidang ini mengalami peningkatan risiko untuk terjadinya keganasan sinonasal. Alkohol, asap rokok, makanan yang diasinkan atau diasap diduga meningkatkan kemungkinan terjadi keganasan, sebaliknya buah-buahan dan sayuran mengurangi kemungkinan terjadi keganasan. Jenis histologis yang paling umum adalah karsinoma sel skuamosa, mewakili sekitar 70% kasus. Gejala klinis yang paling sering adalah obstruksi hidung dan epistaksis. Selain akibat pekerjaan, ada yang menganggap bahwa sinusitis kronis dapat menyebabkan metaplasia yang kemudian menjadi karsinoma sel skuamosa pada sinonasal.

D. GEJALA KLINIS Menurut Roezin (2007) gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah dan perluasannya. Tumor di dalam sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala timbul setelah tumor besar, sehingga mendesak atau menembus dinding tulang meluas ke rongga hidung, rongga mulut, pipi, orbita atau intrakranial. Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea. Sekretnya sering bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat

mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik. Pada gejala orbital ada perluasan tumor ke arah orbita menimbulkan gejala diplopia, proptosis (penonjolan bola mata), oftalmoplegia, gangguan visus, dan epifora. Pada gejala oral dapat disertai perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau ulkus di palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien mengeluh gigi palsunya tidak tepat melekat atau gigi geligi goyang. Sering kali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi, tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut. Pada pasien dengan gejala fasial adanya perluasan tumor ke area wajah dimana akan menyebabkan penonjolan pipi. Gejala dapat disertai nyeri, hilang sensasi (anesthesia atau parastesia) jika mengenai nervus trigeminus. Sementara perluasan tumor ke intrakranial dapat menyebabkan sakit kepala hebat, oftalmoplegia, dan gangguan visus, yang dapat disertai likuorea, yaitu cairan otak yang keluar melalui hidung. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media maka saraf otak lainnya bisa terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus akibat terkenanya muskulus pterigoideus disertai anestesia dan parestesia daerah yang dipersarafi nervus maksilaris dan mandibularis.

E. DIAGNOSIS a. Pemeriksaan Menurut Mangunkusumo (1989) tujuan utama pemeriksaan adalah untuk mengetahui seberapa jauh perluasan tumor, sehingga dapat merencanakan pengobatan dan mengevaluasi prognosisnya. b. Anamnesis Sangat penting untuk melakukan anamnesis yang teliti. Perlu ditanyakan adalah hiperestesia atau anestesia di daerah pipi, adanya massa atau radang di daerah muka, rasa kebas atau keluhan gigi goyang, adakah gigi palsu yang tidak terfiksasi dengan baik lagi, penglihatan

ganda, kesulitan membuka mulut, keluhan hidung tersumbat, sekret atau mengeluarkan darah, keluhan nyeri kepala, perubahan keperibadian, gangguan penciuman atau keluarnya air mata terus- menerus. c. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara seksama, dengan penekanan pada regio sinonasal, orbita dan syaraf-syaraf kranial, dan juga harus dilakukan endoskopi nasal. Meskipun bukan patognomonik, mati rasa (kebas) atau hiperestesia syaraf infraorbital (V2) atau supraorbital (V3) secara kuat merupakan dugaan invasi keganasan. Temuan-temuan lain seperti proptosis, kemosis, kelemahan otot ekstraokular, dan adanya massa di pipi, gingival atau sulkus ginggivo-bukal juga sangkaan adanya tumor sinonasal. d. Radiologic Imaging Menurut Bailey (2006), pencitraan radiologi penting untuk menentukan staging. Foto X-Ray (Plain film) dapat menunjukkan destruksi tulang. Meskipun demikian pada beberapa kasus dapat menunjukkan keadaan normal. Computerized Tomography Screening (CT scan) lebih akurat daripada foto sinar-X untuk menilai struktur tulang sinus paranasal dan lebih murah daripada foto sinar-X. Pasien beresiko tinggi dengan riwayat terpapar karsinogen, nyeri persisten yang berat, neuropati kranial, eksoftalmus, kemosis, penyakit sinonasal dan dengan gejala persisten setelah pengobatan medis yang adekuat seharusnya dilakukan pemeriksaan dengan CT scan axial dan coronal dengan kontras atau Magnetic Resonance Imaging (MRI). CT scan merupakan pemeriksaan superior untuk menilai batas tulang traktus sinonasal dan dasar tulang tengkorak. Penggunaan kontras dilakukan untuk menilai tumor, vaskularisasi, dan hubungannya dengan arteri karotid. MRI dipergunakan untuk membedakan tumor dengan jaringan lunak sekitarnya, membedakan sekresi di dalam nasal yang tersumbat dari space occupying lesion (SOL), menunjukkan penyebaran perineural,

membuktikan keunggulan imaging pada sagital plane, dan tidak melibatkan paparan terhadap radiasi ionisasi. Coronal MRI image terdepan untuk mengevaluai foramen rotundum, vidian canal, foramen ovale dan kanal optik. Sagital image berguna untuk menunjukkan replacement signal berintensitas rendah yang normal dari Meckel cave signal berintensitas tinggi dari lemak di dalam fossa pterygopalatine oleh signal tumor yang mirip dengan otak. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika tumor tampak di kavum nasi atau rongga mulut, maka biopsy harus segera dilakukan melalui tindakan rinoskopi atau melalui operasi Caldwell-Luc yang insisinya melalui sulkus ginggivo-bukkal. e. Biopsi Diagnosis suatu tumor berdasarkan hasil histopatologi biopsi tumor. Untuk mengambil biopsi dari tumor hidung tidaklah sulit. Jaringan langsung diambil sedikit dengan tang biopsi dan perdarahan yang timbul biasanya cukup diatasi dengan tampon anterior. Biopsi tumor sinus maksila biasanya dilakukan melalui pendekatan Caldwell-Luc, yang insisinya melalui sulkus ginggivo-bukal. Biopsi tumor sinus etmoid biasanya diambil dari perluasan tumor di rongga hidung atau di kantus medius. Biopsi tumor sinus sfenoid dilakukan melalui pendekatn transnasal, tetapi sering kali biopsy didapat dari perluasan tumor ke nasofaring atau rongga hidung. Biopsi tumor sinus frontal dilakukan dengan insisi supraorbital dan osteotomi.

F. GAMBARAN HISTOPATOLOGI Tumor jinak tersering adalah papiloma skuamosa diikuti oleh inverted papilloma dimana ini bersifat sangat invasif, dapat merusak jaringan di sekitarnya serta sangat cenderung untuk menetap dan dapat berubah menjadi

ganas.

Karsinoma

sel

skuamosa

merupakan

gambaran

histopatologi yang paling sering pada keganasan sinonasal (70%), dimana

sinus maksila adalah yang tersering terkena (65%-80%), disusul sinus etmoid (15%-25%), sedangkan sinus sfenoid dan frontal jarang terkena.

G. KLASIFIKASI Tabel 1. Klasifikasi jenis tumor sinonasal

1. Tumor Jinak Sinonasal a. Papiloma Skuamosa Lesi verrucous mirip dengan kutil kulit yang berasal dari nasal vestibule atau bagian bawah dari septum hidung, dapat tunggal atau multiple, pedunkulata atau sessile. Pengobatan eksisi lokal dengan kateterisasi dari dasar untuk mencegah rekurensi (kekambuhan). Tumor ini juga dapat diterapi dengan cryosurgery atau laser. b. Inverted Papilloma Kebanyakan tumor terlihat pada usia antara 40-70 tahun dan lebih sering pada laki-laki dibanding wanita (5:1). Tumor ini juga bersifat sangat invasif, dapat merusak jaringan di sekitarnya serta sangat cenderung untuk menetap dan dapat berubah menjadi ganas. Tumor ini berasal dari dinding lateral hidung dan seringnya pada unilateral. Ditandai

dengan

massa

merah

atau

keabu-abuan,

dapat

menyebabkan edema, seperti polip nasal. Inverted papilloma memiliki kecenderungan untuk timbul lagi setelah operasi pengangkatan dan mungkin terkait dengan karsinoma sel skuamosa 10-15% dari kasus tumor ini. Terapinya dengan eksisi bedah luas

rhinotomi lateral atau maksilektomi medial dan en bloc ethmoidectomy. c. Pleomorphic adenoma Tumor yang biasa terjadi, biasanya timbul dari septum hidung. Terapinya dengan bedah eksisi yang luas. d. Schwannoma dan Meningioma Tumor ini sangat jarang ditemukan pada intranasal. Terapinya adalah dengan eksisi bedah dengan rhinotomi lateral. e. Haemangioma Menurut Sukardja (2000) tumor jinak yang berasal dari pembuluh darah. Tumor ini berwarna merah atau merah kebiru-biruan. 1. Haemangioma Kapiler (Pendarahan polip pada septum). Ini adalah lembut, merah tua, tumor pedunkulata atau sessile berasal dari bagian anterior septum hidung. Biasanya dapat menjadi ulserasi dan hadir dengan epistaksis berulang dan obtruksi pada hidung. Terapi dengan local excision dengan mengunakan cuff sekitarnya mucoperichondrium. 2. Haemangioma Kavernosum. Ini berasal dari perbatasan pada dinding lateral hidung. Terapinya adalah eksisi bedah dengan cryotherapy awal. Lesi yang luas mungkin memerlukan radioterapi dan eksisi bedah. f. Kondroma Tumor ini dapat timbul di sinus etmoid, rongga hidung atau septum hidung. Kondroma ini biasanya halus, tegas dan berlobul. Ada juga yang bercampur dengan tipe lain seperti fibro, osteo, atau angiokondromas. Tumor ini diterapi dengan eksisi bedah. Untuk tumor yang berulang atau besar, eksisi luas harus dilakukan karena kecenderungan untuk berubah menjadi ganas setelah kejadian tumor yang berulang. g. Angiofibroma

Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak diajukan. Salah satu di antaranya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding

posterolateral

atap

rongga

hidung.

Tumor

jinak

angiofibroma nasofaring sering bermanifestasi sebagai massa yang mengisi rongga hidung bahkan juga mengisi seluruh rongga sinus patanasal dan mendorong bola mata ke anterior. h. Glioma Dari semua glioma, 30% adalah intranasal dan 10% terdiri dari intra dan extranasal. Biasanya terlihat pada bayi dan anak-anak. Glioma intranasal muncul sebagai polip yang tegas, kadang-kadang menonjol pada nares anterior. i. Dermoid Nasal Tumor ini tampak seperti perluasan septum pada atas bagian superior hidung dengan penyebaran pada tulang nasal dan hypertelorism. Sinus bisa terlihat di tengah dorsum nasal dengan rambut yang menonjol dari permukaannya. 2. Tumor Ganas Sinonasal a. Karsinoma Sel Skuamosa Menurut Barnes (2005) karsinoma sel skuamosa merupakan neoplasma epitelial maligna yang berasal dari epitelium mukosa kavum nasi atau sinus paranasal termasuk tipe keratinizing dan non keratinizing. Karsinoma sel skuamosa sinonasal terutama ditemukan di dalam sinus maksilaris (sekitar 60-70%), diikuti oleh kavum nasi (sekitar 10-15%) dan sinus sfenoid dan frontal (sekitar 1%). Secara makroskopik, karsinoma sel skuamosa kemungkinan berupa exophytic, fungating atau papiler. Biasanya rapuh, berdarah, terutama berupa nekrotik, atau indurated, demarcated atau infiltratif. 1) Mikroskopik Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

Secara histologi, tumor ini identik dengan karsinoma sel skuamosa dari lokasi mukosa lain pada daerah kepala dan leher. Ditemukan diferensiasi skuamosa, di dalam bentuk keratin ekstraseluler atau keratin intraseluler (sitoplasma merah muda, sel-sel diskeratotik) dan/atau intercellular bridges. Tumor tersusun di dalam sarang-sarang, massa atau sebagai kelompok kecil sel- sel atau sel-sel individual. Invasi ditemukan tidak beraturan.

Sering

terlihat

reaksi

stromal

desmoplastik.

Karsinoma ini terbagi atas diferensiansi baik, sedang atau buruk. 2) Mikroskopik Non-Keratinizing (Cylindrical Cell, transitional) Carcinoma Tumor ini merupakan tumor yang berbeda dari traktus sinonasal yang dikarakteristikkan dengan pola plexiform atau ribbon-like growth pattern. Tumor dapat menginvasi ke dalam jaringan dibawahnya dengan batas yang jelas. Tumor ini berdiferensiasi sedang ataupun buruk. Diferensiasi buruk sulit dikenal sebagai skuamosa dan harus dibedakan dari olfactory neuroblastoma atau karsinoma neuroendokrin. 3) Undifferentiated Carcinoma Undifferentiated carcinoma merupakan karsinoma yang jarang ditemukan, sangat agresif dan histogenesisnya tidak pasti. Undifferentiated

carcinoma

berupa

massa

yang

cepat

memperbesar sering melibatkan beberapa tempat (saluran sinonasal) dan melampaui batas-batas anatomi dari saluran sinonasal.

Gambaran

mikroskopik

berupa

proliferasi

hiperselular dengan pola pertumbuhan yang bervariasi, termasuk trabekular, pola seperti lembaran, pita, lobular, dan organoid. Sel-sel tumor berukuran sedang hingga besar dan bentuk bulat hingga oval dan memiliki inti sel pleomorfik dan hiperkromatik, anak inti menonjol, sitoplasma eosinofilik, rasio inti dan sitoplasma tinggi, aktivitas mitosis meningkat dengan gambaran

mitosis atipikal, nekrosis tumor dan apoptosis. Pemeriksaan tambahan seperti imunohistokimia, mikroskop elektron dan biologi molekuler seringkali diperlukan dalam diagnosis undifferentiated carcinoma dan dapat membedakan keganasan ini dari neoplasma ganas lainnya. b. Adenokarsinoma Adenokarsinoma mempunyai asosiasi epidemiologi pada tukang kayu, pembuat perabut dan tukang pengrajin kulit. Biasanya tampak pada bagian atas rongga hidung serta pada sinus etmoid. Adenokarsinoma lebih cenderung terhadap progresif lokal yang ganas dan diobati dengan en bloc recsection bila diperlukan. c. Melanoma Maligna Biasanya ditemukan pada usia 50 tahun. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara pria dan wanita. Secara makroskopik, massa polipoid berwarna keabu-abuan atau hitam kebiru-biruan ditemui pada 45% kasus. Di dalam kavum nasi, lokasi yang sering ditemukan melanoma maligna ini adalah daerah posterior septum nasal diikuti dengan turbinate medial dan inferior. Tumor menyebar melalui aliran darah atau limfatik. Metastasis nodul servikal dapat ditemukan pada pemeriksaan awal. d. Olfaktori Melanoma Tumor ini dijumpai pada semua usia, tidak ada perbedaan insidens pada pria ataupun wanita. Tumor ini berwarna merah disertai massa polipoidal di superior rongga hidung, merupakan tumor vaskular dan tampak berdarah pada biopsi. Tumor ini mempunyai radiosensitif sedang dan dapat terapi dengan radiasi saja. e. Haemangiopericytoma Tumor ini jarang dijumpai, berasal dari sel pericyte-a yang dikelilingi kapiler. Tumor ini bisa tampak pada lingkungan umur 6070 tahun dan biasa disertai dengan epitaksis. Tumor ini juga bisa jinak ataupun ganas tetapi tidak dapat dibedakan secara histologis.

Terapinya adalah eksisi bedah. Radioterapi digunakan untuk lesi yang bisa dioperasi atau kambuh. f. Plasmacytoma Plasmacytoma ini biasanya mempengaruhi pria pada lingkungan usia lebih dari 40 tahun. Terapinya adalah dengan radioterapi dikuti operasi tiga bulan kemudian, jika penyembuhan total tidak terjadi. Follow-up jangka waktu panjang adalah penting untuk menghindari perkembangan myeloma multiple. g. Sarcoma Sarkoma

osteogenik,

chondrosarcoma,

rhabdomyosarcoma,

angiosarcoma, histiocytoma ganas adalah tumor yang jarang mempengaruhi rongga hidung.

H. KLASIFIKASI TNM DAN SISTEM STAGING Cara penentuan stadium tumor ganas hidung dan sinus paranasal yang terbaru adalah menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC) 2006 yaitu: Tumor Primer (T) 1. Sinus maksilaris TX

Tumor primer tidak dapat ditentukan

T0

Tidak tampak tumor primer

Tis

Karsinoma in situ

T1

Tumor terbatas pada mukosa sinus maksilaris tanpa erosi dan destruksi tulang.

T2

Tumor menyebabkan erosi dan destruksi tulang hingga palatum dan atau meatus media tanpa melibatkan dinding posterior sinus maksilaris dan fossa pterigoid.

T3

Tumor menginvasi dinding posterior tulang sinus maksilaris, jaringan subkutaneus, dinding dasar dan medial orbita, fossa pterigoid, sinus etmoidal.

T4a

Tumor menginvasi bagian anterior orbita, kulit pipi, fossa pterigoid, fossa infratemporal, fossa kribriformis, sinus sfenoidalis atau frontal.

T4b

Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, duramater, otak, fossa kranial medial, nervus kranialis selain dari divisi maksilaris nervus trigeminal V2, nasofaring atau klivus.

2. Kavum Nasi dan Sinus Etmoidalis TX

Tumor primer tidak dapat ditentukan T0 Tidak tampak tumor primer

Tis

Karsinoma in situ

T1

Tumor terbatas pada salah satu bagian dengan atau tanpa invasi tulang.

T2

Tumor berada di dua bagian dalam satu regio atau tumor meluas dan Melibatkan daerah nasoetmoidal kompleks, dengan atau tanpa invasi tulang.

T3

Tumor menginvasi dinding medial atau dasar orbita, sinus maksilaris, palatum atau fossa kribriformis.

T4a

Tumor menginvasi salah satu dari bagian anterior orbita, kulit hidung atau pipi, meluas minimal ke fossa kranialis anterior, fossa pterigoid, sinus sfenoid atau frontal.

T4b

Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, dura, otak, fossa kranial medial, nervus kranialis selain dari V2, nasofaring atau klivus.

I. PENATALAKSANAAN 1. Pembedahan a. Drainage/Debridement Drainage adekuat (seperti nasoantral window) seharusnya dilakukan pada pasien dengan sinusitis sekunder dan pada pasien yang mendapat terapi radiasi sebagai pengobatan primer.

b. Resection Menurut Bailey (2006) surgical resection selalu direkomendasikan dengan tujuan kuratif. Palliative excision dipertimbangkan untuk mengurangi nyeri yang parah, untuk dekompresi cepat dari strukturstruktur vital, atau untuk memperkecil lesi massif, atau estetika. Pembedahan merupakan penatalaksanaan tunggal untuk tumor maligna traktus sinonasal dengan angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 19% hingga 86%. Dengan kemajuan-kemajuan terbaru dalam preoperative imaging, intraoperative image-guidance system, endoscopic instrumentation dan material untuk hemostasis, teknik sinonasal untuk mengangkat tumor nasal dan sinus paranasal mungkin merupakan alternatif yang dapat dilakukan untuk traditional open technique. Pendekatan endoskopik dapat dipakai untuk melihat tumor dalam rongga nasal, etmoid, sfenoid, medial frontal dan sinus maksilaris medial. Frozen section harus digunakan untuk melihat batas bebas tumor. c. Rehabilitasi Tujuan utama rehabilitasi pasca operasi adalah penyembuhan luka primer, memelihara atau rekonstruksi bentuk wajah dan pemulihan oronasal yang terpisah kemudian memperlancar proses bicara dan menelan. Rehabilitasi setelah reseksi pembedahan dapat dicapai dengan dental prosthesis atau reconstructive flap seperti flap otot temporalis dengan atau tanpa inklusi tulang kranial, pedicled atau microvascular free myocutaneous dan cutaneous flap. d. Terapi Radiasi Radiasi digunakan sebagai metode tunggal untuk membantu pembedahan atau sebagai terapi paliatif. Radiasi pasca operasi dapat mengontrol secara lokal tetapi tidak mempengaruhi kelangsungan hidup spesifik atau absolut. Sel-sel tumor yang sedikit dapat dibunuh, pinggir tumor non radiasi dapat dibatasi sepanjang

pembedahan dan penyembuhan luka pasca operasi lebih dapat diperkirakan. e. Kemoterapi Peran kemoterapi untuk pengobatan tumor traktus sinonasal biasanya paliatif, penggunaan efek cytoreductive untuk mengurangi rasa nyeri dan penyumbatan, atau untuk mengecilkan lesi eksternal massif. Penggunaan cisplatin intrarterial dosis tinggi dapat digunakan secara bersamaan dengan radiasi pada pasien dengan karsinoma sinus paranasal. Angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 53%. Pasien yang menunjukkan resiko pembedahan yang buruk dan yang menolak untuk dilakukan operasi dipertimbangkan untuk mendapatkan kombinasi radiasi dan kemoterapi.

J. PROGNOSIS Menurut Roezin (2007) pada umumnya prognosis kurang baik. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi prognosis keganasan nasal dan sinus paranasal. Faktor-faktor tersebut seperti perbedaan diagnosis histologi, asal tumor primer, perluasan tumor, pengobatan yang diberikan sebelumnya, batas sayatan, terapi adjuvan yang diberikan, status imunologis, lamanya follow up dan banyak lagi faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap agresivitas penyakit dan hasil pengobatan yang tentunya berpengaruh juga terhadap prognosis penyakit ini. Walaupun demikian, pengobatan yang agresif secara multimodalitas akan memberikan hasil yang terbaik dalam mengontrol tumor primer dan akan meningkatkan angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 75% untuk seluruh stadium tumor.

BAB III STATUS PASIEN I.

II.

IDENTITAS PASIEN Nama

: Sdr. RY

Tanggal Lahir

: 26 juli 1991

Usia

: 27 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Karangmojo, Gunungkidul

Pekerjaan

: Tidak Bekerja

Tanggal Periksa

: 26 Maret 2019

No.RM

: 008983xx

ALLOANAMNESIS A. Keluhan Utama Benjolan pada sisi hidung kiri

B. Riwayat Penyakit Sekarang Keluhan dirasakan sejak 5 tahun yang lalu, diawali dengan benjolan yang kecil lalu semakin lama semakin membesar, dari benjolan ini tidak ada keluhan spesifik seperti adanya nyeri, gatal, hidung berair, hidung memerah, hidung tersumbat, hidung berdarah, dan hanya dikatakan rishi saja. Dari pasien juga mengatakan tidak sering mengalami bersin bersin, batuk, pilek, gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, dan gangguan di tenggorokan. Selama 5 tahun ini belum pernah mendapatkan pengobatan terhadap benjolannya, sudah pernah dibawa ke puskesmas tetapi dari pihak puskesms mengatakan ini diakibatkan oleh paparan asap rokok. Benjolan dirasakan semakin membesar, tidak pernah mengempes.

C. Riwayat Penyakit Dahulu  Riwayat batuk jangka lama

: disangkal

 Riwayat bronkitis

: disangkal

 Riwayat asma

: disangkal

 Riwayat kejang

: disangkal

 Riwayat hipertensi

: disangkal

 Riwayat penyakit jantung

: disangkal

 Riwayat diabetes melitus

: disangkal

 Riwayat penyakit maag

: disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga  Riwayat batuk jangka lama

: disangkal

 Riwayat asma

: disangkal

 Riwayat alergi

: disangkal

 Riwayat kejang

: disangkal

 Riwayat hipertensi

: disangkal

 Riwayat penyakit jantung

: disangkal

 Riwayat diabetes melitus

: disangkal

 Riwayat penyakit paru

: disangkal

 Riwayat penyakit lain

: disangkal

E. Riwayat Pengobatan  Riwayat Operasi

: (-)

 Riwayat Mondok

: (-)

 Riwayat Alergi Obat / makanan

: (disangkal)

F. Life style Pasien tidak berkerja saat ini, kesharian hanya dirumah saja. Awalnya pasien bekerja selama 7 bulan di suatu perusahan tekstil kain dan berhenti bekerja pada bulan januari, untukk pekerjaan di pabrik pasien mengatakan selalu menggunakan alat perlindungan diri lengkap karena merupakan SOP dari perusahaan tersebut. Pola makan pasien baik dan teratur, namun jarang berolahraga dan berktifitas fisik akhir akhir ini.

Pasien bukan merupakan seorang perokok dan tidak mengkonsumsi alcohol.

III.

PEMERIKSAAN FISIK Keadaan Umum

: Baik

Kesadaran

: Compos Mentis (E4, V5, M6)

Status Gizi

: Overweight

BB

: 85 kg

Tanda Vital 

Tekanan Darah

: 130/80 mmHg



Nadi

: 92 x/menit



Respirasi

: 20 x/menit



Suhu

: 36,30C

STATUS GENERALIS A. Kepala 

Ukuran Kepala

: Normochepali



Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-),

injeksi konjungtiva (-/-), reflek pupil (+/+), reflek cahaya (+/+), gerakan bola (+/+). 

Hidung

: Deformitas (-), rhinorhea (-), epitaksis (-),

nyeri tekan (-), krepitasi(-), mukosa hiperemis (-) 

Mulut

: Mukosa basah (+), Sianosis (-/-), faring

hiperemis (-). 

Telinga

: Discharge (-), Deformitas (-), nyeri tekan

mastoid (-), nyeri tekan auricular (-) B. Leher 

Inspeksi

: Tidak terdapat deviasi



Palpasi

: Limfonodi tidak teraba, Nyeri tekan (-),

Pembesaran Tiroid (-)



Auskultasi

: Bruit (-)

C. Thorax 

Inspeksi

: simetris, tidak terdapat kelainan bentuk

dada, tidak ada ketertinggalan gerak, retraksi otot intercostal (-) 

Perkusi

: sonor (+/+)



Palpasi

: nyeri (-/-), krepitasi (-)



Auskultasi

: suara paru bronkovesikuler (+/+), Ronki

basah (-/-) Wheezing (-/-), Suara jantung S1 dan S2 terdengar bising (-), gallop (-) D. Abdomen 

Inspeksi

: supel (+), Distensi (-), Jejas (-), benjolan /

massa (-) 

Auskultasi

: peristaltik usus (+)



Perkusi

: timpani



Palpasi

: nyeri tekan (-)

E. Ekstremitas 

Atas

: Akral teraba hangat,edema (-/-) , CRT< 2

detik 

Bawah

: Akral teraba hangat, edema (-/-), CRT < 2

detik

STATUS LOKALIS Pemeriksaan Telinga

KANAN

KIRI

Pemeriksaan Auricula

Telinga Kanan dalam

batas

Telinga Kiri

normal, dalam

batas

deformitas (-)

deformitas (-)

tidak ada

tidak ada

Nyeri Tekan Tragus tidak ada

tidak ada

Planum Mastoidium Nyeri tekan (-)

Nyeri tekan (-)

Glandula Limfatik

Pembesaran (-)

Benjolan

Pembesaran (-)

normal,

Canalis Auditorius Serumen (+), edema (-), Serumen (+), edema (-), Externa

hiperemis (-)

hiperemis (-)

Membran Timpani

Perforasi (-), hiperemis Perforasi (-), hiperemis (-)

(-)

Kesan: AD et AS dalam batas normal

Pemeriksaan Hidung dan Sinus Paranasal Pemeriksaan

Dekstra

Sinistra

HIDUNG Dorsum Nasi

deformitas (-), krepitasi (-), jejas (-), nyeri tekan (-), massa (+)

Cavum Nasi

discharge (-), polip (-)

discharge (-), polip (-)

Rhinoskopi Anterior Vestibulum Nasi

discharge (-), edema (-), hiperemis (-)

Septum Nasi

deviasi septum (-)

Meatus Nasi Inferior

edema (-), hiperemis (-),

edema (-),

discharge (-)

hiperemis (-), discharge (-)

Konka Inferior

edema (-), hiperemis (-)

edema (-), hiperemis (-)

Meatus Nasi Media

hiperemis (-), discharge (-),

hiperemis (-),

edema (-)

discharge (-), edema (-)

Konka Media

Edema (-), hiperemis (-)

Edema (-), hiperemis (-)

SINUS PARANASAL (sinus maksilaris dan frontalis) Inspeksi

Eritem (-), edema (-)

Perkusi

Tidak nyeri

Transluminasi

(-)

Kesan: Hidung dan sinus dalam batas normal

Ditemukan massa berbentuk bulat beraturan dengan diameter kurang lebih 2 cm, konsistensi kenyal, berbatas tegas, mobile dapat digerakan, tidak nyeri, pemukaan kulit halus, dan undulasi (+)

Pemeriksaan Oropharynx dan Laring CAVUM ORIS – TONSIL – FARING Bibir

Bibir sianosis (-), kering (-)

Mukosa Oral

Warna merah muda, stomatitis (-)

Gusi dan Gigi

Warna merah muda, karies dentis (-), ulkus (-)

Lingua

Simetris, atrofi papil (-), lidah kotor (-), ulserasi (-)

Atap mulut

Ulkus (-)

Dasar Mulut

Ulkus (-)

Uvula

Hiperemis (-)

Tonsila Palatina

Membesar (+/T3),

Membesar (+/ T3),

hiperemis (+), detritus (+)

hiperemis (+), detritus (+)

Peritonsil

Abses (-)

Faring

Hiperemis (-), bercak berwarna putih (-)

Kesan: T3/T3, dedritus (+)

IV.

PEMERIKSAAN PENUNJANG CT-Scan

Abses (-)

Kesan: Lesi Solid jaringan lunak dorsum nasi sisi kiri dengan erosi os nasal.

V.

VI.

VII.

DIAGNOSIS 

Tumor Dorsum Nasi



Tonsillitis Kronik

DIAGNOSIS BANDING 

Glioma



Lipoma

PENATALAKSANAAN 1. Farmakologi Terapi farmakologi digunakan untuk gejala simptomatik saja pada kasus ini 2. Non Farmakologi

VIII.

IX.



Oral hygine 2x sehari



Terapi tumor – dapat dilakukan excici

PLANNING 

Pemeriksaan foto CT-Scan



Pemeriksaan biopsy tumor



Pemeriksaan kadar kolesterol total



Rujuk dokter THT

EDUKASI 

Monitoring KU, tingkat kesadaran dan GCS, Vital sign



Pencegahan Jatuh



Menjaga kebersihan mulut dengan oral hygine 2x sehari

IX.

PROGNOSIS Ad Vitam

: dubia ad bonam

Ad Fungsionam

: dubia ad bonam

Ad Sanationam

: dubia ad bonam

Related Documents


More Documents from ""