BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Kuretase merupakan salah satu prosedur obstetrik dan ginekologi yang sering dilakukan. Baik untuk pengosongan sisa konsepsi dari kavum uteri akibat abortus ataupun untuk mengetahui kelainan perdarahan uterus pada kasus ginekologi. Prosedur ini berlangsung dalam waktu singkat. Kasus
yang
membutuhkan
tindakan
kuretase
bermacam-macam,
diantaranya abortus, blighted ovum, plasenta rest, dan hamil anggur. Ada juga kasus kuret yang ditujukan untuk diagnostik seperti biopsi endometrium. Pada setiap pembedahan diperlukan upaya untuk menghilangkan nyeri. Keadaan itu disebut anestesia. (Sjamsuhidayat et al., 2005). Anastesi berasal dari Bahasa Yunani yaitu An berati tidak, dan Aesthesis berarti rasa atau sensasi. Sehingga anestesi berarti suatu keadaan hilangnya rasa atau sensasi tanpa atau disertai dengan hilangnya kesadaran. Anestesi adalah keadaan tanpa rasa (without sensation) tetapi bersifat sementara dan dapat kembali kepada keadaan semula (Sudisma et al.,2006) Anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu : (1) anestesi lokal, yaitu suatu tindakan menghilangkan nyeri lokal tanpa disertai hilangnya kesadaran, dan (2) anestesi umum yaitu keadaan ketidaksadaran yang reversibel yang disebabkan oleh zat anestesi, disertai hilangnya sensasi sakit pada seluruh tubuh. Sebagian besar operasi (70-75%) dilakukan dengan anestesi umum, lainnya dengan anestesi lokal/regional.1 Nyeri saat kuretase timbul akibat dilatasi serviks, rangsangan ostium uteri interna serviks, mobilisasi rahim, gesekan dinding rahim, dan reaksi kontraksi otot rahim. Dilatasi dan kuretase mengacu pada pelebaran leher rahim dan pengambilan bagian dari dinding rahim dan atau isi rahim oleh kerokan (kuretase). Tindakan pencegahan atau menghilangkan rasa nyeri yang berhubungan dengan dilatasi kuretase ini bisa dilakukan dengan
anestesi umum maupun anestesi lokal. Dalam melakukan tindakan kecil pada obstetri dan ginekologi, seperti : penjahitan kembali luka episiotomi, dilatasi dan kuretase, atau biopsi dianjurkan untuk melakukan anastesia secara intravena (lebih mudah dan aman). (Heazell A. and Clift J. 2008. Obstetrics For Anaesthetists. Cambridge University Press. Cambridge)
Dahulu kuretase sering menggunakan anestesi dengan blok paraservikal maupun intraservical. Namun, hal ini mulai ditinggalkan karena seringnya saat injeksi anestesi lokal menjadi periode nyeri paling hebat dari seluruh rangkaian prosedur dilatasi dan kuretase. Hal ini ditambah ketidaknyamanan pasien dengan tindakan tersebut dan kesuksesan tindakan ini sangat dipengaruhi skill dari operator yang melakukan blok paraservical tersebut. Beberapa penelitian bahkan menunjukkan meskipun sudah diblok paraservical tetap saja sekitar 21.350% pasien mengeluhkan nyeri hebat pada saat kuretase berlangsung. 5 Hal ini dikarenakan inervasi uteri bagian atas tidak termasuk dalam daerah yang terblok dengan blok paraservikal maupun intraservikal. 6 Pranom et al. (2005) dalam penelitiannya membandingkan penggunaan asam mefenamat oral 500 mg dua jam sebelum kuretase dan penggunaan paraservical blok untuk mengatasi nyeri pada prosedur kuretase. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa skala nyeri maksimum (menggunakan VAS 1-10) yang dialami pasien berkisar 7.5 dengan asam mefenamat dan 6.5 dengan paraservical blok. Dan setelah prosedur selesai pasien tetap mengalami nyeri meskipun berkurang kadarnya. Belum lagi rasa kebas (numbness) yang dialami kelompok pasien dengan blok paraservical. Arifin tahun 2009 membandingkan efek analgetika kombinasi blok paraservikal dengan ketoprofen dengan blok pareservikal dengan placebo pada tindakan kuretase. Yang menjadi latar belakang pada penelitian ini bahwa inervasi fundus uteri berbeda dengan inervasi daerah servik uteri. Sehingga rasa mulas akibat pelepasan prostaglandin di bagian fundus tidak bisa diblok oleh anestesi blok paraservikal. 5
Sirirat (2008) dalam penelitiannya membandingkan antara pasien yang diberi injeksi petidin dengan yang diberikan paraservikal blok untuk anestesi kuretase. Hasil penelitiannya menunjukkan injeksi petidin lebih efektif dalam menghilangkan nyeri dibandingkan dengan paraservical blok.6 Sehingga dalam perkembangannya di kemudian hari anestesi kuretase lebih banyak digunakan dengan menggunakan jalur intravena. Hal ini memunculkan kebutuhan untuk mencari kombinasi obat anestesi yang dapat menghadirkan anestesi yang cepat mula kerjanya dengan waktu pulih yang singkat dan memberikan kenyamanan serta analgesi yang adekuat.8 Prosedur yang singkat ini memerlukan teknik anestesi yang dapat menghasilkan waktu pulih yang singkat tetapi dengan tingkat sedasi dan analgesi yang adekuat sehingga TIVA menjadi pilihan yang lebih sering digunakan
dibandingkan
inhalasi
mengingat
kemudahan
fasilitas
pengadaan dan waktu pulih yang lebih singkat dibanding teknik inhalasi. Pada penelitian yang membandingkan antara propofol dan sevofluran dalam kombinasi dengan N2O untuk anestesi ambulatory didapati penggunaan propofol-N2O menghasilkan karakteristik pulih sadar yang lebih cepat, kepuasan pasien lebih tinggi, dan biaya yang lebih rendah.9
1.2 Tujuan Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui lebih lanjut mengenai tindakan total intravena anestesi pada pasien yang akan dilakukan kuretase.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TIVA (Total Intravenous Anesthesia) TIVA adalah teknik anestesi umum dengan hanya menggunakan obatobat anestesi yang dimasukkan lewat jalur intravena. tanpa penggunaan anestesi inhalasi termasuk N2O. TIVA digunakan untuk ketiga trias anastesi yaitu hipnotik, analgetik, dan relaksasi otot..Kebanyakan obat-obat anastesi intravena hanya mencakup 2 komponen anastesi, akan tetapi ketamin mempunyai ketiga trias anastesi sehingga ketamin dianggap juga sebagai agent anastesi yang lengkap. Kelebihan TIVA: 1.
Kombinasi obat-obat intravena secara terpisah dapat di titrasi dalam dosis yang lebih akurat sesuai yang dibutuhkan.
2.
Tidak menganggu jalan nafas dan pernafasan pasien terutama pada operasi sekitar jalan nafas atau paru-paru.
3.
Anestesi yang mudah dan tidak memerlukan alat-alat atau mesin yang khusus.
Teknik anestesi intravena merupakan suatu teknik pembiusan dengan memasukkan obat langsung ke dalam pembuluh darah secara parenteral, obatobat tersebut digunakan untuk premedikasi seperti diazepam dan analgetik narkotik. Induksi anestesi seperti misalnya tiopenton yang juga digunakan sebagai pemeliharaan dan juga sebagai tambahan pada tindakan analgesia regional. Indikasi Anestesi Intravena Hal-hal yang termasuk dalam indikasi anestesi intavena diantaranya : 1. Obat induksi anesthesia umum 2. Obat tunggal untuk anestesi pembedahan singkat 3. Tambahan untuk obat inhalasi yang kurang kuat 4. Obat tambahan anestesi regional
5. Menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan SSP (SSP sedasi)
Beberapa variasi anestesia intravena: 1. Anestesia intravena klasik Pemakaian kombinasi obat ketamin hidroklorida dengan sedatif contoh: diazepam, midazolam atau dehidro benzperidol. Komponen trias anestesi yang dipenuhi dengan teknik ini adalah : hipnotik dan anestesia. Indikasi : Pada operasi kecil dan sedang yang tidak memerlukan relaksasi lapangan operasi yang optimal dan berlangsung singkat, dengan perkecualian operasi didaerah jalan nafas dan intraokuler. Kontraindikasi: 1) Pasien yang rentan terhadap obat-obat simpatomimetik, misalnya: penderita diabetes melitus, hipertensi, tirotoksikosis dan paeokromo sitoma 2) Pasien yang menderita hipertensi intrakranial 3) Pasien penderita glaukoma 4) Operasi intra okuler.
2. Anestesi intravena total (TIVA) Pemakaian kombinasi obat anestetika intravena yang berkhasiat hipnotik, analgetik dan relaksasi otot secara berimbang. Komponen trias anestesia yang dipenuhi adalah hipnotik, analgesia dan relaksasi otot. Indikasi : Operasi-operasi yang memerlukan relaksasi lapangan operasi optimal Kontraindikasi : Tidak ada kontra indikasi absolut. Pemilihan obat disesuaikan dengan penyakit yang diderita pasien.
3. Anestesia-analgesia neurolept
Pemakaian kombinasi obat beuroleptik dengan analgetik opiat secara intravena. Komponen trias anastesia yang dipenuhinya adalah sedasi atau hipnotik
ringan
dan
analgesia
ringan.
Kombinasi
lazim
adalah
dehidrobenzperidol dengan fentanil. Jika tidak terdapat fentanil dapat digantikan dengan petidin atau morfin. Indikasi: 1) Tindakan diagnostik endoskopi seperti laringoskopi, bronkoskopi, esofaguskopi, rektos-kopi 2) Sebagai suplemen tindakan anestesi lokal Kontraindikasi : 1) Penderita parkinson, karena pada pemberian dehidrobenzperidol akan menyebabkan peningkatan gejala parkinson 2) Penderita penyakit paru obstruktif 3) Bayi dan anak-anak sebagai kontraindikasi relatif.1,5 Dalam perkembangan selanjutnya terdapat beberapa jenis obat – obat anestesi dan yang digunakan di indonesia hanya beberapa jenis obat saja seperti, Tiopenton, Diazepam , Dehidrobenzoperidol, Fentanil, Ketamin dan Propofol.
Cara Pemberian 1.
Sebagai obat tunggal : a. Induksi anestesi b. Operasi singkat: cabut gigi
2.
Suntikan berulang : a. Sesuai kebutuhan : kuretase, colonoscopy
3.
Diteteskan lewat infus : a. Menambah kekuatan anestesi
Obat-obat Anestetik intravena
Ketamin HCl
: hipnotik dan analgetik
Tiopenton
: hipnotik
Propofol
: hipnotik
Diazepam
: sedatif dan menurunkan tonus otot
Deidrobenzperidol: sedatif Midazolam
: sedatif
Petidin
: analgetik dan sedatif
Morfin
: analgetik dan sedatif
Fentanil/sufentanil : analgetik dan sedatif
.