PRESENTASI KASUS
GENERAL ANESTESI TOTAL INTRAVENOUS ANESTHESIA (TIVA) PADA PASIEN STATUS ASA 2 DENGAN RETENSI SISA PLASENTA
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD Panembahan Senopati Bantul
Disusun Oleh : Hapsari Kartika Dewi 20174011056
Dokter pembimbing : dr. Kurnianto Trubus, M.Kes, Sp. An
SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
HALAMAN PENGESAHAN Presentasi Kasus
GENERAL ANESTESI TOTAL INTRAVENOUS ANESTHESIA (TIVA) PADA PASIEN STATUS ASA 2 DENGAN RETENSI SISA PLASENTA
Disusun oleh Hapsari Kartika Dewi 20174011056
Dipresentasikan dan disahkan pada tanggal Februari 2019
Mengetahui, Dokter Pembimbing
dr. Kurnianto Trubus, M.Kes, Sp. An
i
BAB I STATUS PASIEN A.
B.
Identitas Pasien
Nama
: Ny. NS
Umur
: 34 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
: Bangunharjo, Sewon, Bantul
Pekerjaan
: Ibu rumah tangga
Agama
: Islam
Status pernikahan
: Menikah
No RM
: 64-01-81
Masuk RS tanggal
: 23 Januari 2019
Anamnesis 1.
Keluhan Utama Keluar darah dari jalan lahir
2.
Riwayat Penyakit Sekarang Pasien seorang P2A0 Ah2 usia kehamilan postpartus datang ke IGD RSUD Panembahan Senopati Bantul pukul 16.53 dengan keluhan keluar darah dari jalan lahir yang tidak berhenti sajak bayi dilahirkan pukul 15.20 WIB sebanyak satu pembalut penuh. Warna darah merah segar, pasien merasakan nyeri. Pasien merupakan rujukan dari BPM di dekat rumah pasien. Dari alloanamnesis dengan bidan yang ikut mengantar, perdarahan sudah +500cc semenjak bayi dilahirkan
3.
Riwayat Obstetri dan Ginekologi
Riwayat haid -
Pasien mengaku pertama kali haid pada usia 13 thn. Siklus 30 hari teratur. Biasanya berlangsung selama 7 hari, tidak sakit, darah encer.
-
HPMT: 14/05/2018
HPL: 21/02/2019
Riwayat perkawinan Pasien mengaku saat ini merupakan perkawinan pertama, kawin pada usia 24 thn dan sekarang sudah berjalan 10 thn.
Riwayat KB Pasien mengaku pernah menggunakan KB, metode terakhir yg digunakan adalah KB suntik dan pil.
Riwayat kehamilan -
Anak pertama lahir tahun 2010 aterm spontan dengan BBL 2750 gram.
Ini merupakan kehamilan kedua
Riwayat ANC -
Pasien melakukan kunjungan ANC 12 kali, 3 kali pada trimester pertama di bidan, 3 kali pada trimester kedua di puskesmas, 4 kali pada trimester ketiga di puskesmas dan dokter.
4.
5.
6.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit hipertensi (-)
Diabetes melitus (-)
Alergi (-) / Asma (-)
Riwayat pengobatan rutin (-)
Riwayat TB (-)
Riwayat sakit jantung (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat TB (-)
Riwayat penyakit hipertensi (-)
Diabetes melitus (-)
Alergi (-) / Asma (-)
Riwayat sakit jantung (-)
Riwayat Personal Sosial Hubungan dengan keluarga, tetangga dan lingkungan baik. Rokok (-)
7.
Catatan Pra Anestesi Ya
C.
Tidak
Hilangnya Gigi
√
Masalah mobilisasi leher
√
Leher pendek
√
Batuk
√
Sesak nafas
√
Nyeri dada
√
Denyut jantung tidak normal
√
Kejang
√
Merokok
√
Alergi
√
Stroke
√
Pingsan
√
Muntah
√
Sedang hamil
√
Periode menstruasi tidak normal
√
Susah kencing
√
Obesitas
√
Hipertensi
√
Gigi palsu
√
Diabetes melitus
√
Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum
Keadaan Umum
: Baik
Kesadaran
: Compos mentis
Vital Sign
Tekanan Darah
: 110/70 mmHg
Frekuensi Nadi
: 83x/menit
Suhu
: 36,5oC
Frekuensi Pernapasan
: 18x/menit
Skor Nyeri
: 0 (tidak nyeri)
Berat badan
: 53 kg
Tinggi Badan
: 150 cm
BMI
: 23,56
Kepala : Normocephal Mata
: Konjungtiva anemis +/+, Sklera ikterik -/-, Pupil isokor
Hidung : Simetris, Sekret -/Mulut
: Buka mulut 3 jari, skor Mallampati II
Leher
: Pembesaran limfonodi (-), nyeri (-) , peningkatan JVP (-), leher jarak pendek (-) , jarak thyromental > 6,5 cm, pergerakan leher bebas
Thorax Jantung
Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
Palpasi
: iktus cordis teraba pada sela iga ke-4 linea midclavicula
kiri
Perkusi
Auskultasi : bunyi jantung S1-S2 regular, bising jantung (-)
: pekak, kesan tak membesar
Paru-paru
Inspeksi : simetris saat inspirasi dan ekspirasi, retraksi (-)
Palpasi
: nyeri (-/-), massa (-/-)
Perkusi
: sonor (+/+)
Auskultasi: vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Pemeriksaan Abdomen Inspeksi
: massa (-), radang (-)
Auskultasi : DJJ 136 x/menit Palpasi
: TFU 32 cm, punggung kiri, presentasi kepala, his (-)
Ekstremitas
: akral hangat, nadi kuat, CRT < 2 detik, edema (-/-)
D.
Pemeriksaan Penunjang
USG obstetri Hasil
:
Janin tunggal, memanjang, presentasi kepala, DJJ (+), gerak janin (+), AK cukup, plasenta menutupi OUI, TBJ 2488 gram. Kesan
: Plasenta previa totalis
Laboratorium tanggal 24 Agustus 2018 Parameter
Hasil
Nilai Rujukan
Satuan
9.6
12 – 16
gr/dL
Leukosit
14.12
4 – 11
ribu/uL
Eritosit
3.56
4–5
ribu/uL
Trombosit
190
150 – 450
ribu/uL
Hematokrit
28.7
36 – 46
ribu/uL
Eusinofil
1
2–4
%
Basofil
1
0–1
%
Batang
0
2–5
%
Segmen
79
51 – 67
%
Limfosit
13
20 – 35
%
Monosit
6
4–8
%
HEMATOLOGI Hemoglobin
GOL. DARAH Golongan darah
A
HEMOSTASIS PPT
12.3
12-16
detik
APTT
28.8
28-38
detik
Control PPT
13.8
11-16
detik
Control APTT
31.4
28-36.5
detik
90
80 – 200
mg/dl
DIABETES GDS ELEKTROLIT
Natrium
139.1
137 – 145
mmol/l
Kalium
3.44
3,5 – 5,1
mmol/l
Klorida
106.1
98 – 107
mmol/l
Negatip
Negatip
HEPATITIS HbsAg INFEKSI LAIN HIV screening
E.
Non reaktip
Diagnosa Klinis
Plasenta previa totalis pada multigravida aterm riwayat SC 2x, belum dalam persalinan
F.
AnemiaS
Hipokalemia Penatalaksanaan Obsgyn Pro SC + MOW Transfusi PRC 1 kolf Konsul Anestesi
G.
Penatalaksanaan Anestesi 1.
Pra Anestesi
Pasang IV line ukuran 20 + threeway
Lengkapi Informed Consent Anestesi
Puasa 8 jam sebelum operasi
Koreksi kalium beri KCL 25 mEq dalam NaCl 0,9% 500 cc Laboratorium post koreksi tanggal 27 Agustus 2018
ELEKTROLIT Natrium
139.4
137 – 145
mmol/l
Kalium
4.82
3,5 – 5,1
mmol/l
Klorida
107.9
98 – 107
mmol/l
HEMATOLOGI Hemoglobin
10.2
12.0-16.0
Tidak menggunakan perhiasan/kosmetik
Tidak menggunakan gigi palsu
Memakai baju khusus kamar bedah
2.
Anestesi
Diagnosa Pra Bedah
:
g/dl
Plasenta previa totalis pada multigravida aterm dengan riwayat SC 2x status ASA 2
Diagnosa Pasca
:
Bedah
Post SC a/i plasenta previa dan riwayat SC 2x + MOW a/i cukup anak
Jenis Pembedahan
:
SC+MOW
Jenis Anestesi
:
Regional Anesthesia
Teknik Anestesi
:
Sub Arachnoid Block
Posisi
:
Duduk
Daerah pemasangan
:
Lumbal III-IV
Obat-obat
:
Bupivacaine inj 0,5% 12,5 mg Ondancentron inj 4 mg Ketorolac inj 30 mg Oxytocin inj 10 iu Metyl ergometrin inj 0,2 mg Ephedrin inj 10 mg Asam traneksamat 1 gr
Manajemen Cairan Durante Operasi Maintenance Operasi :
2cc/kg BB
(MO)
2 cc x 51 kg = 102 cc
Pengganti Puasa (PP)
:
Lama puasa x MO 10 jam x 102 cc = 1020 cc
Stress Operasi (SO)
:
8cc/kgBB/jam (Operasi berat) 8 cc x 51 kg = 408 cc
Kebutuhan cairan I
:
(½ x PP) + MO + SO (½ x 1020) + 102 + 408 = 1020 cc
Perdarahan
:
± 300 cc
Urin output
:
± 200 cc
Total kebutuhan
:
1020 cc + 300 cc + 200 cc = 1520 cc
:
Infus RL 500 cc (2 flabot)
cairan Jumlah pemberian cairan
Infus HES 500 cc (1 flabot)
Sisa kebutuhan
:
1500 cc – 1520 cc = - 20 cc
Estimation Blood
:
65 x 51 = 3315 cc
:
60 Menit
Volume (EBV) Lama Operasi
3.
Post Anestesi
Maintanence anastesi B1 (Breathing)
: Spontan, RR 16-18 x/mnt suara nafas vesikuler
B2 (Blood)
: Perdarahan ± 300 cc, TD 100/70 mmHg, Nadi 79 x/menit
B3 (Brain)
: Compos mentis
B4 (Bladder)
: Urin output (+)
B5 (Bowel)
: Peristaltik (-)
B6 (Bone & Extr) : Edem (-/-)
Pemantauan di ruang PACU/RR Monitoring Tekanan Darah 105/57 mmHg, Nadi 77x/menit, Respirasi 16 x/menit , Saturasi O2 100 % Oksigenasi 2 lt/menit dengan nasal kanul
Skor Aldrete Pasien
Ket : Pasien boleh pindah ke bangsal jika Skor Aldrete > 8 Setelah dilakukan observasi di RR ternyata perdarahan masih berlanjut dan kondisi pasien memburuk. Vital sign TD 80/50 mmHg, Nadi 115 x/menit, napas cepat 28 x/menit dan irregular, kontraksi uterus (-) lembek. Oleh dokter spesialis obsgyn direncanakan re-open Histerektomi segera. Anestesi Diagnosa Pra Bedah
:
Syok hemoragik, post partum hemoragi et causa atonia uteri post SC a/i plasenta previa totalis
Diagnosa Pasca
:
Bedah
Post Histerektomi total a/i post partum hemoragi et causa atonia uteri
Jenis Pembedahan
:
Histerektomi
Ko-induksi
:
Injeksi Midazolam 2,5 mg Injeksi Fentanyl 50 mcg
Induksi
:
Injeksi Ketamin 50 mg Injeksi Rocuronium bromide 20 mg
Jenis Anestesi
:
General Anestesi
Teknik Anestesi
:
ETT
Pemeliharaan
:
O2 50% N2O 50% Sevoflurane 2%
Obat-obat
:
Injeksi vascon (norepinephrine) 3 cc/jam syringe pump
Manajemen Cairan Durante Operasi Maintenance Operasi :
2cc/kg BB
(MO)
2 cc x 51 kg = 102 cc
Pengganti Puasa
:
(PP) Stress Operasi (SO)
Lama puasa x MO 14 jam x 102 cc = 1428 cc
:
8cc/kgBB/jam (Operasi berat) 8 cc x 51 kg = 408 cc
Kebutuhan cairan I
:
(½ x PP) + MO + SO (½ x 1428) + 102 + 408 = 1124 cc
Perdarahan
:
± 1000 cc
Urin output
:
± 50 cc
Total kebutuhan
:
1124 cc + 1000 cc + 50 cc = 2174 cc
:
Infus RL 500 cc (5 flabot)
cairan Jumlah pemberian cairan
Infus NaCl 0,9% 500 cc (1 flabot) Transfusi PRC 250 cc (3 kolf)
Lama Operasi
:
120 menit
Post operasi pasien segera dipindah ke ICU.
H.
Perawatan di ICU
Tanggal masuk ICU: 28 Agustus 2018 Alasan Masuk ICU - Monitoring hemodinamik - Manajemen airway - Manajemem cairan Pemeriksaan fisik
- Vital sign Suhu
: 36,0oC (aksila)
Tensi
: 93/63 mmHg
Nadi
: 90 x/menit, irregular
Napas
: 21 x/menit, irreguler
MAP: 70 mmHg
- Sistem integumen Warna : kuning langsat Turgor : Lembab, edema (-) Lesi
: tidak ada
- Sistem neurologi Kesadaran: apatis Pupil
: isokor
- Sistem kardiovaskuler Irama jantung
: 92 x/menit, irregular
Palpitasi
: ada
Nyeri dada
: tidak ada
Akral
: hangat
Diaporesis
: tidak ada
Sianosis
: tidak ada
Clubbing finger : tidak ada - Sistem pernapasan Ventilasi
: dengan ventilator, FiO2: 80, Peep: 5
Suara paru
: vesikuler, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Gerakan dada
: simetris
- Sistem gastro intestinal Abdomen
: distensi
Peristlatik
: tidak ada
- Sistem genitourinaria Kandung kemih : teraba Warna urin
: jernih
Inkontinensia
: tidak ada
Jumlah urin
: 18,8 cc/jam
Laboratorium tanggal 29 Agustus 2018 Parameter
Hasil
Nilai Rujukan
Satuan
7.8
12 – 16
gr/dL
Leukosit
32.90
4 – 11
ribu/uL
Eritosit
2.90
4–5
ribu/uL
Trombosit
198
150 – 450
ribu/uL
Hematokrit
23.0
36 – 46
ribu/uL
Eusinofil
0
2–4
%
Basofil
0
0–1
%
Batang
16
2–5
%
Segmen
66
51 – 67
%
Limfosit
16
20 – 35
%
Monosit
2
4–8
%
PPT
14.0
12-16
detik
APTT
36.3
28-38
detik
Control PPT
13.8
11-16
detik
Control APTT
32.6
28-36.5
detik
140
80 – 200
mg/dl
Natrium
139.2
137 – 145
mmol/l
Kalium
4.02
3,5 – 5,1
mmol/l
Klorida
107.9
98 – 107
mmol/l
HEMATOLOGI Hemoglobin
HEMOSTASIS
DIABETES GDS ELEKTROLIT
Program terapi dokter - Inj. Cefotaxime 1 gram / 12 jam - Inj. Metronidazole 500 mg/ 8 jam
- Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam - Inj. Paracetamol 500 mg/6 jam - Fentanyl syringe pump 3 cc/jam - Vascon (norepinephrine) titrasi - Transfusi FFP 4 kolf - Transfusi PRC 2 kolf Laboratorium tanggal 1 September 2018 Parameter
Hasil
Nilai Rujukan
Satuan
Hemoglobin
11.5
12 – 16
gr/dL
Leukosit
11.31
4 – 11
ribu/uL
Eritosit
4.12
4–5
ribu/uL
Trombosit
190
150 – 450
ribu/uL
Hematokrit
33.2
36 – 46
ribu/uL
Eusinofil
0
2–4
%
Basofil
0
0–1
%
Batang
6
2–5
%
Segmen
86
51 – 67
%
Limfosit
4
20 – 35
%
Monosit
4
4–8
%
92
80 – 200
mg/dl
Natrium
141.8
137 – 145
mmol/l
Kalium
3.59
3,5 – 5,1
mmol/l
Klorida
107.2
98 – 107
mmol/l
HEMATOLOGI
DIABETES GDS ELEKTROLIT
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
RETENSI SISA PLASENTA A.
Pengertian Retensi Sisa Plasenta Retensio plasebta (placental retention) merupakan plasenta yang belum
lahir dalam setengah jam setelah janin lahir. Sedangkan sisa plasenta (rest placenta) merupakan tertinggalnya bagian plasenta dalam rongga Rahim yang dapat menimbulkan perdarahan postpartum dini (early postpartum hemorrhage) atau perdarahan postpartum lambat (late postpartum hemorrhage) yang biasanya terjadi dalam 6-10 hari pasca persalinan. Menurut Winknjosastro (2002) retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau melebihi 30 menit setelah bayi lahir.
Gambar 1. Plasenta B.
Klasifikasi Menurut Chalik (2002) klasifkasi plasenta previa didasarkan atas terabanya
jaringan plasenta melalui pembukaan jalan lahir : 1. Plasenta adhesive adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
2. Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian lapisan myometrium. 3. Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai myometrium. 4. Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus. 5. Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum uteri yang disebabkan oleh konstruksi ostium uteri.
Gambar 2. Derajat Perlekatan Plasenta
C.
Etiologi Menurut Winknjosastro (2002) penyebab terjadinya retensio plasenta
diantaranya yaitu :
Plasenta belum lepas dari dinding uterus
Plasenta sudah lepas tetapi belum dilahirkan Jika plasenta belum lepas sama sekali, tidak terjadi perdarahan. Jika lepas
sebagian terjadi perdarahan dan merupakan indikasi untuk mengeluarkannya. Faktor yang mempengaruhi pelepasan plasenta : Kelainan dari uterus sendiri, yaitu : Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhessiva),
Kelainan dari plasenta, misalnya : Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi khorialis menembus desidua sampai miometrium – sampai dibawah peritoneum (plasenta akreta-perkreta) Kesalahan manajemen kala III persalinan, seperti : manipulasi dari uterus yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta dapat menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik, pemberian uterotonik yang tidak tepat waktunya juga dapat menyebabkan serviks kontraksi (pembentukan constriction ring) dan menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta). D.
Patofisiologi Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi. Kontraksi dan
retraksi otot-otot uterus menyelesaikan proses ini pada akhir persalinan. Sesudah berkontraksi, sel miometrium tidak relaksasi, melainkan menjadi lebih pendek dan lebih tebal. Dengan kontraksi yang berlangsung kontinyu, miometrium menebal secara progresif, dan kavum uteri mengecil sehingga ukuran juga mengecil. Pengecian mendadak uterus ini disertai mengecilnya daerah tempat perlekatan plasenta. Ketika jaringan penyokong plasenta berkontraksi maka plasenta yang tidak dapat berkontraksi mulai terlepas dari dinding uterus. Tegangan yang ditimbulkannya menyebabkan lapis dan desidua spongiosa yang longgar memberi jalan, dan pelepasan plasenta terjadi di tempat itu. Pembuluh darah yang terdapat di uterus berada di antara serat- serat oto miometrium yang saling bersilangan. Kontraksi serat-serat otot ini menekan pembuluh darah dan retaksi otot ini mengakibatkan pembuluh darah terjepit serta perdarahan berhenti. Pengamatan terhadap persalinan kala tiga dengan menggunakan pencitraan ultrasonografi secara dinamis telah membuka perspektif baru tentang mekanisme kala tiga persalinan. Kala tiga yang normal dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu: 1. Fase laten, ditandai oleh menebalnya duding uterus yang bebas tempat plasenta, namun dinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis. 2. Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat plasenta melekat (dari ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm).
3. Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan pemisahannya dari dinding uterus dan lepas. Tidak ada hematom yang terbentuk antara dinding uterus dengan plasenta. Terpisahnya plasenta disebabkan oleh kekuatan antara plasenta yang pasif dengan otot uterus yang aktif pada tempat melekatnya plasenta, yang mengurangi permukaan tempat melekatnya plasenta. Akibatnya sobek di lapisan spongiosa. 4. Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur. Saat plasenta bergerak turun, daerah pemisahan tetap tidak berubah dan sejumlah kecil darah terkumpul di dalam rongga rahim. Ini menunjukkan bahwa perdarahan selama pemisahan plasenta lebih merupakan akibat, bukan sebab. Lama kala tiga pada persalinan normal ditentukan oleh lamanya fase kontraksi. Dengan menggunakan ultrasonografi pada kala tiga, 89% plasenta lepas dalam waktu satu menit dari tempat implantasinya. Tandatanda lepasnya plasenta adalah sering ada pancaran darah yang mendadak, uterus menjadi globuler dan konsistensinya semakin padat, uterus meninggi ke arah abdomen karena plasenta yang telah berjalan turun masuk ke vagina, serta tali pusat yang keluar lebih panjang. Sesudah plasenta terpisah dari tempat melekatnya maka tekanan yang diberikan oleh dinding uterus menyebabkan plasenta meluncur ke arah bagian bawah rahim atau atas vagina. Kadang-kadang, plasenta dapat keluar dari lokasi ini oleh adanya tekanan inter- abdominal. Namun, wanita yang berbaring dalam posisi terlentang sering tidak dapat mengeluarkan plasenta secara spontan. Umumnya, dibutuhkan tindakan artifisial untuk menyempurnakan persalinan kala ini. Metode yang biasa dikerjakan adalah dengan menekan dan mengklovasi uterus, bersamaan dengan tarikan ringan pada tali pusat. E.
Faktor Predisposisi Menurut Saifuddin (2009), faktor predisposisi retensio plasenta antara lain:
Grandemultipara
Paritas mempunyai pengaruh terhadap kejadian perdarahan postpartum yang diakibatkan retensio plasenta karena pada setiap kehamilan dan persalinan terjadi penurunan sel-sel desidua.
Kehamilan ganda, sehingga memerlukan implantasi plasenta yang luas.
Kuret berulang
Plasenta previa, karena dibagian isthmus, pembuluh darah sedikit, sehingga perlu lebih masuk kedalam perlekatannya.
F.
Bekas seksio caesaria
Tanda dan Gejala Klinis Menurut Nugroho, T (2012), menyatakan bahwa tanda dan gejala yang selalu
ada, antara lain: 1)
Plasenta belum lahir setelah 30 menit lahirnya janin.
2)
Perdarahan segera.
3)
Kontraksi uterus yang kurang baik.
Selain tanda dan gejala yang selalu ada, berikut tanda da gejala yang kadangkadang ada, antara lain:
G.
1)
Tali pusat putus akibat tarikan berlebihan.
2)
Inversio terus akibat tarikan.
3)
Perdarahan lanjutan.
Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi meliputi :
Perdarahan
Kolaps sirkulasi dan penurunan perfusi organ.
Sepsis
Menurunnya potensi paritas
ANESTESI Tindakan anestesi yang memadai meliputi tiga komponen yaitu hipnotik (tidak sadarkan diri = mati ingatan), analgesi (bebas nyeri = mati rasa) dan relaksasi otot rangka (mati gerak). Untuk mencapai ketiga target tersebut dapat digunakan hanya dengan menggunakan satu jenis obat, misalnya eter atau dengan memberikan beberapa kombinasi obat yang mempunyai efek khusus seperti tersebut di atas, yaitu obat yang khusus sebagai hipnotik, khusus sebagai anelgesi dan khusus sebagai obat pelumpuh otot. Ketiga target anestesi tersebut populer disebut dengan “ Trias Anestesi”. A.
Anestesi Umum Anestesi umum adalah keadaan fisiologis yang berubah ditandai dengan
hilangnya kesadaran reversibel, analgesia dari seluruh tubuh, amnesia, dan beberapa derajat relaksasi otot (Morgan et al., 2006). Ketidaksadaran tersebut yang memungkinkan pasien untuk mentolerir prosedur bedah yang akan menimbulkan rasa sakit tak tertahankan, yang mempotensiasi eksaserbasi fisiologis yang ekstrim, dan menghasilkan ingatan yang tidak menyenangkan. Selama anestesi umum, seseorang tersebut tidak sadar tetapi tidak dalam keadaan tidur yang alami. Seorang pasien dibius dapat dianggap sebagai berada dalam keadaan terkontrol, keadaan tidak sadar yang reversible. Anestesi umum tidak terbatas pada penggunaan agen inhalasi. Banyak obat yang diberikan secara oral, intramuskular, dan intravena yang menambah atau menghasilkan keadaan anestesi dalam rentang dosis terapi. Tetapi saat ini anestesi umum biasanya menggunakan sediaan intravena dan inhalasi untuk memungkinkan akses bedah yang memadai ke tempat yang akan di operasi. Hal yang perlu dicatat adalah bahwa anestesi umum mungkin tidak selalu menjadi pilihan terbaik. Semua itu tergantung pada presentasi klinis pasien, dan anestesi lokal atau regional mungkin lebih tepat. Menurut Torpy (2011), beberapa obat yang paling umum digunakan untuk memberikan anestesi umum adalah:
Propofol, menghasilkan ketidaksadaran (induksi anestesi umum). Dalam dosis kecil, dapat digunakan untuk memberikan sedasi
Benzodiazepin, mengurangi kecemasan tepat sebelum operasi. Beberapa obat-obatan yang mengurangi kecemasan juga dapat membantu menahan terjadinya ingatan dari sebuah kejadian
Narkotika, mencegah atau mengobati rasa sakit
Agen anestesi volatil (mudah menguap), terhirup dalam campuran gas yang mengandung oksigen. Kadang-kadang, untuk menghindari memulai jalur intravena (IV) pada bayi dan anak-anak, agen volatile diberikan melalui masker untuk induksi anestesi umum
Obat lain termasuk agen antiemetic (untuk melindungi terhadap mual dan muntah), relaksan otot, obat-obatan untuk mengontrol tekanan darah atau heart rate, dan obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID)
B.
Total Intravenous Anesthesia (TIVA) Total Intravenous Anesthesia (TIVA) atau Anestesi Intravena adalah teknik
anestesi umum di mana induksi dan pemeliharaan anestesi didapatkan dengan hanya menggunakan kombinasi obat-obatan anestesi yang dimasukkan lewat jalur intra vena tanpa penggunaan anestesi inhalasi termasuk N2O. TIVA dalam anestesi umum digunakan untuk mencapai 4 komponen penting dalam anestesi yaitu ketidaksadaran, analgesia, amnesia dan relaksasi otot. Namun tidak ada satupun obat tunggal yang dapat memenuhi kriteria di atas, sehingga diperlukan pemberian kombinasi dari beberapa obat untuk mencapai efek yang diinginkan tersebut (Aun, et al., 2013; Sear, 2008). Beberapa kelebihan TIVA secara umum, yaitu: 1) Dapat dikombinasikan atau terpisah dan dapat dititrasi dalam dosis yang lebih akurat dalam pemakaiannya. 2) Tidak mengganggu jalan nafas pada pasien 3) Mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat-alat serta mesin anestesi khusus. 4) Cepat menghasilkan efek hypnosis. 5) Mempunyai efek analgesi. 6) Disertai amnesia pasca anestesi. 7) Cepat dieliminasi oleh tubuh.
8) Dampak yang tidak baik mudah dihilangkan oleh obat antagonisnya. Sedangkan, keuntungan dari farmakologi TIVA bila dibandingkan dengan agen anestesi inhalasi menurut Aun, et al. (2013) yaitu: 1) Induksi anestesi yang lebih lembut tanpa batuk ataupun cegukan. 2) Mudah dalam mengendalikan kedalaman anestesi ketika menggunakan obat dengan waktu kesetimbangan darah-otak yang singkat. 3) Hampir semua agen TIVA memilki onset yang cepat dan dapat diprediksi dengan efek hangover yang minimal. 4) Angka kejadian PONV yang rendah. 5) Sebagian besar menurunkan CBF dan CMRO2 sehingga ideal untuk bedah saraf. 6) Tingkat toksisitas organ yang rendah. Disamping beberapa keuntungan tersebut, tentu TIVA memiliki beberapa kerugian, yaitu (Masui, 2009); 1) Nyeri pada saat penyuntikan propofol. 2) Membutuhkan pompa infus yang canggih dengan algoritma untuk peralatan TCI. 3) Variasi farmakokinetik dan farmakodinamik individu yang lebih besar. 4) Terdapat variasi individu terhadap kedalaman anestesi yang dimonitor menggunakan Bispectral Index (BIS). 5) Sulit memperkirakan konsentrasi plasma propofol dalam waktu singkat. 6) Sulit memonitor pemberian intravena kontinyu. 7) Pada anak-anak waktu paruh context-sensitive mengalami sedikit pemanjangan dibandingkan dengan dewasa yang ditunjukkan dengan dosis propofol yang lebih tinggi. 8) Sindroma infuse propofol Penggunaan TIVA pada praktek sehari-hari diindikasikan pada beberapa kondisi, seperti: 1) Obat induksi anastesi umum. 2) Obat tunggal untuk anastesi pembedahan singkat. 3) Tambahan untuk obat inhalasi yang kurang kuat.
4) Obat tambahan anastesi regional. 5) Menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan SSP. Metode pemberian obat hipnotik, analgesik dan relaksan otot yang merupakan komponen dari TIVA dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: 1) Bolus intermiten 2) Infus kontinyu menggunakan syringe infusion pumps atau sejenisnya 3) Dengan target controlled infusion system (TCI) C.
Kunjungan Pra Anestesi Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik
elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan pra anestesi adalah:
Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal
Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yangsesuai dengan fisik dan kehendak pasien
Menentukan status fisik klasifikasi ASA (American Society Anesthesiology)
D.
Klasifikasi ASA ASA (American Society of Anesthesiologists) membuat klasifikasi
berdasarkan status fisik pasien pra anestesi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai berikut :
ASA 1 : yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi
ASA 2 : yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut dengan lekositosis dan febris
ASA 3 : yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diaktibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis perforasi dengan septi semia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia miokardium
ASA 4 : yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam kehiduannya
ASA 5 : yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau tidak. Contohnya pasien tua dengan perdarahan basis krani dan syok hemoragik karena ruptura hepatik
ASA 6 : yaitu pasien mati batang otak
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) tanda darurat E.
Premedikasi Anestesi Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi dilakukan.
Tujuan premedikasi bukan hanya untuk mempermudah induksi dan mengurangi jumlah obat-obatan yang digunakan, tetapi terutama untuk menenangkan pasien sebagai persiapan anestesi. Tindakan premedikasi ini mempunyai tujuan antara lain untuk memberikan rasa nyaman bagi pasien, membuat amnesia, memberikan analgesia, mencegah muntah, memperlancar induksi, mengurangi jumlah obat-obat anestesi, menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas.
Midazolam Midazolam merupakan suatu golongan imidazo-benzodiazepin dengan sifat yang sangat mirip dengan golongan benzodiazepine. Merupakan benzodiapin kerja cepat yang bekerja menekan SSP. Midazolam berikatan dengan reseptor benzodiazepin yang terdapat diberbagai area di otak seperti di medulla spinalis, batang otak, serebelum system limbic serta korteks serebri. Efek induksi terjadi sekitar 1,5 menit setelah pemberian intra vena bila sebelumnya diberikan premedikasi obat narkotika dan 2-2,5 menit dengan tanpa premedikasi narkotika sebelumnya. Midazolam diindikasikan pada premedikasi sebelum induksi anestesi, basal sedasion sebelum tindakan diagnostic atau pembedahan yang dilakukan di bawah anestesi local serta induksi dan pemeliharaan selama anestesi. Obat ini dikontraindikasikan pada keadaan sensitive terhadap golongan benzodiazepine, pasien dengan insufisiensi pernafasan, acut narrow-angle claucoma.
Dosis premedikasi sebelum operasi Pemberian intramuskular pada penderita yang mengalami nyeri sebelum tindakan bedah, pemberian tunggal atau kombinasi dengan antikolinergik atau analgesik. Dewasa : 0,07- 0,1 mg/kgBB secara IM sesuai dengan keadaan umum pasien, lazimnya diberikan 5 mg. Dosis usia lanjut dan pasien lemah 0,025–0,05 mg/ kg BB (IM). Untuk basal sedation pada dewasa tidak melebihi 2,5 mg IV 5-10 menit sebelum permulaan operasi, pada orang tua dosis harus diturunkan 1- 1,5 mg dengan total dosis tidak melebihi 3,5 mg IV. Midazolam mempunyai efek samping Efek yang berpotensi mengancam jiwa : midazolam dapat mengakibatkan depresi pernafasan dan kardiovaskular, iritabilitas pada ventrikel dan perubahan pada kontrol baroreflek dari denyut jantung.Efek yang berat dan ireversibel : selain depresi SSP yang berhubungan dengan dosis, tidak pernah dilaporkan efek samping yang ireversibel Efek samping simtomatik : agitasi, involuntary movement, bingung, pandangan kabur, nyeri pada tempat suntikan, tromboflebitis dantrombosis. Midazolam dapat berinteraksi dengan obat alkohol, opioid, simetidin, ketamin.
Fentanil Fentanil merupakan opioid sintetikyang agonis selektif yang bekerja terutama pada reseptor µ dengan sedikit berpengaruh pada reseptor δdan κ. Fentanil merupakan opioid yang poten, mempunyai potensi analgesia 100-300 kali efek morfin. Bersifat lipofilikyang memungkinkan masuk ke struktur susunan saraf pusat dengan cepat. Sistemtransdermal menghantarkan fentanil, dari reservoir dengan jumlah yang hampir konstan per unit waktu. Perbedaan konsentrasi yang timbul antara larutan jenuh obat di dalam reservoir dan konsentrasi yang rendah di dalam kulit mendorong pelepasan obat fentanil bergerak ke arah konsentrasi yang lebih rendah dengan kecepatan yang ditentukan oleh membran pelepas kopolimerdan difusi fentanil melalui lapisan kulit. Meskipun kecepatan aktual penghantaran fentanil ke kulit berbeda selama periode pemakaian 72 jam, tiap sistim dilabel dengan fluks nominal yang mencerminkan jumlah rata-rata obat yang dihantarkan ke sirkulasi sistemik melalui kulit
Metabolit utama dari fentanil adalah norfentanil, sedangkan metabolit minornya adalah hidroksipropionil-fentanil dan hidroksipropionil-norfentanil, yang tidak mempunyai aktivitas farmakologi. Sejumlah kecil alkohol yang tergabung dalam sistem peningkatan kecepatan fluks obat melalui membran kopolimer yang membatasi kecepatan dan meningkatkan permeabilitas kulit terhadap fentanil. Farmakokinetik Fentanyl Setelah penempelan sistim fentanyl, konsentrasi fentanil serum akan meningkat mencapai 12-18 jam sampai tercapai tahap plateu. Bila sistim ini dibiarkan tertinggal menempel, konsentrasi fentanil hanya akan meningkat sedikit setelah 24 jam. Setelah pelepasan sistim, konsentrasi fentanil akan menurun perlahan, dengan waktu paruh terminal mencapai 15-21 jam. Opioid memediasi 3 reseptornya, µ, β, dan δ, dengan reseptor µ dibagi menjadi 2 yaitu µ1 dan µ2. Aktivasi dari setiap reseptor akan memberikan efek analgesik supraspinal dan spinal, menurunkan motilitas gastrointestinal, sedasi dan depresi pernafasan. Fentanil mempunyai afinitas yang tinggi pada reseptor µ, dan rendah pada δdan β. Sifat analgesi dari fentanil 75 sampai 100 kali dari morfin, perbedaan ini kemungkinan karenasifat lipofilik dari fentanil yang memungkinkan lebih cepat melewati sawar darah otak. F.
Induksi
Ketamin Derivat phencyclidine ini diformulasikan dalam bentuk campuran racemic. Di antara agen anestetik lainnya ketamin mempunyai keunggulan dengan menimbulkan efek hipnotik dan analgesi sekaligus berkaitan dengan dosis yang diberikan. Ketamin memiliki efek yang beragam pada sistem saraf pusat, menghambat reflex polisinaptik di medulla spinalis dan neurotransmiter eksitasi di area tertentu otak. Ketamin memutus hubungan thalamus (penghubung impuls sensoris dari sistem aktivasi retikuler ke korteks serebri) dengan korteks limbus (berperan pada sensasi waspada), secara klinis disebut juga anestesi disosiasi, di mana pasien tampak sadar (mata terbuka, reflek menelan dan kontraksi otot) tetapi tidak mampu mengolah dan merespon input sensorisnya. Ketamin juga merupakan antagonis reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate). Pada dosis sub anestesi ketamin
dapat menimbulkan halusinasi yang dapat dicegah dengan pemberian midazolam ataupun agen hipnotik lainnya. Didahului dengan premedikasi benzodiazepin, ketamin 1-2 mg/kg IV dapat digunakan untuk induksi anestesi dengan durasi sekitar 10-20 menit setelah dosis tunggal induksi, dengan tambahan waktu 60-90 menit untuk pulih sadar dengan orientasi yang utuh. Efek analgesik mulai timbul pada dosis sub anestetik antara 0,1-0,5 mg/kg IV dan konsentrasi plasma antara 85-160 ng/ml. Dosis rendah dengan infus sebesar 4 μg/kg/mnt IV telah dilaporkan dapat menghasilkan efek analgesi post operatif yang sama dengan infus morphin 2 mg/jam IV. Farmakokinetik a.
Absorbsi Ketamin dapat diberikan secara oral, nasal, rektal, subkutan dan epidural. Tapi secara umum di dalam klinis biasanya diberikan secara IV atau IM. Kadar puncak pada plasma tercapai dalam waktu 10-15 menit setelah injeksi intra muskular.
b.
Distribusi Ketamin lebih laarut dalam lemak dan kurang terikat dengan protein dibandingkan dengan thiopental, sehingga uptake-nya oleh otak dan proses redistribusinya berlangsung cepat (waktu paruhnya 10-15 menit). Terminasinya akibat dari redistribusi dari otak ke kompartemen perifer.
c.
Biotransformasi dan eksresi Ketamin mengalami proses biotransformasi di hati yang menghasilkan beberapa metabolit, salah satunya norketamin yang masih memiliki efek anestesi. Ekstraksi hepatiknya tinggi, sehingga memiliki waktu paruh eliminasi yang relatif pendek (2 jam). Produk akhir ketamin dieksresikan oleh ginjal.
Efek pada sistem organ a.
Kardiovaskuler Ketamin meningkatkan tekanan darah arteri, denyut jantung dan cardiac output,
terutama
setelah
injeksi
bolus
cepat.
Efek
tersebut
disebabkan oleh stimulasi sentral pada sistem saraf simpatis dan inhibisi pada reuptake norepinephrine setelah dilepaskan pada terminal saraf.
b.
Respirasi Ventilatory drive sedikit dipengaruhi oleh ketamin dosis induksi, walaupun dengan pemberian bolus IV cepat atau kombinasi dengan opioid dapat menyebabkan apnea. Ketamin racemic merupakan bronkodilator yang poten, sehingga berguna sebagai agen induksi untuk pasien ashma, sedangkan ketamin S(+) mempunyai efek bronkodilator yang minimal. Refleks saluran nafas atas terjaga dengan baik, walaupun juga dapat terjadi obstruksi parsial, sehingga pasien dengan resiko aspirasi (lambung penuh) sebaiknya diintubasi selama anestesi umum dengan ketamin. Hipersalivasi akibat ketamin dapat diatasi dengan premedikasi agen antikolinergik seperti glycopyrrolate.
c.
Otak Ketamin meningkatkan konsumsi oksigen otak, CBF dan tekanan intra kranial, sehingga penggunaannya dihindari pada keadaan space occupying intracranial lesions seperti yang terjadi pada trauma kepala. Tetapi dari penelitian-penelitian terakhir, dengan bukti yang kuat bila dikombinasikan dengan benzodiazepin (atau agen lain yang bekerja pada sistem reseptor GABA yang sama) dan dengan kontrol ventilasi tetapi tanpa menggunakan N2O, ketamin tidak menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial. Ketamin meningkatkan aktivitas listrik subkortikal sehingga menimbulkan gerakan myoklonik. Efek samping psikomimetik akibat ketamin jarang terjadi jika dikombinasikan dengan benzodiazepin pada teknik TIVA.
Propofol Propofol mengikat reseptor GABAA, sehingga meningkatkan afinitas ikatan GABA dengan reseptor GABAA, yang akan menyebabkan hiperpolarisasi membran saraf. Injeksi propofol IV akan menimbulkan nyeri yang dapat dikurangi dengan pemberian injeksi lidokain sebelumnya atau dengan mencampurkan lidokain 2% dengan 18 ml propofol sebelum penyuntikkan. Formulasi propofol mudah terkontaminasi dengan pertumbuhan bakteri, sehingga harus digunakan dengan teknik yang steril dan tidak boleh dipakai setelah 6 jam pembukaan ampul.
Obat ini dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1 % (1 ml = 10 mg) dan pH 7 - 8. Induksi anestesi dengan propofol berlangsung dengan lembut dengan hanya sedikit menimbulkan efek samping eksitasi. Dosis 1-2,5 mg/kg (tergantung pada usia dan status fisik pasien serta penggunaan premedikasi) menghasilkan induksi anestesi dalam waktu 30 detik. Pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler harus diberikan dosis induksi yang lebih rendah. Farmakokonetik: a.
Absorbsi Propofol hanya tersedia dalam bentuk pemberian secara IV untuk induksi dan pemeliharaan anestesi.
b. Distribusi Onset kerja propofol cepat, begitu pula dengan durasinya yang pendek pada pemberian bolus dosis tunggal dikarenakan pendeknya distribusi waktu paruhnya (2-8 menit). Pada lansia direkomendasikan pengurangan dosis induksi dan laju infus propofol yang diberikan, karena Vd mereka yang lebih kecil. c. Biotransformasi dan eksresi Propofol dimetabolisme dengan cepat menjadi metabolit inaktif dan dieksresikan melalui ginjal. Laju klirens propofol (20-30 ml/kg/mnt) melampaui aliran darah hepar, sehingga diduga propofol juga dimetabolisme di organ yang lain seperti paru (ekstra hepatik). Efek pada sistem organ a. Kardiovaskuler Propofol menghambat aktivitas simpatis vasokonstriktor sehingga menurunkan resistensi pembuluh darah perifer, preload dan kontraktilitas otot jantung yang akhirnya akan menurunkan tekanan darah arteri. Hipotensi yang terjadi saat induksi biasanya akan pulih akibat dari stimulasi laringoskopi dan intubasi. Hipotensi pada iduksi propofol dipengaruhi oleh dosis yang besar, kecepatan injeksi dan usia tua. Propofol secara nyata mempengaruhi barorefleks arterial terhadap hipotensi. Perubahan pada denyut jantung dan cardiac output biasanya
hanya
sementara
dan tidak bermakna pada pasien yang sehat, tetapi dapat diperparah pada pasien lansia, konsumsi β-adrenergic blockers atau pada pasien dengan gangguan fungsi ventilasi. b. Respirasi Pada dosis induksi propofol menekan secara dalam fungsi pernafasan hingga menyebabkan apnea. Meski hanya dengan dosis sub anestetik propofol menghambat respon normal terhadap hiperkarbia. Propofol menekan refleks jalan nafas atas melebihi thiopental sehingga tindakan intubasi, endoskopi dan pemasangan LMA dapat dilakukan tanpa blokade neuromuskular. Walaupun melepaskan histamin, timbulnya wheezing pada pasien ashma yang diinduksi dengan propofol jarang terjadi. c. Otak Propofol menurunkan CBF, cerebral metabolitrate dan tekanan intra kranial. Ketika dosis besar diberikan, efek penurunan tekanan darah sistemik yang nyata dapat menurunkan CPP. Autoregulasi pembuluh darah otak dalam merespon perubahan tekanan darah arteri dan reaksi CBF terhadap perubahan tekanan CO2 tidak mengalami perubahan. Propofol memiliki kemampuan yang sama dengan thiopental sebagai protektor otak terhadap fokal iskemia. Induksi propofol dapat disertai dengan fenomena eksitasi seperti kedutan otot, gerakan spontan, ophisthotonus dan cegukan. Propofol mempunyai efek antikonvulsan dan dapat digunakan untuk mengatasi keadaan status epileptikus. G.
Pemeliharaan
Nitrous Oksida Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudahterbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapidapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larutdalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, olehkarena itu pada operasi
abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%. Sevofluran Sevoflurane termasuk senyawa baru yang ditemukan pada awal dekade 1970 oleh Walin et al di laboratorium travenol. Seperti halnya desflurane, sevoflurane mempunyai daya larut yang rendah akibat fluoronisasi pada molekul eter. Sevoflurane (2,2,2-trifluoro-1-(trifluoromethyl)ethyl fluoromethyl eter), disebut juga sebagai fluoromethyl hexafluoroisopropyl ether, berbau sedap, tidak mudah terbakar. Sevoflurane sebagai anestetika baru berbeda dengan isoflurane terutama dalam hal mobilitasnya. Sevoflurane mempunyai kelarutan yang lebih rendah dalam darah, yang meningkatkan kecepatan bersihannya dan kecepatan dalam mengatur kedalaman anesthesia. Karakteristik tersebut cocok dengan keperluan anestesi masa kini. Seperti desflurane, sevoflurane adalah senyawa halogenasi dengan fluorine. Sevoflurane memiliki solubilitas sedikit lebih tinggi daripada desflurane (0.65 vs 0.42). Sevoflurane merupakan agen inhalasi yang wangi dengan peningkatan konsentrasi di alveolar yang cepat sehingga menjadi pilihan yang sempurna sebagai obat induksi pada pasien pediatrik dan dewasa. Bahkan, induksi inhalasi dengan 4-8% sevoflurane dengan campuran 50% oksigen dan nitrous okside dapat dicapai dalam waktu 1-3 menit. Oleh karena solubilitas dalam darah yang rendah yang mengakibatkan penurunan konsentrasi di alveolar segera setelah dihentikan sehingga fase pulih sadar lebih cepat jika dibandingkan dengan isoflurane. Namun fase pulih sadar yang cepat ini telah dihubungkan dengan insidensi delirium yang tinggi paska pembedahan yang dapat diatasi dengan fentanyl 1-2 ug/kgBB.
Sevoflurane mempunyai efek depresi kontraktilitas miokard yang ringan. Resistensi vaskuler sistemik dan tekanan darah arterial lebih sedikit menurun jika dibandingkan dengan isoflurane atau desflurane. Karena sevoflurane memiliki efek yang minimal pada nadi, maka jika terjadi peningkatan nadi, curah jantung tidak dapat terjaga dengan sebaik pada pemberian isoflurane ataupun desflurane.
BAB III PEMBAHASAN
Pasien seorang G3P2A0 Ah2 usia kehamilan 37 minggu datang ke IGD RSUD Panembahan Senopati Bantul dengan keluhan keluar darah dari jalan lahir sejak pukul 11.30 WIB sebanyak satu pembalut penuh. Warna darah merah segar, pasien tidak merasakan nyeri. Riwayat jatuh atau terbentur disangkal. Pasien mengaku pernah mengalami perdarahan sebelumnya selama masa kehamilan ini yaitu pada usia kehamilan 32 minggu dan menurut hasil pemeriksaan dokter spesialis kandungan pada saat itu mengarah ke gambaran plasenta previa totalis. Dari dokter kandungan, pasien direncanakan untuk dilakukan operasi Sectio Caesarea. Dari segi anestesi, mulai dari anamnesis pasien tidak didapatkan adanya penyulit, tidak ada kelainan organ/ gangguan fisiologi, biokimia dan psikiatri. Namun, pada hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia ringan dan hipokalemia. Sehingga, faktor resiko pasien menurut ASA (American Society of Anesthesiologist) status pasien adalah ASA 2 dengan resiko mortalitas 0,27 – 0,4%. Kemudian dilakukan pemeriksaan mallampati score untuk menilai kesulitan saat dilakukan intubasi, yakni dengan melihat penampakan faring posterior. Pada pemeriksaan pasien didapatkan uvula dan palatum molle tervisualisasi sedangan pilar faring tidak terlihat. Hal ini berarti skor malampati pasien adalah mallampati 2. Dilakukan operasi section caesarea dengan anestesi regional SAB karena metode anestesi tersebut dianggap paling baik untuk operasi SC karena efek terhadap sirkulasi maternal-fetal sangat minimal. Selama anestesi berlangsung, perlu dimonitor hal-hal sebagai berikut: Minute volume, Volume tidal, dan respiration rate. Jika tiga hal ini dapat dikontrol, maka anestesi dapat dikatakan berjalan dengan aman. Setelah operasi selesai, pasien dipindahkan ke ruang pulih sadar. Pasien di evaluasi dengan skor alderete dan dimonitor tanda vitalnya. Berdasarkan kriteria skala pulih sadar yang dinilai pada pasien ini, didapatkan skor alderete pada 15 menit pertama dengan nilai 9, yang artinya pasien dapat dipindahkan dari ruang
pulih sadar ke bangsal/ ruang perawatan. Namun, setelah observasi lebih lama didapatkan penurunan kondisi, vital sign memburuk, serta perdarahan masih berlanjut yang kemungkinan diakibatkan uterus tidak berkontraksi karena pada palpasi didapatkan uterus lembek sehingga oleh dokter spesialis kandungan direncakanan Histerektomi segera. Dengan berubahnya kondisi pasien menjadi syok hemoragik dengan perdarahan yang masih terus berjalan maka untuk operasi yang kedua status ASA pasien pun berubah menjadi ASA 4 dengan mortalitas 7,8-23 % karena kondisi pasien tersebut dianggap sebagai suatu kondisi/penyakit yang melemahkan dan termasuk gangguan sistemik yang mengancam jiwa. Dilakukan anestesi umum dengan pemasangan Endotracheal Tube untuk menjaga patensi jalan napas pasien. Pemilihan obat yang digunakan untuk premedikasi pada pasien ini disesuaikan dengan kebutuhan anestesi. Prinsipnya adalah mencapai trias anestesi yaitu, hipnotik, analgesi, dan relaksasi. Trias anestesi ini dapat didapatkan dengan menggunakan obat-obatan yaitu midazolam, fentanyl, ketamindan rocuronium. Penentuan dosis obat-obatan yang digunakan sesuai dengan berat badan pasien ini yaitu 51 kg. Dengan berat badan tersebut, didapatkan dosis yang sesuai adalah, Midazolam 2,5 mg, Fentanyl 50 mcg, Ketamin 50 mg, dan roculax 20 mg.. Sementara, pemeliharaan anestesi dilakukan dengan pemasangan endotracheal tube dan memberikan O2 dengan konsentrasi 50%, N20 dengan konsentrasi 50% dan Sevoflurane 2%. Setelah selesai operasi, pasien segera dipindahkan ke Intensive Care Unit (ICU) karena masuk dalam indikasi masuk ICU yaitu pasien post operasi yang membutuhkan monitoring hemodinamik/bantuan ventilator atau perawatan yang ekstensif.
BAB IV KESIMPULAN
Sebelum dilakukan anestesi dalam setiap tindakan operasi sebaiknya dokter dan perawat anestesi melakukan evaluasi atau penilaian dan persiapan pra anestesi pada pasien-pasien yang akan melakukan tindakan operasi. Selain itu perlu diperhatikan pertimbangan-pertimbangan anestesi seperti anamnesa pasien, mengetahui riwayat pasien sangatlah penting, yang termasuk riwayat adalah indikasi prosedur operasi, informasi mengenai anestesi sebelumnya, dan pengobatan saat ini. Pemeriksaan fisik pasien yang harus dilakukan dengan teliti dan hati-hati tapi focus, perhatian ekstra ditujukan untuk evaluasi terhadap jalan napas, jantung, paru, dan pemeriksaan neurologi dan juga dilakukan evaluasi resiko perdarahan dan thrombosis serta evaluasi jalan nafas (mallampati). Pemeriksaan umum seperti tanda vital, kepala dan leher, precordium, paru-paru, abdomen, ektremitas, punggung dan neurologi. Pemeriksaan penunjang juga dilakukan
jika
ada
indikasi
tertentu
yang
didapatkan
dari
anamnesa
dan pemeriksaan fisik. Setelah itu baru dilakukan pengklasifikasian status fisik pasien menggunakan
ASA (American Society
of
Anaesthesiologist)
yang
merupakan klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai status fisik pasien praanestesi.
DAFTAR PUSTAKA
Achsanuddin, H. 2007. Peranan Ruangan Perawatan Intensif (ICU) dalam Memberikan Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit. Universitas Sumatera Utara. Medan.. Barash PG, Cullen FB, Stoelting RK. Section V Management Of Anesthesia In Handbook Of Clinical Anesthesia. 4th Ed, Philadelphia: Lipincott Williams And Wilkins Company. p:593-606 Boulton Thomas dan Blogg Colin E. 1994. Anestesiologi. EGC: Jakarta. Gunawan Sulistia G, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. FKUI: Jakarta Chalik TMA. 2002. Hemoragi Utama Ostetri dan Ginekologi. Widya Medika. Jakarta Direktorat
Jenderal
Bina
Upaya
Kesehatan.
2011.
Petunjuk
Teknis
Penyelenggaraan Pelayanan Intensive Care Unit di Rumah Sakit. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI. Gunawan Sulistia G, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. FKUI: Jakarta Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1778/MENKES/SK/XII/ 2010. Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan ICU di Rumah Sakit. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology. 4th Ed, McGrawHill’s Neal M.J. 2006. At A Glance Farmakologi Medis Edisi Kelima. Erlangga: Jakarta Price, A Sylvia, Wilson, M Lorraine. 2006. Gangguan Volume, Osmolalitas, dan Elektrolit Cairan. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Edisi 6 Vol.1Jakarta: EGC.Hal:328-373 Sjamsuhidajat, R, Jong de Wim. 2005. Syok.Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC.118-124.
Sudoyo, W Aru,dkk. 2006. Syok Hipovolemik .Dalam : Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV Jilid 1. Pusat Penerbitan FKUI. Jakarta. Hal:183-184