Lapsus Tiva Pada Kuret (ikrima).docx

  • Uploaded by: Ikrima Kamillah
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lapsus Tiva Pada Kuret (ikrima).docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,766
  • Pages: 41
BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Kuretase merupakan salah satu prosedur obstetrik dan ginekologi yang sering dilakukan. Baik untuk pengosongan sisa konsepsi dari kavum uteri akibat abortus ataupun untuk mengetahui kelainan perdarahan uterus pada kasus ginekologi. Prosedur ini berlangsung dalam waktu singkat. Kasus

yang

membutuhkan

tindakan

kuretase

bermacam-macam,

diantaranya abortus, blighted ovum, plasenta rest, dan hamil anggur. Ada juga kasus kuret yang ditujukan untuk diagnostik seperti biopsi endometrium.1 Pada setiap pembedahan diperlukan upaya untuk menghilangkan nyeri. Keadaan itu disebut anestesia. Anastesi berasal dari Bahasa Yunani yaitu An berati tidak, dan Aesthesis berarti rasa atau sensasi. Sehingga anestesi berarti suatu keadaan hilangnya rasa atau sensasi tanpa atau disertai dengan hilangnya kesadaran. Anestesi adalah keadaan tanpa rasa (without sensation) tetapi bersifat sementara dan dapat kembali kepada keadaan semula . Anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu : (1) anestesi lokal, yaitu suatu tindakan menghilangkan nyeri lokal tanpa disertai hilangnya kesadaran, dan (2) anestesi umum yaitu keadaan ketidaksadaran yang reversibel yang disebabkan oleh zat anestesi, disertai hilangnya sensasi sakit pada seluruh tubuh. Sebagian besar operasi (70-75%) dilakukan dengan anestesi umum, lainnya dengan anestesi lokal/regional.2 Nyeri saat kuretase timbul akibat dilatasi serviks, rangsangan ostium uteri interna serviks, mobilisasi rahim, gesekan dinding rahim, dan reaksi kontraksi otot rahim. Dilatasi dan kuretase mengacu pada pelebaran leher rahim dan pengambilan bagian dari dinding rahim dan atau isi rahim oleh kerokan (kuretase). Tindakan pencegahan atau menghilangkan rasa nyeri yang berhubungan dengan dilatasi kuretase ini bisa dilakukan dengan anestesi umum maupun anestesi lokal. Dalam melakukan tindakan kecil

1

pada obstetri dan ginekologi, seperti : penjahitan kembali luka episiotomi, dilatasi dan kuretase, atau biopsi dianjurkan untuk melakukan anastesia secara intravena (lebih mudah dan aman).3 Dahulu kuretase sering menggunakan anestesi dengan blok paraservikal maupun intraservical. Namun, hal ini mulai ditinggalkan karena seringnya saat injeksi anestesi lokal menjadi periode nyeri paling hebat dari seluruh rangkaian prosedur dilatasi dan kuretase. Hal ini ditambah ketidaknyamanan pasien dengan tindakan tersebut dan kesuksesan tindakan ini sangat dipengaruhi skill dari operator yang melakukan blok paraservical tersebut. Beberapa penelitian bahkan menunjukkan meskipun sudah diblok paraservical tetap saja sekitar 21.350% pasien mengeluhkan nyeri hebat pada saat kuretase berlangsung.5 Hal ini dikarenakan inervasi uteri bagian atas tidak termasuk dalam daerah yang terblok dengan blok paraservikal maupun intraservikal. 3 Pranom et al. (2005) dalam penelitiannya membandingkan penggunaan asam mefenamat oral 500 mg dua jam sebelum kuretase dan penggunaan paraservical blok untuk mengatasi nyeri pada prosedur kuretase. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa skala nyeri maksimum (menggunakan VAS 1-10) yang dialami pasien berkisar 7.5 dengan asam mefenamat dan 6.5 dengan paraservical blok. Dan setelah prosedur selesai pasien tetap mengalami nyeri meskipun berkurang kadarnya. Belum lagi rasa kebas (numbness) yang dialami kelompok pasien dengan blok paraservical.4 Arifin tahun 2009 membandingkan efek analgetika kombinasi blok paraservikal dengan ketoprofen dengan blok pareservikal dengan placebo pada tindakan kuretase. Yang menjadi latar belakang pada penelitian ini bahwa inervasi fundus uteri berbeda dengan inervasi daerah servik uteri. Sehingga rasa mulas akibat pelepasan prostaglandin di bagian fundus tidak bisa diblok oleh anestesi blok paraservikal. 5 Sirirat (2008) dalam penelitiannya membandingkan antara pasien yang diberi injeksi petidin dengan yang diberikan paraservikal blok untuk anestesi kuretase. Hasil penelitiannya menunjukkan injeksi petidin lebih

2

efektif dalam menghilangkan nyeri dibandingkan dengan paraservical blok.6 Sehingga dalam perkembangannya di kemudian hari anestesi kuretase lebih banyak digunakan dengan menggunakan jalur intravena. Hal ini memunculkan kebutuhan untuk mencari kombinasi obat anestesi yang dapat menghadirkan anestesi yang cepat mula kerjanya dengan waktu pulih yang singkat dan memberikan kenyamanan serta analgesi yang adekuat.7 Prosedur yang singkat ini memerlukan teknik anestesi yang dapat menghasilkan waktu pulih yang singkat tetapi dengan tingkat sedasi dan analgesi yang adekuat sehingga TIVA menjadi pilihan yang lebih sering digunakan

dibandingkan

inhalasi

mengingat

kemudahan

fasilitas

pengadaan dan waktu pulih yang lebih singkat dibanding teknik inhalasi. Pada penelitian yang membandingkan antara propofol dan sevofluran dalam kombinasi dengan N2O untuk anestesi ambulatory didapati penggunaan propofol-N2O menghasilkan karakteristik pulih sadar yang lebih cepat, kepuasan pasien lebih tinggi, dan biaya yang lebih rendah. 8

1.2

Tujuan Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui lebih lanjut mengenai tindakan total intravena anestesi pada pasien yang akan dilakukan kuretase.

3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TIVA (Total Intravenous Anesthesia TIVA adalah teknik anestesi umum dengan hanya menggunakan obatobat anestesi yang dimasukkan lewat jalur intravena. tanpa penggunaan anestesi inhalasi termasuk N2O. TIVA digunakan untuk ketiga trias anastesi yaitu hipnotik, analgetik, dan relaksasi otot..Kebanyakan obat-obat anastesi intravena hanya mencakup 2 komponen anastesi, akan tetapi ketamin mempunyai ketiga trias anastesi sehingga ketamin dianggap juga sebagai agent anastesi yang lengkap. Kelebihan TIVA: 1.

Kombinasi obat-obat intravena secara terpisah dapat di titrasi dalam dosis yang lebih akurat sesuai yang dibutuhkan.

2.

Tidak menganggu jalan nafas dan pernafasan pasien terutama pada operasi sekitar jalan nafas atau paru-paru.

3.

Anestesi yang mudah dan tidak memerlukan alat-alat atau mesin yang khusus.

Teknik anestesi intravena merupakan suatu teknik pembiusan dengan memasukkan obat langsung ke dalam pembuluh darah secara parenteral, obatobat tersebut digunakan untuk premedikasi seperti diazepam dan analgetik narkotik. Induksi anestesi seperti misalnya tiopenton yang juga digunakan sebagai pemeliharaan dan juga sebagai tambahan pada tindakan analgesia regional. Indikasi Anestesi Intravena Hal-hal yang termasuk dalam indikasi anestesi intavena diantaranya : 1. Obat induksi anesthesia umum 2. Obat tunggal untuk anestesi pembedahan singkat 3. Tambahan untuk obat inhalasi yang kurang kuat 4. Obat tambahan anestesi regional 5. Menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan SSP (SSP sedasi)

4

Beberapa variasi anestesia intravena: 1. Anestesia intravena klasik Pemakaian kombinasi obat ketamin hidroklorida dengan sedatif contoh: diazepam, midazolam atau dehidro benzperidol. Komponen trias anestesi yang dipenuhi dengan teknik ini adalah : hipnotik dan anestesia. Indikasi : Pada operasi kecil dan sedang yang tidak memerlukan relaksasi lapangan operasi yang optimal dan berlangsung singkat, dengan perkecualian operasi didaerah jalan nafas dan intraokuler. Kontraindikasi: 1) Pasien yang rentan terhadap obat-obat simpatomimetik, misalnya: penderita diabetes melitus, hipertensi, tirotoksikosis dan paeokromo sitoma 2) Pasien yang menderita hipertensi intrakranial 3) Pasien penderita glaukoma 4) Operasi intra okuler.

2. Anestesi intravena total (TIVA) Pemakaian kombinasi obat anestetika intravena yang berkhasiat hipnotik, analgetik dan relaksasi otot secara berimbang. Komponen trias anestesia yang dipenuhi adalah hipnotik, analgesia dan relaksasi otot. Indikasi : Operasi-operasi yang memerlukan relaksasi lapangan operasi optimal Kontraindikasi : Tidak ada kontra indikasi absolut. Pemilihan obat disesuaikan dengan penyakit yang diderita pasien.

3. Anestesia-analgesia neurolept Pemakaian kombinasi obat beuroleptik dengan analgetik opiat secara intravena. Komponen trias anastesia yang dipenuhinya adalah sedasi atau hipnotik

ringan

dan

analgesia

ringan.

Kombinasi

lazim

adalah

5

dehidrobenzperidol dengan fentanil. Jika tidak terdapat fentanil dapat digantikan dengan petidin atau morfin. Indikasi: 1) Tindakan diagnostik endoskopi seperti laringoskopi, bronkoskopi, esofaguskopi, rektos-kopi 2) Sebagai suplemen tindakan anestesi lokal Kontraindikasi : 1) Penderita parkinson, karena pada pemberian dehidrobenzperidol akan menyebabkan peningkatan gejala parkinson 2) Penderita penyakit paru obstruktif 3) Bayi dan anak-anak sebagai kontraindikasi relatif.1,5 Dalam perkembangan selanjutnya terdapat beberapa jenis obat – obat anestesi dan yang digunakan di indonesia hanya beberapa jenis obat saja seperti, Tiopenton, Diazepam , Dehidrobenzoperidol, Fentanil, Ketamin dan Propofol.

Cara Pemberian 1.

Sebagai obat tunggal : a. Induksi anestesi b. Operasi singkat: cabut gigi

2.

Suntikan berulang : a. Sesuai kebutuhan : kuretase, colonoscopy

3.

Diteteskan lewat infus : a. Menambah kekuatan anestesi

Obat-obat Anestetik intravena Ketamin HCl

: hipnotik dan analgetik

Tiopenton

: hipnotik

Propofol

: hipnotik

Diazepam

: sedatif dan menurunkan tonus otot

Deidrobenzperidol: sedatif

6

Midazolam

: sedatif

Petidin

: analgetik dan sedatif

Morfin

: analgetik dan sedatif

Fentanil/sufentanil : analgetik dan sedatif

2.2 Trias Anestesi Rees dan Gray membagi anestesi menjadi 3 (tiga) komponen yaitu : 1. Hipnotika : pasien kehilangan kesadaran 2. Anestesia : pasien bebas nyeri 3. Relaksasi : pasien mengalami kelumpuhan otot rangka

2.3 Premedikasi Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun tujuan dari premedikasi antara lain:10 1. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal: diazepam. 2. Menghilangkan rasa khawatir, misalnya: diazepam 3. Membuat amnesia, misal: diazepam, midazolam 4. Memberikan analgesia, misal: fentanyl, pethidin 5. Mencegah muntah, misal: droperidol, ondansentron 6. Memperlancar induksi, misal: pethidin 7. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin 8. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal: tracurium, sulfas atropin. 9. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal: sulfas atropin dan hiosin.

Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat

pemakaian

obat

anestesi

sebelumnya,

riwayat

hospitalisasi

sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan rencana

7

anestesi yang akan digunakan.15 Obat-obat yang sering digunakan adalah sebagai berikut. 1. Analgesik narkotik a. Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB b. Morfin ( amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB c. Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3µgr/kgBB 2. Analgesik non narkotik a. Ponstan b. Tramol c. Toradon

3. Hipnotik a. Ketamin ( fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB b. Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB

4. Sedatif a. Diazepam/valium/stesolid ( amp 2cc = 10mg), dosis 0,1 mg/kgBB b. Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis 0,1mg/kgBB c. Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5 mg/kgBB d. Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1 mg/kgBB

5. Antiemetic a. Sulfas atropine (anti kolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg),dosis 0,001 mg/kgBB b. DBP c. Narfoz, rantin, primperan.

2.4 Induksi Anestesi Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal.

8

Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan pembedahan selesai.8 Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’: 8 a. Scope Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop. Stestoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop untuk melihat laring secara langsung sehingga bisa memasukkan pipa trake dengan baik dan benar. Secara garis besar, dikenal dua macam laringoskop: 1) Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa. 2) Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.

Pilih bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi adalah lampu pada laringoskop harus cukup terang sehingga laring jelas terlihat.

Gambar 1. Laringoscope b. Tube Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa trakea mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar polivinil klorida. Ukuran diameter pipa trakea dalam ukuran milimeter. Bentuk penampang pipa trakea untuk bayi, anak kecil, dan dewasa berbeda. Untuk bayi dan anak kecil di bawah usia lima tahun, bentuk penampang melintang trakea hampir bulat, sedangkan untuk dewasa seperti huruf D. Oleh karena itu pada bayi dan anak di bawah lima

9

tahun tidak menggunakan kaf (cuff) sedangkan untuk anak besar-dewasa menggunakan kaf supaya tidak bocor. Alasan lain adalah penggunaan kaf pada bayi-anak kecil dapat membuat trauma selaput lendir trakea dan pos tintubation croup. Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui

hidung

digunakan

bila

(nasotracheal

tube). Nasotracheal

penggunaan orotracheal

tube

tube tidak

umumnya

memungkinkan,

mislanya karena terbatasnya pembukaan mulut atau dapat menghalangi akses bedah. Namun penggunaan nasotracheal tube dikontraindikasikan pada pasien dengan fraktur basis kranii.

Tabel 1. Ukuran pipa trakea Usia

Diameter (mm)

Skala French

Prematur Neonatus 1-6 bulan ½-1 tahun 1-4 tahun 4-6 tahun 6-8 tahun 8-10 tahun 10-12 tahun 12-14 tahun Dewasa wanita Dewasa pria

2,0-2,5 2,5-3,5 3,0-4,0 3,0-3,5 4,0-4,5 4,5-,50 5,0-5,5* 5,5-6,0* 6,0-6,5* 6,5-7,0 6,5-8,5 7,5-10

10 12 14 16 18 20 22 24 26 28-30 28-30 32-34

Jarak Sampai Bibir 10 cm 11cm 11 cm 12 cm 13 cm 14 cm 15-16 cm 16-17 cm 17-18 cm 18-22 cm 20-24 cm 20-24 cm

Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan nafas, mempertahankan patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah ventilasi, oksigenasi dan pengisapan.

Gambar 2. Pipa Endotrakeal

10

Untuk orang dewasa dan anak diatas 6 tahun dianjurkan untuk memakai pipa dengan balon lunak volume besar tekanan rendah, untuk anak kecil dan bayi pipa tanpa balon lebih baik. Balon sempit volume kecil tekanan tinggi hendaknya tidak dipakai karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa trakea. Pengembangan balon yang terlalu besar dapat dihindari dengan memonitor tekanan dalam balon (yang pada balon lunak besar sama dengan tekanan dinding trakea dan jalan nafas) atau dengan memakai balon tekanan terbatas. Pipa hendaknya dibuat dari plastik yang tidak iritasif. Ukuran penggunaan bervariasi bergantung pada usia pasien. Pemakaian pipa endotrakea sesudah 7 sampai 10 hari hendaknya dipertimbangkan trakeostomi, bahkan pada beberapa kasus lebih dini. Pada hari ke-4 timbul kolonisasi bakteri yang dapat menyebabkan kondritis bahkan stenosis subglotis.11 Tabel 2. Ukuran Pipa Endotrakeal Size PLAIN

Size CUFFED

2,5 mm

4,5 mm

3,0 mm

5,0 mm

3,5 mm

5,5 mm

4,0 mm

6,0 mm

4,5 mm

6,5 mm

5,0 mm

7,0 mm

5,5 mm

7,5 mm

c. Airway Airway yang dimaksud adalah alat untuk menjaga terbukanya jalan napas yaitu pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini berfungsi untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak menyumbat jalan napas.

11

Gambar 3. Oropharingeal airway d. Tape Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.

e. Introducer Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.

Gambar 4. Stylet

f. Connector Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag valve mask ataupun peralatan anesthesia.

g. Suction Suction yang dimaksud adalah penyedot lender, ludah dan cairan lainnya.

12

Induksi anestesi dapat dilakukan dengan cara: 1. Induksi intravena Paling banyak dikerjakan dan digemari. Induksi intravena dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harsu diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien yang kooperatif. Obat-obat induksi intravena: a. Tiopental (pentotal, tiopenton) Yaitu amp 500 mg atau 1000 mg. Sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan 2,5% (1ml = 25mg). Hanya boleh digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik. Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis, anestesia atau depresi napas. Tiopental menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan intracranial dan diguda dapat melindungi otak akibat kekurangan O2. Dosis rendah bersifat anti-analgesi.

b. Propofol (diprivan, recofol) Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1 ml = 10 mg). Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. Propofol digunakan baik sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi dan merupakan agen pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesia intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg. Pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada wanita hamil. Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh distribusinya adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-kira 30-60 menit.

13

Propofol cepat dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat daripada thiopenthal pada tikus. Propofol diekskresikan ke dalam urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang dari 1% diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih besar daripada aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme ekstrahepatik selain metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol dapat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam memetabolisme obat-obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan tekanan

intrakranial akan menurun. Keuntungan

propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang minimal.8 Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi sebagai akibat depresi langsung pada otot jantung dan menurunnya tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai efek analgesik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol memiliki efek antiemetik.8 Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi pernafasan,

apnea,

bronkospasme,

dan

laringospasme.

Pada

sistem

kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri sehingga saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg).8 c. Ketamin (ketalar) Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi salivas diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml = 10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml = 100 mg). 14

d. Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelianan jantung. Untuk anestesia opioid digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.

2. Induksi intramuscular Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur. 3. Induksi inhalasi 8 a. N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida) Berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik lemah, analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu cairan anastetik lain seperti halotan.

b. Halotan (fluotan) Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring. Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula darah.

c. Enfluran (etran, aliran) Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih iritatif disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat dibanding

15

halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik disbanding halotan.

d. Isofluran (foran, aeran) Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial. Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.

e. Desfluran (suprane) Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%), bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi.

f. Sevofluran (ultane) Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan.

4. Induksi per rectal Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau midazolam.

5. Induksi mencuri Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi inhalasi biasa hanya sungkup muka tidak kita tempelkan pada muka pasien, tetapi kita berikan jarak beberapa sentimeter, sampai pasien tertidur baru sungkup muka kita tempelkan.

16

2.5 Obat Anestesi Umum Golongan Benzodiazepin Golongan benzodiazepine yang sering digunakan oleh anestesiologi adalah Diazepam (valium), Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Versed), diazepam dan lorazepam tidak larut dalam air dan kandungannya berupa propylene glycol. Golongan benzodiazepine bekerja sebagai hipnotik, sedative, anxiolitik, amnestik, antikonvulsan, pelumpuh otot yang bekerja di sentral. Obat golongan benzodiazepine dimetabolisme di hepar, efek puncak akan muncul setelah 4 - 8 menit setelah diazepam disuntikkan secara I.V dan waktu paruh dari benzodiazepine ini adalah 20 jam. Dosis ulangan akan menyebabkan terjadinya akumulasi dan pemanjangan efeknya sendiri. Midazolam dan diazepam didistribusikan secara cepat setelah injeksi bolus, metabolisme mungkin akan tampak lambat pada pasien tua.

Efek pada sistem saraf pusat Dapat menimbulkan amnesia, anti kejang, hipnotik, relaksasi otot dan mepunyai efek sedasi, efek analgesik tidak ada, menurunkan aliran darah otak dan laju metabolisme.

Efek pada sistem kardiovaskuler Menyebabkan vasodilatasi sistemik yang ringan dan menurunkan cardiac out put. Ttidak mempengaruhi frekuensi denyut jantung, perubahan hemodinamik mungkin terjadi pada dosis yang besar atau apabila dikombinasi dengan opioid

Efek pada sistem pernafasan Mempengaruhi penurunan frekuensi nafas dan volume tidal , depresi pusat nafas mungkin dapat terjadi pada pasien dengan penyakit paru atau pasien dengan retardasi mental.

Efek pada sistem saraf otot

17

Menimbulkan penurunan tonus otot rangka yang bekerja di tingkat supraspinal dan spinal , sehingga sering digunakan pada pasien yang menderita kekakuan otot rangka. 4,6

a.

Diazepam Karena tidak larut air, maka obat ini dilarutkan dalam pelarut organic (propilen glikol dan sodium benzoate). Karena itu obat ini bersifat asam dan menimbulkan rasa sakit ketika disuntikan, trombhosis, phlebitis apabila disuntikan pada vena kecil. Obat ini dimetabolisme di hepar dan diekskresikan melalui ginjal. 2 Obat ini dapat menurunkan tekanan darah arteri. Karena itu, obat ini digunakan untuk induksi dan supplement pada pasien dengan gangguan jantung berat. 2 Diazepam biasanya digunakan sebagai obat premedikasi, amnesia, sedative, obat induksi, relaksan otot rangka, antikonvulsan, pengobatan penarikan alcohol akut dan serangan panic. Awitan aksi

: iv < 2 menit, rectal < 10 menit, oral 15 menit-1 jam

Lama aksi

: iv 15 menit- 1 jam, PO 2-6 jam 4

Dosis : 

Premedikasi : iv/im/po/rectal 2-10 mg



Sedasi : 0,04-0,2 mg/kg BB



Induksi : iv 0,3-0,6 mg/kg



Antikonvulsan : iv 0,05-0,2 mg/kg BB setiap 5-10 menit dosis maksimal 30 mg, PO/rectal 2-10 mg 2-4 kali sehari 4

Efek samping obat

:



Menyebabkan bradikardi dan hipotensi



Depresi pernapasan



Mengantuk, ataksia, kebingungan, depresi,



Inkontinensia



Ruam kulit



DVT, phlebitis pada tempat suntikan 4

18

b. Midazolam Obat ini mempunyai efek ansiolitik, sedative, anti konvulsif, dan anteretrogad amnesia. Durasi kerjanya lebih pendek dan kekuatannya 1,53x diazepam. Obat ini menembus plasenta, akan tetapi tidak didapatkan nilai APGAR kurang dari 7 pada neonatus. 2 Dosis : 

Premedikasi : im 2,5-10 mg, Po 20-40 mg



Sedasi : iv 0,5-5 mg



Induksi : iv 50-350 µg/kg 4

Efek samping obat : 

Takikardi, episode vasovagal, komplek ventrikuler premature, hipotensi



Bronkospasme, laringospasme, apnea, hipoventilasi



Euphoria, agitasi, hiperaktivitas



Salvasi, muntah, rasa asam Ruam, pruritus, hangat atau dingin pada tempat suntikan 4

Propofol Merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia intravena dan lebih dikenal dengan nama dagang Diprivan. Pertama kali digunakan dalam praktek anestesi pada tahun 1977 sebagai obat induksi. Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anastesia umum, pada pasien dewasa dan pasien anak – anak usia lebih dari 3 tahun. Mengandung lecitin, glycerol dan minyak soybean, sedangkan pertumbuhan kuman dihambat oleh adanya asam etilendiamintetraasetat atau sulfat, hal tersebut sangat tergantung pada pabrik pembuat obatnya. Obat ini dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1 % (1 ml = 10 mg) dan pH 7-8. 1,2 Propofol adalah 98% protein terikat dan mengalami metabolisme hati untuk metabolit glukuronat, yang akhirnya diekskresikan dalam urin.

19

Efek Klinis: propofol menghasilkan hilangnya kesadaran dengan cepat, dengan waktu pemulihan yang cepat dan langsung kembali pada kondisi klinis sebelumnya (sebagai hasil waktu paruh distribusi yang pendek dan tingkat clearance tinggi). Propofol menekan refleks laring sehingga sangat cocok untuk digunakan dengan perangkat LMA agar dapat dimasukkan dengan lancar. Ada insiden rendah mual dan muntah pasca operasi dan reaksi alergi atau hipersensitivitas. Karena propofol tidak signifikan menumpuk setelah bolus ulangan, propofol sangat cocok untuk infus jangka panjang selama operasi sebagai bagian dari teknik anestesi Total intravena (Tiva) dan di ICU untuk obat penenang jangka panjang. 3

Efek pada sistem kardiovaskuler Induksi bolus 2-2,5 mg/kg dapat menyebabkan depresi pada jantung dan pembuluh darah dimana tekanan dapat turun sekali disertai dengan peningkatan denyut nadi. Ini diakibatkan Propofol mempunyai efek mengurangi pembebasan katekolamin dan menurunkan resistensi vaskularisasi sistemik sebanyak 30%. Pengaruh pada jantung tergantung dari : 

Pernafasan spontan – mengurangi depresi jantung berbanding nafas kendali



Pemberian drip lewat infus – mengurangi depresi jantung berbanding pemberian secara bolus



Umur – makin tua usia pasien makin meningkat efek depresi jantung

Efek pada sistem pernafasan Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal, dalam beberapa kasus dapat menyebabkan henti nafas kebanyakan muncul pada pemberian diprivan. Secara lebih detail konsentrasi yang menimbulkan efek terhadap sistem pernafasan adalah seperti berikut: 

Pada 25%-40% kasus Propofol dapat menimbulkan apnoe setelah diberikan dosis induksi yang bisa berlangsung lebih dari 30 saat.

20

Dosis dan penggunaan a) Induksi : 2,0 sampai 2.5 mg/kg IV. b) Sedasi : 25 to 75 µg/kg/min dengan I.V infus c) Dosis pemeliharaan pada anastesi umum : 100 - 150 µg/kg/min IV (titrate to effect), bolus iv 25-50mg. d) Turunkan dosis pada orang tua atau gangguan hemodinamik atau apabila digabung penggunaanya dengan obat anastesi yang lain. e) Dapat dilarutkan dengan Dextrosa 5 % untuk mendapatkan konsentrasi yang minimal 0,2% f) Propofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada dalam lingkungan yang steril dan hindari profofol dalam kondisi sudah terbuka lebih dari 6 jam untuk mencegah kontaminasi dari bakteri. 1,2

Efek Samping Dapat menyebabkan nyeri selama pemberian pada 50% sampai 75%. Nyeri ini bisa muncul akibat iritasi pembuluh darah vena, nyeri pada pemberian propofol dapat dihilangkan dengan menggunakan lidokain (0,5 mg/kg) dan jika mungkin dapat diberikan 1 sampai 2 menit dengan pemasangan torniquet pada bagian proksimal tempat suntikan, berikan secara I.V melaui vena yang besar. Gejala mual dan muntah juga sering sekali ditemui pada pasien setelah operasi menggunakan propofol. Propofol merupakan emulsi lemak sehingga pemberiannya harus hati – hati pada pasien dengan gangguan metabolisme lemak seperti hiperlipidemia dan pankreatitis. Pada sesetengah kasus dapat menyebabkan kejang mioklonik (thiopental < propofol < etomidate atau methohexital). Phlebitis juga pernah dilaporkan terjadi setelah pemberian induksi propofol tapi kasusnya sangat jarang. Terdapat juga kasus terjadinya nekrosis jaringan pada ekstravasasi subkutan pada anak-anak akibat pemberian propofol.3 Propofol tidak diizinkan untuk digunakan pada anak-anak berusia kurang dari 3 tahun. Ada laporan kematian tak terduga pada anak-anak karena asidosis metabolik dan kegagalan miokard setelah penggunaan jangka panjang di ICU.

21

Thiopental Tiopental sekarang lebih dikenal dengan nama sodium Penthotal, Thiopenal, Thiopenton Sodium atau Trapanal yang merupakan obat anestesi umum barbiturat short acting, tiopentol dapat mencapai otak dengan cepat dan memiliki onset yang cepat (30-45 detik). Dalam waktu 1 menit tiopenton sudah mencapai puncak konsentrasi dan setelah 5 – 10 menit konsentrasi mulai menurun di otak dan kesadaran kembali seperti semula.9 Dosis yang banyak atau dengan menggunakan infus akan menghasilkan efek sedasi dan hilangnya kesadaran.

Efek pada sistem saraf pusat Dapat

menyebabkan

hilangnya

kesadaran

tetapi

menimbulkan

hiperalgesia pada dosis subhipnotik, menghasilkan penurunan metabolisme serebral dan aliran darah sedangkan pada dosis yang tinggi akan menghasilkan isoelektrik

elektroensepalogram.Thiopental

turut

menurunkan

tekanan

intrakranial. Manakala methohexital dapat menyebabkan kejang setelah pemberian dosis tinggi.

Efek pada mata Tekanan intraokluar menurun 40% setelah pemberian induksi thiopental atau methohexital. Biasanya diberikan suksinilkolin setelah pemberian induksi thiopental supaya tekanan intraokular kembali ke nilai sebelum induksi.

Efek pada sistem kardiovaskuler Menurunkan tekanan darah dan cardiac output ,dan dapat meningkatkan frekwensi jantung, penurunan tekanan darah sangat tergantung dari konsentrasi obat dalam plasma. Hal ini disebabkan karena efek depresinya pada otot jantung, sehingga curah jantung turun, dan dilatasi pembuluh darah. Iritabilitas otot jantung tidak terpengaruh, tetapi bisa menimbulkan disritmia bila terjadi resistensi CO2 atau hipoksia. Penurunan tekanan darah yang bersifat ringan akan pulih normal dalam beberapa menit tetapi bila obat disuntik secara cepat atau dosisnya tinggi dapat terjadi hipotensi yang berat. Hal ini terutama akibat

22

dilatasi pembuluh darah karena depresi pusat vasomotor. Dilain pihak turunnya tekanan darah juga dapat terjadi oleh karena efek depresi langsung obat pada miokard.

Efek pada sistem pernafasan Menyebabkan depresi pusat pernafasan dan sensitifitas terhadap CO2 menurun terjadi penurunan frekwensi nafas dan volume tidal bahkan dapat sampai

menyebabkan

terjadinya

asidosis

respiratorik.

Dapat

juga

menyebabkan refleks laringeal yang lebih aktif berbanding propofol sehingga menyebabkan laringospasme. Jarang menyebabkan bronkospasme.

Dosis Dosis yang biasanya diberikan berkisar antara 3-5 mg/kg. Untuk menghindarkan efek negatif dari tiopental tadi sering diberikan dosis kecil dulu 50-75 mg sambil menunggu reaksi pasien.

Efek samping Efek samping yang dapat ditimbulkan seperti alergi, sehingga jangan memberikan obat ini kepada pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap barbiturat, sebab hal ini dapat menyebabkan terjadinya reaksi anafilaksis yang jarang terjadi, barbiturat juga kontraindikasi pada pasien dengan porfiria akut, karena barbiturat akan menginduksi enzim d-aminoleuvulinic acid sintetase, dan dapat memicu terjadinya serangan akut. Iritasi vena dan kerusakan jaringan akan menyebakan nyeri pada saat pemberian melalui I.V, hal ini dapat diatasi dengan pemberian heparin dan dilakukan blok regional simpatis.

Ketamin Ketalar sebagai nama dagang yang pertama kali diperkenalkan oleh Domino dan Carson tahun 1965 yang digunakan sebagai anestesi umum. Ketamin kurang digemari untuk induksi anastesia, karena sering menimbulkan takikardi, hipertensi , hipersalivasi , nyeri kepala, pasca anasthesi dapat

23

menimbulkan muntah – muntah , pandangan kabur dan mimpi buruk. Ketamin juga sering menebabkan terjadinya disorientasi, ilusi sensoris dan persepsi dan mimpi gembira yang mengikuti anesthesia, dan sering disebut dengan emergence phenomena. Ketamin lebih larut dalam lemak sehingga dengan cepat akan didistribusikan ke seluruh organ.10 Efek muncul dalam 30 – 60 detik setelah pemberian secara I.V dengan dosis induksi, dan akan kembali sadar setelah 15 – 20 menit. Jika diberikan secara I.M maka efek baru akan muncul setelah 15 menit.

Efek pada susunan saraf pusat Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien akan mengalami perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada mata berupa kelopak mata terbuka spontan dan nistagmus. Selain itu kadang-kadang dijumpai gerakan yang tidak disadari (cataleptic appearance), seperti gerakan mengunyah, menelan, tremor dan kejang. Itu merupakan efek anestesi dissosiatif yang merupakan tanda khas setelah pemberian Ketamin. Apabila diberikan secara intramuskular, efeknya akan tampak dalam 5-8 menit, sering mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi pada periode pemulihan sehingga pasien mengalami agitasi. Aliran darah ke otak meningkat, menimbulkan peningkatan tekanan darah intrakranial.

Efek pada mata

Menimbulkan lakrimasi, nistagmus dan kelopak mata terbuka spontan, terjadi peningkatan tekanan intraokuler akibat peningkatan aliran darah pada pleksus koroidalis.

Efek pada sistem kardiovaskuler Ketamin adalah obat anestesia yang bersifat simpatomimetik, sehingga bisa meningkatkan tekanan darah dan jantung. Peningkatan tekanan darah akibat efek inotropik positif dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer.

24

Efek pada sistem pernafasan Pada dosis biasa, tidak mempunyai pengaruh terhadap sistem respirasi. dapat menimbulkan dilatasi bronkus karena sifat simpatomimetiknya, sehingga merupakan obat pilihan pada pasien asma.

Dosis dan pemberian Ketamin merupakan obat yang dapat diberikan secara intramuskular apabila akses pembuluh darah sulit didapat contohnya pada anak – anak. Ketamin bersifat larut air sehingga dapat diberikan secara I.V atau I.M. Dosis induksi adalah 1 – 2 mg/KgBB secara I.V atau 5 – 10 mg/Kgbb I.M , untuk dosis sedatif lebih rendah yaitu 0,2 mg/KgBB dan harus dititrasi untuk mendapatkan efek yang diinginkan. Untuk pemeliharaan dapat diberikan secara intermitten atau kontinyu. Pemberian secara intermitten diulang setiap 10 – 15 menit dengan dosis setengah dari dosis awal sampai operasi selesai.3 Dosis obat untuk menimbulkan efek sedasi atau analgesic adalah 0,2 – 0,8 mg/kg IV atau 2 – 4 mg/kg IM atau 5 – 10 µg/kg/min IV drip infus.

Efek samping Dapat menyebabkan efek samping berupa peningkatan sekresi air liur pada mulut,selain itu dapat menimbulkan agitasi dan perasaan lelah , halusinasi dan mimpi buruk juga terjadi pasca operasi, pada otot dapat menimbulkan efek mioklonus pada otot rangka selain itu ketamin juga dapat meningkatkan tekanan intracranial. Pada mata dapat menyebabkan terjadinya nistagmus dan diplopia.

Kontra indikasi Mengingat efek farmakodinamiknya yang relative kompleks seperti yang telah disebutkan diatas, maka penggunaannya terbatas pada pasien normal saja. Pada pasien yang menderita penyakit sistemik penggunaanya harus dipertimbangkan seperti tekanan intrakranial yang meningkat, misalnya pada

25

trauma kepala, tumor otak dan operasi intrakranial, tekanan intraokuler meningkat, misalnya pada penyakit glaukoma dan pada operasi intraokuler. Pasien yang menderita penyakit sistemik yang sensitif terhadap obat – obat simpatomimetik, seperti ; hipertensi tirotoksikosis, Diabetes militus , PJK dl1,2

Opioid

Morphine, meperidine, fentanyl, sufentanil, alfentanil, and remifentanil merupakan golongan opioid yang sering digunakan dalam general anestesi. efek utamanya adalah analgetik. Dalam dosis yang besar opioid kadang digunakan dalam

operasi

kardiak. Opioid

berbeda dalam potensi,

farmakokinetik dan efek samping. Absorbsi cepat dan komplit terjadi setelah injeksi morfin dan meperedin intramuskuler, dengan puncak level plasma setelah 20-60 menit. Fentanil sitrat transmukosal oral merupakan metode efektif menghasilkan analgesia dan sedasi dengan onset cepat (10 menit) analgesia dan sedasi pada anak-anak (1520 μg/Kg) dan dewasa (200-800 μg). Waktu paruh opioid umumnya cepat (5-20 menit). Kelarutan lemak yang rendah dan morfin memperlambat laju melewati sawar darah otak, sehingga onset kerja lambat dan durasi kerja juga Iebih panjang. Sebaliknya fentanil dan sufentanil onsetnya cepat dan durasi singkat setelah injeksi bolus. 6

Efek pada sistem kardiovaskuler Sistem kardiovaskuler tidak mengalami perubahan baik kontraktilitas otot jantung maupun tonus otot pembuluh darah. Tahanan pembuluh darah biasanya akan menurun karena terjadi penurunan aliran simpatis medulla, tahanan sistemik juga menurun hebat pada pemberian meperidin atau morfin karena adanya pelepasan histamin.

Efek pada sistem pernafasan Dapat meyebabkan penekanan pusat nafas, ditandai dengan penurunan frekuensi nafas, dengan jumlah volume tidal yang menurun . PaCO2 meningkat

26

dan respon terhadap CO2 tumpul sehingga kurve respon CO2 menurun dan bergeser ke kanan, selain itu juga mampu menimbulkan depresi pusat nafas akibat depresi pusat nafas atau kelenturan otot nafas, opioid juga bisa merangsang refleks batuk pada dosis tertentu.

Efek pada sistem gastrointestinal Opioid menyebabkan penurunan peristaltik sehingga pengosongan lambung juga terhambat.

Efek pada endokrin Fentanyl mampu menekan respon sistem hormonal dan metabolik akibat stress anesthesia dan pembedahan, sehingga kadar hormon katabolik dalam darah relatif stabil. 1,2 a.

Morfin Penggunaanya untuk premedikasi, analgesic, anastesi, pengobatan nyeri yang berjaitan dengan iskemia miokard, dan dipsnea yang berkaitan dengan kegagalan ventrikel kiri dan edema paru. Dosis : 

Analgesic : iv 2,5-15 mg, im 2,5-20 mg, Po 10-30 mg, rectal 10-20 mg setiap 4 jam



Induksi : iv 1 mg/kg

Awitan aksi : iv < 1 menit, im 1-5 menit Lama aksi

: 2-7 jam

Efek samping obat : 

Hipotensi, hipertensi, bradikardia, aritmia



Bronkospasme, laringospasme



Penglihatan kabur, sinkop, euphoria, disforia



Retensi urin, spasme ureter



Spasme traktus biliaris, konstipasi, anoreksia, mual, muntah, penundaan pengosongan lambung



Miosis 4

27

b. Petidin Penggunaannya untuk nyeri sedang sampai berat, sebagai suplemen sedasi sebelum pembedahan, nyeri pada infark miokardium walaupun tidak seefektif morfin sulfat, untuk menghilangkan ansietas pada pasien dengan dispnea karena acute pulmonary edema dan acute left ventricular failure. 5 Dosis 

Oral/ IM,/SK :



Dewasa :



Dosis lazim 50–150 mg setiap 3-4 jam jika perlu,



Injeksi intravena lambat : dewasa 15–35 mg/jam.



Anak-anak oral/IM/SK : 1.1–1.8 mg/kg setiap 3–4 jam jika perlu.



Untuk sebelum pembedahan : dosis dewasa 50 – 100 mg IM/SK

Petidin dimetabolisme terutama di hati Kontraindikasi 

Pasien yang menggunakan trisiklik antidepresan dan MAOi. 14 hari sebelumnya (menyebabkan koma, depresi pernapasan yang parah, sianosis, hipotensi, hipereksitabilitas, hipertensi, sakit kepala, kejang)



Hipersensitivitas.



Pasien dengan gagal ginjal lanjut

Efek samping obat 

Depresi pernapasan,



Sistem saraf : sakit kepala, gangguan penglihatan, vertigo, depresi, rasa mengantuk, koma, eforia, disforia, lemah, agitasi, ketegangan, kejang,



Pencernaan : mual, muntah, konstipasi,



Kardiovaskular : aritmia, hipotensi postural,



Reproduksi, ekskresi & endokrin : retensi urin, oliguria.



Efek kolinergik : bradikardia, mulut kering, palpitasi, takikardia, tremor otot, pergerakan yg tidak terkoordinasi, delirium atau disorintasi, halusinasi.



Lain-lain : berkeringat, muka merah, pruritus, urtikaria, ruam kulit

28

Peringatan Hati-hati pada pasien dengan disfungsi hati & ginjal krn akan memperlama kerja & efek kumulasi opiod, pasien usia lanjut, pada depresi sistem saraf pusat yg parah, anoreksia, hiperkapnia, depresi pernapasan, aritmia, kejang, cedera kepala, tumor otak, asma bronchial

c.

Fentanil Digunakan sebagai analgesic dan anastesia Dosis : 

Analgesic : iv/im 25-100 µg



Induksi : iv 5-40 µg/ kg BB



Suplemen anastesi : iv 2-20 µg/kg BB



Anastetik tunggal : iv 50-150 µg/ kg BB

Awitan aksi : iv dalam 30 detik, im < 8 menit Lama aksi

: iv 30-60 menit, im 1-2 jam

Efek samping obat : 

Bradikardi, hipotensi



Depresi saluran pernapasan, apnea



Pusing, penglihatan kabur, kejang



Mual, muntah, pengosongan lambung terlambat



Miosis 4

Tramadol Tramadol adalah analgesik kuat yang bekerja pada reseptor opiat. Tramadol mengikat secara stereospesifik pada reseptor di sistem saraf pusat sehingga menghambat sensasi nyeri dan respon terhadap nyeri. Disamping itu tramadol menghambat pelepasan neurotransmiter dari saraf aferen yang sensitif terhadap rangsang, akibatnya impuls nyeri terhambat. Tramadol peroral diabsorpsi dengan baik dengan bioavailabilitas 75%. Tramadol dan metabolitnya diekskresikan terutama melalui urin dengan waktu 6,3 – 7,4 jam. Indikasi : Untuk pengobatan nyeri akut dan kronik yang berat, nyeri pasca pembedahan.

29

Dosis : Dewasa dan anak di atas 16 tahun : • Dosis umum : dosis tunggal 50 mg Dosis tersebut biasanya cukup untuk meredakan nyeri, apabila masih terasa nyeri dapat ditambahkan 50 mg setelah selang waktu 4 – 6 jam. • Dosis maksimum 400 mg sehari. • Dosis sangat tergantung pada intensitas rasa nyeri yang diderita. Penderita gangguan hati dan ginjal dengan bersihan klirens < 30 mL/menit : 50 – 100 mg setiap 12 jam, maksimum 200 mg sehari. • Dosis yang dianjurkan untuk pasien dengan cirrhosis adalah 50 mg setiap 12 jam. Efek samping Efek samping yang umum terjadi seperti pusing, sedasi, lelah, sakit kepala , pruritis, berkeringat, kulit kemerahan, mulut kering, mual, muntah, dispepsia dan konstipasi.

Obat Pelumpuh Otot Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya, obat ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten, misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat kompetitif atau nondepolarisasi, misal kurarin. Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali16

.

30

BAB III LAPORAN KASUS 3.1 Identitas Pasien Nama

: Ny. D

TTL / Usia

: 24 Oktober 1993/ 24 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat

: Jl.KH. Wahid Hasyim Lrg. Syuhada, Palembang.

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

No. MR

: 53.24.31

MRS

: 15 Juli 2018, pukul 17.00 WIB

Tindakan Operatif : 16 Juli 2018, pukul 09.30 WIB

3.2 Anamnesis 3.2.1

Keluhan Utama Keluar daah pervaginam sejak bulan maret 2018

3.2.2 Keluhan Tambahan Sudah dikuret tanggal 29 Juni 2018, tetapi masih keluar darah pervaginam.

3.2.3 Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang dengan keluhan keluar darah pervaginam sejak bulan maret 2018. Sudah dikuret bulan lalu tanggal 29 Juni 2018. Setelah kuret masih keluar darah dan diberi obat untuk mengeluarkan sisa kehamilan namun setelah kontrol lagi dan diperiksa USG dikatakan masih ada sisa kehamilan.

3.2.4

Riwayat Persalinan 1. G1 : 2017/laki-laki/SC/2.900 Janin tunggal hidup, presentasi kepala. 2. 2018/Blighted ovum.

31

3.2.5 3.2.6

Riwayat Penyakit Dahulu  Riwayat asma disangkal.  Riwayat hipertensi disangkal.  Riwayat diabetes melitus disangkal.  Riwayat penyakit jantung disangkal.  Riwayat penyakit ginjal disangkal.  Riwayat alergi obat disangkal.

3.2.7

Riwayat Penyakit Keluarga 

Riwayat keluhan yang sama disangkal



Riwayat asma disangkal.



Riwayat hipertensi disangkal.



Riwayat diabetes melitus disangkal.



Riwayat penyakit jantung disangkal.



Riwayat penyakit ginjal disangkal.



Riwayat alergi obat dan makanan disangkal.

3.2.8 Riwayat Pembedahan Pasien mengatakan pernah operasi sectio caesaria pada saat melahirkan anak pertama. Pernah kuret pada tanggal 29 juni 2018.

3.2.9 Riwayat Sosial 

Riwayat merokok disangkal



Riwayat konsumsi alkohol disangkal.



Riwayat menggunakan obat-obatan terlarang (narkoba) disangkal.

3.3 Pemeriksaan Fisik (16 Juli 2018) .Keadaan umum Kesadaran

: compos mentis

Vital sign Tekanan darah

: 120/80 mmHg

32

Frekuensi Nadi

: 80x/m, regular, isi dan tegangan cukup

Frekuensi nafas

: 20 x/menit, regular, torakoabdominal

Suhu

: 36,50C per axilla

Tinggi Badan

: 161 cm

Berat Badan

: 64 kg

Airway -

Clear, tidak ada sumbatan jalan nafas.

-

Suara nafas vesikuler, tidak ada suara nafas tambahan.

Breathing -

Respiratory Rate (RR) : 20 kali/menit.

-

Suara napas vesikuler

-

Tidak ada retraksi iga

-

Tidak ada penggunaan otot-otot bantu pernapasan

Circulation -

Akral hangat, tidak pucat, kering.

-

Heart Rate (HR) 80 kali/menit, tegangan volume kuat dan cepat.

-

Capillarity refill time (CRT) < 2 detik

-

Tekanan darah : 120/80 mmHg.

-

Konjungtiva tidak anemis. Disability : GCS 15 (E: 4 V: 5 M: 6).

Status Generalis Kepala

: Normocephal, distribusi rambut merata

Mata

: Konjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Hidung

: Nafas cuping hidung (-), perdarahan (-), lendir (-)

Mulut

: Malampati II, mukosa lembab, sianosis (-), faring hiperemis (-), gigi palsu (-), gigi goyang (-), buka mulut maksimal (>3 cm)

Telinga

: Serumen (-), membran tymphani intact

Leher

: Tampak simetris, deviasi trakea (-), pem KGB (-)

Paru

: Suara napas vesikuler, ronki-/-, whezzing -/-

33

Jantung

: Bunyi jantung 1 dan 2 normal.

Abdomen

: Datar, bising usus normal, supel, hepar dan lien tidak teraba, tympani pada seluruh kuadran.

Ekstremitas

: Akral hangat, tidak ada edema, ptekie (-)

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan laboratorium

(28 Juni 2018)

Jenis Pemeriksaan

Hasil

Nilai Rujukan

Hemoglobin

12,8

12-16 g/dl

Leukosit

6900

4800- 10800 /ul

Trombosit

30000

150000- 400000 /ul

Gol. Darah

B+

Hematologi Darah Rutin

2. EKG = Dalam batas normal 3. Pemeriksaan USG (28 Juni 2018) : Blighted ovum

3.5 Resume Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, maka:  Diagnosis Klinis

: 28 minggu blighted ovum

 Diagnosis Anestesi

: ASA I, mallampati II

3.6 Tatalakasana Rencana Operasi

: Kuretase

Rencana Anestesi

: General Anesthesia, Total Intravenous Anesthesia.

ASA

:I

3.7 Durante Operasi (Catatan Anestesi) 3.7.1 Status Fisik ASA 34

ASA I

3.7.2 Penyulit Praanestesi Tidak ada.

3.7.3 Checklist Sebelum Induksi  Izin operasi

:+

 Cek mesin anestesi

:+

 Persiapan obat-obatan

:+

3.7.4 Teknik Anestesi General Anestesi, Total Intravenous Anesthesia

3.7.5 Monitoring  SpO2

:+

 Tekanan Darah : +  Pulse

:+

3.7.6 Posisi Pasien Lithotomi 3.7.7 Premedikasi Ondansentron 4 mg (i.v)

3.7.8. Sedasi Midazolam 1 amp (i.v)

3.7.9

Induksi Induksi dimulai pukul 09.30 WIB.  Intravena

: Fentanyl, Propofol.

3.7.10 Obat Tambahan As. Tranexamat 2 amp (i.v)

35

Oksitosin 2 amp drip dalam RL 500 ml

3.7.11 Oksigenasi Nasal kanul 3 L

3.7.12 Observasi Tanda Vital Tabel 4. Observasi tanda vital Pukul 09.30 09.45 10.00 10.15

Tekanan Darah 110/70 120/80 120/80 120/80

Nadi

SpO2

73 70 75 79

100 100 100 100

Cairan Infus RL RL RL RL

3.7.13 Lama Tindakan  Lama pembiusan

: 45 menit

 Lama pembedahan

: 125 menit

3.8 Post Operasi 3.8.9 Di Ruang Pemulihan (RR) Jam Masuk 10.20 WIB  Jalan Napas : clear  Pernafasan

: spontan, adekuat bersuara

 Kesadaran

: sadar betul

Skor ALDRETTE : 10  Aktivitas

:2

 Sirkulasi

:2

 Pernafasan

:2

 Kesadaran

:2

 WarnaKulit

:2

36

Monitoring Tanda Vital Tabel 5. Observasi tanda vital Pukul

10.20

10.30

10.40

10.50

TD

110/70

120/70

120/80

120/80

Nadi

82x/m

86x/m

80x/m

81x/m

RR

20x/m

18x/m

20x/m

20x/m

RL

RL

RL

RL

Cairan

Keluar kamar pulih : 10.55 WIB Skor ALDRETTE :10  Aktivitas

:2

 Sirkulasi

:2

 Pernafasan

:2

 Kesadaran

:2

 WarnaKulit

:2

Pindah ke Ruang Rawat Biasa

3.8.10 Intruksi Pasca Bedah Bila kesakitan

: sesuai instruksi DPJP

Bila mual/muntah

: sesuai instruksi DPJP

Antibiotik

: sesuai instruksi DPJP

Obat-obatan lain

: sesuai instruksi DPJP

Infus

: sesuai instruksi DPJP

Minum

: minum bertahap bila sudah sadar betul.

Pemantauan Tanda Vital : sesuai instruksi DPJP.

37

BAB IV PEMBAHASAN Pada kasus ini, seorang wanita usia 24 tahun dengan diagnosis blighted ovum, status ASA I dan mallampati II, dilakukan tindakan kuretasei melalui general anestesi dengan TIVA. Status American Society of Anasthesiologist (ASA I)

menunjukkan bahwa pasien normal, sehat fisik dan mental.

Sedangkan mallampati II menunjukkan bahwa pada pasien tampak platum molle, uvula dan dinding posterior uvula yang mengindikasikan bahwa tidak terdapat kesulitan untuk dilakukan pemasangan intubasi. Berdasarkan klasifikasi mallampati tersebut, mallampati I dan II dikategorikan mudah intubasi, sedangkan kelas III dan IV terkadang sulit.7,10 Pasien memasuki ruang operasi, diposisikan lithotomi, dilakukan pemasangan monitoring tekanan darah, nadi dan saturasi oksigen. Diberikan obat premedikasi berupa ondansetrone 4 mg IV sebagai pencegahan PONV (post operative nausea vomitting). Ondansentron, sebagai anti emetic, suatu antagonis selektif 5-HT3, menghambat serotonin dan bekerja berdasarkan mekanisme sentral dan perifer. Mekanisme sentral dengan mempertiggi ambang rangsang muntah di chemoreceptor trigger zone. Mekanisme perifer dengan menurunkan kepekaan saraf vagus terminalis di visceral yang menghatar impuls eferen dari saluran cerna ke pusat muntah. Premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesia diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi.5 Selanjutnya, diberikan oksigenasi nasal kanul 3L/ menit, lalu dilakukan injeksi IV Fentanyl secara perlahan. Pemberian fentanyn dengan pertimbangan untuk mendapatkan efek analgesia bagi pasien karena pada saat disuntik propofol pasien juga akan merasakan kesakitan, sehingga fentanyl dimasukkan untuk memberikan efek analgesia pada pasien. Dosis yang diberikan untuk analgesia adalah 1 -3 mcg/kgBB, dan dosis yang diberikan pada pasien ini adalah 1,5 mcg/kgBB sehingga diberikan fentanyl sebanyak 1,5 x 64 = 96 mcg dengan pembulatan menjadi 100 mcg. Fentanyl juga dapat membuat pasien

38

beresiko rendah terkena thrombosis dari vena. Onset dari fentanyl adalah 30 detik sampai 1 menit. Durasinya adalah 30 - 60 menit. Selanjutnya dilakukan induksi anestesi yang merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal.7 Pada kasus ini dilakukan induksi dengan injeksi IV Propofol 100 mg. Propofol dipilih karena obat ini memiliki onset yang cepat, serta duration of action yang singkat.11 Selama operasi, diberikan cairan Ringer Laktat (RL). Pemberian RL ini merupakan salah satu tindakan terapi cairan, bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tubuh terhadap cairan yang banyak keluar saat operasi berlangsung. Prinsip pemilihan cairan dimaksudkan untuk mengganti kehilangan air dan elektrolit yang normal melaui urine, IWL, dan feses serta agar hemodinamik tetap dalam keadaan stabil.

39

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan Kesimpulan pada laporan kasus ini adalah seorang wanita usia 24 tahun dengan diagnosis blighted ovum, status ASA I dan mallampati II, dilakukan tindakan kuretasei melalui general anestesi dengan TIVA. TIVA merupakan teknik anestesi umum dengan hanya menggunakan obatobat anestesi yang dimasukkan lewat jalur intravena. tanpa penggunaan anestesi inhalasi termasuk N2O. TIVA digunakan untuk ketiga trias anastesi yaitu hipnotik, analgetik, dan relaksasi otot.

40

DAFTAR PUSTAKA 1. Bajwa, et al. 2010. Comparison of two drug combinations in TIVA: propofol-ketamine and propofol-fentanyl. Saudi Journal of Anaesthesia. www.saudija.org 2. White, FP. Eng,MR. 2009. Intravenous Anesthetics. In: Barash, et al (ed). Clinical Anesthesia, 6th edition. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins 3.

Reves, JG, et al. 2010. Intravenous Anesthetics. In: Miller, RD. (eds) miller’s Anesthesia, 7th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders

4. Aun, T. et al. 2013. Total intravenous anaesthesia using target controlled infusion. A pocket reference. College of anesthesiologists. Academy of Medicine of Malaysia. 5. Sear, J. 2008. Total Intravenous Anesthesia. In: Longnecker, et al (eds). Anesthesiology. USA. Mc Graw Hill 6. Masui K, et al. 2010. The Performance of Compartmental and Physiologically Based Recirculatory Pharmacokinetic Models for Propofol: A Comparison Using Bolus, Continuous, and Target-Controlled Infusion Data. In: Anesthesia and Analgesia. Vol. 111. International Anesthesia Research Society. 7. Yuil, G. Simpson, M. 2002. An introduction to total intravenous anaesthesia. British Journal of Anaesthesia. Vol. 2. No. I. 8. Stoelting, RK. Hillier, SC. 2006. Barbiturates. In: Handbook of Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practise. 2nd ed. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins 9. Butterworth, JF. Mackey, DC. Wasnick, JD. 2013. Morgan and Mikhail”s Clinical Anesthesiology. USA. Lange Mc Graw Hill. 10. .Gall TJ, 2002, Reactive airway Disease : Anaesthetic Perspective, IARS 2002 Review Course Lecture, USA 11. William R. Solomon, 2002: Patologi, Konsep Klinis Proses-proses penyakit, hal : 171186

41

Related Documents


More Documents from "Rebecca Jenkins"