Teori Dm.docx

  • Uploaded by: Orita Satria
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Teori Dm.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,529
  • Pages: 25
BAB II TINJAUAN PUSTAKA I. Tinjauan Medis A. Pengertian Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti “mengalirkan atau mengalihkan” (siphon). Mellitus berasal dari bahasa latin yang bermakna manis atau madu. Penyakit diabetes melitus dapat diartikan individu yang mengalirkan volume urine yang banyak dengan kadar glukosa tinggi. Diabetes melitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai dengan ketidakadaan absolute insulin atau penurunan relative insensitivitas sel terhadap insulin (Corwin, 2009).

Diabetes mellitus (DM) didefenisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defenisi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (Ditjen Bina Farmasi & ALKES, 2005).

Diabetes Melitus (DM) adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah, disertai lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop elektron (Mansjoer dkk, 2007)

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2005, diabetes merupakan suatu kelompok panyakit metabolik dengan karakterristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Diabetes Mellitus (DM) adalah kelainan defisiensi dari insulin dan kehilangan toleransi terhadap glukosa ( Rab, 2008). DM merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kelainan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia yang disebabkan defisiensi insulin atau akibat kerja insulin yang tidak adekuat (Brunner & Suddart, 2002).

B. Anatomi Fisiologi

Pankreas merupakan sekumpulan kelenjar yang panjangnya kira – kira 15 cm, lebar 5 cm, mulai dari duodenum sampai ke limpa dan beratnya rata – rata 60 – 90 gram. Terbentang pada vertebrata lumbalis 1 dan 2 di belakang lambung. Pankreas merupakan kelenjar endokrin terbesar yang terdapat di dalam tubuh baik hewan maupun manusia. Bagian depan ( kepala ) kelenjar pankreas terletak pada lekukan yang dibentuk oleh duodenum dan bagian pilorus dari lambung. Bagian badan yang merupakan bagian utama dari organ ini merentang ke arah limpa dengan bagian ekornya menyentuh atau terletak pada alat ini. Dari segi perkembangan embriologis, kelenjar pankreas terbentuk dari epitel yang berasal dari lapisan epitel yang membentuk usus.

Pankreas terdiri dari dua jaringan utama, yaitu : 1) Asini sekresi getah pencernaan ke dalam duodenum. 2) Pulau Langerhans yang tidak tidak mengeluarkan sekretnya keluar, tetapi menyekresi insulin dan glukagon langsung ke darah. Pulau – pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pamkreas tersebar di seluruh pankreas dengan berat hanya 1 – 3 % dari berat total pankreas. Pulau langerhans berbentuk ovoid dengan besar masing-masing pulau berbeda. Besar pulau langerhans yang terkecil adalah 50 m, sedangkan yang terbesar 300 m, terbanyak adalah yang besarnya 100 – 225 m. Jumlah semua pulau langerhans di pankreas diperkirakan antara 1 – 2 juta.

Pulau langerhans manusia, mengandung tiga jenis sel utama, yaitu : a) Sel – sel A ( alpha ), jumlahnya sekitar 20 – 40 % ; memproduksi glukagon yang manjadi faktor hiperglikemik, suatu hormon yang mempunyai “ anti insulin like activity “. b) Sel-sel B ( betha ), jumlahnya sekitar 60 – 80 % , membuat insulin. c) Sel-sel D ( delta ), jumlahnya sekitar 5 – 15 %, membuat somatostatin. Masing – masing sel tersebut, dapat dibedakan berdasarkan struktur dan sifat pewarnaan. Di bawah mikroskop pulau-pulau langerhans ini nampak berwarna pucat dan banyak mengandung pembuluh darah kapiler. Pada penderita DM, sel beha sering ada tetapi berbeda dengan sel beta yang normal dimana sel beta tidak menunjukkan reaksi pewarnaan untuk insulin sehingga dianggap tidak berfungsi.

Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 untuk insulin manusia. Molekul insulin terdiri dari dua rantai polipeptida yang tidak sama, yaitu rantai A dan B. Kedua rantai ini dihubungkan oleh dua jembatan ( perangkai ), yang terdiri dari disulfida. Rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino. Insulin dapat larut pada pH 4 – 7 dengan titik isoelektrik pada 5,3. Sebelum insulin

dapat berfungsi, ia harus berikatan dengan protein reseptor yang besar di dalam membrana sel.

Insulin di sintesis sel beta pankreas dari proinsulin dan di simpan dalam butiran berselaput yang berasal dari kompleks Golgi. Pengaturan sekresi insulin dipengaruhi efek umpan balik kadar glukosa darah pada pankreas. Bila kadar glukosa darah meningkat diatas 100 mg/100ml darah, sekresi insulin meningkat cepat. Bila kadar glukosa normal atau rendah, produksi insulin akan menurun. Selain kadar glukosa darah, faktor lain seperti asam amino, asam lemak, dan hormon gastrointestina merangsang sekresi insulin dalam derajat berbeda-beda. Fungsi metabolisme utama insulin untuk meningkatkan kecepatan transport glukosa melalui membran sel ke jaringan terutama sel – sel otot, fibroblas dan sel lemak.

C. Klasifikasi Dokumen konsesus tahun 1997 oleh American Diabetes Association’s Expert Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Melitus dalam Corwin (2009), menjabarkan 4 kategori utama diabetes, yaitu 1. Tipe I: Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM)/Diabetes Melitus tergantung insulin (DMTI). Lima persen sampai sepuluh persen penderita diabetik adalah tipe I. Selsel beta dari pankreas yang normalnya menghasilkan insulin dihancurkan oleh proses autoimun. Diperlukan suntikan insulin untuk mengontrol kadar gula darah. Awitannya mendadak biasanya terjadi sebelum usia 30 tahun. 2. Tipe II: Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)/ Diabetes Mellitus tak tergantung insulin (DMTTI). Sembilan puluh persen sampai 95% penderita diabetik adalah tipe II. Kondisi ini diakibatkan oleh penurunan sensitivitas terhadap insulin (resisten insulin) atau akibat penurunan jumlah pembentukan insulin. Pengobatan pertama adalah dengan diit dan olah raga, jika kenaikan kadar glukosa darah menetap, suplemen dengan preparat hipoglikemik (suntikan insulin

dibutuhkan,

jika

preparat

oral

tidak

dapat

mengontrol

hiperglikemia). Terjadi paling sering pada mereka yang berusia lebih dari 30 tahun dan pada mereka yang obesitas. 3. DM tipe lain. Karena kelainan genetik, penyakit pankreas (trauma pankreatik), obat, infeksi, antibodi, sindroma penyakit lain, dan penyakit dengan karakteristik gangguan endokrin. 4. Diabetes Kehamilan: Gestasional Diabetes Melitus (GDM) Diabetes yang terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak mengidap diabetes.

D. Etiologi 1. Diabetes Melitus tergantung insulin (DMTI) a) Faktor genetic : Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri tetapi mewarisi suatu presdisposisi atau kecenderungan genetic kearah terjadinya diabetes tipe I. Kecenderungan genetic ini ditentukan pada individu yang memililiki tipe antigen HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen tranplantasi dan proses imun lainnya. b) Faktor imunologi : Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Ini merupakan respon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. c) Faktor lingkungan Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel β pancreas, sebagai contoh hasil penyelidikan menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang dapat menimbulkan destuksi sel β pancreas.

2. Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTTI) Secara pasti penyebab dari DM tipe II ini belum diketahui, factor genetic diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTTI) penyakitnya mempunyai pola familiar yang kuat. DMTTI ditandai dengan kelainan dalam sekresi insulin maupun dalam kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselluler yang meningkatkan transport glukosa menembus membran sel. Pada pasien dengan DMTTI terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor.

Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor yang responsif insulin pada membran sel. Akibatnya terjadi penggabungan abnormal antara komplek reseptor insulin dengan system transport glukosa. Kadar glukosa normal dapat dipertahankan dalam waktu yang cukup lama dan meningkatkan sekresi insulin, tetapi pada akhirnya sekresi insulin yang beredar tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia (Price, 1995 cit Indriastuti 2008). Diabetes Melitus tipe II disebut juga Diabetes Melitus tidak tergantung insulin (DMTTI) atau Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) yang merupakan suatu kelompok heterogen bentuk-bentuk Diabetes yang lebih ringan, terutama dijumpai pada orang dewasa, tetapi terkadang dapat timbul pada masa kanak-kanak.

Faktor resiko yang berhubungan dengan proses terjadinya DM tipe II, diantaranya adalah: a) Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun) b) Obesitas c) Riwayat keluarga d) Kelompok etnik

Faktor resiko DM berdasarkan Konsensus Pengelolaan DiabetesMelitus di Indonesia (2006) meliputi :

a) Obesitas b) Tekanan darah tinggi c) Dyslipidaemia (HDL<35mg/dl dan atauTrigliserida >250mg/dl) d) Toleransi glukosa terganggu e) Kurang aktivitas f) Riwayat DM pada kehamilan

E. Patofisiologi Diabetes tipe I. Pada diabetes tipe satu terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi akibat produkasi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Di samping itu glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia posprandial (sesudah makan).

Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan di ekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia). Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan (polifagia), akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan. Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari dari asam-asam amino dan substansi lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut akan turut menimbulkan hiperglikemia.

Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang menggangu keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis yang diakibatkannya dapat menyebabkan tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, nafas berbau aseton dan bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan kematian. Pemberian insulin bersama cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemi serta ketoasidosis. Diet dan latihan disertai pemantauan kadar gula darah yang sering merupakan komponen terapi yang penting.

Diabetes tipe II. Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan resptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.

Untuk mengatasi resistensi insulin dan untuk mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas DM tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya. Karena itu ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun demikian, diabetes tipe II

yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketoik (HHNK).

Diabetes tipe II paling sering terjadi pada penderita diabetes yang berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selama bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsi, luka pada kulit yang lama sembuh-sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur (jika kadra glukosanya sangat tinggi).

Pathway

F. Manifestasi Klinis 1. Diabetes Tipe I a) Hiperglikemia berpuasa b) Glukosuria, diuresis osmotik, poliuria, polidipsia, polifagia c) Keletihan dan kelemahan d) Ketoasidosis diabetik (mual, nyeri abdomen, muntah, hiperventilasi, nafas bau buah, ada perubahan tingkat kesadaran, koma, kematian) 2. Diabetes Tipe II a) Lambat (selama tahunan), intoleransi glukosa progresif b) Gejala seringkali ringan mencakup keletihan, mudah tersinggung, poliuria, polidipsia, poliphagi, luka pada kulit yang sembuhnya lama, infeksi vaginal, penglihatan kabur c) Komplikasi jangka panjang (retinopati, neuropati, penyakit vaskular perifer)

ADA (American Diabetes Association), (2013) menetapkan kriteria diagnostik diabetes tipe 2 sebagai berikut : 1. Seseorang dengan gejala hiperglikemia dan random plasma glucose (RPG) atau glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl dari hasil 2 kali pengukuran terpisah dapat dikatakan menderita diabetes tipe 2, atau 2. Seseorang dengan fasting plasma glucose (FPG) atau glukosa plasma dalam keadaan puasa ≥ 126 mg/dl dari hasil 2 kali pengukuran terpisah dapat dikatakan menderita diabetes tipe 2, atau 3. Seseorang dengan fasting plasma glucose (FPG) atau glukosa plasma dalam keadaan puasa ≥ 110 mg/dl dari hasil 2 kali pengukuran terpisah dapat dikatakan beresiko menderita diabetes tipe 2 (Muhammad, 2009).

G. Pemeriksaan Penunjang 1. Glukosa darah: gula darah puasa > 130 ml/dl, tes toleransi glukosa > 200 mg/dl, 2 jam setelah pemberian glukosa. 2. Aseton plasma (keton) positif secara mencolok.

3. Asam lemak bebas: kadar lipid dan kolesterol meningkat 4. Osmolalitas serum: meningkat tapi biasanya < 330 mOsm/I 5. Elektrolit: Na mungkin normal, meningkat atau menurun, K normal atau peningkatan semu selanjutnya akan menurun, fosfor sering menurun. 6. Gas darah arteri: menunjukkan Ph rendah dan penurunan HCO3 7. Trombosit

darah:

Ht

meningkat

(dehidrasi),

leukositosis

dan

hemokonsentrasi merupakan respon terhadap stress atau infeksi. 8. Ureum/kreatinin: mungkin meningkat atau normal 9. Insulin darah: mungkin menurun/ tidak ada (Tipe I) atau normal sampai tinggi (Tipe II) 10. Urine: gula dan aseton positif 11. Kultur dan sensitivitas: kemungkinan adanya ISK, infeksi pernafasan dan infeksi luka.

Kriteria diagnostik WHO (2009) untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan : 1. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L) 2. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L) 3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl). H. Penatalaksanaan Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi komplikasi vaskuler serta neuropati. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal. Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan diabetes : 1. Edukasi Edukasi merupakan bagian integral asuhan perawatan diabetes. Edukasi diabetes adalah pendidikan dan latihan mengenai pengetahuan dan ketrampilan dalam pengelolaan diabetes yang diberikan kepada setiap pasien diabetes. Di samping kepada pasien diabetes, edukasi juga diberikan kepada anggota keluarganya, kelompok masyarakat berisiko

tinggi dan pihak-pihak perencana kebijakan kesehatan (Waspadji, dkk, 2002). Edukasi dalam pengertian yang luas yang mendukung rawat kesehatan diabetes, pada tiap kontak antara diabetisi dan tim rawat kesehatan. Ini mempersulit pemisahan aspek-aspek edukasi yang terbaik sebagai faktor penyumbang efektivitas. Pengakuan bahwa 95% dari rawat kesehatan diabetes disediakan oleh diabetisi sendiri, dan keluarganya, tercermin dalam terminologi saat ini yaitu program edukasi swa-manajemen diabetes (ESMD). Dengan pengertian bahwa pengetahuan sendiri tidak cukup untuk memberdayakan orang untuk mengubah perilaku dan memperbaiki hasil akhir. Dalam laporan teknologi yang memberitahukan panduannya atas pemakaian model edukasi-pasien, NICE menyediakan suatu tinjauan, bukan sekedar meta-analisa formal, karena perbedaan rancangan, durasi, pengukuran hasil akhir dapat mengurangi resiko penyakit Diabetes mellitus tipe 2 (International Diabetes Federation, 2005).

2. Diet Karena penting bagi pasien untuk pemeliharaan pola makan yang teratur, maka penatalaksanaan dapat dilakukan dengan perencanaan makanan. Tujuan perencanaan makanan dan dalam pengelolaan diabetes adalah sebagai berikut : a. Mempertahankan kadar glukosa darah dan lipid dalam batas-batas normal b. Menjamin nutrisi yang optimal untuk pertumbuhan anak dan remaja, ibu hamil dan janinnya c. Mencapai dan mempertahankan berat badan idaman (Waspadji, dkk, 2002).

Pada diabetes tipe 1 dan tipe 2, pemberian makanan yang berasal dariberbagai bentuk tepung atau sukrosa, baik langsung maupun 6 minggukemudian ternyata tidak mengalami perbedaan repons glikemik, bila jumlahkarbohidratnya sama. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

jumlah totalkalori dari makanan lebih penting daripada sumber atau macam makanannya.

Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam halkarbohidrat, protein, dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baiksebagai berikut : a. Karbohidrat

60-70%

b. Protein

10-15%

c. Lemak

20-25%

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stresakut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan beratbadan idaman.

Untuk penentuan status gizi, dipakai Body Mass Index (BMI) = Indeks Massa Tubuh (IMT) yaitu IMT = BB(kg)/TB(m2)

Untuk kepentingan klinik praktis, dan menghitung jumlah kalori, penentuanstatus gizi memanfaatkan rumus Broca, yaitu: Berat Badan Idaman (BBI) = (TB-100) - 10%

Status gizi: a. BB kurang bila BB<90% BBI b. BB normal bila BB 90-110% BBI c. BB lebih bila BB 110-120% BBI d. Gemuk bila BB>120% BBI

3. Latihan Dalam pengelolaan diabetes, latihan jasmani yang teratur memegang peran penting terutama pada DM tipe 2. Manfaat latihan jasmani yang teratur pada diabetes adalah memperbaiki metabolisme atau menormalkan kadar glukosa darah dan lipid darah, meningkatkan kerja insulin, membantu

menurunkan berat badan, meningkatkan kesegaran jasmani dan rasa percaya diri, mengurangi risiko kardiovaskuler (Waspadji, dkk, 2002). 4. Terapi Obat (jika diperlukan) Jika pasien telah melaksanakan program makan dan latihan jasmani teratur, namun pengendalian kadar glukosa darah belum tercapai, perlu ditambahkan obat hipoglikemik baik oral maupun insulin. Obat hipoglikemik oral (OHO) dapat dijumpai dalam bentuk golongan sulfonilurea, golongan biguanida dan inhibitor glukosidase alfa. a. Terapi obat hipoglikemik oral (OHO) Dibagi menjadi 4 golongan : 1) Golongan Obat yang bekerja memicu sekresi insulin a) Sulfonilurea Efek utama golongan ini meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Sulfonilurea sebaiknya tidak diberikan pada penyakit hati, ginjal dan tiroid. Termasuk golongan ini : (1) Khlorpropamid (2) Glibenklamid (3) Gliklasid (4) Glikuidon (5) Glipisid (6) Glimepirid

b) Glinid Merupakan obat generasi baru ,cara kerjanya sama dengan sulfonilurea dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan obat ini terdiri dari 2 macam obat, yaitu: (1) Repaglinid (2) Nateglinid. (Soegondo, 2009, hal 123)

2) Penambah sensitivitas terhadap insulin a) Biguanid

Biguanid tidak merangsang sekresi insulin dan terutama bekerja di hati dengan mengurangi hepatic glucose output dan menurunkan kadar glukosa dalam darah sampai normal (euglikemia) serta tidak pernah menyebabkan hipoglikemia. Contoh golongan ini adalah metformin.

b) Thiazolindion/glitazon Thiazolindion berikatan pada peroxisome proliferator activated receptor gamma (PPARγ) suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Obat golongan ini memperbaiki sensitifitas terhadap insulin dengan memperbaiki transpor glukosa kedalam sel. Contoh golongan ini : pioglitazon (Actoz) dan Rosiglitazon (Avandia) (Soegondo, 2009, hal 124)

3) Penambah alfa glukosidase / acarbose Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa glukosidase di dalam saluran cerna sehingga dengan demikian dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan glikemia postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin. (Soegondo, 2009, hal 126)

4) Golongan inkretin a) Inkretin mimetik (1) Jenis : suntikan, belum masuk pasaran indonesia. (2) Mekanisme : menurunkan glukosa darah dengan cara merangsang sekresi insulin dan menghambat sekresi glucagon.

b) Penghambat DPP IV (1) Mekanisme : Obat golongan baru ini mempunyai cara kerja menghambat suatu enzim yang mendegradasi hormon

inkretin endogen yang berasal dari usus, sehingga dapat meningkatkan sekresi insulin yang dirangsang glukosa, mengurangi

sekresi

glukagon

dan

memperlambat

pengosongan lambung. (2) Dosis : tunggal tanpa perlu penyesuaian dosis .dapat diberikan monoterapi tetapi juga dapat dikombinasi dengan metformin, glitazon atau sulfonylurea (Soegondo, 2009, hal 127)

Indikasi pemakaian Obat Hipoglikemi Oral : 1) Diabetes sesudah umur 40 tahun 2) Diabetes kurang dari 5 tahun 3) Memerlukan insulin dengan dosis kurang dari 40 unit sehari 4) DM tipe 2, berat normal atau lebih (Soegondo, 2009, hal 129)

b. Terapi Insulin Adapun pemilihan insulin yang akan digunakan tergantung pada : 1. Keinginan penderita untuk mengontrol diabetesnya. 2. Keinginan penderita untuk memantau kadar gula darah dan menyesuaikan dosisnya. 3. Aktivitas harian penuh penderita. 4. Kecekatan penderita dalam mempelajari dan mahami penyakitnya. 5. Kestabilan kadar gula darah sepanjang hari dan dari hari ke hari. (Saraswati, 2009)

Empat tipe Insulin yang diproduksi dan dikategorikan berdasarkan puncak dan jangka waktu efeknya :

1. Insulin Kerja Singkat (short acting) ; insulin regular merupakan satu-satunya insulin jernih ataularutan insulin, sementara lainnya adalah suspense. Insulin regular adalah satu-satunya prodak

insulin yang cocok untuk pemberian intra vena. Contoh : Actrapid, Humulin R. 2. Insulin kerja cepat (rapid acting), cepat diabsorbsi, adalah insulin analog seperti: Novorapid, Humalog, Apidra. 3. Insuli kerja sedang yaitu NPH termasuk Monotard, Insulatard, Humulin. 4. Insulin kerja panjang, mempunyai kadar zing yang tinggi untuk memperpanjang waktu kerjanya. Contoh : Ultra lente (Soegondo, 2009, hal 114

Hal-hal

yang

perlu

diperhatikan

dalam

penggunaan

Obat

Hipoglikemik Oral: 1. Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan secara bertahap. 2. Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping obat-obat tersebut. 3. Bila diberikan bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya interaksi obat. 4. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal lagi, baru pertimbangkan untuk beralih pada insulin. 5. Hipoglikemia harus dihindari terutama pada penderita lanjut usia, oleh sebab itu sebaiknya obat hipoglikemik oral yang bekerja jangka panjang tidak diberikan pada penderita lanjut usia. 6. Usahakan agar harga obat terjangkau oleh penderita

5. Pemantauan Monitoring adalah salah satu tindakan keperawatan yang digunakan untuk menilai manfaat pengobatan dan sebagai pegangan penyasuaian diet, latihan jasmani, dan obat-obatan untuk mencapai kadar glukosa darah senormal mungkin, terhindar dari keadaan hiperglikemia ataupun hipoglikemia.

Hal-hal yang perlu dipantau (monitoring) pada penyandang DM a. Kendali Glikemik Berbagai studi yang telah ada menanyakan bahwa penyandang diabetes tipe 1 dan tipe 2 yang menjaga kadar glukosa plasma rata-rata tetap rendah menunjukkan insidens komplikasi mikrovaskuler berupa timbulnya retinopati diabetik, nefropati, dan neuropati yang lebih rendah. Oleh karena itu, penyandang diabetes direkomendasikan untuk mencapai dan menjaga gula darah serendah mungkin mendekati normal.

Baik Glukosa darah puasa (mg/dl) Glukosa darah 2 jam (mg/dl)

80 - 109 110- 144

Sedang 110– 125

Buruk >126

145 – 179

>180

A1C ( %)

<6,5

6,5-8

>8

Kolesterol total (mg/dl)

<200

200-239

>240

Kolesterol LDL (mg/dl)

<100

100-129

>130

Kolesterol HDL (mg/dl)

>45

Trigliserida (mg/dl)

<150

150-199

>200

IMT (kg/m2)

18,5-22,9

23-25

>25

Tekanan darah (mmHg)

<130/80

130-140/80-90

>140/90

Untuk pasien berumur >60tahun, sasaran kadar glukosa darah lebih tinggi dari pada biasa (puasa <150mg/dL dan sesudah makan <200mg/dL), demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dllmengacu padabatasankriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus pasienusia lanjut dan juga untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping dan interaksi obat (Soewondo, 2009),

b. Pemeriksaan Kadar Gula Darah Pemeriksaan kadar glukosa darah dilakukan dilaboratorium dengan metode oksidasi glukosa atau o-toluidin dan biasanya sering kali pemeriksaan darah dilakukan dengan uji strippada saat konsultasi dengan metode enzimatik (oksidasi glukosa atau heksokinasi). Faktor yang mempengaruhi hasil pengukuran glukometer adalah : 1) Penggunaan yang tidak tepat 2) Waktu 3) Pemindahan darah yang berlebih 4) Perubahan hematokrit 5) Ketinggian 6) Suhu lingkungan 7) Hipotensi 8) Hipoksia 9) Kadar trigliserida yang tinggi

Adapun beberapa ukuran normal kadar gula darah pendapat dari beberapa organisasi Diabetes dunia, yaitu :

Organisasi

GDP (mg/dL)

GDS (mg/dL)

ADA

70-130

<180

AACE

<110

<140

IDF

<110

<145

Diabetes tipe 1

<108

135-160

Diabetes tipe 2

<108

<135

ESC / EASD

Sumber : Soewondo (2009),

c. Pemeriksaan Kadar Glukosa Urin Hasil pemeriksaan urine normal 1) Glucose : Negatif 2) Billirubin : Negatif

3) Keton : < 5 mg/dl 4) Berat Jenis : 1,001-1,035 5) pH : 4,6 – 8,0 6) Protein : < 30 mg/dl 7) Urobilinogen : < 1,0 EU/dl 8) Nitrit : Negatif 9) Blood : Negatif 10) Leukosit : Negatif

d. Pemeriksaan Hiperglikemia Kronik Pada penyandang DM, glikosilasi hemoglobin meningkat secara proporsional dengan kadar rata-rata glukosa darah selama 8-10 minggu terakhir. Bila kadar glukosa darah normal (70-140 mg/dL) selama 8-10 minggu terakhir, maka hasil tes HbA1C menunjukan nilai normal. Pemeriksaan HbA1C dipengaruhi oleh anemia berat, kehamilan, gagal ginjal, dan hemoglobinopati. Hasil pemeriksaan HbA1C sangat akurat untuk menilai status glikemik jangka panjang. Kadar HbA1C dapat mencerminkan glukosa darah rata-rata, seperti :

Kadar Glukosa rata-rata HbA1C (%)

Mg/ dL

5

97

6

126

7

164

8

183

9

212

10

240

11

269

12

298

Pemeriksaan HbA1C dilakukan 2 kali dalam setahun yang telah mencapai target tetap. Pada pasien yang terapinya belum berubah atau

yang belum mencapai target kendali glukosa, pemeriksaan HbA1C sebaiknya dilakukan 4 kali setahun.(Soewondo, 2009 dalam Soegondo, hal 155)

e. Pemeriksaan Keton Urin Keton urin dapat diperiksa menggunakan reaksi kolorimetrik antara benda keton dan nitroprusid yang menghasilkan warna ungu. Metode tersedia dalam bentuk strip dan tablet yang berfungsi mendeteksi keton di urin maupun di5 darah. Hasil keton urin positif dapat dijumpai pada lebih dari 30% specimen urin porsi pertama dari wanita hamil (dengan atau tanpa DM), kelaparan, puasa, atau hipoglikemia. Positif palsu dapat ditemukan pada keadaan urin pekat dan penggunaan obat yang mengandung sulfhidril (angiotensin-converting enzyme inhibitors). (Soewondo (2009), Soegondo, hal 157)

f. Pemantauan Kadar Glukosa Sendiri Pada Pemantauan Kadar Glukosa Sendiri (PKGS) dilakukan oleh penyandang DM sendiri saat dirumah untuk mencegah hipoglikemia dan menyesuaikan pengobatan, diet dan aktifitas fisik untuk mencapai target glikemik yang diinginkan. PKGS perlu dilakukan evaluasi secara berkala mengenai cara pemeriksaan yang dilakukan penyandang DM maupun alatnya itu sendiri. Penyandang DM dianjurkan untuk selalu membawa alatnya ke klinik saat konsultasi dan penyandang DM harus didorong untuk mampu melakukan modifikasi pengobatan sesuai hasil pemanyauan yang dilakukan. (Soewondo(2009), Soegondo, hal 157)

g. Pemantauan Glukosa Berkesinambungan (PGB) Pemantauan glukosa berkesinambungan (PGB) dapat menjadi alat tambahan terhadap PKGS pada pasien DM tipe 1, terutama mereka tanpa kesadaran resiko hipoglikemia. Sistem PGB cukup bermanfaat

untuk mendeteksi hipohlikemia pada penyandang DM 1 dan 2. Namun, pemeriksaan ini tidak lebih baik daripada pengukuran glukosa kapiler yang standar untuk memperbaiki kendali glikemik dalam jangka panjang. (Soewondo, 2009 dalam Soegondo, hal 160).

I. Komplikasi Menurut Brunner dan Suddarth (2002), komplikasi dari Diabetes Mellitus ada dua yaitu:

1. Komplikasi Akut Ada tiga komplikasi akut pada diabetes yang penting dan berhubungan dengan gangguan keseimbangan kadar glukosa darah jangka pendek. Ketiga komplikasi tersebut adalah: a. Hipoglikemia Hipoglikemia terjadi kalau kadar glukosa darah turun dibawah 50 hingga 60 mg/dl. Keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian insulin atau preparat oral yang berlebihan, konsumsi makanan yang berlebihan, atau aktifitas fisik yang berat. b. Diabetes Ketoasidosis Disebabkan oleh tidak adanya insulin atau tidak cukupnya jumlah insulin yang nyata. Keadaan ini mengakibatkan gangguan pada metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. c. Sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar Nonketotik Merupakan keadaan yang didominasi oleh hiperosmolaritas dan hiperglikemia dan disertai perubahan tingkat kesadaran (sense of awareness).

2. Komplikasi Kronik Komplikasi jangka panjang diabetes dapat menyerang semua sistem organ dalam tubuh. Kategori komplikasi kronis diabetes yang lazim digunakan adalah: a. Komplikasi Makrovaskuler

1) Penyakit Arteri Koroner Perubahan

aterosklerotik

dalam

pembuluh

arteri

koroner

menyebabkan peningkatan insidensi infark miokard pada penderita Diabetes Mellituss. 2) Penyakit Serebrovaskuler Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah serebral atau pembentukan embolus ditempat lain dalam sistem pembuluh darah yang kemudian terbawa aliran darah sehingga terjepit dalam pembuluh darah serebral dapat menimbulkan serangan iskemia sepintas (TIA = Transient Ischemic Attack) 3) Penyakit Vaskuler Perifer Menurut Brunner dan Suddarth (2002), perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah besar pada ekstremitas bawah merupakan penyebab utama meningkatnya insiden gangren dan amputasi pada pasien-pasien Diabetes Mellitus. Hal ini disebabkan karena pada penderita Diabetes Mellitus sirkulasi buruk, terutama pada area yang jauh dari jantung, turut menyebabkan lamanya penyembuhan jika terjadi luka.

b. Komplikasi Mikrovaskuler 1) Retinopati Diabetik Kelainan patologis mata yang disebabkan oleh perubahan dalam pembuluh-pembuluh darah kecil pada retina mata. 2) Nefropati Segera sesudah terjadi diabetes, khususnya bila kadar glukosa darah meninggi, maka mekanisme filtrasi ginjal akan mengalami stress yang menyebabkan kebocoran protein darah ke dalam urin. Sebagai akibatnya, tekanan dalam pembuluh darah ginjal meningkat. Kenaikan tekanan tersebut diperkirakan berperan sebagai stimulus untuk terjadinya nefropati.

3) Neuropati Diabetes Neuropati dalam diabetes mengacu pada sekelompok penyakit yang menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor), otonom, dan spinal. Kelainan tersebut tampak beragam secara klinis dan bergantung pada lokasi sel saraf yang terkena.

Related Documents

Teori
October 2019 61
Teori
May 2020 46
Teori
June 2020 35
Teori
June 2020 40
Teori
June 2020 37
Teori
November 2019 59

More Documents from ""