Sunhodos - Editorial Harmoni Hitam Putih

  • Uploaded by: X Sunhodos
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Sunhodos - Editorial Harmoni Hitam Putih as PDF for free.

More details

  • Words: 744
  • Pages: 1
36

[ sun hodos - edisi 1 - april 2009 ]

EDITORIAL oleh : Ferdinand Tobing

Hitam Putih

flickr.com

HARMONISASI Ebony and Ivory, live together in perfect harmony. Side by side on my piano, keyboard. Oh, Lord why don’t we..? (Paul McCartney) SIR Paul McCartney begitu mencintai musik. Tidak hanya karena ia menjadi sangat kaya dan populer darinya, namun ia pun dapat belajar banyak dan semakin bijak. Lewatnya, ia hendak juga berpesan. Berduet dengan Stevie Wonder, seorang penyanyi kulit hitam, lagu ini menjadi sarat makna. Perhatikanlah tuts piano, kayu ebony warna hitam dan ivory warna putih begitu kontras berlawanan. Namun letaknya berdampingan, tidak terpisahkan atau berjauhan. Saling melengkapi, bersinergi. Nadanya pun indah, kaya tanpa batas, kaya akan harmoni. Kehadiran hitam dan putih sungguh asri, menjadi inspirasi. Hitam putih lekat dijadikan simbol. Tentang baik buruk, benar salah, positif negatif, jatuh bangun, kaya miskin dan banyak lagi. Senada dengan itu, kita sering mendapat nasehat agar dapat memandang dan menerima hidup sebagai dua sisi mata uang (Pengkhotbah 3:1-11). Tepatnya 23 Maret 2009, tiga puluh enam tahun sudah usia GKI Seroja. Sebuah kerinduan untuk berjalan bersama (Sun Hodos) menjadi cita-cita yang positif. Konsep, arahan dan kepemimpinan diharapkan dapat mewujudkan cita-cita tersebut melalui seluruh kegiatan umum dan khusus yang direncanakan untuk setahun ke depan. Namun apakah hal tersebut dapat betul-betul terwujud? Atau hanya akan menjadi kerinduan yang terus menerus dirindukan setiap tahun? Sudahkah kita belajar dari luar dan dari dalam? Jelikah kita menyimak masa lalu dan menatap masa depan? Adalah tantangan kita supaya momentum ini dapat menjadi titik balik. Mustahil terjadi tanpa kesadaran dari semua pihak bahwa tujuan tersebut dapat dicapai hanya dengan kebesaran hati dan itikad yang luhur. Menyadari bahwa kita sebagai umat adalah murid sekaligus guru, adalah pemimpin sekaligus pelayan, adalah telinga untuk mendengar sekaligus mulut untuk menasihati. Kehadiran sebuah media adalah untuk itu, melengkapi dan mempertajam naluri, melatih suara hati, melakukan refleksi hingga saling berbagi dan bersaksi. Meski ini bukanlah alat satu-satunya, setidaknya dari sinilah bisa diharapkan kontribusi sebuah media. Lalu apa yang harus kita lakukan dengan media tersebut? Kita mesti belajar dari pengamatan Hasudungan Sirait, tokoh jurnalis yang aktif membantu Yayasan Komunikasi Massa Persekutuan Gereja di Indonesia (Yakoma PGI) dan melatih para pekerja media gereja. Menurutnya, persoalan utama media gereja-gereja Protestan di Indonesia adalah kurangnya perhatian dari para pemimpin sinode. Banyak pengelola media gereja mengharapkan ada kebijakan khusus dari gereja agar media dikelola sungguh-

sungguh. Pengamatan Pendeta Jufri Simorangkir juga sama. Penyunting majalah Suara GKPI (Gereja Kristen Protestan di Indonesia) ini mengakui majalah Gereja Batak Karo Protestan dan Gereja Kristen Protestan Simalungun sudah lebih maju dan terbuka. Kita harus jeli karena peran media sudah betul-betul disadari manfaatnya oleh mereka. Media internal bahkan sudah lebih maju ditangan temanteman kita umat Muslim dan Katholik. Pelatihan dan sosialisasi mereka begitu intens, potensi sumber daya manusianya pun berlapislapis. Dunia media sudah berubah. Kini sudah ada televisi, internet, radio komunitas, blog, dan macam-macam. Namun mayoritas media gereja baru sebatas pada majalah. Media gereja ketinggalan jauh, belum populer dan menjangkau banyak jiwa. Padahal kehadiran media dapat mengurangi kesenjangan informasi antara gereja dan umat. Umat sangat dinamis, mereka mencari informasi dari mana-mana, me-ngapa gereja tidak mengimbangi? Kemasan pun tak perlu kaku. Informasi umum juga bisa dimasukkan dalam media gereja. Misalnya, bagaimana menyikapi Pemilu, Golput, atau tentang tren yang melanda anak-anak muda. Umat butuh pandangan yang berimbang, dan gereja seharusnya memenuhi sisi yang kerap hampa ini. Mari kita jadikan media gereja sebagai media komunitas, agar antara jemaat gereja bisa berbagi kisah, pengalaman, dan kesaksian untuk kekuatan dan kemuliaan nama Tuhan. Fungsi ini tidak dapat kita andalkan dari media sekuler sekelas Kompas atau Suara Pembaruan. Tidak juga Facebook, jejaring sosial paling terkemuka di jagad maya internet. Meski tidak punya nama besar seperti mereka, media gereja mengemban misi yang tak kalah besar! Media gereja seyogyanya dibentuk untuk kepentingan umat secara utuh. Tidak boleh berat sebelah, netral, namun tetap memiliki sikap, bukan mencla-mencle. Sikap itu adalah independen, rendah hati, berpegang pada prinsip kebenaran, kejujuran, keadilan dan keilmuan. Semoga kita dapat memiliki sebuah media yang senantiasa sehat, yang tidak terjebak menjadi corong pimpinan atau menjadi provokator dari barisan umat sakit hati apalagi menjadi wadah mencari popularitas. Betul bahwa pengalaman adalah guru yang baik dan kita harus belajar dari kenyataan yang ada baik pahit atau manis. Baik konflik atau prestasi. Baik pro atau kontra. Baik duka atau suka. Baik hitam atau putih. Lewat majalah ini, keduanya senantiasa hadir untuk kita semua. Saya percaya, keduanya saling melengkapi. Bagai tuts piano, di tangan Tuhan keduanya mampu menciptakan harmoni yang indah.

Related Documents

Sunhodos - Konflik
June 2020 3
Editorial
May 2020 28
Editorial
November 2019 60
Editorial
June 2020 26

More Documents from ""