Sumpah Pemuda, Budaya Pangan, Dan Ketahanan Nasional

  • Uploaded by: Agus Pakpahan
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Sumpah Pemuda, Budaya Pangan, Dan Ketahanan Nasional as PDF for free.

More details

  • Words: 830
  • Pages: 3
SUARA PEMBARUAN DAILY

Sumpah Pemuda, Budaya Pangan, dan Ketahanan Nasional Agus Pakpahan ita mewarisi sejarah besar, di antara berbagai catatan sejarah kita itu adalah Sumpah Pemuda yang diucapkan oleh para pemimpin pemuda Indonesia di Jakarta pada 28 Oktober 1928. Tulisan ini dipersembahkan sebagai sumbangan pemikiran untuk kita semua dalam menyongsong masa depan Indonesia. Secara khusus dalam tulisan ini disampaikan bagaimana kita mengambil semangat Sumpah Pemuda itu untuk membangun budaya pangan baru sebagai landasan ketahanan nasional kita. Hal ini sangat penting untuk kita sadari mengingat sejarah menunjukkan bahwa tanpa ketahanan pangan yang kuat suatu negara akan rapuh dan akhirnya tercerai-berai menjadi bangsa yang lemah. Pada peletakan batu pertama Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor tahun 1952, Bung Karno dalam pidatonya menyatakan bahwa soal pangan rakyat adalah soal hidup atau matinya bangsa Indonesia. Selanjutnya, Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto juga telah meletakkan landasan pembangunan pertanian untuk mewujudkan swasembada pangan. Saat ini, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono juga menggariskan kebijaksanaan revitalisasi pertanian, kehutanan dan perikanan demi mewujudkan ketahanan pangan Indonesia yang makin kuat. Ketergantungan akan satu-dua jenis makanan saja, akan menimbulkan risiko dan ketidakpastian akan keberlanjutan suatu bangsa. Memang sawah atau beras penting tetapi sangatlah berat bagi Indonesia apabila kita hanya menggantungkan diri pada beras saja. Budaya Pangan Vaclav Smill menyatakan bahwa sangatlah mahal baik secara ekonomi maupun lingkungan apabila setiap peningkatan kebutuhan penduduk akan pangan hanya dipenuhi dengan menambah persediaan pangan melalui penambahan areal pertanian atau penggunaan input lainnya. Ia menyatakan bahwa perubahan budaya pangan jauh lebih murah dan efektif untuk dapat beradaptasi sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Bukan hanya itu, dengan berkembangnya budaya pangan baru maka manfaatnya akan juga berkembang ke arah peningkatan kualitas lingkungan hidup, penciptaan lapangan kerja baru dan berbagai penghematan sumber daya alam yang keberada- annya akan makin terbatas.

Dapatkah kita menciptakan budaya pangan baru itu? Sejak lama program diversifikasi pangan telah dicanangkan. Namun demikian hasilnya belum terasa secara signifikan. Bahkan, serangan berbagai jenis pangan yang bahan bakunya tergantung dari impor makin deras menyerbu Indonesia. Tentu kita bisa berterima kasih kepada para pelaku ekonomi yang mendatangkan produk pangan impor tersebut sehingga kita bisa menikmati berbagai jenis pangan yang diimpor. Di pihak lain, tentu kita harus prihatin. Bagaimana mungkin kita akan menjadi bangsa besar apabila kebutuhan pangannya diisi oleh produk impor? Bukankah setiap suap makanan impor yang kita nikmati berarti kehilangan kesempatan kerja dan pendapatan bagi petani dan industri pangan nasional? Bukankah ada hubungan antara apa yang kita makan dengan siapa dan apa kita ini? Perlu kita sadari bahwa pangan impor yang kita nikmati itu adalah sisa dari kebutuhan pangan dari bangsa yang mengekspornya. Jadi, pangan tersebut bersifat sebagai residual market. Bangsa-bangsa yang mengekspor pangannya tentu tidak rela apabila kita berhenti mengimpornya karena hal tersebut berarti pula bahwa mereka perlu mencari lapangan kerja baru bagi para petani dan industrinya. Oleh karena itu, persoalan impor-ekspor pangan ini tidak sebatas sebagai persoalan untung-rugi secara ekonomi saja, melainkan dapat dipandang sebagai persoalan negara yang dimensinya sangat kompleks. Sebagai buktinya, kita menyaksikan betapa ruwetnya proses di WTO apabila di dalam institusi ini dibahas perjanjian mengenai pangan. Tiga Hal Pokok Profesor Astrid Soetanto (alm) menyampaikan kepada penulis pada suatu kesempatan bahwa di dalam Sumpah Pemuda itu terdapat tiga hal pokok sebagai landasan operasionalnya yang jarang diketahui. Pertama, tekad yang kuat dari seluruh bangsa Indonesia; kedua, pendidikan dan kepanduan; dan ketiga adalah hukum adat. Sejalan dengan hal ini, penciptaan budaya pangan baru juga hanya akan terjadi apabila kita memiliki tekad yang kuat, pendidikan dan kepanduan serta membangun kesadaran baru bahwa kita harus bisa dan kuat membangun budaya pangan baru sebagaimana kita telah berhasil menciptakan satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia. Ini adalah modal spiritual yang maknanya sangat mendalam. Dapatkah kita membangun satu kesadaran baru bahwa kita harus bisa dan kuat membangun budaya pangan baru yang sehat, murah, mudah didapat, lezat dan bahan bakunya bersumber dari bumi Ibu Pertiwi Indonesia? Prof Sjamsoe'oed Sadjad pada awal tahun 1982 (Kompas, 30 September 1982) mengingatkan kita semua bahwa kegagalan kita membangun pola diversifikasi pangan dan gizi adalah bahwa kita hanya menyajikan pangan alternatif tersebut secara asalan

saja. Beliau menganjurkan bahwa "Mari Belajar Makan Tepung", kalau kita mau mencapai ketahanan pangan yang kuat. Membangun budaya pangan baru itu perlu dimulai dari sejak bayi hingga usia dewasa. Dengan menggunakan tepung yang diolah dari berbagai macam sumber pangan: beras, bekatul, ubi jalar, ubi kayu, talas, sukun, pisang, sagu, dan berbagai jenis tanaman lainnya, maka kita akan memiliki sumber pangan yang jumlah, mutu dan jenisnya yang akan memberikan keleluasaan bagi masa depan anak-cucu kita. Tanggung jawab kita semua untuk memberikan kesempatan bahwa anak-cucu kita tidak tergantung pada pasokan pangan dari negara-negara lain. Dapatkah kita bersumpah bersama: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, dan satu sumber pangan yang bersumber dari kasih Ibu Pertiwi Indonesia? Dengan kesadaran bahwa kita wajib melanjutkan budaya besar yang kita warisi, tentu kita harus bisa dan kuat untuk melakukannya. Ketahanan nasional yang kuat akan lahir dimulai dari ketahanan budaya pangan kita. Selamat Ulang Tahun Sumpah Pemuda yang ke-78. Dirgahayu Indonesia. Penulis adalah Natural Resource Economist Last modified: 16/10/06

Related Documents


More Documents from ""