BAB I RUANG LINGKUP MANAJEMEN STRESS KERJA (BURNOUT)
A. Lingkup Manajemen Stress Kerja Peranan pendidikan dalam kehidupan sangat penting bagi bangsa Indonesia. Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Demikian pentingnya peranan pendidikan, maka dalam UUD 1945 diamanatkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak untuk mendapat pendidikan, pengajaran dan pemerintah mengusahakan untuk menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang. Sebagai penghasil sumberdaya manusia yang handal dan sebagai penyedia jasa (service provider), pendidikan memiliki kewajiban untuk menciptakan manusia berkualitas melalui suatu proses pendidikan secara efektif. Secara umum, penyedia jasa pendidikan di Indonesia terdiri dari dua macam jasa yaitu pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat. Penyedia jasa pendidikan dikategorikan menurut tujuan penyedia jasa dan bersifat nirlaba. Perguruan tinggi sebagai salah satu instrumen pendidikan nasional diharapkan dapat menjadi pusat penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan tinggi serta pemeliharaan, pembinaan dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan atau kesenian sebagai suatu masyarakat ilmiah ilmiah yang dapat meningkatkan mutu kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam Undang- Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), penyelenggara pendidikan tinggi nasional yang berlaku di Indonesia dilakukan oleh pemerintah. Jasa pendidikan tinggi terdiri dari pendidikan Akademik dan Pendidikan Profesi, sedangkan satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi berbentuk Akademi, Politeknik, Sekolah Tinggi, Institut, dan Universitas baik yang negeri maupun swasta. Sebagai sebuah organisasi, Perguruan Tinggi tentunya dituntut memiliki perencanaan-perencanaan strategik yang berkaitan dengan usaha menunjang kelancaran kegiatannya serta usaha pengembangan lebih lanjut. Untuk pengembangan, maka diperlukan adanya upaya secara berkelanjutan untuk merealisasi berbagai program kegiatan baik yang menyangkut dimensi personalia maupun dimensi material dan manajemen administratif dan yang paling penting untuk dikaji lebih dalam lagi adalah pengembangan dimensi personalianya yang menyangkut peningkatan kualitas kerja sumberdaya manusia (khususnya dosen) yang berada pada PT. Disebut penting karena salah satu elemen pokok dalam PT sebagai sebuah organisasi adalah kesediaan dan kemauan dosen untuk memberikan sebagian daya upaya masing-masing secara nyata pada sistim kerjasama dalam berorganisasi. Konsep ini memfokuskan perhatian tentang bagaimana memotivasi dosen untuk bekerja sama secara manusiawi dengan atasannya, rekan dosen, staf administrasi maupun dengan mahasiswa. Hubungan manusiawi ini lebih menekankan kepada terciptanya suatu kondisi lingkungan kerja yang lebih baik, penyelia yang simpatik, tunjangan yang lebih baik, motivasi kerja yang lebih baik sehingga kesemua hal ini akan berpengaruh terhadap kinerja organisasi yang secara tidak langsung juga telah mempengaruhi tingkat kepuasan kerja (Straus dan Sayles, 1996 dalam Zaenal Abidin Sahabuddin, 2009). Dosen selaku civitas akademika dalam setiap aktivitasnya pasti akan mengadakan kontak langsung dengan individu-individu yang telah disebutkan atas, seperti dalam bentuk pertemuan rapat secara periodic
dengan atasannya, hubungan rekan kerja dengan sesama dosen dan staf adminstasi secara rutin maupun interaksi antara dosen dengan mahasiswa dalam bentuk perkuliahan, seminar, bimbingan dan hubungan dalam bentuk lainnya. Namun tingkat rutinitas pekerjaan seorang dosen yang selalu mengadakan kontak langsung dengan individu lain secara tinggi pasti akan menjadi determinan bagi lahirnya suatu kondisi yang dikenal dengan istilah ”Burnout”, seperti ; kelelahan emosional (yang ditandai dengan berkurangnya sumber emosional di dalam diri seperti rasa kasih, empati, dan perhatian), memandang rendah dan meremehkan, bersikap sinis serta kasar kepada orang lain, juga merasa dirinya tidak kompeten dan tidak efektif serta kurang puas dengan apa yang telah dicapai dalam pekerjaan. Pendapat ini didasari oleh beberapa hasil kajian ilmiah antara lain : Cordes dan Dougherty (1993) dalam Low et al., (2001) yang mengungkapkan bahwa Burnout mungkin saja atau biasa terjadi dalam berbagai jenis pekerjaan dan kondisi. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Maslach yakni bahwa Burnout lebih dekat hubungannya dengan profesi-profesi penolong seperti perawat, pendidik (seperti guru atau dosen), pekerja sosial serta tenaga penjual atau tenaga pelayan yang selalu berhadapan langsung dengan konsumen. Profesi-profesi yang memiliki kecenderungan untuk mengalami Burnout tersebut, kemudian menjadi sampel penelitian yang ramai diteliti , antara lain oleh ; Dubisky at al., (1992) ; Moncrief et al., (1997) ; Babakus at al., (1999) ; Brashear at al., (2000) ; Low at al., (2001) ; Zagladi, (2004) dan Harris at al., (2006). Pendapat terakhir Burnout pada guru sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama, sekolah lanjutan tingkat umum hingga perguruan tinggi di Amerika Serikat oleh Sweeney dan Summers, (2002) yang membuktikan bahwa Burnout pada umumnya dialami juga oleh guru dan tenaga pendidik lainnya. Demikian juga tak terkecuali peran sector swasta dalam perannya sebagai suatu organisasi yang bersama – sama dengan bekerja dalam pengembangan perekonomian suatu Negara sangat pasti dan tidak terlepas
kemungkinan mengalami hal yang sama manakalah diperhadapkan dalam proses pekerjaan yang dilakukannya di suatu jaringan organisasi perusahaan sangat pasti diperhadapkan dengan apa yang dinamakan sebagai Burnout atau stress kerja yang bias dialami oleh karyawan perusahaan. Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat dikatakan bahwa Burnout sangat mungkin dialami oleh tenaga dosen, baik dosen dengan status Pegawai Negeri Sipil (PNS) dpk maupun dosen yayasan (dosen swasta). Burnout yang mungkin dialami oleh tenaga dosen yang sementara menduduki jabatan struktural secara pasti disebabkan karena adanya kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan bagi dosen tersebut. Salah satu penyebabnya karena adanya konflik peran yang dihadapi oleh dosen. Konflik peran yang dimaksud bersumber dari buruknya hubungan atasan, rekan dosen dan staf yang rendah serta tingkat keakraban yang rendah juga menjadi pemicu buruknya hubungan tersebut. Konflik antara sesama rekan dosen yang terjadi pada PTS disebabkan oleh adanya persaingan internal di antara dosen tersebut, terutama dalam hal perebutan jumlah mata kuliah yang diasuh dan jam mengajar. Konflik yang samapun terjadidengan mahasiswa, dan seperti yang telah dijelaskan di atas, hal ini disebabkan oleh karena tingginya tingkat rutinitas pertemuan antara dosen dengan mahasiswa dalam bentuk perkuliahan, pendampingan mahasiswa (permentoran), seminar, pengujian dan bentuk hubungan lainnya. Konflik lainnya lahir dari tanggung jawab lain yang harus dipikul oleh dosen yaitu menduduki salah satu jabatan struktural pada Perguruan Tinggi . Dalam hal ini seorang dosen akan diperhadapkan dengan 2 (dua) pekerjaan, tanggung jawab dan tuntutan harapan yang berbeda dari pekerjaannya sebagai seorang dosen maupun sebagai seorang pejabat struktural. Fenomena ini selaras dengan hasil kajian empiris yang diteliti Dubisky at al., (1992) yang menyimpulkan bahwa konflik peran pada tenaga penjualan ternyata berpengaruh (negatif) terhadap tingkat kepuasan. Temuan ini diperkuat oleh hasil penelitian yang sama oleh
Brashear at al., (2000). Faktor lain yang relatif berpotensi menyebabkan lahirnya Burnout pada dosen adalah beban kerja yang harusditanggung oleh dosen tersebut. Beban kerja tersebut antara lain ; banyaknya jumlah mata kuliah yang diasuh per semester, melakukan berbagai kegiatan penelitian dan kegiatan pengabdian pada masyarakat serta harus berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan-kegiatan kepanitiaan. Beban kerja kerja tersebut akan semakin berat, karena ditambah dengan tugas lainnya yaitu sebagai pejabat struktural yang harus diembani oleh dosen tersebut dan dalam kenyataannya dosen-dosen tersebut sering kali ditugasi untuk memenuhi seminar, undangan atau petemuanpertemuan ilmiah mewakili atasannya. Hal ini dipertegas oleh hasil kajian Shaw dan Weekly, (1985) dalam peneltian mereka yang berjudul “The effect of objective work load variations of psychological strain and post work load performance” yang menjelaskan bahwa work overload (kelebihan beban kerja) berpengaruh secara positif terhadap perceive pressure (perasaan tertekan). Kedua determinan Burnout di atas didukung oleh Moncrief at al., (1997) menjelaskan bahwa Konflik peran mempengaruhi secara langsung terhadap Burnout, sementara kepuasan kerja dapat mengurangi Burnout. Sedangkan selaras dengan Shaw dan Weekly, (1985), Zagladi (2004) menemukan bahwa beban kerja yang berlebihan berpengaruh positif terhadap Burnout, konflik peran tidak berpengaruh terhadap Burnout dan kelelahan emosional (salah satu dimensi Burnout) yang tinggi berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja. Determinan Burnout lainnya justru berasal dari motivasi intrinsik dosen tersebut. Brewer, 1994 (dalam Karatepe dan Tekinkus, 2006) menjelaskan bahwa motivasi intrinsik adalah merupakan salah satu kunci talenta terbaik dari pekerja yang berada di garis depan. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa motivasi intrinsik merupakan variabel yang dapat mengurangi intensitas Burnout. Pernyataan di atas dapat dibenarkan melalui hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan beberapa dosen PTS baik yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS)
dpk maupun yang berstatus dosen swasta ataudosen yayasan yang sementara menempuh pendidikan lanjut pada berbagai universitas Motivasi intrinsic tersebut berupa adanya persepsi dari dosen PT tersebut, bahwa mereka akan mempunyai peluang untuk lebih cepat dalam pengusulan kenaikan pangkat fungsional jika menduduki salah satu jabatan struktural pada lembaga tempat pengabdiannya. Proksi motivasi intrinsik lainnya yaitu bahwa mereka juga tertarik untuk mendapatkan pengakuan, merasa tertarik dengan tugas itu sendiri, juga memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap tugasnya serta memiliki motivasi untuk memajukan lembaga tempat mengabdi. Kontribusi pengaruh motivasi intrinsik ini diteliti oleh Low at al., (2001) dalam hasil penelitiannya yang menggunakan 148 tenaga penjualan sebagai objek terteliti, mengungkapkan bahwa semakin tinggi motivasi intrinsik maka konflik peran akan semakin rendah. Mereka juga mengemukakan bahwa semakin tinggi motivasi intrinsik maka Burnout akan semakin rendah dan semakin tinggi Burnout maka akan menurunkan tingkat kepuasan kerja. Berdasarkan pemaparan fenomena yang berpatokan pada kajian empiris terdahulu tentang Burnout serta konsekuensinya terhadap tingkat kepuasan kerja, maka variabel anteseden dari Burnout dalam penelitian ini : (1). Konflik peran (Dubisky at al., (1992) ; Moncrief at al., (1997) ; Babakus, (1999) ; Brashear at al., (2000) ; Low at al., (2001) ; Zagladi, (2004) ; Lankau at al., (2006) ; Harris et al., (2006) dan Bhanugopan, (2006)). (2). Kelebihan kelebihan beban kerja (Shaw & Weekly, (1985) ; Zagladi, (2004) dan Bhanugopan, (2006)). (3). Motivasi intrinsik (Low at al., (2001); Karatepe dan Tekinkus, (2006)). Variabel-variabel tersebut adalah variabel anteseden yang akan diuji secara empiris dan dianalisa pengaruhnya terhadap Burnout serta besarnya konsekuensinya terhadap tingkat kepuasan kerja. Hal ini dapat diartikan sebagai suatu pengungkapan yang sama sekali tidak bertujuan untuk ”mengecilkan” atau bahkan menolak masuknya variabel lain dalam penelitian ini yang semula ”terkesampingkan”, namun relevansi variable tersebut merupakan gambaran nyata dihadapi oleh dosen
pada PT Memang diakui penulis bahwa kajian mengenai Burnout serta konsekuansinya terhadap tingkat kepuasan kerja telah banyak dilakukan. Namun masih belum cukup menjelaskan fenomena secara integratif dan meneliti pada subyek, serta dimensi variable anteseden yang diungkap seperti yang dilakukan pada penelitian ini. Secara umum, hal ini tentu saja merupakan celah penelitian yang dapat ”dimasuki” penulis untuk meneliti lebih lanjut, di samping celah penelitian yang diperoleh dari hasil telaah kajian empiris terdahulu. Demikian juga tak terkecuali peran sector swasta dalam perannya sebagai suatu organisasi yang bersama – sama dengan bekerja dalam pengembangan perekonomian suatu Negara sangat pasti dan tidak terlepas kemungkinan mengalami hal yang sama manakalah diperhadapkan dalam proses pekerjaan yang dilakukannya di suatu jaringan organisasi perusahaan sangat pasti diperhadapkan dengan apa yang dinamakan sebagai Burnout atau stress kerja yang bias dialami oleh karyawan perusahaan. Siapa yang tidak kenal dengan Apple.Inc. Perusahaan ternama asal Amerika Serikat ini benar-benar menjadi fenomena baru teknologi dunia. Sejak didirikan pada tahun 1976 oleh Steve Jobs dan Steve Wozniak, berbagai macam produk telah dikeluarkan oleh Apple. Yang terbaru, sebut saja iPhone dan iPad. Kedua produk Apple tersebut benar-benar menguasai pasar telekomunikasi dan gadget dunia. Total penjualan iPhone pada April tahun 2012 ini telah mencapai angka 35,1 Juta unit atau naik sekitar 88% dibandingkan tahun sebelumnya (Apple Conference Call, 2012). iPad pun pada kuartal pertama ini telah menyentuh angka penjualan fantastis sebesar 11,8 Juta unit (naik lebih dari 100% dibandingkan tahun sebelumnya). Secara keseluruhan, jumlah pemasukan Apple pada kuartal ini telah mencapai US$ 39,2 Miliar dengan total keuntungan bersih sebesar US$ 11,6 Miliar. Apple-pun dinobatkan sebagai top 20 perusahaan terkaya di dunia dan top three perusahaan dengan perolehan laba tertinggi di dunia periode 2011-2012 (Bambang, 2012).
Ironisnya, di saat Apple bahagia karena hasil perolehan keuntungannya yang terus meningkat, Foxconn yang notabene adalah perusahaan perakit hampir seluruh produk Apple justru dalam suasana mencekam. Tuntutan kenaikan upah yang disertai dengan ancaman bunuh diri masal oleh para pekerja Foxconn seolah menjadi noda hitam dalam keberhasilan Apple. Hingga awal tahun ini, tercatat lebih dari 18 usaha percobaan bunuh diri telah dilakukan oleh pekerja Foxconn di berbagai lini produksi. Tiga belas diantaranya berakhir pada kematian. Beban kerja yang tinggi, lingkungan kerja yang ketat, serta upah yang tidak adil memberikan tekanan kerja tersendiri bagi para pekerja Foxconn. Laporan Center for Research on Multinational Corporations dan Students
&
Scholars
Against
Corporate
Misbehaviour
(Sacom)
mengungkapkan bahwa sekitar 500 ribu karyawan bekerja dalam kondisi tertekan. Mereka dipaksa berkerja bagai mesin. Jam kerja Foxconn yang melebihi batasan jam kerja legal di China seakan menjadi bukti akan hal tersebut. Rata-rata pegawai Foxconn bekerja selama 60 jam setiap pekannya. Padahal, batasan jam kerja yang dilegalkan di China hanya selama 49 jam setiap pekannya. Seringkali, mereka terpaksa tidak mengambil ‘jatah libur’ guna memenuhi target produksi yang telah ditetapkan perusahaan. Permintaan pasar terhadap produk Apple yang terus meningkat tiap tahunnya memaksa para pekerja Foxconn untuk bekerja lebih keras melebihi batas kemampuan yang mereka miliki.
Gambar 2. Suasana dan Lingkungan Kerja Foxconn Kerja lembur tanpa libur bukan merupakan satu-satunya isu yang dihadapi Foxconn terkait stres yang dialami pekerja mereka. Hasil survey Fair Labor Association dan lembaga-lembaga independen lainnya mengungkapkan bahwa terdapat stressor-stressor (pemicu stres) lain yang diindikasi berperan terhadap stres yang dialami para pekerja Foxconn, seperti; upah kerja yang relatif kecil jika dibandingkan dengan jam kerja yang dihabiskan oleh para pekerja Foxconn (pekerja Foxcon ratarata mendapatkan upah sebesar USD 350-400 setiap bulannya atau sekitar
Rp. 3 Juta - 4 Juta per bulan. Sebanyak 64% pekerja Foxconn mengatakan bahwa upah mereka tidaklah bisa menutupi kebutuhan dasar mereka), lingkungan kerja yang mirip militer (semuanya serba disiplin dengan aturan yang kaku dan ketat), perlakuan kerja yang tidak manusiawi (seperti jam istirahat kerja yang hanya 2x10 menit, sehingga tidak jarang para pegawai terpaksa menahan kebutuhannya untuk membuang air besar/kecil lantaran ia telah menggunakan jam istirahatnya, teriakan dan omelan para manajer terhadap pegawai yang melakukan kesalahan, susah bergerak akibat terlalu lama memakai jaket plastik dan sepatu bot ketika merakit produk, serta seringkali pekerja Foxconn mengalami kebengkakan di kakinya, nyaris tidak mampu berdiri lagi karena terlalu lama berdiri dalam kerja shift 24 jam), ruang atau kamar asrama perusahaan yang penuh sesak dengan ratusan pekerja dan desain bangunan yang mirip penjara, penggunaan anak-anak muda sebagai buruh perusahaan (Foxconn hanya mau merekrut pekerja berusia 20-28 tahun, bahkan ada sebagian pekerja yang masih berusia belasan tahun), serta kurangnya kepedulian Foxconn terhadap cedera yang dialami pekerja, baik karena tanggung jawab kerjanya (seperti penggunaan bahan kimia beracun untuk membersihkan produk) ataupun musibah akibat kurangnya protokol keselamatan (seperti kebakaran perusahaan yang terjadi 2 tahun lalu yang menewaskan 4 pekerja dan melukai hampir 75 pekerja). Tidak ada bentuk kepedulian sama sekali dari Foxconn. Jikalaupun ada, biasanya itu terjadi
lantaran adanya desakan dari pihak ketiga agar Foxconn lebih peduli terhadap nasib pekerjanya. Akibat kondisi tersebut, banyak pegawai Foxconn yang merasa stres dan melakukan upaya bunuh diri. Sebagaimana telah diungkapkan oleh Liu Zhi Yi (21 tahun), seorang reporter sebuah surat kabar China yang melakukan penyamaran menjadi pekerja Foxconn guna mengetahui kondisi kerja
Foxconn
sebenarnya.
Setelah
28
hari
penyamarannya,
Liu
menyimpulkan, “tidak ada keraguan lagi bahwa terdapat hubungan yang sangat jelas antara tingkat stres yang dialami oleh pekerja Foxconn dengan upaya percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh mereka. Total sebanyak 13 pekerja muda telah mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri akibat stres yang mereka rasakan. Disamping itu, akibat sibuknya mereka dengan rutinitas bekerja, kebanyakan pekerja tidak mengenal satu sama lain (ghizmodo.com dan berbagai sumber).” Foxconn tidak tinggal diam. Berulang kali mediasi coba dilakukan Foxconn untuk mengatasi masalah ini. Berbagai alternatif solusi pun telah dijalankan. Mulai dari menyediakan fasilitas CARE center untuk menjaga kesehataan psikologis pekerja, memasang jala di setiap gedung bertingkat Foxconn untuk mencegah timbunya korban bunuh diri baru, membuat surat perjanjian tidak akan bunuh diri dengan pekerja mereka, menuruti permintaan pekerja akan kenaikan gaji, menyediakan distress room, pengadaan fasilitas hiburan baru seperti restoran, kafe internet, bioskop, kolam renang untuk menyegarkan mental pekerja, mengurangi jam kerja
lembur, peningkatan penggunaan robot untuk mencapai efesiensi, hingga memberikan pesangon (meski nilainya relatif kecil) bagi pekerja yang memilih berhenti bekerja, tetap saja hal itu tidak mengurangi tingkat stres yang dialami pekerja Foxconn. Sebanyak 200-300 pekerja justru mengancam akan melakukan bunuh diri masal pada awal tahun 2012 ini.
Gambar 3. CARE center dan jala yang dibuat Foxconn sebagai upaya untuk mencegah adanya korban bunuh diri serta lowongan kerja Foxconn yang selalu ramai peminat CEO Foxconn, Terry Gou, seakan sudah jenuh dan tidak peduli lagi akan permasalahan tersebut, ia mengatakan, “Hon Hai (Foxconn) has a workforce of over one million worldwide and as human beings are also animals, to manage one million animals give me a headache (Blodget, 2012).” Gou menganggap bahwa isu negatif tentang perlakuan buruh yang menyerang Foxconn bukanlah semata kesalahan dirinya. Hal itu (upah kecil, jam kerja panjang) merupakan permasalahan yang umum terjadi di berbagai industri manufaktur dunia. Lagipula, meski isu tersebut semakin sering terpublikasi media, ternyata hal itu tidak mengurangi minat rakyat China untuk bekerja di Foxconn. Antrian panjang selalu terjadi ketika Foxconn
membuka lowongan kerja. Foxconn lagi-lagi memiliki bargaining power yang lebih tinggi atas pekerjanya. Pekerja Foxconn semakin tidak memiliki pilihan selain bekerja keras dalam pekerjaan saat ini dengan menerima upah dan kondisi yang ada atau memutuskan untuk keluar dan bekerja keras mencari pekerjaan lain. POKOK PERMASALAHAN 1. Apakah yang melatarbelakangi stress yang ada di Foxconn? 2. Bagaimana manajemen perusahaan menangani dan mengurangi tingkat stres pekerja yang dialami pekerja Foxconn? B. ANALISA KASUS DAN TEORI a. Stres Kerja Stres kerja dapat didefinisikan sebagai suatu tanggapan dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan proses psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan lingkungan, situasi atau peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan fisik seseorang (Luthans, 1992). Baron dan Greenberg (1999) mendefinisikan stres kerja sebagai reaksi – reaksi emosional dan psikologis yang terjadi pada situasi dimana tujuan individu mendapat halangan dan tidak bisa mengatasinya. Sedangkan, Rivai dan Mulyadi (2003) menjelaskan bahwa timbulnya stres kerja adalah dikarenakan adanya ketidakseimbangan antara karakteristik
kepribadian
pegawai
dengan
karakteristik
aspek-aspek
pekerjaannya dan dapat terjadi pada semua kondisi pekerjaan. Secara keseluruhan, stres kerja dapat diartikan sebagai suatu respon (bisa berupa reaksi emosional ataupun psikologis) dari setiap individu baik positif maupun respon negatif yang terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara kepribadian,
psikologis
dari
setiap
individu
dengan
karakteristik
pekerjaannya. Berdasarkan definisi tersebut, tampak jelas bahwa kasus yang terjadi di Foxconn, China, merupakan akibat dari adanya stres kerja yang dialami para pegawainya. Ada ketidakseimbangan antara kepribadian pekerja Foxconn dengan karakteristik pekerjaan yang dihadapinya, selain itu adanya beban kerja yang berlebih dengan imbalan yang tidak sebanding atas apa yang mereka kerjakan semakin memberikan tekanan psikis tersendiri bagi mereka. Permasalahanpun semakin rumit ketika beban kerja yang mereka dapatkan ternyata lebih tinggi dari yang mereka bayangkan. Upah yang kecil serta perlakuan manajemen yang diluar batas manusiawi semakin menambah derita pekerja. Para pekerja pun bereaksi dengan menuntut perbaikan gaji, kondisi kerja, jam kerja, serta perlakuan yang lebih baik dan manusiawi. Bahkan, mereka mengancam untuk melakukan tindakan bunuh diri jika tuntutan mereka tidak dipenuhi oleh Foxconn (acute stressor).
b. Faktor – Faktor Penyebab Stres Kerja Terdapat dua faktor penyebab stres kerja yaitu faktor lingkungan kerja dan faktor personal. Faktor lingkungan kerja dapat berupa kondisi fisik, manajemen di organisasi dan hubungan sosial di lingkungan pekerjaan. Sedangkan, faktor personal berupa tipe kepribadian, peristiwa/pengalaman pribadi maupun kondisi sosial-ekonomi keluarga di mana pribadi berada dan mengembangkan diri (Dwiyanti, 2001 dalam Rivai and Mulyadi, 2003: hal.310). Merekapun membagi faktor penyebab stres ke dalam tujuh kelompok yaitu orang yang stres karena tidak adanya dukungan sosial (lingkungan/rekan kerja), tidak adanya kesempatan berpartisipasi dalam pembuatan keputusan di kantor, pelecehan seksual, kondisi fisik lingkungan kerja, manajemen yang tidak sehat, tipe kepribadian individu, serta peristiwa yang dialami individu di luar lingkungan kerjanya. Adapun, National Association of Social Worker (2008) mengungkapkan bahwa faktor-faktor pemicu stres kerja (jobs stressor) yang biasa dialami oleh para pekerja, diantaranya
adalah
heavy
workload,
lack
of
time
to
do
job,
difficult/challenging clients, overall inadequate compensation, dan salary not comparable to collegues in similiar jobs. Berdasarkan hal tersebut, faktor yang menyebabkan terjadinya stres pada pekerja Foxconn dapat dikelompokkan ke dalam 8 hal sebagai berikut : 1. Tidak adanya dukungan sosial Tidak ada interaksi sosial yang baik antar pegawai Foxconn. Mereka tidak memiliki waktu untuk bercengkrama dengan sesama karyawan,
bahkan untuk sekedar saling menyapa. Pegawai Foxconn dipaksa untuk bekerja lembur selama 60 jam, padahal aturan legal batasan lembur yang hanya sebatas 49 jam tiap bulannya, waktu istirahat kerjapun hanya 2x10 menit. 2. Pelecehan Teriakan-teriakan dari supervisor/manajer produksi sering diterima para pegawai Foxconn. Kesalahan sedikit akan berbuah cacian atau pun makian bagi mereka. Dari berbagai sumber, memang belum ada yang menyatakan akan terjadinya pelecehan fisik (contohnya: pukulan) di Foxconn, tetapi kekerasan berupa pelecehan verbal tidak jarang terjadi. 3. Kondisi lingkungan kerja yang tidak mendukung Lingkungan kerja perusahaan beromzet Rp. 9 Triliun ini sama sekali tidak mendukung untuk bekerja, ruangan pabrik yang panas, asrama yang begitu sesak dengan desain bangunan yang mirip penjara serta aturan-aturan perusahaan yang sangat ketat menjadi tempat keseharian pekerja dalam menghabiskan waktu. Hal ini tentu saja bukan kondisi yang ideal bagi karyawan Foxconn untuk bekerja dan beraktivitas.
Meskipun,
telah ada perbaikan-perbaikan serta
penambahan fasilitas baru oleh Foxconn akhir-akhir ini, tetap saja hal itu tidak menyelesaikan permasalahan utama mereka terkait stres pekerja. Permasalahan utama bukan terletak pada fasilitas, akantetapi pada sikap dan cara pandang manajemen Foxconn.
4.
Manajemen yang tidak sehat Foxconn dikenal sebagai perusahaan yang sering berperilaku buruk terhadap pekerjanya. Hal ini tidak terlepas dari sikap CEO Foxconn yang secara tersirat menganggap pekerjanya sebagai binatang dan terlalu otoriter. Karyawan atau buruh yang melakukan kesalahan seringkali dipermalukan di depan umum, teriakan dari para atasan pun merupakan hal yang biasa dalam suasana kerja Foxconn. Mereka tidak menghargai hak–hak asasi yang dimiliki para pekerjanya. Manajemen Foxconn hanya berorientasi pada profit dengan memaksimalkan kuota produksi, bukan berorientasi pada people.
5. Heavy workload Pandangan CEO Foxconn yang mengibaratkan pekerjanya sebagai binatang, sangat terlihat dalam sikap mereka memperlakukan karyawan. Pekerja Foxconn dipaksa untuk bekerja melebihi batasan waktu kerja yang dilegalkan di China. Mereka bekerja selama 60 jam setiap pekannya, bahkan tanpa waktu libur jika permintaan produksi meningkat. 6. Overall inadequate compensation Jam kerja lembur tanpa hari libur dengan upah yang amat sangat tidak sebanding merupakan ciri khas dari Foxconn. Para pekerja Foxconn hanya mendapatkan upah sebesar USD 350-400 setiap bulannya. Namun pada awal tahun 2013, sesuai perjanjian, Foxconn
dan Apple sepakat untuk menaikkan gaji karyawan sebesar 25% atau sekitar USD 750 per bulannya. 7. Overload and Underload Greenberg (2011, hal. 193) mendefinisikan overload sebagai suatu penyebab stress dalam pekerjaan namun masih secara global. Ada dua jenis tipe overload (J.L. Gibson, et. al). Kedua jenis tersebut yaitu Qualitative overload dan Quantitative overload. Qualitative overload terjadi ketika seseorang merasa memiliki kekurangan sehingga tidak mampu untuk memenuhi standar kerja yang tinggi. Sedangkan Quantitative overload merupakan hasil dari banyak pekerjaan yang dilakukan atau tidak memiliki waktu cukup untuk memenuhi pekerjaannya. Underload merupakan rasa jemu akibat melakukan pekerjaan sama yang berulang-ulang (monoton). Para pekerja Foxconn menghadapi kondisi kerja yang overload (kuantitatif) dengan kondisi psikis yang underload. Pekerjaan pabrikan yang monoton dengan target produksi yang tinggi dan waktu pemenuhan yang sempit serta ancaman pelecehan dari manajemen jika bekerja buruk, seringkali menyebabkan pekerja Foxconn bekerja keras melebihi batas kemampuan mereka. Para pekerja Foxconnpun banyak yang kehilangan motivasi kerja (mulai dilanda kebosanan-boredom) dan apathy (cuek dengan lingkungan kerjanya).
Gambar 4. Underload-Overload Continuum Source: Gibson, et al; 2006: p. 202 8. Salary not comparable to collegues in similiar jobs Dibandingkan dengan pekerja di manufaktur pembuat Samsung, upah yang diterima pekerja jauh lebih kecil. Tercatat, upah pekerja Foxconn per bulannya adalah sebesar USD 350 sementara pekerja di pabrikan Samsung menerima upah USD 2000 setiap bulannya. Upah yang sangat rendah diterima pekerja Foxconn untuk ukuran perusahaan beromzet Rp. 9 Triliun dengan 35% kekuasaan pasar. C. Dampak Stres Kerja Stres kerja yang terjadi di dalam suatu organisasi bisa menjadi suatu hal yang menguntungkan tetapi juga dapat menjadi hal yang sangat merugikan bagi perusahaan maupun karyawan. Pada umumnya dampak negatif dari stres kerja kepada perusahaan dapat berupa terjadinya kekacauan, hambatan
baik dalam manajemen maupun operasional kerja, mengganggu kenormalan aktivitas kerja, menurunkan tingkat produktivitas, menurunkan komitmen organisasi, menurunkan pemasukan dan keuntungan perusahaan, turnover pekerja (Greenberg & Baron, 1993; Quick & Quick, 1984; Robbins, 1993). Sementara dampak negatif stres kerja kepada karyawan dapat berupa (Arnold, 1986 dalam Rivai and Mulyadi, 2003: hal.317) ; terganggunya kesehatan fisik, kesehatan psikologis, performance, serta mempengaruhi individu dalam pengambilan keputusan. Stres kerja yang dialami pekerja Foxconn pada umumnya memberikan dampak negatif baik bagi perusahaan ataupun karyawan itu sendiri. Kondisi terburuk adalah meningkatnya angka bunuh diri yang dilakukan oleh pekerja Foxconn dari tahun ke tahun (gangguan psikologis). Adapun, dampak negatif bagi perusahaan adalah tingginya tingkat turnover pekerja (data statistik Foxconn mengungkapkan bahwa lebih dari 5% pekerja mereka telah mengundurkan diri tiap bulannya) dan terjadinya kekacauan baik dalam manajemen maupun operasional kerja karena karyawan tidak bekerja dengan maksimal sebagai akibat penuntutan kenaikan gaji serta ancaman bunuh diri (masal). D. Strategi Mengelolah Stres Stres dapat dicegah dengan pengelolaan manajemen yang lebih baik. Suatu organisasi perlu mendirikan atau membuat stress management. Bagan dari target organizational stress management program dapat dilihat pada
gambar 5. Berdasarkan gambar tersebut, manajemen dapat menyiapkan program dengan target untuk (1) mengidentifikasi dan memodifikasi stres pekerja, (2) mengajak pegawai untuk mengidentifikasi jenis stress dan dampak stress itu sendiri, (3) memberikan dukungan kepada pekerja melalui fasilitas/saran menghindari stres. Perubahan suasana kerja yang cepat mungkin tidak bisa langsung dilakukan. Namun, dapat dilakukan perlahan dan step-by-step. Metode ini adalah salah satu alternatif yang dapat diterapkan di Foxconn. Stres yang dihadapi oleh pekerja Foxconn merupakan stres dengan stadium tinggi (acute stressor). Manajemen Foxconn hendaknya mampu mengatasi permasalahan ini dengan adaptif dan efektif. Diperlukan metode pendekatan yang tepat dalam mengelola stres. Suprihanto (dalam Rivai and Mulyadi, 2003: hal. 319) menyatakan bahwa terdapat dua pendekatan yang biasa digunakan perusahaan dalam mengelola stres yang dialami pekerjanya, yaitu pendekatan indidvidu dan pendekatan organisasi. 1). Pendekatan Individual Strategi yang bersifat individual yang cukup efektif yang bisa dilakukan oleh perusahaan Foxconn untuk menghadapi karyawan yang mengalami stres kerja adalah memberikan perhatian dan dukungan secara individu, mengatur waktu kerja dengan baik, menyediakan jasa konseling bagi seluruh karyawan sebagai wadah karyawan untuk berkonseling mengenai kehidupan, dan serta menjadwalkan untuk mengadakan wisata bersama karyawan hal ini perlu untuk menghilangkan stres serta lebih
mendekatkan karyawan dengan pimpinannya dan juga sesama karyawan. Adanya wadah untuk bersosialisasi maupun kegiatan sosialisasi bagi karyawan dipercaya dapat menjaga emotional pekerja tetap stabil. Sosialisasi merupakan suatu proses individu mempelajari nilai dan kebutuhan perilaku untuk menjadi anggota organisasi yang efektif (Gibson, 2006, hal. 216). Organization Stress Management and prevention Program Target at: 1
3 2
Work and Nonwork Stressor Workload Job conditions Role conflict and ambiguity Career development Interpersonal relations Aggressive behavior Conflict between work and nonwork (child care and elder care)
Outcomes of stress: Employee Perceptions/experience of stress
Gambar 5 Organizational stress management program target
Physiological Emotional Behavior
Source: John M. Ivaneevich, Michael T. Matteson, Sara M, Freedman, and James S. Phillips, “Worksite Stress Management,” American Psychologist, 1990, p.253 in Organizational Behavior Structure Process, Gibson, 2006. 2). Pendekatan Organisasional. Strategi dengan pendekatan organisasional merupakan strategi yang sangat efektif dilakukan oleh perusahaan Foxconn karena awal stres dari karyawan adalah manajemen perusahaan yang tidak baik. Pendekatan organisasional yang bisa dilakukan perusahaan Foxconn adalah dengan menciptkan iklim organisasi yang kondusif, pembuatan keputusan partisipatif yang melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan, membenahi sistem manajemen di dalam perusahaan, menempatkan karyawan di divisi yang sesuai dengan kemampuannya, mendesain kembali manajemen yang ada di perusahaan Foxconn, pemimpin perusahaan harus lebih manusiawi dan mempunyai jiwa kepemimpinan yang
tinggi
yang
mampu
mengayomi
seluruh
karyawannya,
melaksanakan program kesejahteraan bagi pegawai seperti memberikan asuransi kesehatan bagi karyawan dan keluarga, serta memberikan bantuan pendidikan kepada anak–anak dari karyawan. Selain itu yang terpenting adalah membangun komunikasi yang baik antara pimpinan dengan karyawan, dan komunikasi antara sesama karyawan. Dengan strategi ini akan bisa membuat karyawan mendapatkan pekejaan yang
sesuai dengan kemampuannya, serta terciptanya hubungan interpersonal yang sehat. Selain melalui dua pendekatan tersebut, dapat menggunakan beberapa pendekatan berikut ini: 1. Person-Environment (P-E) fit P-E fit adalah suatu pendekatan yang secara umum, berfokus pada dua dimensi. Pertama, menyesuaikan penghargaan (reward) atas kinerja pekerjaan seseorang dengan kebutuhan pekerja. Dan yang kedua, memberikan pekerjaan yang tepat bagi pekerja sesuai dengan kompentensi, kemampuan, dan keinginan (desire) yang pekerja miliki. P-E fit dapat diterapkan di Foxconn, terutama dalam pemberian reward kepada pekerjanya. Reward yang akan diterima pegawai selayaknya seimbang dengan apa yang telah didedikasikan pekerja ke perusahaan. 2. Employee Assistance Programs (EAPs) EAPs adalah merupakan layanan yang diberikan perusahaan untuk membantu pekerja dan keluarganya mengelola tantangan pekerjaan dan kehidupan sehari-hari. Foxconn dapat menerapkan ini melalui kegiatan konseling tatap muka, kunjungan/komunikasi
keluarga pekerja,
pelatihan dan pengembangan serta critical incident support services (konsultasi khusus karena suatu tragedi tragis seperti dampak bunuh diri terhadap kondisi psikologis pekerja lain, rencana pemulihan dan pemulihan).
3. Wellness Programs Wellness programs adalah suatu aktifitas yang berfokus pada keseluruhan kesehatan pegawai baik secara fisik maupun mental (health promotion programs). Program ini dapat diterapkan di Foxconn guna memantau kesehatan pekerja dan pemenuhan fasilitas yang diterima pekerja. Wellness programs dapat menjadi tolak ukur standar kesehatan pekerja maupun lingkungan kerja Foxconn. E. Rekomendasi Dari analisa diatas, kami dapat memberikan beberapa rekomendasi untuk Foxconn, yaitu:
Meningkatkan kinerja CARE center dengan menggencarkan program konsultasi psikologikal (manajemen stres) gratis melalui pendekatan personal. Kami berpendapat stress management merupakan hal paling urgent bagi perusahaan Foxconn saat ini. Melalui program ini diharapkan tingkat stress pekerja dapat dikurangi.
Memberikan fasilitas yang layak bagi pekerja, perbaikan bangunan (asrama maupun pabrik) dan kakus segera dilakukan.
Foxconn perlu mengubah kebijakannya dalam hal recruitment, pekerja berusia di atas 28 tahun diperbolehkan untuk bekerja di Foxconn. Mengingat pada usia tersebut orang cenderung matang dalam bertindak dan memiliki keluarga.
Menambah
kinerja
otomatisasi
sehingga
dapat
menciptakan
fleksibilitas jam kerja.
Memberikan waktu cuti / menerapkan shift kerja bulanan mengingat China memiliki banyak sumber daya manusia.
Memberlakukan sistem rotasi kerja ke berbagai lini produksi Foxconn guna mengurangi kejenuhan akibat bekerja.
Tidak ada jalan lain bagi Foxconn selain wajib meningkatkan upah pekerja. Peningkatan upah kerja ini bisa melalui kerjasama dengan rekan bisnis Foxconn seperti Apple, Microsoft, Nintendo, Acer dan lain sebagainya. Hal ini sebenarnya sejalan dengan tren tuntutan masyarakat akan kepedulian etis perusahaan.
Mengeratkan
hubungan
program-program
manajemen
tertentu,
seperti
dengan
pekerja
job-fit-training,
melalui vacation,
undercover boss, ataupun dengan hanya sekedar membuka pintu komunikasi melalui e-mail dan dengar pendapat. F. PENYAJIAN MATERI 1.Pengertian Stress Dalam sejarah manusia struktur sosial dan ekonomi kehidupan modern sekarang ini telah menciptakan lebih banyak stress dibanding masamasa sebelumnya. Pekerjaan, broken home dan ada beberapa sumber atau penyebab stress secara umum (yang oleh para psikolog disebut stressor) bisa berupa bencana besar (angin badai, tsunami, gempa bumi) kejadiaan-
kejadian di dalam kehidupan individu (kehilangan pekerjaan, kehilangan orang yang dicintai karena kematian atau putus cinta) kondisi yang tidak menyenangkan (tinggal disuatu daerah yang berhimpit dan bising) dan masih banyakpenyebabpenyebabstressyanglain. Stres adalah suatu rangsangan yang menegangkan psikologis dari suatu organisme,tekanan-tekanan fisik dan psikologis yang menekan organ tubuh dan atau dirisendiri,suatu keadaan ketegangan psikologis karena / kecemasan.Kata “stres” telah digunakan sejak awal tahun 1900-an untuk menggambarkan situasi yang menimbulkan perubahan secara fisik dan psikis dalam diri kita.Sulit untuk mengartikannya karena stres muncul dalam begitu banyak bentuk. Tiap orang memandang stress secara berbedaberbeda. Stres dapat menjadi berbahaya atau malahan membantu, tergantung keadaan.Beberapa stres menguntungkan karena memotivasi kita untuk meningkatkan kinerja dan membuat perubahan-perubahan dalam hidup kita. Jika kita tidak memiliki stres , kita tidak akan melakukan fungsi apa pun.. Stress adalah tanggapan atau reaksi tubuh terhadap berbagai tuntutan atau beban atasnya yang bersifat non spesifik. Namaun disamping itu stress dapat juga merupakan factor pencetus, penyebab sekaligus akibat dari suatu gangguan atau penyakit.Stres dapat terjadi akibat adanya pemicu, misalnya sebuah situasi atau peristiwa yang terjadi pada kita. Peristiwa tersebut dapat bersifat fisik maupun emosional, seperti kecelakaan mobil,perdebatan di kantor , kehilangan pekerjaaan, atau kehilangan orang yang kita kasihi.Stres juga bisa timbul akibat respon fisik dan psikis kita terhadap peristiwa tersebut. Itu bisa berupa respon terhadap ancaman yang kita rasakan atau yang sebenarnya belum terjadi, tapi kita khawatirkan akan terjadi, seperti tidak mendapatkan promosi di kantor. Dalam beberapa kasus, persepsi lebih menguasai kita daripada kenyataan.
Tak peduli bahwa peristiwa tersebut tidak akan pernah terjadi ancamannya sendiri sudah cukupuntuk menimbulkan respons dalam bentuk stress. Stres bisa timbul akibat tuntutan- tuntutan yang kita letakkan dalam diri kita.Mialnya berusaha menjadi seorang perfeksionis atau disukai oleh setiap orang.Tak sesuatu pun yang kita lakukan cukup sempurna sehingga kita dapat terus-menerus mengulangi atau memperbaiki tugas tertentu untuk dapat dilakukan dengan sangat tepat.Beberapa orang menghabiskan seluruh hidup mereka dengan berusaha menyenangkan setiap atau mengungguli mereka.Mereka menciptakan tekanan dan tuntutan yang amat besar terhadap diri mereka sndiri untuk sedapat-dapatnya mencapai tingkat kesempurnaan dan penerimaan yang memungkinkan. Stres juga bisa menjadi respons terhadap sebuah situasi positif, seperti pindah kerumah baru, mendapatkan promosi, menikahkan anak.Dalam beberapa kasus orang menunjukkan ketakutan dan kecemasan dan beberapa lagi hampir tidak mampu mengatasinya.Stres menimbulkan lebih banyak tuntutan terhadap tubuh, baik fisik maupun mental. Saya memakai istilah “penyebab stress” untuk menunjukan situasi dan peristiwa yang menciptakan sebuah respons, dan istilah “ stress” sebagai reaksi tubuh terhadap penyebab tersebut. Jika diamati serangkaian perubahan biokimia dalam sejumlah organisme yang beradaptasi terhadap berbagai macam tuntutan lingkungan. Rangkaian perubahan ini dinamakan general adaptation syndrome yang terdiri dari tiga tahap . Tahap pertama dinamakan tahapalarm(tanda bahaya). Organisme berorientasi terhadap tuntutan yang diberikan oleh lingkungannya dan mulai menghayatinya sebagai ancaman.Tahap ini tidak dapat tahan lama.Organisme mamasuki tahap kedua, tahap resistance (perlawanan).Organisme memobilisasi sumber-
sumbernya supaya mampu menghadapi tuntutan.Jika tuntutan berlangsung terlalu lama, maka sumber penyesuaian ini mulai habis dan organisme mencapai tahap terakhir, yaitu tahap exhaustion (kehabisan tenaga). Jika seseorang untuk pertama kali mengalami situasi penuh stres,makamekanismepertahanandalambadadiaktifkan: kelenjarkelenjar me ngeluarkan/melespakanadrenalin,cortisonedanhormon-hormon lain dalam jumlah yang besar,dan perubahan-perubahan yang terkoordinasiberlangsungdalam system saraf pusat (tahap alarm).jika exposure (paparan) terhadap pembangkit stress bersinambung dan badan mampu menyesuaikan,maka terjadi perlawanan terhadap sakit.reaksi badaniah yang khas terjadi untuk menahan akibat-akibat daripembangkit stres (tahap resistance).Tetapi jika paparan terhadap stress berlanjut, maka mekanisme pertahanan badan secara berlahan-lahan menurun sampai menjadi tidak sesuai,dan satu dari organ-organ gagal untuk berfungsi sepatutnya. Proses pemunduran ini dapat mengarah ke penyakit dari hampir semua bagian dari badan (tahap exhaustion). Menurut Selye jika reaksibadan tidak cukup,berlebihan,atau salah,maka reaksi badan itu sendiri dapat menimbulkan penyakit. Hal ini dinamakan diseases dapat menimbulkan penyakit. Hal ini dinamakan diseases of adaptation (penyaakit dari adaptasi),karena penyakitpenyakit tersebut lebih disebabkan oleh reaksi adaptasi yang kacau dari badan kita dari pada oleh hasil yang merusak langsung dari penimbul stres. Misalnya gastrosintestianl ulcers (puru/nanahdariperut),tekanan dari tinggi,penyakit jantung ( cardiac incidents),alergi,dan berbagai jenis kekacauan/gangguan mental. ApaituStres? Stres adalah perasaan yang tercipta ketika kita bereaksi terhadap kejadian
tertentu. Ini adalah cara tubuh naik ke sebuah tantangan dan bersiap-siap untuk memenuhi situasi yang sulit dengan fokus, kekuatan, stamina, dan kewaspadaantinggi. Peristiwa yang memprovokasi stres disebut stressor, dan mereka mencakup berbagai macam situasi - mulai dari bahaya fisik langsung untuk membuat presentasi kelas atau mengambil bernilai semester subjek Andaterberat. Tubuh manusia merespon stres dengan mengaktifkan sistem saraf dan hormon tertentu. Hipotalamus sinyal kelenjar adrenal untuk memproduksi lebih banyak hormon adrenalin dan kortisol dan melepaskan mereka ke dalam aliran darah. Hormon-hormon ini mempercepat detak jantung, laju pernapasan, tekanan darah, dan metabolisme. Pembuluh darah terbuka lebih lebar untuk membiarkan aliran darah lebih untuk kelompok otot besar, menempatkan otot kita waspada. Murid melebar untuk memperbaiki penglihatan. Hati melepaskan sebagian dari glukosa yang disimpan untuk meningkatkan energi tubuh. Dan keringat diproduksi untuk mendinginkan tubuh. Semua perubahan fisik mempersiapkan seseorang untuk bereaksi dengan cepat dan efektif untuk menangani tekanan saat itu. Ini reaksi alami dikenal sebagai respons stres. Bekerja dengan baik, respons stres tubuh meningkatkan kemampuan seseorang untuk tampil baik di bawah tekanan. Tetapi respon stres juga dapat menyebabkan masalah ketika bereaksi berlebihan atau gagal untuk mematikan dan meresesendiridengabenar. Respon stres (juga disebut fight or flight respon) sangat penting dalam situasi darurat, seperti ketika seorang pengemudi harus menginjak rem untuk menghindari kecelakaan. Hal ini juga dapat diaktifkan dalam bentuk yang lebih ringan pada saat tekanan yang ada di tapi tidak ada bahaya yang sebenarnya - seperti melangkah untuk mengambil tembakan busuk yang bisa memenangkan pertandingan, bersiap-siap untuk pergi ke pesta dansa besar, atau duduk untuk akhir ujian. Sedikit stres ini dapat membantu menjaga
Anda pada jari-jari kaki, siap untuk naik ke sebuah tantangan. Dan sistem saraf dengan cepat kembali ke keadaan normal, berdiri untuk menanggapi lagIbiladiperlukan. Namun stres tidak selalu terjadi dalam menanggapi hal-hal yang langsung atau yang lebih cepat. Peristiwa yang sedang berlangsung atau jangka panjang, seperti menghadapi perceraian atau pindah ke lingkungan baru atau sekolah, dapat menyebabkan stres, juga. Jangka panjang situasi stres dapat menghasilkan, selama rendah tingkat stres yang sulit pada orang. Indra sistem saraf melanjutkan tekanan dan mungkin tetap agak aktif dan terus memompa keluar hormon stres ekstra selama periode yang diperpanjang. Hal ini dapat cadangan tubuh, meninggalkan perasaan seseorang habis atau kewalahan, melemahkan sistem kekebalan tubuh, dan menyebabkan masalah lain.
2. Konsep Manajemen Stress (Burnout) Manajemen strees adalah kemampuan untuk mengendalikan diri ketika situasi orang-orang, dan kejadian-kejadian yang ada memberi tuntutan yang berlebihan.“Tidak ada seorangpun yang bisa menghindarkan diri dari stres.Namun stres dapat bisa dikelola sehingga justru dapat menimbulkan nilai positif bagi seseorang.Stres tidak boleh dihilangkan sama sekali karena dia membantu kelangsungan hidup dan memberikan kelangsungan hidup” (Mudjaddid,Diffy:2005). Stres di tempat kerja merupakan hal yang hampir setiap hari dialami oleh para pekerja di kota besar. Masyarakat pekerja di kota-kota besar seperti Jakarta sebagian besar merupakan urbanis dan industrialis yang selalu disibukkan dengan deadline penyelesaian tugas, tuntutan peran di tempat kerja yang semakin beragam dan kadang bertentangan satu dengan yang
lain, masalah keluarga, beban kerja yang berlebihan, dan masih banyak tantangan lainnya yang membuat stres menjadi suatu faktor yang hampir tidak mungkin untuk dihindari. Stres di tempat kerja menjadi suatu persoalan yang serius bagi perusahaan karena dapat menurunkan kinerja karyawan dan perusahaan. Sebuah lembaga penelitian terhadap stres di Amerika memperkirakan bahwa stres di tempat kerja menyebabkan para pengusaha di Amerika terpaksa merugi sekitar 300 juta dollar Amerika setiap tahunnya akibat menurunnya produktivitas, serta meningkatnya ketidakhadiran, turnover, konsumsi minuman keras dan biaya pengobatan karyawan. Di Jepang, pemerintah secara berkala memantau tingkat stres yang terjadi di tempat kerja dan menemukan bahwa jumlah karyawan yang merasakan tingkat stres tinggi dalam menjalani pekerjaan sehari-hari mengalami peningkatan dari 51% di tahun 1982 menjadi hampir dua pertiga dari total populasi pekerja yang ada di tahun 2000. Pada tahun yang hampir sama yaitu sekitar tahun 2000an, lebih dari 6000 perusahaan di Inggris mengeluarkan rata-rata lebih dari 80 ribu dollar Amerika untuk membayar kerusakan yang ditimbulkan akibat stres pada karyawan. Di Indonesia sendiri, salah satu penelitian yang pernah dilakukan oleh sebuah lembaga manajemen di Jakarta pada tahun 2002 menemukan bahwa krisis ekonomi yang berkepanjangan, PHK, pemotongan gaji, dan keterpaksaan untuk bekerja pada bidang kerja yang tidak sesuai dengan keahlian yang dimiliki merupakan stressor utama pada saat itu. 2.1 Konsep Burnout Istilah Burnout pertama kali diutarakan dan diperkenalkan kepada masyarakat oleh Freudenberger pada 1973. Freudenberger adalah seorang ahli psikologi klinis pada lembaga pelayanan sosial di New York yang menangani remaja bermasalah. Ia mengamati perubahan perilaku para sukarelawan setelah bertahun-tahun bekerja. Hasil pengamatannya, ia
laporkan dalam sebuah jurnal psikologi professional yang disebut sebagai sindrom Burnout (Freudenberger dalam Turnipseed dan Moore (1997). Menurutnya, para relawan tersebut mengalami kelelahan mental, kehilangan komitmen, dan penurunan motivasi seiring dengan berjalannya waktu. Selanjutnya, Freudenberger memberikan ilustrasi tentang apa yang dirasakan seseorang yang mengalami sindrom tersebut seperti gedung yang terbakar habis (burned-out). Ibaratnya suatu gedung yang pada mulanya berdiri megah dengan berbagai aktivitas didalamnya, setelah terbakar yang tampak hanyalah kerangka luarnya saja. Demikian pula dengan seseorang yang mengalami Burnout, dari luar segalanya masih nampak utuh, namun di dalamnya kosong dan penuh masalah (seperti gedung yang terbakar tadi). kemudian kemudian terminologi Burnout mengalami perkembangan secara luas dan digunakan untuk memahami gejala kejiwaan pada diri seseorang. Dari berbagai tinjauan empirik khususnya dalam ilmu manajemen, terlihat bahwa penggunaan terminologi tersebut lebih difokuskan pada sindroma psikologi tentang tekanan kerja yang dialami seseorang dilingkungan pekerjaannya. Seiring dengan semakin populernya istilah “Burnout”, beberapa peneliti stres beranggapan bahwa Burnout adalah salah satu tipe stres dan sebagian lain memperlakukannya sebagai sesuatu yang memiliki sejumlah komponen. Salah satu komponen pendukung stres dan trauma membuat perbedaan antara stres dan Burnout sebagai berikut, stres adalah normal dan sering kali cukup sehat namun ketika kemampuan untuk menghadapi stres mulai berkurang atau menurun maka kita mungkin sedang mengarah pada “Burnout”. John Izzo seorang profesional human resource senior dalam bidang pengembangan profesi dalam Luthans, menyatakan bahwa Burnout mungkin konsekuensi dari “hilangnya tujuan dasar dan pemenuhan dari pekerjaan anda”. Dia melanjutkan bahwa “mendapatkan keseimbangan lebih atau mendapatkan lebih banyak waktu pribadi akan membantu Anda menghadapi stres namun hal ini seringkali tidak membantu anda dalam menghadapi Burnout. Penelitian dalam area ini menunjukkan
bahwa Burnout bukanlah harus sesuatu yang dihasilkan oleh permasalahan individu seperti cacat/kekurang-sempurnaan karakter atau perilaku sesorang didalam organisasi. Maslach (1993), seorang ahli peneliti stres dan Burnout terkenal menyimpulkan bahwa “dari hasil penelitian ekstensif, dipercaya bahwa Burnout bukanlah sebuah masalah orang-orang itu sendiri, tapi masalah lingkungan sosial di mana orang-orang itu bekerja. Dia yakin bahwa Burnout menciptakan rasa terisolasi dan perasaan kehilangan kontrol, yang menyebabkan pegawai yang mengalaminya berhubungan secara berbeda dengan rekannya dan terhadap pekerjaannya. Cordes dan Dougherty (1993) dalam Low et al., (2001) menunjukan Burnout itu mungkin saja atau biasa terjadi dalam berbagai jenis pekerjaan dan kondisi. Maslach juga menjelaskan hal yang sama yakni bahwa Burnout juga lebih dekat hubungannya dengan profesi-profesi penolong seperti perawat, pendidik (seperti guru atau dosen), pekerja sosial serta individu-individu yang selalu mengadakan kontak langsung dengan individu lainnya seperti ; tenaga penjual dan tenaga pelayan yang selalu berhadapan langsung dengan konsumen (Dubisky et al., (1992) ; Moncrief et al., (1997) ; Babakus et al., (1999) ; Brashear et al., (2000) ; Low et al., (2001) ; Zagladi, (2004) dan Harris et al., (2006). Berdasarkan kajian-kajian empiris tersebut maka dapat disimpulkan bahwa seseorang yang bekerja berorientasi melayani orang lain dapat membentuk hubungan yang bersifat “asimetris” antara pemberi dan penerima layanan karena seseorang yang bekerja pada bidang pelayanan, ia akan memberikan perhatian, pelayanan, bantuan, dan dukungan kepada klien, siswa atau pasien. Hubungan yang tidak seimbang inilah yang paling berpotensi untuk dapat menimbulkan Burnout bagi individu-individu tersebut. Profesi pelayanan khususnya dibidang pendidikan seperti guru dan dosen pada dasarnya merupakan suatu pekerjaan yang menghadapi tuntutan beban kerja dan keterlibatan emosional. Hal ini terlihat dari hasil penelitian mengenai Burnout yang dilakukan oleh Sweeney dan Summers, (2002) terhadap guru sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama, sekolah
lanjutan tingkat umum hingga perguruan tinggi, membuktikan adanya Burnout yang dialami guru dan tenaga pendidik pada umumnya. Penelitian yang dilakukan pada bulan November-Desember 2002 di berbagai kota di Amerika Serikat menunjukkan hasil sebagai berikut : 1. Guru Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama yang mengalami : a. Kelelahan emosional : 38,84% b. Depersonalisasi : 20,10% c. Kemunduran kepribadian : 41,06%. 2. Tenaga pendidik di Sekolah Menengah Lanjutan Umum sampai Perguruan Tinggi yang mengalami : a. Kelelahan emosional : 45,33% b. Depersonalisasi : 13,59% c. Kemunduran kepribadian : 41,08% 2.1.2. Ciri-Ciri Burnout Gelisah dan tidak mampu tidur dengan baik adalah sindrom yang umum dari kelelahan syaraf. Ciri umum Burnout yang kedua adalah kecemasan yang mengambang. Individu yang mengalami Burnout tampaknya terayun-ayun di antara kecemasan dan depresi. Gejala Burnout lainnya ialah di mana seseorang merasa gagal, seakan-akan semua perjuangannya sia-sia saja dan tidak ada artinya, merasa diperlakukan tidak adil dan juga tidak dihargai. Hal inilah yang membuat seseorang menjadi sangat kecewa, stres, dan kehilangan kepercayaan maupun harga diri. Cherniss (dalam Sutjipto, 2001) menyatakan tanda dan gejala Burnout adalah sebagai berikut : (1) resistensi yang tinggi untuk pergi kerja setiap hari, (2) terdapat perasaan gagal di dalam diri, (3) cepat marah dan sering kesal, (4) rasa bersalah dan menyalahkan, (5) keengganan dan ketidakberdayaan, (6) negatifisme, (7) isolasi dan penarikan diri, (8) perasaan capek dan lelah setiap hari, (9) sering memperhatikan jam saat
bekerja, (10) sangat pegal setelah bekerja, (11) hilang perasaan positif terhadap orang lain, (12) sinisme terhadap orang lain dan bersikap menyalahkan, (13) gangguan tidur atau sulit tidur, (14) asyik dengan diri sendiri, (15) mendukung tindakan untuk mengontrol perilaku, misalnya menggunakan obat penenang, (16) sering demam dan flu, (17) sering sakit kepala dan gangguan pencernaan, (18) kaku dalam berpikir dan resisten terhadap perubahan, (19) rasa curiga yang berlebihan dan paranoid dan (20) penggunaan obat-obatan yang berlebihan. Orang yang sedang mengalami Burnout, pada umumnya ingin menyendiri, dan tidak ingin banyak bicara. Mereka ingin mencari ketenangan. Mereka tidak membutuhkan segala macam nasehat, sebab nasehat maupun usulan-usulan apapun yang diberikan karena bias disalahartikan sebagai kritikan. Masalahnya orang yang sedang mengalami Burnout itu sangat sensitif sehingga mudah sekali tersinggung. Hasil penelitian Maslach bahwa Burnout paling banyak dijumpai pada individu yang berusia muda.
2.1.3. Dimensi Burnout Menurut Cordes dan Dougherty (1993) dalam Babakus (1999) dan Low (2001) bahwa Burnout terdiri dari tiga dimensi yang menggambarkan sindrom psikologi yang antara lain adalah : Kelelahan emosional (emotional exhaustion). Depersonalisasi (depersonalization). Kemunduran kepribadian (diminished personal accomplishment oleh Maslach dan Jackson (1981) ; Pines dan Maslach (1980) ; Maslach (1982)). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar berikut ini ;
Gambar Komponen Utama Burnout Maslach dan Jackson (1981), Cordes dan Dougherty (1993) dalam Babakus (1999) dan Low (2001)
Burnout merupakan sindrom psikologis yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu(kelelahan emosional), personal accomplishment lanjut dijelaskan bahwa ketegangan emosional yang muncul karena berhubu dengan orang lain. Hubungan yang terjadi antara pemberi dan penerima pelayanan, menurut Maslach (1980), merupakan hubungan yang asimetris. Kelelahan emosional ditandai dengan adanya perasaan lelah akibat banyaknya tuntutan emosional yang ditandai dengan perasaan terkurasnya energi yang dimiliki, berkurangnya sumber-sumber emosional di dalam diri seperti rasa kasih, empati, dan perhatian, yang pada akhirnya memunculkan perasaan tidak mampu lagi memberikan pelayanan kepada orang lain. Cara yang biasa dilakukan untuk mengatasi sindrom ini adalah mengurangi
keterlibatan secara emosional dengan penerima pelayanan (Maslach, 1980; Maslach dkk, 1996). Depersonalisasi merupakan sikap, perasaan, maupun pandangan negatif terhadap penerima pelayanan (Maslach, 1996). Reaksi negatif ini muncul dalam tingkah laku seperti memandang rendah dan meremehkan klien, bersikap sinis terhadap klien, kasar dan tidak manusiawi dalam berhubungan dengan klien, serta mengabaikan kebutuhan dan tuntutan klien (Maslach, 1982, 1993). Sindrom ini merupakan akibat lebih lanjut dari adanya upaya penarikan diri dari keterlibatan secara emosional dengan orang lain. Reduced personal accomplishment ditandai dengan kecenderungan memberi evaluasi negatif terhadap diri sendiri, terutama berkaitan dengan pekerjaan. Pekerja merasa dirinya tidak kompeten dan tidak efektif, kurang puas dengan apa yang telah dicapai dalam pekerjaan, bahkan perasaan kegagalan dalam bekerja (Maslach, 1982, 1993). Menurut Maslach (1982) evaluasi negatif terhadap pencapaian kerja ini berkembang dari adanya tingakan depersonalisasi terhadap penerima pelayanan. Pandangan maupun sikap negatif terhadap klien lama-kelamaan menimbulkan perasaan bersalah pada diri pemberi pelayanan. yang menjadi indikator dari Burnout adalah ketiga dimensi utama di atas yaitu ; emotional exhaustion (kelelahan emosional), depersonalization (depersonalisasi), dan reduced personal accomplishment (penurunan pencapaian prestasi diri). Anteseden Burnout 1) Konflik Peran Luthans (2002) mendefinisikan konflik peran sebagai suatu posisi yang memiliki harapan untuk berkembang dari norma yang dibangun. Seorang individu akan mengalami konflik peran dalam organisasi jika yang bersangkutan menerima peran yang tidak sesuai dengan perilaku peran yang tepat. Lebih lanjut Luthans (2002) mendeskripsikan konflik peran melalui tiga dimensi utama yaitu :
a. Konflik antara individu dengan perannya, di mana konflik ini terjadi di antara kepribadian individu tersebut dengan harapan akan perannya. b. Konflik intrarole, di mana konfilk ini dihasilkan oleh harapan yang kontradiktif terhadap bagaimana peran tertentu harus dijalankan. c. Konflik interrole, di mana konflik ini dihasilkan dari persyaratan yang berbeda dari dua atau lebih peran yang harus dijalankan pada saat yang bersamaan. Sementara itu Robbins (2002) mendefinisikan konflik peran sebagai seperangkat pola perilaku yang diharapkan sebagai atribut seseorang yang menduduki suatu posisi yang diberikan pada satu unit sosial. Konflik peran didefinisikan sebagai sebuah situasi di mana seorang individu dihadapkan dengan harapan peran (role expectation) yang berbeda. Sementara harapan peran sendiri adalah bagaimana orang lain yakin bahwa seseorang harus berbuat pada situasi tertentu sehingga konflik peran akan memunculkan harapan yang akan sulit untuk dicapai.Indikator dari konflik peran yang digunakan adalah ; (1) hubungan dengan atasan, rekan dosen dan staf administrasi, (2) hubungan dengan mahasiswa, (3) persaingan dalam merebut jabatan struktural, (4) perebutan mata kuliah yang akan diasuh dan jam mengajar dan (5) menjalankan peran lain sebagai tenaga struktural atau pejabat struktural. 2.1.4 Kelebihan Beban Kerja Kelebihan beban kerja merupakan bagian dari konsep beban keja secara keseluruhan. Pada dasarnya beban kerja terdiri dari empat dimensi yang merupakan salah satu penyebab utama dari Burnout (Gibson et al., 1996). Ke-empat dimensi tersebut antara lain : a. Quantitative overload merupakan kepercayaan bahwa seseorangharus mengerjakan pekerjaan yang lebih dari yang dapat diselesaikan pada waktu tertentu.
b. Qualitative overload merupakan kepercayaan bahwa keterbatasan keahlian atau kemampuan untuk melaksanakan tugas yang diberikan. Misalnya jarak baca yang berkurang karena bertambahnya usia. c. Quantitative underload merupakan kebosanan yang diperoleh ketika para pekerja memiliki sedikit pekerjaan sehingga hanya duduk dan tidak melakukan apa-apa. d. Qualitative underload merupakan Keterbatasan stimulus akibat banyaknya rutinitas dan pengulangan pekerjaan. Kelebihan beban kerja pada diri seseorang adalah beban yangmenjadi tugas dan kewajibannya tetapi melebihi takaran kesanggupannya.Kelebihan beban kerja tersebut dapat berbentuk bobot maupun waktu kerja yang berlebihan yang akan menimbulkan hal-hal buruk bagi individu karena cenderung dapat mengurangi efektifitas pekerjaan dan mengganggu perasaan pekerja yang bersangkutan. Focus HR, 2001 dalam Zagladi, (2004) mengungkapkan bahwa kelebihan beban kerja pada karyawan pada kurun waktu tiga bulan memperoleh hasil antara lain ; 28% karyawan mengatakan bahwa dibebani kelebihan beban kerja bahkan sangat sering, 28% karyawan mengalami beban kerja yang lebih berat dari biasanya dan 29% karyawan mengatakan bahwa tidak lagi mempuyai waktu yang cukup untuk kembali ke pekerjaan semula. Berdasarkan temuan hasil penelitian tersebut maka kelebihan beban kerja akan dirasakan oleh karyawan sebagai beban tambahan dan hal tersebut dapat mengakibatkan : 1. Kesalahan dalam bekerja. Sebanyak 71% karyawan melaporkan bahwa karena kelebihan beban kerja merka sering meakukan kesalahan dan hanya 1% yang hanya mengalami tekanan kerja karena kelebihan beban kerja tersebut. 2. Perasaan takut diawasi oleh atasan. Sebayak 43% menyatakan rasa takut karena diawasi dan hanya 3% yang menyatakan tidak mengalaminya. 3. Perasaan tidak menyukai asistennya yang tidak bias bekerja sesuai dengan keinginannya.
4. Keinginan untuk mencari pekerjaan lain yang baru. Sebanyak 49 % menyatakan keinginannya untuk pidah kerja setelah mencapai masa kerja selama satu tahun karena kelebihan beban kerja dan hanya 30% yang tidak mengalami kelebihan beban kerja. 5. Kecenderungan untuk mengucilkan diri sendiri. Hanya 41% karyawan dengan beban kerja yang tinggi yang dapat menyelesaikan pekerjaandengan sukses dan 61% mengalami hal sebaliknya. Beban kerja di lingkungan pendidikan tinggi dikenal dengan Beban Kerja Normal Dosen. Beban kerja dosen di perguruan tinggi dapat diukur dengan satuan yang disebut FTE, singkatan dari full time equivalent. Bagi perguruan tinggi di Indonesia, menurut SK Dirjen Dikti No. 48/DJ/Kep/1983, Beban kerja dosen sebesar 12 sks dalam satu semester dinilai setara dengan satu FTE (istilah Indonesianya: EWMP atau ekuivalen waktu mengajar penuh). Beban kerja sebesar 12 sks atau 1 FTE ini dianggapsebagai beban kerja penuh seorang dosen. Beban kerja sebesar 1 sksdinilai setara dengan beban kerja mengajarkan satu mata ajaran berbobot 1 kredit selama satu semester kepada satu kelas mahasiswa program S1 sebanyak 40 orang. Perlu dicatat bahwa beban mengajar sebesar 1 sks setara dengan 3 jam kerja per minggu selama satu semester, sedangkan 3 jam per minggu ini terdiri dari 1 jam persiapan kuliah, 1 jam tatap muka,dan 1 jam evaluasi.Menurut SK Dirjen Dikti No. 48/DJ/Kep/1983 yang menjelaskan taentang Beban Kerja Dosen, beban kerja penuh seorang dosen sebesar 12 sks dalam satu semester atau 1 FTE secara rata-rata dapat tersebar untuk pelaksanaan berbagai tugas dengan kisaran sebagai berikut : 1. Pengajaran : 2-8 sks (17-67)%. 2. Penelitian dan pengembangan ilmu : 2-6 sks (17-50)%. 3. Pengabdian pada masyarakat : 1-6 sks ( 8-50)%. 4. Pembinaan civitas akademika : 1-4 sks ( 8-33)%. 5. Administrasi dan manajemen : 0-3 sks ( 0-25)%. Sementara tentang beban kerja normal dosen oleh Dirjen Dikti diperjelas melalui surat Dirjen Dikti No. 3298/D/T/99 tanggal 29 Desember
1999 dan Lampiran II-nya tentang beban kerja normal dosen dapat dilihat di bawah ini : Dalam Lampiran II Surat Dirjen Dikti No. 3298/D/T/99 tanggal 29 Desember 1999 yang diperjelas adalah menyangkut rasional perhitungan jumlah jam kerja per minggu sebagai berikut : 1. Mengajar/memberi kuliah : 1 SKS (Satuan Kredit Semester) kuivalen dengan 3 jam pelaksanaan yang terdiri atas 1 jam tatap muka di kelas dan 2 jam persiapan menyusun bahan kuliah. 2. Membimbing mahasiswa menyelesaikan skripsi : Skripsi mempunyai bobot 6 SKS berarti setiap mahasiswa harus menyediakan waktu 6 x 3 = 18 jam per minggu untuk mengerjakan skripsi. Karena sifat skripsi adalah tugas mandiri, maka minimal setiap mahasiswa harus berkonsultasi dengan dosen pembimbing selama 2 jam per minggu. 3. Perwalian mahasiswa : Beban normal dosen wali adalah 20 orang mahasiswa per semester sehingga dosen mengenal setiap mahasiswa yang dibinanya. Untuk hal tersebut dosen menyediakan waktu minimal 1 jam per minggu untuk konsultasiterhadapmasalah-masalah yang dihadapi oleh para mahasiswanya. 4. Menguji ujian akhir/sidang sarjana : Setiap ujian akhir (siding sarjana) memakan waktu 3 jam sehingga jika ada 3 mahasiswa mengikuti sidang sarjana pada akhir semester, dosen penguji harusmenyediakan waktu 9 jam per semester atau 0,5 jam per minggu (1 semester ekuivalen dengan18 minggu). 5. Membuat diktat kuliah : Diktat kuliah diperkirakan berjumlah 100 halaman dan untuk menjamin mutu diktat yang baik diperlukan waktu menulis yang cukup. Jika 100 halaman ditulis dalam waktu 1 tahun, maka diperkirakan setiap minggu dapat ditulis 2 halaman (50 minggu efektif dalam 1 tahun) dan untuk dapat menulis 2 halaman yang bermutu diperlukan waktu 2 jam (termasuk persiapan mencariliteratur, gambar, dsb.).
6. Penelitian sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Ditjen Dikti, maka alokasi waktu yang harus disediakan oleh peneliti utama dalam melakukan penelitian Hibah Bersaing (HB) adalah 10 jam per minggu. 7. Penulisan makalah di jurnal terakreditasi : Penulisan makalah yang diterbitkan dijurnal memerlukan waktu cukup lama, dimulai dari penulisan naskah, pengiriman ke dewan redaksi, review oleh tim penilai, perbaikan/koreksi oleh penulis berdasarkan hasil review dan proses penyempurnaan untuk siap cetak. Menurut kaidah nornal, diperlukan waktu 2 tahun dari saat mulai penulisan untuk akhirnya terbit dijurnal, dan waktu yang harus dialokasikan oleh penulis adalah ekuivalen dengan 1 jam per minggu. 8. Pelatihan insidental : Kegiatan ini ditujukan untuk pengabdian pada masyarakat dengan memberikan jasa keahlian yang dimiliki oleh dosen tersebut. Berdasarkan kaidah normal, maka dosenmengadakan pelatihan 1 topik per semester dengan lama waktu pelatihan 3 hari kerja (ekuivalen 18 jam pelatihan). Untuk mempersiapkan bahan pelatihan diperlukan waktu minimal 18 jam, berarti diperlukan waktu 1 jam per minggu (1 semester ekuivalen dengan 18 minggu). 9. Keanggotaan dalam panitia : Keanggotaan dalam panitia memerlukan komitmen waktu minimal untuk menghadiri rapat. Jika rapat rutin diadakan setiap 2 minggu dan setiap rapat normalnya berlangsung 2 jam maka diperlukan komitmen untuk 1 jam per minggu. Berdasarkan pemaparan di atas maka indikator yang digunakan untuk mengukur kelebihan beban kerja adalah ; (1) melakukan berbagai kegiatan pendidikan, (2) melakukan berbagai kegiatan penelitian, (3) melakukan berbagai kegiatan pengabdian pada masyarakat (4) melakukan berbagai kegiatan penunjang lainnya dan (5) melakukan tugas lain di samping dosen yaitu sebagai tenaga atau sebagai pejabat struktural.
3) Motivasi Intrinsik Menurut Herzberg, (1996) dalam Robbins, (2002) yang mengembangkan teori hierarki kebutuhan Maslow menjadi teori dua factor tentang motivasi. Dua faktor itu dinamakan faktor pemuas (motivation faktor) yang disebut dengan satisfier atau intrinsik motivation dan faktorpemelihara (maintenance faktor) yang disebut dengan disatisfier atau extrinsic motivation. Faktor pemuas yang disebut juga motivator yang merupakan faktor pendorong seseorang untuk berprestasi yang bersumber dari dalam diri seseorang tersebut (kondisi intrinsik) antara lain : a. Prestasi yang diraih (achievement) b. Pengakuan orang lain (recognition) c. Tanggung jawab (responsibility) d. Peluang untuk maju (advancement) e. Kepuasan kerja itu sendiri (the work it self) f. Kemungkinan pengembangan karir (the possibility of growth)Sedangkan faktor pemelihara (maintenance faktor) disebut juga hygiene faktor merupakan faktor yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan untuk memelihara keberadaan karyawan sebagai manusia, pemeliharaan ketentraman dan kesehatan. Faktor ini juga disebut dissatisfier (sumber ketidakpuasan) yang merupakan tempat pemenuhankebutuhan tingkat rendah yang dikualifikasikan ke dalam faktor ekstrinsik, meliputi : a. Kompensasi b. Keamanan dan keselamatan kerja c. Kondisi kerja d. Status e. Prosedur perusahaan f. Mutu dari supevisi teknis dari hubungan interpersonal di antara teman sejawat, dengan atasan, dan dengan bawahan. Indikator penelitian dari variabel motivasi intrinsik ini adalah ; (1) merasa tertarik dengan pekerjaan itu sendiri, (2) mendapatkan pengakuan,(3) mempunyai kesempatan untuk
mempelajari sesuatu yang baru dan memperoleh kenaikan pangkat fungsional secara cepat adalah lebih pastijika menduduki salah satu jabatan fungsional, (4) merasa bertanggung jawab terhadap pekerjaan dan (5) memiliki motivasi untuk memajukan lembaga tempat mengabdi. 2.1.5. Kepuasan Kerja Kepuasan kerja merupakan suatu perasaan yang diinginkan oleh setiap pekerja. Kepuasan kerja dapat diartikan sebagai selisih antaraharapan dan kenyataan yang diterima seorang pekerja atau keadaan emosional pekerja yang menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap pekerjaannya. Menurut Robbins, (1996), kepuasan kerja (job satisfaction) merujuk pada sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya, sehingga seseorang dengan tingkat kepuasan kerja tinggi akan menunjukkan sikap positif terhadap pekerjaannya. Sebaliknya jikaseseorang tidak puas dengan pekerjaaannya akan menunjukkan sikap negatif terhadap pekerjaannya. Lebih lanjut Handoko, (1996) menyatakan bahwa kepuasan kerja akan menampakan sikap positif karyawan terhadap pekerjaannya dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya. Lebih luas lagi Luthans, (2001) menyatakan bahwa kepuasan kerja menyangkut beberapa hal pokok antara lain : a. Kepuasan kerja tidak dapat dilihat, tetapi hanya dapat diduga keberadaannya karena kepuasan kerja menyangkut persoalan emosi atau respons pekerja dari situasi kerja yang dihadapi. b. Kepuasan kerja menyangkut kesesuaian hasil kerja yang diperoleh dengan harapan para pekerja. c. Kepuasan kerja sangat terkait erat dengan persoalan; pekerjaan itu sendiri, kesempatan promosi, gaji, supervise maupun rekan kerja. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja sangat tergantung pada perbedaan antara harapan dan kenyataan yang dirasakan
pekerja terhadap pekerjaannya termasuk lingkungan kerjanya. Seorang pekerja akan merasa puas jika harapannya terhadap pekerjaan termasuk lingkungan kerjanya terwujud. Beberapa teori kepuasan kerja, (Mangkunegara, 2005) antara lain : a. Teori Keseimbangan (Equity Theory) ; Dikembangkan oleh Adam,dengan komponennya yaitu input, outcome, comparison person, dan equity-inequity. Teori ini menjelaskan bahwa puas atau tidak puasnya pegawai merupakan hasil dari membandingkan input-outcome dirinya dengan perbandingan input-outcome pegawai lainnya. b. Teori Perbedaan (Discrepancy Theory) ; Dipelopori oleh Proter. Ia berpendapat bahwa mengukur kepuasan dapat dilakukan dengan cara menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan pegawai. Apabila yang didapat pegawai ternyata lebih besar daripada apa yang diharapkan maka pegawai tersebut puas. Begitu pula sebaliknya apabila kebutuhan pegawai tidak terpenuhi, pegawai itu akan merasa tidak puas. c. Teori Pemenuhan Kebutuhan (Need Fulfillment Theory) ; Teori ini menjelaskan bahwa kepuasan pegawai tergantung pada terpenuhi tidaknya kebutuhan pegawai. d. Teori Pandangan Kelompok (Sosial Reference Group Theory) ; mKepuasan kerja bukanlah bergantung pada pemenuhan kebutuhan saja, tetapi sangat bergantung pada pandangan dan pendapat kelompok yang oleh para pegawai dianggap sebagai kelompok acuan. Jadi pegawai akan merasa puas apabila hasil kerjanya sesuai dengan minat dan kebutuhan yang diharapkan oleh kelompok acuan. e. Teori dua Faktor dari Herzberg ; Teori ini menjadikan teori Maslow sebagai acuannya. Dua faktor yang dapat menyebabkan timbulnya rasa puas atau tidak puas yaitu: (1) faktor pemeliharaan meliputi administrasi dan kebijakan perusahaan, kualitas pengawasan, hubungan dengan pengawas, hubungan dengan subordinate, upah, keamanan kerja,kondisi kerja dan
status. (2) faktor pemotivasian, yang meliputi dorongan berprestasi, pengenalan, kemajuan, pekerjaan itu sendiri, kesempatan berkembang dan tanggung jawab. f. Teori pengharapan (Exceptancy Theory) ; Teori ini dikembangkan oleh Vroom, kemudian diperluas oleh Porter, Lawler dan Davis. Motivasi merupakan suatu produk dari bagaimana seseorang menginginkan sesuatu, dan penaksiran seseorang memungkinkan aksi tertentu yang akan menentukannya. Di mana kekuatan hasrat seseoang untuk mencapai sesuatu (valensi) dikalikan harapan (kemungkinan mencapa sesuatu dengan aksi tertentu) akan menghasilkan motivasi (kekuatan dorongan yang mempunyai arah pada tujuan tertentu). Produk dari valensi dan harapan adalah motivasi yang meningkatkan dorongan dalam diri pegawai untuk melakukan aksi untuk mencapai tujuannya. Aksinya dapat dilakukan pegawai dengan cara berusaha lebih besar matau mengikuti kursus pelatihan. Hasil yang akan dicapai secara primer adalah promosi jabatan, dan gaji lebih tinggi. Hasil sekundernya, antara lain status menjadi lebih tinggi, pengenalan kembali, keputusan membeli produk dan pelayanan keinginan keluarga, dengan demikian lebih besar dorongan pegawai dalam mencapai kepuasan. Dalam praktiknya sering ditemukan kepuasan kerja berhubungan dengan beberapa variabel seperti; turnover, tingkat absensi, umur, tingkat pekerjaan, dan ukuran organisasi. Kepuasan kerja yang tinggi dihubungkan dengan turnover pagawai yang rendah, sebaliknya pekerja yang tidak puas umumnya turnover yang tinggi dan atau tingkat absensinya tinggi. Ketidakhadiran mereka sering dengan alasan yang tidak logis dan subjektif (Davis, 2004). Ketidakpuasan pekerja juga sering dinyatakan dengan berbagai cara. Misalnya berhenti bekerja, mengeluh, tidak patuh, mencuri milik organisasi atau mengelak dari tanggungajawab kerja mereka. mLebih spesifik dikemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi mkepuasan kerja. Robbins, (2001) menyatakan ada 4 (empat) faktor yang mendorong kepuasan kerja yaitu:
a. Pekerjaan yang secara mental menantang. Karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan yang memberikan peluang kepada mereka untuk menggunakan ketrampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan keberagaman tugas, kebebasan, dan umpan balik tentang bagaimana kinerja mereka. Ketika karakteristik tersebut dapat diwujudkan, maka bawahan akan merasa bangga dan puas dengan mpekerjaannya. b. Ganjaran yang setimpal. Karyawan menginginkan system pembayaran dan kebikajan promosi yang adil, tidak bermakna ganda, dan sesuai dengan harapan mereka. Ketika pembayaran dipandang adil berdasarkan tuntutan pekerjaan, level ketrampilan individu, dan standar pembayaran komunitas, maka kepuasan berpotensi muncul. Karyawan akan mencari kebijakan dan praktik promosi yang adil. Promosi memberikan peluang untuk pertumbuhan pribadi, mpeningkatan tanggung jawab, dan kenaikan status sosial. Jika mindividu-individu yang menganggap keputusan promosi jabatan dalam morganisasi atau perusahaan dibuat secara terbuka dan adil, maka mereka berpeluang meraih kepuasan dalam pekerjaan mereka. Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Provinsi Bali I Gede Wenten Aryasuda menilai kebijakan pemerintah pusat melakukan pemangkasan tunjangan fungsional para guru swasta adalah tindakan kurang adil. "Kebijakan pemerintah tersebut kurang adil terhadap para guru swasta, apalagi gaji tunjangan yang diterima selama ini sangat kurang dibanding pengabdiannya selaku pendidik," katanya di Denpasar, Ahad (8/4). Ia mengaku sangat menyesalkan kebijakan pemerintah pusat yang memangkas kuota guru swasta di Bali yang berhak menerima tunjangan fungsionalnya sebagai pengajar atau pendidik. Apalagi, kata dia, tunjangan fungsional dari para guru swasta ini nilainya sudah sangat minim. Hanya sebesar Rp300 ribu per bulan. Menurut Aryasuda, hal ini tentunya tidak boleh dibiarkan terus-menerus terjadi, karena kebijakan ini sangat kontraproduktif dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan berkarakter
di jenjang pendidikan dasar maupun menengah. Selain itu, kurang sinergi dengan upaya progam peningkatan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari total anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Ia mengatakan, pemberian tunjangan fungsional bagi para guru swasta tersebut merupakan amanah PP Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru, sehingga pemerintah wajib menindaklanjuti aturan tersebut. Karena pada pasal 21 ayat 2, disebutkan subsidi tunjangan fungsional guru yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang didirikan oleh masyarakat dianggarkan sebagai belanja pegawai atau bantuan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. "Dengan demikian, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk memberikan tunjangan fungsional bagi guru swasta," ujarnya. Hal senada juga dikemukakan pengamat pendidikan Drs I Nengah Madiadnyana, bahwa bila merujuk ketentuan PP Nomor 74 tahun 2008 pemerintah semestinya punya komitmen yang kuat dalam memperjuangkan hak para guru swasta terkait tunjangan fungsionalnya sebagai pengajar atau pendidik demi meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Logikanya, kata dia, jumlah guru swasta semestinya terus ditingkatkan, dan bukan sebaliknya malahan terus dipangkas. "Terus terang saja, saya tidak habis pikir dengan kebijakan pemerintah yang terkesan kontraproduktif," ucapnya. Madiadnyana yang juga mantan Ketua PGRI Kota Denpasar ini mengakui kebijakan pemerintah pusat yang memangkas tunjangan fungsional guru swasta ini tidak mencerminkan kebijakan yang berkeadilan dan kurang manusiawi. Hal ini juga dapat memicu kesenjangan sosial yang tidak sinergi dengan program pendidikan berkarakter, karena masih ada guru swasta yang tetap menerima tunjangan. c. Kondisi kerja yang mendukung. Karyawan peduli dengan lingkungan mkerja mereka untuk kenyamanan pribadi sekaligus untuk memfasilitasi
kinerja yang baik. Karyawan lebih menyukai kondisi fisik yang tidakberbahaya dan nyaman. d. Mitra kerja yang yang mendukung. Bagi sebagian besar karyawan, pekerjaan juga memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial mereka. Oleh karena itu mitra kerja yang ramah dan mendukung mendorong kepuasan kerja. Perilaku atasan karyawan juga menjadi penentu kepuasan kerja. Selanjutnya Mangkunegara, (2005) menyebutkan ada dua factor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu : a. Faktor pegawai, yaitu kecerdasan (IQ), kecakapan khusus, umur, jenis kelamin, kondisi fisik, pendidikan, pengalaman kerja, masa kerja, kepribadian, emosi, cara berpikir, persepsi, dan sikap kerja. b. Faktor pekerjaan, yaitu jenis pekerjaan, struktur organisasi, pangkat (golongan), kedudukan, mutu pengawasan, interaksi sosial, dan hubungan kerja. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, yang menjadi indikatorkepuasan kerja adalah ; (1). Pekerjaan sesuai dengan keinginan dan keahlian. (2). Adanya peluang promosi, kenaikan pangkat fungsional dan kenaikan jabatan yang baik. (3). Gaji, honorarium dan tunjangan yang memuaskan. (4).Dukungan rekan kerja, dan atasan. (5). Adanya prestise yang baik menyangkut citra lembaga tempat mengabdi. 1) Shaw dan Weekly, (1985) The effect of objective work load variations of psychological strain andpost work load performance Penelitian yang dilakukan oleh Shaw dan Weekly, (1985) ini bertujuan untuk menguji dan menganalisa pengaruh dari ; work overload/underload, perceive pressure, fresentment, unxiety, depression dan hostility terhadap performance. Penelitian ini dilakukan dengan mengambil siswa baru jurusan atau konsentrasi psikologisebagai sampel penelitian. Variabel yang diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut ;
workoverload/underload sebagai variabel eksogen, perceive pressure, fresentment,unxiety, depression dan hostility sebagai variabel antara dan variabel endogonusnya adalah performance. Sementara (1) work overload berpengaruh terhadap perceive pressure (perasaan tertekan), fresentment, unxiety, depression dan hostility dan juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap performance. (2) work underload menghasilkan perasaan untuk menikmati tugas (fresentment). (3) perasaan tertekan (perceive pressure) berpengaruh negatif terhadap kinerja. Hasil analisa pertama Shaw dan Weekly inilah yang diadopsi oleh penulis untuk menguji pengaruh kelebihan beban kerja sekaligus menjadikannya sebagai salah satu variabel anteseden dari Burnout.
2) Dubisky et al., (1992) Influence of role stres in industrial salespeoples work outcomes in The United States, Japan and Korea Dubisky, Michaels, Katobe, Lim dan Moon, (1992) melakukan penelitian pada tiga negara berbeda yaitu Amerika Serikat, Jepang dan Korea dengan mengambil tenaga penjual industri sebagai sampel penelitian dengan judul “Influence of role stres in industrial salespeoples work outcomes in The United States, Japan and Korea”. Variabel penelitiannya adalah ; ambiguitas peran, konflik peran, kinerja, kepuasan kerja dan komitmen organisasional dengan tujuan untuk melihat hubungan kausalitas antara variabel-variabel penelitian tersebut. Model hubungan antara variabel yang ditampilkan adalah ; ambiguitas peran berpengaruh terhadap ; kinerja, kepuasan kerja dan komitmen organisasional. Konflik peran berpengaruh terhadap ambiguitas peran, kinerja, kepuasan kerja dan komitmen organisasional. Selanjutnya kinerja berpengaruh terhadap kepuasan kerja dan komitmen organisasional dan kepuasan kerja berpengaruh terhadap komitmen organisasional. Sampel terpilih adalah tenaga penjual dari produk elektronik yang diambil dari tiga
negara yaitu Amerika Serikat sebanyak 218 sampel , Jepang sebanyak 220 sampel dan Korea berjumlah 156 sampel. Instrumen pengumpulan data menggunakan kuisioner dengan skala pengukuran variabel yang dipakai adalah skala 7 (tujuh) rangking, di mana 1 (amat sangat tidak setuju) dan 7 (amat sangat setuju). Untuk menganalisis data digunakan analisis jalur (path analysis), sementara untuk membentuk model yang direkomendasikan, peneliti menggunakan uji trimming dengan sehingga koefisien jalur-jalur yang tidak signifikan akan direduksi atau dibuang. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ; (1) Konflik peran mempunyai hubungan positif dengan ambiguitas peran dan keduanya berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja dan komitmen organisasi, (2) konflik peran tidak berpengaruh terhadap kinerja pada 2 sampai 3 sampel, (3) ambiguitas peran mengurangi kinerja dan komitmen organisasi, (4) ambiguitas peran tidak berhubungan dengan kepuasan kerja pada 2 sampai 3 sampel, (5) kinerja berhubungan positif dengan kepuasan kerja pada 2 sampai 3 sampel dan (6) kepuasan kerja berhubungan positif dengan komitmen organisasi. Untuk pengembangan penelitian-penelitian dimasa mendatang diharapkan dilakukan di negara-negara lain dengan sampel yang berbeda. Disarankan bagi penelitian yang akan datang untuk meneliti tentang elemen-elemen dari tingkat kepuasan kerja pada berbagai negara. Kontribusi pemikiran Dubisky et al., (1992) inilah yang diadopsi dalam penelitian ini khususnya dalam pemilihan sampel dengan memilih dosen Perguruan Tinggi sebagi sampel terteliti. Di samping itu juga penelitian ini berusaha untuk mengeksplorasi keterkaitan antara hubungan variabel anteseden Burnout serta konsekuensinya terhadap tingkat kepuasan kerja dengan menggunakan manifes-manifes yang berbeda sehingga menghasilkan suatu variabel penelitian yang berbeda pula untuk mengukur tingkat kepuasan kerja pada sampel terteliti.
3) Moncrief et al., (1997) Examination the antecedent and concequences of salespeoples job Stress Moncrief, Babakus, Cravens Dan Johnston, (1997) dengan judul “Examination the antecedent dan concequences of salespeoples job stres” mengekstensi oleh Seger, (1994) dalam “a structural model depicting salespeople’s job stres ” yaitu konflik peran dan ambiguitas peran sebagai variabel antesede dari tekanan kerja. Variabel lain yang digunakan oleh Moncrief et al.,(1997) adalah kepuasan kerja, tekanan kerja, hasil yang diharapkan dan komitmen organisasional serta kecenderungan untuk keluar dari pekerjaan. Model konseptual dari variabel anteseden dan konsekuensi dari tekanan kerja tersebut adalah sebagai berikut ; ambiguitas peran berpengaruh terhadap konflik peran, tekanan kerja, dan kepuasan kerja. Peran konflik berpengaruh terhadap kepuasan kerja, tekanan kerja, hasil yang diharapkan. Selanjutnya tekanan kerja berpengaruh terhadap kepuasan kerja dan komitmen organisasional. Kepuasan kerja berpengaruh terhadap hasil yang diharapkan dan kecenderungan untuk keluar dari pekerjaan. Kemudian hasil yang diharapkan berpengaruh terhadap komitmen organisasional dan komitmen organisasional berpengaruh terhadap kecenderungan untuk keluar dari pekerjaan. Contoh diambil adalah tenaga penjualan yang dipilih dari perusahan pelayanan internasional yang berskala besar. Pemilihan sampel ini direpresentasikan oleh besarnya kompensasi di atas gaji dasar ditambah komisi yang diterima oleh sampel terpilih dengan jumlah sampel keseluruhan berjumlah 188 tenaga penjual. Alat analisa yang dipakai dalam penelitian ini adalah alaisis jalur (path analysisdengan menggunakan program LISREL 7,0) dengan tujuan untuk menguji pengaruh secara langsung maupun secara tidak langsung dari variabel-variabel yang diteliti. kepada identifikasi variabel anteseden yang dapat dikontrol dan yangtidak dapat dikontrol seperti faktor besarnya kompensasi (dapatdikontrol) yang diterima dan faktor-faktor lain serta pengaruhnya terhadapnya sebagai variabel anteseden dari tekanan kerja. Hal ini
menjustifikasi bahwa variabel penelitian yang diteliti oleh penulis adalah relevan dengan yang disarankan oleh Moncrief et al., (1997) juga berusaha untuk menganalisis variabel enteseden Burnout namun terfokus hanya pada konsekuensinya terhadap tingkat kepuasan kerja. Yang membedakan antara oleh Moncrief et al., (1997) adalah bahwa untuk mengembangkan variabel antededen dari model Burnout yaitu dengan menambahkan variabel motivasi intrinsik dan kelebihan beban kerja sebagai prediktor Burnout sehingga variabel anteseden Burnout yang dibangun mampu untuk medeskripsikan atau menggambarkan fenomena penelitian yang terjadi. 4) Babakus et al., (1999) The role of emotional exhaustion in sales force attitude and behavior relationship tentang kelelahan emosional tenaga penjual yang dilakukan oleh Babakus, Cravens, Johnston dan Moncrief, (1999) adalah tentang peran kelelahan emosional dalam hubunganatara sikap, kekuatan penjualan dan perilaku. Objek dan subjek dalam adalah manejer pemasaran yang menempatkan tenaga penjual dilapangan sebagai objek tertelitinya dan hubungan antar ambigiutas peran, konflik peran, kekelahan emosi, komitmen organisasional, kepuasan kerja, dan kinerja serta keinginan untuk keluar dari pekerjaan sebagai subjeknya. Menurut Babakus et al., (1999) pengujian kelelahan emosional dengan menggunakan tenaga penjual di lanpangan sangat menarik karena hanya ada satu kajian dengan menggunakan sampel terteliti yang sama yang pernah dilakukan oleh Boles, Johnson dan Hair (1997). Menurut Babakus et al., (1999), kelelahan emosional adalah sebuah konstruk penting dalam menguji perilaku dan sikap tenaga penjual. Salah satu sikap yang amat disfungsional yang sewaktu waktu dapat menimbulkan stres berat adalah Burnout yang adalah karakter sebuah sindroma kelelahan emosional dan sinisme yang terjadi pada individu pekerja di lapangan. Model konseptual yang ditampilkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut ; kelelahan emosional dipengaruhi oleh
ambigiutas peran dan konflik peran. Kemudian Burnout tersebut mempengaruhi komitmen organisasional, kepuasan kerja dan kinerja. Komitmen organisasional dan kepuasan kerja mempengaruhi keinginan untuk keluar dari pekerjaan. Sementara itu menurut model yang ada, terdapat pengaruh konflik peran terhadap ; kepuasan kerja dan komitmen organisasional. Ambigiutas peran juga mempengaruhi konflik peran, kepuasan kerja dan kinerja. Model ini juga memperlihatkan adanya pengaruh kinerja terhadap kepuasan kerja dan komitmen organisasional. Hasil kajian Babakus et al., (1999) ini adalah ; (1) ambiguitas berpengaruh positif terhadap konflik peran, negatif terhadap komitmen organisasi, positif terhadap Burnout, negatif terhadap kinerja. (2) Konflik peran berpengaruh positif terhadap Burnout negatif terhadap kepuasan dan positif terhadap kinerja. (3) Burnout berpengaruh negatif terhadap kepuasan, komitmen dan kinerja. (4) Kinerja berpengaruh positif terhadap kepuasan. (5) Kepuasan berpengaruh positif terhadap komitmen dan negatif terhadap keinginan untuk keluar. (6) Komitmen berpengaruh negatif terhadap keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Yang menarik bahwa Babakus et al., (1999) menjustifikasi bahwa penelitian tentang kelelahan emosional bahkan Burnout dapat terjadi pada semua lapangan kerja yang menempatkan seseorang sebagai pekerja garis depan yang selalu berinteraksi (bertatap muka) secara langsung dengan penerima layanan. Hubungannya dengan penelitian ini yaitu bahwa rekomendas Babakus et al., (1999) diadopsi penulis dalam peneltian ini yaitu dengan memilih dosen Perguruan Tinggi Swasta (PTS) sebagai sampel terteliti karena faktor interaksi langsung yang dihadapi oleh seorang dosen baik dengan atasan, rekan sejawat, staf administrasi dan terlebih dalam interaksi dengan mahasiwa dalam bentuk perkuliahan, seminar, bimbingan ataupun dalam bentuk interaksi lainnya.
5) Brashear et al., (2000) ` A test of retail salesforce turnover in Romania Brashear, Rosenberger III, Brooks dan Acevedo, (2000) melakukan peneltian ilmiah ini dengan mengambil judul “A test of retail salesforce turnover in Romania”, dengan tujuan secara umum untuk melihat kecenderungan tingkat turnover pada tenaga penjualan retail di Rumania. Kajian ini dilakukan di Rumania dengan beberapa alasan yaitu ; karena Rumania dipandang sebagai salah satu pasar yang penting di Eropa Timur yang memikili lokasi yang dipandang sentral, memiliki populasi penduduk yang besar serta tingkat pertumbuhan ekonomi yang baik. Fenomena yang melatar-belakangi penelitian ini adalah karena pengaruh dari sistim perdagangan bebas sehingga menyebabkan adanya perubahan-perubahan yang harus segera dilakukan oleh perusahaan dan wirausaha lokal, di mana mereka harus mampu mengaplikasikan sistim manajemen penjualan negaranegara barat dengan sebelumnya perlu untuk mengetahui tentangpengaruh yang dapat saja terjadi pada bidang usaha mereka. Fokus dan tujuan secara khusus dari penelitian ini akan lebih terpusat pada pengujian secara empiris tentang tingkat kinerja, kepuasan dan turnover yang terjadi pada tenaga penjualan di Rumania. Untuk mencapai fokus dan tujuan tersebut maka model hubungan antar variabel terteliti yang akan diuji dalam penelitian ini adalah ; ambiguitas konflik berpengaruh terhadap kinerja, kepuasan, dan komitmen. Peran konflik berpengaruh terhadap kinerja dan kepuasan. Antara ambiguitas peran dan konflik peran terdapat hubungan timbal balik (resiprocal). Selanjutnya kinerja berpengaruh terhadap kepuasan dan komitmen. Kepuasan juga berpengaruh terhadap komitmen dan komitmen berpengaruh terhadap tingkat turnover. Dengan menggunakan analisis structural equation models (SEM) dengan bantuan program LISREL 8,30, Brashear et al., (2000) memberikan hasil antara lain ; ambiguitas peran dan konflik peran memiliki hubungan negatif
dengan kinerja dan kepuasan. Kemudian kinerja dan kepuasan berhubungan positif dengan komitmen organisasional. Komitmen berhubungan negatif dengan kecenderungan tingkat turnover. Hubungannya dengan penelitian in yaitu, penulis dalam penelitian ini berusaha untuk mengekstensi model Brashear et al., (2000) dengan memasukan variabel lain yaitu kelebihan beban kerja dan motivasi intrinsik dengan tetap mengadopsi konflik peran sebagai variabel anteseden Burnout serta menguji pengaruh antara variable enteseden Burnout dan konsekuensinya terhadap tingkat kepuasan kerja. 6) Low et al., (2001) Antecedents and consequences of salesperson Burnout Low, Cravens, Grant, Moncrief, (2001) dalam penelitiannya yang berjudul “Antecedents and consequences of salesperson Burnout”, mengambil sampel sebanyak 148 tenaga penjualan di Australia sebagai objek terteliti. Menurut Low et al., (2001) bahwa Burnout dianggap penting sebagai penelitian karena beberapa alas an antara lain ; pertama karena pengaruh negatif dari Burnout pada karyawan dapat menyebabkan biaya turnover yang tinggi dan pasti akan menurunkan produktifitas. Kedua, dengan memahami tentang peran dari Burnout maka dapat menjadi pedoman bagi manajemen untuk mengurangi pengaruh yang dapat ditimbulkan dan ketiga yaituterdapat hubungan yang erat antara Burnout, sikap dan perilaku individu dalam organisasi (Lee dan Ashforth, 1996 dan Sigh et al.,1994). Model konseptual yang ditampilkan oleh Low et al., (2001) lewat variabelvariabel yang diteliti antara lain ; peran konflik, motivasi intrinsik, ambiguitas peran, Burnout, kepuasan kerja, komitmen organisasi dan kinerja serta keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Sedangkan hubungan antar variabelnya adalah ; peran konflik terhadap Burnout, kepuasan kerja, komitmen organisasi, kinerja dan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Motivasi intrinsic berpengaruh
terhadap peran konflik, ambiguitas peran, Burnout, kepuasan kerja, komitmen organisasi, kinerja dan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Kemudian Burnout berpengaruh terhadap kepuasan kerja, komitmen organisasi, kinerja dan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Kepuasan kerja berpengaruh terhadap komitmen organisasi dan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Komitmen organisasional dan kinerja berpengaruh terhadap keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Dalam model konseptual ini yang menjadi variabel anteseden dari Burnout adalah konflik peran, motivasi intrinsik dan ambiguitas peran. Populasi target dari penelitian ini adalah tenaga penjualan diAustralia. Pemilihan Australia karena dalam kurun waktu tersebut penelitian tentang Burnout hanya dilakukan di Amerika Serikat. Sampel dipilih dari berbagai perusahaan seperti telekomunikasi, jasa pengiriman, jasa pengepakan barang dan lain-lain. Teknik penarikan sampel yang digunakan adalah judgment sampling method denganjumlah sampel sebesar 148 tenaga penjualan. Hasil penelitian ini mempertegas penemuan penelitipenelititerdahulu yaitu (Sigh et al., 1994 dan Babakus et al., 1999) yaitu ; (1).Semakin tinggi motivasi intrinsik maka konflik peran akan semakinrendah, (2). Semakin tinggi motivasi intrinsik maka ambiguitas peranakan semakin rendah, (3). Semakin tinggi ambiguitas peran makakonflik peran akan semakin besar, (4). Semakin tinggi motivasi intrinsikmaka Burnout akan semakin rendah, (5). Semakin tinggi ambiguitasperan maka Burnout akan semakin tinggi pula, (6). Semakin tinggikonflik peran maka Burnout akan semakin tinggi, (7). Semakin tinggi Burnout maka akan menurunkan tingkat kepuasan kerja, (8). Tingkat motivasi intrinsik yang semakin tinggi memiliki pengaruh positif terhadap kepuasan kerja, (9). Semakin tinggi ambiguitas peran akan menurunkan tingkat kepuasan kerja, (10). Semakin tinggi tingkat konflik peran akan
menurunkan tingkat kepuasan, (11). Tingkatkepuasan yang semakin tinggi akan berpengaruh negatif terhadap niat untuk meninggalkan pekerjaan, (12). Tingkat komitmen yang semakin tinggi akan berpengaruh negatif terhadap niat untuk meninggalkan pekerjaan, (13). Semakin tinggi ambiguitas peran akan berpengaruh positif terhadap niat untuk meninggalkan pekerjaan, (14). Semakin tinggi ambiguitas peran berpengaruh negatif terhadap kinerja, (15). Semakin tinggi Burnout akan menyebabkan kinerja menjadi rendah dan (16). Semakin tinggi kinerja maka komitmenpun akan semakin tinggi serta (17). Semakin tinggi kinerja akan menurunkan niat untuk meninggalkan pekerjaan. melakukan saran yang dikemukakan oleh Low et al., (2001) untuk mengkaji lebih lanjut tentang Burnout yang dihubungkan dengan tingkat kepuasan kerja dalam kondisi dan situasi yang berbeda dengan memasukan variabel lain (kelebihan beban kerja) untuk diteliti. Kelebihan beban pekerjaan dipilih untuk diteliti lebih didasarkan pada realitas fenomena yang terjadi. 7) Zagladi, (2004) Pengaruh kelelahan emosional terhadap kepuasan kerja dan kinerja dalam pencapaian komitmen organisasional Dosen Perguruan Zagladi, (2004) dalam “Pengaruh kelelahan emosional terhadapkepuasan kerja dan kinerja dalam pencapaian komitmen organisasional Dosen Perguruan Tinggi Swasta” menggunakanbeberapa variabel penelitian yaitu ; beban kerja, penghargaan,lingkungan keluarga, konflik peran, kelelahan emosional, kinerja dankepuasan kerja serta komitmen organisasional. Kemudian kelelahan emosional tersebut mempengaruhi kinerja dan kepuasan kerja. Selanjutnya kinerja berpengaruh terhadap penilaian kinerja dan penilaian kinerja tersebut berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Kemudian kinerja dan kepuasan kerja mempengaruhi komitmen organisasional.
yang tinggi berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja. Selanjutnya kepuasan kerja yang tinggi berpengaruh terhadap kinerja. Serta kepuasan kerja dan kinerja berpengaruh terhadap komitmen organisasional.
8) Lankau et al., (2006) The mediating influence of role stresors in the relationship between mentoring and job attitudes Penelitian ini dilakukan oleh Lankau, Carlson, Nielson, (2006) bertujuan untuk menganalisa pengaruh dua peran stresor yaitu peran konflik dan ambiguitas peran terhadap hubungannya dengan aktivitasaktivitas mentoring dan sifat dari pekerjaan. Pada bagian pendahuluan penelitian ini Lankau et al., (2006) melihat bahwa aktivitas mentoring adalah merupakan salah satu subjek penelitian yang cukup berfariasi dalam dua dekade terakhir. Hal berikutnya yang melatar-belakangi penelitian ini adalah bahwa ternyata hanya terdapat 3 (tiga) penelitian yang menganalisa tentang mediasi pengaruh antara peran stres terhadap mentoring dan sikap. Penelitianpenelitian tersebut dilakukan oleh (1) Young dan Perrewe, (2000), (2) Lankau dan Scandura, (2002) dan (3) Day dan Allen, (2002). Lankau et al., (2006) dalam penelitian ini mengusulkan adanya pengurangan terhadap peran stres sehingga pada akhirnya mampu untuk menjelaskan tentang mengapa aktivitas-aktivitas mentoring seperti ; dukungan vocational, dukungan psikologi dan peran model berpengaruh secara positif terhadap sikap dari tenaga mentor. Variabel terteliti dalam penelitian ini terdiri dari 3 (tiga) demensi yaitu demensi aktivitas-aktivitas mentoring yang terdiri dari dukungan vocational, dukungan psikologi dan peran model. Dimensi kedua adalah dimensi peran stres yang terdiri dari peran konflik dan ambiguitas peran dan
dimensi terakhir adalah dimensi sikap yang terdiri dari kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Hubungan antar variabelnya dan hipotesi penelitiannya adalah ; (1) peran stress memediasi hubungan antara dukungan vocational dan sikap mentor sikap mentor dan (3) peran stres memediasi hubungan antara dukungan model dan sikap mentor. Alat analisa yang digunakan dalam menganalisis data dalam penelitian ini adalah structural equation model (SEM) dengan bantuan software LISREL 8,56. Sementara sampel yang dipilih dalam penelitian ini adalah lulusan bisnis manajemen yang secara acak terpilih dari universitas bagian barat serta universitas bagian timur laut di Amerika Serikat dengan totalnya sebesar 355 sampel. Hasil analisis menunjukan bahwa ternyata peran stress memediasi hubungan antara dukungan vocational dan sikap mentor. Hipotesis kedua dan ketigapun ternyata terdukung oleh hasil analisa yang dilakukan yaitu, peran stres memediasi hubungan antara dukungan psikologi dan sikap mentor serta peran stres juga memediasi hubungan antara dukungan model dan sikap mentor. Keterbatasan dari penelitian ini adalah bahwa semua pengukuran yang digunakan diperoleh dari laporan pribadi responden sehingga mungkin saja akan bias, karena perbedaan metoda umum dan konsistensi responden. Untuk mengatasinya maka Lankau et al., (2006) mengusulkan untuk penelitian yang akan datang untuk juga mengkaji persepsi yang barasal dari tenaga mentor itu sendiri khususnya menyangkut aktivitas-aktivitas mentoring dan peran stress yang dialaminya. Selanjutnya Lankau et al., (2006) juga mengusulkan untuk menganalisa lebih lanjut tentang perspektif keterlibatan mentor serta dampak peran stres yang ditimbulkan karena ada kemungkinan bahwa tugas mentoring dapat menjadi satu sumber Burnout yang signifikan untuk tenaga mentor, terutama dalam kaitan dengan peran konflik, ambiguitas peran dan kelebihan beban kerja yang harus dijalankannya. Hubungan antara penelitian oleh Lankau et al., (2006) denganpenelitian ini adalah bahwa rekomendasi peneltian oleh Lankau et al., (2006) ini yang coba untuk diteliti lebih lanjut oleh penulis, yaitu peran
konflik dan kelebihan beban kerja akan dinalisa sebagai variable anteseden Burnout serta juga menganalisa variabel lainnya yang relevan dengan fenomena yang terjadi.
9) Bhanugopan, (2006) An empirical investigation of job Burnout among expatriates Penelitian oleh Bhanugopan, (2006) dilakukan dengan tujuan untuk menguji hubungan antara Burnout dan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan dengan mengambil sampel penelitiannyaadalah manejer expatriate di Papua New Guinea (PNG) dengan judul ” An empirical investigation of job Burnout among expatriate”.Terdapat dua konsep besar yang digunakan untuk melihathubungan antara determinan konsep-konsep tersebut dengan Burnou dan keinginan untuk menginggalkan pekerjaan di mana konsep tersebut akan terwakilkan oleh variabel-variabel yang akan diuji. Konsep dimaksud adalah ; pertama, konsep karakteristik pekerjaan yang terdiri dari role conflict, role ambiguity dan role overload. Konsep kedua adalah konsep dimensi Burnout terdiri dari emotional exhaustion, depersonalization dan reduced personal accomplishments. Model hubungan antar variabel terteliti yang ditampilkan adalah role conflict, role ambiguity dan role overload berpengaruh terhadap emotional exhaustion, depersonalization dan reduced personal accomplishments. Emotional exhaustion, depersonalization da reduced personal accomplishments berpengaruh terhadap Burnout dan Burnout sendiri berpengaruh terhadap keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Instrument pengumpulan data yang digunakan adalah kuisioner dengan mengadopsi skala pengukuran Likert sebagai skala pengukuran jawaban responden. Bhanugopan, (2006) dalam penelitian ini membagikan kuisioner sebanyak 300 buah dan yang kembali hanya sebanyak 189 yang akhirnya dijadikan sebagai sampel penelitian ini. Alat analisa yang digunakan untuk
mencapai atau memenuhi tujuan dari penelitian ini adalah analisa structural equation modelling (SEM) dengan menggunakan program LISREL. Hasilnya Bhanugopan, (2006) mengemukakan bahwa ; (1) role conflict, role ambiguity dan role overload berhubungan positif secara signifikan terhadap dimensi Burnout (emotional exhaustion, depersonalization dan reduced personal accomplishments). (2) emotional exhaustion, depersonalization dan reduced personal accomplishments yang dialami oleh pekerja akan membuat mereka mengalami Burnout. (3) Burnout berhubungan positif secara signifikan terhadap kecenderungan turnover. Bhanugopan, (2006) juga menyarankan untuk penelitianpeneltitan dimasa mendatang untuk meneliti secara lebih mendalam tentang hubungan dimensi Burnout dengan pengaruh organisasional dan karakteristik individu. Yang diadopsi penulis dari penelitian Bhanugopan, (2006) ini adalah menyangkut hubungan antar role conflict dengan Burnout dan juga menyangkut saran bagi penelitian mendatang yakni mencoba untuk melibatkan unsur individu terutama menyangkut motivasi intrinsik sebagai variabel anteseden dari Burnout.
10) Harris et al., (2006) Role stresors, service worker job resourcefulness, and job outcomes : An empirical analysis Harris, Artis, Walters, Licata, (2006) dalam penelitiannya yang berjudul “Role stresors, service worker job resourcefulness, and job outcomes : An empirical analysis” secara umum bertujuan untuk menyoroti pentingnya upaya untuk mengurangi peran stresor untuk meningkatkan keseluruhan efisiensi dan efektifitas perusahaan. Fenomena yang diangkat dari penelitian ini adalah sebuah tema yang sedang popular di dunia bisnis yaitu “do more with less” yang adalah
sebuah ungkapan yang bermakna adanya usaha untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas dalam organisasi. Tema ini lebih difokuskan kepada bagaimana menggunakan karyawan yang ada didalam perusahaan untuk bekerja secara lebih produktif dengan sumberdaya yang terbatas. Fenomena berikutnya adalah tentang Burnout (ambiguitas dan konflik peran) yang ternyata sangat mempengaruhi tingkat pemenuhan sumberdaya yang ada didalam perusahaan, tingkat kepuasan dan juga tingginya tingkat turnover seperti yang dikemukakan oleh Licata (2003). Variabel-variabel yang digunakan oleh Harris et al., (2006) dalam penelitian ini adalah kepribadian, peran konflik dan ambiguitas peran, job resourcefulness, orientasi konsumen, kepuasan kerja serta keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Adapun model hubungan antar variabel penelitian ini adalah kepribadian berpengaruh terhadap job resourcefulness, peran konflik dan ambiguitas peran berpengaruh terhadap job resourcefulness, kepuasan kerja dan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Selanjutnya job resourcefulness berpengaruh terhadap orientasi konsumen, kepuasan kerja da keinginan untuk meninggalkan pekerjaan dan orientasi konsumen berpengaruh terhadap kepuasan kerja dan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Sampel penelitian ini yang dipilih adalah karyawan retail pada perbankan berskala besar di Amerika Serikat. menunjukan bahwa semua yang antara lain adalah sebagai berikut : 1. Kontrol kepribadian dan ambiguitas peran berhubungan negative dengan job resourcefulness. 2. Kontrol kepribadian dan peran konflik berhubungan negatif dengan job resourcefulness. 3. Pengaruh ambiguitas peran terhadap Job resourcefulness lebih besar dibandingkan pengaruh peran konflik terhadap job resourcefulness. 4. Job resourcefulness berhubungan positif dengan orientasi konsumen. 5. Job resourcefulness berhubungan positif dengan kepuasan kerja.
6. Orientasi konsumen memediasi pengaruh job resourcefulness terhadap kepuasan kerja. 7. Job resourcefulness berhubungan negatif dengan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. 8. Orientasi konsumen memediasi pengaruh job resourcefulness terhadap keinginan untuk meninggalkan pekerjaan Harris et al., (2006) mengusulkan dalam rangka generalisasi serta untuk perkembangan topik penelitian ini maka sebaiknya penelitian mendatang juga menganalisa dimensi kepribadian lainnya seperti layanan profesional, dimensi keramah tamahan dan dimensi layanan lainnya yang berhubungan dengan karakteristik yang dibutuhkan dalam suatu pekerjaan seperti keterbukaan dan ketelitian yang tinggi. Kontribusi penelitian Harris et al., (2006) untuk penulisan ini adalah pengadopsian hubungan variabel konflik peran dengan kepuasan kerja sebagai bagian dari model konseptual penelitian.
11) Karatepe dan Tekinkus, (2006) The effects of work-family conflict, emotional exhaustion, and intrinsik motivation on job outcomes of front-line employees Penelitian ini dilakukan oleh Karatepe dan Tekinkus, (2006) ini dilakukan di Turky dengan tujuan untuk menganalisa dampak dari (1). Konflik keluarga-pekerjaan terhadap kelelahan emosional, kinerja pekerjaan, kepuasan pekerjaan, dan komitmen afektif organisasi. (2). Kelelahan emosional terhadap kinerja pekerjaan, kepuasan pekerjaan, dan komitmen organisasi. (3). Pengaruh motivasi intrinsik terhadap kelelahan emosional, kinerja pekerjaan, kepuasan pekerjaan, dan komitmen organisasi. (4). Kinerja pekerjaan terhadap kepuasan pekerjaan dan komitmen organisasi. mkonflik keluargapekerjaan) mempunyai efek positif
signifikan terhadap kelelahan emosional, dan motivasi intrinsik mempunyai dampak negative msignifikan terhadap kelelahan emosional. Hasil lainnya berdasarkan manalisa jalur, yaitu bahwa konflik keluarga-pekerjaan dan kelelahan emosional tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja pekerjaan, terdapat pengaruh positif yang signifikan dari motivasi intrinsic terhadap kinerja pekerjaan. Hasil juga mengungkapkan bahwa konflik keluarga-pekerjaan dan kelelahan emosional berpengaruh negative yang signifikan terhadap kepuasan pekerjaan. Sementara motivasi intrinsik dan kinerja pekerjaan mempunyai efek positif yang signifikan terhadap kepuasan pekerjaan, konflik keluarga-pekerjaan dan kelelahan emosional berpengaruh negative terhadap komitmen afektif organisasi. Hasil selanjutnya dalah bahwa motivasi intrinsik mempunyai dampak positif signifikan terhadap komitmen afektif organisasi, dan kemudian hasil yang terakhir menunjukan bahwa kinerja pekerjaan dan kepuasan pekerjaan mempunyai efek positif yang signifikan terhadap komitmen afektif organisasi.
12) Kuruuzum et al., (2008) Predictors of Burnout among middle managers in the Turkish hospitality industry Kuruuzum, Anafarta dan Irmak, (2008) melakukan penelitian ini dengan tujuan untuk menguji, memprediksi serta melihat predictor terpenting dari pengaruh kepuasan kerja, karakteristik pekerjaan dan karakteristik demografi terhadap Burnout dengan objek terteliti manejer tingkatan menengah pada industri kesehatan di Turky. Fenomena penelitian ini dimulai dari kondisi pekerjaan industry kesehatan yang digambarkan sebagai suatu pekerjaan dengan
prosedur yang kompleks, tingkat hubungan pekerja yang intensif pada setiap jenjang pekerjaan. Khusus untuk manejer tingkat menengah di mTurky, tuntututan pekerjaan mengharuskannya untuk selalu melakukan mkontak langsung dengan konsumen dan mereka juga dituntut untuk bekerja dalam waktu yang lebih panjang, harus diperhadapkan dengan bermacam permintaan konsumen, keinginan atau kebutuhan pekerja dan kebijakan-kebijakan perusahaan. Hal-hal tersebut disimpulkan dapat melahirkan Burnout khususnya secara umum pada menejer tingkat menengah.
13) Henkens dan Leenders, (2010 Burnout and Older Workers Fenomena uitama dari penelitian ini adalah bahwa semakin tingginya partisipasi angkatan kerja pada usia tua yang terjadi di mBelanda. Fenomena ini segera diantisipasi dengan cepat oleh pemerintah Belanda dengan melancarkan kebijakan-kebijakan formal lewat program pensiun dini. Dengan mengadopsi asumsi yang digunakan pada penelitian empiris sebelumnya, penelitian ini berasumsi bahwa pensiun dini dapat dilihat sebagai bentuk penarikan dari organisasi dalam upaya untuk menghindari situasi kerja yang tidak memuaskan, yang dapat dibandingkan dengan bentuk lain dari penarikan diri (salah satu ciri Burnout) seperti absensi atau penarikan psikologis. Berdasarkan asumsi tersebut maka fokus dari penelitian ini adalah menganalisis hubungan antara Burnout dengan niat untuk pensiun dini. Model konseptual penelitian ini menggambarkan tentang determinan dari Burnout. Pertama adalah karakteristik pekerjaan, yang teraktualisasi melalui beban kerja yang tinggi, tingkat otonomi mpekerjaan, tantangan pekerjaan, tuntutan beban pekerjaan. Kedua
adalah dukungan sosial yang meliputi dukungan manejer, dukungankolega dan dukungan rekan kerja. mData penelitian ini bersumber dari informasi yang dikumpulkan selama survey pada tahun 2001 oleh Institute Demografi Interdisipliner Belanda (NIDI). Sebanyak 2.892 karyawan pada 4 perusahaan swasta dan 1 perusahaan pemerintah dijadikan sebagai sampel penelitian. Umur sampel rata-rata adalah diatas 50 tahun, dengan 76% adalah laki-laki, 41% di antaranya memiliki tingkat pendidikan rendah, 28% tingkat menengah dan 31% berpendidikan tinggi. Alat analisis yang digunakan adalah analisis regresi dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa kelelahan, sinisme, dan kompetensi (dimensi Burnout) merupakan reaksi terhadap aspek yang berbedadari pekerjaan dan lingkungan sosial mereka, kelelahan sebagian besar dijelaskan oleh beban kerja yang tinggi, kurangnya tantangan, tingginya tuntutan fisik pekerjaan, dan rendahnya dukungan sosial.Sinisme dijelaskan terutama oleh kurangnya tantangan dan beban kerja yang tinggi dan kurangnya dukungan kolega. Kompetensi dijelaskan oleh tantangan, dukungan beban kerja yang berat, otonomi, dan kurangnya dukungan sosial dari rekan kerja. Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa kelelahan signifikan dimediasi efek dari beban kerja, tantangan dan peluang pertumbuhan pada niat pensiun. Burnout berhubungan positif dengan niat untuk pensiun. Sementara efek beban kerja pada niat pensiun sepenuhnya dimediasi oleh kelelahan. Keterbatasan penelitian ini antara lain yaitu bahwa penelitian ini dilakukan dalam waktu yang relatif singkat (studi cross-sectional) dan yang kedua adalah faktor tingkat kesehatan karyawan yang berusia lanjut tidak diperhatikan dalam penelitian ini. Sementara hubungannya dengan penelitian ini adalah sama-sama menganalisis faktor-faktor penyebab Burnout terutama pada variabel beban kerja namun Henkens dan Leenders tidak meneliti konsekuensinya yang ditimbulkan oleh Burnout tersebut.
14) Izquierdo et al., (2010 ) Applying Information Theory to Small Groups Assessment: Emotions and Well-Being at Work Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis pengaruh emosi, desain pekerjaan hubungannya dengan tingkat kesehatan dengan menggunakan sampel awak kabin maskapai penerbangan atau (CC-Cabin Crew). Topik penelitian ini dipilih karenamenurut peneliti bahwa salah satu kunci untuk kinerja pekerjaan yang memadai untuk sejumlah besar pekerja di sektor jasa berpusat pada ekspresi emosi. Variabel-variabel yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi variabel emosional. Variabel ini diaktualisasikan melalui penularan emosional (EC) yang adalah proses di mana perasaan dan kerangka pikiran seorang individu ditransfer ke orang sekitarnya. Berdasarkan penelitian terdahulu dapat dijustifikasi bahwa penularan emosi menjelaskan proporsi yang signifikan dari varians dalam kelelahan emosional. Selain itu beberapa penelitian menunjukkan bahwa perasaan negatif lebih mudah menular daripada yang positif (EW-Well Being) sehingga berpotensi untuk melahirkan Burnout. Selain EW, variabel lain telah diperhitungkan, terutama yang berhubungan dengan pekerjaan desain. Desain pekerjaan juga berhubungan dengan stres EW dan bekerja, seperti dalam kasuskasus di mana konflik dan ambiguitas peran muncul. Rizzo, House & Lirtzman (1970) menunjukkan bahwa ambiguitas peran dicirikan oleh persepsi ketidaksesuaian antara harapan yang berbeda, tuntutan, dan perilaku selama bekerja. Sementara konflik peran ditandai oleh persepsi ketidaksesuaian antara tuntutan, harapan dan perilaku yang berbeda di tempat kerja. Variabel EW juga berhubungan dengan kelelahan. Sindrom ini didefinisikan sebagai kelelahan emosional, sikap negatif terhadap orang lain pada umumnya klien, (depersonalisasi), dan efisiensi yang rendah di tempat kerja (kinerja pribadi berkurang) (Maslach &
Jackson, 1986). Salah satu aspek penting dari kerangka emosional adalah pengaturan diri yang adalah elemen yang stabil yang memungkinkan individu untuk memandu kegiatan tujuan mereka dari waktu ke waktu dan tindakan. Aspek lainnya yang menggambarkan emosi adalah self efficacy merupakan rasa kompetensi yang membantu untuk mengatasi kesulitan dalam situasi menuntut tertentu. Kesimpulannya bahwa model konseptual yang dibangun dalam penelitian ini akan menegambarkan hubungan antara organisasi dan variabel pekerjaan desain (EW, peran dan konflik ambiguitas) berhubungan dengan variabel kesehatan. Sampel penelitian sebanyak 181 awak kabin pada sebuah maskapai penerbangan sipil dengan karakteristik sebagai berikut : semua responden adalah wanita, di antaranya 60% adalah sarjana dan 40% berpendidikan sekolah menengah, usia mereka berkisar antara 22-45 tahun, dengan usia rata-rata adalah 32,8 tahun. Hasil penelitian menunjukan bahwa perasaan cemas Kecemasan dijelaskan oleh emosi negatif, ambiguitas peran dan konflik peran. Disfungsi sosial dijelaskan oleh konflik peran, emosi positif dan Selfefficacy. Depresi dijelaskan oleh variabel konflik peran. Burnout dijelaskan oleh konflik peran, emosi negatif, penularan emosional dan disonansi emosional. Hubungannya dengan penelitian ini adalah sama menganalisis dimensi Burnout lewat determinannya khususnya konflik peran 15) Hamwi et al., (2011) Reducing Emotional Exhaustion and Increasing Organizational Support Penelitian ini dilakukan oleh G. Alexander Hamwi, Brian N. Rutherford dan James S. Boles dengan tujuan untuk mejelaskansecara mendalam tentang determinan stress dan pengaruhnya terhadap kelelahan emosional individu dan persepsi individu tersebut terhadap dukungan organisasional. Guna memeperoleh data penelitian, maka sebanyak 188 kuisioner dibagikan
kepada karyawan yang berasal dari perusahaan iklan di selatan Amerika Serikat. Dari 188 kuisioner tersebut, 136 kuisioner dikembalikan dan selanjutnya dianalisis. Sampel penelitian ini terdiri dari 72% adalah laki-laki dengan umur rata-rata 30 tahun dan telah memiliki pengalaman berkeja selama 6,6 tahun, 73% diantaranya adalah lulusan perguruan tinggi dengan pendapatan rata-rata berkisar diantara $9,600 sampai dengan $75,000 (tanpa bonus). Kerangka konseptual yang ditampilkan dalam penelitian ini dirancang untuk menganalisis hubungan antara determinan stress yakni konflik peran dan ambigiutas peran terhadap persepsi dukungan organisasional dan kelelahan emosional, kemudian hubungan antara persepsi dukungan organisasional dengan konflik pekerjaaan-keluarga dan kelelahan emosional serta hubungan antara konflik pekerjaaan-keluarga terhadap kelelahan emosional. Hasil analisis menunjukan bahwa konflik peran berpengaruh negatif terhadap dukungan organisasional, ambiguitas peran berpengaruh negatif terhadap dukungan organisasional, dukungan organisasional berpengaruh negatif terhadap konflik pekerjaankeluarga, konflik peran berpengaruh positif terhadap kelelahan emosional dan persepsi dukungan organisasional tidak berpengaruh terhadap kelelahan emosional serta konflik pekerjaan-keluarga berpengaruh positif terhadap kelelahan emosional. Keterbatasan dari penelitian ini antara lain pertama, penelitian ini hanya meneliti persepsi karyawan, sementara dalam kenyataannya informasi yang berasal dari manejer sebuah perusahaan juga tidak kalah pentingnya. Kedua, tingkat generalisasi hasil penelitian ini akan melemah karena hanya meneliti pada satu perusahaan saja. Berdasarkan keterbatasan tersebut maka untuk penelitian yang akan datang disarankan untuk meneliti pada perusahaan-perusahaan penghasil barang dan jasa serta melibatkan beberapa variabel lain yang berhubungan dengan organisasi seperti komitmen dan tingkat turnover karyawan.
Hubungannya antara penelitian ini adalah sama-sama menggunakan variabel yang sama yaitu konflik peran dan kelelahan emosional (kelelahan emosional dalam penelitian ini merupakan salah satu indikator Burnout). Sementara bedanya adalah penelitian Hamwi ini lebih difokuskan pada determinan stress serta konsekuensinya terhadap dukungan organisasional, konflik pekerjaan-keluarga dan kelelahan emosional sementara penelitian ini lebih khusus menganalisis pengaruh antaseden Burnout serta konsekuensinya terhadap tingkat kepuasan kerja. Konflik peran, kelebihan beban kerja dan motivasi intrinsik adalah merupakan ekstensi model anteseden Burnout yang dikembangkan penulis dalam penelitian ini. Sebelumnya model anteseden Burnout telah diteliti oleh beberapa peneliti terdahulu yang sebagian modelnya diadopsi penulis untuk memenuhi tujuan penelitian ini. Pengembangan (ekstensi) model penelitian ini dibangun berdasarkan model penelitian yang dilakukan oleh ; Babakus et al., (1999) dalam “The role of emotional exhaustion in sales force attitude and behavior relationship” yang menggunakan ambiguitas peran dan konflik peran sebagai variabel yang menyebabkan terjadinya salah satu dimensi Burnout yaitu kelelahan emosional pada 203 tenaga penjualan di Amerika Serikat
3.2.1. Konflik Peran Menurut Babakus et al., (1999) bahwa kelelahan emosional (salah satu dimensi Burnout) adalah sebuah konstruk penting dalammenguji perilaku dan sikap tenaga penjual sebagai pekerja garis depan yang selalu berinteraksi (bertatap muka) secara langsung dengan penerima layanan. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa konflik peran berpengaruh secara positif terhadap Burnout dan berpengaruh negatif terhadap kepuasan. Hasil yang sama-pun ditunjukan oleh Low et al., (2001) yang menyatakan bahwa konflik peran berhubungan positif dengan Burnout dan semakin
tinggi tingkat konflik peran akan menurunkan tingkat kepuasan. Pendapat senada lainnya datang dari Bhanugopan, (2006) yang menyebutkan bahwa konflik peran berhubungan positif secara signifikan terhadap semua dimensi Burnout (emotional exhaustion, depersonalization, reducedpersonal accomplishments). Kajian empiris terakhir yang menjadi rujukan adalah hasil penelitian Hamwi et al., (2011) yang menunjukkan bahwa konflik peran berpengaruh positif terhadap kelelahan emosional. Namun hubungan konflik peran dan Burnout dari keempat penelitian di atas ternyata bertolak belakang dengan hasil yang tampilkan oleh Zagladi, (2004). Zagladi menyatakan bahwa konflik peran tidak berpengaruh terhadap kelelahan emosional. Hubungan antara konflik peran dan tingkat kepuasan kerja juga diteliti oleh beberapa peneliti yang antara lain ; Dubisky et al., (1992) ; Moncrief et al., (1997) ; Brashear et al., (2000) ; Lankau et al., (2006) dan Harris et al., (2006) yang semuanya menyatakan hasil yang serupa yaitu Konflik peran berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja.
3.2.2. Kelebihan Beban Kerja Shawn dan Weekly dalam penelitiannya tahun 1985 mengungkapkan bahwa kelebihan beban kerja berpengaruh terhadap perceive pressure (perasaan tertekan). Sementara Zagladi, (2004) menyatakan bahwa beban kerja yang berlebihan berpengaruh secara positif terhadap salah satu dimensi Burnout yaitu kelelahan emosional dan kelelahan emosional yang tinggi berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja. Hal senada juga sampaikan oleh Bhanugopan, (2006) yaitu kelebihan beban kerja berhubungan positif secara signifikan terhadap semua dimensi Burnout (emotional exhaustion, depersonalization dan reduced personal accomplishments). Sementara kajian empiris lainnya oleh Henkens dan Leenders, (2010) menunjukkan bahwa seluruh dimensi Burnout dipengaruhi oleh tingginya beban kerja.
Hasil yang sama juga ditunjukan oleh Izquierdoet et al., (2010) dalam penelitiannya dengan sampel awak kabin sebuah penerbangan sipil di Spanyol, yakni kelelahan (emosional dan fisik) signifikan dimediasi efek dari beban kerja.
3.2.3. Motivasi Intrinsik Hubungan antara motivasi intrinsik dengan konflik peran, Burnout dan tingkat kepuasan kerja dalam penelitian ini diadopsi dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Low et al., (2001). Hasil penelitiannya membuktikan bahwa ; semakin tinggi motivasi intrinsic maka konflik peran akan semakin rendah, semakin tinggi motivasi intrinsik maka Burnout akan semakin rendah dan tingkat motivasi intrinsik yang semakin tinggi memiliki pengaruh positif terhadap kepuasan kerja. Kajian empiris lainya berasal dari hasil penelitian oleh Karatepe dan Tekinkus, (2006) yang menyatakan bahwa motivasi intrinsic ternyata berpengaruh negatif terhadap salah satu dimensi Burnout yaitu kelelahan emosional dan berpengaruh secara positif terhadap kepuasan kerja. Berdasarkan kajian-kajian empiris tersebut, maka hipotesis mengenai hubungan antara motivasi intrinsik dengan konflik peran, (1). Babakus et al., (1999) menyatakan bahwa Burnout berpengaruh negatif terhadap kepuasan, (2). Low et al., (2001) mengungkapkan bahwa semakin tinggi Burnout maka akan menurunkan tingkat kepuasan kerja, (3). Sementara Zagladi, (2004) juga menyatakan hasil yang sama yaitu bahwa kelelahan emosional yang tinggi berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja dan (4). Kuruuzum et al., (2008) ternyata juga mendukung hasil penelitianpenelitian di atas yakni prediktor utama dari kepuasan kerja adalah salah satu dimensi Burnout yaitu depersonalization.
1) Konflik Peran Luthans, (2002) mendefinisikan konflik peran sebagai suatu posisi yang memiliki harapan untuk berkembang dari norma yang dibangun. Seorang individu akan mengalami konflik peran dalam organisasi jika yang bersangkutan menerima peran yang tidak sesuai dengan perilaku peran yang tepat. Lebih lanjut Luthans menjelaskan bahwa seorang individu seringkali memiliki peran ganda (multiple roles), misalnya dalam penelitian ini yakni ; selain sebagai seorang dosen, orang tersebut juga memiliki peran lain sebagai tenaga atau pejabat struktural. Peran-peran tersebut sering memunculkan konflik tuntutan dan konflik harapan. Indikator variabel konflik peran dalam penelitian ini meliputi : 1. Hubungan dengan atasan, rekan dosen dan staf administrasi 2. Hubungan dengan mahasiswa 3. Persaingan dalam merebut jabatan structural 4. Perebutan mata kuliah yang akan diasuh dan jam mengajar 5. Menjalankan peran lain sebagai tenaga atau pejabat structural Konflik Peran Hubungan dengan atasan, rekan dosen dan staf administrasi Dukungan ataukeakraban hubungandengan atasan, sesamarekan dosen atau denganstaff administrasi di tempat mengabdiHubungan dengan mahasiswaHubungan denganmahasiswa sebagaipeserta didik Persaingan dalammerebut jabatanstrukturalPersaingan di antarasesama rekan dosenuntuk merebut jabatanjabatanstructuralPerebutan mata kuliahyang akan diasuh danjam mengajarPersaingan di antarasesama rekan dosenuntuk merebut matakuliah atau jam mengajar Menjalankan peran lain sebagai tenaga atau pejabat structural Menjalankan peran lain disamping tugas utama sebagai dosen yaitu sebagai pejabat struktural di tempat mengabdi Sumber : Diolah, Zagladi, (2004) dan Hamwi et al., (2011)
2) Kelebihan Beban Kerja Kelebihan beban kerja pada diri seseorang adalah beban yang menjadi tugas dan kewajibannya tetapi melebihi takaran kesanggupannya. Kelebihan beban kerja tersebut dapat berbentuk bobot maupun waktu kerja yang berlebihan yang akan menimbulkan hal-hal buruk bagi individu karena cenderung dapat mengurangi efektivitas pekerjaan dan mengganggu perasaan pekerja yang bersangkutan. Indikator variabel kelebihan beban kerja dalam penelitian ini meliputi : 1.Melakukan berbagai kegiatan pendidikan 2. Melakukan berbagai kegiatan penelitian 3. Melakukan berbagai kegiatan pengabdian pada masyarakat 4. Melakukan berbagai kegiatan penunjang lainnya 5. Melakukan tugas lain disamping dosen yaitu sebagai tenaga atau sebagai pejabat structural. 3) Motivasi Intrinsik Motivasi intrinsik menurut Herzberg, (1996) adalah factor pemuas yang disebut juga motivator yang merupakan factor pendorong seseorang untuk berprestasi yang bersumber dari dalam diri seseorang tersebut (kondisi intrinsik). Indikator variabel motivasi intrinsik dalam penelitian ini antara lain : 1. Tertarik dengan pekerjaan itu sendiri 2. Mendapatkan pengakuan 3. Mempunyai kesempatan untuk mempelajari sesuatu yang baru dan memperoleh kenaikan pangkat fungsional secara cepat adalah lebih pasti jika menduduki salah satu jabatan struktural
4. Bertanggung jawab terhadap pekerjaan 5. Memiliki motivasi dan bangga jika mampu memajukan lembaga tempat mengabdi 4) Burnout Burnout menurut Maslach dan Jackson (1981) merupakan suatu sindrom psikologis yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu emotional exhaustion (kelelahan emosional), depersonalization (depersonalisasi), dan reduced personal accomplishment (penurunan pencapaian prestasi diri). Lebih lanjut dijelaskan bahwa Burnout merupakan respon terhadap keteganganketegangan emosional yang muncul karena adanya hubungan secara intensif dengan orang lain. Indikator dari variabel Burnout dalam penelitian ini meliputi : 1. Emotional exhaustion (kelelahan emosional) seperti perasaan terkurasnya energi yang dimiliki, berkurangnya sumber-sumber emosional di dalam diri seperti rasa kasih, empati, dan perhatian. 2. Depersonalization (depersonalisasi) seperti memandang rendah dan meremehkan orang lain, bersikap sinis dan cenderung kasar. 3. Reduced personal accomplishment (penurunan pencapaian prestasi diri) seperti merasa dirinya tidak kompeten dan tidak efektif, kurang puas dengan apa yang telah dicapai dalam pekerjaan. 5) Kepuasan Kerja Kepuasan kerja merupakan suatu perasaan yang diinginkan oleh setiap pekerja. Kepuasan kerja dapat diartikan juga sebagai selisih antara harapan dan kenyataan yang diterima seorang pekerja atau keadaan emosional pekerja yang menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap pekerjaannya. Indikator variabel kepuasan kerja dalam penelitian ini antara lain :
1. Pekerjaan sesuai dengan keinginan dan keahlian 2. Adanya peluang promosi, kenaikan pangkat fungsional dankenaikan jabatan yang baik 3. Gaji, honorarium dan tunjangan yang memuaskan 4. Dukungan rekan kerja, dan atasan 5. Adanya prestise yang baik menyangkut citra lembaga tempat mengabdi Konsekuensi Yang Ditimbulkan Stres di Tempat Kerja Pada Individu Pekerja dan Organisasi.Stres di tempat kerja dapat menimbulkan berbagai konsekuensi pada individu pekerja. Secara fisiologis, pekerja dengan tingkat stres kerja yang tinggi dapat mengalami ganguan fisik seperti: sulit tidur, perubahan pada metabolisme, hilang selera makan, perut mual, tekanan darah dan detak jantung meningkat, gangguan pernapasan, sakit kepala, telapak tangan yang berkeringat, dan gatal-gatal. Secara psikologis, timbul ketidakpuasan kerja yang diikuti dengan adanya tekanan pada emosi seperti cemas, mudah tersinggung atau mudah marah, bad mood, muram, bosan dan sikap kasar. Stres juga bisa berakibat pada perubahan perilaku pekerja, seperti: menurunnya produktivitas, tingkat kehadiran dan komitmen terhadap organisasi. Selain itu juga menghasilkan perilaku seperti merokok atau mengkonsumsi minuman keras secara berlebihan, agresivitas dalam berbicara atau bertindak, melakukan hal-hal yang mengganggu di tempat kerja, atau sering ditemukan tidur tempat kerja. Stres yang dialami secara terus-menerus dan tidak terkendali, bisa menyebabkan terjadinya burn-out yaitu kombinasi kelelahan secara fisik, psikis dan emosi.Bagi organisasi, stres di tempat kerja dapat berakibat pada rendahnya kepuasan kerja, kurangnya komitmen terhadap organisasi, terhambatnya pembentukan emosi positif, pengambilan keputusan yang buruk, rendahnya kinerja, dan tingginya turnover.Sebagaimana telah
dikemukakan di awal tulisan, stres di tempat kerja pada akhirnya bisa menyebabkan terjadinya kerugian finansial pada organisasi yang tidak sedikit jumlahnya.
Strategi –strategi yang termasuk dalam menagemen stres adalah: 1.
Perhatikan lingkungan sekitar anda
Lihatlah, mungkin ada sesuatu yang benar-benar dapat anda ubah atau kendalikan dalam situasi tersebut. 2.
Jauhkan diri anda dari situasi-situasi yang menekan
Beri diri anda kesempatan untuk beristrirahat biarpun hanya untuk beberapa saat setiap hari. 3.
Jangan mempermasalahkan hal-hal yang sepele
cobalah untuk memprioritaskan beberapa hal yang benar-benar penting dan biarkan yang lainnya mengikuti. 4.
Secara selektif ubahlah cara anda bereaksi
Tetapi jangan terlalu banyak sekaligus. Fokuskan pada satu masalah dan kendalikan reaksi anda terhadap hal ini. 5.
Hindari reaksi yang berlebihan
Mengapa harus membenci jika sedikit tidak suka sudah cukup?Mengapa harus merasa bingung jika cukup hanya merasa gugup?Mengapa harus mengamuk jika marah saja sudah cukup?Mengapa harus depresi ketika cukup dengan merasa sedih? 6.
Tidur secukupnya
Tidur merupakan istirahat yang baik untuk tubuh. Kurang istirahat hanya akan memperburuk stress. 7.
Hindari pengobatan diri sendiri atau menghindar
Alkohol dan obat-obatan dapat menyembunyikan stress. Namun tidak dapat membantu memecahkan masalah . 8.
Belajarlah untuk merelaksasikan diri
Meditasi dan latihan pernafasan telah terbukti efektif dalam mengendalikan stres.Senam ringan selama 5-10 menit juga merupakan salah satu alternatif yang dapat di gunakan untuk mengatasi stres di tempat kerja. Selain itu berlatihlah untuk menjernihkan pikiran anda dari pikiran-pikiran yang mengganggu . 9.
Tentukan tujuan yang realistis bagi diri anda sendiri
Dengan mengurangi jumlah kejadian-kejadian yang terjadi dalam hidup Anda, Anda akan dapat mengurangi beban yang berlebihan. 10. Jangan membebani diri anda secara berlebihan
Dengan mengeluh mengenai seluruh beban kerja anda.Tangani setiap tugas sebagai mana mestinya, atau tangani secara selektif dengan memperhatikan beberapa prioritas. 11. Ubahlah cara pandang anda Belajarlah untuk mengenali stres.Tingkatkan reaksi tubuh anda dan buatlah mengaturan diri terhadap stres. 12. Lakukan sesuatu untuk orang lain Untuk melepaskan pikiran dari masalah anda sendiri. 13. Tingkatkan ketahanan diri anda Yang harus di garis bawahi dari manajemen stres adalah bagaimana anda bertahan dan mencari solusi yang positif.
15. Mencoba berfikir positif Tanamkan pada diri anda bahwa anda dapat mengatasi segala sesuatu dengan baik dari pada hanya memikirkan betapa buruknya segala sesuatu yang terjadi? Stress sebenarnya dapat membantu ingatan, terutama pada ingatan jangka pendek dan tidak terlalu komplek. Stres dapat menyebabkan meningkatan glukosa yang menuju otak, yang memberikan energi lebih pada neuron.Hal ini sebaiknya, meningkatkan pembentukan dan pengembalian ingatan.Hadapilah setiap masalah yang datang dengan tetap berfikiran positif.Berusaha untuk mencari jalan keluar adalah kunci keberhasilan menghadapi masalah tersebut.
16. Biasakan hidup sehat makan dengan gizi seimbang Berusahalah mempertahankan aktifitas yang reatif seperti olahraga dan rekreasi, hindari rokok dan minuman keras, cukup istirahat dan tidur. 17. Tetaplah memelihara hubungan persahabatan dan sosial dengan orangorang di luar lingkungan kerja atau belajar. Misalnya; tetangga, kerabat dekat,serta melibatkan diri dalam aktifitas yang berguna seperti kegiatan sosial dan keagamaan. Keuntungan manajemen stress Meningkatkan sistem kekebalan tubuh, daya ingat dan daya pikir, kualitas tidur, kualitas hubungan sosial, kualitas cinta kasih dalam keluarga, produktivitas, lingkungan kerja atau belajar yang sehat dan dinamis, sangat memberi kontribusi menekan efek samping sterss kecakapan mengelola stress juga ditenagarai dapat mengurangi resiko terkena seperti jantung dan stroke. Bagi setiap orang, pekerjaan merupakan hal yang penting.Bukan hanya sebagai sumber penghasilan untuk keperluan hidup, tetapi juga menjadi bagian dari identitas diri. Apapun pekerjaannya ia akan merasa lebih percaya diri ketika ditanya orang apa pekerjaannya. Sebaliknya ia akan merasa malu ketika terpaksa harus menjawab belum punya pekerjaan. Aspek psikologis dari suatu pekerjaan itulah yang jarang dipikirkan oleh pemerintah.Maka solusi yang dipilih ketika melihat rakyat miskin bukannya memberikan pekerjaan (dan penghasilan), tetapi hanya diberi bantuan langsung tunai.
Orang yang tidak punya pekerjaan jelas mengalami stres. Apalagi jika ia juga mempunyai tanggungan yang menggantungkan nasib kepadanya. Tetapi orang yang mempunyai pekerjaan juga tidak terlepas dari stres.Unsur-unsur yang berpengaruh terhadap stres di tempat kerja tersebut antara lain rasa aman atas pekerjaannnya (job security), dukungan sosial, sifat pekerjaan yang monoton, upaya fisik yang diperlukan, tingkat kebutuhan fisiologik, tingkat kesertaan dalam mengambil keputusan untuk jenis pekerjaan, suasana tempat kerja, kebersihan udara tempat kerja. Stres di tempat kerja juga dipengaruhi oleh faktor individu, seperti tingkat pendidikan, umur, jenis kelamin, latar belakang budaya (termasuk etnisitas) dan gaya hidup (merokok, minum alkohol, dan yang lain). Selanjutnya, derajat stres di tempat kerja sudah tentu akan memengaruhi produktivitas, loyalitas terhadap perusahaan, tingkat kesehatan individu termasuk beban biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan baik langsung maupun tidak langsung, angka kecelakaan kerja, dan angka mangkir (absenteism rate). Sebegitu jauh penelitian yang ada mengenai stres di tempat kerja baru melihat dampaknya terhadap individu pekerja yang berkaitan dengan pekerjaannya.Belum sampai meneliti dampak stres di tempat kerja terhadap kehidupan keluarga mereka.Reaksi tiap orang terhadap stres dapat berbeda-beda. Masalah baru yang muncul akhir-akhir ini adalah adanya larangan merokok di tempat kerja.Dalam ruangan ber-AC, banyak menggunakan komputer atau alat-alat elektronik yang peka terhadap debu, atau sifat pekerjaan yang memerlukan ketelitian dan kecepatan, dan dengan bendabenda yang mudah terbakar, atau pekerjaan yang memberikan pelayanan kepada orang lain, perusahaan mengenakan larangan merokok di tempat kerja. Peraturan ini juga akan dapat menimbulkan stres bagi mereka yang sudah kecanduan rokok. Sebaliknya, kalau dibiarkan pekerja merokok di
tempat kerja, ia dapat menimbulkan stress bagi yang bukan perokok. Keduaduanya merupakan masalah yang akan berdampak pada produktivitas pekerja. Di situlah diperlukan kearifan pemilik perusahaan atau manajer perusahaan untuk membuat aturan yang bijaksana. Definisi Tanggapan Stimulus Contoh definisi tanggapan stimulus adalah bahwa stress merupakan konsekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan dan tanggapan dari individu yang bersangkutan. Stress dipandang lebih dari sekedar stimulus atau tanggapan; strss adalah hasil dari suatu interaksi yang unik antara kondisi stimulus dalam lingkungan dan kecenderungan individu mrnanggapi dengan cara tertentu. Definisi Kerja Masing-masing dari ketiga definisi tersebut mengajukan wawasan tentang hal-hal yang menimbulkan stress. Oleh karena itu, masing-masing digunakan untuk mengembangkan suatu definisi kerja untuk bab ini. Kami mendifinisikan stress sebagai : Suatu tanggapan adaptif, ditengahi oleh perbedaan individual dan/atau proses psikologis, yaitu, suatu konsekuensi dari setiap kegiatan (lingkungan), situasi atau kejadian eksternal yang membenahi tuntutan psikologis atau fisik yang berlebihan terhadap seseorang.
Definisi kerja ini melukiskan strss dalam suatu gambaran yang lebih negatif dibandingkan dengan kebanyakan definisi lainnya, yang menempatkannya sebagai suatu istilah netral. Akan tetapi, kita telah
memasukkan istilah berlebihan dalam definisi kita. Tentunya tidak semua stress bersifast negatif. Stress yang positif, yang dikemukakan oleh Dr. Hans Selye, ialah eustress (dari kata Yunani eu, yang berarti baik, sebagai euphoria) yang mendorong dalam pengertian positif. Eustress diperlukan dalam kehidupan kita. Akan tetapi, karena terbatasnya tempat kita tidak dapat mengembangkan pembahasan kita tentang eustress dalam bab ini. Definisi kerja di atas memungkinkan kita memusatkan perhatian atas kondisi lingkungan yang khas sebagai sumber stress yang potensial. Kondisi semacam itu disebit penekan (stressors). Apakah stress tersebut dirasakan atau dialami oleh seseorang atau tidak akan tergantung pada karakteristik orang yang bersangkutan. Selanjutnya definisi tersebut menekankan suatu tanggapan adaptif. Sebagian besar tanggapan kita terhadap stimulus dalam lingkungan kerja tidak memerlukan adaptasi, dan karenanya bukab sumber stress yang benar-benar potensial. Suatu hal yang perlu diingat adalah keanekaragaman situasi yang tidak serupa, upaya kerja, kejenuhan, ketidakpastian, ketakutan, timbulnya emosi dapat menimbulkan stress. Oleh karena itu sangat sukar mengisolasi faktor tunggal sebagai penyebab satu-satunya.
STRESS PSIKOFISIOLOGI Jika karena sesuatu alasan tanpa sengaja tangan anda menyentuh kompor yang panas, beberapa kejadian yang dapat diramalkan akan terjadi. Anda akan merasa sakit. Dan juga akan ada kerusakan jaringan kulit yang terkena kompor tersebut. Tergantung pada waktu reaksi anda, anda akan segera menarik tangan dari kompor. Mungkin anda melontarkan kata-kata tertentu.
Kejadian tersebut menggambarkan suatu interaksi antara anda dengan lingkungan itu adalah suatu kejadian yang mengakibatkan konsekuensi fisik dan psikologis. Hal tersebut juga merupakan kejadian yang memproyeksikan tentang pengertian stress dan cara kita menanggapinya secara fisik dan psikologis. Sindrom Adaptasi Umum (GAS) Dr. Hans Selye, pelopor riset tentang stress menyusun konsep tanggapan psikofisiologis terhadap stress. Selye menganggap stress sebagai tanggapan yang tidak khas terhadap setiap tuntutan terhadap organisme. Ia memberi nama ketiga fase reaksi pertahanan yang dibentuk seseorang jika terjadi stress sebagai Sindrom Adaptasi Umum (GAS). Selye menyebut reaksi pertahanan tersebut sebagai umum karena penekan menimbulkan dampak atas beberapa bagian dari tubuh; adaptasi menunjukkan suatu rangsangan pertahanan yang dirancang untuk membantu tubuh menyeselaikan atau menanggulangi penekan; dan sindrom menunjukkan bahwa bagian-bagian reaksi yang terjadi lebih kurang bersamaan. Ketiga fase yang berbeda tersebut diacu sebagai peringatan, perlawanan, dan peredaran. Tahap peringatan (alarm stage) adalah awal pengerahan dimana tubuh bertemu tantangan yang ditimbulkan penekan. Jika penekan sudah dikenali, otak segera mengirim suatu pesan biokimia ke seluruh sistem dalam tubuh. Denyut jantung meningkat, tekanan darah menaik, pupil mata membesar, otot menegang dan sebagainya. Jika penekan berlanjut, GAS maju ke tahap perlawanan. Tandatanda yang menunjukkan tahap perlawanan mencakup kejenuhan, kecemasan, dan ketegangan. Orang tersebut sekarang sedang berjuang melawan penekan. Jika perlawanan terhadap penekan tertentu kuat selama
periode ini, perlawanan terhadap penekan lain lemah. Seseorang hanya mempunyai sumber tenaga, kosentrasi, dan kemampuan terbatas. Individu sering lebih mudah sakit selama periode stress tersebut dibandingkan pada waktu-waktu lainnya. Tahap GAS yang terakhir ialah peredaan (exhaustion). Perlawanan yang panjang dan terus-menerus terhadap penekan yang sama pada akhirnya mungkin menghabiskan adaptif yang tersedia, dan sistem perlawanan terhadap penekan menjadi kendur. Ketiga tahapan GAS itu disajikan dalam Gambar 6 – 1. Sindrom Adaptasi Umum Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3
Tingkat Perlawanan Normal
Reaksialarm
Perlawanan
Peredaan Tubuh menunjukkan perubahan karakteristik pada eksposur pertama terhadap strssor
Tahap kedua terjadi Jika kelanjutan eksposur terhadap stressor sejalan dengan adaptasi
Dengan mengikuti eksposur berlanjut yang lama terhadap eksposur yang sama di mana tubuh telah menyesuaikan diri. Akhirnya energi adaptasi mereda
Sangat penting untuk selalu diingat, bahwa pengaktifan GAS menempatkan tuntutan yang luar biasa terhadap tubuh. Jelasnya, semakin sering GAS diaktifkan dan semakinlama ia bekerja, semakin usang dan rusak mekanisme psikofisiologis. Tubuh dan otak mempunyai keterbatasan. Semakin sering seseorang mendapat ancaman, melawan, dan terkuras oleh pekerjaan, atau bukan pekerjaan, atau oleh interaksi dari kegiatan tersebut, semakin cenderung orang yang bersangkutan menjadi jenuh, sakit, kuyu, dan berbagai konsekuensi negatif lainnya.
STRESS DAN KERJA: SEBUAH MODEL Bagi sebagian besar individu yang bekerja, bekerja itu lebih dari sekedar kewajiban 40 jam seminggu. Bahkan jika waktu kerja yang nyata 40 jam, jika kegiatan yang berkaitan dengan pekerjaan tersebut ditambahkan seperti waktu perjalanan kedan dari tempt kerja, persiapan untuk bekerja, dan waktu makan siang maka kebanyakan individu mempergunakan 10 jam atau lebih seharinya untuk berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pekerjaan tersebut. Tidak hanya jumlah waktu yang banyak dipakai untuk kegiatan yang berkaitan dengan pekerjaan, tetapi banyak individu menemukan porsi penting kepuasan mereka dan identitas dalam pekerjaannya. Konsekuensinya, kegiatan kerja dan nonkerja saling bergantung. Perbedaan antara stress di tempat kerja dan stress di rumah adalah sesuatu tiruan dalam keadaan paling baik. Sumber stress di tempat kerja tercurah ke dalam kegiatan nonkerja seseorang. Sebagai konsekuensi adanya penekan yang dialami di tempat kerja, seseorang mungkin pulang ke rumah dengan perasaan terganggu, marah dan letih. Hal ini dapat mengakibatkan cekcok dengan isteri atau suami. Konflik perkawinan dapat menjadi sumber stress
berikutnya yang pada gilirannya menimbulkan dampak negatif atas prestasi kerja. Jadi, stress di tempat kerja dan stress di luar kerja sering berkaitan. Akan tetapi, kepentingan kita dalam hal ini berkenan dengan penekan (stressors) ditempat kerja. Agar dapat memahami lebih baik kaitan antara stressor, stress, dan konsekuensinya, kita telah mengembangkan suatu model integrasi antara stress dan kerja. Perspektif manajerial digunakan untuk mengembangkan bagian-bagian dari model yang ditunjukkan pada Gambar 6 – 2. Mode l tersebut membagi stressor di tempat kerja ke dalam empat kategori: fisik, individual, kelompok, dan organisasi. Model itu juga menyajikan lima kategori dampak stress yang potensial. Dalam buku ini, secara khusus kita akan menekankan perhatian terhadap dampak yang mempengaruhi prestasi kerja. Model tersebut memperkenalkan moderator (penengah). Moderator yang telah diteliti oleh para peneliti stress pekerjaan meliputi umur, jenis kelamin, ketagihan kerja, harga diri, dan keterlibatan dalam lingkungan masyarakat. Kami memilih untuk membahas tiga moderator yang telah menerima paling banyak perhatian dalam riset, yaitu Pola Perilaku Tipe A, kejadian-kejadian perubahan dalam hidup (life change events), dan dukungan sosial (social support). Konsekuensi Stress Pengerahan mekanisme pertahanan tubuh bukanlah satu-satunya konsekuensi potensial yang timbul dari adanya kontak dengan stressor. Dampak stress sangat banyak dan beragam. Tentunya beberapa di antaranya bersifat positif seperti motivasi diri, rangsangan untuk kerja keras, meningkatnya inspirasi untuk menikmati kehidupan yang lebih baik. Akan tetapi, banyak juga stressor yang sifatnya
mengganggu dan secara potensial berbahaya. Cox telah mengidentifikasi 5 jenis konsekuensi dampak stress yang potensial. Kategori yang disusun Cox meliputi : Dampak subyektif: Kecemasan, agresi, acuh, kebosanan, depresi, keletihan, frustasi, kehilangan kesabaran, rendah diri, gugup, merasa kesepian. Dampak perilaku (Behavioral effects): Kecenderungan mendapat kecelakaan, alkoholik, penyalah gunaan obat-obatan, emosi yang tiba-tiba meledak, makan berlebihan, merokok berlebihan, perilaku yang mengikuti kata hati, ketawa gugup. Dampak kognitif: Ketidakmampuan mengambil keputusan yang jelas, kosentrasi yang buruk, rentang perhatian yang pendek, sangat peka terhadap kritik, rintangan mental. Dampak fisiologis: Meningkatnya kadar gula, meningkatnya denyut jantung dan tekanan darah, kekeringan di mulut, berkeringat, membesarnya pupil mata, tubuh panas dingin. Dampak organisasi: Keabsenan, pergantian karyawan, rendahnya produktivitas, keterasingan dari rekan sekerja, ketidakpuasan kerja, menurunnya keikatan dan kesetiaan terhadap organisasi.
Kelima jenis tersebut tidak mencakup seluruhnya, juga tidak terbatas pada dampak-dampak dimana ada kesepakatan universal dan untuk hal itu ada bukti ilmiah yang jelas, kesemuanya hanya mewakili beberapa dampak potensial yang sering dikaitkan dengan stress.
Akan tetapi, jangan diartikan bahwa stress selalu menyebabkan dampak seperti yang disebutkan di atas. Dari perspektif manajerial, masing-masing dari kelima kategori dampak stress seperti yang digambarkan dalam Gambar 6 – 2 adalah penting. Akan tetapi, pengunduran diri dan perilaku yang nonproduktif seperti keabsenan, pergantian karyawan, alkoholik, dan penyalahgunaan obat-obatan, merupakan dampak yang mengganggu diukur dari hilangnya produktivitas dan biaya.
Pengunduran Diri (Withdrawal). Ketidakhadiran dan keluar dari pekerjaan adalah dua bentuk perilaku pengunduran diri yang untuk sementara dapat mengurangi stress pekerjaan dalam beberapa hal. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara stress pekerjaan dengan keabsenan dan pergantian karyawan. Sebagai contoh, suatu studi menunjukkan bahwa dalam jangka waktu 15 tahun terdapat peningkatan 22 persen dalam keabsenan dan pergantian karyawan yang disebabkan masalah kesehatan fisik, sedangkan keabsenan yang dikaitkan dengan masalah kesehatan psikologis meningkat 152 persen untuk pria dan 302 persen untuk wanita. Suatu studi terhadap 175 karyawan rumah sakit mengkaji stress sebagai satu penduga (predictor) pergantian pegawai. Kewajiban keorganisasian, kepuasan kerja, dan kondisi kerja tidak dapat menduga adanya pergantian karyawan. Akan tetapi, tingkat stress yang tinggi merupakan suatu penduga yang penting dari tindakan meninggalkan rumah sakit. Para peneliti menyimpulkan bahwa karyawan yang tingkat stressnya rendah mempunyai harapan masa jabatan yang lebih lama di rumah sakit itu.
Kecanduan Alkohol (Alcoholism). Kecanduan alkohol adalah suatu penyakit yang dicirikan oleh minum alkohol berlebihan dan berulang-ulang yang mengganggu kesehatan individu dan perilaku kerja. Mungkin tidak ada satu faktor pun yang dapat menyebabkan kecanduan alkohol, karena hal itu merupakan satu kesatuan yang rumit. Diukur dari segi biaya masyarakat dan hilangnya produktivitas, kecanduan alkohol merupakan penyakit yang mahal. Angka bunuh diri di antara para pecandu alkohol 58 kali angka bunuh diri karena alasan lainnya. Kerugian biaya yang diukur dengan hilangnya hari kerja dan bakat yang disia-siakan diperkirakan lebih dari $10 milyar setiap tahunnya. North American Rockwell Corporation yang mempunyai 100.000 karyawan, memasukkan biaya sebesar $250 juta untuk penanggulangan kecanduan alkohol dalam anggaran belanjanya. The lllinois Bell Telephone Company menetapkan upah pergantin karyawan disebabkan kecanduan alkohol sebesar $418.500. Untuk membendung pengeluaran biaya semacam ini, makin banyak pengusaha yang menyusun program pengawasan alkohol. Lebih dari 12.000 program bantuan jabatan dilaksanakan dalam berbagai organisasi. Tidak terdapat bukti adanya korelasi jenis stress kerja tertentu dengan penggunaan alkohol sebagai suatu tanggapan atas stress. Akan tetapi, para peneliti telah menemukan bahwa para pecandu alkohol mempunyai kebutuhan yang tinggi akan dukungan emosional, mengajukan tuntutan yang agresif, mengambil keputusan dengan mudah karena mengikuti kehendak hati, dan terlibat dalam usaha pengawasan dengan cara menekan. Sangat mengherankan, kecanduan alkohol tidak selalu diikuti oleh memburuknya prestasi kerja pada tahap awal penyakit tersebut. Pada saat penyakit tersebut berkembang, kuantitas dan kualitas prestasi kerja pada akhirnya mengalami penurunan.
Pengidentifikasian awal dari kecanduan alkohol adalah penting karena prognosis untuk pengobatan yang berhasil lebih menguntungkan jika pengobatan dimulai pada tahap awal penyakit tersebut. Para manajer dapat melihat berbagai ciri orang kecanduan alkohol, yang meliputi : 1. Pola keabsenan yang berlebihan: Senin, Jum’at, dan hari-hari sebelum dan sesudah hari libur. 2. Ketidakhadiran yang sering dan tidak dapat dimaafkan. 3. Datang terlambat dan pulang lebih awal. 4. Pertimbangan dan keputusan buruk. 5. Penampilan pribadi yang lusuh. 6. Meningkatnya kegugupan dan tangan yang tiba-tiba menggigil. 7. Meningkatnya tuntutan biaya rumah sakit, dokter, operasi. Tanda-tanda ini dapat menunjukkan masah agar manajer siap siaga. Penting bagi manajer untuk memahami bahwa stress pekerjaan dapat menimbulkan kebutuhan seseorang akan penggunaan alkohol. Juga penting bagi manajer untuk mengetahui bahwa bantuan para ahli perlu diterapkan lebih awal jika orang yang bersangkutan ingin diobati dengan berhasil. Selanjutnya, meskipun penggunaan alkohol berkembang sebagai tanggapan terhadap stress dan membantu menghilangkan stress tersebut, jika pola penggunaan berkembang menjadi kecanduan alkohol, maka dengan meminumnya dapat menjadi sumber stress.
Penyalahgunaan Obat-obatan (Drug Abuse). Organisasi pada akhirnya menyadari adanya masalah penyalahgunaan obat-obatan. Beberapa perusahaan telah mengakui bahwa penyalahgunaan obat-obatan terjadi di tempat kerja dan mereka telah menggunakan berbagai cara untuk memberantas masalah tersebut. Anjing-anjing pelacak obat-obatan untuk
menggeledah tempat kerja telah digunakan oleh Mobay Chemical Corporation di Baytown, Texas. Humprey & Associates, sebuah perusahaan kelistrikan di Dallas, mengadakan tes darah terhadap siapa saja yang mendapat kecelakaan di tempat kerja, dan Sunkist Product Group of Ontario, California, mengharuskan karyawan yang berperilaku aneh di tempat kerja, mengambil tes air seni. Jenis program deteksi obat-obatan tersebut telah mendapat kritik dan menimbulkan masalah hukum yang serius. Akan tetapi, semakin banyak organisasi yang bergabung dalam aksi anti obat-obatan demi kemanusiaan dan karena jumlah kerugian akibat penyalahgunaan obatobatanyang besar yang diperkirakan $16,6 milyar setahun. Salah satu penyebab penyalahgunaan obat-obatan ialah stress yang bermula dari pekerjaan. Perangsang dan halusinogen (seperti ganja dan cocaine), narkotik (seperti heroin dan Demerol), dan obat penenang hipnotis (obat bius tidur dan valium) digunakan oleh karyawan dari seluruh lapisan pekerjaan untuk menghilangkan kebosanan, stress yang berlebihan, dan masalah yang berkaitan lainnya. Agar dapat memberantas penyalahgunaan obat-obatan, manajer pertama-tama harus mengakui bahwa stress yang berkaitan dengan pekerjaan dapat menjurus atau menimbulkan penyalahgunaan obat-obatan. Selanjutnya, menjadi kepentingan manajer untuk memberantas penyalahgunaan obat-obatan tersebut melalui suatu program yang manusiawi dan efektif. Sayangnya, penyalahgunaan obatobatan tidak terjadi di tempat kerja, tetapi juga di seluruh masyarakat. Pemberantasan obat-obatan mengharuskan manajer untuk memusatkan perhatian utamanya pada dampak penggunaan obat tersebut atas prestasi kerja. Saran-saran lain yang didasarkan atas pengalaman perusahaan yang berjuang melawan penyalahgunaan obat-obatan ialah : 1. susun dan kominasikan kebijaksanaan yang jelas tentang pengunaan obat obatan. Manajemen harus meberitahu karyawan tentang risiko kesehatan dan keselamatan yang disebabkan oleh obat- obatan dan
2.
3.
4.
5.
bahaya yang mengancam di tempat kerja karena penyalahgunaan obatobatan. Manajemen harus juga mengkomunikasikan bahwa undangundang mewajibkan setiap orang untuk mematuhi hal itu. Laksanakan kebijaksanaan anti penyalahgunaan obat-obatan. Manajemen tingkat atas harus mendukung para pengawas yang melaksanakan kebijaksanaan perusahaan tentang obat-obatan. Ketahui lebih dahulu masalah tersebut dan jangan kaget karenanya. Perusahaan perlu waspada tentang seriusnya masalah penyalahgunaan obat-obatan di dalam masyarakat. Rumuskan kebijaksanaan tentang obat-obatan tersebut dan laksanakan secara konsisten. Pelihara hubungan yang baik dengan badan-badan yang melaksanakan peraturan perundang-undangan. Polisi diperlukan untuk mengambil tindakan dalam kasus yang bersangkutan dan harus dipandang sebagai suatu bagian dari tim yang berjuang memberantas penyalahgunaan obatobatan di tempat kerja. Jangan mencoba menangani masalah tersebut sendirian; carilah bantuan para ahli. Kebanyakan organisasi kurang mempunyai kemampuan dan keahlian yang diperlukan untuk menyelediki dan menemukan bukti penyalahgunaan obat-obatan.
Organisasi yang telah mengembangkan dan menerapkan program anti obat-obatan telah menerima peranan membantu karyawan yang mempunyai masalah obat-obatan yang ingin mencari bantuan. Hal ini bukan hanya merupakan hubungan kepegawaian yang baik, tetapi juga baik dar i sudut pandang ekonomi. Pelatihan kembali, mempekerjakan pegawai baru, dan biaya arbitrasi dapat dihindarkan, dan program anti obat-obatan yang dilaksanakan dengan baik dapat menimbulkan kesan yang menyenangkan.
Kesehatan Fisik dan Mental
Dari konsekuensi stress yang potensial, konsekuensi fisiologis barangkali yang paling sering diperdebatan dan secara organisasi tidak berfungsi. Mereka yang membuat hipotesis adanya hubungan antara stress dan masalah kesehatan fisik, pada akhirnya menyarankan bahwa suatu tanggapan emosional berakibat terjadinya perubahan fisik seseorang. Sebenarnya sebagian buku teks medis mengungkapkan bahwa antara 50 dan 75 persen penyakit berasal dari stress. Barangkali yang paling penting dari hubungan stress penyakit fisik yang potensial ialah penyakit jantung koroner (coronary heart disease-CHD). Meskipun sebenarnya tidak dikenal dalam dunia industri 60 tahun yang lalu, CHD sekarang menjadi penyebab setengah dari kematian yang terjadi di Amerika Serikat. Penyakit tersebut begitu meluas sehingga pria Amerika yang sekarang berumur 45 dan 55 tahun mempunyai kemungkinan 1 di antara 4 untuk mati karena serangan jantung, dalam 10 tahun mendatang. Faktor-faktor resiko tradisional seperti kegemukan, perokok, keturunan, kolesterol yang tinggi, dan tekanan darah tinggi dapat menyebabkan tidak lebih 25 persen dari kejadian penyakit jantung koroner. Oleh karena itu, ada pendapat medis yang mulai berkembang bahwa stress pekerjaan dan stress kehidupan mungkin merupakan penyebab utama dari sisa yang 75 persen itu. Bahkan tinjauan singkat tentang konsekuensi kesehatan dari stress tidak akan lengkap tanpa menyebutkan dampak kesehatan mental. Kornhauser meneliti secara luas kesehatan mental para pekerja industri. Ia tidak menemukan hubungan antara kesehatan mental dengan faktor-faktor seperti gaji, keamanan kerja, dan kondisi kerja. Melainkan timbul hubungan
yang jelas antara kesehatan mental dengan kepuasan kerja. Esehatan mental yang buruk dihubungkan dengan frustasi yang timbul karena tidak memperoleh kepuasan kerja. Di samping frustasi, kecemasan, dan depresi yang mungkin dialami seseorang mengalami stress yang hebat, mungkin akan mewujudkan dirinya dalam bentuk kecanduan alkohol. Kira-kira 5 persen dari penduduk dewasa punya masalah tentang minum alkohol, ketergantungan akan obat-obatan (lebih dari 150 juta resep obat-obatan ditulis setiap tahun di A.S.), dirumahsakitkan(lebih dari 25 persen tempat tidur rumah sakit diisi oleh orang-orang yang mempunyai masalah psikologis), dan kasus yang ekstrim, bunuh diri. Bahkan gangguan mental yang minor yang ditimulkan oleh stress, seperti ketidakmampuan berkosentrasi atau berkurangnya kemampuan memecahkan masalah, dapat menelan biaya sangat mahal bagi suatu organisasi. Sebelum kita mengkaji bagian dari model stress dan kerja lebih terinci, perlu dikemukakan beberapa hal yang penting diperhatikan. Model ini, atau setiap model yang mencoba mengintegrasikan fenomena stress dan kerja, tidak seluruhnya lengkap. Terdapat begitu banyak variabel penting sehingga pengobatan yang lengkap akan memerlukan tempat lebih banyak. Selanjutnya variabel yang akan dibahas hanya diajukan sebagai satu-satunya variabel yang menyediakan perspektif manajerial tentang stress. Variabelvariabel tersebut tentunya bukan merupakan variabel yang tepat untuk dipertimbangkan. Akhirnya, adanya ukuran yang tepat dan dapat dipercaya benar-benar penting, karena program yang diprakarsai manajemen untuk menanggulangi stress pada tingkatan yang optimal akan tergantung pada bagaimana pengukuran variabel ini dan variabel lainnya.
Stressor Lingkungan Fisik (Physical Environmental Stressor)
Stressor (penekan) lingkungan fisik sering diberi nama penekan kerah biru (blue collar stressor), karena lebih merupakan masalah dalam pekerjaan-pekerjaan teknis. Lebih dari 14.000 pekerja meninggal setiap tahunnya dalam kecelakaan industri (hampir 55 orang per hari atau 7 orang setiap jam kerja); dan lebih dari 100.000 oarang pekerja menjadi cacat permanen setiap tahun; dan karyawan melaporkan lebih dari 5 juta kecelakaan pekerjaan yang terjadi setiap tahunnya. Perkiraan baru dari korban di tempat kerja kimiawi, radiasi, tekanan panas, dan bahan-bahan toxic lainnya, mendorong lembaga Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (National Institute of Occupational Safety and Health – NIOSH) membuat estimasi bahwa 100.000 pekerja mungkin mati setiap tahunnya karena penyakit (yang ditimbulkan) industri yang seharusnya dapat dicegah. Banyak pekerja teknis yang gugup dan tertekan oleh konsekuensi kesehatan yang diduga keras karena bekerja pada pekerjaannya yang sekarang. Sejak diundangkannya Undang-undang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Occupational Safety and Health Act – OSHA) pada tahun1970, sebagian dari stress yang dialami seseorang telah berkurang. Pencapaian ini dapat ditelusuri dari meningkatnya kesediaan para pengusaha atas ketentuan OSHA tersebut. Tambahan lagi, banyak serikat buruh yang secara antusias mendukung Undang-undang tersebut. Masalah masih tetap ada, dan pengadilan membebani manajemen tanggung jawab atas stress yang berkaitan dengan lingkungan fisik dan lingkungan kerja umumnya. Kompensasi imbalan yang ditentukan juri telah meluas. Kita harapkan di masa akan datang peranan pengadilan akan lebih penting.
Stressor Individu
Stressor pada individu telah diteliti lebih lama dibanding kategori lain seperti disajikan pada Gambar 6 – 2. Konflik peranan (role conflict) adalah stresssor individu yang paling banyak diteliti secara luas. Konflik peranan terjadi bilamana penyesuaian terhadap seperangkat harapan tentang pekerjaan bertentangan dengan penyesuaian terhadap seperangkat harapan lain. Segi-segi konflik peranan mencakup perasaan tidak menentu oleh tuntutan yang berlawanan dari seorang penyelia (supervisor) tentang pekerjaan, dan mendapat tekanan agar bekerja sama dengan orang yang anda rasa tidak bisa cocok. Tanpa memperhatikan apakah konflik peranan disebabkan oleh kebijaksanaan organisasi atau dari orang lain, konflik tersebut dapat menjadi penekan stressor) yang penting bagi sebagian orang. Khan dan kawan-kawan melaporkan hasil suatu survei wawancara dari percontoh (sampel) nasional tentang upah dan gaji karyawan pria, bahwa 48 persen dari peserta survei mengalami konflik peranan. Dalam suatu studi dari Goddard Space Flight Center, ditent ukan bahwa 67 persen dari karyawan melaporkan beberapa konflik peranan. Studi juga menemukan bahwa para pekerja yang menderita lebih banyak konflik peranan merasakan kepuasan kerja yang rendah dan ketegangan yang lebih tinggi sehubungan dengan pekerjaan. Sangat menarik dicatat, para peneliti juga menemukan bahwa semakin besar kekuasaan atau wewenang dari orang yang mengirimkan pesan konflik peranan, semakin besar ketidak puasan kerja yang diakibatkan oleh konflik peranan. Suatu studi yang lebih besar dan bero rientasikan medis menemukan bahwa bagi para pekerja ketatalaksanaan (white collar workers) konflik peranan berkaitan dengan bacaan elektrokardiografik yang abnormal (abnormal
electrocardiographic readings). Dalam bab 8, Perilaku kelompok, kita akan melihat bahwa konflik peranan juga ditemukan dalam konflik yang terjadi dalam kelompok. Agar mereka melaksanakan pekerjaan dengan baik, para karyawan memerlukan keterangan tertentu yang menyangkut hal-hal yang diharapkan untuk mereka lakukan dan hal-hal yang tidak harus mereka lakukan. Karyawan perlu mengetahui hak-hak, hak-hak istimewa, dan kewajibankewajiban mereka. Ketaksaan peranan (role ambiguity) adalah kurangnya pemahan atas hakhak istimewa, dan kewajiban yang dimiliki seseorang untuk melaksanakan pekerjaan. Beberapa studi telah menunjukkan persoalan ketaksaan peranan. Dari studi pada Goddard Space Flight Center, para administrator, insinyur, dan ilmuwa mengisi skala stress ketaksaan peranan. Contoh-contoh darah, tekanan darah, dan frekuensi denyut jantung telah diperoleh. Berdasarkan hal-hal itu ditemukan bahwa ketaksaan peranan secara nyata berkaitan dengan rendahnya kepuasan kerja dan perasaan ancaman dari pekerjaan terhadap kesejahteraan mental dan fisik. Selanjutnya, semakin lebih tidak jelas peranan seseorang dilaporkan, semakin rendah pemanfaatan keahlian intelektual, pengetahuan, keahlian kepemimpinan orang tersebut. Setiap orang pernah mengalami “beban lajak pekerjaan” (work overload) pada suatu ketika. Beban lebih tersebut mungkin terdiri atas dua jenis yang berbeda; kuantitatif atau kualitatif. Terlalu banyak harus melakukan sesuatu tau tidak cukup waktu untuk menyelesaikan suatu pekerjaan adalah beban lajak kuantitatif (quantitatif overload). Di lain pihak, beban lajak kuantitatif (quantitatif overload) terjadi jika individu merasa bahwa ia kurang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaan atau standar prestasi terlalu tinggi.
Dari sudut pandangan kesehatan, penelitian sejak tahun 1958 menunjukkan bahwa beban lajak kuantitatif dapat menyebabkan perubahan biokimia, khususnya kenaikan tingkat kolesterol dalam darah. Juga telah dikemukakan bahwa beban lajak sangat berbahaya bagi mereka yang mengalami kepuasan kerja yang sangat rendah. Studi lain menemukan beban lajak dikaitkan dengan menurunnya kepercayaan diri, menurunnya motivasi kerja, dan meningkatnya keabsenan. Beban lajak dapat juga tidak berakibat langsung menurunnya kualitas pengambilan keputusan, rusaknya hubungan antarpribadi, dan meningkatnya kecelakaan. Suatu studi menguji hubungan antara beban lajak, beban kurang, dan stress di antara 1.540 eksekutif perusahaan besar. Para eksekutif yang dilaporkan memiliki jenjang stress rendah dan tinggi mempunyai lebih banyak masalah medis yang penting. Studi tersebut mengemukakan bahwa hubungan antara stressor, stress, dan penyakit mungkin kurvalinier. Yaitu, mereka yang mempunyai beban kurang dan mereka yang mempunyai beban lajak mewakili kedua ujung sebuah kontinuum, masing-masing dengan masalah kesehatannya yang penting. Kontinuum beban kurang dan beban lajak tersebut disajikan dalam gambar 6 – 3. Tingkat stress optimal menyediakan keseimbangan yang terbaik antara tantangan, tanggung jawab, dan imbalan.
Gambar 6 – 3 Kontinum Beban Kurang/Beban Lajak
Stress yang optimal
Prestasi
Prestasi
rendah
rendah
Beban kurang
Kebosanan Motivasi yang menurun Keabsenan Sikap acuh
Prestasi optimal
Motivasi tinggi Tenaga kuat Persepsi tajam Ketenangan
Beban lebih Sukar tidur Sikap lekas marah Kesalahan meningkat Keragu-raguan
Setiap jenis tanggung jawab dapat merupakan beban bagi sebagian orang. Jenis tanggung jawab yang berbeda berfungsi sebagai stressor dengan cara yang berbeda pula. Salah, satu cara mengkategorikan variabel ini ialah dalam ukuran tanggung jawab terhadap orang versus tanggung jawabterhadap barang. Juru rawat unit perawatan intensif, ahli bedah syaraf,
dan pengawas lalu lintas udara masing-masing mempunyai suatu tanggung jawab yang besar terhadap manusia. Suatu studi mendukung hipotesis bahwa tanggaung jawab terhadap manusia menimbulkan stress pekerjaan. Semakin besar tanggung jawab seseorang dilaporkan, semakin besar kemungkinan orang tersebut banyak merokok, mempunyai tekanan darah tinggi, dan menunjukkan kenaikan tingkat kolesterol. Sebaliknya, semakin besar tanggung jawab karyawan yang bersangkutan terhadap barang, semakin rendah pula indikator tersebut.
Stressor Kelompok (Group Stressor)
Keefektifan setiap organisasi dipengaruhi oleh sifat hubungan antara kelompok. Terdapat banyak karakteristik kelompok yang dapat menjadi stressor kuat bagi sebagian individu. Sejumlah ahli ilmu perilaku telah mengemukakan bahwa hubungan yang baik di antara anggota suatu kelompok kerja merupakan faktor sentral bagi kesejahteraan individu. Hubungan yang buruk mencakup rendahnya kepercayaan, rendahnya dukungan, dan rendahnya minat untuk mendengarkan dan mencoba menanggulangi masalah yang dihadapi seorang karyawan. Studi di bidang ini telah mencapai kesimpulan yang sama: ketidakpercayaan terhadap rekan kerja berkaitan secara positif terhadap tingginya ketaksaan peranan, yang menjurus pada kurangnya komunikasi di antara orang-orang dan kepuasan kerja yang rendah.
Stressor Keorganisasian (Organizational Stressor) Masalah dalam mempelajari stressor keorganisasian ialah pengidentifikasian stressor yang paling penting. Partisipasi dalam pengambilan keputusan dianggap sebagai bagian pekerjaan yang penting di dalam organisasi bagi sebagian individu. “Partisipasi” menunjukkan tingkat dimana pengetahuan, pendapat, dan ide seseorang diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi dapat menyebabkan stress. Sebagian orang merasa frustasi dengan penangguhan yang sering dikaitkan dengan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Yang lainnya mungkin memandang bahwa ikut serta dalam pengambilan keputusan merupakan ancaman terhadap hak-hak tradisional seorang penyelia atau manajer yang mempunyai hak untuk mengambil keputusan akhir. Struktur organisasi merupakan stressor lain yang jarang diteliti. Studi yang dilakukan terhadap pramuniaga menguji dampak tatanan tinggi (struktur birokratis), medium, dan datar (struktur yang kurang kaku) atas kepuasan kerja, stress, dan prestasi. Studi tersebut menunjukkan bahwa pramuniaga dari tatanan yang strukturnya kurang birokratis kurang mengalami stress, lebih banyak mengalami kepuasan kerja, dan berprestasi lebih efektif dibandingkan dengan pramuniaga dari struktur medium dan tinggi. Sejumlah penelitian telah menguji hubungan antara tingkat organisasi dengan dampak kesehatan. Sebagian besar penelitian ini mengajukan gagasan bahwa resiko terkena masalah kesehatan seperti penyakit jantung koroner meningkat sejalan dengan tingkatan organisasi. Akan tetapi, tidak semua peneliti mendukung gagasan bahwa semakin tinggi kedudukan seseorang dalam hirarki organisasi, semakin besar risiko
kesehatannya. Suatu studi dari karyawan Du Pont menemukan kejadian penyakit jantung berhubungan secara terbalik dengan tingkat gaji. Sifat dari klasifikasi yang digunakan dalam studi tersebut menimbulkan kebingungan tentang hasilnya. Sekarang kecenderungannya adalah mengkaji komponen-komponen pekerjaan yang penting lebih mendalam, sebagai cara untuk menjelaskan dampak stress. Sebagai contoh, beberapa studi telah mencoba menilai apakah meningkatnya ketidakaktifan atau intelektualitas dan tuntutan emosional pekerjaan berakibat besar terhadap meningkatnya risiko penyakit jantung koroner. Studi terdahulu menyumbang terhadap bentuk analisis dalam arti bahwa studi itu menemukan bahwa pengemudi bis kota (pekerjaan terus duduk) dan kondektur (pekerjaan aktif) mengidap penyakit jantung koroner lebih tinggi dibanding rekannya di daerah pinggiran kota. Lebih banyak lagi penelitian yang diperlukan untuk menentukan apakah tuntutan pekerjaan emosional lebih kuat dibandingkan dengan ketidakaktifan dalam menjelaskan kejadian masalah kesehatan. Kita hanya mempertimbangkan percontoh yang kecil dari sejumlah besar riset keperilakuan dan medis yang tersedia tentang stressor, stress, dan kaitan dampaknya. Keterangan yang diperoleh berlawanan dalam beberapa kasus, seperti riset keorganisasian lainnya. Akan tetapi, apa yang diperoleh mengisyaratkan sejumlah hal penting, yaitu : 1. Terdapat hubungan antara stressor di tempat kerja dengan perubahan fisik, psikologis, dan emosional seseorang. 2. Tanggapan yang adaptif terhadap stressor di tempat kerja telah diukur dengan penilaian diri, penilaian prestasi, dan tes biokimia. Lebih banyak lagi pekerjaan harus dilakukan untuk mengukur stress secara tepat di tempat kerja.
3. Tidak terdapat daftar urutan stressor yang berlaku secara universal. Setiap organisasi mempunyai perangkat keunikan tersendiri yang harus diteliti. 4. Perbedaan individu menunjukkan mengapa stressor yang sama yang mengganggu dan tidak dapat ditanggulangi seseorang bersifat menantang terhadap orang lainnya. MODERATOR (Penengah)
Stressor mengakibatkan tanggapan berbeda dari orang yang berbeda. Sebagian orang lebih mampu mengatasi suatu stressor dibandingkan yang lain, mereka dapat mengadaptasikan perilaku mereka sedemikian rupa sesuai dengan arah stressor. Di lain pihak, sebagian orang dipengaruhi oleh stress, yaitu mereka tidak dapat beradaptasi dengan stressor. Model yang disajikan dalam Gambar 6 – 2 menunjukkan bahwa berbagai faktor menengahi hubungan antara stressor dan stress. Moderator adalah suatu kondisi, perilaku, atau karakteristik yang memenuhi syarat hubungan antara dua variabel. Dampaknya mungkin menguatkan atau melemahkan hubungan tersebut. Hubungan antara jumlah liter bensin yang digunakan dengan total kilometer yang dilalui, dipengaruhi oleh variabel kecepatan (moderator). Demikian juga halnya, kepribadian seseorang dapat menengahi atau mempengaruhi tingkat individu mengalami stress sebagai konsekuensi terjadinya hubungan dengan stressor tertentu.
Jenis-Jenis Stres Menurut Nasir (2011) Di tinjau dari penyebabanya, stres dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis berikut : 1. Stres fisik, merupakan stres yang di sebabkan oleh keadaan fisik, seperti suhu yang terlalu tinggi atau rendah, suara bising, sinar matahari yang terlalu menyengat, dan lain lain. 2. Stres kimiawai, merupakan stres yang disebabkan oleh pengaruh senyawa kimia yang terdapat pada obat-obatan, zat berajun asam, basa, faktor hormon atau gas, dan lain lain. 3. Stres mikrobiologis, merupakan stres yang disebabkan oleh kuman, seperti virus, bakteri, atau parasit. 4. Stres fisiologis, merupakan stres yang disebabkan oleh gangguan fungsi organ tubuh, antara laingangguan struktur tubuh, fungsi jaringan organ, dan lain lain. 5. Stres proses tumbunh kembang seperti pada masa pubertas, pernikahan, dan pertambahan usia. 6. Stres psikis/emosional, merupakan stres yang disebabkan oleh gangguan situasi psikologis atau ketidakmampuan kondisi psikologis untuk menyesuaikan diri, misalnya dalam hubungan interpersonal, sosial budaya, atau ke agamaan. Ada dua jenis stres yaitu baik dan buruk. Stres melibatkan perubahan fisiologis yang kemungkinan dapat dialami sebagai perasaan yang baik anxiouness (distres) atau pleasure ( eustres ). 1. Stres yang baik atau eustres adalah sesuatu yang positif. Stres dikatakan berdampak baik apabila seseorang mencoba untuk memenuhi tuntutan untuk menjadikan orang lain maupun dirinya sendiri mendapatkan sesuatu yang baik dan berharga. Dengan stres yang baik, semua pihak merasa di untungkan. 2. Stres yang buruk atau distres adalah stres yang bersifat negatif. Distres dihasilkan dari sebuah proses yang memaknai sesuatu yang buruk, dimana
respon yang digunakan selalu negatif dan ada indikasi mengganggu integritas diri sehingga bisa diartikan sebuah ancaman.
a. b.
c. d.
1.
2.
3. 4.
Terdapat 4 jenis stres , antara lain sebagai berikut. Frustasi. Kondisi dimna seseorang merasa jalan jalan yang akan ditempatkan untuk meraih tujuan di hambat. Konflik. Kondisi ini muncul ketika dua atau lebih prilaku saling berbenturan, di mana masing masing perilaku tersebut butuh untuk diekspresikan atau malah saling memberatkan. Perubahan . kondisi yang di jumpai ternyata merupakan kondisi yang semestinya serta membutuhkan adanya suatu penyesuaian. Tekanan . kondisi dimana terdapat suatu harapan atau tuntutan yang sangat besar terhadap seseorang untuk melakukan prilaku tertentu. Patel (1996) dalam Nasir (2011) menjelaskan adanya berbagai jenis reaksi stres yang umumnya dialami manusia. Too little stres. Dalam kondisi ini, seseorang belum mengalami tantangan yang berat dalam memenuhi kebutuhan pribadinya. Seluruh kemampuan belum sampai dimanfaatkan, serta kurangnya stimulus mengakibatkan munculnya kebosanan dan kurangnya makna dalam tujuan hidup. Optimun stres. Seseorang mengalami kehidupan yang seimbang saat berada di “atas” maupun “bawah” akibat proses manajemen yang baik oleh dirinya. Kepuasan kerja dan perasaan individu dalam meraih prestasi menyebabkan seseorang mampu menjalani kehidupan dan pekerjaan sehari hari tanpa menghadapi masalah yang terlalu banyak atau ras leleh yang berlebihan. Too much stress. Dalam kondisi ini, seseorang merasa lelah melakukan pekerjaan yang terlalu banyak setiap hari. Breakdown stress. Ketika pada tahap too much stres individu tetap meneruskan usahanya pada kondisi yang tatis. Kondisi akan berkembang menjadi adanya kecendrungan neurotis yang kronis atau munculnya rasa
sakit psikosomatis. Misalnya pada individu yang memiliki perilaku merokok atau kecanduan minuman keras, konsumsi obat tidur, dan terjadinya kecelakaan kerja.
B.
TAHAPAN STRES Menurut Dadang Hawari Tahapan stres dibagi menjadi 6 yaitu:
Stres tingkat I Stres tingkat II Stres tingkat III Stres tingkat IV Stres tingkat V Stres tingkat VI C.
SUMBER-SUMBER STRES:
Menurut Dadang Hawari Stres bersumber dari: -
Faktor lingkungan
-
Faktor organisasi
-
Faktor pribadi
Menurut Maramis 1 Stres bersumber dari: -
Frustasi
-
Konflik
-
Tekanan atau krisis
ü Efek Stres Gejala stres dapat mempengaruhi kesehatan, meskipun anda mungkin tidak menyadarinya.Anda mungkin berpikir penyakit yang harus disalahkan untuk sakit kepala yang mengganggu, insomnia atau produktivitas yang berkurang di tempat kerja.Tetapi stres sebenarnya bisa saja pelakunya.Memang, gejala stres dapat mempengaruhi tubuh, pikiran dan perasaan, serta perilaku Anda.Mampu mengenali gejala umum stres dapat memberikan informasi pada bagaimana untuk mengelolanya.Stres yang dibiarkan tak terkendali dapat berkontribusi pada masalah kesehatan seperti tekanan darah tinggi, penyakit jantung, obesitas dan diabetes. Tentu saja, jika anda tidak yakin jika stres adalah penyebabnya atau jika Anda telah mengambil langkah-langkah untuk mengendalikan stres, tetapi gejala berlanjut, pergilah ke dokter.Dokter anda bisa memeriksa penyebab potensial lainnya yang mungkin menjadi penyebab keluhan-keluhan tersebut.Juga, jika Anda memiliki nyeri dada, terutama jika itu terjadi selama aktivitas fisik atau disertai dengan sesak napas, berkeringat, pusing, mual, atau nyeri yang menjalar ke bahu dan lengan, sebaiknya anda mendapatkan bantuan darurat segera. Ini mungkin peringatan dari serangan jantung dan bukan hanya gejala stres.
Efek Umum Stress Pada Tubuh
Pada Perasaan
Gelisah
Sakit kepala
Pada Perilaku Kecemasan Kurang nafsu makan atau malah makan berlebihan
Ketegangan atau nyeri Kurangnya motivasi otot atau fokus Nyeri dada Lekas marah Kelelahan Kesedihan atau depresi Perubahan dalam gairah seks
Gangguan perut
Masalah Tidur
Kemarahan yang meledak ledak Penyalahgunaan obat atau alkohol
Penarikan sosial
Merokok
ü Simptom Stres: Simptom Stress yang tiba-tiba muncul dan tidak diketahui sebabnya:
-
Jantung sering berdebar tanpa sebab diketaui
-
Berkeringat-dingi atau merasa menggigil
-
Ke toilet lebih sering dari biasanya
-
Mulut terasa kering
-
Sakit/ nyeri di perut bagian atas
-
Mudah lelah walaupun mengerjakan pekerjaan yang ringan
-
Merasa sakit seluruh otot badan yang tidak biasa
-
Sakit kepala tanpa sebab
-
Mudah tersinggung,
-
Kurang rasa humor
-
Kurang selera terhadap makanan, kesenangan ataupun seks
-
Makan terlalu banyak atau terlalu sedikit tanpa disadari
-
Kurang punya waktu menjalankan hobi/ kebiasaan
-
Merasa tidak mampu mengatasi permasalahan apapun”
-
Kurang tertarik berkomunikasi dengan orang lain, selalu menghindar
-
Kurang percaya terhadap penampilan diri
-
Merasa segala sesuatu tidak berguna
-
Selalu merasa kehilangan dan sedih
-
Pelupa
Sulit tidur, tidur tidak nyaman dan mudah terbangun, bangun merasa tidak segar ü Stres dan kesehatan Setiap manusia menginginkan kebahagiaan.Setiap hari ingin bisa tersenyum dan tertawa untuk mengekspresikan kebahagiaan di dalam hati, namun di dalam hidup ini hal itu tidak bisa dinikmati seratus persen. Ada emosi sedih, marah, jengkel dan berbagai emosi negatif lain yang datang bergantian. Ini sering kali muncul akibat proses emosi manusia yang kita sebut dengan stres. Stres adalah suatu keadaan dimana seseorang menghadapi ataupun menghindari suatu pengalaman yang berupa tuntutan untuk dirinya, stres adalah stimulus atau situasi yang menimbulkan distres dan menciptakan tuntutan fisik dan psikis pada seseorang dan berbagai macam pengertian yang lainnya. Stres berasal dari tiga sumber yaitu lingkungan, tubuh dan pikiran kita.Lingkungan menuntut kita untuk bisa menyesuaikan diri.Beradaptasi dengan cuaca, suara, kepadatan, tuntutan interpersonal, tekanan waktu, standar penampilan dan berbagai ancaman rasa aman dan harga diri.Sumber stres yang kedua adalah fisiologis. Pertumbuhan yang cepat pada remaja, menopause pada wanita, proses menua, penyakit, kecelakaan, kurangnya latihan (gerak badan), nutrisi yang buruk, dan gangguan tidur, semuanya
membebani tubuh. Reaksi kita pada ancaman dan perubahan lingkungan juga menyebabkan perubahan dalam tubuh yang menyebabkan keadaan stres.Sumber stres yang ketiga adalah pikiran. Otak akan menafsirkan dan menterjemahkan perubahan yang kompleks pada lingkungan. Cara kita menafsirkan, mempersepsikan dan melabel pengalaman kita saat ini dan apa yang diperkirakan pada masa yang akan datang menentukan apakah kita relaks atau stres. Berdasarkan penyebab stres tersebut, setiap orang memiliki respon yang beragam.Ada yang berani menghadapi stres atau tekanan yang dihadapi, namun ada juga yang lari dari sumber stres sehingga permasalahan menjadi tidak selesai.Cara kita merespon inilah yang mempengaruhi kesehatan fisik kita.Pada saat kita mengalami tekanan atau stres, korteks selebri (bagian berpikir dari otak) mengirim tanda bahaya ke hipotalamus (tempat utama pemberi respon stres, terletak pada otak tengah).Hipotalamus kemudian menstimulus sistem saraf simpatis untuk membuat serangkain perubahan pada tubuh kita sehingga denyut jantung, curah jantung, tekanan darah semua meninggi. Sementara semua ini berlangsung, hal lain terjadi yang dapat member dampak negatif pada jangka panjang jika diabiarkan tanpa dikontrol. Kelenjar adrenal mulai mengeluarkan kortikoid (adrenalin, epineprin, noreprineprin) yang menghambat pencernaan, reproduksi, pertumbuhan dan perbaikan jaringan, dan respon imun dan implamasi. Dengan kata lain beberapa fungsi sangat penting untuk menjaga agar tetap merasa sehat mulai tertutup. Orang yang menderita gangguan berkaitan dengan stress cendrung memperlihatkan hiperaktivitas pada sistem tubuh tertentu seperti sistem ototskeletal, kardiovaskular, atau pencernaan. Sebagai contoh, fakta
memeprlihatkan bahwa stress kronis dapat menyebabkan kelemahan otot (miopati) pada beberapa orang. Bagi orang lain peningkatan tekanan darah dapat menimbulkan hipertensi, merusak jantung dan pembuluh nadi. Selain itu stress juga berkembang menjadi penyakit tukak lambung, colitis, dan diare kronis jika stres menghambat fungsi pencernaan tubuh. Selain itu, hampir semua sistem tubuh dapat dirusak oleh stress.tekanan pada sistem reproduksi dapat mnyebabkan amenore (penekanan menstruasi) dan kegagalan ovulasi pada wanita, impoten pada pria, dan kehilangan birahi pada keduanya. Stress juga bisa sebagai pencetus perubahan pada paru-paru yang memungkinkan terjadinya asma, bronchitis dan kondisi pernapasan lain. Kehilangan insulin selama respon stress dapat menambah kemungkinan terjadinya diabet. Stres menghambat perbaikan dan pembentukan sel yang menyebabkan gangguan proses pengapuran (dekalsifikasi) pada tulang, osteoporosis, dan mudah terjadi patah tulang. Hambatan pada sistem kekebalan dan peradangan membuat anda lebih mudah terserang penyakit. Sebagai tambahan stress telah diketahui berhubungan dengan penyakit lain seperti sakit kepala, ketegangan otot, kelelahan dan artritis. ü Ketenangan Hati Dan Ketenangan Jiwa Setiap orang di dunia ini pasti mengharapkan ketenangan hati dan ketenangan jiwa, namun belum tentu bisa mewujudkannya. Ada banyak kasus menarik mengenai topik ini di antaranya, banyak orang yang sebenarnya tahu tetapi membuat aturan main sendiri, banyak orang tahu caranya tetapi lebih memilih cara lain yang sebenarnya dia tahu bahwa itu bertentangan, dan juga banyak orang yang tahu bagaimana menggapainya tetapi selalu mengulur waktu dan melakukan pembebasan atas kemauannya. Itulah kita..Saya hanya memberikan renungan kembali, bukan menyalahkan siapa-siapa.
Ada banyak kebahagiaan yang telah kita nikmati selama hidup kita, tetapi ada juga banyak hal yang seharusnya kita nikmati dan syukuri tetapi kita malah melupakannya. Kita hanya fokus pada apa yang belum kita raih, dan apa yang kita telah kita dapatkan kita lupakan begitu saja untuk mengejar kesenangan hidup selanjutnya. Bila kepuasan diri yang kita kejar, maka yakinlah ketenangan hati dan ketenangan jiwaakan sulit kita ciptakan dalam keseharian kita. Kepuasan diri tidak salah jika kita kejar, tetapi rasa syukur atas apa yang telah kita raih harus ditanamkan juga dalam diri kita agar kita bisa tenang. Bagaimana menciptakan ketenangan hati dan ketenangan jiwa?Saya rasa kita semua tahu jawabannya, yaitu kembali pada nilai akhlak agama.Agama telah terbukti membawa aturan-aturan hidup yang berlaku sepanjang masa, tidak perlu kita ragukan lagi.Ditambah pula dengan sejarah abadi manusia yang telah diceritakan secara turun temurun dari generasi ke generasi, seharusnya menambah kemantapan hati kita untuk teguh memegang nilai agama kita. Satu hal penting yang diajarkan dalam agama kita adalah berbuat baik.Kata yang sangat sederhana, tetapi memiliki pembahasan yang sangat luas, apalagi kita tahu di dunia ini hanya dua sifat, baik dan buruk.Kalau bukan baik ya buruk. Kita pun sudah tahu sebagian besar (bahkan semuanya saya kira) hal yang baik di dunia ini, hal-hal baik yang akan membuat kita bisa mencapai taraf ketenangan hati dan ketenangan jiwa yang optimal. Dengan kata lain, kata kunci untuk mencapai ketenangan dalam hidup kita adalah berbuat baik. Dengan berbuat baik, maka kita akan terhindar dari masalah personal dengan orang lain, kita tidak memiliki musuh tetapi malah memiliki banyak teman yang membuat hidup kita semakin bermakna dan bahagia.
Tentunya termasuk dalam berbuat baik adalah dalam hubungan kita dengan Tuhan kita.Kita adalah makhluk yang diciptakan oleh-Nya untuk beribadah dan diberi ujian dan cobaan untuk mengetahui sejauh mana kekokohan iman kita. Dengan menyadari bahwa kita adalah makhluk yang semua hal sudah digariskan dan dibatasi oleh-Nya, tentu akan menumbuhkan kesadaran kita untuk bertawakkal kepada-Nya. Itulah ketenangan hati dan ketenangan jiwa yang sebenarnya. Stres dasar tingkat stres yang Anda alami dengan sumber daya pada stres dan sabotase diri. Sementara ada banyak informasi yang tersedia tentang efek stres, hal itu bisa menjadi stres mencoba untuk menyeberang melalui semua itu! Berikut adalah 10 fakta penting tentang efek stres yang dapat pergi jauh dalam membantu Anda memahami stres dan perannya dalam kehidupan Anda. Hal ini dapat membantu Anda dengan cepat dan mudah mempelajari lebih lanjut tentang efek stres dan menemukan beberapa teknik manajemen stres yang efektif untuk memasukkan ke dalam hidup Anda sekarang. 1. Sikap Salah signifikan Meningkatkan Tingkat Stres Anda Kita semua mengalami stres, tetapi pesimis, perfeksionis, dan mereka dengan 'A'personalities jenis (untuk beberapa nama) sangat meningkatkan tingkat stres yang mereka alami dalam acara tertentu, dan bahkan membawa lebih banyak acara stres dalam kehidupan mereka dengan diri mereka sabotase pola pikir dan perilaku. Jika Anda memiliki beberapa kecenderungan, Anda dapat secara signifikan mengurangi 2. Beberapa Jenis Stres Bisa Menguntungkan Sebuah jenis tertentu stres, eustress, sebenarnya diperlukan dan bermanfaat bagi kehidupan yang seimbang dan menarik. Eustress adalah jenis stres yang Anda alami ketika Anda sedang mengendarai roller-coaster (jika Anda menikmati wahana cepat), sedang bermain permainan yang menyenangkan, atau jatuh cinta. Eustress membuat kita merasa penting dan hidup. (Stres
kronis, bagaimanapun, adalah cerita lain!) Jika Anda tertarik untuk belajar lebih banyak tentang berbagai jenis stres dan bagaimana mereka mempengaruhi kesehatan Anda, membaca artikel onstress dan kesehatan. 3. Anda dapat Stop Reaksi Anda Saat Stres Ketika Anda mengalami stres, segala macam perubahan fisiologis terjadi untuk mendapatkan Anda dalam bentuk fisik atas untuk melawan atau lari. Sayangnya, jika Anda tidak menenangkan diri relatif cepat, Anda bisa tetap dalam keadaan yang berubah terlalu lama, dan bisa mengambil tol pada kesehatan Anda. Berlatih penghilang stres seperti latihan pernapasan dan meditasi dapat menenangkan Anda dengan cepat, kembali tubuh Anda normal. Baca lebih lanjut tentang cara untuk menenangkan diri dengan cepat. 4. Bahkan Jumlah kecil Stres Bisa Mempengaruhi Kesehatan Anda Anda mungkin menyadari bahwa bulan dihabiskan dalam situasi kehidupan yang penuh stres dapat membuat Anda rentan terhadap penyakit, tetapi apakah Anda tahu bahwa waktu yang relatif singkat stres juga dapat membahayakan sistem kekebalan tubuh, mengangkat risiko penyakit? Sayangnya, itu benar. Pelajari lebih lanjut tentang cara-cara yang stres, khususnya stres kerja, dapat mempengaruhi kesehatan Anda. 5. Sikap Salah Dapat Membuat Anda Sakit Pola pikir negatif dan stres emosional dapat menyebabkan penyakit psikosomatik, suatu kondisi yang disebabkan setidaknya sebagian oleh stres, tetapi memiliki gejala-gejala fisik yang perlu diperlakukan sebagai penyakit lain tidak. Jika Anda khawatir tentang pikiran dan emosi mengambil tol fisik, baca lebih lanjut tentang penyakit psikosomatis dan tetap sehat. 6. Anda Bisa Mencegah Jumlah Signifikan Dari Stres Dalam Hidup Anda Dari Terjadi Beberapa stres tidak bisa dihindari, tetapi Anda dapat struktur kehidupan
Anda dengan cara yang Anda penyangga dari stres dan peristiwa stres. Misalnya, menjaga pola makan yang sehat, berolahraga secara teratur, dan memiliki setidaknya persahabatan dekat beberapa adalah cara-cara penting untuk menghilangkan stres dan tetap sehat. Cari lebih banyak cara untuk meredakan stres sehari-hari dalam hidup Anda, dan mencegah beberapa stres Anda dari yang pernah terjadi! 7. Stres Bisa Usia Anda prematur dalam Berbagai Cara Ini mungkin mengejutkan, tetapi stres bisa lebih dari satu faktor dalam menentukan usia fisik Anda dari jumlah lilin Anda meniup setiap tahun. Stres sebenarnya mempercepat keausan pada banyak, banyak bidang tubuh Anda dan pada semua tingkatan, mendorong banyak perubahan yang kita lihat ketika kita berbicara tentang 'penuaan'. Baca lebih lanjut tentang penelitian terbaru tentang ini di sini. 8. Tidak Semua orang Pengalaman Stres Dalam The Way Sama Ciri kepribadian tertentu bawaan dan pola pikir belajar dapat menyebabkan dua orang yang hidup melalui peristiwa yang sama untuk mengalami hal itu sangat berbeda, dengan satu orang menemukan itu sangat menegangkan dan yang lainnya menemukan hanya sedikit stres atau tidak sama sekali. Beberapa sifat-sifat Anda tidak dapat mengubah, tetapi yang lain Anda dapat mengubah untuk tingkat besar. Baca lebih lanjut tentang sifat-sifat mental yang berkontribusi terhadap kejenuhan dan stres, dan menemukan sumber daya untuk mengubah pengalaman Anda stres. 9. Beberapa 'Penghilang Stres' Sebenarnya Penyebab Stres Lebih Sebagian besar dari kita memiliki kurang sehat beberapa cara untuk mengatasi stres. Sayangnya, sebagian besar 'kebiasaan buruk' yang merasa begitu baik pada saat itu benar-benar dapat menyebabkan stres lebih banyak dalam jangka panjang. Jika Anda merokok, minum secara berlebihan, menghabiskan terlalu banyak, atau menangani stres dengan cara yang Anda tahu tidak mungkin baik bagi Anda, menemukan sumber daya untuk memahami bagaimana Anda mempengaruhi tingkat stres Anda sekarang,
dan menemukan sumber daya untuk mengatasi sehat. 10. Dengan Membayangkan Stres Anda Hilang, Itu Bisa Beberapa teknik bantuan stres mental, seperti afirmasi, dan visualisasi citra dipandu, melibatkan membayangkan bahwa stres Anda hilang. Dan mereka bekerja! Pelajari lebih lanjut tentang ini dan lainnya penghilang stres mental, dan melihat mana yang terbaik untuk Anda. D.
TANDA-TANDA STRES:
1.
Tanda-tanda suasana hati (mood):
·
Menjadi overexcited
·
Cemas
·
Merasa tidak pasti
·
Sulit tidur pada malam hari
·
Menjadi mudah bingung dan lupa
·
Menjadi sangat tidak enak dan gelisah
·
Menjadi gugup
2.
Tanda-tanda otot kerangka
·
Jari-jari dan tangan gemetar
·
Tidak dapat duduk diam atau berdiri ditempat
·
Mengembangkan gerakan tidak sengaja
·
Kepala mulai sakit
·
Merasa otot menjadi tegang atau kaku
·
Menggagap jika berbicara
·
Leher menjadi kaku
3.
Tanda-tanda organ-organ dalam badan
·
Perut terganggu
·
Merasa jantung berdebar
·
Banyak berkeringat
·
Tangan berkeringat
·
Kapala merasa ringan atau akan pingsan
·
Mengalami kedinginan
·
Wajah menjadi panas
·
Mulut menjadi kering
·
Mendengar bunyi bordering dalam telinga
·
Mengalami rasa akan tenggelam dalam perut
E.
DAMPAK STRES
1.
Dampak Positif dari Stres Ringan
Selama ini Anda mungkin hanya tahu dampak negatif dari stres.Padahal stres juga menimbulkan dampak positif. Berikut lima dampak positif dari stres. ·
Mendorong orang berpikir kreatif
Banyak penulis atau artis mengungkap proses kreatif justru muncul sebagai akibat dari frustrasi dan stres. Menurut Larina Kase, Ph.D., seorang psikolog dan penulis buku “The Confident Leader: How the Most Successful People Go from Effective to Exceptional”, hal itu bisa terjadi karena sebuah alasan. Stres sering mendahului atau menyertai suatu terobosan kreatif.Jika pikiran kita benar-benar tenang dan santai, justru tidak perlu alasan untuk melihat hal-hal berbeda. Stres akan meningkat terutama ketika menghadapi hal baru yang terjadi karena perubahan. Hasil akhir dari proses kreatif yang disertai stres akan sedikit mengintimidasi, karena reaksi orang lain,” kata Kase, seperti VIVAnews kutip dari Shine. ·
Meningkatkansistemkekebalatubuh Penelitian menunjukkan bahwa sistem kekebalan tubuh dapat mengambil keuntungan dari stres. “Stres jangka pendek dapat membantu sistem kekebalan tubuh,” ujar Mark Goulston, MD, seorang psikiater klinis
dan penulis buku “Get Out of Your Own Way:Overcoming Self-Defeating Behavior Goulston menjelaskan, ketika hormon kortisol atau hormon stres dilepaskan, akan meningkatkan kekebalan tubuh. Itu adalah proses keseimbangan. Meskipun stres jangka pendek dapat menjaga tubuh dari penyakit, ia memperingatkan bahwa terlalu banyak stres dapat menyebabkan kelebihan kortisol. Hal ini bisa memicu obesitas, diabetes, dan penyakit kardiovaskuler. MembuatTubuhlebihfit Olahraga seperti, angkat berat, berjalan atau lari selama 45 menit, bisa membuat tubuh berkeringat. Selain itu, stres juga bisa menjadi olahraga yang baik. Hal itu menurut Jessica Matthews, MS, koordinator pendidikan berkelanjutan untuk American Council on Exercise (ACE) Stres merupakan latihan ringan yang bisa membuat tubuh lebih sehat.Dari perspektif fisiologis, stres ditempatkan sebagai tuntutan, dan bisa membantu latihan menjadi lebih efisien,” kata Matthews. ·
Membantumemecahkanmasalah Stres sering dipicu karena munculnya dari dilema dalam diri Anda, atau ketika “dipaksa” membuat keputusan besar? Rasa kekhawatiran ini sebenarnya bermanfaat. “Stres menunjukkan nilai-nilai yang kita miliki. Ja kita tidak peduli tentang sesuatu, kita tidak akan khawatir tentang hal itu,” kata Goulstin. Jadi, dengarkan stres bisa jadi penanda untuk memberitahu Anda agar mendengarkan intuisi.Memang sulit mendengar intuisi, ketika Anda berada dalam rasa khawatir dan stres. Sehingga Anda akan “memaksa” diri untuk istirahat, berjalan-jalan, tidur nyenyak atau pergi keluar untuk makan. ·
Pemulihan Penelitian menunjukkan hubungan antara stres jangka pendek
sebelum bedah atau prosedur medis, membuat pemulihan lebih sukses. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa stres dapat menekan produksi estrogen, pemicu utama perkembangan kanker payudara.Respons stres dapat memperingatkan kita adanya tantangan, bahaya, atau bahkan kesempatan. Stres juga memicu pelepasan adrenalin, dan gelombang adrenalin dapat membantu Anda lebih fokus dan berpikir jernih,” ujar Dr. Goulston menjelaskan. 2.
Dampak Negatif Dari Stres Tujuh dampak buruk stres berikut ini:
· Emosi yang naik turun. Dia dapat dengan mudah mengeluarkan emosi yang tidak terkontrol. ·
Kecenderungan bersikap negatif.
Orang yang mengalami stres dapat terpengaruh untuk berperilaku buruk. Di mana ia berpikir dengan perilaku tersebut bisa menghilangkan rasa stresnya, seperti minum alkohol atau menggunangan narkoba. Bukan pelepasan stres yang baik tentu saja. ·
Konsentrasi terganggu.
Orang yang menderita stres menjadi tidak fokus akan apa yang sedang dikerjakannya. ·
Selera makan terganggu.
Biasanya, orang yang sedang stres akan melupakan makannya, atau bahkan sebaliknya, ia akan makan tanpa henti yang dapat menyebabkan obesitas. ·
Lebih hiperaktif dari biasanya.
Penderita stres akan membuat keputusan tanpa pertimbangan karena otaknya sedang tidak bisa berpikir panjang. ·
Lebih mudah jatuh sakit.
Misalnya, terserang migrain dan maag. ·
Rentan terkena insomnia.
Stres dapat membuat seseorang tidak nyenyak saat tidur. F.
PENYEBAB STRES
Aktivitas kehidupan sehari-hari kadang membuat kita merasa jenuh dan bosan.Jika aktivitas yang kita kerjakan itu bervariasi atau berganti-ganti, mungkin rasa bosan itu tidak terjadi.Namun meskipun demikian, rutinitas yang dilakukan setiap harinya bisa memicu rasa jenuh dan bosan.Hal ini sangat erat hubungannya dengan pekerjaan yang digeluti.Hampir setiap pegawai atau pekerja mengeluh karena merasa bosan dengan rutinitas. Keadaan tersebut makin diperparah oleh adanya beban kerja dan tekanan dalam pekerjaan.Stres bisa timbul kalau keadaan sudah demikian parah dan tidak bisa dikendalikan lagi. Bagi mereka yang mengalami, mungkin akan menganggap bahwa hidup ini tidak menyenangkan, statis, tidak berkembang bahkan mungkin tidak ada gunanya.
Hampir segala usia, mereka yang mengalami kejenuhan dan rasa bosan. Mereka yang memiliki pekerjaan tetap saja tidak bisa terhindar dari hal ini, apalagi mereka yang pengangguran dan tidak punya aktivitas apaapa.Kejenuhan yang sudah kronis dan mengakar pada diri seseorang bisa mengakibatkan depresi, yaitu suatu kondisi kejiwaan yang lebih parah dari sekedar stress.Kondisi semacam ini memerlukan terapi professional dari psikiater.Kalau dibiarkan saja bisa berakibat fatal Diantara sekian banyak orang yang mengalami kejenuhan, ada yang merasakan pada waktu-waktu tertentu saja.Ini bisa hilang setelah beberapa jam, beberapa hari atau beberapa minggu.Biasanya kejenuhan seperti ini mudah diatasi tanpa lari ke hal-hal yang merugikan atau merusak.Tetapi ada pula orang yang mengalami kejenuhan permanen. Kejenuhan ini akan menetap apabila tidak terjadi perubahan kondisi, baik lingkungan ataupun aktivitas. Hal inilah yang bisa memicu terjadinya depresi, kalau tidak diatasi dengan segera. Penyebab utama stress adalah ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan. Stress adalah tuntutan, stress selalu menuntut dan menuntut saja. Stress awalnya di gunakan pemicu untuk meningkatkan performa dalam hal apapun namun saat ini stress sudah berlebihan dan merusak keseimbangan yang ada. Banyak sekali penyebab stress. Penyebab-penyebab stress tersebut mengelilingi kita dan hadir dalam kehidupan sehari-hati kita. Stress yang berbahaya adalah stress yang berlebihan. Berikut adalah beberapa penyebab stress yang dapat ditemukan dengan mudah:
1.
Gangguan kecemasan.
Orang awam biasanya mencampuradukan saja pengertian fear,phobia,dan anxienty.Semu disebut “takut” saja, tetapi dalam psikiatri dan psikologi, kegiatan istilah mempunyai arti masingmasing.Fear adalah rasa takut (keadaan emosi yang tidak menyenangkan),yang ditimbulkanolewh suatu obyek yang jelas dan alesanya pun jelas,atau disebut juga takut yang rasional.Rasa takut ini normal,ada pada setiaporang yang berakal sehat. Contohnya, takut digigit ular di hutan,takut ketabrak mobil kalau menyabrang di jalan tol,takut pada dosen yang galak atau takut pada mertua. Anxiety atau cemas ,adalah takut yang tidak jelas objeknya dan tidak jelas pula alasanya.Pada orang normal sering terjadi rasa cemas yang normal.Sebagai contoh ,seorang ibu yang selalu cemas jika anak gadisnya keluar malam dengan teman-temanya.Dia khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan pada anaknya.Apa yang di khawatirkanya ,dia tidak tau pasti.Mungkin ,sang ibu terlalu banyak membaca atau menonton TV tentang pemerkosaan.Padahal ,selama ini anak gadisnya itu selalu pulang dengan selamat. Kecemasan bisa berawal sejak masih usia kanak-kanak dan berkembang tahap demi tahap.Misalnya,kecemasan yang timbul karena di masa kecilsering di kunci di kamar sendirian sementara ibunya berbelanja.Di sisi lain kecemasan bisa juga terjadi setelah suatu peristiwa yang menimbulkan trauma mental. Jenis kecemasan antara lain adalah kecemasan umum yang terdapat pada perempuan dua kali lebih banyak daripada laki-laki. Jenis ini tidak focus pada objek atau situasi tertentu, tidak spesifik atau mengambang. Orang yang bersangkutan dapat mengatakan bahwa dia cemas, takut, tetapi tidak bisa menyebutkan apa yang dicemaskannya dan mengapa dia cemas.
Yang jelas dia tidak bisa mengontrol emosi takutnya dan reaksi takut pada tubuhnya (otot-otot tegang, jantung berdebar,sakit kepala, tidak bisa tidur dan sebagainya). Jenis yang lain adalah panik, yaitu perasaan teror yang intens, gemetar, bingung yang muncul begitu saja.Rasa panik ini biasanya timbul karena suatu peristiwa yang menakutkan, stres yang berkelanjutan.Reaksi fisik yang yang intens bisa terjadi selama sepuluh menit atau kurang tetapi dampaknya bisa berjam-jam sesudahnya. Berikutnya adalah fobia sosial. Orang yang bersangkutan merasa bahwa dirinya selalu dinilai jelek oleh orang lain. Termasuk dalam golongan ini adalah “ demam panggung” yaitu orang yang takut untuk tampil di depan umum (berkeringat dingin dan gemetar setiap kali harus membacakan laporan di depan rapat atau untuk menerangkan PR nya di depan kelas). Pada remaja laki-laki banyak terjadi gejala “ malu-malu kucing” yaitu takut untuk bergaul dengan lawan jenis. Selanjutnya adalah cemas menghadapi perpisahan.Banyak terjadi pada anak-anak yaitu ketika anak itu harus berpisah dari orang yang selama ini memberinya perasaan aman dan terlindungi misalnya ketika anak itu harus ditinggalkan sendirian di kelas pada waktu awal masuk sekolah. Jika gejala ini terjadi pada anak khususnya jika tidak berlangsung lama maka tidak termasuk gangguan mental. Jika hal ini terjadi pada orang dewasa aplagi berulang-ulang terjadi maka perlu di bantu mengatasinya oleh psikiater atau psikolog klinis.
2.
Emosi yang berubah-ubah dari positif ke negative dan sebaliknya.
Gangguan mental ini adalah pergantian terus-menerus antara emosi sangat positif seperti riang gembira, senang dan sebagainya dan emosi sangat negatif (depresif) seperti murung, sedih, ingin menangis dan sebagainya. 3.
Fobia (rasa takut yang tidak beralasan)
Fobia berasal dari kata Yunani yang berarti “takut”.Takut dalam fobia adalah tidak rasional, menetap dan sangat intens (ditandai dengan gejala fisik seperti sesak napas, keringat dingin, bisa juga menjerit-jerit histeria dan sebagainya) yang ditunjukan kepada situasi, benda, kegiatan atau orang tertentu.Sepanjang hal yang ditakuti tidak ada, maka orang tersebut biasa-biasa (normal) saja.Fobia adalah takut yang irasional pada suatu objek atau situasi tertentu ( Ferdman, 2003).Artinya,objeknya memang jelas,tetapi alasanya tidak masuk akal atau tidak jelas.Misalnya,takut gelap,takut pada kucing,takut kepada tempat ramai,takut pada tempat yang tertutup dan sebagainya.Fobia tergolong gangguan mental (akan diuraikan tersendiri). Dengan perkataan lain penderita fobia masih bisa mengontrol ketakutannya dengan cara menghindari objek yang ditakutinya tersebut, maka diagnosis yang lebih tepat adalah gangguan kecemasan (anxiety disorder). Sekarang para ahli menduga bahwa fobia disebsbkan oleh kombinasi antara faktor bakat, keturunan dan pengalaman tertentu (biasanya pengalaman traumatis).
4.
Halusinasi auditif (Schizophrenia)
Suatu diagnosis gangguan mental yang di tandai oleh kelainan dalam persepsi atau ekspresi dari realitas.Yang sering adalah halusinasi auditif (seakan-akan mendengar suara – suara atau ada yang mengajak bercakapcakap) delusi paranoid (curiga). Faktor penyebab skizofrenia belum jelas dan bisa karena keturunan atau ginetik juga karena gangguan syaraf. 5.
Dissociative Identity Disorder(DID)
DID atau yang lebih dikenal dengan istilah Split Personality atau Multiple Personality (Kepribadian ganda), dulu dianggap sebagai salah satu jenis skizofrenia karena mengandung suatu gejala dari gangguan mental itu yaitu pola pikir yang kacau. DID sudah digolongkan sebagai jenis gangguan mental tersendiri. Cirinya adalah adanya minimal dua identitas atau kepribadian yang berbeda yang mengendalikan perilaku orang yang bersangkutan. Kepribadian itu mempersepsi, menilai, dan bereaksi terhadap lingkungan dengan cara yang sangat berbeda dan ketika yang satu sedang memegang Kendal, kepribadiankepribadian yang lain tidak tahu- menahu. Dengan demikian terjadi gejala yang khas pada pasien-pasien DID yaitu tidak ingat apa yang sudah dilakukannya. Gejala lupaa ini bukan karena pengaruh obat-obatan, trauma di kepala, melainkan karena ada pergantian kendali dalam jiwa penderita.
G. ·
TEMPAT-TEMPAT YANG DAPAT MENGAKIBATKAN STRES: Di rumah
Menjadi ibu rumah tangga adalah sebuah pekerjaan mulia yang kadang diremehkan sebab tak menghasilkan profit.Ternyata ibu rumah tangga rentan sekali mengalami stress, dibanding dengan wanita yang bekerja di luar rumah. Hal ini diungkap oleh sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Gallup, yang melibatkan para ibu yang murni hanya menjadi ibu rumah tangga.Para ibu tersebut faktanya harus mengatasi segala permasalahan emosionalseperti sedih, marah, depresi, dan lain-lain seorang diri. Perbandingannya, jika 26% ibu rumah tangga yang merasa sedih, maka wanita pekerja hanya 16 %.Depresi ibu rumah tangga 28%, sedang wanita pekerja 17%. Sedangkan tingkat stress ibu rumah tangga mencapai 50%, sedang wanita pekerja 48%.Meski masih diperdebatkan, namun hal tersebut setidaknya menunjukkan betapa berat beban para ibu rumah tangga yang murni bekerja mengurus keluarganya. Cara untuk mengurangi beban bagi Anda, yang menjadi ibu rumah tangga agar tidak terlalu berat; biasakan putra dan putri Anda untuk membantu pekerjaan Anda.Misalnya dengan menyuruh mereka membersihkan kamar serta mainan mereka sendiri. Lalu, minta pengertian pada keluarga agar tak memperlakukan Anda layaknya pembantu, sebab urusan rumah dan seisinya adalah tanggung jawab semua penghuni rumah. Kerja sama adalah hal yang dapat meringankan beban Anda, jika Anda tak memiliki asisten rumah tangga.
·
Di tempat kerja
Stress karena menumpuknya pekerjaan ditempat kerja merupakan hal yang biasa dijumpai,belum lagi masalah-masalah internal, keluarga, pasti membuat otak Anda menjadi lebih tegang. Berhati-hatilah jika Anda pada situasi ini karena dari pikiran yang tidak sehat, potensi terkena penyakit akan lebih mudah. Ketegangan yang ada di otak bisa mengakibatkan dampak yang buruk. Pekerjaan Anda acakacakan, dimarahi bos, dan akhirnya melampiaskan pada orang lain ditempat kerja atau yang ada di rumah. Jelas, ini menambah masalah. ·
Di Jalan
Arus mudik dan arus balik lebaran tak pernah lepas dari kemacetan lalu lintas yang parah.Akibatnya dapat memicu stres dan menguras banyak tenaga.Selain itu, masa lebaran umumnya sekaligus dijadikan sebagai masa liburan sehingga banyak orang yang mengunjungi tempat wisata.Dampaknya, lagi-lagi membuat jalanan macet. Apabila membawa serta anak-anak yang masih kecil, kerewelannya dapat menjadi penyebab utama stres di jalan dengan teriakan-teriakan dan tangisannya.Karena kemacetan sulit dihindari, ada baiknya melakukan langkah-langkah untuk meminimalisir stres saat terjebak macet. Berikut adalah tips-tips untuk mengatasi stres di jalan akibat macet: a.
Jangan terburu-buru
Terburu-buru dan tak mau kalah adalah penyebab utama stres di jalanan yang macet.Karena hal ini pula maka banyak terjadi kecelakaan lalu lintas.
Agar tidak terburu-buru, siasati dengan berangkat lebih dini dan perhitungkan banyak waktu yang akan dihabiskan di jalan akibat macet. b.
Ciptakan suasana berkendara yang menyenangkan
Setiap pengendara memiliki karakterisitik dan temperamennya masingmasing. Jangan mudah terpancing oleh ulah pengendara lain yang menyulut emosi. Pastikan situasi di dalam kendaraan tetap kondusif dan nyaman. Kalau perlu, bawa perlengkapan yang membuat tubuh jadi santai seperti alat pijat, menyalakan radio atau bermain game untuk yang tidak menyetir. c.
Rapikan interior kendaraan
Tumpahan susu, makanan atau barang-barang lain yang carut-marut di dalam mobil membuat suasana berkendara menjadi tidak nyaman. Barangbarang yang berantakan di dalam mobil juga dapat mengganggu konsentrasi pengemudi.Apabila terjadi kemungkinan terburuk seperti tabrakan, bendabenda pengganggu tersebut bisa malah mengancam nyawa. d.
Lampu Penerangan Harus Baik
Saat yang paling melelahkan untuk mengemudi biasanya adalah malam hari.Mungkin itu sebabnya kecelakaan mobil lebih cenderung berakibat fatal setelah hari mulai gelap. Agar lampu penerangan makin oke, pasanglah satu set lampu tambahan yang dapat menyinarkan cahaya lebih luas sehingga dapat menerangi jalan lebih jauh ke depan dibanding lampu standar. ·
Disekolah
Beberapa stres yang dialami seorang pelajar sekolah antara lain:
ü Tekanan Orang Tua Orang tua ingin yang terbaik dengan masa depan anaknya. Untuk mencapai nilai terbaik, maka orang tua membebani anak-anaknya dengan berbagai kursus pelajaran yang dapat secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kesehatan anak, istirahatnya, dan perkembangannya.Banyak orang tua tidak menyadari bahwa membantu si anak merasa relaks justru akan menyegarkan pikiran dan membantunya belajar dengan lebih baik. Sebaliknya para orang tua terus membebani anak-anak mereka untuk mendapatkan prestasi terbaik dan lulus ujian dengan memuaskan. ü Tekanan Guru Sama seperti orang tua, banyak guru ingin siswanya mendapat nilai terbaik. Guru selalu mendorong muridnya untuk unggul dalam pelajaran, terutama jika muridnya berprestasi. Mengapa guru juga ikut menekan muridmuridnya mendapat nilai terbaik?Karena reputasi guru dan sekolah dipertaruhkan saat ujian sekolah khususnya Ujian Nasional. ü Tekanan dari Sesama Siswa Semangat kompetisi akan semakin memanas menjelang ujian sekolah. Setiap siswa berlomba-lomba untuk menunjukkan prestasi terbaik. Bahkan segala cara dilakukan untuk meraih nilai tertinggi termasuk menyontek maupun mencari bocoran soal. ü Tekanan dari Diri Sendiri Siswa berprestasi cenderung menjadi perfeksionis.Sehingga jika suatu kemunduran atau kegagalan terjadi, entah itu nyata atau masih belum terjadi, dapat membuat stres dan depresi.
H.
Siapa Saja Yang Mengalami Stres?
4.
Stres bagi orang dewasa Dewasa
Seseorang bisa hampir setiap hari mengalami stres. Bahkan, berdasarkan survei, orang dewasa merasa stres atau putus asa 36 menit per harinya.Ratarata hal yang menyebabkan mereka merasa cemas hingga akhirnya menimbulkan stres, mulai dari masalah utang hingga kehidupan seks yangmengecewakan . Hasil survei yang dilakukan Everyman Campaign, sebuah gerakan kepedulian terhadap pencegahan kanker prostat di Inggris, mengungkap, 36 menit perasaan stres yang dialami setiap hari setara dengan sembilan hari penuh setiap tahun, atau satu tahun setengah selama seumur hidup.Masalah biaya hidup dan kenaikan berat badan justru menjadi penyebab stres teratas.Survei ini dilakukan di Inggris dengan melibatkan 2.000 orang berusia antara 18 dan 65 tahun. Empat dari 10 orang merasa tertekan karena utang, seperempat dari peserta survei mengaku merasa cemas karena perjalanan hidupnya yang tak sempurna. Lalu, satu dari lima orang merasa tak tenang karena anggota keluarganya jatuh sakit. Para peneliti menemukan bahwa kecemasan ekstrem bisa dialami oleh banyak orang yang tidak dapat berkonsentrasi di tempat kerja serta tidak mendapatkan waktu tidur yang cukup.Termasuk perrtikaian dengan pasangan.Satu dari sepuluh responden mengatakan bahwa mereka merasa stres selama lebih dari dua jam sehari. Sementara, satu dari dua orang merasa sangat cemas dengan banyak hal yang telah memengaruhi kesehatan mereka."Pusing memikirkan biaya hidup dan banyaknya tagihan adalah penyebab stres nomor satu di Inggris. Uang mendominasi sebagian besar
pikiran orang. Tapi yang menarik, masalah kesehatan justru tidak berada dalam daftar teratas," kata juru bicara Everyman Campaign, seperti dikutip dari Daily Mail. Sebanyak 86 persen wanita diketahui memiliki tingkat stres yang lebih tinggi daripada pria. Satu dari lima orang memikirkan tentang harga rumah dan risiko kanker dan satu dari enam orang khawatir akan datangnya masa pensiun dan beban kerja yang berat. Masalah lain yang menyebabkan stres termasuk juga takut tua, serta minimnya jam biologis. Tiga dari 10 orang juga merasa tertekan karena hubungan suami istri, termasuk kekhawatiran tentang masa depan anak-anak mereka. Satu dari 20 orang juga merasa stres karena kehilangan teman. Hampir setengah dari responden mengaku mereka 'tidak bisa berhenti khawatir', tetapi sepertiga mengatakan mereka bisa berbagi cerita pada siapapun tentang ketakutan mereka.Sementara, satu dari sepuluh orang merasa mereka tidak bisa membagi beban pikirannya pada orang lain. Mereka yang mengalami stres setiap hari pun diketahui sering melakukan hal-hal yang bisa menyebabkan kondisi kesehatan memburuk. Satu dari enam orang memilih pergi menikmati segelas anggur untuk mengusir stres dan satu dari lima orang memilih santai menyaksikan acara televisi. 5.
Lansia
Pada lanjut usia, gejala dari stress ini akan lebih kelihatan karena lanjut usia lebih rentan terhadap stress. Gejala stress pada lanjut usia meliputi penyakit darah tinggi, stroke, jantung koroner yang tinggi frekuensinya, menangis, rasa ketakutan yang berlebihan, menyalahkan diri dan rasa penyesalan yang tidak sesuai, daya ingat menurun, pikun, tidak bisa mengatasi persoalan
dengan benar, tidak mudah percaya pada orang lain, tidak sabar menghadapi orang lain, dan menarik diri dari pergaulan. Bila banyak dari gejala tersebut diatas terjadi pada seseorang, khususnya di sini pada lanjut usia, maka ada kemungkinan lanjut usia tersebut betul-betul mengalami stress. Stress pada lanjut usia tersebut dapat diartikan sebagai kondisi tidak seimbang, tekanan atau gangguan yang tidak menyenangkan, yang terjadi menyeluruh pada tubuh dan dapat mempengaruhi kehidupan, yang tercipta bila orang yang bersangkutan melihat ketidaksepadanan antara keadaan dan system sumber daya biologis, psikologis dan sosial yang berkaitan dengan berfikir dan respon dari ancaman dan bahaya pada lanjut usia. Dimana terjadi penurunan kemampuan mempertahankan hidup, menyesuaikan diri terhadap lingkungan, fungsi badan dan kejiwaan secara alami dan yang akhirnya mengakibatkan kematian. Singkatnya stress pada lanjut usia adalah kondisi tidak seimbang, terjadi menyeluruh pada tubuh yang tercipta bila orang yang bersangkutan melihat ketidaksepadanan antara keadaan dan system sumber daya biologis, psikologis dan sosial, dimana terjadi penurunan kemampuan mempertahankan hidup yang akhirnya mengkibatkan kematian. Faktor-Penyebab Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian stress pada lanjut usia, antara lain: Stresor adalah faktor-faktor dalam kehidupan manusia yang mengakibatkan terjadinya respons stres. Stresor dapat berasal dari berbagai sumber, baiknya dari kondisi fisik, psikologis, maupun sosial dan juga
muncul pada situasi kerja, dirumah, dalam kehidupan sosila, dan lingkungan luar lainya ( Patel, 1996 dalam Nasir, 2011). Secara garis besar, strespr bisa dikelompokan menjadi dua. a.
Stresor makro, yang berupa major live events yang meliputi peristiwa kematian orang yang disayang, masuk sekolah untuk pertama kali, dan perpisahan.
b. Stresor mikro, yang biasanya berawal dari stimulus tentang masalah kehidupan sehari-hari, misalnya ketidaksenangan emosional terhadap hal hal tertentu sehingga menyebabkan munculnya stres (Brantley,dkk, 1988, dalam isnawarti, 1996 dikutip oleh Nasir, 2011). Taylor (1991) dalam Nasir, 2011 merinci beberapa karakteristik kejadianya yang berpotensial dan dinilai dapat menciptakan stresor. a.
Kejadian negatif agaknya lebih banyak menimbulkan stres daripada kejadian positif.
b. Kejadian yang tidak terkontrol dan tidak terprediksi lebih membuat stres daripada kejadian yang terkontrol dan terprediksi. c.
Kejadian “ambigu” sering kali di[andang lebih mengakibatkan stres daripada kejadian yang jelas.
d. Manusia yang tugasnya melebihi kapasitas (oveload) lebih muda mengalami stres daripada orang yang memiliki tuugas lebih sedikit. Ada beberapa sumber stres yang berasal dari lingkungan, di antaranya adalah lingkungan fisik, sepert: polusi udara, kebisingan, kesesakan, lingkungan kontak sosial yang bervariasi, serta kompetis hidup yang tinggi
(Howart dan Gillham, 1981 dalam Atkinson, 1990 dikutip oleh Nasir, 2011). Selain itu, sumber stres yang lain meliputi hal-hal berikut. 1. Dalam diri individu. Hal ini berkaitan dengan adanya konflik. Pendorong dan penarik konflik menghasilkan dua kecendrungan yang berkebalikan, yaitu approach dan avoidance. Kecendrungan ini menghasilkan tipe dasar konflik ( Weiten, 1992), yaitu sebagai berikut. a) Approach-approach conflict. Muncul ketika kita tertarik terhadap dua tujuan yang sama-sama baik. b) Avoidance-avoidance conflict. Muncul ketika kita dihadapkan pada satu pilihan antara dua situasi yang tidak menyenangkan. c) Approach-avoidance conflict. Muncul ketika kita melihat kondisi yang menarik dan tidak menarik dalam satu tujuan atau situasi. 2. Dalam keluarga. Dari keluarga ini yang cenderung memungkinkan munculnya stres adalah hadirnya anggota baru, sakit, dan kematian dalam keluarga. 3. Dalam komunitas dan masyarakat. Kontak dengan orang di luar keluarga merupakan banyak sumber stres, misalnya pengalaman anak di sekolah dan persaingan. Berdasarkan penjelasan di atas, maka stresor atau hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya stres dapat berupa faktor-faktor fiologis, psikologis, dan lingkungan di sekitar individu baik fisik tidak, bergantung pada bagaimana individu menyikapi stresor itu.
Skala Miller dan Smith Beberapa aspek tertentu dari kebiasaan, gaya hidup, dan lingkungan seseorang dapat menjadikannya lebih kebal atau lebih rentan terhadap dampak negative stress. Tingkat ketahanan atau kekebalan terhadap stress ini diukur dengan mengisi daftar 20 pernyataan berikut. Berikut ini cara untuk mengukur tingkat stress: 1= Hampir selalu, 2= Biasanya, 3= Kadang-kadang, 4= Hampir tidak pernah, 5= Tidak pernah 1. Saya makan makanan yang hangat dan berimbang sedikitnya satu kali sehari.
1 2 3 4 5
2. Saya tidur 7-8 jam sedikitnya empat malam dalam seminggu.
1 2 3 4 5
3. Saya member dan menerima kasih sayang secara teratur.
1 2 3 4 5
4. Saya memiliki sedikitnya satu orang kerabat yang dapat di andalkan dalam
1 2 3 4 5
jarak 75 km. 5. Saya melakukan olah tubuh hingga berkeringat sedikitnya dua kali seminggu.
1 2 3 4 5
6. Saya merokok kurang dari setengah bungkus sehari
1 2 3 4 5
(bukan perokok = hamper selalu). 7. Saya minum kurang dari lima gelas minuman beralkohol dalam seminggu
1 2 3 4 5
(bukan peminum = hamper selalu). 8. Berat badan saya seimbang dengan tinggi badan.
1 2 3 4 5
9. Saya memiliki penghasilan cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok.
1 2 3 4 5
10. Saya memperoleh kekuatan dari agama / keyakinan saya.
1 2 3 4 5
11. Saya menghadiri kegiatan klub atau social secara teratur.
1 2 3 4 5
12. Saya mempunyai jaringan teman dan kenalan.
1 2 3 4 5
13. Saya mempunyai sedikitnya satu orang sahabat yang dapat dipercaya dalam
1 2 3 4 5
hal-hal yang bersifat abadi. 14. Kesehatan saya baik (termasuk mata, telinga, dan gigi).
1 2 3 4 5
15. Saya dapat berbicara secara terus terang mengenai perasaan saya di saat marah
1 2 3 4 5
atau gelisah. 16. Saya bercakap-cakap secara teratur dengan orang-orang yang tinggal bersama
1 2 3 4 5
saya mengenai urusan rumah, seperti pekerjaan rumah sehari-hari dan masalah keuangan. 17. Saya melakukan sesuatu untuk bersenang-senang sedikitnya sekali seminggu.
1 2 3 4 5
18. Saya mampu mengelola waktu dengan efektif.
1 2 3 4 5
19. Saya minum kurang dari tiga cangkir kopi (atau minuman lain yang
1 2 3 4 5
mengandung kafein) sehari. 20. Saya mengalokasikan waktu untuk berdiam diri dalam sehari. Total Skor = _________- 20 = ___________poin Skor Ketahanan Stres: 0-10 poin
= Memiliki ketahanan luar biasa terhadap stres
11-30
= Tidak terlalu rentan terhadap stress
31-50
= Cukup rentan terhadap stress
51-74
= Rentan terhadap stress
75-80
= Sangat rentan terhadap stres
1 2 3 4 5
·
Kondisi kesehatan fisik
Proses penuaan mengakibatkan perubahan struktur dan fisiologis pada lanjut usia seperti: penurunan penglihatan, penurunan pendengaran, penurunan sistem paru, penurunan pada persendian tulang. Seiring dengan penurunan fungsi fisiologis itu, ketahanan tubuh lansia pun semakin menurun sehingga berbagai penyakit dapat hinggap dengan mudah. Penurunan kemampuan fisik ini dapat menyebabkan orang menjadi stress, yang dulunya semua pekerjaan bisa dilakukan sendirian, kini terkadang harus dibantu orang lain. Perasaan membebani orang lain inilah yang dapat menyebabkan stress. Menderita penyakit dapat mengakibatkan perubahan fungsi fisiologis pada orang yang menderitanya. Perubahan fungsi tersebut dapat mempengaruhi kehidupan seseorang dimana hal itu dapat menyebabkan stress pada kaum lanjut usia yang mengalaminya. Macam perubahan fungsi fisiologis yang dialami seseorang tergantung pada penyakit yang dideritanya.Semakin sehat jasmani lansia semakin jarang ia terkena stress, dan sebaliknya, semakin mundur kesehatannya, maka semakin mudah lansia itu terkena stress. Para lansia yang rentan terhada stress misalnya lansia dengan penyakit degeneratif, lansia yang menjalani perawatan lama di rumah sakit, lansia dengan keluhan somatis kronis, lansia
dengan imobilisasi 2. Kondisi psikologi
berkepanjangansertalansiadengaisolasisosial.
Faktor non fiisik seorang lansia, misalnya sifat, kepribadian, cara pandang, tingkat pendidikan, dll dapat berpengaruh dalam menghadapi stress. Seorang lansia yang memiliki pikiran yang positif, biasanya dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya dengan positif pula. Orang yang selalu menyikapi positif segala tekanan hidup akan kecil resiko terkena stress. Semakin luas dan semakin tinggi harapan seseorang tentang hidup (optimis), semakin jauh ia dari stress. Semakin berserah diri kepada Tuhan, semakin terbebaskan seseorang dari stress. Semakin “santai” suatu kejadian dipersepsi, semakin sukar seseorang terjangkit stress karena kejadian tersebut.Begitujugasebaliknya. 3. Keluarga Keluarga berperan besar dalam kejadian stress pada lansia. Jika terdapat masalah dalam keluarga, hal ini dapat menjadi pemicu stress bagi lansia, misalnya adanya konflik dalam keluarga, hubungan yang tidak harmonis, merasa jadi beban keluarga, dll.Sebaliknya, peran keluarga juga sangat besar dalam menjauhkan stress pada lansia. Dukungan, penghargaan, rasa hormat, rasa peduli dan lain-lain sangat besar pengaruhnya untuk menjauhkan atau meredakanstresspadlansia.
4. Lingkungan
Stress juga dapat dipicu oleh hubungan sosial dengan orang lain di sekitarnya atau akibat situasi sosial lainnya. Contohnya seperti stres adaptasi lingkungan baru, teman-teman yang sudah tidak ada lagi, dan lainlain. Lansia juga bisa terkena stress karena lingkungan tempat tinggalnya. Lingkungan yang padat, macet, dan bising bisa menjadi sumber stress. Selain itu, lingkungan yang kotor, buruk, penuh dengan pencemaran juga dapat membuat merasa tidak nyaman dan pikiran selalu was-was akan dampak buruk pencemaran pada kesehatannya, sehingga lama-kelamaan dapatmembuatlansiastress.
5. Pekerjaan Pekerjaan dapat menjadi pemicu stres bagi lansia. Penurunan kondisi fisik dan psikis berpengaruh pada turunnya produktifitas para lansia. Jika pada waktu mudanya ia telah mempersiapkan cukup "bekal" untuk masa tua, maka ia bisa menikmati masa pensiunnya. Tetapi jika lansia merasa belum cukup mempersiapkan "bekal"nya untuk masa pensiun, maka ia dituntut untuk terus bekerja. Beban kerja yang tidak didukung oleh kondisi fisik dan psikis dapat memicu lansia stress. Apalagi adanya tuntutan untuk pemenuhan nafkah keluarga. Jika lansia memilih bekerja, pilihlah pekerjaan yang tidak terlalu berat, tidak perlu target-targetan, tidak perlu persaingan, deadline, dll. Misalnya memelihara ayam atau ternak lain, atau berkebun, buat kolam ikan di belakang rumah, sangat baik bagi lansia, selain sehat berolahraga ada juga pendapatan bagi keluarga. I. Kapan Orang Bisa Mengalami Stres?Stres dapat terjadi pada seseorang pada saat:
a)
Tuntutan Fisik
Kondisi fisik kerja mempunyai pengaruh terhadap kondisi fatal dan psikologis diri seorang tenaga kerja .Kondisi fisik dapat merupakan pembangkit stres.Bising : Bising selain dapat menimbulkan gangguan sementara atau tetap pada alat pendengaran kita, juga dapat merupakan sumber stres yang menyebabkan peningkatan dari kesiagaan dan ketidakseimbangan psikologis kita. Paparan (exposure) terhadap bising berkaitan rasa lelah, sakit kepala, lekas tersinggung , dan ketidakmampuan untuk berkonsentrasi.vabrasi merupakan sumber stres yang kuat yang mengakibatkan peningkatan taraf catecholamine dan perubahan dari berfungsinya seseorang secara psikologikal dan neurological.Hygiene:Lingkungan yang kotor dan tidak sehat merupakan pembangkit stres.Hal ini di nilai oleh para pekerja sebagai faktor tinggi pembangkit stres. b)
Tuntutan tugas
Kerja shift/kerja malam : Penelitian menunjukkan bahwa kerja shift merupakan sumber utama dari stres bagi para pekerja pabrik .Para pekrja sift lebih sering mrngeluh tentang kelelahan dan gangguan perut daripada para pekerja pagi/ siang dan dapat dari kerja sift terhadap kebisaan makanan yang mungkin menyebabkan gangguan – gangguan perut. Menurut Monk dan Folkard ada tiga faktor yang harus baik keadaannya agar dapat berhasil menghadapi kerja sift :tidur, kehidupan sosial dan keluarga, dan ritme circadian. Faktor – faktor tersebut saling berkaitan, sehingga salah satu dapat membatalkan efek positif dari keberhasilan yang telah dicapai dengan kedua faktor lain.
Beban kerja berlebih dan beban kerja terlalu sedikit merupakan pembangkit stress.Beban kerja dapat di bedakan lebih lanjut ke dalam beban kerja berlebih/terlalu sedikit’Kuantitatif’, yang timbul sebagai akibat dari tugas – tugas yang terlalu banyak/sedikit di berikan kepada tenaga kerja untuk diselesaikan dalam waktu tertentu, dan kerja berlebih/terlalu sedikit’kualitatif’ yaitu jika orang merasa tidak mampu untuk melakukan suatu tugas, atau tugas tidak menggunakan keterampilan dan/ atau potensi dari tenaga kerja. Dalam rangka teknologi ini baru dapat menimbulkan baik bebean kerja berlebihan maupun beban kerja terlalu sedikit. Di samping itu beban kerja berlebih kuantitatif dan kualitatif dapat menimbulkan kebutuhan untuk bekerja selama jumlah jam yang sangat banyak yang merupakan sumber tambahan dari stres. Everly dan Girdano (1980) , kategori lain dari beban kerja dari kombinasi beban berlebihan kuantitatif dan kualilatif: 1.
Beban berlebih kuantitatif
Beban berlebih secara fisikal ataupun mental, yaitu harus melakukan terlalu banyak hal, merupakan kemungkinan sumber stress pekerjaan. Unsur yang menimbulkan beban brlrbih kuantitatif ini ialah desakan waktu ,setiap tugas diharapkan dapat diselesaikan secepat mungkin secara tepat dan cermat. Bila desakan waktu menyebabkan timbulnya banyak kesalahan atau menyebabkan kondisi kesehatan seseorang berkurang , maka ini merupakan cerminan adanya beban berlebih kuantitatif dan pada saat ini desakan waktu menjadi destruktif
Kiev dan Kohn (1997) dalam meneliti 2.659 manajer puncak dan menengah menemukan bahwa para manajer menyebutkan heavy workload / time pressures/unrealistic deadlines sebagai factor pertama dari stress Penelitian yang dilakukan oleh ahli jantung Mayer Friedman dan ray Rosenman (1974) menunujukan bahwa desakan waktu kronis tampaknua memberikan pengaruh tidak baik pada system cardiovascular. Hasilnya secara khusus ialah serangan jantung premature dan tekanan darah tinggi. Ancaman akan adanya beban berlebih kuantitatif mempunyai pengaruh yang tidak baik bagi para pekerja, pada masa dilakukan analisis waktu gerak pada para pekerja,mereka memperlihatkan rasa tidak senang dan curiga. Para pekerja tidak senang persepsi manajemen yang mengatakan kepada mereka untuk do more work in less time.Dalam beberapa kasus analisis semacam itu mengakibatkan dilakukannya pelambatan kerja (work slow down).Bagaimanapun juga desakan waktu merupakan pembangkit stress dari organisasi yang dalam kebanyakan hal harus diterima. Ini tampaknya merupakan salah satu aspek dari kehidupan organisasi. 2.
Beban terlalu sedikit kuantitatif
Beban kerja terlalu sedikit juga dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Kemajuan teknologi dan peningkatan otomasi dalam industry di satu pihak dapat mengarah pada makin menjadinya majemuk pekerjaan, di lain pihak. Pada tingkat teknologi menengah, mengarah pada penyederhanaan pekerjaan. Pada pekerjaan yang sederhana, dimana banyak terjadi pengulangan gerak akan timbul rasa bosan, rasa monoton. Kebosanaan dalam kerja rutin sehari-hari, sebagai hasil dari terlampau sedikitnya tugas yang harus dilakukan, dapat menghasilkan berkurangnya perhatian.
Hal ini, secara potensial membahayakan jika tenaga kerja gagal untuk bertindak tepat dalam keadaan darurat. Kebosanan di temukan sebagai sumber stres yang nyata pada operator kran (cooper & Kelly,1984). Masa lama tidak adanya aktivitas, yang mungkin merupakan ciri dari pekerjaan sehingga memerlukan rancangan ulang, merupakan peramal yang tepat dari peningkatan kecemasan, depresi dan ketidakpuasan kerja. Bentuk lain yang merupakan pembangkit stres juga ialah adanya fluktuasi dalam beban kerja. Untuk jangka waktu tertentu bebannya sangat ringan, untuk saat-saat lain bebannya malah berlebihan. Situasi tersebut dapat kita jumpai pada tenaga kerja yang mengatur perjalanan bagi orang lain pada biro- biro perjalanan, yang menjadi pemandu wisata, tenaga kerja (baik klerikal maupun yang profisional) yang berkerja di biro-biro konsultasi, pramuniaga di took-toko, dan sebagainya. Keadaaan yangtidak tetap ini menimbulkan kecemasaan, ketidakpuan kerja dan kecenderungan hendak meninggalkan pekerjaan.
3.
Beban berlebihan kualitatif
Dengan kemajuan teknologi makin dirasakan kehidupan menjadi lebih majemuk. Pekerjaan yang sederhana, pekerjaan yang di lakukan dengan tangan (pekerjaan manual) makin banyak tidak dilakukan lagi oleh tenaga kerja, tetapi telah diganti oleh mesin atau robot.untuk perakitan mobil di jepang digunakan robot pekerjaan yang dilakukan oleh manusia makin beralihtitik beratnya pada pekerjaan otak. Pekerjaan makin menjadi majemuk. Kemajemukan pekerjaan ini yang mengakibatkan adanya beban berlebihan kualitatif.Makin tinggi kemajemukan pekerjaannya makin tinggi stresnya.Kemajemukan pekerjaan yang harus dilakukan seorang
tenaga kerja dapat dengan mudah berkembang menjadi beban berlebihan kualitatif jika kemajemukannya memerlukan kemampuan teknikal dan intelektual yang lebih tinggi yang dimiliki. Kemajemukan pekerjaan, menurut Everly & Girdano (1980), biasanya meningkat karena faktor-faktor berikut: a.
Peningkataan dari jumlah informasi yang harus digunakan;
b. Peningkatan dari canggihnya informasi atau dari keterampilan yang diperlukan pekerjaan; c.
Perluasan atau tambahan alternative dari metode-metode pekerjaan;
d.
Introduksi dari rencana-rencana contingency
Jika memiliki kemampuan untuk menampung keempat factor tersebut, maka tenaga kerja melakukan pekerjaan yang bagus dan berprestasi memuaskan. Sebaliknya kalau kita perhatikan dengan baik, maka setiap factor dapat merupakan pembangkit stress .pada titik tertentu kemajemuka pekerjaan tidak lagi produktif,tetapi menjadi destruktif. Pada titik tersebut kita telah melewati kemampuan kita untuk memcahkan masalah dan menalar dengan car konstruktif. Timbulah kelelahan mental yang reaksi-reaksi emosional dan fisik .hal ini merupakan bentuk dari jawaban stress. Penelitian menunujukan bahwa kelelhan emosional dan mental ,sakit kepala, dan gangguan-gangguan pada perut merupakan hasil dari kondisi kronis dari beban berlebih kualitatif.Penelitian lain menunjukan bahwa beba terlebih kualiitatif sebagai suber stress secara nyata berkaiitan dengan rasa harga diri yang rendah.
4.
Beban terlalu sedikit kualitatif
Dapat merusak pengaruhnya seperti beban berlebihan kualitatif, dalam hal tenaga kerja tidak diberi peluang untuk menggunakan ketrampilan yang diperolehnya,atau untuk mengembangkan kecakapan potensialnya secara penuh. Di sinipun dapat timbul kebosanan dan gangguan dalam perhatian sehingga dapat mengakibatkan hal-hal yang parah. Beban terlalu sedikit yang disebabkan kurang adanya rangsangan akan mengarah ke semangat dan motivasi yang rendah untuk kerja. Tenaga kerja akan merasa bahwa dia ‘tidak maju-maju’ dan merasa tidak berdaya untuk memperlihatkan bakat dan minatnya (Sutherland & cooper,1988). Menurut udris, beban berlebihan kualitatif berhubungan dengan ketidakpuasan , ketegangan, harga diri rendah, sedanfjan beban terlalu sedikit berkaitan dengan ketidak puasan, depresi, cepat tersinggung, dan keluhan psikosomatik. 5.
Beban berlebihan kuantitatif dan kualitatif
Proses pengambilan keputusan merupakan suatu kombinasi yang unik dari faktok-faktor yang dapat mengarah ke berkembangnya kondisikondisi beban berlebihan kuantitatif dan kualitatif pada waktu yang sama.Proses pengambilan keputusan mencangkup membuat pilihan antara beberapa kemungkinan/alternatatif. Setiap kemungkinan perlu dinilai kebaikan dan keburukannya dan saling di bandingkan. Faktor-faktor berikut ini yang menentukan derajat besarnya stress dalam proses pengambilan keputusan (Everly & Girdano,1980):
1.
Pentingnya akibat- akibat dari keputusan;
2.
Derajat kemajemukan keputusan;
3.
Kelengkapan informasi yang di miliki;
4.
Yang bertanggung jawab terhadap keputusan;
5.
Jumlah waktu yang di berikan untuk proses pengmbilan keputusan;
6.
Harapan dari keberhasilan.
Pentingnya akibat keputusan ikut menentukan derajat besarnya stress.Misalnya memutuskan untuk membuka cabang lebih besar stresnya dari pada memutuskan dimana makan siang, karena risikonya lebih besar.Kalau gagal cabangnya berarti rugi besar, bahkan mungkin harus ditutup perusahaanya. Sebagaimana telah dibahas, kemajemukan pekerjaan akan menimbulkan stress. Kalau keputusan yang harus diambil, misalnya, melibatkan bebagai macam faktor yang saling berkaitan (keputusan membuka cabang), seperti rencana operasi, jumlah tenaga kerja, jumlah uang yang harus disediakan, dan rencana pemasaran, maka proses pengambilan keputusan merupakan proses yang penuh stress. Terlalu banyak atau terlalu sedikit informasi yang dimiliki, yang dirasakan diterima oleh seorang tenaga kerja, kedua-duanya akan dapat menimbulkan stress. Terlalu banyak informasi, berarti kesulitan mengolah semua informasi, berarti beban berlebihan kualitatif.Terlalu sedikit informasi menyebabkan kita mulai mereka-reka, menduga-duga, yang menibulkan ketegangan dalam diri kita yang kita rasakan sebagai stres.bertanggung jawab, maka ini dirasakan lebih besar stresnyadibandingkan dengan jika tanggung jawab dibagi bersama.Dalam
keadaan sehari-hari tanggung jawab pada umumnya ditanggung oleh seorang. Factor waktu juga perlu dipertimbangkan. Makin singkat waktu yang diberikan dalam proses pengambilan keputusan, makin dirasakan desakan waktu, makin besar stresnya.Akhirnya harapan akan keberhasilan merupakan factor yang ikut menentukan besar kecilnya stress. Jones menemukan bahwa jika orang memiliki harapan yang besar, memiliki kepastian, bahwa keputusan yang diambil adalah tepat, maka taraf stres lebih rendah dibandingkan dengan jika tidak pasti bahwa kepusannya adalah paling tepat.Jumlah dari stres yang terlibat dalam proses penganbilan keputusan dapat diungkapkan sebagai berikut: Stres pengambilan keputusan = kepentingan + kemajemukan + kurang informasi + tanggung jawab + kurang waktu + kurang kepercayaan. Paparan terhadap risiko dan bahaya: Risiko dan bahaya digandengkan dengan jembatan tertentu merupakan sumber dari stress. Kelompok-kelompok jabatan yang dianggap memiliki risiko tinggi, dalam arti kata secara fisikal berbahaya, antara lain polusi, pekerjaan tambang, tentara, pegawai dilembaga pemasyarakatan, pegawaai mobil kebakaran, pekerja pada eksplorsi gas dan minyak, dan pada instalasi produksi.
J.
CARA MENGENDALIKAN DAN MENGATASI STRESS Beberapa cara menghindari stress:
1. ·
Saat di rumah : Mencari waktu santai di rumah.
Begitu sampai di rumah mungkin sudah di sambut oleh masalah-masalah keluarga dan tugas-tugas rutin yang harus dilakukan. Sering kali itu semua menambah stress yang sudah di bawa dari tempat kerja. Begitu sampai di rumah ambilah waktu untuk bersantai sejenak.Biarkan keluarga tahu bahwa kita membutuhkan waktu istirahat dengan berada sendirian. Pilihlah salah satu dari banyak cara yang telah kita bahas sebelumnya dan gunakan cara tersebut untuk menurunkan stress dan mengisi ulang tenaga. Maka kita akan mampu untuk mengatasi masalah rumah tangga dengan baik. Luangkan waktu kedua untuk meredakan stress persis sebelum hendak tidur. ·
Tidur yang Cukup
Hampir semua penelitian menunjukkan bahwa kita butuh tujuh sampai delapan jam tidur di malam hari agar bisa berfungsi secara prima. Tidur membuat kita santai dan mendapatkan tenaga kembali, serta membantu perlawanan terhadap stress.Jika kita hendak tidur dengan nyenyak. Makan besar harus di lakukan paling tidak tiga jam sebelum kita tidur jika kita ingin bisa tidur sepanjang malam. Menyantap banyak makanan di larut malam akan membuat stress system pencernaan. Hindari tidur di siang hari kecuali dalam waktu yang amat singkat. Tidur disiang hari hanya akan membuat kita sulit untuk tidur dimalam harinya. Jika harus tidur siang, lebih dari 30 menit dapat memberikan dampak negatif terhadap siklus tidur. Hindari juga latihan fisik yang dilakukan larut malam yang terlalu berat karena aliran oksigen kedalam sel-sel tubuh akan membuat kita bersemangat kembali dalam menjadikan kita terjaga lebih lama. Tubuh kita perlu istirahat yang cukup untuk bisa pulih dari aktivitasaktivitas yang padat.Istirahat, baik itu dalam bentuk tidur siang singkat maupun tidur malam yang cukup sangatlah memberikan efek yang signifikan untuk meredakan stress yang mudah muncul. Sebaliknya, apabila
istirahat dirasakan kurang maka akan dengan mudah menjadi moody, cepat marah dan stress. Akibatnya sudah bisa ditebak: produktivitas dan kualitas kerja yang tidak optimal, sehingga mempengaruhi karir, cita-cita, dan hubungan dengan orang lain. ·
Pelajari dan Kuasai Tehnik Mengatur Waktu
Stress seringkali terjadi karena kita selalu dikejar oleh waktu, hasilnya adalah rasa panik dan cenderung tidak sabar. Dengan belajar mengatur waktu, maka kita akan dengan mudah meredakan potensi munculnya stress, karena pikiran kita lebih tenang dalam menghadapi tugas-tugas. Hasil dari tugas yang dikerjakan pun menjadi lebih optimal.Milikilah agenda, atau setidaknya gunakanlah diary atau organizer yang ada dalam HP. ·
Berolahragalah Secara Teratur
Aktivitas olahraga adalah salah satu pereda stress paling ampuh. Pada dasarnya stress terbentuk karena ketidakberdayaan kita dalam menghadapi, menguasai maupun memecahkan masalah yang ada. Aktivitas olahraga seperti latihan aerobik, latihan beban maupun aktivitas olahraga lainnya, adalah cara terbaik untuk memutarbalikkan ketidakberdayaan tersebut menjadi perasaan memegang kendali penuh atas tubuh dan pikiran kita. Aktivitas olahraga juga menimbulkan rasa puas atas keberhasilan kita mengalahkan diri kita sendiri.Rasa puas ini adalah hasil dari produksi hormon endorfin sesudah latihan. Hormon tersebut adalah hormon yang sama yang diproduksi oleh tubuh apabila merasakan sensasi kenikmatan / kepuasan yang sangat tinggi. Efek langsungnya adalah perasaan terhadap diri sendiri yang lebih baik (greater sense of well-being) dan relaksasi dari otot-otot dan syaraf tubuh yang tegang.
·
Banyak tersenyum
Semakin sering kita tersenyum semakin berbahagia. Sebuah senyuman juga membuat orang lain kembali tersenyum. Usahakan tersenyum ketika kita sedang marahwalaupun terdengar tidak masuk akal tetapi tersenyum akan mengendorkan otot-otot wajah.
·
Menata rumah
Salah satu unsur yang menyebabkan bertambahnya stress dalam hidup kita adalah menumpuknya tugas rumah tangga.Jangan menunda-nunda dan mulailah menata rumah.Buatlah komitmen waktu untuk membenahi lemari dan laci-laci serta menyingkirkan barang-barang lama dan sudah tidak terpakai lagi atau menyumbangkannya. Kerjakan mulai dari yang paling berantakan. 2. ·
Saat di Tempat Kerja: Mencari waktu santai di tempat kerja
Jika menghabiskan tiap menit dari hari kita dengan bekerja tanpa pernah mengambil waktu istirahat, pada akhirnya akan merasa kecapaian dan keletihan mental. Pastikan bahwa kita memanfaatkan semua waktu istirahat yang disediakan.Bangunlah dari tempat duduk, jalan berkeliling dan biarkan darah mengalir.Yang paling baik jangan menyantap makan siang sambil tetap melakukan pekerjaan.Regangkanlah otot-otot dengan pergantian
suasana dapat menciptakan keajaiban dengan menemukan sesuatu yang menggembirakan atau lucu untuk dibicarakan. ·
Menghindari Politik Kantor
Manusia adalah makhluk berpolitik dan tempat kerja adalah arena politik. Pilih-pilih teman dan pengelompokan terjadi dan konflik sering kali timbul akibat keberpihakan yang berbeda satu sama lain. Persaingan dan perebutan posisi serta kekuasaan adalah hal yang wajar dan hal tersebut dapat menimbulkan sisi terburuk dalam diri seseorang.Ketidaksetujuan dan perselisihan kecil sering kali dapat meningkatkan menjadi konflik besar.Jauhilah sedapat mungkin pergumulan semacam itu. Hal ini tidaklah sebanding dengan stress yang diakibatkannya. Ketahuilah kapan saatnya untuk diam saja atau mengambil tindakan yang akan melindungi pekerjaan kita. Jika kita tidak dapat menghindari situasi-situasi seperti ini gunakanlah cara-cara berpolitik yang positif, bertindaklah dengan berani tapi disertai kebijaksanaan dan budi pekerti. ·
Menghindari gosip kantor
Setiap tempat kerja memiliki bentuk komunikasi terselubung yang dapat menyebarkan informasi, gossip, dan sindiran.Kadang-kadang informasinya benar tapi masalahnya terletak pada kenyataan bahwa kita sering kali tidak tahu apakah itu realitas atau sekedar cerita. Ketika komunikasi yang resmi tidak ada, penyebaran informasi dari mulut ke mulutlah yang akan mengisi kekosongan tersebut, sering kali dengan informasi yang tidak benar atau negatif. Orang-orang akan menambah informasi, terutama jika mereka mimiliki kepentingan sendiri. Berita miring cenderung menyebar lebih cepat dan sering kali menjadi lebih buruk daripada kenyataan sebenarnya, menimbulkan rasa takut,marah, dan stress.
·
Menjadi Anggota Perkumpulan
Berada di tengah-tengah orang lain benar-benar dapat mengalihkan pikiran dari kesusahaan diri sendiri. Memberi waktu untuk memusatkan perhatian pada orang lain dan sekaligus menurunkan stress kita. Jika tidak terlibat dalam perkumpulan mana pun , temukan yang cocok dengan kita. ·
Bangunlah Sikap dan Pola Pikir Yang Positif
Bersikap positif dan optimis akan sangat membantu kita dalam mengusir rasa was-was yang sebenarnya tidak kita perlukan. Pola pikir yang positif juga akan lebih mudah membuat kita berinteraksi dengan banyak orang. Pancaran energi positif dari dalam diri kita juga sebenarnya pasti akan dirasakan oleh orang lain. Dengan menjadi orang yang berpikiran, bertuturkata, dan berperilaku positif, tentunya kita akan menerima hal-hal positif pula. ·
Tidak membawa pulang kerjaan
Di rumah adalah waktunya anda menjalankan hidup sosial, sehingga anda wajib menghindari lembur di rumah membawa pekerjaan, apalagi melibatkan anggota keluarga untuk membantu menyelesaikan tugas-tugas dari kantor. Hal ini bisa berujung pada masalah hubungan sosial dengan isteri/suami, anak, orangtua, tetangga, dan lain sebagainya. ·
Akrab dengan rekan, atasan dan bawahan kekeluargaan
Jika teman-teman dan atasan di kantor sudah anda anggap seperti keluarga sendiri, maka anda bekerja bisa jadi nyaman serta akan saling membantu dan mendukung jika mengalami kendala-kendala dalam bekerja. Usahakan hubungan anda dengan bos atau atasan anda akrab dan tidak saling jaim
(jaga image) seperti teman atau orang tua, namun anda tetap hormat kepadanya dan menghormati ketika dia marah. ·
Bekerja untuk ibadah bukan uang semata
Jangan lupa menjalankan ibadah anda selama menjalankan berbagai tugas kantor seperti solat wajib, salat sunat, puasa wajib, puasa sunah, dan lainlain. Jika anda bekerja ikhlas demi Allah dan tidak banyak mengharap imbalan yang besar, maka anda bekerja akan tenang, nyaman, damai, tentram dan tanpa beban. ·
Selalu cari cara untuk mempermudah pekerjaan
Selalu pikirkan cara dan metode baru yang dapat membuat pekerjaan yang tadinya butuh waktu lama jadi sebentar. Coba pelajari teknologi-teknologi baru, fitur/rumus office baru, ikut seminar, coba-coba trial eror, tanya ke senior atau pakar, dan lain-lain. ·
Mencari peluang kerja lebih enak
Mungkin bisa saja posisi anda saat ini di kantor tidak sesuai dengan yang anda inginkan secara horisontal. Misalnya anda suka kerja di lapangan namun anda ditempatkan perusahaan di balik layar komputer terus-menerus sepanjang hari.Cobalah utarakan unek-unek anda masalah penempatan dengan bagian hrd, mungkin mereka bisa membantu.Bisa juga tunjukkan saja kemampuan dan dedikasi anda pada perusahaan karena bisa jadi jika ada posisi kosong, anda bisa dipertimbangkan perusahaan untuk naik mengisi jabatan itu. ·
Tidak menggantungkan hidup pada pekerjaan
Jika kondisi perusahaan sedang gonjang-ganjing, maka anda bisa ikut sport jantung karena berhubungan dengan kelangsungan hidup anda dan keluarga anda. Tetapi jika anda punya bisnis lain maka anda bisa tenang walaupun kantor anda mau pailit dan bubar jalan. Di saat senggang pikirkanlah kirakira peluang dan usaha apa yang bisa anda jalankan sesuai dengan modal yang anda miliki. Jangan takut untuk mencoba jika usaha sampingan yang anda jalani belum berhasil alias gagal. ·
Isi waktu istirahat/luang dengan yang berguna/bermanfaat
Pada saat jam istirahat jangan dihabiskan untuk hal-hal yang tidak penting seperti main game sendirian, nongkrong di warteg, kerja terus, aktivitas pemerah tenaga, dan lain-lain. Isi waktu senggang di kantor dengan hal-hal yang bisa mendukung pekerjaan anda seperti tidur siang sebentar, makanmakan dengan teman sekerja, nbobrol dengan banyak teman, cuci mata, jalan-jalan, merintis bisnis sampingan, dan masih banyak aktivitas berguna lainnya. ·
Mengatasi konflik dengan kepala dingin serta musyawarah
Konflik di kantor adalah hal yang biasa baik terjadi antara karyawan dengan karyawan maupun antara karyawan dengan perusahaan. Untuk itulah jika anda sedang berada dalam konflik, anda harus sesegera mungkin menyelesaikannya dengan win win solution tanpa kekerasan secara musyawarah. Jika ada masalah selesaikanlah dengan tenang tanpa emosi agar penyelesaian berjalan tanpa memunculkan masalah baru. ·
Bawa barang-barang yang anda sukai atau menghibur
Tidak ada salahnya anda membawa bingkai foto keluarga, boneka kesayangan, pajangan-pajangan unik, aksesoris lucu-lucu, atk yang unikunik, majalah hobi, makanan ringan kesukaan anda, dan lain-lain. Buat senyaman mungkin dengan menyeting tempat kerja atau ruang kerja anda sesuai dengan apa yang anda mau, tetapi tetap wajar tidak nyeleneh. Jika segala macam upaya telah anda lakukan namun ternyata tidak ada perubahan yang berarti di saat anda tertekan, maka ada baiknya untuk mulai melirik pekerjaan lain yang sesuai dengan bakat dan minat anda. Siapa tahu dengan pindah kerja di tempat yang baru bisa membuat anda bahagia lahir dan batin. Ø CARA MENGATASI STRES: v Psikoterapi. Psikoterapi adalah upaya intervensi oleh psikoterapis terlatih agar kliennya bisa mengatasi persoalannya. Pada dasrnya metode psikoterapi adalah wawancara tatap muka perorangan, tetapi dalam praktik banyak variasi teknik psikoterapi teragntung pada teori yang mendasarinya dan jenis masalah yang sering dihadapi klien. Tujuan psikoterapi adalah untuk mengembalikan keadaan kejiwaan klien yang terganggu (mulai dari masalah ringan sampai gangguan mental berat) agar bisa berfungsi kembali dengan optimal sehingga klien tersebut merasa bisa merasa dirinya lebih sehat mental. Berdasarkan teori dan teknik yang diterapkan ada beberapa jenis psikoterapi: 1.
Psikoanalisis.
Teknik ini diperkenalkan oleh Sigmund Freud.Sesuai dengan teorinya, Freud mencoba menjelajahi alam ketidaksadaran pasiennya melalui wawancara yang dinamakannya asosiasi bebas sampai pasien menemukan sumber masalahnya yang biasanya terdapat dalam alam ketidaksadaran itu.Pasien harus berbaring di sofa dan psikoterapis duduk di belakangnya sambil member pertanyaan – pertanyaan dan mencatat.Gunanya adalah agar pasien bisa bebas berasosiasi tidak terhambat oleh kehadiran terapis.Tahap penting dari teknik ini adalah jika terjadi katarsis yaitu pasien bisa meluapkan emosinya sehingga menimbulkan perasaan lega. Kelemahan teknik ini adalah bahwa proses penyembuhan bisa berlangsung bertahuntahun. 2.
Hypnoterapy.
Sebelum teknik psikoanalisis diperkenalkan psikeater menggunakan teknik hipnotis untuk menurunkan ambang kesadaran dan mensugesti pasien untuk sembuh. Teknik ini bisa langsung menghilangkan gejala, tetapi hanya berlangsung sesaat dan akan kambuh lagi jika pengaruh sugesti sudah hilang. Oleh karena itu sekarang dikembangkan teknik hypnoterai baru sehingga pasien / klien bisa mensugesti dirinya sendiri dan bisa sembuh total tanpa tergantung pada psikoterapis lagi.
3.
Terapi Humanistik
Disebut juga terapi client centered. Teknik yang dianjurkan oleh Carl Rogers ini beranggapan bahwa semua orang punya aspek positif dalam dirinya. Psikoterapis bertugas untuk membantu klien menelusuri semua
potensi positif dalam dirinya, agar dia bisa mengembangkan dirinya secara positif dan meninggalkan gejala-gejala gangguan mentalnya. 4.
Terapi Perilaku.
Dasar teorinya adalah teori belajar dari J.B. Watson yang menyatakan bahwa perilaku bisa ditimbulkan atau dihambat dengan memberinya reinforcement (ganjaran) yang positif (untuk mendorong) atau negative (menghambat). Teknik ini digunakan untuk mengatasi phobia.Caranya adalah mendekatkan benda yang ditakuti itu dengan hal-hal yang menyenangkan klien sehingga timbul asumsi positif antara benda yang ditakuti dengan hal yang menyenangkan dan lama kelamaan fobia bisa hilang. Kelemahan teknik ini adalah sewaktu-waktu bisa timbul kembali kalau ada trauma (peristiwa yang tidak dikehendaki) baru atau jika persoalan intinya belum terpecahkan bisa muncul dalam gejala / keluhan lain. v Berpikir Positif Optimisme dapat menangkal dampak negatif stres, ketegangan dan kecemasan telah di sistem kekebalan tubuh Anda dan kesejahteraan.Sangat penting untuk mengelilingi diri dengan orang-orang positif.Getaran negatif dari teman-teman dan rekan kerja dapat menyebar, sehingga sulit bagi Anda untuk bersantai.Lihatlah situasi tertentu berbeda. Mungkin cara Anda mencari mungkin menyebabkan tekanan yang banyak.
v Tidur
Aktivitas ini bisa dibilang efektif.Mendapatkan tidur nyenyak yang cukup memiliki dampak besar pada tingkat stres Anda.Fungsi kekebalan dan ketahanan terhadap penyakit pun bangkit. Tidur tidak hanya mengurangi tingkat pemulihan Anda.Tapi ingat, ini bsia juga meningkatkan tingkat stres dalam tubuh Anda jika kadarnya berlebih. Jadi, jangan kesiangan karena ini akan membuat Anda bertambah lesu. v Tertawa Tawa luka stres dan mempromosikan relaksasi.Itu, pada gilirannya, membantu sel-sel kekebalan tubuh berfungsi lebih baik.Temukan humor dalam hal-hal dan terlibat dalam aktivitas yang membuat Anda tertawa untuk meningkatkan fungsi kekebalan tubuh dan ketahanan terhadap penyakit. v Olahraga Latihan akan merevitalisasi tubuh dan pikiran Anda dan Anda akan siap untuk menghadapi apa pun. Olahraga teratur dan aktivitas fisik tidak hanya memperkuat sistem kekebalan tubuh, sistem kardiovaskular, jantung, otot dan tulang, tetapi juga membantu dalam manajemen stres dengan menyediakan gangguan dari situasi stres dan meningkatkan endorfin (merasa-baik tubuh kimia).Penelitian menunjukkan bahwa 20 menit setiap hari adalah semua yang diperlukan untuk pengalaman manfaat.Jadi mendapatkan beberapa memompa darah dan melepaskan beberapa endorfin. v Meditasi
Meditasi sangat bagus tidak hanya untuk menghilangkan stres, tetapi juga untuk relaksasi otot.Penelitian telah menunjukkan bahwa meditasi dapat membantu dalam menurunkan tekanan darah. Cobalah mulai sekarang renungkan untuk memanggil energi positif.Caranya mudah, cukup hanya mengambil nafas panjang dan mengosongkan pikiran Anda.Lakukan meditasi10 menit saja dan reguk manfaatnya. v Dengarkan Musik Apakah Anda terjebak dalam kemacetan lalu lintas atau bersiap untuk hari yang berat di tempat kerja, mendengarkan musik favorit Anda merupakan metode yang bagus untuk mengurangi stres dan menghilangkan kecemasan. Musik yang menenangkan dapat memiliki efek relaksasi pada gelisah, tegang pikiran.Hal ini juga dapat menurunkan tekanan darah, memperlambat pernapasan dan detak jantung. Cari tahu apa jenis musik yang bisa membantu Anda bekerja yang terbaik dan kemudian membuat koleksi musik untuk membantu Anda rileks dan merasa baik. v Minum teh hijau Teh hijau mengandung asam amino, Theanine, yang membantu dalam produksi dan pelepasan bahan kimia yang disebut Dopamin.Kedua Dopamin dan Theanine merangsang perasaan kesejahteraan di dalam tubuh.Namun, kafein dapat memperburuk respon stres, jadi hindari minuman berkafein. v Pijat
Pijat seluruh tubuh membantu untuk melepaskan ketegangan dan rasa sakit dari stres otot tegang. Jika Anda tidak pernah mengalami pijat, Anda akan kehilangan salah satu hal paling indah dalam hidup.
Cara yang tak sehat untuk mengatasi stres: Cara ini mungkin untuk sementara dapat mengurangi stres, tapi pada akhirnya menyebabkan kerusakan: ·
Merokok
·
Mabuk-mabukan
·
Terlalu banyak makan ataupun makan terlalu sedikit
·
Terlalu lama di depan TV atau Komputer
·
Menjauhkan diri dari para teman, keluarga, dan aktivitas-aktivitas
·
Mengkonsumsi obat-obatan atau narkoba untuk menenangkan diri
·
Tidur terlalu lama
·
Menunda-nunda
·
Setiap saat menghindari untuk menghadapi sebuah permasalahan
·
Mengeluarkan
stres
marah,melakukan kekerasan
anda
ke
yang
lain
(memukul,
marah-
B. Pengertian Stres Kerja Gibson mengemukakan bahwa stress kerja dikonseptualisasi dari beberapa titik pandang, yaitu stres sebagai stimulus, stress sebagai respon dan stres sebagai stimulus-respon. Stres sebagai stimulus merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada lingkungan. Definisi stimulus memandang stres sebagai suatu kekuatan yang menekan individu untuk memberikan tanggapan terhadap stresor. Pendekatan ini memandang stres sebagai konsekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu. Pendekatan stimulus-respon mendefinisikan stres sebagai konsekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu. Stres dipandang tidak sekedar sebuah stimulus atau respon, melainkan stres merupakan hasil interaksi unik antara kondisi stimulus lingkungan dan kecenderungan individu untuk memberikan tanggapan. Luthans mendefinisikan stres sebagai suatu tanggapan dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan proses psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan lingkungan, situasi atau peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan fisik seseorang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa stres kerja timbul karena tuntutan lingkungan dan tanggapan setiap individu dalam menghadapinya dapat berbeda. Masalah Stres kerja di dalam organisasi perusahaan menjadi gejala yang penting diamati sejak mulai timbulnya tuntutan untuk efisien di dalam pekerjaan. Akibat adanya stres kerja tersebut yaitu orang menjadi nervous, merasakan kecemasan yang kronis, peningkatan ketegangan pada emosi, proses berfikir dan kondisi fisik individu. Selain itu, sebagai hasil dari adanya stres kerja karyawan mengalami beberapa gejala stres yang dapat mengancam dan mengganggu pelaksanaan kerja mereka, seperti: mudah marah dan agresi, tidak dapat relaks, emosi yang tidak stabil, sikap tidak mau bekerja sama, perasaan tidak mampu terlibat, dan kesulitan dalam masalah tidur. Sedangkan gejala stres di tempat kerja, yaitu meliputi: 1. Kepuasan kerja rendah
2. Kinerja yang menurun 3. Semangat dan energi menjadi hilang 4. Komunikasi tidak lancar 5. Pengambilan keputusan jelek 6. Kreatifitas dan inovasi kurang 7. Bergulat pada tugas-tugas yang tidak produktif.
Semua yang disebutkan di atas perlu dilihat dalam hubungannya dengan kualitas kerja dan interaksi normal individu sebelumnya. Di kalangan para pakar sampai saat ini belum terdapat kata sepakat dan kesamaan persepsi tentang batasan stres. Mendefinisikan stres sebagai reaksi-reaksi emosional dan psikologis yang teradi pada situasi dimana tujuan individu mendapat halangan dan tidak bisa mengatasinya. Aamod memandangnya sebagai respon adaptif yang merupakan karakteristik individual dan konsekuensi dan tindakan ekstcrnal, situasi atau peristiwa yang terjadi baik secara fisik maupun psikologis. Berbeda dengan pakar di atas memahaminya sebagai ketidakseimbangan keinginan dan kemampuan memenuhinya sehingga menimbulkan konsekuensi pcnting bagi dirinya. Robbins memberikan definisi stres sebagai suatu kondisi dinamis di mana individu dihadapkan pada kesempatan, hambatan dan keinginan dan hasil yang diperoleh sangatlah penling tetapi tidak dapat dipastikan. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terjadinya stres kerja adalah dikarenakan adanya ketidakseimbangan antara karakteristik kepribadian karyawan dengan karakteristik aspek-aspek pekerjaannya dan dapat terjadi pada semua kondisi pekerjaan. Adanya beberapa atribut tertentu dapat rnempengaruhi daya tahan stres seorang karyawan. C. Faktor-faktor Penyebab Stres Kerja Terdapat dua faktor penyebab atau sumber munculnya stres atau stres kerja, yaitu faktor lingkungan kerja dan faktor personal. Faktor lingkungan kerja dapat berupa kondisi fisik, manajemen kantor maupun hubungan sosial di
lingkungan pekerjaan. Sedang faktor personal bisa berupa tipe kepribadian, peristiwa/pengalaman pribadi maupun kondisi sosial-ekonomi keluarga di mana pribadi berada dan mengembangkan diri. Betapapun faktor kedua tidak secara langsung berhubungan dengan kondisi pekerjaan, namun karena dampak yang ditimbulkan pekerjaan cukup besar, maka faktor pribadi ditcmpatkan sebagai sumber atau penyebab munculnya stres. Secara umum dikelompokkan sebagai berikut :
1. Tidak adanya dukungan sosial. Artinya, stres akan cendcrung muncul pada para karyawan yang tidak mendapat dukungan dari lingkungan sosial mereka. Dukungan sosial di sini bisa berupa dukungan dari lingkungan pekerjaan maupun lingkungan keluarga. Banyak kasus menunjukkan bahwa, para karyawan yang mengalami stres kerja adalah mercka yang tidak mendapat dukungan (khususnya moril) dari keluarga, seperti orang tua, mertua, anak, teman dan semacamnya. Begitu juga ketika seseorang tidak memperoleh dukungan dari rekan sekerjanya (baik pimpinan maupun bawahan) akan cenderung lebih mudah terkena sires. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya dukungan social yang menyebabkan ketidaknyamanan menjalankan pekerjaan dan tugasnya. 2. Tidak adanya kesempatan bcrpartisipasi dalam pembuatan keputusan di kantor. Hal ini berkaitan dengan hak dan kewenangan seseorang dalam menjalankan tugas dan pekerjaannya. Banyak orang mengalami stres kerja ketika mereka tidak dapat memutuskan persoalan yang menjadi tanggung jawab dan kewcnangannya. Stres kerja juga bisa terjadi ketika seorang karyawan tidak dilibatkan dalam pembuatan keputusan yang menyangkut dirinya. 3. Pelecehan seksual. Yakni, kontak atau komunikasi yang berhubungan atau dikonotasikan berkaitan dengan seks yang tidak diinginkan. Pelecehan seksual ini bisa dimulai dart yang paling kasar seperti memegang bagian badan yang sensitif,
mengajak kencan dan semacamnya sampai yang paling halus berupa rayuan, pujian bahkan senyuman yang tidak pada konteksnya. Dari banyak kasus pelecehan seksual yang sering menyebabkan stres kerja adalah perlakuan kasar atau penganiayaan fisik dari lawan jenis dan janji promosi jabatan namun tak kunjung terwujud hanya karena wanita. Stres akibat pelecehan seksual banyak terjadi pada negara yang tingkat kesadaran warga (khususnya wanita) terhadap persamaan jenis kclamin cukup tinggi, namun tidak ada undang-undang yang melindungmya. 4. Kondisi lingkungan kerja. Kondisi lingkungan kerja fisik ini bisa berupa suhu yang terlalu panas, terlalu dingin, tcrlalu sesak, kurang cahaya, dan semacamnya. Ruangan yang terlalu panas menyebabkan ketidaknyamanan seseorang dalam menjalankan pekerjaannya, begitu juga ruangan yang terlalu dingin. Panas tidak hanya dalam pengertian temperatur udara tetapi juga sirkulasi atau arus udara. Di samping itu, kebisingan juga memberi andil tidak kecil munculnya stres kerja, sebab beberapa orang sangat sensitif pada kebisingan dibanding yang lain. 5. Manajemen yang tidak sehat. Banyak orang yang stres dalam pekerjaan ketika gaya kepemimpinan para manajernya cenderung neurotis, yakni seorang pemimpin yang sangat sensitif, tidak percaya orang lain (khususnya bawahan), perfeksionis, terlalu mendramatisir suasana hati atau peristiwa sehingga mempengaruhi pembuatan keputusan di tempat kerja. Situasi kerja atasan selalu mencurigai bawahan, membesarkan peristiwa/kejadian yang semestinya sepele dan semacamnya, seseorang akan tidak leluasa menjalankan pekerjaannya, yang pada akhirnya akan menimbulkan. 6. Tipe kepribadian. Seseorang dengan kcpribadian tipe A cenderung mengalami sires dibanding kepribadian tipe B. Beberapa ciri kepribadian tipe A ini adalah sering merasa diburu-buru dalam menjalankan pekerjaannya, tidak sabaran, konsentrasi pada lebih dan satu pekerjaan pada waktu yang sama, cenderung
tidak puas terhadap hidup (apa yang diraihnya), cenderung berkompetisi dengan orang lain meskipun dalam situasi atau peristiwa yang non kompetitif. Dengan begitu, bagi pihak perusahaan akan selalu mengalami dilema kctika mengambil pegawai dengan kepribadian tipe A. Sebab, di satu sisi akan memperoleh hasil yang bagus dan pekerjaan mereka, namun di sisi lain perusahaan akan mendapatkan pegawai yang mendapat resiko serangan/sakit. 7. Peristiwa/pengalaman pribadi. Stres kerja sering disebabkan pengalaman pribadi yang menyakitkan, kematian pasangan, perceraian, sekolah, anak sakit atau gagal sekolah, kehamilan tidak diinginkan, peristiwa traumatis atau menghadapi masalah (pelanggaran) hukum. Banyak kasus menunjukkan bahwa tingkat stress paling tinggi terjadi pada seseorang yang ditinggal mati pasangannya, sementara yang paling rendah disebabkan oleh perpindahan tempat tinggal. Disamping itu, ketidakmampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari, kesepian, perasaan tidak aman, juga termasuk kategori ini.
Menurut Davis dan Newstrom stres kerja disebabkan: 1) Adanya tugas yang terlalu banyak. Banyaknya tugas tidak selalu menjadi penyebab stres, akan menjadi sumber stres bila banyaknya tugas tidak sebanding dengan kemampuan baik fisik maupun keahlian dan waktu yang tersedia bagi karyawan. 2) Supervisor yang kurang pandai. Seorang karyawan dalam menjalankan tugas sehari-harinya biasanya di hawah bimbingan sekaligus mempertanggung jawabkan kepada supervisor. Jika seorang supervisor pandai dan menguasai tugas bawahan, ia akan membimbing dan memberi pengarahan atau instruksi secara baik dan benar. 3) Terbatasnya waktu dalam mengerjakan pekerjaan. Karyawan biasanya mempunyai kemampuan normal menyelesaikan tugas kantor/perusahaan yang dibebankan kepadanya. Kemampuan bcrkaitan
dengan keahlian, pcngalaman, dan waktu yang dimiliki. Dalam kondisi tertentu, pihak atasan seringkali memberikan tugas dengan waktu yang terbatas. Akibatnya, karyawan dikejar waktu untuk menyelesaikan tugas sesuai tepat waktu yang ditetapkan atasan. 4) Kurang mendapat tanggungjawab yang memadai. Faktor ini berkaitan dengan hak dan kewajiban karyawan. Atasan sering memberikan tugas kepada bawahannya tanpa diikuti kewenangan (hak) yang memadai. Sehingga, jika harus mengambil keputusan harus berkonsultasi, kadang menyerahkan sepenuhnya pada atasan.
5) Ambiguitas peran .Agar menghasilkan performan yang baik, karyawan perlu mengetahui tujuan dari pekerjaan, apa yang diharapkan untuk dikerjakan serta scope dan tanggungjawab dari pekerjaan mereka. Saat tidak ada kepastian tentang definisi kerja dan apa yang diharapkan dari pekerjaannya akan timbul ambiguitas peran. 6) Perbedaan nilai dengan perusahaan. Situasi ini biasanya terjadi pada para karyawan atau manajer yang mempunyai prinsip yang berkaitan dengan profesi yang digeluti maupun prinsip kemanusiaan yang dijunjung tinggi (altruisme). 7) Frustrasi. Dalam lingkungan kerja, perasaan frustrasi memang bisa disebabkan banyak faktor. Faktor yang diduga berkaitan dengan frustrasi kerja adalah terhambatnya promosi, ketidakjelasan tugas dan wewenang serta penilaian/evaluasi staf, ketidakpuasan gaji yang diterima. 8) Perubahan tipe pekerjaan, khususnya jika hal terscbul tidak umum. Situasi ini bisa timbul akibat mutasi yang tidak sesuai dengan keahlian dan jenjang karir yang di lalui atau mutasi pada perusahaan lain, meskipun
dalam satu grup namun lokasinya dan status jabatan serta status perusahaannya berada di bawah perusahaan pertama. 9) Konflik peran. Terdapat dua tipe umum konflik peran yaitu (a) konflik peran intersender, dimana pegawai berhadapan dengan harapan organisasi terhadapnya yang tidak konsisten dan tidak sesuai; (b) konflik peran intrasender, konflik peran ini kebanyakan terjadi pada karyawan atau manajer yang menduduki jabatan di dua struktur. Akibatnya, jika masing-masing struktur memprioritaskan pekerjaan yang tidak sama, akan berdampak pada karyawan atau manajer yang berada pada posisi dibawahnya, terutama jika mereka harus memilih salah satu alternative. Sumber stres yang menyebabkan seseorang tidak berfungsi optimal atau yang menyebabkan seseorang jatuh sakit, tidak saja datang dari satu macam pembangkit tetapi dari beberapa pembangkit stres. Sebagian besar dari waktu manusia bekerja. Karena itu lingkungan pekerjaan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kesehatan seseorang yang bekerja. Pembangkit stres di pekerjaan merupakan pembangkit stres yang besar perannya terhadap kurang berfungsinya atau jatuh sakitnya seseorang tenaga kerja yang bekerja. Faktor-faktor di pekerjaan yang berdasarkan penelitian dapat menimbulkan stres dapat dikelompokkan kedalam lima kategori besar yaitu faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan, peran dalam organisasi, pengembangan karir, hubungan dalam pekerjaan, serta struktur dan iklim organisasi Hurrel: 1. Faktor-faktor Intrinsik dalam Pekerjaan Termasuk dalam kategori ini ialah tuntutan fisik dan tuntutan tugas. Tuntutan fisik misalnya faktor kebisingan. Sedangkan faktor-faktor tugas mencakup: kerja malam, beban kerja, dan penghayatan dari resiko dan bahaya. a. Tuntutan fisik : kondisi fisik kerja mempunyai pengaruh terhadap faal dan psikologis diri seorang tenaga kerja. Kondisi fisik dapat merupakan pembangkit stres (stressor). Suara bising selain dapat menimbulkan gangguan sementara atau tetap pada alat pendengaran kita, juga dapat
merupakan sumber stres yang menyebabkan peningkatan dari kesiagaan dan ketidakseimbangan psikologis kita. Kondisi demikian memudahkan timbulnya kecelakaan. Misalnya tidak mendengar suara-suara peringatan sehingga timbul kecelakaan. Ivancevich & Matteson bependapat bahwa bising yang berlebih (sekitar 80 desibel) yang berulangkali didengar, untuk jangka waktu yang lama, dapat menimbulkan stres. Dampak psikologis dari bising yang berlebih ialah mengurangi toleransi dari tenaga kerja lerhadap pembangkit stress yang lain, dan menurunkan motivasi kerja. Bising oleh para pekerja pabrik dinilai sebagai pembangkit stres yang membahayakan. b. Tuntutan tugas : penelitian menunjukkan bahwa shift/kerja malam merupakan sumber utama dan stres bagi para pekerja pabri. Para pekerja shift malam lebih sering mengeluh tentang kelelahan dan gangguan perut daripada para pekerja pagi/siang dan dampak dari kerja shift terhadap kebiasaan makan yang mungkin menyebabkan gangguangangguan perut. Beban kerja berlebih dan beban kerja terlalu sedikit merupakan pembangkit stres. Beban kerja dapat dibedakan lebih lanjut ke dalam beban kerja berlebih/terlalu sedikit "kuantitatif', yang timbul sebagai akibat dari tugastugas yang terlalu banyak/sedikit diberikan kepada tenaga kerja untuk diselesaikan dalam waktu tertentu, dan beban kerja berlebih/terlalu sedikit "kualitatif, yaitu jika orang merasa tidak mampu untuk melakukan suatu tugas, atau tugas tidak menggunakan ketrampilan dan/atau potensi dari tenaga kerja. Disamping itu beban kerja berlebih kuantitatif dan kualitatif dapat menimbulkan kebutuhan untuk bekerja selama jumlah jam yang sangat banyak, yang merupakan sumber tambahan dari stres. Everly & Girdano menambahkan kategori lain dari beban kerja, yaitu kombinasi dari beban kerja berlebih kuantitatif dan kualitatif. Beban berlebih secara fisikal ataupun mental, yaitu harus melakukan terlalu banyak hal, merupakan kemungkinan sumber stress pekerjaan. Unsur yang menimbulkan beban berlebih kuantitatif ialah desakan waktu, yaitu setiap tugas diharapkan dapat diselesaikan secepat mungkin secara tepat dan cermat Pada saatsaat tertentu, dalam hat tertentu waktu akhir (dead line) justru dapat meningkatkan motivasi dan menghasilkan prestasi kerja yang tinggi. Namun, bila desakan waktu menyebabkan timbulnya banyak
kesalahan atau menyebabkan kondisi kesehatan seseorang berkurang, maka ini merupakan cerminan adanya beban berlebih kuantitatif. Beban kerja terlalu sedikit kuantitatif juga dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Pada pekerjaan yang sederhana, dimana banyak terjadi pengulangan gerak akan timbul rasa bosan, rasa monoton. Kebosanan dalam kerja rutin sehari-hari, sebagai hasil dari terlampau sedikitnya tugas yang harus dilakukan, dapat menghasilkan berkurangnya perhatian. Hal ini, secara potensial membahayakan jika tenaga kerja gagal untuk bertindak tepat dalam keadaan darurat. Beban berlebihan kualitatif merupakan pckerjaan yang dilakukan oleh manusia makin beralih titik beratnya pada pekerjaan otak. Pekerjaan makin menjadi majemuk. Kemajemukan pekerjaan yang harus dilakukan seorang tenaga kerja dapat denganmudah berkembang menjadi beban berlebihan kualitatif jika kemajemukannya mcmerlukan kemampuan teknikal dan intelektual yang lebih tinggi daripada yang dimiliki. Pada titik tertentu kemajemukan pekerjaan tidak lagi produktif, tetapi menjadi destruktif. Pada titik tersebut kita telah melewati kemampuan kita untuk memecahkan masalah dan menalar dengan cara yang konstruktif. Timbullah kelelahan mental dan reaksi-reaksi emosional dan fisik. Penelitian menunjukkan bahwa kelelahan mental, sakit kepala, dan gangguan-gangguan pada perut merupakan hasil dari kondisi kronis dari beban berlebih kualitatif. Beban terlalu sedikit kualitatif merupakan keadaan dimana tenaga kerja tidak diberi peluang untuk menggunakan ketrampilan yang diperolehnya, atau untuk mengembangkan kecakapan potensialnya secara pemih. Beban terlalu sedikit disebabkan kurang adanya rangsangan akan mengarah ke semangat dan motivasi yang rendah untuk kerja. Tenaga kerja akan merasa bahwa ia "tidak maju-maju", dan merasa tidak berdaya untuk memperlihatkan bakat dan ketrampil. 2. Peran Individu dalam Organisasi Setiap tenaga kerja bekerja sesuai dengan perannya dalam organisasi, artinya setiap tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang ada dan sesuai dengan yang diharapkan
oleh atasannya. Namun demikian tenaga kerja tidak selalu berhasil untuk memainkan perannya tanpa menimbulkan masaiah. Kurang baik berfungsinya peran, yang merupakan pembangkit stres yaitu meiiputi: konflik peran dan keterpaksaan peran (role ambiguity). a. Konflik peran : konflik peran timbul jika seorang tenaga kerja mengalami adanya: • Pertentangan antara tugas-tugas yang harus ia lakukan dan antara tanggung jawab yang ia miliki. • Tugas-tugas yang harus ia lakukan yang menurut pandangannya bukan merupakan bagian dari pekerjaannya. • Tuntutan-tunlutan yang bertentangan dari atasan, rekan, bawahannya, atau orang lain yang dinilai penting bagi dirinya. • Pertentangan dengan nilai-nilai dan keyakinan pribadinya sewaktu melakukan tugas pekerjaannya. b. Keterpaksaan peran : jika seorang pekerja tidak memiliki cukup informasi untuk dapat melaksanakan tugasnya, atau tidak mengerti atau merealisasi harapan-harapan yang berkaitan dengan peran lertentu. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan keterpaksaan meliputi: Ketidakjelasan dari saran-saran (tujuan-tujuan) kerja. • Kesamaran tentang tanggung jawab. • Ketidakjelasan tentang prosedur kerja. • Kesamaran tentang apa yang diharapkan oleh orang lain. • Kurang adanya balikan, atau ketidakpastian tentang produktifitas kerja. Menurut Kahn, dkk, stres yang timbul karena ketidakjelasan sasaran akhirnya mengarah ketidakpuasan pekerjaan, kurang memiliki kepercayaan diri, rasa tak berguna, rasa harga diri menurun, depresi, motivasi rendah untuk bekerja, peningkatan tekanan darah dan delak nadi, dan kecenderungan untuk meninggaikan pekerjaan. 3. Pengembangan Karir Unsur-unsur penting pengembangan karir meliputi:
• Peluang untuk menggunakan ketrampilan jabatan sepenuhnya • Peluang mengembangkan kctrampilan yang baru • Penyuluhan karir untuk memudahkan keputusan-keputusan yang menyangkut karir. Pengembangan karir merupakan pembangkit stres potensial yang mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih, dan promosi yang kurang. a. Job Insecurity : perubahan-perubahan lingkungan menimbulkan masalah baru yang dapat mempunyai dampak pada perusahaan. Reorganisasi dirasakan perlu untuk dapat mcnghadapi perubahan lingkungan dengan lebih baik. Sebagai akibatnya ialah adanya pekerjaan lama yang hilang dan adanya pekerjaan yang baru. Dapat terjadi bahwa pckerjaan yang baru memerlukan ketrampilan yang baru. Setiap reorganisasi menimbulkan ketidakpastian pekerjaan, yang merupakan sumber stres yang potensial. b. Over dan Under-promotion : setiap organisasi industri mempunyai proses pertumbuhan masing-masing. Ada yang tumbuhnya cepat dan ada yang lambat, ada pula yang tidak tumbuh atau setelah tumbuh besar mengalami penurunan, organisasi menjadi lebih kecil. Pola pertumbuhan organisasi industry berbeda-beda. Salah satu akibat dari proses pertumbuhan ini ialah tidak adanya kesinambungan dari mobilitas vertikal dari para tenaga kerjanya. Peluang dan kecepatan promosi tidak sama setiap saat. Dalam pertumbuhan organisasi yang cepat, banyak kedudukan pimpinan mcmerlukan tenaga, dalam keadaan sebaliknya, organisasi terpaksa harus mcmperkecil diri, tidak ada pcluang untuk mendapatkan promosi, malahan akan timbul kecemasan akan kehilangan pekerjaan. Peluang yang kecil untuk promosi, baik karena keadaan tidak mengizinkan maupun karena dilupakan, dapat merupakan pembangkit stres bagi tenaga kerja yang rnerasa sudah waktunya mendapatkan promosi. Perilaku yang mengganggu, semangat kerja yang rendah dan hubungan antarpribadi yang bermutu rendah, berkaitan dengan stres dari kesenjangan yang dirasakan antara kedudukannya sekarang di organisasi dengan kedudukan yang diharapkan. Sedangkan stres yang timbul karena over-promotion memberikan kondisi
beban kerja yang berlebihan serta adanya tuntutan pengetahuan dan ketrampilan yang tidak sesuai dengan bakatnya. 4. Hubungan dalam Pekerjaan Hubungan kerja yang tidak baik terungkap dalam gejala-gejala adanya kepercayaan yang rendah, dan minat yang rendah dalam pemecahan masalah dalam organisasi. Ketidakpercayaan secara positif berhubungan dengan keterpaksaan peran yang tinggi, yang mengarah ke komunikasi antar pribadi yang tidak sesuai antara pekerja dan ketegangan psikologikal dalam bcntuk kepuasan pekerjaan yang rendah, penurunan dari kodisi kesehatan, dan rasa diancam oleh atasan dan rekan-rekan kerjanya. 5. Struktur dan iklim OrganisasiFaktor stres yang dikenali dalam kategori ini adalah terpusat pada sejauh mana tenaga kerja dapat tcrlihat atau berperan serta pada support sosial. Kurangnya peran serta atau partisipasi dalam pengambilan keputusan berhubungan dengan suasana hati dan perilaku negalif. Peningkatan peluang untuk berperan serta menghasilkan peningkatan produktivitas, dan peningkatan taraf dari kesehatan mental dan fisik. 6. Tuntutan dari Luar Organisasi/Pekerjaan Kategori pembangkit stres potensial ini mencakup segala unsur kehidupan seseorang yang dapat berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa kehidupan dan kerja di dalam satu organisasi, dan dapat memberi tekanan pada individu. Isu-isu tentang keluarga, krisis kehidupan, kesulitan keuangan, keyakinankeyakinan pribadi dan organisasi yang bertentangan, konflik antara tuntutan keluarga dan tuntutan perusahaan, semuanya dapat merupakan tekanan pada individu dalam pekerjaannya, sebagaimana halnya stres dalam pekerjaan mempunyai dampak yang negatif pada kehidupan keluarga dan pribadi. 7. Ciri-ciri Individu
Menurut pandangan intcraktifdari stres, stres ditcntukan pula oleh individunya scndiri, sejauh mana ia melihat situasinya scbagai penuh stres. Reaksireaksi sejauh mana ia melihat situasinya sebagai penuh stres. Reaksireaksi psikologis, fisiologis, dan dalam bentuk perilaku terhadap stres adalah hasil dari interaksi situasi dengan individunya, mcncakup ciri-ciri kepribadian yang khusus dan pola-pola perilaku yang didasarkan pada sikap, kebutuhan, nilai-nilai, pengalaman masa lalu, kcadaan kehidupan dan kecakapan (antara lain intcligensi, pendidikan, pelatihan, pembelajaran). Dengan demikian, faktor-faktor dalam diri individu berfungsi sebagai faktor pengaruh antara rangsang dari lingkungan yang merupakan pembangkit stres potensial dengan individu. Faktor pengubah ini yang menentukan bagaimana, dalam kenyataannya, individu bereaksi terhadap pembangkit stres potensial. a. Kepribadian : mereka yang berkepribadian introvert bereaksi lebih negatif dan menderita ketegangan yang lebih besar daripada mereka yang berkepribadian extrovert, pada konflik peran. Kepribadian yang flexible (orang yang lebih lerbuka terhadap pengaruh dari orang lain sehingga lebih mudah mendapatkan beban yang berlebihan) mengalami ketegangan yang lebih besar dalam situasi konflik, dibandingkan dengan mereka yang berkepribadian rigid. b. Kecakapan : merupakan variabel yang ikut menentukan stress tidaknya suatu situasi yang sedang dihadapi, Jika seorang pekerja menghadapi masalah yang ia rasakan tidak mampu ia pecahkan, sedangkan situasi tersebut mempunyai arti yang Panting bagi dirinya, situasi tersebut akan ia rasakan sebagai situasi yang mengancam dirinya sehingga ia mengalami stres. Ketidakmampuan menghadapi situasi menimbulkan rasa tidak berdaya. Sebaliknya jika merasa mampu menghadapi situasi orang justru akan merasa ditantang dan motivasinya akan meningkat. c. Nilai dan kebutuhan : setiap organisasi mempunyai kebudayaan masingmasing. Kebudayaan yang terdiri dari keyakinan-keyakinan, nilai-nitai dan norma-norma perilaku yang menunjang organisasi dalam usahanya mengatasi masalah-masalah adaptasi ekstemal dan internal. Para tenaga
kerja diharapkan berperilaku sesuai dengan norma-norma perilaku yang diterima dalamorganisa. D. Model Stres dalam pekerjaan Faktor organisasional yang menjadi sumber atau mempengaruhi stress cukup banyak jumlahnya, Bcbcrapa diantaranya yang penting dan telah sering diteliti adalah sebagai berikut: Role ambiguity and role conflict (kekaburan peran dan konflik peran). Work Overload (kelebihan beban kerja)
Dampak Stres Kerja Pada Perusahaan Secara singkat beberapa dampak negatif yang ditimbulkan oleh stres kerja dapat berupa: 1. Terjadinya kekacauan, hambatan baik dalam manajemen maupun operasional kerja 2. Mengganggu kenormalan aktivitas kerja 3. Menurunkan tingkat produktivitas 4. Menurunkan pemasukan dan keuntungan perusahaan.
Dampak Stres Kerja Pada Karyawan Pengaruh stres kerja ada yang menguntungkan maupun merugikan bagi perusahaan. Namun pada taraf tertentu pengaruh yang menguntungkan
perusahaan diharapkan akan rnemacu karyawan untuk dapat menyelesaikan pekerjaan dengan scbaik-baiknya. Reaksi terhadap stress dapat merupakan reaksi bersifat psikis maupun fisik. Biasanya pekerja atau karyawan yang stress akan menunjukkan perubahan perilaku. Perubahan perilaku tcrjadi pada din manusia sebagai usaha mengatasi stres. Usaha mengatasi stres dapat berupa perilaku melawan stres(flight) atau freeze (berdiam diri). Dalam kehidupan sehari-hari ketiga reaksi ini biasanya dilakukan secara bergantian, tergantung situasi dan bentuk stres. Perubahan-perubahan ini di tempat kerja merupakan gejala-gejala individu yang mengalami stres antara lain: (a) bekerja melewati batas kemampuan (b) kelerlambatan masuk kerja yang sering (c) ketidakhadiran pekerjaan (d) kesulitan membuat keputusan (e) kesalahan yang sembrono (f) kelalaian menyelesaikan pekerjaan (g) lupa akan janji yang telah dibuat dan kegagalan diri sendiri (h) kesulitan berhubungan dengan orang lain (i) kerisauan tentang kesalahan yang dibuat (j) Menunjukkan gejala fisik seperti pada alat pencernaan, tekanan darah tinggi, radang kulit, radang pernafasan. Munculnya stres, baik yang disebabkan oleh sesuatu yang menyenangkan atau sesuatu yang tidak menyenangkan akan memberikan akibat tertentu
pada seseorang. Cox membagi empat jenis konsekuensi yang dapat ditimbulkan stres, yaitu: 1. Pengaruh psikologis, yang berupa kegelisahan, agresi, kelesuan, kebosanan, depresi, kelelahan, kekecewaan, kehilangan kesabaran, harga diri yang rendah. 2. Pengaruh perilaku, yang berupa peningkatan konsumsi alkohol, tidak nafsu makan atau makan berlebihan, penyalahgunaan obat-obatan, menurunnya semangat untuk berolahraga yang berakibat timbulnya beberapa penyakit. Pada saat stres juga terjadi peningkatan intensitas kecelakaan, baik di rumah, ditcmpat kerja atau di jalan. 3. Pengaruh kognitif, yaitu ketidakmampuan mengambil kcputusan, kurangnya konsentrasi, dan peka terhadap ancaman. 4. Pengaruh fisiologis, yaitu menyebabkan gangguan pada kesehatan fisik yang berupa penyakit yang sudah diderita sebelumnya, atau memicu timbulnya penyakit tertentu. E. Hubungan antara Motivasi, Kinerja, dan Stres Hubungan Motivasi, Prestasi (kinerja), dan stress. Stres yang terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat menyebabkan tingkat prestasi (kinerja) yang rendah (tidak optimum). Bagi seorang manajer (pimpinan) tekanan-tekanan yang diberikan kepada seorang karyawan haruslah dikaitkan dengan apakah stres yang ditimbulkan oleh tekanan-tekanan tersebut masih dalam keadaan wajar. Stres yang berlebihan akan menyebabkan karyawan tersebul frustrasi dan dapat menurunkan prestasinya, sebaliknya stres yang terialu rendah menyebabkan karyawan tersebut tidak bermotivasi untuk berprestasi. F. Strategi Manajemen Stres Kerja Stres dalam pekerjaan dapat dicegah timbulnya dan dapat dihadapi tanpa memperoleh dampaknya yang negatif. Manajemen stres lebih daripada sekedar mengatasinya, yakni betajar menanggulanginya secara adaplif dan
efektif. Hampir sama pentingnya untuk mengetahui apa yang tidak boleh dilakukan dan apa yang harus dicoba. Sebagian para pengidap stres di tempat kerja akibat persaingan, sering melampiaskan dengan cara bekerja lebih keras yang berlebihan. Ini bukanlah cara efektif yang bahkan tidak menghasilkan apa-apa untuk memecahkan sebab dari stres, justru akan menambah masalah lebih jauh. Sebelum masuk ke cara-cara yang lebih spesifik untuk mengatasi stressor tertentu, harus diperhitungkan beberapa pedoman umum untuk memacu perubahan dan penaggulangan. Pemahaman prinsip dasar, menjadi bagian penting agar seseorang mampu merancang solusi terhadap masalah yang muncul terutama yang berkait dengan penyebab stres dalam hubungannya di tempat kerja. Dalam hubungannyadengan tempat kerja, stres dapat timbul pada beberapa tingkat, berjajar dari ketidakmampuan bekerja dengan baik dalam peranan tertentu karena kesalahpahaman atasan atau bawahan. Atau bahkan dari sebab tidak adanya ketrampilan (khususnya ketrampilan manajemen) hingga sekedar tidak menyukai seseorang dengan siapa harus bekerja secara dekat. Supri mengatakan bahwa dari sudut pandang organisasi, manajemen mungkin tidak khawatir jika karyawannya mengalami stress yang ringan. Alasannya karena pada tingkat stres lertentu akan memberikan akibat positif, karena hal ini akan mendesak mereka untuk melakukan tugas lebih baik. Tetapi pada tingkat stres yang tinggi atau stres ringan yang berkepanjangan akan membuat menurunnya kinerja karyawan. Stres ringan mungkin akan memberikan keuntungan bagi organisasi, tetapi dari sudut pandang individu hal tersebut bukan merupakan hal yang diinginkan. Maka manajemen mungkin akan berpikir untuk menibcrikan tugas yang menyertakan stress ringan bagi karyawan untuk memberikan dorongan bagi karyawan, namun sebaliknya itu akan dirasakan sebagai tekanan oleh si pekerja. Maka diperlukan pendekatan yang tepat dalam mengelola stres, ada dua pendekatan yaitu pendekatan individu dan pendekatan organisasi. 1. Pendekatan Individual
Seorang karyawan dapat berusaha sendiri untuk mcngurangi level stresnya. Strategi yang bersifat individual yang cukup efektif yaitu; pengelolaan waktu, latihan fisik, latihan relaksasi, dan dukungan sosial. Dengan pengelolaan waktu yang baik maka seorang karyawan dapat menyelesaikan tugas dengan baik, tanpa adanya tuntutan kerja yang tergesa-gesa. Dengan latihan fisik dapat meningkatkan kondisi tubuh agar lebih prima sehingga mampu menghadapi tuntutan tugas yang berat. Selain itu untuk mengurangi stres yang dihadapi pekerja pcrlu dilakukan kegiatan-kegiatan santai. Dan sebagai stratcgi terakhir untuk mengurangi stress adalah dengan roengumpulkan sahabat, kolega, keluarga yang akan dapat memberikan dukungan dan saran-saran bagi dirinya. 2. Pendekatan Organisasional Beberapa penyebab stres adalah tuntutan dari tugas dan peran serta struktur organisasi yang scmuanya dikendalikan oleh manajemen, schingga faktorfaktor itu dapat diubah. Oleh karena itu strategi-strategi yang mungkin digunakan oleh manajemen untuk mengurangi stres karyawannya adalah melalui seleksi dan penempatan, penetapan tujuan, redesain pekerjaan, pengambilan keputusan partisipatif, komunikasi organisasional, dan program kesejahteraan. Melalui strategi tersebut akan menyebabkan karyawan memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya dan mereka bekerja untuk tujuan yang mereka inginkan serta adanya hubungan interpersonal yang sehat serta perawatan terhadap kondisi fisik dan mental. Secara umum strategi manajemen stres kerja dapat dikelompokkan mcnjadi strategi penanganan individual, organisasional dan dukungan sosial: 1. Strategi Penanganan Individual Yaitu strategi yang dikembangkan secara pribadi atau individual. Strategi individual ini bisa dilakukan dengan beberapa cara, antara lain: a. Melakukan perubahan reaksi perilaku atau perubahan reaksi kognitif.
Artinya, jika seorang karyawan merasa dirinya ada kenaikan ketegangan, para karyawan tersebut seharusnya time out terlebih dahulu. Cara time out ini bisa macam-macam, seperti istirahat sejenak namun masih dalam ruangan kerja, keluar ke ruang istirahat (jika menyediakan), pergi sebentar ke kamar kecil untuk membasuh muka air dingin atau berwudlu bagi orang Islam, dan sebagainya. b. Melakukan reiaksasi dan meditasi. Kegiatan relaksasi dan medilasi ini bisa dilakukan di rumah pada malam hari atau hari-hari libur kerja. Dengan melakukan relaksasi, karyawan dapat membangkitkan perasaan rileks dan nyaman. Dengan demikian karyawan yang melakukan relaksasi diharapkan dapat mentransfer kemampuan dalam membangkitkan perasaan rileks ke dalam perusahaan di mana mereka mengalami situasi stres. Beberapa cara meditasi yang biasa dilakukan adalah dengan menutup atau memejamkan mata, menghilangkan pikiran yang mengganggu, kemudian perlahan-lahan mengucapkan doa. c. Melakukan diet dan fitnes. Beberapa cara yang bisa ditempuh adalah mengurangi masukan atau konsumsi garam dan makanan mengandung lemak, memperbanyak konsumsi makanan yang bervitamin seperti buahbuahan dan sayur-sayuran, dan banyak melakukan olahraga, seperti lari secara rutin, tenis, bulu tangkis, dan sebagainya. 2. Strategi-strategi Penanganan Organisasional. Strategi ini didesain oleh manajemen untuk menghilangkan atau mengontrol penekan tingkat organisasional untuk mencegah atau mengurangi stres kerja untuk pekerja individual. Manajemen stres melalui organisasi dapat dilakukan dengan : a. Menciptakan iklim organisasional yang mendukung. Banyak organisasi besar saat ini cenderung memformulasi struktur birokratik yang tinggi dengan menyertakan infleksibel, iktim impersonal. Ini dapat membawa pada stress kerja yang sungguh-sungguh. Sebuah strategi pengaturan mungkin membuat struktur tebih terdesentralisasi dan organik dengan pembuatan
keputusan partisipatif dan aliran komunikasi ke atas. Perubahan struktur dan proses structural mungkin menciptakan Iklim yang lebih mendukung bagi pekerja, memberikan mcreka lebih banyak kontrol terhadap pekerjaan mereka, dan mungkin mencegah atau mengurangi stres kerja mereka. b. Memperkaya desain tugas-tugas dengan memperkaya kerja baik dengan meningkatkan faktor isi pekerjaaan (seperti tanggung jawab, pengakuan, dan kesempatan untuk pencapaian, peningkatan, dan pertumbuhan) atau dengan meningkatkan karakteristik pekerjaan pusat seperti variasi skill, identitas tugas, Signifikansi tugas, otonomi, dan timbal balik mungkin membawa pada pernyataan motivasional atau pengalaman berani, tanggung jawab, pengetahuan hasil-hasil. c. Mengurangi konflik dan mengklarifikasi peran organisasional. Konflik peran dan ketidakjelasan diidentifikasi lebih awal sebagai sebuah penekan individual utama. Ini mengacu pada manajemen untuk mengurangi konflik dan mengklarifikasi peran organisasional sehingga penyebab stress ini dapat dihilangkan atau dikurangi. Masing-masing pekerjaan mempunyai ekspektansi yang jelas dan penting atau sebuah pengertian yang ambigious dari apa yang dia kerjakan. Sebuah strategi klarifikasi peran yang spesifik memungkinkan seseorang mengambil sebuah peranan menemukan sebuah catatan ekspektansi dari masing-masing pengirim peran. Catatan ini kemudian akan dibandingkan dengan ekspektansi fokal seseorang, dan banyak perbedaan akan secara terbuka didiskusikan untuk mengklarifikasi ketidakjelasan dan negoisasikan untuk memecahkan konflik. d. Rencana dan pengembangan jalur karir dan menyediakan konseling. Secara tradisional, organisasi telah hanya menunjukkan melalui kepentingan dalam perencanaan karir dan pengembangan pekerja mercka. Individu dibiarkan untuk memutuskan gerakan dan slrategi karir sendiri. 3. Strategi Dukungan Sosial. Untuk mengurangi stres kerja, dibutuhkan dukungan sosial terutama orang yang terdekat, seperti keluarga, teman sekerja, pemimpin atau orang lain. Agar diperoleh
dukungan maksimal, dibutuhkan komunikasi yang baik pada semua pihak, sehingga dukungan sosial dapat diperoleh seperti dikatakan Landy dan Goldberger & Breznitz. Karyawan dapat mengajak berbicara orang lain tentang masalah yang dihadapi, atau setidaknya ada tempat mengadu atas keluh kesahnya. Ada empat pendekatan terhadap stres kerja, yaitu dukungan social (social support), meditasi (meditation), biofeedback, dan program kesehatan pribadi (personal wellness programs). 1. Pendekatan dukungan sosial. Pendekatan ini dilakukan melalui aktivitas yang bertujuan memberikan kepuasan sosial kepada karyawan. Misalnya: bennam game, dan bercanda. 2. Pendekatan melalui meditasi. Pendekatan ini perlu dilakukan karyawan dengan cara berkonsentrasi ke alam pikiran, mengcndorkan kerja otot, dan menenangkan emosi meditasi ini dapat dilakukan selama dua periode waktu yang masing-masing 15-20 menit. Meditasi bias dilakukan di ruangan khusus. Karyawan yang beragama Islam biasa melakukannya setelah shalat Dzuhur melalui doa dan zikir kepada Allah SWT. 3. Pendekatan melalui biofeedback. Pendekatan ini dilakukan melalui bimbingan medis. Melalui bimbingan dokter, psikiater, dan psikolog, sehingga diharapkan karyawan dapat menghilangkan stress yang dialaminya. 4. Pendekatan kesehatan pribadi. Pendekatan ini merupakan pendekatan preventif sebelum terjadinya stres. Dalam hal ini karyawan secara periode waktu yang kontinyu memeriksa kesehatan, melakukan relaksasi otot, pengaturan gizi, dan olahraga secara teratur. Mendeteksi penyebab stres dan bentuk reaksinya, maka ada tiga pola dalam mengatasi stres, yaitu pola sehat, pola harmonis, dan pola psikologi: 1. Pola sehat Pola sehat adalah pola menghadapi stres yang terbaik yaitu dengan kemampuan mengelola perilaku dan tindakan sehingga adanya stres tidak menimbulkan gangguan, akan tetapi menjadi lebih sehat dan berkembang. Mereka yang tergolong kelompok ini biasanya mampu mengelola waktu dan kesibukan dengan cara yang baik dan teratur sehingga ia tidak perlu merasa
ada sesuatu yang menekan, meskipun sebenamya tantangan dan tekanan cukup banyak. 2. Pola harmonis Pola harmonis adalah pola menghadapi stres dengan kemampuan mengelola waktu dan kegiatan secara harmonis dan tidak menimbulkan berbagai hambatan. Dengan pola ini, individu mampu mengendalikan berbagai kesibukan dan tantangan dengan cara mengatur waktu secara teratur. Individu tersebut selalu menghadapi tugas secara tepat, dan kalau perlu ia mendelegasikan tugas-tugas tertentu kepada orang lain dengan memberikan kepercayaan penuh. Dengan demikian, akan terjadi keharmonisan dan keseimbangan antara tekanan yang diterima dengan reaksi yang diberikan. Demikian juga terhadap keharmonisan antara dirinya dan lingkungan. 3. Pola patologis. Pola patologis adalah pola menghadapi stres dengan berdampak berbagai gangguan fisik maupun sosial-psikologis. Dalam pola ini, individu akan menghadapi berbagai tantangan dengan cara-cara yang tidak memiliki kemampuan dan keteraturan mengelola tugas dan waktu. Cara ini dapat menimbulkan reaksireaksi yang berbahaya karena bisa menimbulkan berbagai masalah-masalah yang buruk. Untuk menghadapi stres dengan cara sehat atau harmonis, tentu banyak hal yang dapat dikaji. Dalam menghadapi stres, dapat dilakukan dengan tiga strategi yailu: (a) memperkecil dan mengendalikan sumber-sumber stress (b) menetralkan dampak yang ditimbulkan oleh stres, dan (c) meningkatkan daya tahan pribadi. Dalam strategi pertama, perlu dilakukan penilaian terhadap situasi sumbersumber stres, mengembangkan - alternatif tindakan, mengambil tindakan yang dipandang paling tepat, mengambil tindakan yang lebih positif, memaniaatkan umpan balik dan sebagainya. Strategi kedua, dilakukan dengan mengendalikan berbagai reaksi baik jasmaniah, emosional, maupun bentuk-bentuk mekanisme pertahanan diri. Dalam membentuk mekanisme pertahanan diri dapat dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya menangis, menceritakan masalah kepada orang lain, humor (melucu), istirahat dan
sebagainya. Sedangkan dalam menghadapi reaksi emosional, adalah dengan mengendalikan emosi secara sadar, dan mcndapatkan dukungan sosial dari lingkungan. Strategi ketiga, dilakukan dengan memperkuat diri sendiri, yaitu dengan lebih memahami diri, memahami orang lain, mengembangkan ketrampilan pribadi, berolahraga secara teratur, beribadah, polapola kerja yang teralur dan disiplin, mengembangkan tujuan dan nilai-nilai yang lebih realistik.
Tolok ukur “kesadaran identitas” menjadi relevan untuk melihat, bagaimana yang politis rumuskan dan dilaksanakan untuk mengakomodasi tujuan pedagogis dan politik kekuasaan secara seimbang. Secara khusus, refleksi “kesadaran identitas” dimaksudkan mem¬beri bobot arah kebijakan strategis pendidikan dalam kerangka Visi Indonesia 2030, yaitu menciptakan masyarakat maju, sejahtera, mandiri, dan berdaya saing tinggi. “Kesadaran identitas” menunjuk pada kemampuan dan proses memahami perubahan jati diri terkait cara berpikir, kemandirian dan orientasi pribadi (aspek internal-psikologis), serta posisi, peran dan tanggung jawab sosial individu (aspek eksternal-sosiologis)3. Dalam penelitian Comaroff & Comaroff, kesadaran identitas diuraikan sebagai pemahaman atas perubahan (pe)makna(an) simbol dan praktik hubungan sosial individu. Ia mencakup proses transformasi sistem nilai, makna dan simbol material dan nonmaterial dalam bidang-bidang kehidupan manusia: ekonomi, religiositas, kekuasaan, pertanian, kelautan, keuangan, kesehatan, pakaian, makanan, arsitektur, tata rumah, hukum, hak milik dan kemandirian alam-pikir atau subjektivitas’. Dengan kesadaran identitas, perubahan moda interaksi antarindividu akibat seluruh proses transformasi dimengerti melalui kepedulian dan keterlibatan individu dalam penyelesaian persoalan bersama”. Kesadaran identitas menghindarkan kecenderungan hegemoni kultural sebagai strategi interaksi untuk mendesakkan simbol kekuasaan, pola interaksi, karakter perbedaan, imajinasi dan cara pikir sebagai apa adanya
atau mentah-mentah (taken for granted), seolah-olah itulah bentuk senyatanya realitas. Ia mengembalikan keseimbangan proses pembentukan individu pada realitas pendidikan yang mengakomodasi kepentingan politik kekuasaan dan tujuan-tujuan pedagogis. Dalam perspektif relasi individu warga dengan masyarakat/negara, kesadaran identitas membiarkan terbuka ruang refleksi dan partisipasi dalam dinamika interaksi antarindividu dan antara individu dengan masyarakat/ negara. Semakin nyata bahwa tantangan praksis pendidikan postmodern bukan pencarian pemikiran yang serba alternatif terhadap sistem, model dan kurikukun pendidikan mainstream yang ditetapkan negara, melainkan merekatkan kembali hubungan sosial individu dengan masyarakat/ negara dalam tata dunia yang terus berubah. Merujuk para pemikir pedagogi kritis, pengembangan kurikulum, dan kritik atas (pengembangan) kurikulum, harus dilandasi paradigma politik pendidikan yang menguatkan keterlibatan sosial individu melalui ruang refleksi itu. Kata Henry A. Giroux: Salah satu togas besar pendidikan zaman ini adalah membangun kesadaran individu untuk menghormati kehidupan dan kepentingan bersama.