Strategi Promosi Kesehatan .doc

  • Uploaded by: Xlevi Kim
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Strategi Promosi Kesehatan .doc as PDF for free.

More details

  • Words: 1,642
  • Pages: 16
Strategi Promosi Kesehatan

Menurut Chandller (1996), strategi adalah penetapan dari tujuan dan sasaran

jangka panjang suatu organisasi serta penggunaan serangkaian tindakan dan alokasi

sumber daya yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Ada tiga komponen

dari defenisi Chandler yaitu adanya tujuan dan sasaran, adanya cara bertindak dan

alokasi daya untuk mencapai tujuan itu (Salusu, 1996).

Kotten dalam Salusu (1996) mencoba menjelaskan mengenai tipe-tipe

strategi. Tipe-tipe strategi yang ia kemukanan berikut ini sering dianggap sebagai

suatu hirearki. Tipe-tipe strategi yang dimaksud adalah : a. Strategi organisasi (corporate strategy)

Strategi ini berkaitan dengan perumusan misi, tujuan, nilai-nilai dan inisiatif-

inisiatif strategi yang baru. Pembatasan-pembatasan diperlukan yaitu apa yang

dilakukan untuk siapa.

b. Strategi program (program strategy)

Strategi ini lebih memberikan perhatian kepada implikasi-implikasi startagi dari

program tertentu. Apa kira-kira dampaknya apabila program tertentu

diperkenalkan, apa dampaknya bagi sasaran organisasi.

c. Strategi pendukung sumber daya (resource support strategy)

Strategi ini memusatkan perhatian pada memaksimalkan sumber-sumber daya

esensial yang tersedia guna meningkatkan kualitas kinerja organisasi. Sumber daya

itu dapat berupa tenaga, keuangan, teknologi dan sebagainya.

d. Strategi kelembagaan (institusional strategi)

Fokus dari strategi ini adalah mengembangkan kemampuan organisasi untuk

melaksanakan inisiatif-inisiataif strategi.

Kotten juga menambahkan bahwa terlepas dari pendekatan yang digunakan

dalam membagi strategi itu kedalam beberapa beberapa kategori, kita cukup diberi

petunjuk bahwa strategi organisasi tidak hanya satu. Disamping itu tiap-tiap strategi

ini saling menopang sehingga merupakan suatu kesatuan kokoh yang mampu

menjadikan organisasi sebagai lembaga yang kokoh pula, mampu bertahan dalam

kondisi lingkungan yang tidak menentu. Setiap strategi yang telah dirumuskandiharapkan dapat secepatnya diimplementasikan. Tidak hanya dapat

diimplementasikan, akan tetapi juga dapat mencapai tujuan yang diharapkan.

Strategi menurut Notoatmodjo (2010) adalah cara bagaimana mencapai atau

mewujudkan visi dan misi promosi kesehatan tersebut secara berhasil guna.

Berdasarkan rumusan WHO (1994) dan Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan,

strategi promosi kesehatan secara global ini terdiri dari 3 hal, yaitu:

2.5.1. Advokasi

Menurut Hopkins (1990) advokasi adalah usaha untuk mempengaruhi

kebijakan publik, melalui bermacam-macam bentuk komunikasi persuasif. Dengan

kata lain advokasi adalah upaya atau proses untuk memperoleh komitmen, yang

dilakukan secara persuasif dengan menggunakan informasi yang akurat dan tepat

(Notoatmodjo, 2010).

Sementara menurut Efendi dan Makhfudli (2009), advokasi yaitu pendekatan

pimpinan dengan tujuan untuk mengembangkan kebijakan publik yang berwawasan

kesehatan. Hasil yang diharapkan adalah kebijakan dan peraturan-peraturan yang

mendukung untuk mempengaruhi terciptanya perilaku hidup bersih dan sehat, serta

adanya dukungan dana dan sumber daya lainnya. Kegiatan yang dapat dilakukan

antara lain, pendekatan perorangan. Pendekatan tersebut seperti melalui lobi, dialog,

negosiasi, debat, petisi, mobilisasi, seminar, dan lain-lain.

Advokasi menurut Depkes RI (2008) adalah upaya atau proses yang strategis

dan terencana untuk mendapatkan komitmen dan dukungan dari pihak-pihak terkait

(stakeholders). Advokasi diarahkan untuk menghasilkan dukungan yang merupakankebijakan (misalnya dalam bentuk peraturan perundang-undangan), dana, sarana dan

lain-lain sejenis. Stakeholders yang dimaksud bisa berupa tokoh masyarakat formal

yang umumnya berperan sebagai penentu kebijakan pemerintah dan penyandang dana

pemerintah. Juga dapat berupa tokoh-tokoh masyarakat informal seperti tokoh agama,

tokoh adat dan lain-lain yang umumnya dapat berperan sebagai penentu kebijakan

(tidak tertulis) di bidangnya.

Tujuan dari adanya advokasi ada dua, yaitu umum dan khusus.

1. Tujuan umum: diperolehnya komitmen dan dukungan dalam upaya kesehatan,

baik berupa kebijakan, tenaga, dana, sarana, kemudahan, keikut sertaan dalam

kegiatan, maupun berbagai bentuk lainnya sesuai keadaan dan usaha.

2. Tujuan Khusus:

a. Adanya pemahaman/ pengenalan/ kesadaran.

b. Adanya ketertarikan/ peminatan/ tidak penolakan.

c. Adanya kemauan/ kepedulian/ kesanggupan (untuk membantu/ menerima).

d. Adanya tindakan/ perbuatan/ kegiatan nyata (yang diperlukan).

e. Adanya kelanjutan kegiatan (kesinambungan kegiatan).

Keluaran atau output advokasi dapat diklasifikasikan dalam dua bentuk yakni

output dalam bentuk perangkat lunak dan output dalam bentuk perangkat keras

(Notoatmodjo, 2010). Indikator output dalam bentuk perangkat lunak adalah

peraturan-peraturan atau undang-undang sebagai bentuk kebijakan atau perwujudan

dari komitmen politik terhadap program kesehatan, misalnya : undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, keputusan menteri, peraturan daerah, surat

keputusan gubernur, bupati, camat dan seterusnya.

Sedangkan indikator output dalam bentuk perangkat keras antara lain :

a. Meningkatnya dana atau anggaran untuk pembangunan kesehatan.

b. Tersedianya atau dibangunnya fasilitas atau sarana pelayanan kesehatan seperti

rumah sakit, puskesmas, poliklinik dan sebagainya.

c. Dibangunnya atau tersedianya sarana dan prasarana kesehatan misalnya air

bersih, jamban keluarga atau jamban umum, tempat sampah dan sebagainya.

d. Dilengkapinya peralatan kesehatan seperti laboratorium peralatan pemeriksaan

fisik dan lain sebagainya.

2.5.2. Bina Suasana (Social Suppport)

Menurut Effendi dan Makhfudli (2009), bina suasana yaitu penciptaan situasi

yang kondusif untuk memberdayakan perilaku hidup bersih dan sehat. Perilaku hidup

bersih dan sehat dapat tercipta dan berkembang jika lingkungan mendukung hal ini.

Dalam konteks ini lingkungan mencakup lingkungan fisik, sosial budaya, ekonomi,

dan politik.

Bina suasana menurut Depkes RI (2008) adalah upaya untuk menciptakan

opini atau lingkungan sosial yang mendorong individu atau anggota masyarakat

untuk mau melakukan perilaku yang diperkenalkan. Seseorang akan terdorong untuk

mau melakukan sesuatu apabila lingkungan sosial dimanapun dia berada (keluarga,

dirumah, orang-orang yang menjadi panutan/idolanya, majelis agama dan lain-lain

bahkan masyarakat umum) memiliki opini yang positif terhadap perilaku tersebut. Oleh karena itu, untuk mendukung proses pemberdayaan masyarakat, khususnya

dalam upaya mengajak para individu meningkat dari fase tahu ke fase mau, perlu

dilakukan bina suasana.

Pada pelaksanaannya terdapat tiga pendekatan dalam bina suasana, yaitu (1)

Pendekatan Individu, (2) Pendekatan Kelompok, dan (3) Pendekatan Masyarakat

Umum, dengan penjelasan sebagai berikut :

1. Bina suasana individu, ditujukan kepada individu tokoh masyarakat. Melalui

pendekatan ini diharapkan mereka akan menyebarluaskan opini yang positif

terhadap perilaku yang sedang diperkenalkan. Mereka juga diharapkan dapat

menjadi individu-individu panutan dalam hal perilaku yang sedang diperkenalkan

dengan bersedia atau mau mempraktikkan perilaku yang sedang diperkenalkan

tersebut misalnya seorang pemuka agama yang rajin melaksanakan 3 M yaitu

Menguras, Menutup dan Mengubur demi mencegah munculnya wabah demam

berdarah. Lebih lanjut bahkan dapat diupayakan agar mereka bersedia menjadi

kader dan turut menyebarluaskan informasi guna menciptakan suasana yang

kondusif bagi perubahan perilaku individu.

2. Bina suasana kelompok, ditujukan kepada kelompok-kelompok dalam masyarakat,

seperti pengurus Rukun Tetangga (RT), pengurus Rukun Warga (RW), kelompok

keagamaan, perkumpulan seni, organisasi profesi, organisasi wanita, organisasi

siswa/mahasiswa, organisasi pemuda, dan lain-lain. Pendekatan ini dapat

dilakukan oleh dan atau bersama-sama dengan pemuka/tokoh masyarakat yangtelah peduli. Diharapkan kelompok-kelompok tersebut menjadi peduli terhadap

perilaku yang sedang diperkenalkan dan menyetujui atau mendukungnya. Bentuk

dukungan ini dapat berupa kelompok tersebut lalu bersedia juga mempraktikkan

perilaku yang sedang diperkenalkan, mengadvokasi pihak-pihak yang terkait, dan

atau melakukan kontrol sosial terhadap individu-individu anggotanya.

3. Bina suasana masyarakat umum, dilakukan terhadap masyarakat umum dengan

membina dan memanfaatkan media-media komunikasi, seperti radio, televisi,

koran, majalah, situs internet, dan lain-lain, sehingga dapat tercipta pendapat

umum. Dengan pendekatan ini diharapkan media-media massa tersebut menjadi

peduli dan mendukung perilaku yang sedang diperkenalkan. Suasana atau

pendapat umum yang positif ini akan dirasakan pula sebagai pendukung atau

“penekan” (social pressure) oleh individu-individu anggota masyarakat, sehingga

akhirnya mereka mau melaksanakan perilaku yang sedang diperkenalkan. Strategi

bina suasana dilakukan melalui: (1) Pengembangan potensi budaya masyarakat

dengan mengembangkan kerja sama lintas sektor termasuk organisasi

kemasyarakatan, keagamaan, pemuda, wanita serta kelompok media massa; dan

(2) Pengembangan penyelenggaraan penyuluhan, mengembangkan media dan

sarana, mengembangkan metode dan teknik serta hal-hal lain yang mendukung

penyelenggaraan penyuluhan.

2.5.3. Pemberdayaan Masyarakat (Empowerment)

Pemberdayaan adalah membantu individu untuk memperoleh daya untuk

mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan terkait dengan diri mereka termasuk mengurangi hambatan pribadi dan sosial. Hal ini dilakukan

untuk meningkatkan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya

yang dimiliki antara lain dengan transfer daya dari lingkunganya (Prijono, Pranarka,

1996).

Pemberdayaan masyarakat menurut Notoatmodjo (2009) adalah strategi

promosi kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat secara langsung dengan tujuan

utama yang ingin dicapai adalah agar terwujudnya kemampuan masyarakat dalam

memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri masyarakat. Bentuk dari

pemberdayaan masyarakat antara lain: pelayanan kesehatan gratis, pemberian obat

gratis, pengorganisasian dan pengembangan masyarakat dalam bentuk koperasi dan

pelatihan untuk kemampuan peningkatan pendapatan keluarga.

Maulana (2009) membagi tujuan pemberdayaan menjadi dua, yaitu tujuan

umum dan tujuan khusus. Tujuan umum pemberdayaan masyarakat yaitu masyarakat

mampu mengenali, memelihara, melindungi dan meningkatkan kualitas

kesehatannya, termasuk jika sakit dapat memperoleh pelayanan kesehatan tanpa

mengalami kesulitan dalam pembiayaannya. Tujuan khusus pemberdayaan

masyarakat yaitu memahami dan menyadari pentingnya kesehatan, memiliki

keterampilan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya, memiliki

kemudahan untuk menjaga kesehatan diri dan lingkunganya, berupaya bersama

(bergotong-royong) menjaga dan meningkatkan kesehatan lingkungannya. Prinsip

dari pemberdayaan masyarakat yaitu menumbuhkembangkan potensi masyarakat,

menumbuhkan kontribusi masyarakat dalam upaya kesehatan, mengembangkan kegiatan kegotongroyongan di masyarakat, promosi pendidikan dan pelatihan

dengan sebanyak mungkin menggunakan dan memanfaatkan potensi setempat, upaya

dilakukan secara kemitraan dengan berbagai pihak, desentralisasi (sesuai dengan

keadaan dan kebudayaan setempat).

Menurut Depkes RI (2008), pemberdayaan masyarakat adalah proses

pemberian informasi secara terus menerus dan berkesinambungan mengikuti

perkembangan sasaran serta proses membantu sasaran, agar sasaran tersebut berubah

dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar (aspek knowledge) dari tahu menjadi mau

(aspek attitude) dan dari mau menjadi mampu melaksanakan perilaku yang

diperkenalkan (aspek practice).

Tujuan pemberdayaan masayarakat tersebut adalah menumbuhkan potensi

masyarakat yang artinya segala potensi masyarakat perlu dioptimalkan untuk

mendukung program kesehatan (Depkes RI, 2000).

Menurut Sumodingningrat (2004) pemberdayaan tidak bersifat selamanya,

melainkan sampai target masyarakat mampu untuk mandiri, dan kemudian dilepas

untuk mandiri, meski dari jauh dijaga agar tidak jatuh lagi. Dilihat dari pendapat

tersebut berarti pemberdayaan melalui suatu masa proses belajar, hingga mencapai

status, mandiri. Meskipun demikian dalam rangka menjaga kemandirian tersebut

tetap dilakukan pemeliharaan semangat, kondisi, dan kemampuan secara terus

menerus supaya tidak mengalami kemunduran lagi.

Sebagaimana disampaikan dimuka bahwa proses belajar dalam rangka

pemberdayaan akan berlangsung secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui tersebut adalah meliputi:

1. Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli

sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri.

2. Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan

keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar

sehingga dapat mengambil peran di dalam pembangunan.

3. Tahap peningkatan intelektual, kecakapan keterampilan sehingga terbentuklah

inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mehantarkan pada kemandirian (Ambar,

2004).

Keluaran atau hasil yang diharapkan dalam pemberdayaan adalah (Depkes

RI, 2000):

a. Tumbuh kembangnya berbagai upaya kesehatan bersumber daya masyarakat serta

meningkatnya kemampuan dan kemandirian masyarakat di bidang kesehatan.

b. Adanya upaya kesehatan yang bersumber dari masyarakat seperti Posyandu, dll.

c. Masyarakat menjadi peserta dana sehat/ JPKM.

Related Documents

Strategi Promosi
October 2019 23
Promosi Kesehatan
December 2019 37
Promosi Kesehatan
December 2019 38
Promosi Kesehatan
June 2020 38

More Documents from "Heri DJ. Maulana"

Molahidatidosa.docx
December 2019 2
Sik Dinkes.doc
June 2020 9
Bec Outline
October 2019 21
Soal Selidik
May 2020 22
Salmon.docx
April 2020 16