Srikandi Dusun Sriti Rengget Dyaloka Sayup temaram lampu teplok membentuk bayang-bayang dua orang yang sedang kasmaran. Mereka saling terhunus panah-asmara yang kemudian menjadikannya sesukma. Gadis itu. Pemuda itu. Saling beradu-pandang malu-malu. Sedikit-sedikit sang pemuda menyibak rupa ayu terselambu pekat rambut menghutan milik gadisnya. Rupa yang begitu menggairahkan, menyulut rasa tresna-asih1. Si gadis malu-malu dibuatnya, ia menundukkan parasnya dalam bayang-malam. Takut mencelakai, jangan-jangan menimbulkan harap menggebu yang tiada tercapai. Mungkin. Terlalu banyak rupa ayu yang menyebabkan celaka semisal Ken Dedes yang membuat Ken Arok terkutuk, Dyah Pitaloka yang membikin Hayam Wuruk jatuh hati kemudian menimbulkan Perang, dan masih banyak hikayat lainnya. Benar-benar serupa kutukan-anugerah yang tak bisa dikenali selain dialami. “Tegakkan, Dinda..” bisik sang pemuda ditelinga kekasihnya, pelan namun pasti, sang gadis menuruti dan lamat-lamat menampakkan rupa ayunya berhadap dengan yang dikasihi, pemuda itu. “Kamu memang ayu, Sri,” kemudian dikecupnya kening sang gadis mesra. Kali ini Sri makin bersemu, malu. Ia menundukkan parasnya lagi, menyembunyikan rona wajahnya yang memerah bak buah ranum. Toh, ruangan sedang temaram, sebenarnya, tidak menundukpun rupanya juga tak terlihat, tapi yang namanya gadis memang tampak nggemesaké2 jika sedang malu begitu. “Loo…Jangan malu begitu, tho,” Si gadis tampak tak mempedulikan, ia tetap menunduk. “Sri..” “Ah, kakang…” Dicubitnya dada-terbuka milik kakangmas nya itu pelan. Sri menunduk lagi. “Sudahlah, Sri, jangan malu-malu begitu, nanti dikecup lagi loo..” Goda Panji sambil membelai-belai rambut Sri. “Ah, kakang…” Dicubitnya lagi dada Panji, kali ini lebih keras. Gemas. “Aduh, sakit tho,” 1
kasih-sayang
2
menggemaskan
Sri tertawa kecil. Panji tersenyum simpul, kemudian dipeluknya si gadis erat. ERAT. * Terasa dalam gembungan dada membesar yang kemudian menciut— mengembus gelisah, Panji tampak tak tenang. Sri juga merasakan. Raut wajahnya berubah cemas. Kedua kekasih itu saling berkontemplasi tanpa harus berbicara satu sama lain. Mereka sedang memikirkan hal-hal yang mungkin sama, mungkin juga tidak. Dalam diam mereka bersapa. Diembuskan lagi desah gelisah, dan raut tertekuk itu juga menampak. Mereka sedang cemas. Atau….. Mereka saling cemas. Mencemaskan hal yang sama, mungkin. Atau jangan-jangan berbeda. Entah. Panji dan Sri masih terdiam, namun mereka masih saling-berpeluk, mencoba menyeimbangkan irama jantung dan siapa tahu dapat menenangkan pikiran masing-masing. Entah. “Sri…” “Iya, Mas…” Kemudian terdiam lagi. Bayang-bayang mereka tampak menari-nari mengikuti kelebat lampu yang menerangi bilik kecil itu. Sang Bayu rupanya berhasrat mengintip kekasih yang sedang dilanda asmara— juga galau itu dengan menggangu kelebat lampu. Bayang-bayang terlihat senang-senang saja, tapi para kekasih tampak mengerutkan roman mukanya. Kemudian Sang Bayu beranjak dan meninggalkan hening yang lebih membisu. Tanpa tarian bayang-bayang, tanpa embusan menyejukkan. Hening. Sehening-heningnya. “Hhhh…Sri, andai saja……….” “Kakang……..” Mata mereka saling terpejam, Panji makin mempererat pelukan. “Jadi bagaimana Bapakmu, Sri?” Sri terdiam.
Perlahan, hangat-luh3 merembes-deras hingga menyesakkan dada. Bahunya terguncang kecil, jiwanya mengharap tak labil. “Sudah, sudah, jangan dipikirkan.” Panji mengelus-sayang Sri Bestari, gadisnya, kasihnya, orang yang teramat berarti dalam hidupnya. Sri mengangguk perlahan, namun bahunya masih terguncang. Ia banyak memikirkan hal-hal menyangkut mereka. “Kabarnya Bapak mencari-cariku, Mas, dan hendak membunuhmu juga,” Mulai timbul segurat senyum Panji Satriyo, ia tak menampakkan gentar seujung kukupun menghadapi Bapak Sri demi bebenang takdir yang sedang mereka sulam. “Yah, aku paham,” Sri memandangi kekasihnya itu dengan asih, andai saja ada kesempatan menjalani hidup bersama Panji tanpa restu Bapaknya, tentu Sri tidak cemas begini, Panji tidak murung begini.
***
“Hoeeeh! Bebengeeeek!!” Mandor meneriaki anak buahnya, Bengek, yang kala itu terlihat sangat jauh dari pematang garapannya. Bengek yang sedang gendakan4 dengan penggarap sawah lainnya, Maimunah, seketika terbata-bata lalu meluncur kembali ke pematangnya. “Hiyoooh, ngapunten5, Ndor, tadi mau minjem pacul,” kilahnya. Si Mandor melintir-lintir kumisnya yang serba-lebat hingga membentuk ujung rucing seperti hendak dipakai untuk menghunus Bengek dengan tajamnya. Bengek gemeteran. Mandor masih melotot. “Paculmu’a???!! Minjem! Minjem! Dipikir aku percaya apa? Wong yo gendakan, ngunu!” Bentak Si Mandor dengan kumis melintir runcing dan dada membusung tinggi. Terdengar napasnya yang —kemudian— ngos-ngosan setelah meluapkan amarah. Dia menderita darah tinggi. “Sabaaar, Ndor…Sabar…” Bengek mengelus-elus dada-busung Mandornya yang seketika ditepis. “Kurang ajar, Kowe!” 3
airmata
4
berpacaran
5
maaf (sopan)
“Loo..Nanti kumat lagi loo…Bisa Dut6!” Bengek makin memperparah omelan Mandor padanya, jadilah Bengek hanya diam dan mendengarkan petuah-petuah serta larangan-larangan, kadang juga cerita tentang kekesalan Si Mandor dengan istrinya yang minggat beberapa bulan yang lalu. Campur-aduk. “Dadi yo ngunu, Ngeeek,” Mandor sesenggukan sambil mengkis-mengkis7 yang seharusnya dialami oleh si Bengek8 —Gara-gara penyakit asma yang dideritanya sejak kecil itulah, bocah yang semula bernama Den Bagus, berganti menjadi Bengek atas nasihat Dukun Bayi yang membantu kelahiran ibunya dulu kala. Si Dukun menyarankan untuk mengganti nama supaya Bengek bisa sembuh dari penyakitnya, nyatanya tidak. Bengek kemudian merasa menjadi orang paling terkutuk di dunia karena menyandang nama dan penyakit yang sama. “Sabar, nggih9, Ndor..” Bengek menepuk-nepuk pundak Mandornya yang lima kil’an10 lebih tinggi darinya. “Hush! Kurang ajar, Kowe! Wes! Ndang Macul11 lagi!” hardiknya. Bengek menurut dan seketika berlari timik-timik12 menuju pematang garapannya. * “Pak Mandooooor, heeeeeh, Njenengan dipanggil juragan, heeeeeh,” Mbok Yem, tukang adhang 13 Juragan Demang memanggil-manggil Mandor dengan lambaian yang endhel. Centil. Seweknya dikelebat-kelabatkan seperti hendak mengusir lalat yang menclok di corak bungabunganya, nyatanya tidak. Hanya aksi, supaya Mandor memerhatikan. “Inggih, Mbok, saya segera kesana,” jawab Mandor dengan helaan napas panjang. Ruparupanya ia sebenarnya enggan mengayuh sepeda-kebonya di siang bolong begini untuk mencapai kediaman juragannya. Hampir beberapa kilometer jauhnya. “Cepet, nggih. Sudah ditunggu,” kali ini Mbok Yem mengedip-ngedipkan matanya. Seperti kelilipan, nyatanya tidak. Hanya aksi, supaya Mandor memerhatikan. 6
mati
7
Bernapas susah, seperti penderita asma
8
asma, susah napas (biasanya juga berbunyi)
9
ya
10
jengkal
11
mencangkul
12
kecil
13
menanak nasi
“Nggih,” Mandor mengiyakan dengan muka masam. Gerah melihat kelakuan janda limapuluhan itu yang semakin hari semakin endhel saja. Bengek yang melihat kejadian Mandor-Mbok Yem cengar-cengir saja, menganggapnya sebagai hiburan tengah hari setelah dapat omelan dari Mandornya gara-gara ketahuan selingkuh dengan Maimunah. “Kulo14 pamit, nggih,” Mbok Yem mengayuh kembali sepedanya dengan gaya kemendhel15. Sedikit-sedikit setirnya diliuk-liukkan seperti hendak menghindar dari tumbukan sesuatu, nyatanya tidak. Hanya aksi, supaya Mandor memerhatikan. “Hhh… Si Mbok itu, Heh! Apa cengar-cengir! Unthumu garing Kwapok16!!” Mandor akhirnya tahu ternyata si Bengek mengawasinya dengan Mbok Yem tadi. Bengek langsung melanjutkan maculnya dan pura-pura tidak tahu-menahu daripada esoknya menganggur, diusir jadi buruh tani. Tidak dapat penghasilan, juga tidak ketemu Maimunah. *
14
saya
15
ganjen, centil
16
Gigimu kering, kapok!