Skripsi Akhir Bobi Ibn Qoyyim Al-jauziyah Terhadap Hiyal Syar'iyah Dalam Hibah Waris.pdf

  • Uploaded by: Mahbub Boby
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Skripsi Akhir Bobi Ibn Qoyyim Al-jauziyah Terhadap Hiyal Syar'iyah Dalam Hibah Waris.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 16,188
  • Pages: 79
PANDANGAN IBN QOYYIM AL-JAUZIYAH DALAM KITAB I’LAM AL-MUWAQQI’IEN ‘AN RABB AL- ‘ALAMIEN TERHADAP AL-HIYAL AL- SYAR’IYAH DALAM PRAKTIK HIBAH WARIS

SKRIPSI

Oleh MAHBUBI NIM. 180921263

PROGRAM STUDI HUKUM PERDATA ISLAM JURUSAN SYARI’AH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN 2013

1

PANDANGAN IBN QOYYIM AL-JAUZIYAH DALAM KITAB I’LAM ALMUWAQQI’IEN ‘AN RABB AL- ‘ALAMIEN TERHADAP AL-HIYAL ALSYAR’IYAH DALAM PRAKTIK HIBAH WARIS

SKRIPSI Diajukan kepada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pamekasan Untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan Program Sarjana Hukum Islam

Oleh :

MAHBUBI NIM. 180921263

PROGRAM STUDI HUKUM PERDATA ISLAM JURUSAN SYARI’AH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKSAN JUNI 2013

2

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi berjudul Pandangan Ibn Qoyyim Al-Jauziyah Dalam Kitab I’lam AlMuwaqqi’ien ‘An Rabb Al- ‘Alamin Terhadap Al- Hiyal Al-Syar’iyah Dalam Praktik Hibah Waris, yang disusun oleh Mahbubi telah diperiksa dan disetujui untuk diuji.

Pamekasan, 17 Juni 2013 Pembimbing,

Abd. Wahed, MHI NIP. 197304082006041003

3

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi berjudul Pandangan Ibn Qoyyim Al- Jauziyah Dalam kitab ‘Ilam AlMuwaqq’ien ‘An Rabb Al- ‘Alamin Terhadap Hiyal Al-Syari’iyah dalam Praktik Hibah-Waris, yang disusun oleh Mahbubi telah dipertahankan di depan dewan penguji dan dinyatakan lulus pada tanggal 21 Juni 2013

Dewan Penguji

1. Abd . Wahed, M. HI.

(Ketua)

(

)

(

)

3. H. Abd. Mukti Thabrani Lc. M.HI. (Anggota) (

)

2. Dr. Moh. Hefni, M. Ag. (Anggota)

Mengesahkan; Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pamekasan

Dr. H. Taufiqurrahman M.Pd. NIP. 196512291993031001

4

ABSTRAK

Mahbubi, 2013, Pandangan Ibn Qoyyim Al-Jauziyah Dalam Kitab I’lam AlMuwaqqi’ien ‘An Rabb Al- ‘Alamin Terhadap Al- Hiyal Al-Syar’iyah Dalam Praktik hibah-waris, skripsi Program studi Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah, Jurusan Syari’ah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pamekasan. Kata Kunci: Hiyal Al-Syar’iyah, Hibah, dan Waris. Hiyal syar’iyah merupakan siasat, taktik, atau tipu daya yang dicari-cari untuk menghindarkan diri dari hukum yang telah Allah tetapkan. Hiyal al- Syar’iyah terjadi dalam praktik hibah waris. Hal ini terjadi karena adanya keinginan pemberi hibah untuk memberikan jumlah harta menurut keinginannya kepada anakanaknya guna menghindari secara implisit hukum kewarisan Islam yang membatasi jumlah harta yang harus diterima oleh ahli waris. Padahal syari’at islam telah mengatur pemberian harta dengan faraid. Masalahnya adalah mayoritas masyarakat terus mempraktikkan perkara tersebut yang masih belum jelas hukumnya. Apakah praktik itu dibolehkan oleh agama atau tidak. Penelitian ini difokuskan pada tiga pembahasan. Pertama, apa yang dimaksud dengan hiyal syar’iyah. kedua, bagaimana pandangan mayoritas fuqoha’ terhadap hiyal syar’iyah dalam praktik hibah waris, ketiga, bagaimana pandangan Ibn Qoyyim Al-Jauziyah terhadap hiyal syar’iyah dalam praktik hibah waris. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa: pertama, hilah merupakan perbuatan yang dilarang oleh agama, karena hilah adalah upaya memanipulasi hukum allah, dan segala bentuk manipulatif kepada hukum Allah adalah haram hukumya. Kedua, jumhur ulama’ berpendapat bahwa praktik pembagian harta dengan jalan hibah termasuk perbuatan hilah, karena pelakunya berusaha untuk menghidari hukum waris. Dalam permasalahan ini hukum wajib yang seharusnya didahulukan, yaitu warisan. Akan tetapi hilah dalam bentuk ini adalah hilah yang dibolehkan, karena hilah tersebut termasuk pada wisdom legal fiksion (fiksi hukum yang bijak). Ketiga. Hilah dalam praktik hibah waris merupakan perbuatan yang mubah, karena menurut Ibn Qoyyim Al-Jauziyah, perbuatan hilah dalam praktik hibah waris bertujuan untuk tidak membeda-bedakan pemberian orang tua kepada anaknya (sama rata) adalah hilah yang dibolehkan, disamping itu juga perbuatan hilah tersebut mubah karena cara dan tujuannya sama-sama disyari’atkan oleh agama. Penulis menyarankan kepada seluruh lapisan masyarakat khususnya masyarakat Indonesia yang melakukan hibah waris apabila ingin memberikan atau membagikan harta kekayaannya sebaiknya dilakukan secara prosedural atau yang sesuai dengan peraturan yang sudah ada, tanpa harus ada niatan untuk menghindari ketentuan hukum lain yang membagi harta kekayaannya dengan beda porsi antara laki-laki dan perempuan karena hal ini bisa meminimalisir adanya permasalahan menyangkut waris dan bisa dipertanggung jawabkan jika suatu saat terjadi sengketa.

5

KATA PENGANTAR

‫ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﲪﻦ اﻟﺮﺣﻴﻢ‬ ‫ أﺷﻬﺪ أن ﻻ إﻟﻪ إﻻ اﷲ وﺣﺪﻩ ﻻ ﺷﺮﻳﻚ ﻟﻪ وأﺷﻬﺪ أن ﳏﻤﺪا‬,‫اﳊﻤﺪ ﷲ رب اﻟﻌﺎ ﳌﲔ‬ .‫ أﻣﺎ ﺑﻌﺪ‬,‫ اﻟﻠﻬﻢ ﺻﻞ وﺳﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﳏﻤﺪ وﻋﻠﻰ أﻟﻪ وأﺻﺤﺎﺑﻪ أﲨﻌﲔ‬,‫ﻋﺒﺪﻩ ورﺳﻮﻟﻪ‬ Alhamdulillah penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Baginda besar Nabi Muhammad SAW, untuk keluarga, para sahabat, dan seluruh umat di segala penjuru dunia, khususnya kita semua. 'Amien. Penulis merasa bahwa skripsi dengan judul "Pandangan Ibn Qayyim AlJawziyyah dalam kitab I’lam al muwaqi’ien ‘an rabb al- ‘alamin terhadap hiyal al syar’iyah dalam praktik hibah waris” ini bukan merupakan karya penulis semata, tetapi juga merupakan hasil dari bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Penulis juga merasa bahwa dalam skripsi ini terdapat banyak kekurangan, untuk itu saran dan keritikan yang membangun sangat penulis harapkan. Selanjutnya tidak lupa penulis haturkan banyak terima kasih kepada semua pihak atas segala bimbingan dan bantuan khususnya kepada alm. Ayahanda tercinta yang selalu menjadi idola penulis, serta ibunda tersayang yang tidak pernah lelah untuk mendoakan dan memberikan motivasi kepada saya sehingga penyusunan skripsi ini bisa terselesaikan dengan baik. Selanjutnya Sebagai rasa hormat dan syukur, ucapan terima kasih saya haturkan kepada: 1. Bapak Dr. H. Taufiqurrahman M.Pd., selaku ketua STAIN Pamekasan. 2. Bapak Abd. Wahed M.H.I selaku dosen pembimbing penulis yang telah mencurahkan segenap kemampuannya dalam upaya memberikan dorongan dan bimbingan kepada penulis. 3. Bapak H. Abd. Mukti Thabrani M.H.I,. dan bapak Dr. Moh. Hefni M.Ag. selaku dosen penguji.

6

4. Ibu Dr. Umi Supraptiningsih selaku ketua jurusan syari’ah serta Ibu Hj. Siti Musawwamah, selaku dosen pembimbing akademik penulis, yang mulai dari semeseter awal hingga semester akhir telah membimbing penulis demi lancarnya proses akademis penulis. 5. Yunda dan Adinda tercinta dan keluarga besar yang ada di rumah yang telah memberikan motivasi demi kelancaran penyusunan skripsi ini. 6. Seseorang yang selalu ada di sisi penulis, dinda Dewi Suhartatik yang telah mengorbankan segalanya baik moril, maupun materiil, yang tidak pernah bosan dan tidak pernah lelah untuk mendampingi

dan

memberikan support kepada penulis hingga penulisan skripsi ini bisa terselesaikan. 7. Teman-temanku semuanya, Dedi Ansori, Subahri Ismail, Nur Fadil, Ahmad Effendi, Imam Hariri, Abdus Salam, Tulus Prasetyo, Multazam, Nur Faiqoh, Anisatun Nikmah, Dinda Rizkiyatul Hasanah, Khotib, Zainurrosi, adik-adik yang berkader diri di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) secretariat STAIN Pamekasan, dan teman-teman lainnya yang tidak mungkin saya sebutkan semuanya dan semua pihak yang telah memberi motivasi kepada penulis dan membantu dalam kelancaran dan terselaikannya skripsi ini.

Akhinya penulis hanya berharap, semoga semua yang telah dilakukan menjadi amal saleh dan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya, dan para pembaca pada umumnya. Amien ya Rabbal 'Alamin.

Pamekasan, 17 Juni 2013 Penulis,

MAHBUBI NIM. 180921263

7

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN SAMPUL ..............................................................................

-

HALAMAN JUDUL ..................................................................................

i

HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................

ii

HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................

iii

ABSTRAK .................................................................................................

iv

KATA PENGANTAR ...............................................................................

v

DAFTAR ISI ..............................................................................................

vii

TRANSLITERASI .....................................................................................

ix

BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................

1

A. Latar belakang Masalah ..............................................................

1

B. Rumusan Masalah .......................................................................

6

C. Tujuan Penelitian ........................................................................

6

D. Kegunaan Penelitian ...................................................................

7

E. Definisi Istilah ............................................................................

8

F. Metode Penelitian .......................................................................

9

BAB II TINJAUAN UMUM HIYAL SYAR’IYAH DAN HIBAH WARIS

12

A. Hiyal Syar’iyah ...........................................................................

12

B. Hibah ...........................................................................................

23

C. Waris ...........................................................................................

30

D. Hibah-Waris ................................................................................

36

8

BAB III PANDANGAN IBN QOYYIM AL-JAUZIYAH TERHADAP HIYAL AL-SYAR’IYAH DALAM PRAKTIK HIBAH-WARIS ............................

39

A. Riwayat Hidup Ibnul Qoyyim Al- Jauziyah ................................

39

B. Kerangka pemikiran fiqhnya ......................................................

43

C. Hiyal Al-Syar’iyah Dalam Praktik Hibah-Waris Persepektif Ibn Qoyyim Al-Jauziyah .................................................................................

49

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN IBN QOYYIM AL-JAUZIYAH TERHADAP HIYAL ASY-SYAR’IYAH DALAM PRAKTIK HIBAH WARIS................

57

BAB V Kesimpulan ...................................................................................

65

Daftar Rujukan ...........................................................................................

67

LAMPIRAN-LAMPIRAN .........................................................................

69

9

TRANSLITERASI HURUF

Lambang

Bunyi

Lambang

Bunyi

‫ا‬

A

‫غ‬

Gh

‫ب‬

B

‫ف‬

F

‫ت‬

T

‫ق‬

Q

‫ث‬

Ts

‫ك‬

K

‫ج‬

J

‫ل‬

L

‫ح‬

H

‫م‬

M

‫خ‬

Kh

‫ن‬

N

‫د‬

D

‫و‬

W

‫ذ‬

Dz

‫ه‬

H

‫ر‬

R





‫ز‬

Z

‫ي‬

Y

‫س‬

S

Â

a panjang

‫ش‬

Sy

Î

i panjang

‫ص‬

Sh

Û

u panjang

‫ض‬

Dl

‫أو‬

Aw

‫ط‬

Th

‫أو‬

Uw

‫ظ‬

Zh

‫أي‬

Ay

‫ع‬



‫إي‬

Iy

10

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Allah swt melalui lisan Rasul-Nya telah mengatur manusia dengan syari’at sebagaimana yang telah tertuang dalam ajaran al-Din (agama) Islam ini. Syari’at merupakan ketentuan Allah yang berhubungan dengan tindak tanduk manusia di luar yang mengenai akhlak yang diatur tersendiri. Dengan demikian syari’at adalah nama bagi hukum-hukum Allah yang bersifat amaliyah.1 Secara global, tujuan syari’at dalam menetapkan hukum-hukumnya adalah untuk kemaslahatan manusia seluruhnya, baik kemaslahatan di dunia yang fana ini, maupun kemaslahatan di hari yang baqa (kekal) kelak,2 salah satunya dengan mengatur dan menetapkan perkara yang halal dan perkara yang haram. Perihal perkara halal dan haram dalam bermu’amalah, syari’at Agama juga telah mengaturnya, Namun diantara halal dan haram tersebut terdapat perkara syubhat (samar), yang belum jelas hukumnya bagi kebanyakan orang. Perkara yang belum jelas inilah yang harus diwaspadai dan harus dijauhi demi keselamatan diri dan Din-nya, bukan sebaliknya.

1 2

Ismail Muhammad Syah, et. al, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 12. Ibid. 65.

11

Akan tetapi, meskipun telah ditentukan yang halal dan yang haram, banyak dijumpai diantara kaum muslimin yang tidak mengindahkan masalah tersebut. Bahkan lebih tragis lagi, ada diantaranya yang sengaja mencari celah untuk merekayasa, membuat-buat trik atau tipu daya hal-hal yang telah jelas keharamannya dengan upaya menyamarkan keadaan, sehingga akan nampak menjadi halal atau boleh. Dalam istilah syari’at, perbuatan seperti ini disebut dengan perbuatan hilah. Sebenarnya pembicaraan hilah secara umum bukan sebatas menjelaskan hilah yang dibolehkan atau hilah yang mengandung mudhorot, karena menurut Ibn Qoyyim Al-Jauziyah yang dimaksud hilah adalah suatu tindakan yang di belakangnya terdapat hal yang menghantarkan pada melakukan kewajiban dan meninggalkan apa yang diharamkan, menjaga kebenaran, membela yang hak, membantu pihak yang tertindas dan menaklukkan orang-orang yang berbuat dzalim3. Namun terkadang digunakan sebaliknya, yakni sebagai cara untuk menghalalkan yang haram, membatalkan kebaikan dan menggugurkan kewajiban. Atas dasar inilah, maka kata hilah di kalangan fuqoha’ pada umumnya dipahami sebagai satu hal yang tercela, sebagaimana mereka telah mencela orang-orang yang selalu bersiasat4. Perbuatan hilah sering juga terjadi dalam praktik pembagian harta warisan. Hal ini dilakukan dengan cara menghibahkan harta tersebut untuk anak-anak mereka dengan menyamaratakan bagian atau porsi antara anak laki-laki dengan anak perempuan, disaat orang tua masih dalam keadaan hidup, Hal ini tiada lain hanyalah sebagai bentuk “menghindari (kelah)” dari sistem bagi waris 2 : 1 dan 3

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, I’lam Al- Muwaqqi’en ‘An Rabb Al-‘Alamin (Beirut: Daar Al Kutub Al-‘Ilmiah, 1996), hlm. 618-619. 4 Ibid.

12

lebih mengarah kepada pembagian warisan 1 : 15, hal ini merupakan bentuk penyimpanagan terhadap aturan Allah yang menentukan porsi 2 : 1 Bagi anak laki-laki dan perempuan sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an surat anNisa’ ayat 11.6      Artinya: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan7

Ketentuan porsi dua banding satu tersebut juga dicantumkan dalam pasal 176 Kompilasi Hukum Islam (KHI): “Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan”.8

Dari ayat al-Qur’an dan kompilasi hukum Islam di atas sudah jelas bahwa porsi anak laki-laki dengan anak perempuan dalam hal mendapatkan harta warisan adalah porsi dua banding satu, bukan mendapatkan porsi atau bagian yang sama seperti yang telah dipraktikkan masyarakat pada umumnya. Pembagian harta waris dengan jalan hibah yang bertujuan agar ahli waris mendapatkan pembagian harta waris secara merata ini merupakan penyimpangan secara tidak langsung dari ketentuan Qur’ani. Memang betul melakukan hibah juga merupakan ajaran agama, tetapi melakukan hibah dengan semangat demikian

5

Lihat skripsi Walidul Umam. Hlm. 87. t.n, Al-Qur’an Dan Terjemahannya (Kudus: Mubarokata Toyyibah, t.t), hlm. 78. 7 Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah Karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah. Hal ini sesuai dengan surat An Nisaa ayat 34. 8 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, Cet. 3 (Bandung: CV Nuansa Aulia, 2011), hlm. 54. 6

13

(agar anak laki-laki dan anak perempuan mendapat porsi yang sama) itu belum tentu benar menurut jiwa agama, atau hal tersebut merupakan perbuatan hilah yang harus kita hindari9. Berkenaan dengan permasalahan hilah ini, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah banyak angkat bicara dan membahasnya dalam kitab i’lam al- muwaqqi’ien ‘an rabb al- alamien yang dikarangnya. Ibn Qoyyim (sebutan populernya) merupakan salah satu tokoh pemikir Islam yang dalam berbagai biografi mengenainya, disebut sebagai bermadzhab Hambali, sebagaimana para guru dan muridnya. Namun yang ia lakukan adalah mengikuti pendapat yang didukung oleh dalil seraya membuang fanatisme

madzhab yang tercela,10 artinya meskipun Ibn

Qoyyim al-Jauziyah bermadzhab Hambali, tidak sedikit pemikiran-pemikirannya yang bertentangan dengan madzhab yang diikutinya tersebut. Jadi meskipun Imam Ahmad bin Hambal (pendiri madzhab Hambali) salah satunya berguru pada imam Syafi’i, tidak menutup kemungkinan pemikiran-pemikiran Ibn Qoyyim berbeda dengan pemikiran imam Syafi’i yang notabene menjadi madzhab yang diikuti oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Dari uraian yang telah penulis paparkan, terkait praktek pembagian harta waris dengan jalan hibah yang ditengarai terdapat indikasi hilah, serta banyaknya pendapat Ibn Qoyyim Al-Jauziyah yang membahas permasalahan hilah dalam kitabnya ‘ilam al- muwaqi’ien, penulis merasa perlu untuk mengkaji permasalahan pembagian harta waris dengan jalan hibah ini secara mendalam sehingga nantinya dengan penulisan ini dapat menghasilkan suatu teori baru 9

Mukhtar Zamzami, Hiyal Asy-Syar’iyah Dalam Praktik Hibah Dan Wasiat, Makalah disajikan dalam RAKERNAS Mahkamah Agung dengan Pengadilan Seluruh Indonesia Tahun 2011, (Jakarta, 18-22 September 2011), hlm. 6. 10 http://maktabahmanhajsalaf.blog.com/2012/11/03/biografi-imam-ibnu-qayyim-aljauziyahrahimahullah/

14

tentang praktik pembagian harta warisan, apakah praktik yang telah dipraktikkan oleh masyarakat tentang pembagian harta waris dengan cara hibah ini sudah sesuai dengan syari’at agama atau tidak. Oleh karena itu penulis membuat judul pandangan Ibn Qoyyim Al-Jauziyah di dalam kitab I’lam al muwaqqi’ien ‘an rabb al-‘alamien terhadap hiyal al- Syar’iyah dalam praktik hibah-waris. Sebenarnya upaya pembahasan praktik pembagian harta waris dengan institusi hibah, sudah pernah dilakukan oleh para mahasiswa, oleh penulis ditemukan beberapa penelitian sebelumnya yang membahas masalah pembagian harta waris dengan jalan hibah, diantaranya adalah Skripsi yang ditulis oleh Hendriyadi dengan judul Praktik Hibah Sebagai Harta Warisan di Desa Poreh Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep. Kesimpulan dari skripsi tersebut adalah masyarakat Desa Poreh memahami dan mempraktikkan pemberian dari orang tua kepada anaknya adalah sebagai warisan, hal ini bertujuan agar tidak terjadi cekcok dikemudian hari ketika pewaris (orang tua) meninggal dunia. Penyebab masyarakat mempraktikkan hibah sebagai harta warisan adalah karena masyarakat Desa Poreh memahami bahwa pemberian dari orang tua kepada anaknya adalah sebagai warisan. Problem yang muncul ketika praktik hibah dijadikan harta warisan ialah pewaris kehilangan hartanya sebelum waktunya dan para ahli waris berebutan harta peninggalan dari orang tua karena pembagian hartanya tidak jelas, artinya si orang tua hanya menunjuk hartanya untuk diberikan kepada anakanaknya. 11 Serta Skripsi yang ditulis oleh Walidul Umam dengan judul Tradisi Sangkolan Di Kalangan Masyarakat Desa Bunten Barat Kecamatan Ketapang

11

http://perpus.stainpamekasan.ac.id/index.php?p=show_detail&id=3427

15

Kabupaten Sampang Madura. Secara deskriptif hasil penelitian ini menunjukan bahwa sangkolan sebagai salah satu cara pembagian harta waris yang dilakukan oleh masyarakat Madura merupakan cara yang telah dilakukan secara turuntemurun dengan berbagai macam pemahaman dan praktek yang berbeda dari setiap kelompok strata sosial yang ada di Madura. Adanya kompromi atas pembagian waris Islam dengan budaya lokal begitu kental menyebabkan sangkolan terus dipraktekkan sebagai salah satu pembagian harta waris dan dianggap paling aman dan adil.

12

Adapun Sangkolan yang dilakukan oleh

masyarakat Desa Bunten Barat, menerapkan pembagian harta dengan sistem Hibah13. Penelitian yang penulis angkat mempunyai perbedaan yang sangat signifikan dengan skripsi yang telah disebutkan, skripsi di atas hanya mengkaji pembagian harta warisan dengan cara hibah, akan tetapi penelitian yang penulis kaji di sini adalah praktik pembagian harta warisan dengan cara hibah tersebut terdapat indikasi perbuatan hilah (siasat). Di sini penulis akan focus terhadap hilahnya sehingga nanti akan diketahui apakah praktik pembagian harta warisan dengan institusi hibah tersebut sesuai dengan syari’at agama atau sebaliknya.

B. Rumusan Masalah Dari latar belakang yang telah Penulis paparkan di atas, maka rumusan masalah yang diangkat oleh Penulis adalah sebagai berikut : 1) Bagaimana pengertian al-hiyal al- syar’iyah dalam konteks hukum Islam?

12

Walidul Umam, “Tradisi Sangkolan Di Kalangan Masyarakat Desa Bunten Barat Kecamatan Ketapang Kabupaten Sampang Madura”, (Skripsi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang, 2009), hlm. XIV. 13 Ibid. Hlm 83.

16

2) Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap hiyal al- syar’iyah dalam praktik hibah-waris? 3) Bagaimana pandangan Ibn Qoyyim al-Jauziyah terhadap al-hiyal al- syar’iyah dalam praktik hibah-waris? C. Tujuan Penelitian Sejalan dengan pertanyaan-pertanyaan dari rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Untuk mengetahui bagaimana pengertian hiyal al- syar’iyah dalam kontek hukum Islam. 2) Untuk mengetahui secara umum tinjauan hukum islam terhadap hiyal alsyar’iyah dalam praktik hibah-waris. 3) Untuk mengetahui pandangan Ibn Qoyyim al-Jauziyah terhadap hiyal alsyar’iyah dalam praktik hibah-waris.

D. Kegunaan Penelitian Dengan adanya hasil penelitian ini, diharapkan dapat bermanfaat dalam hal-hal sebagai berikut : 1) Kegunaan teoritis, meliputi dua hal : a. Dapat memperkaya ilmu pengetahuan tentang kajian hukum Islam, khususnya mengenai hal tentang al-hiyal al- syar’iyah dalam praktik hibahwaris berdasarkan tinjauan hukum Islam dan dapat digunakan dasar penyusunan untuk penelitian selanjutnya yang mempunyai relevansi dengan skripsi ini. b. Dapat digunakan sebagai media dalam mengembangkan potensi dan sumber daya penulis dalam bidang penelitian, memperdalam wawasan yang ada

17

korelasinya dengan hukum kewarisan, hibah dan hilah, khususnya pada praktiknya. 2) Kegunaan Praktis, yaitu: Sebagai pedoman bagi masyarakat yang dapat memperluas pemikiran dan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan al-hiyal al- syar’iyah dalam praktik pembagian harta warisan dengan cara hibah dalam tinjauan hukum Islam.

E. Definisi Istilah Untuk memperjelas isi pembahasan dan untuk menghindari kesalahpahaman dalam memahami judul ini, maka Penulis merasa perlu untuk menyajikan penegasan judul. Judul penelitian adalah pandangan ibn qoyyim aljauziyah terhadap al-hiyal al-syar’iyah dalam praktik hibah waris. Pada bagian ini Penulis akan memaparkan beberapa istilah yang dianggap penting sebagai berikut : 1. Al-Hiyal Al- Syar’iyah Hiyal adalah bentuk jamak dari kata hilah, yaitu melakukan suatu amalan yang pada lahirnya diperbolehkan untuk membatalkan hukum syara’ lainnya. Sekalipun pada dasarnya seseorang itu mengerjakan suatu pekerjaan yang dibolehkan, namun terkandung maksud pelaku untuk menghindarkan diri dari suatu kewajiban syara’ yang lebih penting dari pada amalan yang dilakukannya itu. 2. Hibah-waris. Yang dimaksud dengan hibah adalah akad yang mengakibatkan pemilikan harta kekayaan tanpa ganti rugi yang dilakukan oleh seseorang dalam keadaan

18

hidup (pemberi hibah) kepada orang lain (penerima hibah) secara suka rela, Yakni pemberian tersebut dilakukan atas dasar kebaikan semata-mata.14 Dan waris adalah cara yang disyari’atkan oleh agama dalam pembagian harta kekayaan orang tua kepada anak-anaknya. Dan dapat ditegaskan dalam pembahasan ini bahwa pemberian (hibah) dari orang tua kepada anak-anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan.15 Yaitu pembagian harta warisan dengan cara menghibahkan kepada anak-anaknya di saat penghibah (orang tua) dalam keadaan masih hidup.

F. Metode Penelitian 1. Pendekatan Dan Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research) dengan menggunakan

jenis

penelitian

menggunakan

penelitian

content

pustaka

analysis

dikarenakan

(analisis penulis

isi).

akan

Penulis mengkaji

permasalahan yang berkaitan dengan judul dari data-data yang bersumber dari buku, kitab, atau kepustakaan lain yang relevan dengan pembahasan yang penulis angkat. 2. Sumber Data Sumber data merupakan hal yang paling urgen dalam sebuah penelitian, hal ini dikarenakan sumber data menjadi acuan dalam suatu penelitian. Sedangkan sumber data yang Penulis gunakan dalam penelitian ini adalah sumber data yang berkaitan dengan judul yang Penulis angkat yaitu sumber buku primer karangan Ibn Qoyyim Al- Jauziyah yang membahas tentang al-hiyal al- syar’iyah yaitu 14

Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut Hukum Perdata (BW) (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), hlm, 147. 15 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia , cet. 2 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 473.

19

kitab i’lamul muwaqqi’in ‘an rabbil ‘alamin, serta buku-buku atau kitab-kitab penunjang lain sebagai sumber data sekunder yang ada relevansinya dengan judul penelitian yang penulis angkat. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dalam penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan16. Sejalan dengan jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini, yaitu penelitian pustaka, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi17. Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu, dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya monumental dari seseorang18. Dalam hal ini yang penulis lakukan adalah mengumpulkan dan memeriksa atau menelusuri buku-buku atau kepustakaan yang dapat memberikan informasi atau keterangan yang dibutuhkan oleh peneliti yang berhubungan dengan pembahasan atau judul yang penulis angkat. 4. Analisis Data Setelah semua data yang diperlukan terkumpulkan, maka penulis akan menganalisis dengan menggunakan metode berikut : a. Deskriptif Verifikatif.

16

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitaif Kualitatif Dan R&D (Bandung : Alfabeta, 2010), hlm, 224. 17 STAIN Pamekasan, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Pamekasan: STAIN Press, 2011), hlm. 24. 18 Sugiono, Metode Penelitian. Hlm. 240.

20

Yakni menguraikan atau menggambarkan data-data hasil penelitian mengenai pembagian harta dengan sistim hibah, yang kemudian dilanjutkan dengan menganalisis secara mendalam yang bertujuan untuk memeriksa, menguji, serta membuktikan mengenai proses hibah-waris tersebut dengan menggunakan dasar tinjauan hukum Islam. b. Pola Pikir Deduktif. Yakni penarikan kesimpulan dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum kepada pernyataan yang bersifat khusus tentang permasalahan yang diangkat. Dimulai dari pengertian hiyal Al- syar’iyah, hibah dan waris dalam tinjauan hukum Islam yang bersifat umum sampai pada hasil analisis hukum Islam yang bersifat khusus dalam permasalahan tersebut.

21

BAB II TINJAUAN UMUM HIYAL AL-SYAR’IYAH, DAN HIBAH-WARIS

A. Hiyal Al- Syar’iyah 1. Pengertian Hiyal Al-Syar’iyah Secara bahasa kata hilah adalah kata bentukan (derivasi) dari kata tahawwala yang menunjukkan arti ragam dan keadaan, seperti kata al-jilsah, alqa’dah, ar-rakbah dan lain-lain. Ketika huruf awal kata tersebut berbaris kasrah, maka ia menunjukkan arti keadaan, dan ketika berbaris fathah, ia menunjukkan momen, sebagaimana dikatakan dalam tasrif (aturan perubahan kata dalam tata bahasa Arab), al-fa’latu lil marrah (kata yang seimbang dengan fa’lah menunjukkan arti momen) dan al-fi’latu lil hali (dan yang seimbang dengan alfi’lah menunjukkan arti keadaan). Ain fi’il-nya (huruf tengah pada kata dasarnya) adalah huruf wawu, karena ia terambil dari kata hala-yahulu. Huruf wawu pada kata hilah berubah menjadi ya’, karena huruf pertamanya berbaris kasrah, sebuah wazan (pola suku kata) yang lumrah dalam tata bahasa Arab seperti kata mizan, miqat, dan mi’ad.19 Kata hilah semestinya berwazan mif’aal. Kata ini menunjukkan arti sebuah tindakan khusus yang menyebabkan pelakunya mengalami perubahan dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Kemudian penggunaan kata tersebut berkembang 19

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, I’lam Al- Muwaqqi’en ‘An Rabb Al-‘Alamin (Beirut: Daar Al Kutub Al-‘Ilmiah, 1996), hlm., 618.

22

menjadi istilah yang lebih khusus dengan mengalami penyempitan makna, yakni kiat atau cara terselubung yang menghantarkan seseorang untuk mencapai tujuan dan maksudnya. Cara ini tidak ditemukan kecuali dengan menggunakan kecakapan dan keahlian khusus. Pengertian ini lebih sempit dari pada pengertian secara etimologis, baik yang ditunjuk itu sesuatu yang diharamkan atau sesuatu yang dibolehkan.20 Pada perkembangan selanjutnya kata hilah menunjukkan pengertian yang lebih sempit lagi dari dua arti yang disebutkan di atas. Dalam hal ini kata tersebut dipahami sebagai cara atau upaya yang ditempuh dalam rangka mencapai tujuantujuan yang terlarang, baik oleh agama, akal atau tradisi. Al-hilah, jamaknya al-hiyal yang artinya kecerdikan, tipu daya, muslihat, siasat, dan alasan yang dicari-cari untuk melepaskan diri dari suatu beban/tanggung jawab. Melakukan amalan yang pada lahirnya dibolehkan untuk membatalkan hukum syara’ lainnya.21

‫اﳊﻴﻠﺔ ﻫﻲ ﺗﻘﺪﱘ ﻋﻤﻞ اﻟﻈﺎﻫﺮ اﳉﻮاز ﻻﺑﻄﺎل ﺣﻜﻢ ﺷﺮﻋﻲ و ﲢﻮﻳﻠﻪ ﻣﻦ اﻟﻈﺎﻫﺮ اﱃ ﺣﻜﻢ اﺧﺮ‬ Artinya: Hilah adalah menampilkan suatu perbuatan yang kalau dilihat dari luarnya adalah boleh untuk membatalkan hukum syara’ dan mengubahnya kepada hukum yang lainnya. 22 Bagi para fuqaha’ lafadz tersebut dipakai untuk suatu siasat yang digunakan untuk menghindarkan wajib syari’at. Dijelaskan Ibnu Hajar di dalam kitab fathul bari’, al-hilah mempunyai arti, segala cara yang mengantarkan

20

Ibid. Abdul Aziz Dahlan, et. Al. Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 1 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), hlm., 553. 22 Muhammad Rawwas Qal’ahji, Ensiklopedi Fiqih Umar Bin Khattab RA (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hlm., 153. 21

23

kepada tujuan dengan cara yang tersembunyi (lembut).23 Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,”Sesungguhnya kata umum al-hilah, bila diarahkan menurut pemahaman ulama fiqih mengandung arti tipu daya atau cara yang dipakai untuk menghalalkan hal-hal yang haram, sebagaimana tipu dayanya orang-orang Yahudi”. Ibnu Qudamah berkata,”Yaitu dengan menampakkan transaksi yang mubah, sebagai tipu daya dalam melakukan hal yang diharamkan atau jalan yang mengantarkan kepada sesuatu yang telah Allah haramkan”.24 Artinya dengan tindakan sebagaimana dikerjakan oleh seorang mukalaf yang terkena kewajiban syari’at menjadi gugurlah kewajiban tersebut karenanya. Misalnya menghibahkan harta benda menjelang tahun zakat kepada orang yang diyakini akan mengembalikannya sesudah tahun zakat lewat. Tindakan semacam itu dilakukan untuk menghindari kewajiban zakat. Sebab menurut kenyataannya pada akhir tahun perhitungan zakat harta bendanya kurang dari satu nisab, karena sudah dihibahkan kepada seseorang. Menurut imam Asy-Syatibi, secara umum hilah tidak disyari’atkan dalam agama25. Yang dimaksud hilah adalah mengerjakan suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan, namun terkandung maksud pelaku untuk menghindarkan diri dari suatu kewajiban syara’ yang lebih penting dari pada amalan yang dilakukannya tersebut. Misalnya, seseorang yang menghibahkan hartanya. Hibah tersebut dilakukan ketika haul (waktu perhitungan wajibnya mengeluarkan zakat) sudah mendekat, seperti beberapa hari sebelum haul, dan nisab harta yang wajib dizakatkan pun telah tercapai26. Pada dasarnya, tindakan seseorang menghibahkan

23

Ibnu Hajar, Fathul Bari’, Juz 12 (Dar al-Fikr, t.t), hlm., 326. Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Juz 4 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm., 179. 25 Abi Ishak Asy-Syathibi, Al-Muwafaqat, jilid 2 (Mesir: Dar Ibnu Qayyim, 2006), hlm. 380. 26 Abi Ishak Asy-Syathibi, Al-Muwafaqat, jilid 5 (Mesir: Dar Ibnu Qayyim, 2006), hlm., 187-188. 24

24

sebagian hartanya adalah terpuji, karena hibah bertujuan untuk membantu sesama manusia. Akan tetapi apabila hibah itu dilakukan di saat kewajiban zakat sudah mendekat, maka sikap ini berarti suatu pelarian dari kewajiban zakat. Dengan adanya menghibahan sebagian harta itu, maka nisab zakat menjadi tidak tercapai lagi. Akibatnya, zakat tidak wajib bagi penghibah tersebut. Dalam kaitan ini, menurut Asy-Syatibi, terdapat pertentangan antara hukum hibah yang sunnah dan hukum zakat yang wajib. Dalam pertentangan ini, hukum wajib harus didahulukan. Oleh sebab itu, perbuatan menghibahkan harta di saat sudah mencapai satu nisab dan mendekati hari haulya merupakan suatu tindakan pelarian diri dari suatu kewajiban yang dilarang syara’.

2. Pandangan Ulama Fiqih Terhadap Hiyal atau Hilah

a. Ulama Yang Mengharamkan Perbuatan Hiyal Atau Hilah Jumhur ulama mengharamkan hiyal. Mereka mengemukakan alasan baik dari Al-Qur’an, As-Sunnah, logika maupun dari segi fatwa kebanyakan para sahabat. Menurut Al-Syatibi, seorang ulama ushul fiqh mengatakan bahwa perbuatan hilah menjadi terlarang apabila bertujuan atau bermaksud untuk melarikan atau menghindarkan diri dari kewajiban yang sudah ditentukan oleh syariat meskipun cara penghindaran atau pelarian mereka baik. Seperti, lari dari ketentuan membayar zakat.27 Alasan haramnya melakukan hilah melalui teori istiqra’ (induksi dari berbagai dalil). Diantaranya, ayat-ayat yang berkaitan dengan orang munafik dan 27

Ibid.

25

orang-orang yang berlaku riya’ (tidak ikhlas) dalam beramal, yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 8-12 dan 264.28               

                                          Artinya: Diantara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian," padahal mereka itu Sesungguhnya bukan orangorang yang beriman. mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, Padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. dan bila dikatakan kepada mereka:"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi". mereka menjawab: "Sesungguhnya Kami orang-orang yang Mengadakan perbaikan." Ingatlah, Sesungguhnya mereka Itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.29 Dan dalam surat al-Baqarah ayat: 26430, yaitu sebagai berikut:                                          

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan Dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah Dia bersih (tidak bertanah). mereka tidak menguasai

28

Abdul Aziz Dahlan. et. Al, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 1 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), hlm., 556. 29 Al-Qur’an Dan Terjemahannya, hlm., 3. 30 Ibid., 44.

26

sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.

Allah SWT mencela kedua kelompok orang ini, karena ucapan dan perbuatan mereka bertentangan dengan tujuan syariat. Orang munafik mengucapkan dua kalimat syahadat bukan untuk menunjukkan penyerahan diri dan kepatuhan kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW, tetapi hanya sekedar untuk memelihara keamanan harta dan jiwa mereka. Oleh sebab itu, tujuan orangorang munafik dan orang-orang yang tidak ikhlas beramal tidak sejalan, bahkan bertentangan dengan tujuan syariat. Predikat munafik adalah deskripsi yang paling tepat bagi mereka. Maka, memanipulasi hukum itulah arti dari hilah dan mencari-cari jalan dengan cara yang licik untuk menyembunyikan kenyataan bahwa sebenarnya tujuannya adalah melakukan sesuatu yang diharamkam. Oleh karena itu, tingkah laku pelaku hilah ini mendapat predikat “jalan yang licik” atau thariq al-khaida’, karena perbuatan luar mereka berbeda dengan motif mereka yang tersembunyi, yang amat sulit terdeteksi dari luar. Nash-nash al-Qur’an dan hadis nabi telah menerangkan hal itu. Diantaranya yang terdapat dalam al-Qur’an31 adalah cerita Ashabus Sabt, dimana mereka diharamkan mencari ikan pada hari sabtu. Tapi mereka tetap mendatangi sungai yang menuju ke laut. Mereka meletakkan jala pada hari jum’at kemudian ikan-ikan masuk ke dalam jala pada hari sabtu, dan mereka mengambilnya pada

31

Muhammad Rawwas Qal’ahji, Ensiklopedi Fiqih Umar Bin Khattab RA, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hlm., 153.

27

hari berikutnya. Hukuman bagi mereka adalah dengan mengubah wujud mereka. Cerita ini disebutkan dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 16332:                              

Artinya: Dan Tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka Berlaku fasik.”

Larangan hilah juga dapat dilihat dalam sunnah Rasulullah SAW, diantaranya hadits tentang peringatan Rasulullah SAW terhadap umat Islam untuk tidak melakukan hilah dalam masalah lemak bangkai. Yaitu hadits yang berbunyi:

‫ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس ﻟﻌﻦ اﷲ اﻟﻴﻬﻮد ﺣﺮﻣﺖ ﻋﻠﻴﻬﻢ اﻟﺸﺤﻮم ﻓﺠﻤﻠﻮﻫﺎ ﻓﺒﺎﻋﻮﻫﺎ واﻛﻠﻮا ﲦﻨﻬﺎ و ان ﷲ اذا‬ (‫ﺣﺮم ﻋﻠﻰ ﻗﻮم اﻛﻞ ﺷﻲء ﺣﺮم ﻋﻠﻴﻬﻢ ﲦﻨﻪ )رواﻩ اﺑﻮ داود وﺻﺤﺤﻪ اﳊﺎﻛﻢ و ﻏﲑﻩ‬ Artinya : Dari Ibnu Abbas bahwasanya Allah telah melaknat orang yahudi, diharamkan atas mereka lemak bangkai, kemudian mereka mencairkannya, kemudian mereka menjualnya dan memakan hasilnya (harganya), dan sesungguhnya Allah apabila telah mengharamkan atas suatu kaum memakan sesuatu maka haram juga memakan harganya (hasil penjualannya). (HR. Abu Daud). Imam

Asy-Syathibi

mengemukakan

enam

prinsip

dasar

yang

menyebabkan hilah dilarang, yaitu: 1) Tujuan pelaku hilah bertentangan dengan tujuan syari’at (Allah SWT dan Rasulullah SAW). Misalnya, dalam kasus nikah tahlil 2) Akibat perbuatan hilah membawa kepada kemafsadatan yang dilarang syara’. Misalnya, dalam kasus hibah diatas, perbuatan hibah tersebut 32

Al-Qur’an Dan Terjemahannya, hlm., 171.

28

menyebabkan munculnnya akibat atau kemafsadatan yang lebih besar, yaitu gugurnya kewajiban zakat. 3) Dalam akad yang dilaksanakan berdasarkan hilah, kehendak untuk melakukan akad itu tidak ada. Maksudnya, unsur kerelaan dalam akad yang ditempuh dalam hilah tidak ada, sedangkan unsur rida atau kerelaan dalam setiap akad sangat menentukan keabsahan akad itu sendiri. Dalam masalah hilah, menurut Asy-Syathibi, unsur rida ini pun tidak ada. Misalnya dalam kasus hibah di atas, orang yang menghibahkan hartanya hanyalah sekedar pelarian dari kewajiban zakat bukan atas kerelaan yang tulus. Dengan demikian, ia sebenarnya hanya terpaksa menghibahkan hartanya, sehingga harta yang keluar lebih sedikit dibanding dengan zakat. 4) Hilah itu batal karena syaratnya bertentangan dengan kehendak akad. 5) Hilah merupakan pembatalan terhadap hukum, sebab, hilah dilakukan dengan meninggalkan, atau menambah syarat yang menyalahi ketentuan syariat. 6) Alasan haramnya melakukan hilah melalui teori istiqra’ (induksi dari berbagai dalil). Diantaranya, ayat-ayat yang berkaitan dengan orang munafik dan orang-orang yang berlaku riya’ (tidak ikhlas) dalam beramal, yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 7-12 dan 264. Hadis lainnya yang menjadi alasan dilarangnya melakukan hilah adalah hadis tentang nikah tahlil 33.

(ُ‫ُﻮل اَﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ اَﻟْ ُﻤ َﺤﻠﱢ َﻞ وَاﻟْ ُﻤ َﺤﻠﱠ َﻞ ﻟَﻪ‬ ُ ‫ ) ﻟَ َﻌ َﻦ َرﺳ‬: ‫َﺎل‬ َ ‫َوﻋَﻦ اﺑْ ِﻦ َﻣ ْﺴﻌُﻮٍد رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ ﻗ‬ .ُ‫ﺻ ﱠﺤ َﺤﻪ‬ َ ‫ي َو‬ ‫ َواَﻟﺘـ ْﱢﺮِﻣ ِﺬ ﱡ‬, ‫ وَاﻟﻨﱠﺴَﺎﺋِ ﱡﻲ‬, ‫رَوَاﻩُ أَﲪَْ ُﺪ‬ 33

Abi Ishaq Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, juz 2 (Mesir: Daar Ibnu Qayyim, 2006), hlm. 383.

29

Artinya: Ibnu Mas'ud berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat muhallil (laki-laki yang menikahi seorang perempuan dengan tujuan agar perempuan itu dibolehkan menikah kembali dengan suaminya) dan muhallal lah (laki-laki yang menyuruh muhallil untuk menikahi bekas istrinya agar istri tersebut dibolehkan untuk dinikahinya lagi)." Riwayat Ahmad, Nasa'i, Dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut Tirmidzi Dan hadis Rasulullah SAW yang berbunyi sebagai berikut34:

‫ ﻻﺗﺮ ﺗﻜﺒﻮا ﻣﺎ ارﺗﻜﺒﺖ اﻟﻴﻬﻮد ﻓﺘﺴﺘﺤﻠﻮا ﳏﺎرم اﷲ ﺑﺄدﱏ اﳊﻴﻞ‬: ‫ﻗﺎل اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬ Artinya: Janganlah melakukan seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang yahudi, sehingga kalian menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah dengan melakukan tipu daya atau siasat yang rendah dan hina.

Rasulullah SAW melarang orang Islam yang wajib zakat melakukan siasat (hilah) dengan tujuan agar tidak berkewajiban atau agar memperkecil jumlah yang harus dibayarnya, sabda Rasulullah SAW35:

‫ﻻ ﳚﻤﻊ ﺑﲔ ﻣﺘﻔﺮﻗﺔ وﻻ ﻳﻔﺮق ﺑﲔ ﳎﺘﻤﻊ ﺧﺸﻴﺔ اﻟﺼﺪﻗﺔ‬ Artinya: Jangan dikumpulkan antara hewan-hewan yang beda jenisnya dan jangan dipisah-pisahkan antara hewan-hewan yang berkumpul dalam satu jenis karena takut membayar zakat....”(Rw. Abu Dawud dan adDaruqutni). Adanya fatwa-fatwa dari sahabat tentang haramnya ber-hilah tidak ada yang mengingkari. Seperti haramnya nikah muhallil, haramnya menggadaikan harta yang sudah dikenakan kewajiban zakat dan lain sebagainya. Pendapat yang dikenakan kewajiban zakat dan lain sebagainya. Pendapat yang mengatakan bahwa Imam Abu Hanifah membolehkan ber-hilah tidak benar. Sebab Imam Abu Hanifah tidak membolehkan bertransaksi (bertasharuf) yang bertujuan untuk membatalkan syari’at. Dia membolehkan bertransaksi bila tidak ada maksud yang 34 35

Ibid. hlm. 372. Ibid.

30

demikian. Oleh karena itu orang yang menghibahkan hartanya menjelang tahun zakat dengan maksud tidak menghindarkan diri dari kewajiban zakat diperkenankan, kendati membawa akibat gugurnya kewajiban membayar zakat. Adapun bila yang menghibahkan hartanya itu untuk bermaksud untuk menghindarkan diri dari wajib zakat, tidak saja menurut imam Abu Hanifah, akan tetapi seluruh ulama tidak memeperkenankan.

b. Ulama Yang Membolehkan Perbuatan Hiyal Atau Hilah

Sebagian Fuqaha’ membolehkannya. Mereka mengemukakan alasanalasan baik yang diistinbatkan dari ayat Al-Qur’an, Al-Hadits, maupun dari logika. Allah SWT mengajarkan kepada Nabi Yusuf A.S suatu hilah yang dipergunakan untuk menghadapi saudaranya, dalam firman-Nya:                Artinya: Maka tatkala telah disiapkan untuk mereka bahan makanan mereka, Yusuf memasukkan piala (tempat minum) ke dalam karung saudaranya. kemudian berteriaklah seseorang yang menyerukan: "Hai kafilah, Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang mencuri. (QS. Yusuf: 70)36

Segala

perikatan

syar’iyah

pada

hakikatnya

adalah

hilah

yang

dipergunakan untuk mempengaruhi dan mencapai tujuan. Perikatan jual-beli misalnya, adalah hilah mentransaksikan harta, pernikahan adalah hilah untuk halalnya bersetubuh dengan istri tanpa batas, dan jaminan hutang (rahn) adalah hilah memperoleh hak bagi orang yang menghutangkan (kreditur) atas harta orang 36

Al-Qur’an Dan Terjemahannya, hlm., 244.

31

yang berhutang (debitur). Oleh karena itu, hilah seperti ini tidak dilarang dalam syariat. Ayat tersebut mempunyai maksud, agar saudara Yusuf yang bernama Bunyamin tetap tinggal bersamanya sebagai tawanan, maka Yusuf memerintahkan agar memasukkan siqayah (bejana tempat minuman) ke dalam kemasan bekal yang bakal dibawa Bunyamin yang akhirnya dituduh bahwa dia telah mencurinya. Karena kedapatan bukti, maka tuduhan mencuri atas Bunyamin dibenarkan oleh saudara-saudaranya. Dan sebagai hukuman bagi pencuri menurut syari’at Nabi Yaqub (bapak Yusuf) Bunyamin ditahan dan tinggal bersama Yusuf. Hilah (siasat untuk menghindari) tidaklah digunakan selain untuk jalan keluar dari kesulitan seseorang. Tidak hanya seorang mufasir yang menafsirkan lafazh  dalam firman Allah SWT:

           

                     Artinya: Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. (QS. At-Thalaq: 2)37

Sedangkan ulama Madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa perbuatan hilah diperbolehkan apabila tujuannya baik dan sejalan dengan 37

Ibid., 558.

32

tujuan syara’, sekalipun cara yang dilakukannya tidak baik, akan tetapi menurut mereka, pelakunya berdosa karena menempuh cara yang tidak baik.38 Dasar hukum yang dipakai Madzhab ini adalah ayat al-Qur’an surat AnNisa’ ayat 98:             Artinya: kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anakanak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah).39 Lain halnya pendapat Majid Khadduri, menurut beliau perbuatan hilah dalam bentuk hibah karena ingin memberikan harta dalam jumlah yang lebih besar daripada jumlah yang dibolehkan dalam hukum kewarisan Islam (faraid}) bukanlah perbuatan ilegal. Hilah dalam hal ini menurutnya adalah legal fiction atau fiksi hukum yang bijak yang sebenarnya merupakan subordinasi keadilan substantif. Atas dasar pemikiran seperti inilah menurut Majid Khadduri para ulama Madzhab Hanafi membolehkan pemakaian hilah dalam kerangka fiksi hukum yang bijak (wisdom legal fiction), bukan hilah dalam menghindari kewajibankewajiban agama yang absolut keadilannya.40

B. Hibah 1. Pengertian Hibah.

38

Abdul Aziz Dahlan. (et. al), Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 1 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), hlm., 555 39 Al-Qur’an Dan Terjemahannya, hlm., 94. 40 Mukhtar Zamzami, Hiyal Asy-Syar’iyah Dalam Praktik Hibah Dan Wasiat, Makalah disajikan dalam RAKERNAS Mahkamah Agung dengan Pengadilan Seluruh Indonesia Tahun 2011, (Jakarta, 18-22 September 2011), hlm. 6.

33

Kata hibah berasal dari kata hubuubur riih yang berarti muruuruha perjalanan angin. Kemudian kata hibah dengan maksud ialah memberikan sesuatu kepada orang lain, baik harta ataupun selainnya.41 Secara pengertian syara’, hibah adalah akad pemberian harta milik seseorang kepada orang lain pada saat ia masih hidup, tanpa adanya imbalan. 42 Apabila seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tanpa hak kepemilikan, maka hal tersebut disebut pinjaman. Artinya jika hak kepemilikan masih belum terlaksana pada saat pemberinya masih hidup, maka pemberian tersebut tidak dinamakan hibah. Ulama’ madzhab hambali mendefinisikan hibah sebagai pemilikan harta dari seseorang kepada orang lain yang mengakibatkan orang yang diberi boleh melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut, baik harta itu tertentu maupun tidak, bendanya ada dan bisa diserahkan. Sedangkan penyerahannya dilakukan ketika pemberi masih hidup tanpa mengharapkan imbalan.43 Dari kedua definisi yang telah disebutkan di atas, sama-sama mengandung makna pemberian harta kepada seseorang secara langsung tanpa adanya unsur mengharapkan imbalan apapun, kecuali pemberian tersebut hanya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hibah adalah merupakan suatu pemberian yang bersifat sukarela (tidak ada sebab dan musababnya) tanpa ada kontra prestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup (inilah yang membedakannya 41

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, trj. Nor Hasanuddin, et. Al. (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), hlm., 435. 42 Ibid. 43 Abdul Aziz Dahlan. et. Al, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 7 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2006), hlm., 540.

34

dengan wasiat, yang mana wasiat diberikan setelah si pewasiat meninggal dunia). Dalam istilah hukum perjanjian yang seperti ini dinamakan juga dengan perjanjian sepihak (perjanjian unilateral) sebagai lawan dari perjanjian bertimbal balik (perjanjian bilateral).

2. Dasar Hukum Hibah Di dalam al-Qur'an tidak terdapat ayat yang secara eksplisit yang menerangkan tentang Hibah. tetapi ada beberapa ayat yang dapat dijadikan pedoman secara umum tentang Hibah. Salah satunya yaitu firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 38 yaitu :                   Artinya : Di sanalah Zakariya mendoa kepada Tuhannya seraya berkata: "Ya Tuhanku, berilah Aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa". Serta dalam surat al-Munafiqun ayat: 10 yang berbunyi:                      

Artinya : Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang Telah kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, Mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan Aku dapat bersedekah dan Aku termasuk orang-orang yang saleh?" Bahkan dalam keterangan lain disebutkan bahwa Rasulullah saw pernah menerima hadiah dari orang kafir. Beliau menerima hadiah dari Kisra, Kaisar, dan dari Muqaukis. Begitu juga beliau memberikan hadiah dan hibah kepada orang-

35

orang kafir44. Dengan demikian kita bisa menerima pemberian dari siapa saja, dan boleh menghibahkan sesuatu untuk siapa saja pula.

3. Rukun Hibah. Ulama’ sepakat bahwa hibah dianggap sah apabila sudah memenuhi rukun dan syarat tertentu. Tanpa rukun dan syarat tersebut maka tidak akan sah hibah tersebut. Berkenaan dengan syarat dan rukun hibah ini, ulama’ madzhab hambali berpendapat bahwa rukun hibah itu adalah adanya ijab (ungkapan penyerahan sesuatu yang dihibahkan), kabul (ungkapan penerimaan), dan qabd (harta tersebut dapat dikuasai langsung)45. Jumhur ulama’ sepakat bahwa rukun hibah itu ada empat46 yaitu : a. Orang yang menghibahkan b. Harta yang dihibahkan c. Lafal hibah d. Orang yang menerima hibah.

4. Syarat Hibah Hibah mengharuskan adanya pihak pemberi hibah (al-wahib), penerima hibah (al- mauhub lah), dan sesuatu yang dihibahkan (al-hibah), serta ada ijab dan qabul47 (serah terima). a. Syarat Pemberi Hibah (al-wahib) 1. Pemberi hibah memiliki barang yang dihibahkan

44

Ibid. hlm. 437. Abdul Aziz Dahlan. et. Al, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 7 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2006), hlm., 540. 46 Ibid. 47 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut Hukum Perdata (BW) (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), hlm., 149. 45

36

2. Pemberi hibah bukan orang yang dibatasi haknya. 3. Pemberi hibah adalah baligh 4. Pemberi hibah tidak dipaksa, sebab akad hibah mensyaratkan keridhaan. 5. Dalam keadaan sehat48 b. Syarat Penerima Hibah (al- mauhub lah) Fuqoha’ sepakat bahwa orang yang diberi hibah hendaklah dewasa dan berakal (aqil-baligh) serta mukallaf, mampu bertindak menurut hukum dalam transaksi dan berhak menerima49. Menurut Sayyid Sabiq, syarat bagi penerima hibah adalah hadir pada saat pemberian hibah50, apabila tidak ada atau diperkirakan ada, misalnya janin, maka hibah tersebut tidak sah. Apabila penerima hibah ada pada saat pemberi hibah, tetapi masih kecil atau gila, maka hibah tersebut diambil oleh walinya, pemeliharanya atau pendidiknya, sekalipun orang asing. c. Syarat Barang Yang Dihibahkan (al-hibah) Adapun syarat untuk barang yang dihibahkan adalah sebagai berikut : 1. Benda itu benar-benar wujud (ada). 2. Bisa diserahkan51. 3. Benda tersebut bernilai. 4. Benda itu milik si pemberi.

48

Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, cet. 2 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), hlm., 470. 49 Ibid., hlm. 149. 50 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, trj. Nor Hasanuddin, et. Al. (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), hlm., 438. 51 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut Hukum Perdata (BW) (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), hlm., 149.

37

5. Benda tersebut dapat dimiliki zatnya, yakni barang tersebut adalah sesuatu yang dimiliki, diterima peredarannya, dan pemilikannya dapat berpindah tangan. Karena itu, tidak sah contohnya menghibahkan air di sungai, ikan di laut dan sebagainya52. 6. Tidak berhubungan dengan tempat milik pemberi hibah secara tetap, seperti menghibahkan tanaman, pohon, atau bangunan tanpa tanahnya. Akan tetapi, barang yang dihibahkan itu wajib dipisahkan dan diserahkan kepada penerima hibah sehingga menjadi milik baginya53. 7. Dikhususkan, yakni barang yang dihibahkan bukan milik umum, sebab kepemilikan tidak sah kecuali apabila ditentukan seperti halnya jaminan. Imam Malik, Syafi’i, Ahmad dan Abu Tsaur berpendapat bahwa tidak ada syarat tersebut. Mereka berkata bahwa sesungguhnya hibah sah apabila untuk umum yang tidak dibagi-bagi. Sedangkan kalangan Maliki membolehkan hibah sesuatu yang tidak sah dijual seperti unta liar, buah sebelum tampak hasilnya, dan barang hasil rampasan54. d. Iijab dan Qabul, Ijab-qabul (serah terima) harus dilakukan dengan adanya sighat yang jelas. Syarat sighat (lafadz aqad) menurut imam Syafi’I sama dengan sighat jual beli 55 diantaranya :

52

Sabiq, Fiqih Sunnah, hlm., 438. Ibid. 54 Ibid. 55 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut Hukum Perdata (BW) (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), hlm., 149. 53

38

1. Qabul harus sesuai dengan ijab. Bila si pembeli bilang, kamu saya beri dua ekor kambing, kemudian yang diberi menerimanya dengan ucapan saya terima salah satunya, maka hibah itu tidak sah. 2. Qabul harus diucapkan segera setelah ucapan ijab selesai, tidak boleh terpisah oleh sesuatu yang sifatnya lain (tidak ada hubungannya dengan akad). 3. Aqad itu tidak digantungkan dengan sesuatu.

C. Waris Dalam tradisi jahiliyah, orang arab memberikan warisan hanya kepada kaum adam, dan orang-orang yang sudah dewasa56. Mereka hanya menganggap sunah memberikan harta warisan kepada saudara suami. Kaum jahiliyah arab memberikan warisan berdasarkan sumpah dan kesepakatan yang didasarkan saling membantu. Misalnya, pada suatu saat seseorang berkata pada temannya, “tanggunganku adalah tanggunganmu, dan warisanku adalah warisanmu”. Dari ucapan tersebut maka terjadi hukum waris-mewarisi antara seseorang dengan temannya yang sudah dianggap sebagai saudaranya sendiri. Kemudian tradisi itu dihapus, diganti dengan pewarisan sebab masuk Islam dan sebab hijrah, namun kemudian dihapus juga. Ajaran Islam sebagai ajaran yang universal mengajarkan tentang segala aspek kehidupan manusia,termasuk dalam hal pembagian harta warisan. Islam mengajarkan tentang pembagian harta warisan dengan seadil-adilnya agar harta menjadi halal dan bermanfaat serta tidak menjadi malapetaka bagi keluarga yang

56

Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i. trj. Muhammad Afifi, et.al (Jakarta: Almahira, 2010), hlm. 78.

39

ditinggalkannya. Dalam kehidupan di masyarakat, tidak sedikit terjadi perpecahan, pertikaian, dan pertumpahan darah akibat perebutan harta warisan. Pembagian harta warisan di dalam Islam diberikan secara detail, rinci, dan seadil-adilnya agar manusia yang terlibat didalamnya tidak saling bertikai dan bermusuhan. Dengan adanya system pembagian harta warisan tersebut menunjukan bahwa Islam adalah agama yang tertertib,teratur dan damai. Pihakpihak yang berhak menerima warisan dan cara pembagiannya itulah yang perlu kita pelajari. 1. Pengertian Waris (Faraidh) Secara bahasa, waris (Faraidh) adalah bentuk jamak dari kata faridhah yang diambil dari kata fardh yang berarti takdir (ketentuan)57. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 23758:    …. Seperdua dari yang telah kamu tentukan… Dalam istilah syara’ yang dimaksud dengan fardh adalah bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris. Adapun ilmu yang berhubungan dengan hal tersebut dinamakan ilmu waris atau ilmu Faraidh59. Kata mawaris berasal dari kata waris (bahasa arab) yang berarti mempusakai harta orang yang sudah meninggal, atau membagi-bagikan harta peninggalan orang yang sudah meninggal kepada ahli warisnya. Ahli waris adalah orang-orang yang mempunyai hak untuk mendapat bagian dari harta peninggalan orang yang telah meninggal.

57

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, trj. Nor Hasanuddin, et. Al. (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), hlm., 479. 58 Al-Qur’an Dan Terjemahannya, hlm., 38. 59 Sabiq, Fiqih Sunnah, hlm., 479.

40

2. Dasar Hukum Faraidh. Bagi seorang muslim, apakah dia laki-laki atau perempuan yang tidak memahami atau tidak mengerti hukum waris Islam maka wajib hukumnya baginya untuk mempelajari hukum waris Islam. Dan sebaliknnya, bagi siapa yang telah memahami dan menguasai hukum waris Islam maka berkewajiban pula untuk mengajarkannya kepada orang lain.60 Berkenaan dengan hukum Faraidh ini tidak ada satu ketentuan pun (nash) yang menyatakan bahwa membagi harta warisan menurut ketentuan Faraidh itu tidak wajib. Bahkan sebaliknya di dalam surah an-nisa’ ayat 13 dan 14 Allah swt menetapkan:              

                     Artinya: (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungaisungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.61

Dari ketentuan ayat di atas jelas menunjukkan perintah dari Allah swt agar kaum muslimin dalam melaksanakan pembagian harta warisan haruslah berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah di dalam al-Qur’an.

60

Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap Dan Praktis) Edisi ke 2 (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm., 1. 61 Al-Qur’an Dan Terjemahannya, hlm., 79.

41

3. Aturan-aturan Pembagian Harta Warisan. Telah dijelaskan pada penjelasan di atas bahwa hukum mempelajari dan hukum melaksanakan Faraidh adalah wajib hukumnya. Bukan hanya itu, siapa saja yang berhak menjadi ahli waris serta ketentuan-ketentuan atau jumlah bagian yang harus diterima oleh masing-masing ahli waris juga ditetapkan Allah dalam al-qur’an. Adapun dalil-dalil yang menjelaskan jumlah bagian yang harus diterima oleh masing-masing ahli waris sebagai berikut: Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 11 dan 12 yang menentukan siapa saja yang berhak menjadi ahli waris serta bagian masing-masing.                  

                                                                                                             

                                                     

Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masingmasingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal 42

itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan bagimu (suamisuami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.62 Al-Qur’an surah an-Nisa’ ayat 763:                      Artinya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan. Serta juga disebutkan dalam al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 3364:

62

Ibid., hlm., 78-79. Ibid., hlm., 78. 64 Ibid., hlm., 83. 63

43

                      Artinya: Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. dan (jika ada) orang-orang yang kamu Telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu. Surat al-Ahzab ayat 665:                           

     

Artinya: Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. dan orangorang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). adalah yang demikian itu Telah tertulis di dalam Kitab (Allah). Surah al-Anfal ayat 7566:             

           

Artinya: Dan orang-orang yang beriman sesudah itu Kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.

65 66

Ibid,. hlm., 418. Ibid., hlm., 186.

44

Dari uraian di atas telah jelas bahwa hukum mempelajari dan membagikan harta warisan dengan apa yang telah ditentukan oleh Allah swt adalah wajib hukumnya dengan berdasar pada nash al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi. Karena begitu pentingnya ilmu faraidh sehingga Allah tidak hanya memerintahkan kita untuk membagi harta kita dengan jalan faraidh, Allah pula menjelaskan sedetail mungkin di dalam al-Qur’an siapa saja yang berhak mendapatkan warisan (ahli waris), dan berapa jumlah bagian-bagian yang harus diterima oleh para ahli waris tersebut. D. Hibah-waris Istilah hibah-waris merupakan suatu istilah yang penulis gunakan terhadap praktik pembagian harta warisan dengan jalan hibah, yaitu disaat orang tua dalam keadaan masih hidup. Dalam pasal 211 KHI disebutkan bahwa hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan67. Dan hal ini dilengkapi dengan pasal 714 KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah) dengan klausul limitatif yang menyatakan bahwa hibah orang tua kepada anak diperhitungkan sebagai warisan apabila hibah tersebut tidak disepakati oleh ahli waris lainnya. Dari isi pasal 211 KHI dan pasal 714 KHES tersebut dapat dipahami bahwa praktik pembagian harta warisan dengan jalan hibah ini sudah berlaku dan menjadi satu rumusan hukum yang melegalkan praktik tersebut di Indonesia.

67

Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: CV Nuansa Aulia, 2012), hlm. 63.

45

Praktik pembagian harta warisan dengan jalan hibah ini banyak terjadi di kalangan masyarakat dengan berbagai cara dan alasan-alasan. Akan tetapi secara substansi pemberian harta (hibah) tersebut dianggap sebagai harta warisan 68. Disamping itu, Dalam masyarakat Madura yang dikenal fanatik terhadap agamanya yaitu Islam, mempunyai tradisi unik dalam membagi harta warisan mereka kepada ahli warisnya sebelum pewaris meninggal dunia, atau dengan kata lain harta tersebut dihibahkan kepada ahli warisnya tanpa kadar tertentu. Orang Madura menyebut praktik ini dengan nama sangkolan69. Adanya praktik seperti ini sudah terjadi secara turun temurun, dilestarikan dan tetap dipergunakan oleh masyarakat karena dipercaya membawa manfaat dan berkah jika dijaga dan akan membawa petaka (miskin) jika harta sangkolan tersebut diabaikan atau dijual oleh sang penerima sangkolan70. Secara umum, alasan-alasan masyarakat menggunakan praktik pembagian harta dengan jalan hibah ini adalah karena praktik tersebut dianggap sebagai jalan yang bertujuan agar tidak terjadi cekcok di kemudian hari ketika pewaris (orang tua) meninggal dunia71. Dan cara ini dianggap sebagai cara yang paling aman dan paling adil dalam membagikan harta orang tua kepada anak-anaknya. Akan tetapi, praktik yang sudah lumrah digunakan oleh masyarakat dalam membagikan hartanya kepada anak-anaknya dengan berdasar pada beberapa

68

Lihat skripsi Hendriyadi, Praktek Hibah Sebagai Harta Warisan di Desa Poreh Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep. Skripsi, Jurusan Syari'ah (AHS), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pamekasan tahun 2011. 69 Lihat skripsi Walidul Umam. Tradisi Sangkolan Di Kalangan Masyarakat Desa Bunten Barat Kecamatan Ketapang Kabupaten Sampang Madura, skripsi jurusan al-Ahwal al-Syakhshiyyah Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, Tahun 2009. Hlm. Abstrak. 70 Ibid. hlm 76. 71 Lihat skripsi Hendriyadi, Praktek Hibah Sebagai Harta Warisan di Desa Poreh Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep. Skripsi, Jurusan Syari'ah (AHS), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pamekasan tahun 2011. Hlm. Abstrak.

46

penelitian yang telah ada72, praktik yang sudah terjadi secara turun-temurun tersebut termasuk kategori pebuatan hilah (siasat). Hal ini dikarenakan masyarakat yang mempraktikkan praktik tersebut lebih memilih dengan jalan hibah untuk membagikan hartanya daripada menggunakan faraid (cara yang disyari’atkan oleh Allah), padahal Allah telah mewajibkan pembagian harta dengan jalan yang telah disyariatkan yaitu dengan jalan faraidh. Serta berdasar pada pendapat Ibn Qoyyim yang menyatakan bahwa hilah adalah bentuk manipulasi kepada Allah, dan upaya manipulatif kepada Allah adalah haram hukumnya73. Artinya, dalam praktik tersebut pelakunya menghindari hukum kewarisan Islam (faraid) yang hukumnya wajib dengan mensiasati membagi hartanya dengan jalan hibah yang hukumnya adalah sunnah. Praktik pembagian harta dengan jalan hibah seperti ini merupakan penyimpangan secara tidak langsung dari ketentuan qur’ani. Memang betul melakukan hibah juga ajaran agama, akan tetapi melakukan hibah dengan semangat agar anak laki-laki dan anak perempuan mendapat bagian yang sama, belum tentu benar menurut syari’at agama, atau hal tersebut merupakan perbuatan hilah yang harus kita hindari.

72

Hal ini berdasar pada hasil penelitian yang secara khusus membahas praktik pembagian harta dengan jalan hibah. Lihat skripsi Hendriyadi dan Walidul Umam. 73 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, I’lam Al- Muwaqqi’en ‘An Rabb Al-‘Alamin, Juz 3 (Beirut: Daar Al Kutub Al-‘Ilmiah, 1996), hlm. 123.

47

BAB III PANDANGAN IBNU QOYYIM AL-JAUZIYAH TERHADAP HIYAL ALSYAR’IYAH DALAM PRAKTIK HIBAH-WARIS

A. Riwayat Hidup Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah Ibn Qoyyim al-Jauziyyah yang selanjutnya dipanggil dengan sebutan Ibn Qoyyim merupakan nama populer dari Abu Abdillah Syamsuddien Muhammad bin Abi Bakr bin Ayub bin Sa`ad bin Huraiz bin Makiy Zainuddien Az-Zar`i AdDimasyqi74. Beliau dilahirkan pada tanggal 7 Shafar 691 H75 dan wafat pada malam kamis setelah adzan isya’ tanggal 13 Rajab 751 H76. Beliau tumbuh dewasa dalam suasana ilmiah yang kondusif. Ayahnya Syaikh Abu Bakar Bin Ayyub Az-Zar’i mendirikan madrasah al-Jauziyah di Damaskus77 dan beliau menjadi kepala sekolah (qoyyim) al-Jauziyah yang didirikannya selama beberapa tahun. Karena itulah, sang ayah digelari Qoyyim alJauziyah. Karena itu pula anak-anak imam Syaikh Abu Bakar bin Ayyub dikenal dikalangan ulama’ dengan nama Ibnu Qoyyim al- Jauziyah. Hanya saja ketika

74

Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Kunci Kebahagiaan, trj. Abdul Hayyie al-Katani. et. Al. (Jakarta: Akbar Eka Sarana, 2004), hlm. 3. 75 Untuk tahun kelahiran Ibn Qoyyim Al-Jauziyah ini menurut pendapat Dr. Bakar Abu Zaid, dalam kitab-kitab Tarajum (biografi) sepakat mengatakan bahwa Ibnu Qoyyim lahir pada tahun 691 H. 76 Ibid., hlm. 13. 77 Ahmad Farid, Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah Sebuah Biografi Singkat, trj. Masturi Irham dan Asmu’i Taman (t.t: Pustaka Al Kautsar, t.t), hlm. 3.

48

sebutan ini disampaikan secara mutlak, maka beliaulah rahimahullah yang dimaksud, karena sebutan ini nyaris menyatu dengan dirinya 78. Beliau rahimahullah hidup pada suatu masa dimana ilmu-ilmu keIslaman telah disusun dan disebarluaskan di berbagai penjuru dunia. Pada masa itu Damaskus termasuk pada salah satu kawasan yang dikenal kaya dengan ilmu pengetahuan, dan merupakan kiblat dan persinggahan perjalanan para ulama’. Disana menjadi tempat impian seseorang untuk menuntut ilmu dan orang-orang yang ingin memuaskan dahaga akan ilmu pengetahuan. Maka tidak mengherankan perjalanan menuntut ilmu Ibn Qoyyim tidak terlalu populer. Hal itu dikarenakan di Damaskus sendiri sudah menjadi pusat ilmu pengetahuan, dan bagaimana mungkin seorang Ibn Qoyyim pergi dari Damaskus untuk mencari ilmu dengan keadaan Damaskus yang seperti itu. Bahkan Syaikhul Islam sang lautan ilmu yang tidak pernah kering Ibnu Taimiyah pun justru datang ke kota tersebut79. Ibn Qoyyim memiliki keinginan yang sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Beliau memiliki tekad yang luar biasa dalam mengkaji dan menelaah semua disiplin ilmu sejak masih muda belia. Beliau memulai perjalanan ilmiahnya sejak umur tujuh tahun80. Allah mengkaruniainya bakat melimpah yang ditopang dengan daya akal yang luas, pikiran cemerlang, daya hafal mengagumkan dan energi yang luar biasa. Karena itu tidak mengherankan jika beliau ikut berpartisipasi aktif dalam berbagai lingkaran ilmiah para guru (syaikh) dengan semangat keras dan jiwa energis untuk menyembuhkan rasa hausnya akan ilmu

78

http://maktabahmanhajsalaf.blog.com/, Tarjamah Imam Ibnul Qoyyim Rahimahullah, hlm. 2. Ibid. hlm. 3. 80 Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Kunci Kebahagiaan, trj. Abdul Hayyie al-Katani. et. Al. (Jakarta: Akbar Eka Sarana, 2004), hlm. 3. 79

49

pengetahuan dan memuaskan obsesinya terhadap ilmu. Sebab itulah, beliau menimba ilmu dari setiap ulama’ spesialis sehingga beliau menjadi ahli dalam ilmu-ilmu Islam dan mempunyai andil besar dalam berbagai disiplin ilmu81 Keluasan ilmu Ibn Qoyyim al-Jauziyah tidak terlepas dari peran dan banyaknya guru yang mengajarinya82. Mereka inilah yang mempengaruhi pola pikir dan kemampuan ilmu Ibn Qoyyim dalam keilmuan Islam. Ibn Qoyyim sangat mencintai guru-gurunya, saking besar cinta Ibn Qoyyim kepada gurunya dan begitu besar pengaruh gurunya itu terhadapnya, kadang-kadang terlontar pertanyaan apakah Ibn Qoyyim memiliki kepribadian independen?, ataukah dia telah meleburkan diri dalam kepribadian gurunya Ibn Taimiyah 83 sehingga ibarat sekedar foto kopi gurunya?. Terlepas dari permasalahan di atas, disamping Ibn Qoyyim al-Jauziyah memiliki banyak guru, beliau juga mempunyai banyak murid84 yang mengambil manfaat dari ilmu dan karyanya85. Disiplin ilmu yang didalami dan dikuasai oleh Ibn Qoyyim hampir meliputi semua ilmu syari’at dan ilmu alat,86 seperti tauhid, ilmu kalam, tafsir,

81

Ibid. Diantara guru-guru Ibn Qoyyim antara lain: Ayahnya, Abu Bakar bin Ayyub (qoyyim aljauziyah), Imam al-Harram, Syarafuddin bin Taimiyah, Badruddin bin Jama’ah, Ibnu Muflih, Imam al-Mazi, dan Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah. 83 Ibn Taimiyah memiliki pengaruh besar dalam kehidupan Ibn Qoyyim baik dalam aspek ilmu maupun amal. Karena itu para penulis biografi menyebutkan lama hubungan mulazamahnya dengan Ibn Taimiyah dengan menyebutkan pasti tanggal permulaan dan akhirnya, yaitu pada tahun 712 H hingga tahun 728 H. atau sekitar selama 16 tahun hingga Ibn Taimiyah wafat. Lihat http://maktabahmanhajsalaf.blog,com/, Tarjamah Imam Ibnul Qoyyim Rahimahullah, hlm. 7. 84 Murid-murid Ibn Qoyyim antara lain: Al-Burhan Ibnu Qoyyim, pengarang Kitab Irsyad Al-Salik Ila Halli Alfiyah Ibni Malik. Ibnu Katsir, Ibnu Rajab, Syarafuddin Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, AsSubki, Adz-Dzahabi, Ibnu Abdul Hadi. An-Nablisi, pengarang kitab Mukhtasar Thabaqat AlHanabilah, Al-Ghazi, dan Al-Fairuzabadi. Lihat Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Kunci Kebahagiaan, trj. Abdul Hayyie al-Katani. et. Al. (Jakarta: Akbar Eka Sarana, 2004), hlm. 5. 85 Warisan Ibn Qoyyim al-Jauziyah berupa kitab banyak sekali diantaranya adalah: I’lamul Muwaqi’en, Zaadul Ma’ad, Hukm Tarik Ash-Salah, At-Tafsir Al-Qoyyim, Al-Jami’ Bain As-Sunan Wa Al-Atsar, dan lain-lain. Lihat Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Kunci Kebahagiaan, hlm. 6-12. 82

50

hadits, fiqih, ushul fiqh, faraid, bahasa, nahwu dan sebagaiya 87. Ibnu Rajab, muridnya, mengatakan “dia pakar dalam tafsir dan tak tertandingi, ahli dalam bidang ushuluddin dan ilmu ini mencapai puncak di tangannya, ahli dalam fiqih dan ushul fiqh, ahli dalam bidang bahasa arab, dan memiliki kontribusi besar di dalamnya, ahli dalam ilmu kalam, dan juga ahli dalam bidang tasawuf”.88 Dalam urusan fiqih, Ibn Qoyyim rahimahullah dalam berbagai biografi mengenainya, disebut sebagai bermadzhab Hambali, sebagaimana guru dan muridnya.89 Namun meskipun demikian, tidak jarang pemikiran Ibn Qoyyim banyak yang tidak selaras dengan madzhab atau dari pemikiran-pemikiran guru yang diikutinya. Yang beliau lakukan adalah mengikuti pendapat yang didukung oleh dalil seraya membuang fanatisme madzhab yang tercela. Hal ini dikarenakan Ibn Qoyyim sangat membenci taqlid buta dan selalu mengingatkan dan menghimbau orang-orang yang bertaqlid untuk mempelajari ilmu. Hal ini beliau bahas panjang lebar dalam kitab i’lamul muwaqi’ien yang dikarangnya tidak kurang dari seratus halaman lebih dalam bab ijtihad dan taqlid. Akan tetapi meskipun Ibn Qoyyim sangat benci terhadap taqlid, beliau tetap menghargai dan menghormati pendapat-pendapat atau kedudukan ulama’ empat Madzhab, tidak seperti apa yang dilakukan oleh penganut Madzhab Zahiri ekstrim dan orang-orang yang satu pandangan dengan mereka yang fanatis dan cenderung merendahkan pendapat-pendapat Madzhab lainnya90.

86

Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Kunci Kebahagiaan, trj. Abdul Hayyie al-Katani. et. Al. (Jakarta: Akbar Eka Sarana, 2004), hlm. 4. 87 http://maktabahmanhajsalaf.blog.com/, Tarjamah Imam Ibnul Qoyyim Rahimahullah, hlm. 4. 88 Al-Jauziyah, Kunci Kebahagiaan, hlm. 4. 89 http://maktabahmanhajsalaf.blog.com/, hlm. 6. 90 Ibid.

51

B. Kerangka Pemikiran Fiqhnya. 1. Dasar Hukum Dasar pengambilan suatu hukum atas suatu perkara, Ibn Qoyyim tidak berbeda dengan madzhab yang diikutinya, yaitu madzhab Hambali. Fatwa-fatwa Ibn Qoyyim dibagun atas lima perkara, antara lain. a. Nash. Yang dimaksud dengan nash di sini adalah nash yang bersumber dari AlQur’an dan hadits Nabi. Jika ia mendapatkan nash, maka Ibn Qoyyim mengambil dari nash tersebut dan berpaling dari yang lainnya yang bertentangan dengannya atau orang yang menentangnya. Kedudukan nash, baik al-Qur’an atau Hadits Nabi adalah lebih mulia dan lebih utama daripada mendahulukan ijma’ yang mengandung keraguan di dalamnya. Mereka tidak diketahui adanya sesuatu yang bertentangan. Jika hal itu terjadi niscaya nash-nash itu tidak ada manfaatnya. Sehingga orang-orang yang belum mengetahui adanya sesuatu yang berlawanan dalam hukum suatu masalah cenderung mengedepankan ketidak-tahuannya mengenai sesuatu yang berlawanan dengan nash-nash tersebut. Dan inilah penolakan imam Ahmad dan Syafi’i terhadap orang yang menerima ijma’. Untuk memperkuat pendapatnya tersebut Ibn Qoyyim memberikan dalil al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 36:

‫وﻣــﺎ ﻛــﺎن ﳌــﺆﻣﻦ وﻻ ﻣﺆﻣﻨــﺔ اذا ﻗﻀــﻰ اﷲ ورﺳ ـﻮﻟﻪ اﻣ ـﺮا ان ﻳﻜــﻮن ﳍــﻢ اﳋــﲑة ﻣــﻦ اﻣــﺮﻫﻢ وﻣــﻦ ﻳﻌــﺺ اﷲ‬ .٩١‫ورﺳﻮﻟﻪ ﻓﻘﺪ ﺿﻞ ﺿﻼﻻ ﻣﺒﻴﻨﺎ‬ Artinya: Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) 91

Al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm.

52

tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasulNya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata. Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah, ayat tersebut menjelaskan bahwa seorang mukmin tidak dibenarkan mengambil alternatif hukum yang lain sesudah Allah dan Rasulnya untuk menetapkan hukum, dan barang siapa mengambil alternarif lain, maka ia berada dalam kesesatan yang nyata.92 Ibn Qayyim al-Jawziyyah mendahulukan teks-teks Hadits sebagai dasar atau sumber hukum daripada ijma‘, ra’yu, maupun qiyas (analogi). Selanjutnya Ibn Qayyim al-Jawziyyah menjelaskan posisi as-sunnah terhadap al-Qur’an yang menurutnya ada tiga fungsi, yakni: pertama, as-sunnah menguatkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam al-Qur’an; kedua, as-sunnah menjelaskan al-Qur’an dan sekaligus tafsir baginya; dan ketiga as-sunnah berdiri sendiri dalam menetapkan hukum93. b. Ijma’. Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam menerapkan hukum selain di atas jarang menggunakan kata ijma‘ sesuai ungkapan-ungkapannya atau tidak mengetahui sesuatu yang menolaknya. Ia bekata:94

‫ﻻ اﻋﻠﻢ ﺷﻴﺌﺎ ﻳﺪﻓﻌﻪ‬ c. Fatwa sahabat. Mayoritas ulama mengakui fatwa Shahabat sebagai dasar dalam menetapkan hukum. Demikian pula menurutnya, dibolehkan mengambil fatwa

92

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, I’lam Al- Muwaqqi’en ‘An Rabb Al-‘Alamin (Beirut: Daar Al Kutub Al-‘Ilmiah, 1996), hlm. 55. 93 Ibid, hlm. 411. 94 Ibid., hlm. 37.

53

yang bersumber dari golongan Salaf, dan fatwa-fatwa para Shahabat.95 Fatwa mereka lebih utama daripada fatwa ulama kontempoter.96 Karena fatwa para Shahabat lebih dekat pada kebenaran. Masa hidup mereka lebih dekat dengan masa hidup Rasul. Imam asy-Syafi‘i dalam qawl qadim seperti dikutip al-Baihaqi, mengatakan bahwa semua Shahabat berada di atas kita dalam hal kualitas keilmuan, ijtihad, wara’, dan intelektualnya. Menurutnya pendapat mereka lebih mulia dan lebih utama daripada pendapat kita secara keseluruhan.97 Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah pandangan tersebut didasarkan pada firman Allah dalam al-Qur’an surah at-Taubah ayat 100:98                            

Artinya: Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”

d. Qiyas.

95

Beliau mengambil pendapat Shahabat yang paling mendekati al-Qur’an dan Hadis. Bila terjadi fatwa Shahabat, maka menurut Ibn Qayyim al- Jawziyyah ada tiga tingkatan, yaitu: 1) Mendahulukan pendapat khalifah yang empat (Khulafa ar-Rasyidin) daripada pendapat Shahabat yang lain. 2) Jika mayoritas diantara Khulafa ar-Rasyidin berpendapat, maka pendapat mayoritas yan lebih benar dan jika pendapat mereka jadi mendua maka pendapat Abu Bakar dan Umar menjadi benar. 3) Menurut imam asy-Syafi‘i, jika dua orang Shahabat (yang sama tingkatan kwalitasnya) berfatwa, maka perhatikanlah kedua pendapat tersebut dan pendapat yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan al-Sunnah yang dipilih. 96 Al- Jauziyyah, I’lam Al- Muwaqqi’en, hlm. 627. 97 Ibid. 98 Al-Qur’an Dan Terjemahannya, (9) : 100

54

Qiyas adalah menetapkan sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuan hukumnya, berdasarkan sesuatu hukum yang sudah ditentukan oleh nash, disebabkan adanya persamaan diantara keduanya. Kedudukan qiyas menurut para ulama’ adalah hujjah syar’iyah yang keempat sesudah Al-Qur’an, Hadits, dan Ijma’99. Oleh karena itu, Qiyas bisa digunakan ketika kebutuhan terhadapnya sangat mendesak (dlarurah). Jika tidak ditemukan dalam nash, atau pula fatwa sahabat, atau salah seorang dari mereka, dan tidak ada atsar mursal maupun dla’if, dalam suatu persoalan 100, beliau menggunakan dasar ini. Ibn Qoyyiim membagi qiyas ini menjadi, qiyas illat, qiyas dalalah dan qiyas syabah, yang semuanya terdapat dalam al-Qur’an.101 e. Istishab. Ibn Qayyim al-Jawziyyah menggunakan dasar hukum ini, walaupun ulama berbeda pendapat dalam masalah Istishab. Beliau membaginya dalam tiga bagian, yakni: istishab bara‘ah al-ashliyyah, istishab as-sifah, dan istishab hukm al-ijma‘ dalam masalah yang masih terjadi perdebatan102. 1) Istishab Bara’ah al-Ashliyyah Arti lughawi al-bara‘ah adalah bersih. Dalam hal ini pengertiannya adalah bersih atau bebas dari beban hukum. Dihubungkan dengan kata al-ashliyah yang secara lughawi artinya: “menurut asalnya”, dalam hal ini maksudnya adalah pada prinsip atau pada dasarnya, sebelum ada hal-hal yang menetapkan hukumnya. Hal

99

Moh. Rifa’I, Ushul Fiqih (Bandung: PT Al Ma’arif, 1973). Hlm. 133. al- Jauziyyah, I’lam Al- Muwaqqi’en, Hlm. 38. 101 Ibid. Hlm. 123. 102 Ibid. Hlm. 245. 100

55

ini berarti pada dasarnya seseorang bebas dari beban hukum, kecuali ada dalil atau petunjuk yang menetapkan berlakunya beban hukum atas orang tersebut.103 2) Istishab As-Sifah Istishab bentuk kedua mengandung arti mengukuhkan berlakunya satu sifat yang pada sifat itu berlaku suatu ketentuan hukum, baik dalam bentuk menyuruh atau melarang, sampai sifat tersebut mengalami perubahan yang menyebabkan berubah hukum, atau sampai ditetapkan hukum pada masa berikutnya yang menyatakan hukum yang lama tidak berlaku lagi. 3) Istishab Hukm al-Ijma‘ Istishab bentuk ketiga mengandung arti mengukuhkan pemberlakuan hukum yang telah ditetapkan melalui ijma‘ ulama, tetapi pada masa berikutnya ulama berbeda pendapat mengenai hukum tersebut karena sifat dari hukum semula telah mengalami perubahan.

f. Saadz Al-Zari’ah.

Beliau membagi al-zari’ah dalam empat bagian dengan memandang akibat yang ditimbulkan : pertama, al-zari’ah yang pada dasarnya membawa kepada kerusakan seperti meminum minuman yang memabukkan yang mengakibatkan kerusakan akal, kedua, al-zari’ah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk perbuatan yang merusak, seperti nikah muhallil, ketiga al-zari’ah yang semula ditentukan untuk mubah, namun biasanya 103

Umpamanya seseorang bebas dari kewajiban puasa Syawal, karena memang tidak ada dalil yang mewajibkannya. Demikian pula pada dasarnya seseorang itu dinyatakan tidak bersalah sampai ada bukti secara meyakinkan bahwa ia bersalah. Prinsip inilah yang dewasa ini populer dengan apa disebut “praduga tak bersalah”. Istishab bara‘ah al-asliyyah ini mengandung prinsip tersebut sampai ada dalil yang menetapkannya.

56

sampai juga kepada kerusakan yang mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannnya, seperti berhiasnya seorang peremupuan dalam masa ‘iddah, dan keempat, al-zari’ah yang semula ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun terkadang membawa kepada kerusakan, sedangkan kerusakannya jauh lebih kecil dibanding kebaikannya, seperti melihat wajah perempuan saat dipinang.104 g. ‘Urf. Ibn Qayyim al-Jauziyyah dalam berbicara ‘urf jarang mengungkapkan metodologi ‘urf itu sendiri.

2. Metode Istinbat Hukum Metode yang beliau pakai semuanya diwarnai dalam tulisan-tulisan, baik yang tertuang dalam kitabnya i‘lam al-muwaqqi‘ien secara khusus, maupun yang lainnya yang bercorak hukum. Bahkan secara umum juga terlihat dalam tulisan yang becorak Aqidah bahkan, Filsafat dan Tasawuf. Secara keseluruhan langkah dan metode yang dipakai beliau dalam pembahasan fiqh yaitu:

a. Mengemukakan Nash kemudian megeluarkan hukumnya tanpa memandang pendapat Fuqaha’ Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam metode pembahasannya berbeda dengan Fuqaha’ sebelumnya dimana Fuqaha’ biasanya mengemukakan masalah-masalah kemudian mengaitkan dengan dalil. Ibn Qayyim al-Jawziyyah mempergunakan nash sebagai dasar pembahasannya kemudian beliau mengeluarkan hukumnya.

104

Dikutip Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh , Cet. III (Jakarta: PT. LOGOS Wacana Ilmu, 2001), II: 402

57

b. Mengemukakan

pendapat

ulama

tanpa

fanatik

kemudian

menukilnya. Ibn Qayyim al-Jawziyyah tidak cukup dengan nash juga mengikuti pendapat Fuqaha’ dalam menetapkan pilihan seperti dicontohkan dalam pemeliharan anak (hadanah)105.

c. Mengemukakan dalil yang sesuai dan tidak sesuai menurutnya. Ibn Qayyim al-Jauziyah dalam masalah khilafiyah tidak cukup hanya mengemukakan pendapatnya disertai dalil-dalil tetapi juga mengemukakan dalildalil orang yang membantah pendapatnya kemudian beliau mengomentari pendapat orang tersebut.106

d. Tidak menyamakan atau mengambil dalil al-Qur’an saja tetapi dilengkapi dengan Hadits. Hal ini dilakukan supaya jangan terjadi pengada-ngadaan terhadap yang bukan ditujukan nash.

C. Hiyal Al-Syar’iyah Dalam Praktik Hibah-Waris Persepektif Ibn Qoyyim Al-Jauziyah. Pembicaraan tentang hilah secara umum bukan sebatas menjelaskan pembagian hilah kepada hilah yang dibolehkan atau hilah yang mengandung mudharat. Karena pada dasarnya yang dimaksud dengan hilah adalah suatu tindakan yang di belakangnya terdapat hal yang mengantarkan untuk melakukan kewajiban dan meninggalkan yang diharamkan, menjaga kebenaran, membela yang hak, membantu pihak yang tertindas, dan menaklukkan orang-orang yang 105 106

al- Jauziyyah, I’lam Al- Muwaqqi’en, Hlm. 861. Ibid., Hlm. 493.

58

berbuat dzalim. Namun terkadang digunakan sebaliknya yakni sebagai cara untuk menghalalkan yang haram, membatalkan kebenaran, dan menggugurkan kewajiban. Atas dasar inilah maka kata hilah di kalangan fuqaha’ pada umumnya dipahami sebagai satu hal yang tercela107. Pembolehan hilah amatlah bertentangan dengan prinsip sadd aldzari’ah108. Sebab sesungguhnya Allah yang menetapkan syari’at, dan menutup semua kemungkinan prasarana yang mengantarkan kepada sesuatu yang destruktif. Namun ada saja cara bagi pelaku hiyal untuk membuka ruang bagi hal yang bersifat destruktif itu dengan hilah-nya. Maka, tidak ada salahnya jika seseorang menahan diri dari yang dibolehkan agar tidak terjerumus pada sesuatu yang diharamkan. Oleh karena itu perbuatan hilah ini diharamkan. Indikasi kuat akan pelarangan hilah adalah ketetapan Allah yang telah memberikan kewajiban-kewajiban dan melarang beberapa hal yang telah diharamakan-Nya. Ketentuan ini disyari’atkan oleh Allah untuk kemaslahatan manusia di dalam kehidupan dan akhirat. Kedudukan syariat di dalam kalbu kaum mukminin adalah seperti santapan rohani yang sudah sepantasnya mereka ambil, dan bagaikan satu-satunya obat yang dapat menyembuhkan sakit mereka. Apabila seseorang berbuat hilah, yakni untuk menghalalkan segala yang diharamkan oleh Allah dan menggugurkan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah, maka sama saja dengan berusaha untuk mendistorsi agama Allah109, dengan alasan-alasan sebagai berikut: 1. Pembatalan terhadap upaya hilah adalah atas pertimbangan adanya hikmah di dalam penetapan syari’at oleh syar’i. dan juga atas 107

al- Jauziyyah, I’lam Al- Muwaqqi’en, hlm. 597. Ibid. hlm. 545. 109 Ibid. hlm. 565. 108

59

pertimbangan bahwa hilah bertentangan dengan hikmah syari’at, serta syari’at itu sendiri. 2. Tujuan sebenarnya yang ingin dicapai di dalam hilah itu tidak ada. Ia juga tidak dimasudkan untuk pelaksanaan suatu produk hukum yang ditetapkan. Juga tujuan untuk melaksanakan syari’at yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang jelas-jelas jauh dari maksud pelaku hiyal. Dapat pula dikatakan bahwa maksud pelaku hiyal adalah pelanggaran, yakni melakukan sesuatu yang dilarang di dalam agama. Penilaian seperti ini amat jelas dilihat dari sudut pandang syari’at yang benar. Contoh, sesorang yang mempraktikkan riba’ tidak lain untuk mengerjakan sesuatu yang telah diharamkan oleh Allah. Sedangkan jual beli yang dibolehkan tidak menjadi skala prioritas pelaku hilah. Pada contoh lain seorang yang melakukan hilah untuk terhindar dari kewajiban agama. 3. Syari’at Islam yang telah ditetapkan oleh Allah, yakni Allah dan RasulNya merupakan santapan rohani sekaligus obat kejiwaan. Dengan demikian, seseorang yang berbuat hilah akan mengubah santapan rohani dan obat kejiwaan itu dari fungsi asalnya.

Penjelasannya adalah orang yang ber-hilah akan memandang suatu yang haram menjadi halal di mata mereka. Tujuannya adalah untuk melakukan perbuatan yang haram. Namun hukumnya tidak otomatis berubah menjadi halal, sehingga yang dikerjakan oleh pelaku hiyal adalah perbuatan yang batil. Perbuatan yang dimaksud oleh pelaku hiyal adalah bertujuan kepada hal yang diharamkan oleh Allah, meskipun yang dikerjakannya dalam bentuk label, bukan

60

bentuk luar yang haram, namun ia menjadi haram karena haram pada esensinya. Kesimpulannya, hiyal adalah bentuk manipulasi kepada Allah, dan upaya manipulatif kepada Allah adalah haram hukumnya110. Telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa hibah waris adalah istilah yang penulis gunakan terhadap praktik pembagian harta warisan dengan jalan hibah, yaitu disaat orang tua dalam keadaan masih hidup. Praktik seperti ini termasuk perbuatan hilah, karena pelakunya menghindari hukum yang lebih wajib (waris) kepada hukum yang sunnah (hibah). Dalam kitab karangannya i’lamul muwaqqi’in, Ibn Qoyyim al-Jauziyah secara umum membagi hilah menjadi dua macam, yaitu hilah yang dibolehkan dan hilah yang diharamkan111. Yang menjadi permasalahan di sini adalah hilah yang diharamkan. Untuk permasalahan hilah yang diharamkan ini, Ibn Qoyyim Al-Jauziyah membaginya menjadi empat bagian, antara lain: 1. Hilah yang mengandung tujuan yang diharamkan dan cara yang digunakan juga cara yang diharamkan.

Misalnya, kasus orang yang meminun khomer sebelum masuknya waktu shalat, sehingga kewajiban shalatnya hilang. Artinya orang tersebut berusaha melepaskan diri dari kewajiban melakukan salat dengan cara meminum khomer, sehingga orang tersebut mabuk. Sedangkan orang yang sedang mabuk (hilang akal) tidak berkewajiban untuk menunaikan shalat.

110 111

Ibid., Hlm. 549. Ibid., Hlm. 595.

61

2. Hilah

yang

dilakukan

dengan

melaksanakan

perbuatan

yang

dibolehkan, tetapi bertujuan untuk sesuatu yang diharamkan.

Karena tujuannya pun diharamkan, sehingga siasat yang menjadi perantaranya secara otomatis diharamkan, seperti bepergian untuk merampok dan membunuh jiwa yang harus dilindungi. Pada siasat tersebut, tujuannya diangap bathil dan diharamkan, sehingga siasat yang dilakukannya pun dianggap bathil dan haram. Sebagaimana halnya dalam tujuan yang benar, yang dibolehkan, maka siasatnya pun harus dibolehkan. Dan jalan yang ditempuh dalam memenuhi tujuan ini dan itu harus jalan yang dibenarkan.

3. Hilah yang dilakukan tidak untuk memenuhi tujuan yang diharamkan, ia hanya digunakan untuk memenuhi tuntunan yang disyari’atkan.

Seperti pengakuan, jual beli, nikah, hibah, dan lain-lain. Kemudian hal itu digunakan sebagai tangga atau jalan untuk melakukan sesuatu yang diharamkan.

4. Hilah yang digunakan untuk mendapatkan suatu hak atau menolak kedzaliman. Bentuk yang keempat ini, menurut Ibn Qoyyim ada tiga112 macam: a. Cara yang ditempuh pada esensinya adalah haram, tetapi dilakukan untuk mempertahankan hak. Misalnya: sesorang yang mengetahui suatu kebenaran, akan tetapi dia tidak bisa menunjukkan kebenaran tersebut karena tidak punya bukti, sehingga orang tersebut mendatangkan dua 112

Ibid. Hlm. 616-618.

62

orang saksi palsu untuk mempersaksikannya, padahal kedua saksi tersebut tidak mengetahui bahwa tujuan dari kesaksiannya tersebut untuk menetapkan suatu kebenaran. b. Cara yang dilakukan pada dasarnya disyariatkan dan tujuannya pun disyariatkan, seperti melakukan jual-beli, sewa-menyewa, hibah dan wakalah yang dalam akadnya memenuhi rukun dan syarat, tetapi secara tersembunyi terdapat unsure penipuan. Bentuk hilah ini menurut Ibn Qoyyim bukanlah makna hilah yang dilarang oleh ulama’ fiqih, karena baik cara maupun tujuannya sama-sama disyari’atkan. c. Melakukan hilah untuk mencapai suatu kebenaran atau menghindari kedzaliman dengan cara yang dibolehkan walaupun tidak disyariatkan.

Kalau kita lihat dan cermati lebih dalam dari beberapa macam kelompok hilah yang telah diklasifikasikan oleh Ibn Qoyyim di atas, maka dapat dikatakan bahwa praktik pembagian harta dengan institusi hibah ini termasuk pada kelompok hilah yang bertujuan untuk mendapatkan suatu hak dan menolak kebathilan113, yang caranya disyari’atkan, dan tujuannya pun juga disyari’atkan, sebagaimana Allah telah mensyari’atkan hibah dan tujuan yang hendak dicapai dalam praktik pembagaian harta dengan institusi hibah adalah agar tidak terjadi cekcok di kemudian hari ketika pewaris (orang tua) meninggal dunia 114, yang mana tujuan tersebut juga disyari’atkan oleh agama. Disamping itu pula, menurut Ibn Qoyyim al-Jauziyah sebab-sebab tersebut sebagai hukum Allah dan Rasul-Nya dalam menetapkan akibat (tujuan) menurut

113 114

Ibid. Hlm. 618. Lihat skripsi Hendriyadi. Hlm. abstrak.

63

syari’at dengan mempertimbangkan sebab-sebab yang bersifat inderawi (perasaan) untuk menetapkan akibatnya yang bersifat ketentuan, sehingga hal itu termasuk yang disyari’atkan Allah swt dan merupakan ketentuan-Nya. Dimana keduanya merupakan ciptaan dan perintah-Nya, dan Allah-lah yang menciptakan dan memerintahkannya, sedangkan tidak akan ada pergantian terhadap penciptaan Allah, dan tidak akan ada perubahan pada hukum-Nya. Allah tidak menentang sebab-sebab yang menentukan hukum, bahkan hukum-hukumnya itu berjalan berdasarkan sebab-sebab dan apa yang diciptakan untuk menentukan hukum tersebut. Dengan demikian, maka sebab-sebab yang disyariatkannya, tidak akan keluar dari sebab-sebab dan apa yang disyari’atkannya115. Bahkan hal itu merupakan syari’at dan perintah-Nya. Ketentuan-Nya yang bersifat perintah terkadang mengalami pergantian dan perubahan sesuai dengan pengingkaran dan penentangannya. Termasuk dalam siasat jenis ini adalah siasat untuk mendapatkan kemanfaatan dan menolak kemudhorotan116. Jadi, dari pendapat Ibn Qoyyim Al-Jauziyah tersebut dapat dikatakan bahwa hilah dalam praktik pembagian harta warisan dengan institusi hibah bukan merupakan bentuk hilah yang diharamkan. Karena di dalamnya terdapat pertimbangan-pertimbangan yang bersifat inderawi (perasaan) dan untuk mencegah kemudhorotan di kemudian hari, yang mana tujuan dari praktik pembagian harta dengan jalan hibah ini berlandaskan pada rasa kasih-sayang, sama rata, dan untuk menghindari sengketa sesama saudara di kemudian hari, yang mana tujuan tersebut selaras dengan tujuan diturunkannya syari’at, yaitu 115 116

Ibid. Hlm. 617. Ibid.

64

untuk kemaslahatan manusia seluruhnya, baik kemaslahatan di dunia yang fana ini, maupun kemaslahatan di hari yang baqa (kekal) kelak.117

117

Ismail Muhammad Syah, et. al, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 65.

65

BAB IV ANALISIS PANDANGAN IBN QOYYIM AL-JAUZIYAH TERHADAP HIYAL AL-SYAR’IYAH DALAM PRAKTIK HIBAH WARIS

Dalam agama yang kita anut, yaitu agama Islam, Allah telah mengatur segala sesuatunya melalui syari’at yang telah dibawa oleh Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad saw, baik itu berbentuk anjuran, perintah dan larangan. Secara umum tujuan dari diturunkannya syari’at kepada umat manusia adalah untuk kemaslahatan manusia seluruhnya, baik kemaslahatan di dunia ataupun kemasalahatan di hari yang baqa (akhirat) kelak. Hal ini berdasar pada firman Allah dalam al-Qur’an118 surat Al-Anbiya’ ayat 107 yang berbunyi:

‫وﻣﺎ ارﺳﻠﻨﻚ اﻻ رﲪﺔ ﻟﻠﻌﺎﳌﲔ‬ Artinya: Dan tiadalah kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. Akan tetapi, meskipun syari’at Islam telah menentukan secara keseluruhan perkara yang halal dan yang haram, kebanyakan umat muslim masih saja berusaha untuk mencari celah, atau mencari-cari alasan atau cara untuk membatalkan hukum yang sudah disyariatkan oleh Allah swt. Perbuatan yang demikian ini yang dimaksud dengan perbuatan hilah (sisat/tipu daya). Menurut imam Asy-Syatibi, ahli ushul fiqh Madzhab Maliki, yang dimaksud dengan hilah adalah melakukan suatu amalan yang pada lahirnya 118

Al-Qur’an Dan Terjemahannya, hlm. 331.

66

dibolehkan untuk membatalkan hukum syara’ lainnya119. Sekalipun pada dasarnya dalam hilah tersebut mengerjakan suatu pekerjaan yang dibolehkan, namun terkandung maksud pelaku untuk menghindarkan diri dari suatu kewajiban syara’ yang lebih penting daripada amalan yang dilakukannya tersebut. Misalnya seseorang menghibahkan hartanya ketika haul sudah mendekat, dan nisab harta untuk dizakati pun sudah tercapai, sehingga ketika waktu haul harta yang seharusnya wajib zakat gugur karena hartanya berkurang setelah dihibahkan. Pada dasarnya, tindakan seseorang menghibahkan hartanya adalah terpuji, karena hibah bertujuan untuk membantu sesama manusia. Akan tetapi apabila hibah itu dilakukan di saat kewajiban zakat sudah mendekat, maka sikap ini berarti suatu pelarian dari kewajiban zakat. Dengan adanya penghibahan sebagaian harta itu maka nisab zakat tidak tercapai lagi, akibatnya zakat tidak wajib bagi si penghibah tersebut. Berdasar pada hal tersebut, menurut Asy-Syatibi terdapat pertentangan antara hukum hibah yang sunnah dengan hukum zakat yang wajib. Dalam pertentangan ini hukum wajib harus didahulukan. Oleh sebab itu perbuatan menghibahkan harta disaat sudah mencapai satu nisab dan mendekati hari haulnya merupakan suatu tindakan pelarian diri dari suatu kewajiban (hilah) yang dilarang syara’. Menurut syaikh Husain bin ‘Audah al-‘Awaisyah, salah seorang ulama’ dari kalangan syafi’iyah, walaupun sebagian ulama’ menamakannya sebagai hiyal syar’I, tetap harus diambil zakatnya bersama dengan separuh hartanya. Hal ini menurut beliau berdasarkan pada hadits Bahz bin Hakim yang menyatakan “dan 119

Abdul Aziz Dahlan, et. Al. Ensiklopedi Hukum Islam, vol. II (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), hlm. 553.

67

orang-orang yang berbuat muslihat lebih pantas menerima hukuman tersebut daripada orang yang menolak memberi agar zakat tanpa melakukan tipu daya hendaklah diperhatikan”120. Hilah juga banyak terjadi dalam praktik hibah-waris121, salah satunya ialah adanya keinginan pemberi hibah (wahib) untuk memberikan hartanya kepada penerima hibah dalam jumlah yang diinginkannya guna menghindari ketentuan hukum lain yang membatasi jumlah harta yang boleh diterima oleh penerima hibah. Hal ini kasusnya sama dengan kasus hibah dan zakat di atas yang mana pelakunya tersebut berusaha menghindari hukum faraid yang membatasi jumlah harta yang boleh diterima oleh ahli waris dengan menyamaratakan pemberian harta tersebut. Padahal Allah swt telah mengaturnya dalam al-Qur’an secara terperinci bagian anak laki-laki dengan anak perempuan dengan porsi dua banding satu. Terkait dengan boleh atau tidaknya hilah dalam praktik hibah waris ini, Ibn Qoyyim Al-Jauziyah membagi hilah dalam empat bentuk: pertama, hilah yang mengandung tujuan yang diharamkan dan cara yang digunakan juga cara yang haram. Contohnya orang yang meminum khomer sebelum masuk waktu shalat, sehingga kewajiban shalatnya saat itu hilang. Kedua, hilah yang dilakukan dengan melaksanakan perbuatan yang dibolehkan, tetapi bertujuan untuk membatalkan hukum syara’ lainnya. Contohnya seperti kasus hibah dan zakat di atas. Ketiga, perbuatan yang dilakukan bukanlah perbuatan yang diharamkan, bahkan dianjurkan, akan tetapi bertujuan untuk sesuatu yang diharamkan. 120

Husain al-Audah al-Awaisyah, Ensiklopedi Fiqih Praktis Menurut Al-Quran Dan As-Sunnah. Jilid 2. Trj. Abu Ihsan al-Atsari. Et.al (Jakarta: Pustaka imam syafi’i), hlm. 88. 121 Mukhtar Zamzami, Hiyal Asy-Syar’iyah Dalam Praktik Hibah Dan Wasiat, makalah disajikan dalam RAKERNAS Mahkamah Agung dengan Pengadilan Seluruh Indonesia Tahun 2011, (Jakarta, 18-22 September 2011), hlm., 4.

68

Contohnya ialah perkawinan rekayasa oleh seorang muhallil terhadap seorang perempuan yang telah dicerai dengan talak bai’in qubro dengan tujuan agar perempuan itu dapat dinikahi kembali oleh suaminya. Keempat, hilah yang digunakan itu bertujuan untuk mendapatkan suatu hak atau untuk menolak kezaliman. Hilah bentuk ke empat ini, Ibn Qoyyim Al-Jauziyah membaginya lagi menjadi tiga bentuk122, yang pertama, caranya diharamkan, walaupun tujuannya dibenarkan. Kedua, cara dan tujuannya disyari’atkan. Ketiga, caranya tidak disayariatkan akan tetapi tujuannya untuk mencapai kebenaran. Kalau kita lihat dan cermati lebih dalam dari beberapa macam kelompok hilah yang telah diklasifikasikan oleh Ibn Qoyyim di atas, maka dapat dikatakan bahwa praktik pembagian harta dengan institusi hibah ini termasuk pada kelompok hilah yang bertujuan untuk mendapatkan suatu hak dan menolak kebathilan123, yang caranya disyari’atkan, dan tujuannya pun juga disyari’atkan, sebagaimana Allah telah mensyari’atkan hibah, dan tujuan yang hendak dicapai dalam praktik pembagaian harta dengan institusi hibah adalah agar tidak terjadi cekcok di kemudian hari ketika pewaris (orang tua) meninggal dunia 124, yang mana tujuan tersebut juga disyari’atkan oleh agama. Celaan Ibn Qoyyim dan para ulama’ menurutnya, tidak berarti bahwa celaan tersebut mencakup jenis siasat ini. Karena dalam siasat jenis ini menurut Ibn Qoyyim adalah siasat untuk mendapatkan kemanfaatan dan menolak kemudharatan, sebagaimana tujuan dari adanya praktik hibah waris adalah

122

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, I’lam Al- Muwaqqi’en ‘An Rabb Al-‘Alamin (Beirut: Daar Al Kutub Al-‘Ilmiah, 1996), hlm. 616-619. 123 Ibid. Hlm. 618. 124 Lihat skripsi Hendriyadi. Hlm. abstrak.

69

menetapkan akibat (tujuan) menurut syari’at dengan mempertimbangkan sebabsebab yang bersifat inderawi (perasaan) dan untuk mencegah kemudharatan (pertikaian) di kemudian hari antar saudara. Dan tujuan ini sejalan dengan diturunkannya syari’at Islam. Pendapat ini juga diperkuat oleh Majjid Khadduri yang menguraikan perbedaan antara keadilan substantif dan keadilan procedural 125, menilai perbuatan hilah dalam bentuk hibah karena ingin memberikan harta dalam jumlah yang lebih besar daripada jumlah yang dibolehkan dalam kewarisan (faraidh) bukanlah perbuatan illegal. Hilah seperti ini menurutnya adalah legal fiction atau fiksi hukum yang bijak yang sebenarnya merupakan subordinasi dari keadilan substantif. Atas dasar pemikiran seperti inilah menurut Khadduri para ulama’ Mazhab Hanafi membolehkan pemakaian hilah dalam kerangka fiksi hukum yang bijak (wisdom legal fiction), bukan hilah dalam menghindari kewajibankewajiban agama yang absolute keadilannya. Penggunaan institusi hibah dalam pembagian harta warisan merupakan hal yang cukup banyak dilakukan oleh masyarakat Islam di Indonesia 126. hanya bedanya menurut Qodri Azizy praktik tersebut bukan termasuk hiyal syar’iyah. Ia menganggapnya sebagai bagian dari praktik al-ahkam al-wijdaniyah, hukum yang berdasarkan pada perasaan hati, yang berpegang kepada asas saling merelakan ('an taradhin) antar sesama ahli waris. Di Indonesia, adanya praktik pembagian warisan dengan cara hibah Secara normatif yuridis telah di atur dalam pasal 211 KHI yang menyatakan hibah dari

125 126

Zamzami, Hiyal Asy-Syar’iyah Dalam Praktek Hibah Dan Wasiat, hal. 6. Ibid., hal. 7.

70

orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan127. Dalam hal ini, bisa dianalisis lebih lanjut, maka Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam memuat aspek urf, karena setelah melihat nash, baik itu Al-Qur’an maupun Hadist, tidak dijumpai nas yang menunjukkan tentang diperhitungkannya hibah orang tua kepada anak sebagai warisan. Dengan demikian, bahwa ketentuan Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam tentang hibah orang tua kepada anaknya, dapat diperhitungkan sebagai warisan. Karena hibah tersebut merupakan adat kebiasaan yang telah mengakar dan telah diterima oleh masyarakat Indonesia. Pembolehan menghibahkan harta kemudian mewariskannya juga terdapat dalam hadits nabi yang diriwayatkan oleh Buraidah yaitu :

‫ ﻛﻨﺖ ﺗﺼﺪﻗﺖ ﻋﻠﻰ أﻣﻲ ﺑﻮﻟﻴﺪة‬:‫ ﻓﻘﺎﻟﺖ‬,‫ﻋﻦ ﺑﺮﻳﺪة أن اﻣﺮأة أﺗﺖ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬ ‫ )رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ‬.‫ ﻗﺪ وﺟﺐ أﺟﺮك ورﺟﻌﺖ إﻟﻴﻚ ﰱ اﳌﲑاث‬: .(‫وﺻﺤﺤﻪ‬ Artinya: diriwayatkan dari buraidah, bahwasanya seorang wanita telah mendatangi rasulullah saw, dia berkata: aku telah bershadaqah kepada ibuku dengan seekor anak kambing, dan sekarang ia telah meninggal dan meninggalkan anak kambing itu sebagai harta warisan. Rasulullah saw bersabda, kamu telah mendapatkan pahalamu, dan (anak kambing) itu telah kembali padamu sebagai harta warisan (riwayat muslim)”128. Akan tetapi, hadits lain menyebutkan bahwa pembolehan pemberian (hibah) yang dianggap sebagai warisan jika pemberian tersebut merata, tidak mengistimewakan salah satu anak atau yang lainnya. Hal ini sesuai dengan hadits nabi yang diriwayatkan oleh imam Muslim yaitu :

127

Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: CV Nuansa Aulia, 2012), hlm. 63. 128 Muhammad Nasyiruddin Al Albani, Shahih Sunan Abu Daud, trj. Tajuddin Arief, et.al. (Jakarta: Pustaka Azzam, 1998), hlm. 644.

71

‫ ﺗﺼﺪق ﻋﻠﻲ أﰊ ﺑﺒﻌﺾ ﻣﺎﻟﻪ ﻓﻘﺎﻟﺖ أﻣﻲ ﻋﻤﺮة ﺑﻨﺖ‬:‫ﻋﻦ اﻟﻨﻌﻤﺎن ﺑﻦ ﺑﺸﲑ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻗﺎل‬ ‫ ﻓﺎﻧﻄﻠﻖ أﰊ إﱃ اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ‬,‫ ﻻ أرﺿﻰ ﺣﱴ ﺗﺸﻬﺪ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬:‫رواﺣﺔ‬ ,‫ ﻻ‬:‫ أﻓﻌﻠﺖ ﻫﺬا ﺑﻮﻟﺪك ﻛﻠﻬﻢ؟ ﻗﺎل‬:‫ ﻓﻘﺎل ﻟﻪ رﺳﻮل اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬,‫وﺳﻠﻢ ﻟﻴﺸﻬﺪﻩ ﻋﻠﻰ ﺻﺪﻗﱴ‬ .١٢٩‫ ﻓﺮﺟﻊ أﰊ ﻓﺮد ﺗﻠﻚ اﻟﺼﺪﻗﺔ‬.‫ اﺗﻘﻮا اﷲ واﻋﺪﻟﻮ ﰲ أوﻻدﻛﻢ‬:‫ﻗﺎل‬

Artinya: dari Nu’man Bin Basyir ra, dia berkata, suatu ketika ayah saya menyedekahkan saya sebagian hartanya kepada saya, ibu saya, Amrah Binti Rawahah berkata, saya tidak rela (dengan tindakanmu ini) sampai kamu meminta kepada Rasulullah untuk menjadi saksinya. Lalu ayah pergi menghadap Rasulullah untuk meminta kesediaan beliau menjadi saksi dalam sedekah ini. Kemudian rasulullah bertanya kepada ayah saya, hai Abu Nu’man, apakah kamu melakukan hal ini kepada semua anakmu?. Ayah menjawab. Tidak ya RasulAllah. Lalu beliau melanjutkan sabdanya. Takutlah kepada Allah dan berlaku adillah dirimu terhadap anak-anakmu. Hadits lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra,

‫ ﺳـ ـ ــﻮوا ﺑ ـ ـ ــﲔ‬.‫ ﻗ ـ ـ ــﺎل رﺳـ ـ ــﻮل اﷲ ﺻـ ـ ــﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ـ ـ ــﻪ وﺳـ ـ ــﻠﻢ‬,‫ﻋـ ـ ــﻦ إﺑـ ـ ــﻦ ﻋﺒـ ـ ــﺎس رﺿ ـ ـ ــﻲ اﷲ ﻋﻨـ ـ ــﻪ ﻗـ ـ ــﺎل‬ .‫ وﻟﻮ ﻛﻨﺖ ﻣﻔﻀﻼ اﺣﺪا ﻟﻔﻀﻠﺖ اﻟﻨﺴﺎء‬.‫أوﻻدﻛﻢ ﰱ اﻟﻌﻄﻴﺔ‬ Artinya: Dari Ibnu Abbas ra. Rasulullah saw bersabda: samakanlah diantara anak-anak kalian dalam pemberian. Seandainya aku hendak melebihkan seseorang, tentulah aku akan lebihkan anak perempuan.130 Dari hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian orang tua kepada anaknya boleh dilakukan, dengan syarat tidak membeda-bedakan antara yang satu dengan yang lain. Sebagaimana Rasulullah memerintahkan untuk berlaku adil pada Abu Nu’man terhadap anak-anaknya. Menurut imam Ahmad, Ishak, Ats Tsauri dan sebagian kalangan Maliki, hal ini dikarenakan akan menanamkan permusuhan dan memutuskan hubungan silaturrahim antar saudara131.

129

Muhammad Nashiruddin Al Albani, Mukhtasar Shahih Muslim, trj. Imron Rosadi, et.al. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2003), hlm. 694-695. 130 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah , trj. Nor Hasanuddin, et.al. (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), hlm. 440. 131 Ibid.

72

Dari beberapa dalil dan pendapat ahli yang penulis paparkan di atas, menurut hemat penulis keinginan untuk memberikan kasih sayang dan memberikan harta secara sama rata kepada anak tanpa memandang jenis kelamin merupakan hilah yang bersumber dari inner voice (the conscience, moral feelings, the desire to obey, the sense of right) setiap orang tua pada zaman ini, atau merupakan rasa keadilan pancaran hati nurani yang sesungguhnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Karena itulah hibah kepada anak agar anak mendapat harta kekayaan secara merata tanpa memandang jenis kelamin adalah hilah yang bijak (wisdom legal fiction) dan merupakan subordinasi dari keadian substantif. Oleh karena itu, praktik pembagian harta dengan jalan hibah bisa terus dipraktikkan dengan catatan harus dengan niat yang memang sungguh-sungguh untuk tidak membeda-bedakan jumlah harta kepada anak-anaknya, serta harus dengan niat untuk mencari ridho Allah swt, bukan untuk menghindari pembagian harta dengan hukum kewarisan Islam.

73

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN Dari rangkaian pembahasan tentang hiyal al- Syar’iyah dalam praktik hibah waris yang telah penulis paparkan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan berkenaan dengan pembahasan tersebut antara lain: 1. Pada dasarnya, jumhur Ulama’ berpendapat bahwa hilah (siasat) adalah suatu perbuatan yang diharamkan, karena hilah adalah upaya untuk memanipulasi hukum atau ketentuan Allah swt. Dan segala bentuk manipulasi terhadap hukum Allah adalah haram hukumnya. 2. Praktik pembagian harta warisan dengan cara hibah termasuk perbuatan hilah karena pelakunya berusaha untuk menghindari hukum waris yang lebih wajib kepada hukum hibah yang hukumnya sunnah. Dalam permasalahan tersebut hukum wajib yang seharusnya didahulukan, yaitu warisan. Selain itu, Di Indonesia, praktik pembagian harta dengan jalan hibah, yaitu di saat orang tua masih dalam keadaan hidup menjadi suatu perbuatan yang legal, hal ini berdasarkan pada pasal 911 kompilasi hukum Islam (KHI) yang menyatakan

bahwa

hibah

orang

tua

kepada

anak-anaknya

dapat

diperhitungkan sebagai warisan.

74

3. Hukum dari praktik pembagian harta warisan dengan jalan hibah ini, mengacu pada bentuk hilah yang dikalasifikasikan oleh Ibn Qoyyim AlJauziyah adalah mubah atau boleh. Karena cara yang digunakan dalam praktik tersebut sama-sama disyari’atkan, dan tujuannya pun juga sesuai dengan syari’at agama. Yaitu berlandaskaan pada perasaan hati (inderawi), tidak membeda-bedakan pemberian orang tua kepada anak-anaknya, dan untuk mencegah kemudhorotan (pertikaian) di kemudian hari antar sesama saudara.

B. SARAN 1. Kepada para pelaku hibah waris khususnya di Indonesia yang telah melakukan hibah waris, hendaknya penghibahannya bukan bermaksud untuk menghindari ketentuan waris Islam yang membedakan porsi anak laki-laki dan anak perempuan dengan porsi dua banding satu (2:1), akan tetapi praktik tersebut dilakukan hanya sebatas sebagai bentuk kecintaan dan kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya dan untuk kemaslahatan mereka agar tidak terjadi pertikaian kelak setelah penghibah (orang tua) meninggal. 2. Kepada tokoh agama yang ada di Indonesia agar memberikan pemahaman tentang hukum waris Islam, lewat pengajian-pengajian, pendidikan formal, penyuluhan keagamaan, serta moment-moment keagamaan lainnya.

75

DAFTAR RUJUKAN

Al-Awaisyah, Husain al-Audah. Ensiklopedi Fiqih Praktis Menurut Al-Quran Dan As-Sunnah. Jilid 2. Trj. Abu Ihsan al-Atsari. Et.al. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i. Al Albani, Muhammad Nashiruddin. Shahih Sunan Abu Daud, trj. Tajuddin Arief, et.al. Jakarta: Pustaka Azzam, 1998. ---------. Mukhtasar Shahih Muslim, trj. Imron Rosadi, et.al. Jakarta: Pustaka Azzam, 2003. Dahlan, Abdul Aziz. et. Al. Ensiklopedi Hukum Islam, vol. II. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996. ---------. Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 1. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996. Dahlan, Abdul Aziz. et. Al, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 7. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2006. Farid, Ahmad. Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah Sebuah Biografi Singkat, trj. Masturi Irham dan Asmu’i Taman. t.t: Pustaka Al Kautsar, t.t. http://maktabahmanhajsalaf.blog.com/2012/11/03/biografi-imam-ibnu-qayyim-aljauziyahrahimahullah/ http://perpus.stainpamekasan.ac.id/index.php?p=show_detail&id=3427 Hajar, Ibnu. Fathul Bari’, Juz 12. Dar al-Fikr, t.t. Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. I’lam Al- Muwaqqi’en ‘An Rabb Al-‘Alamin (Beirut: Daar Al Kutub Al-‘Ilmiah, 1996. ---------. Kunci Kebahagiaan, trj. Abdul Hayyie al-Katani. et. Al. (Jakarta: Akbar Eka Sarana, 2004 Lubis, Suhrawardi K. dan Komis Simanjuntak. Hukum Waris Islam (Lengkap Dan Praktis) Edisi ke 2. Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Muhammad Syah, Ismail. et. al, Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1992. Qal’ahji. Muhammad Rawwas, Ensiklopedi Fiqih Umar Bin Khattab RA (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.

76

Qudamah, Ibnu. Al-Mughni, Juz 4. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007. Ramulyo. Idris, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut Hukum Perdata (BW). Jakarta: Sinar Grafika, 1994. Rafiq. Ahmad, Hukum Islam di Indonesia , cet. 2. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997. Rifa’I,Moh. Ushul Fiqih. Bandung: PT Al Ma’arif, 1973. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitaif Kualitatif Dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2010. Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah, trj. Nor Hasanuddin, et. Al. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006. Asy-Syathibi, Abi Ishak. Al-Muwafaqat, jilid 2. Mesir: Dar Ibnu Qayyim, 2006. ---------. Al-Muwafaqat, jilid 5. Mesir: Dar Ibnu Qayyim, 2006. STAIN Pamekasan, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Pamekasan: STAIN Press, 2011. t.n, Al-Qur’an Dan Terjemahannya. Kudus: Mubarokatan Toyyibah, t.t Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, Cet. 3. Bandung: CV Nuansa Aulia, 2011. Umam, Walidul. “Tradisi Sangkolan Di Kalangan Masyarakat Desa Bunten Barat Kecamatan Ketapang Kabupaten Sampang Madura”, (Skripsi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang, 2009) Zamzami, Mukhtar. Hiyal Asy-Syar’iyah Dalam Praktik Hibah Dan Wasiat, Makalah disajikan dalam RAKERNAS Mahkamah Agung dengan Pengadilan Seluruh Indonesia Tahun 2011, (Jakarta, 18-22 September 2011) Zuhaili, Wahbah. Fiqih Imam Syafi’i. trj. Muhammad Afifi, et.al. Jakarta: Almahira, 2010.

77

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama

: Mahbubi

NIM

: 180921263

Jurusan

: Syari’ah

Program Studi

: Hukum Perdata Islam

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis benar-benar merupakan hasil karya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai hasil tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini merupakan hasil plagiasi, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan yang dituduhkan kepada saya.

Pamekasan, 17 Juni 2013 Yang membuat pernyataan

MAHBUBI Nim: 180921263

78

RIWAYAT HIDUP

Mahbubi,

dilahirkan

di

Desa

Padelegan,

Kecamatan

Pademawu Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur pada tanggal 20 Pebruari 1989, anak kedua dari tiga bersaudara, pasangan bapak alm. K. Bukhari dan ibu Ny. Farihah. Pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi ditempuh di Kabupaten Pamekasan. Sekolah dasar ditempuh di SDN Padelegan 1, MTs di MTsN Pademawu, dan MA lulus tahun 2007 di MAN 2 Pamekasan, dan perguruan tinggi ditempuh di STAIN Pamekasan sejak tahun 2009. Semasa menjadi mahasiswa, aktif dalam berbagai organisasi, baik organisasi intra kampus atau ekstra kampus. Pernah menjadi pengurus UKM PI STAIN Pamekasan (2010-2011), Pengurus HMJ Syari’ah STAIN Pamekasan (2011-2012), Pengurus Dewan Eksekutif Mahasiswa DEMA STAIN Pamekasan (2012-2013) menjabat sebagai Menteri dalam Negeri (Mendagri), aktif di salah satu organisasi Ekstra kampus yaitu di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) komisariat STAIN Pamekasan, serta aktif di berbagai organisasi kemasyarakatan lainnya. Tidak hanya itu kehidupan sehari-hari penulis sangatlah sederhana, dan sambil bekerja paruh waktu hanya untuk bisa tetap meneruskan pendidikan sampai jenjang sarjana. Alhamdulillah keinginan untuk bisa tuntas dijenjang sarjana bisa tersampaikan berkat kegigihan, dan berkat do’a dan motivasi dari orang tua, saudara-saudara, teman dan orang terdekat penulis lainnya.

79

Related Documents


More Documents from ""