“Batuk Yang Tidak Kunjung Sembuh”
Kelompok 1 Nama Tutor: dr. Rizkiyah, MMRS. Ketua Kelompok: Silvia Dewi Maransisca
(16910047)
Sekretaris Kelompok: Rithio Chandraca Islamy
(16910040)
Andi Firdha Restuwati
(16910014)
Anggota Kelompok: Nila Aisyah
(16910003)
Achmad Tri Sugiarto Kharisul Islam.F
(16910006)
Muhammad Farid Wafi
(16910023)
Qonitatul Yumna
(16910039)
Putri Aulawiya Wulandari
(16910044)
Safira Dita Arviana
(16910048)
Ridho Angger Kurniawan
(16910049)
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG 2017
DAFTAR ISI Halaman Judul ................................................................................................................ Daftar Isi ......................................................................................................................... Halaman Skenario ……………………………………………………………………... LANGKAH I: KATA SULIT 1.1 Daftar Kata Sulit ................................................................................................. 1.2 Klarifikasi Kata Sulit ........................................................................................... LANGKAH II: RUMUSAN MASALAH DALAM SKENARIO …………………... LANGKAH III: JAWABAN DAFTAR MASALAH ………………………………... LANGKAH IV: PETA MASALAH ………………………………………………...... LANGKAH V: TUJUAN PEMBELAJARAN (LEARNING OBJECTIVE) …….…… LANGKAH VI: SELF DIRECTED LEARNING …………………….……………... LANGKAH VII: PEMBAHASAN LO DAN PETA KONSEP Daftar Pustaka ................................................................................................................
Batuk Yang Tidak Kunjung Sembuh Seorang laki-laki usia 35 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan batuk yang tidak kunjung sembuh sejak 3 minggu yang lalu. Batuk mengeluarkan dahak. Dahak berwarna kuning tidak disertai darah. Tidak ada sesak nafas. Selain itu penderita juga demam yang tidak terlalu tinggi sekitar seminggu yang lalu. Sejak 3 bulan terakhir penderita mengeluh sering sakit demam, sering berkeringat malam, nafsu makan dan berat badan yang menurun. Dari riwayat kesehatan keluarga diketahui istri menderita tuberkulosis paru. Pada pemeriksaan fisik didapatkan : Keadaan umum : tampak sakit sedang ; BB : 50 kg Tanda Vital
: TD= 120/80 mmHg, Nadi = 82x/menit, RR= 24x/menit, suhu= 37,80C
Leher
: pembesaran kelejar getah bening (-)
Rongga mulut : Faring : hiperemis (-), Tonsil : hiperemis (-) , T1/T1 Jantung
: ictus cordis tampak, gallop (-)
Paru
: Inspeksi : bentuk dada normal, gerakan simetris Palpasi : nyeri tekan dada (-), deviasi trakea (-), fremitus taktil (N/N) Perkusi : Sonor/Sonor Auskultasi : vesikuler/vesikuler, ronki +/+ di apeks paru, wheezing -/-
Abdomen
: supel , nyeri tekan (-)
Extremitas
: akral hangat, edema -/-
Darah Lengkap
Hb
: 15 g/dL
Ht
: 39,4 %
Leukosit
: 10.000 sel/mm3
Diff Count
: 1/3/5/50/25/8
Limfosit
: 160/µL
Trombosit
: 296.000 sel/mm3
LED
: 10 mm/jam
Tes Fungsi ginjal Ureum
: 18 mg/dl (10-50 mg/dl)
Kreatinin
: 0,8 mg/dl (0,6-1,3)
Gula darah GDS
: 93 mg/dl (70-150)
Tes fungsi hati SGOT
: 24,7 U/I (≤38 U/I)
SGPT
: 34,3 U/I (≤41 U/I)
Foto Rontgen PA :Terdapat gambaran infiltrat di bagian apeks paru. Hasil pemeriksaan sputum BTA SPS : negatif. Pemeriksaan dahak biakan : masih menunggu hasil Dokter kemudian meresepkan obat OAT KDT kategori 1
LANGKAH 1 (KLARIFIKASI KATA SULIT)
Fremitus Taktil
: Getaran yang teraba akibat suara yang dijalarkan melalui
cabang-cabang bronkopulmoner ke dinding dada saat pasien berbicara.
BTA SPS
: Pemriksaan sputum untuk mengetahui adanya bakteri
Tuberkulosis yang dilakukan 3 kali yaitu: sewaktu, pagi, sewaktu.
OAT KDT
: Obat anti Tuberkulosis dengan dosis yang tetap.
SGOT
: Suatu enzim yang terdapat di dalam sel hati. Ketika sel
hati mengalami kerusakan, maka enzim ini akan keluar dan mengalir ke dalam aliran darah.
SGPT
: Singkatan dari Serum Glutamic Pyruvate Transaminase
atau disebut juga dengan ALT (alanin aminotransferase)
Deviasi Trakea
: Penyimpangan trakea ke sisi laion sebagai ciri dari
tension pneumoni torax.
Tuberkulosis Paru
: penyakit parenkimparu karena infeksi Myobacterium
Tuberkulosis.
Infiltrat
: Gambaran tidak normal pada paru.
LANGKAH 2 (RUMUSAN MASALAH DALAM SKENARIO) 1.) Mengapa pasien tidak kunjung sembuh dalam 3 minggu ? 2.) Mengapa batuk disertai dahak yang berwarna kuning, dan mengapa tidak berdarah ? 3.) Mengapa demam pasien tidak teralalu tinggi tapi frekuensinya tinggi ? 4.) Mengapa dalam 3 bulan terkahir pasieng merasakan keringat dingin, nafsu makan berkurang, dan BB menurun ? 5.) Apa hubungan keluhan pasien dengan penyakit TB pada istrinya ? 6.) Apakah interpretasi Pemeriksaan fidik pasien ? 7.) Apakah interpretasi pemeriksaan penunjang pada pasien (darah, fungsi ginjal, fungsi hati, rotgen) ? 8.) Mengapa dokter meresepkan OAT KDT, padahal BTA negatif ? 9.) Apakah kemungkinan Diagnosis pada pasien ?
LANGKAH 3 (JAWABAN DAFTAR MASALAH) 1.) Infeksi
paparan udara dll
inflamasi hidung
3 minggu imun bagus
Infeksi
fagositosis
tidak semua bakteri mati
tidak kunjung sembuh
Iatri TB
kuman TB
difagositoisis tidak hancur
fase dorman saat imun
turun 2.) Dahak kuning
infiltrasi kuman TB
(sambungan)
histamin
Tidak berdarah
mukosa tidak rusak
jaringan pecah
mukus
sel mas
dahak kuning batuk sedang (tidak mengikis
mukosa) 3.) TB demam tidak teralu tinggi
konsentrai prostaglandin tidak picu demam terlalu
tiggi sehingga tidak beri respon imun terlalu tinggi. Frekuensi tinggi 4.) Bakteri
masa inkubasi, proses inflamsi. Tubuh melawan
memperbanyak makrofag
(sambungan)
signal untuk meningkatkan set poin hipotalamus
(sambungan)
tubuh keluarkan panas
Produksi TNF suhu naik
berkeringat
Saat malam hari karena metabolisme tubuh maksimal pada saat malam hari. Nafsu makan menurun manurun
inflamasi
serotonin
rangsang nafsu makan
anoreksia
5.) Lama kontak, menularkan, lingkungan temoat tinggal, paparan sinar matahari. 6.) Interpretasi pemeriksaan Fisik -
Leher
: (-) non inflamasi
-
Rongga mulut
: faring/Tongsil hiperemis (-) Non inflamasi
-
Paru
: Normal
-
Abdomen
: Normal
-
Extremitas
: Normal
7.) Interpretasi pemeriksaan penunjang -
Darah lengka
: dalam batas normal kecuali Leukosit meningkat yang mandakan
danya infeksi virus dan infeksi dalam fase kronik -
Fungsi ginjal
: normal
-
Gula darah
: normal
-
Fungsi hati
: normal
-
Rotgen PA
: infiltrak menandakan adanya infeksi paru pada bagian apex
karena pada paru kaya O2 dan bakteri TB bersifat aerob. 8.) Karena : -
Kultur lama ditunggu (3 mingguan)
-
Adanya batuk lebih dari 3 minggu
-
Kontak dengan orang TB
9.) Diagnosis : TB Paru
LANGKAH 4 (PETA MASALAH)
Epidemiologi Laki-Laki 35 tahun Faktor Resiko
Gejala dan Tanda Batuk Berdahak berwarna kuning Demam Keringat Malam Nafsu makan dan berat badan menurun
Ronkhi pada apeks paru Subfebris
Kriteria Diagnosis
Pemeriksaan Penunjang Riwayat istri TB
Pencegahan
Infeksi
Etiopatofisiologi
Darah Lengkap
Foto Torax
Fungsi Ginjal
BTA (SPS)
Limfosit Menengkat
Infiltrat di apeks paru
Normal
Negatif
Definisi dan Klasifikasi
Dx : TB Paru
DD
OAT KDT Terapi
Kategori I Komplikasi dan Prognosis
LANGKAH 5 (TUJUAN PEMBELAJARAN (LEARNING OBJECTIVE)) 1.) Mengetahui Defenisi dan Klasifikasi Tuberculosis Paru 2.) Mengetahui Epidemiologi Tuberkulosis Paru 3.) Mengetahui Faktor Resiko Tuberculosis Paru 4.) Mengetahui Etiopatofisiologi Tuberculosis Paru 5.) Mengetahui Kriteria Diagnosis Tuberculosis Paru (Tanda dan Gejala & Pemeriksaan Penunjang) 6.) Mengetahui Diagnosis Banding Tuberculosis Paru 7.) Mengetahui Tata Laksana Tuberculosis Paru 8.) Mengetahui Pencegahan Tuberculosis Paru 9.) Mengetahui kompllikasi dan prognosis Tuberculosis Paru
LANGKAH 6 (SELF DIRECTED LEARNING)
1.) Definisi Tuberkulosis Paru Tuberkulosis Paru (Tb Paru) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang penyakit parenkim paru. Nama tuberkulosis berasal dari tuberkel yang berarti tonjolan kecil dan keras yang terbentuk waktu sistem kekebalan membangun tembok mengelilingi bakteri dalam paru. Tb paru ini bersifat menahun dan secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan. Tb paru dapat menular melalui udara, waktu seseorang dengan Tb aktif pada paru batuk, bersin atau bicara. (Amin, 2009) Klasifikasi Tuberkulosis Menurut PDPI tahun 2006 klasifikasi tuberculosis terbagi atas : 1. Tuberkulosis paru Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura. a). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA) TB paru dibagi atas: a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah: 1. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif 2. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif 3. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif b. Tuberkulosis paru BTA (-) 1. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif 2. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis b). Berdasarkan tipe pasien Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu : 1. Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan. 2. Kasus kambuh (relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan : - Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan dll) - TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang berkompeten menangani kasus tuberculosis 3. Kasus Defaulted atau Drop Out Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan > 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. 4. Kasus Gagal Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan. 5. Kasus Kronik Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik 6. Kasus Bekas TB
a) Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung. b) Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi 2. TUBERKULOSIS EKSTRA PARU Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, saluran kencing dan lain-lain.Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi dari tempat lesi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan TB ekstraparu aktif.
Gambar . Skema Klasifikasi Tuberkulosis Sumber : Tuberkulosis: pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia (2006)
2.) EPIDEMIOLOGI Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai « Global Emergency ». Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk, seperti terlihat pada tabel 1. Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, prevalens HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul. Jumlah kasus (Ribu) Pembagian daerah WHO Afrika Amerika Mediteranian timur Eropa Asia Tenggara Pasifik Barat Global
Kasus per 100 000 penduduk
Semua kasus (%) 2354 (26) 370 (4) 622 (7)
Sputum positif 1000 165 279
Semua kasus (%) 350 43 124
Sputum positif 149 19 55
472 (5) 2890 (33) 2090 (24) 8797 (100)
211 1294 939 2887
54 182 122 141
24 81 55 63
Kematian akibat TB (termasuk kematian TB pada penderita HIV) Jumlah Per 100 000 (Ribu) penduduk 556 83 53 6 143 28 73 625 373 1823
Tabel 1. Perkiraan insidens TB dan angka mortaliti, 2002 Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan Cina. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia (PDPI, 2006).
3.) Fr Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian Tuberkulosis adalah sebagai berikut (Simbolon, 2007): a) tidak pernah di imunisasi BCG b) ada sumber kontak c) ventilasi kurang dari 10% luas lantai d) tidak ada cahaya matahari masuk ke rumah e) interaksi antara perilaku merokok dengan rumah dengan penghuni yang padat f) usia produktif g) prilaku merokok h) pendidikan
8 39 22 29
Faktor yang paling dominan berhubungan dengan kejadian TB Paru adalah interaksi perilaku merokok dengan penghuni rumah yang padat serta keeratan kontak (Simbolon, 2007). Berikut faktor risiko yang disebutkan dalam Harrison's Pulmonary and Critical Care Medicineadalah sebagai berikut:
4.) Etiopatofiologi Menurut Kemenkes (2014), tuberkulosis paru disebabkan karena infeksi dari Mycobacterium Tuberculosis. Bakteri ini bersifat tahan asam dan mampu bersifat dormant (tidur/tidak berkembang). Bakteri ini dapat ditularkan melalui droplet nuclei, dengan beberapa cara antara lain: a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak yangdikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil pemeriksaanBTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadioleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam contoh uji ≤ dari 5.000 kuman/ccdahak sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis langsung. b. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkanpenyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTAnegatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasilkultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17%. c. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percik renikdahak yang infeksius tersebut. d. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentukpercikan dahak (droplet nuclei / percik renik). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar3000 percikan dahak. Menurut PDPI (2006), mikobakterium yang terkandung di dalam droplet berdiameter <25 ηm ketika pasien yang terinfeksi batuk, bersin, atau berbicara. Droplet akan menguap dan meninggalkan organisme yang cukup kecil untuk terdeposit di dalam alveoli ketika dihirup (Jawetz et al., 2004). Kuman tersebut bersifat sangat aerobik, sehingga mudah tumbuh di dalam paru, terlebih di daerah apeks karena PO2 alveolus paling tinggi. Keberadaan basil tuberkuli di dalam
alveoli akan merangsang teraktivasinya alveolar makrofag, melalui ikatan antara lipoarabinomannan yang merupakan salah satu antigen yang terdapat di dinding bakteri dengan mannose receptor dari alveolar makrofag. Selanjutnya basil tuberkuli berada dalam fagosom. Namun, proses fagositosis dihambat oleh basil tuberkuli melalui toksinnya. Sehingga fagosom tidak dapat berfusi dengan lisosom untuk membentuk fagolisosom. Mikobakteri akan bermultiplikasi dalam waktu beberapa minggu pada alveolar makrofag dan sel yang diangkut menuju nodus limfe sekitar. Sehingga terjadi peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut : 1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum) 2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus) 3. Menyebar dengan cara : a. Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya. Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana terdapat penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis. b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini sangat bersangkutan dengan daya tahantubuh, jumlah dan virulensi basil. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapibila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat sepertituberkulosis milier, meningitis tuberkulosa,typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapatmenimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya,misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkinberakhir dengan : Sembuh dengan meninggalkan sekuele(misalnya pertumbuhan terbelakang pada anaksetelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma) atau Meninggal Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer Bakteri yang terus berproliferasi di alveolar makrofag lama-kelamaan akan menyebabkan kematian sel fagosit. Hingga akhirnya makrofag akan merangsang untuk memanggil makrofag lebih banyak lagi dan membentuk agregat. Bakteri berproliferasi terus, dan sementara makrofag (yang berisi bakteri) mati, sel fagosit makrofagmasuk dalam jaringan dan menelan bakteri yang baru terlepas. Jadi terdapat pertukaran sel fagosit makrofagyang intensif dan berkesinambungan. Sel makrofag semakin membesar, intinya menjadi eksentrik, sitoplasmanya bertambah banyak dan tampak pucat, disebut sel epiteloid. Sel-sel tersebut berkelompok padat mirip sel epitel tanpa jaringan diantaranya, namun tidak ada ikatan interseluler dan bentuknya pun tidak sama dengan sel epitel (PDPI, 2006). Yang mana proses tersebut diperantarai oleh APC (Antigen Presenting Cell) yang mengeluarkan IL 12, sitokin tersebut akan diterima oleh Th1. Th1 akan merangsang sel CD4+ untuk memproduksi IFN-Gamma. IFN-Gamma inilah yang akan merangsang proses epiteloid dan granuloma (Schluger, 2005).
Sebagian sel epiteloid ini membentuk sel datia berinti banyak, dan sebagian sel datia ini berbentuk sel datia Langhans (inti terletak melingkar di tepi) dan sebagian berupa sel datia benda asing (inti tersebar dalam sitoplasma). Lama kelamaan granuloma ini dikelilingi oleh sel limfosit, sel plasma, kapiler dan fibroblas. Yang mana fibroblas-fibroblas tersebut diproduksi akibat rangsangan dari sitokin makrofag. Di bagian tengah mulai terjadi nekrosis yang disebut perkijuan, dan jaringan di sekitarnya menjadi sembab dan jumlah mikroba berkurang. Granuloma dapat mengalami beberapa perkembangan , bila jumlah mikroba terus berkurang akan terbentuk simpai jaringan ikat mengelilingi reaksi peradangan. Lama kelamaan terjadi penimbunan garam kalsium pada bahan perkijuan. Bila garam kalsium berbentuk konsentrik maka disebut cincin Liesegang . Bila mikroba virulen atau resistensi jaringan rendah, granuloma membesar sentrifugal, terbentuk pula granuloma satelit yang dapat berpadu sehingga granuloma membesar. Sel epiteloid dan makrofag menghasilkan protease dan hidrolase yang dapat mencairkan bahan kaseosa. Pada saat isi granuloma mencair, bakteri tumbuh cepat ekstrasel dan terjadi perluasan penyakit (PDPI, 2006). Reaksi jaringan yang terjadi berbeda antara individu yang belum pernah terinfeksi dan yang sudah pernah terinfeksi. Pada individu yang telah terinfeksi sebelumnya reaksi jaringan terjadi lebih cepat dan keras dengan disertai nekrosis jaringan. Akan tetapi pertumbuhan kuman tertahan dan penyebaran infeksi terhalang. Ini merupakan manifestasi reaksi hipersensitiviti dan sekaligus imuniti (PDPI, 2006).
5.) Kriteria Diagnosis A. Anamnesis Menurut Perkumpulan Dokter Paru Indonesia tahun 2006 : 1) Gambaran Klinik Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya Gejala klinik Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik. a. Gejala respiratorik 1. Batuk ≥ 3 minggu 2. Batuk darah 3. Sesak napas 4. Nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar. Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan. b. 1. 2. menurun
Gejala sistemik Demam Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
B. Pemeriksaan Fisik Menurut Perkumpulan Dokter Paru Indonesia tahun 2006: Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior , serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum. Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess” (.
C. Pemeriksaan Penunjang Menurut Perkumpulan Dokter Paru Indonesia tahun 2006: 1. Pemeriksaan Bakteriologis a. Bahan pemeriksasan Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH). b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturutturut atau dengan cara: Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan), dahak Pagi ( keesokan harinya ), sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi). Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasiliti, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium. Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium. Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas penderita yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium.
Bila lokasi fasiliti laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan penderita, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos. Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring: 1. Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian tengahnya. 2. Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari kertas saring sebanyak + 1 ml 3. Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung yang tidak mengandung bahan dahak 4. Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman, misal di dalam dus. 5. Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik kecil. 6. Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi 7. Di atas kantong plastik dituliskan nama penderita dan tanggal pengambilan dahak 8. Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat laboratorium. c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara; Mikroskopik dan biakan. 1) Pemeriksaan mikroskopik Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen pewarnaan Kinyoun Gabbett Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening) Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, dahak dipekatkan lebih dahulu dengan cara sebagai berikut : a. Masukkan dahak sebanyak 2 – 4 ml ke dalam tabung sentrifuge dan tambahkan sama banyaknya larutan NaOH 4% b. Kocoklah tabung tersebut selam 5 – 10 menit atau sampai dahak mencair sempurna c. Pusinglah tabung tersebut selama 15 – 30 menit pada 3000 rpm d. Buanglah cairan atasnya dan tambahkan 1 tetes indicator fenol-merahpada sediment yang ada dalam tabung tersebut, warnanya menjadi merah e. Netralkan reaksi sedimen itu dengan berhati-hati meneteskan larutan HCl 2n ke dalam tabung sampai tercapainya warna merah jambu ke kuning-kuningan f. Sedimen ini selanjutnya dipakai untuk membuat sediaan pulasan (boleh juga dipakai untuk biakan M.tuberculosis ) lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan ialah bila : 2 kali positif, 1 kali negatif → Mikroskopik positif 1 kali positif, 2 kali negatif → ulang BTA 3 kali , kemudian bila 1 kali positif, 2 kali negatif → Mikroskopik positif bila 3 kali negatf → Mikroskopik negatif Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala bronkhorst atau IUATLD. 2) Pemeriksaan biakan kuman Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan cara : a. b.
Egg base media (Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh) Agar base media : Middle brook
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat
cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul
2. Pemeriksaan Radiologi Menurut Perkumpulan Dokter Paru Indonesia tahun 2006: Pemeriksaan Radiologik Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif : a. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah b. Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular c. Bayangan bercak milier d. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang) Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif adalah fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas, kalsifikasi atau fibrotik, kompleks ranke, fibrotoraks/fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura. Luluh Paru (Destroyed Lung ) : Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis, multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses penyakit Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA dahak negatif) : (1) lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5 (sela iga 2) dan tidak dijumpai kaviti, (2) Lesi luas bila proses lebih luas dari lesi minimal. 3.
Pemeriksaan Lainnya
Menurut Perkumpulan Dokter Paru Indonesia tahun 2006: a. Polymerase chain reaction (PCR) Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya. Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang kearah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB. Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan atau spesimen pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun luar paru sesuai dengan organ yang terlibat. b. Pemeriksaan Serologi 1) ELISA (Enzym Linked Immunosorbent) Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama. 2) Mycodot Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum penderita, dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang
memadai yang sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir yang dapat dideteksi dengan mudah. 3) Uji peroksidase anti peroksidase (PAP) Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi. 4) ICT Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologik untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji ICT tuberculosis merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) dismaping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 µl diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung antibodi IgG terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada membran. Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi. Saat ini pemeriksaan serologi belum bisa dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis. c. Pemeriksaan BACTEC Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis. d. Pemeriksaan Cairan Pleura Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah. e. Pemeriksaan histopatologi jaringan Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsi paru dengan trans bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal biopsy (TTB), biopsi paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar getah bening dan biopsi organ lain diluar paru. Dapat pula dilakukan biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH =biopsi jarum halus). Pemeriksaan biopsi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis, terutama pada tuberkulosis ekstra paru Diagnosis pasti infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan histopatologi pada jaringan paru atau jaringan diluar paru memberikan hasil berupa granuloma dengan perkejuan. f. Pemeriksaan darah Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua sangat dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologik penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan biologik/ daya tahan tubuh penderida , yaitu dalam keadaan supresi / tidak. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik. g. Uji tuberkulin Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB di daerah dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang
tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik kurang berarti, apalagi pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji yang dilakukan satu bulan sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali atau bula. Pada pleuritis tuberkulosa uji tuberkulin kadang negatif, terutama pada malnutrisi dan infeksi HIV. Jika awalnya negatif mungkin dapat menjadi positif jika diulang 1 bulan kemudian. Sebenarnya secara tidak langsung reaksi yang ditimbulkan hanya menunjukkan gambaran reaksi tubuh yang analog dengan ; a) reaksi peradangan dari lesi yang berada pada target organ yang terkena infeksi atau b) status respon imun individu yang tersedia bila menghadapi agent dari basil tahan asam yang bersangkutan (M.tuberculosis). Menurut Kementerian Kesehatan RI tahun 2014 adalah:
1. Pemeriksaan Dahak a) Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Langsung Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu): S (sewaktu) : dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang berkunjung pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua. P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes. S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. b) Pemeriksaan Biakan Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis (M.tb) dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu, misal: 1) Pasien TB ekstra paru. 2) Pasien TB anak. 3) Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif. Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang terpantau mutunya. Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat yang direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis dianjurkan untuk memanfaatkan tes cepat tersebut. D. Diagnosis Tuberkulosisi Pada Orang Dewasa 1. Diagnosis TB Paru a. Dalam upaya pengendalian Tb secara Nasional, maka diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan dan tes cepat. b. Apanila pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negatif, maka penegakkan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter yang telah terlatih TB.
c. Pada sarana terbatas penegakan diagnosis secara klinis dilakukan setelah pemberian terapi antibiotika spektrum luas (Non OAT dan Non kuinolon) yang tidak memberikan perbaikan klinis. d. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis. e. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada TB paru, sehingga dapat menyebabkan terjadi overdiagnosis atau underdiagnosis. f. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya dengan pemeriksaan uji tuberkulin. Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Langsung: a) Untuk kepentingan diagnosis dengan cara pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung, terduga pasien TB diperiksa contoh uji dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) b) Ditetapkan sebagain pasien TB apabila minimal 1 (satu) dari pemeriksaan contoh uji dahak SPS hasilnya positif. 2. Diagnosis TB Ekstra Paru a. Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB serta deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya. b. Diagnosis pasti pasien TB ekstra paru ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau hispatologis dari contoh uji yang diambil dari organ tubuh yang terkena. c. Dilakukan pemeriksaan bakteriologis apabila juga ditemukan keluhan dan gejala yang sesuai, untuk menemukan kemungkinan adanya TB paru.
6.) Diagnosis Banding 1.
Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru (Tb paru) adalah penyakit infeksius, yangterutama menyerang penyakit parenkim paru. Nama tuberkulosis berasaldari tuberkel yang berarti tonjolan kecil dan keras yang terbentuk waktusistem kekebalan membangun tembok mengelilingi bakteri dalam paru. Tbparu ini bersifat menahun dan secara khas ditandai oleh pembentukangranuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan. Tb paru dapat menularmelalui udara, waktu seseorang dengan Tb aktif pada paru batuk, bersinatau bicara (PPDI, 2006). Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitugejala respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejalasistemik(PPDI, 2006). a. Gejala respiratorik • batuk ≥ 3 minggu • batuk darah • sesak napas • nyeri dada Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak adagejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luaslesi. Kadang penderita terdiagnosis pada saat medical checkup. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, makapenderita
mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar. Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yangterlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapatgejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yangrongga pleuranya terdapat cairan. b. Gejala sistemik • Demam • gejala sistemik lain: malaise, keringat malam,anoreksia, berat badan menurun 2.
Pneumonia
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) biasanya disebabkan oleh masuknya kuman bakteri, yang ditandai oleh gejala klinis batuk, demam tinggi dan disertai adanya napas cepat ataupun tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam. Dalam pelaksanaan Pemberantasan Penyakit ISPA (P2ISPA) semua bentuk pneumonia baik pneumonia maupun bronchopneumonia disebut pneumonia (Depkes RI, 2002). Pneumonia merupakan penyakit batuk pilek disertai napas sesak atau napas cepat. Napas sesak ditandai dengan dinding dada bawah tertarik ke dalam, sedangkan napas cepat diketahui dengan menghitung tarikan napas dalam satu menit(Depkes, 2002). Gejala penyakit pneumonia biasanya didahului dengan infeksi saluran napas atas akut selama beberapa hari. Selain didapatkan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat mencapai 40 derajat celcius, sesak napas, nyeri dada dan batuk dengan dahak kental, terkadang dapat berwarna kuning hingga hijau. Pada sebagian penderita juga ditemui gejala lain seperti nyeri perut, kurang nafsu makan, dan sakit kepala (Misnadiarly, 2008). 3. Efusi Pleura Efusi pleural adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara permukaan visceral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara normal, ruang pleural mengandung sejumlah kecil cairan (5 sampai 15ml) berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi (Smeltzer C Suzanne, 2002). 1. Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena pergesekan, setelah cairan cukup banyak rasa sakit hilang. Bila cairan banyak, penderita akan sesak napas. 2. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosis), banyak keringat, batuk. 3. Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu). Gejala yang paling sering ditemukan (tanpa menghiraukan jenis cairan yang terkumpul ataupun penyebabnya) adalah sesak nafas dan nyeri dada (biasanya bersifat
tajam dan semakin memburuk jika penderita batuk atau bernafas dalam). Kadang beberapa penderita tidak menunjukkan gejala sama sekali. Gejala lainnya yang mungkin ditemukan: - Batuk - Pernafasan yang cepat - Demam - Cegukan 7.) TATALAKSANA Menurut PDPI (2006) Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan. A. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT) Obat yang dipakai: 1. Jenis obat utama (lini 1)yang digunakan adalah: • Rifampisin • INH • Pirazinamid • Streptomisin • Etambutol
Tabel. Jenis, Sifat dan Dosis OAT lini pertama 2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination) Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari : • Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg dan • Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg dan pirazinamid. 400 mg 3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2) • Kanamisin • Kuinolon • Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam klavulanat • Derivat rifampisin dan INH
Tabel. Pengelompokan OAT
Dosis OAT • Rifampisin . 10 mg/ kg BB, maksimal 600mg 2-3X/ minggu atau -
BB > 60 kg : 600 mg BB 40-60 kg : 450 mg BB < 40 kg : 300 mg Dosis intermiten 600 mg / kali
• INH 5 mg/kg BB, maksimal 300mg, 10 mg /kg BB 3 X seminggu, 15 mg/kg BB 2 X semingggu atau 300 mg/hari untuk dewasa. lntermiten : 600 mg / kali • Pirazinamid : fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 X semingggu, 50 mg /kg BB 2 X semingggu atau : -
BB > 60 kg : 1500 mg BB 40-60 kg : 1 000 mg BB < 40 kg : 750 mg
• Etambutol : fase intensif 20mg /kg BB, fase lanjutan 15 mg /kg BB, 30mg/kg BB 3X seminggu, 45 mg/kg BB 2 X seminggu atau : -
BB >60kg : 1500 mg BB 40 -60 kg : 1000 mg BB < 40 kg : 750 mg Dosis intermiten 40 mg/ kgBB/ kali
• Streptomisin:15mg/kgBB atau -
BB >60kg : 1000mg BB 40 - 60 kg : 750 mg BB < 40 kg : sesuai BB
• Kombinasi dosis tetap Rekomendasi WHO 1999 untuk kombinasi dosis tetap, penderita hanya minum obat 3-4 tablet sehari selama fase intensif, sedangkan fase lanjutan dapat menggunakan kombinasi dosis 2 obat antituberkulosis seperti yang selama ini telah digunakan sesuai
dengan pedoman pengobatan. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / fasiliti yang mampu menanganinya. B.
PADUAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS
Menurut Depkes (2011) Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia:
Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE) Kategori Anak: 2HRZ/4HR Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat diIndonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin,Levofloksasin, Ethionamide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitupirazinamid and etambutol. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paketberupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiridari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasienyang mengalami efek samping OAT KDT.Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengantujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan(kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB: 1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping. 2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisanresep 3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien Paduan OAT lini pertama dan peruntukannya. a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: • Pasien baru TB paru BTA positif. • Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif • Pasien TB ekstra paru Tabel. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1
Tabel. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1
b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif diobatisebelumnya: • Pasien kambuh • Pasien gagal • Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat(default) Tabel. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2
yang
telah
Tabel. Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi: • TB paru (kasus baru), BTA positif atau lesi luas Paduan obat yang diberikan : 2 RHZE / 4 RH Alternatf
: 2 RHZE / 4R3H3
atau (program P2TB) 2 RHZE/ 6HE Paduan ini dianjurkan untuk a. b. paru)
TB paru BTA (+), kasus baru TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk luluh
c. TB di luar paru kasus berat Pengobatan fase lanjutan, biladiperlukan dapat diberikan selama 7 bulan, dengan paduan 2RHZE / 7 RH, dan alternatif 2RHZE/ 7R3H3, seperti pada keadaan: 1) TB dengan lesi luas 2) Disertai penyakit komorbid (Diabetes Melitus, Pemakaian obat imunosupresi / kortikosteroid) 3) TB kasus berat (milier, dll) Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi •
TB Paru (kasus baru), BTA negatif
Paduan obat yang diberikan : 2 RHZ / 4 RH Alternatif
: 2 RHZ/ 4R3H3 atau 6 RHE
Paduan ini dianjurkan untuk : a. b.
TB paru BTA negatif dengan gambaran radiologik lesi minimal TB di luar paru kasus ringan
• TB paru kasus kambuh Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4 macam OAT pada fase intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase lanjutan 6 bulan atau lebih lama dari pengobatan sebelumnya, sehingga paduan obat yang diberikan : 3 RHZE / 6 RH Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (Program P2TB) • TB Paru kasus gagal pengobatan Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi, dengan minimal menggunakan 4 -5 OAT dengan minimal 2 OAT yang masih sensitif ( seandainya H resisten, tetap diberikan). Dengan lama pengobatan minimal selama 1 - 2 tahun . Menunggu hasil uji resistensi dapat diberikan dahulu 2 RHZES , untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (Program P2TB) Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru •
TB Paru kasus lalai berobat
Penderita TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria sebagai berikut : Penderita yang menghentikan pengobatannya < 2 minggu, pengobatan OAT dilanjutkan sesuai jadwal Penderita menghentikan pengobatannya ≥2 minggu 1) Berobat ≥4 bulan , BTA negatif dan klinik, radiologik negatif, pengobatan OAT STOP 2) Berobat >4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama
3) Berobat < 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama 4) Berobat < 4 bulan , berhenti berobat > 1 bulan , BTA negatif, akan tetapi klinik dan atau radiologik positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama 5) Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2-4 minggu pengobatan diteruskan kembali sesuai jadwal. • TB Paru kasus kronik Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 2 macam OAT yang masih sensitif dengan H tetap diberikan walaupun resisten) ditambah dengan obat lain seperti kuinolon, betalaktam, makrolid Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru Catatan : TB diluar paru lihat TB dalam keadaan khusus Paduan obat standar untuk pasien dengan riwayat OAT sebelumnya Global Plan to Stop TB 2006-2015 mencanangkan target untuk semua pasien dengan riwayat pengobatan OAT harus diperiksa uji resistensi OAT pada awal pengobatan. Uji resistensi obat dilakukan sedikitnya untuk isoniazid dan rifampisin dan tujuannya adalah mengidentifikasi TB resisten obat sedini mungkin sehingga dapat diberikan pengobatan yang tepat. Jenis pengobatan OAT ulang bergantung pada kapasitas laboratorium daerah setempat. Bila terdapat laboratorium yang dapat melakukan uji resistensi obat berdasarkan uji molekular cepat dan mendapatkan hasil dalam 1-2 hari maka hasil ini digunakan untuk menentukan paduan OAT pasien. Bila laboratorium hanya dapat melakukan uji resistensi obat konvensional dengan media cair atau padat dan mendaparkan hasil dalam beberapa minggu atau bulan maka daerah tersebut sebaiknya menggunakan paduan empiris sambil menunggu hasil uji resistensi obat. Pasien dengan kasus seperti ini dapat menerima kembali paduan OAT lini pertama (2RHZES/1RHZE/5RHE).Perlu dicatat bahwa pengobatan ulang dengan paduan OAT lini pertama ini tidak didukung oleh bukti uji klinis. Metode ini didesain untuk digunakan pada daerah dengan prevalens rendah TB resisten obat primer dan bagi pasien yang sebelumnya diobati dengan paduan yang mengandung rifampisin pada fase 2 bulan pertama. Uji resistensi obat seharusnya dilakukan pada awal pengobatan untuk semua pasien yang sebelumnya pernah diobati. Pasien yang apus dahak tetap positif setelah pengobatan tiga bulan selesai dan pasien gagal pengobatan, putus obat, atau kasus kambuh setelah pengobatan harus selalu dinilai terhadap resistensi obat. Untuk pasien dengan kemungkinan resistensi obat, biakan dan uji sensitivitas/resistensi obat setidaknya terhadap isoniazid dan rifampisin seharusnya dilaksanakan segera untuk meminimalkan kemungkinan penularan. PENGOBATAN SUPORTIF / SIMPTOMATIK Menurut PDPI (2006) Pengobatan yang diberikan kepada penderita TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bilakeadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, dapat rawat jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.
1. Pada penderita enderita rawat jalan a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk penderita tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya) b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau keluhan lain. 2. Penderita rawat inap a. Indikasi rawat inap : TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb : Batuk darah (profus) Keadaan umum buruk Pneumotoraks Empiema Efusi pleura masif / bilateral Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura) TB di luar paru yang mengancam jiwa : TB paru milier Meningitis TB b. Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan indikasi rawat TERAPI PEMBEDAHAN lndikasi operasi 1. a.
Indikasi mutlak Semua penderita yang telah mendapat OAT adekuat tetapi dahak tetap
positif b. Penderita batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif c. Penderita dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara konservatif 2. lndikasi relatif a. Penderita dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan c. Sisa kaviti yang menetap. Tindakan Invasif (Selain Pembedahan) • • •
Bronkoskopi Punksi pleura Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)
Kriteria Sembuh • BTA mikroskopik negatif dua kali(pada akhir fase intensifdan akhir pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat • Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan • Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif EFEK SAMPING OAT Tabel. Efek Samping Ringan dari OAT
Tabel. Efek Samping Berat dari OAT
Penanganan efek samping obat: • Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat diatasi secara simptomatik • Gangguan sendi karena pirazinamid dapat diatasi dengan pemberian salisilat / allopurinol • Efek samping yang serius adalah hepatits imbas obat. Penanganan seperti tertulis di atas • Penderita dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rashpada kulit yang umumnya disebabkan oleh INH dan rifampisin, dapat dilakukan pemberian dosis rendah dan desensitsasi dengan pemberian dosis yang ditingkatkan perlahan-lahan dengan pengawasan yang ketat. Desensitisasi ini tidak bisa dilakukan terhadap obat lainnya • Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah trombositopenia, syok atau gagal ginjal karena rifampisin, gangguan penglihatan karena etambutol, gangguan nervus VIll karena streptomisin dan dermatitis exfoliative dan agranulositosis karena thiacetazon • Bila sesuatu obat harus diganti maka paduan obat harus diubah hingga jangka waktu pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan baik.
8.) Pencegahan dapat dilakukan dengan cara : -Terapi pencegahan - Diagnosis dan pengobatan TB paru BTA positif untuk mencegah penularanTerapi pencegahan : Kemoprofilaksis diberikan kepada pasien HIV atau AIDS. Obat yang digunakan pada kemoprofilaksis adalah Isoniazid (INH) dengan dosis 5 mg / kg BB (tidak lebih dari 300 mg ) sehari selama minimal 6 bulan (Mansjoer,2000). Cara pencegahan penularan penyakit TB adalah: 1. Mengobati pasien TB Paru BTA positif, sebagai sumber penularan hingga sembuh, untuk memutuskan rantai penularan. 2. Menganjurkan kepada penderita untuk menutup hidung dan mulut bila batuk dan bersin. 3. Jika batuk berdahak, agar dahaknya ditampung dalam pot berisi lisol 5% atau dahaknya ditimbun dengan tanah. 4. Tidak membuang dahak di lantai atau sembarang tempat. 5. Meningkatkan kondisi perumahan danlingkungan. 6. Penderita TB dianjurkan tidak satu kamar dengan keluarganya, terutama selama 2 bulan pengobatan pertama. b. Upaya untuk mencegah terjadinya penyakit TB: 1. Meningkatkan gizi. 2. Memberikan imunisasi BCG pada bayi. 3. Memberikan pengobatan pencegahan pada anak balita yang tidak mempunyai gejala TB tetapi mempunyai anggota keluarga yang menderita TB Paru BTA positif. Keberhasilan upaya penanggulangan TB diukur dengan kesembuhan penderita. Kesembuhan ini selain dapat mengurangi jumlah penderita, juga mencegah terjadinya penularan. Oleh karena itu, untuk menjamin kesembuhan, obat harus diminum dan penderita diawasi secara ketat oleh keluarga maupun teman sekelilingnya dan jika memungkinkan dipantau oleh petugas kesehatan agar terjamin kepatuhan penderita minum obat (Mansjoer,2000). 9.)
Prognosis tuberkulosis (TB) tergantung pada diagnosis dini dan pengobatan. Pasien yang tidak diobati, setelah 5 tahun, 50% akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi, dan 25% akan menjadi kasus kronis yang tetap menular. Pada pasien yang diobati secara teratur, persentase kesembuhan 95% dan 5% sisanya tidak sembuh (WHO, 2017) Tuberkulosis extra-pulmonary membawa prognosis yang lebih buruk. Seorang yang terinfeksi kuman TB memiliki 10% risiko dalam hidupnya jatuh sakit karena TB. Namun penderita gangguan sistem kekebalan tubuh, seperti orang yang terkena HIV, malnutrisi, diabetes, atau perokok, memiliki risiko lebih tinggi jatuh sakit karena TB.
Rekurensi pengidap TB yang mendapat terapi DOT (Directly Observed Treatment) berkisar 0-14% (WHO, 2017). Di negara-negara dengan angka TB yang tinggi, rekurensi biasanya terjadi setelah pengobatan tuntas, hal ini cenderung dikarenakan oleh reinfeksi daripada relaps.Prognosis buruk terdapat pada penderita TB extra pulmonary, gangguan kekebalan tubuh, lanjut usia, dan riwayat terkena TB sebelumnya(WHO, 2017). Determinan sosial mempengaruhi prognosis pada pasien dengan TB Paru. Ditinjau dari aspek tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan kelas sosial, determinan sosial dapat mempengaruhi akses pelayanan kesehatan, ketahanan pangan, lingkungan bekerja dan tempat tinggal, serta pengetahuan dan perilaku tentang kesehatan yang nantinya akan mempengaruhi risiko kejadian TB dan prognosisnya. (Lonnroth, 2011). Tuberkulosis paru apabila tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan komplikasi. Komplikasi-komplikasi yang terjadi pada penderita tuberkulosis paru dibedakan menjadi dua, yaitu (PDPI, 2006): 1. Komplikasi dini a. Pleuritis b. efusi pleura c. empiema d. laryngitis, dan e. tuberkulosis usus. 2. Komplikasi pada stadium lanjut a. Hemoptisis masif (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena sumbatan jalan nafas atau syok hipovolemik b. Kolaps lobus akibat sumbatan duktus c. Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru d. Pnemotoraks spontan, yaitu kolaps spontan karena bula yang pecah e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, sendi, serta ginjal f. Insufisiensi kardiopulmoner, dan sebagainya
Daftar Pustaka : Amin, Z. and Bahar, A., 2009. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi kelima Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2). Jakarta: EGC. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman penanggulangan nasional TBC. Jakarta: Depkes RI. Jakarta : Pustaka Obor Populer. Jawetz, et al. 2004. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz-Melnick & Adelberged Edisi 23. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Kementrian Kesehatan RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI Lonnroth,
Knut.
2011.
Risk
Factors
and
Social
Determinant
of
TB.
Diakses
padahttps://bc.lung.ca/association_and_services/documents/KnutUnionNARTBriskfactorsand determinantsFeb2011.pdf 13 Maret 2018 pukul 23.51. Lozcalzo, J. 2010. Harrison's Pulmonary and Critical Care Medicine .USA. McGraw-Hill. Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi Ketiga. Jakarta: Media Aesculapius. Misnadiarly, 2007. Mengenal, Menanggulangi, Mencegah & Mengobati Penyakit Paru. PDPI. 2006. Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan Tuberkulosis Di Indonesia. 2006. Diakses padahttp://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.htmltanggal 13 Maret 2018 pukul 19.43. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberculosis Paru dalam IPD’s Compedium of Indonesia Medicine 1st Edition. Jakarta : PT. Medinfocomm Indonesia Schluger, Neil W. 2005. The Pathogenesis of Tuberculosis. American Journal Of Respiratory Cell And Molecular Biology (32) 251-256. Simbolon, D. 2007. Faktor Risiko Tuberculosis Paru di Kabupaten Rejang Lebong. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional 2(3): 112-9. Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah WHO. 2017. Tuberculosis. Diakses pada http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs104/en/, tanggal 13 Maret 2018 pukul 19.42.