Seniman Ngawi - Balada Sapu Sepet

  • Uploaded by: MOEDJOKO SATYO HANGGRAHONO
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Seniman Ngawi - Balada Sapu Sepet as PDF for free.

More details

  • Words: 1,511
  • Pages: 4
BALADA SAPU SEPET Azizah Pradnya Paramitha

Namaku sepet. Aku adalah sebatang sapu yang bertangkai bambu dan berambut sabut kelapa. Bu haryono membeliku di pasar kecamatan. Aku dibelinya seharga Rp 3.000,00. Segera aku dibawa pulang ke sebuah rumah yang sederhana namun asri. Apa yang kurasakan? Tentu saja aku merasa bahagia karena aku tak perlu bersaing dengan sapu-sapu lain untuk mendapat seorang majikan. Sejak saat itu aku bertekad aku akan mengabdi kepada keluarga Haryono sebagai bentuk balas budi karena telah membebaskan aku dari keramaian pasar yang pengap. Aku juga ingin membuat bangga nenek tua yang merangkaiku dari sebatang bambu sederhana menjadi sapu yang lebih berguna. Dan aku percaya takdirku ada didalam rumah keluarga Haryono. Aku teringat betapa aku dibuat dengan susah payah oleh beberapa orang melalui proses yang panjang. Sabutku didapat dari Lek Karmin. Penjual kelapa yang mangkal di dekat persawahan. Lek Karmin rela bersusah payah memprosesku menjadi sabut yang bagus. Mula mula sabutku dicabuti dari batok kelapa. Kemudian dijemur dibawah terik matahari. Jika sudah kering betul, Lek Karmin mengikat sabutku dengan tali rami untuk kemudian diserahkan kepada utusan Mbah Sayem, pengrajin sapu sepet terbesar di desaku. Lain lagi dengan tangkaiku. Tangkaiku terbuat dari batang bambu yang kokoh. Sehingga aku tidak mudah patah. Bambu calon tangkaiku dipotong dengan hati-hati. Tak lupa dikeringkan pula untuk membasmi jamur yang dapat merapuhkan tubuhku. Bambu kering tadi diraut dengan seksama agar tidak melukai tangan pemakaiku. Tak bisa kubayangkan jika tangan Bu Haryono yang mulus itu terluka gara-gara tangkaiku kurang halus diasah. Bambu yang sudah siap, dikirim ke rumah Mbah Sayem. Nenek tua pengrajin sapu sepet yang sukses karena keuletannya. Huff! Sampai juga aku di tangan Mbah Sayem. Pengrajin sapu bertangan dingin yang memiliki segunung kesabaran. Sabutku segera dipilin dan dipangkalnya dibentuk simpul tempat dimana sabut dapat melekat di tangkai bambu. Dan akhirnya jadilah aku, sebatang sapu sepet yang siap menjadi laskar kebersihan yang menyusup di tiap rumah di desaku. Mungkin juga aku sudah menjadi penghuni rumahmu guna membantu mewujudkan suatu hunian yang nyaman dan bersih. ............... Sudah lama aku tinggal di rumah keluarga Haryono. Tepatnya aku tidak ingat. Tapi aku dapat merasakannya dari telapak tangan Bu Haryono. Dulu tangan itu begitu muda dan kencang. Sekarang tangan itu berangsur keriput. Namun aku masih merasakan cinta seorang ibu dan seorang istri sebagai ratu rumah tangga bagi Pak Haryono, seorang pensiunan guru dan tiga orang putranya. Ketiganya tidak lagi tinggal bersama. Karena si sulung, mas Hendri sudah bekerja diluar kota sebagai akuntan. Bahkan sudah berkeluarga dan memiliki seorang putri. Mas Dwi baru saja

menuntaskan kuliahnya di kedokteran dan sekarang mulai membuka praktek. Sedang si bungsu, mas Bayu tahun ini baru masuk kuliah. Jadi rumah ini begitu sepi. Sesepi hati Bu Haryono yang ditinggalkan oleh putra-putranya. Namun aku sangat mengagumi Bu Haryono layaknya aku mengagumi Mbah Sayem pengrajinku. Di rumah ini aku tidak merasa kesepian karena aku memiliki teman baik sebuah kemoceng berbulu ayam yang kupanggil Sulak. Dia selalu menemaniku saat aku bertugas. Tak lupa aku juga memiliki teman baik lain. Ada Gombal yang merupakan kain lap di dapur dan ada juga ember yang bertugas di kamar mandi untuk mencuci baju. Kehidupan kami sangat damai. Dan kami berharap masa itu tak pernah berakhir selamanya. Namun tak ada yang abadi di dunia ini. Musibah itu datang perlahan. Di pagi buta yang dingin, Bu Haryono menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu karena di dengarnya adzan subuh sudah berkumandang dari surau kecil sebelah rumah kami. Tertatih tatih kaki tua itu melangkah dan tanpa disadarinya beliau terpeleset di kamar mandi.Ember yang terjaga karena mendengar teriakan majikannya, terkejut. Dia memanggil manggil kami ”Sepet! Sulak! Gombal! Dimana kalian? Bu Haryono terpeleset! Dimana kalian?” Sekejap saja rumah yang masih sepi itu gaduh. Sendok didapur mengetuk keukkan kepalanya di piring. Kursi goyang Pak Haryono berayun dengan hebohnya. Dan panci bersama tutupnya beradu dengan keras. Semuanya berteriak dengan cara masing-masing. Mengabarkan tanda bahaya dan berupaya membangunkan Pak Haryono yang masih di buai kantuk. Hanya itu yang bisa kami lakukan karena kami tidak bisa berbahasa manusia walaupun kami mengerti. Toh pada dasarnya kami hanya peralatan rumah tangga biasa. Kegaduhan kami segera terhenti tatkala kami mendengar sirene ambulan di pelataran. Aku termangu melihat Bu Haryono dibawa ke rumah sakit. Sesaat kesunyian menyergap kami tatkala sirene ambulan meraung raung meninggalkan rumah bersama Bu haryono yang kesakitan dan Pak Haryono yang dilanda kepanikan luar biasa. Sejak saat itu, ya sejak saat itu kehidupan kami berubah. Tak ada lagi acara bersih-bersih rumah. Rumah keluarga Haryono mendadak mati karena kehilangan ruhnya. Kabarnya Bu Haryono akan lama di rumah sakit. Jujur saja aku sangat merindukan tangan Bu Haryono yang setiap pagi selalu menyeretku kesana kemari untuk mengusap debu yang menempel di lantai. Aku dengar tulang kaki Bu Haryono retak setelah musibah itu. Betapa ibanya aku akan kecelakaan yang menimpa majikanku. Untungnya kaki Bu Haryono tak perlu dioperasi. Bu Haryono hanya perlu memakai tongkat sebagai alat bantu berjalan. Kegembiraanku makin bertambah saat disuatu pagi yang cerah Pak Haryono akan menjemput Bu Haryono kembali kerumah. Aku dan teman-temanku tak sabar menanti Bu Haryono. Ketika pintu rumah ditutup dan kami mendengar suara derum mobil Pak Haryono, aku segera memanggil teman-temanku untuk menjalankan rencana yang kami susun sebelumnya. Pertama tama yang kami lakukan adalah membersihkan rumah yang sekian lama tidak terurus. Itu merupakan tugasku bersama Sulak dan Pepel, kain pel baru yang belum sempat digunakan Bu haryono. Srek srek! Terdengar suara sabutku

menggesek lantai yang penuh berdebu. Maklum saja karena Pak Haryono tidak sempat menyapu karena beliau sibuk mengurus Bu Haryono yang sakit. Sulak turut membantu dengan merontokkan sarang laba-laba yang terjepit di sela-sela jandela dan dibawah kursi. Selesai sudah pekerjaanku. Kini giliran ember dan Pepel untuk mengepel lantai yang telah bersih. Sebentar saja pekerjaan mereka telah selesai. Lantai dan rumah yang tadinya berantakan kini telah kembali seperti semula. Kegiatan di kamar mandi pun tak kalah heboh. Sikat menggosok gosokkan tubuhnya ke lantai kamar mandi yang ditumbuhi oleh lumut supaya bu Haryono tidak terpeleset lagi. Tak lupa kami juga menguras bak kamar mandi yang sudah kotor. Airnya kami ganti dengan air baru yang bening dan bersih. Dalam hal ini Pompi si pompa air banyak berperan. Pekerjaan kami hampir usai saat terdengar suara langkah kaki yang di seret. ”Cepat! Cepat! Bu Haryono sudah tiba!” kami berlarian kesana kemari. Kembali ke tempat semula. Aku kepojok dapur, ember di depan kamar mandi. Saat yang sama bu Haryono sudah berada di dapur. Memandang dapur itu penuh kerinduan. Dan kemudian mengusap tangkaiku. Ada sesuatu yang sejuk mengalir. Keharuanku memuncak. Tapi semuanya kubahasakan dalam bahasa diam. Di edarkannya pandangan beliau ke setiap sudut dapur. Dan menyadari bahwa dapur itu tak berdebu seperti apa yang dibayangkannya. Kulihat seulas senyuman tersungging di bibirnya yang tipis. ............... Itulah saat terakhir bu Haryono mengusap tangkaiku yang mulai rapuh dimakan usia. Karena sejak seminggu kepulangan bu Haryono dari rumah sakit, mas Hendri membelikan seperangkat alat pembersih debu. ”Ibu sudah tua, tak usah ibu bekrja terlalu keras merawat rumah ini. Rumah ini terlampau besar untuk ibu bersihkan tiap hari.” ”Tapi Nak, jika bukan ibu siapa Nak? Siapa lagi? Engkaupun tak lagi menginjakkan kaki dirumah ini terkecuali lebaran dan jika ada keperluan....” Mas Hendri terdiam, mengeluarkan bungkusan besar dari bagasi mobilnya. Dengan langkah tertatih bu Haryono menghampiri putra sulungnya. ”Apa itu Nak?” ”Ini alat pembersih debu untuk ibu. Hendri tak tega melihat ibu kerepotan membersihkan rumah ini. Hendri tak ingin Ibu sakit lagi.” Seketika isak tangis bu Haryono pecah. Bukan karena bahagia mendapat mesin penyedot debu yang memang mahal itu. Melainkan menyadari betapa putranya telah tumbuh dewasa. Menyadari bahwa walaupun Hendri sudah berkeluarga dan menjadi seorang ayah, sulungnya itu masih memikirkan dirinya yang beranjak senja. Mas Hendri memalingkan muka, tak sanggup dia melihat airmata keharuan ibunya. Tampak olehku setitik embun di sudut mata kedunya. Di kejauhan pak Haryono menatap nanar. Merasakan kebahagiaan yang sedang menghampiri istrinya. Aku juga turut menangis. Bahagia, karena sekian lama aku tak melihat wajah bu Haryono secerah ini. Sedih, karena itu berarti masa pensiunku sudah tiba dan aku harus berpisah dari teman-temanku. Berpisah dari bu Haryono. Berpisah dari wanita tegar yang mampu mengayomi empat laki-laki perkasa. ...............

Sekarang aku tidak tinggal lagi dirumah nyaman milik keluarga Haryono. Melainkan di gudang belakang rumah. Kuamati tubuhku yang kian lama kian usang. Tangkai bambu yang semula kokoh dan kuat perlahan merapuh termakan jamur dan rayap yang menggerogotinya sedikit demi sedikit. Sabut kelapa yang terjalin rapi kini membusuk karena cucuran air hujan yang bocor di sela-sela atap seng gudangku. Tak kalah tikus-tikus nakal juga mengerati batangku. Dan itu membuatnya semakin lapuk. Aku tahu, aku sedang sekarat. Tapi aku merasakan kepuasan batin yang seumur hidup hanya aku dapat di rumah keluarga Haryono. Aku puas, karena sepanjang hayatku aku berhasil menjadi benda yang bermanfaat. Dan melalui pendengaranku, sayup-sayup aku dapat merasakan kebahagiaan kecil dari rumah itu. Lalu perlahan hujan waktu menghapuskanku dari kehidupan ini. ............... Namaku memang sapu sepet. Tapi kau salah Kawan jika menilai akhir hidupku pahit seperti halnya sepet. Karena dibalik kepahitan itu aku merasakan manisnya hidup yang kureguk sebagai abdi setia keluarga Haryono. Dan kini tubuhku yang usang telah lebur di pojok gudang. Tapi kenanganku akan keluarga Haryono yang hangat takkan pernah hancur sebagaimana sepet dan tangkaiku.

Kandangan Ngawi, 11 juni 2009

Related Documents

Balada
June 2020 18
Balada ...
April 2020 16
Tapak Sapu
October 2019 31
Balada Populara.docx
April 2020 12

More Documents from ""