NIRMANA Vol. 6, No. 1, Januari 2004: 52 - 62
PERGESERAN NILAI DAN KONSUMERISME DI TENGAH KRISIS EKONOMI DI INDONESIA Januar Heryanto Dosen Universitas Bina Nusantara dan Dosen Universitas Kristen Petra ABSTRAK Pembangunan di Indonesia khususnya sejak era Orde Baru yang memanfaatkan teknologi Barat dan modal asing telah melahirkan nilai-nilai baru dalam masyarakat yang menggeser kebudayaan tradisional. Seiring dengan adanya pergeseran nilai, konsumerisme juga menjalar kemana-mana, baik di kota-kota besar maupun pedesaan di Indonesia. Kesimpulan tulisan ini membuktikan bahwa dengan modernisasi yang menggunakan teknologi Barat serta masuknya modal asing, kita tidak dapat mencegah masuknya kebudayaan asing yang perlahan-lahan menyisihkan kebudayaan tradisional serta dilengkapi dengan timbulnya konsumerisme. Kata kunci: pergeseran nilai, kebudayaan tradisional, modernisasi dan konsumerisme.
ABSTRACT Development in Indonesia, especially since the New Order era, that uses Western technology and foreign investment has brought about new values that shift society away from traditional culture. Along with the shift of value, consumerism is spreading in big cities as well as rural areas in Indonesia. This paper aims to prove that modernization, that uses Western technology and foreign investment, the encroachment of foreign culture and the diffusion of consumerism, that are gradually replacing traditional culture, are inevitable. Keywords: the shift of value, traditional culture, modernization and consumerism.
PENDAHULUAN Setiap masyarakat yang sedang membangun akan mengalami masa transisi yang menunjukkan pola perkembangan yang dipengaruhi oleh masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik. Salah satu gejala serta masalah yang akan diuraikan dalam tulisan ini ialah perubahan nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia yang kini sedang mengalami transisi. Sejalan dengan derap langkah pembangunan dan modernisasi di Indonesia yang memanfaatkan teknologi Barat, terjadi pergeseran kebudayaan. Yang dimaksud dengan teknologi Barat adalah teknologi yang berasal dari negara-negara industri yang maju seperti Amerika Utara, Eropa Barat, Jepang, Korea Selatan dan sebagainya. Dapatkah 52
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
PERGESERAN NILAI DAN KONSUMERISME DI TENGAH KRISIS EKONOMI DI INDONESIA (Januar Heryanto)
kebudayaan tradisional di Indonesia dipertahankan? Nilai-nilai budaya di Indonesia yang tradisional sedang menghadapi tantangan dan mengalami polusi.. Sejalan dengan polusi budaya, gaya hidup dengan falsafah konsumen atau yang disebut konsumerisme terlihat dimana-mana, utamanya di kota-kota besar di Indonesia. Pengamatan itu sejalan dengan pendapat Kartjono (1984) yang mengatakan bahwa perkembangan politik yang sekarang ada di Indonesia, antara lain menimbulkan polusi budaya dan konsumerisme. Pendapat utama yang ingin penulis sajikan disini ialah bahwa kemajuan di bidang teknologi dan ekonomi cenderung akan mempengaruhi, bahkan seringkali menggeser kebudayaan asli suatu negara, bangsa, masyarakat. Mengingat hal itu, dalam proses modernisasi di Indonesia yang memanfaatkan teknologi Barat, penulis berpendapat kita tidak dapat mencegah masuknya kebudayaan asing atau Barat, yang perlahan-lahan menyisihkan
kebudayaan
tradisional
di
Indonesia.
Dalam
tulisan
ini
akan
dipertimbangkan sejumlah pendapat dan data dari berbagai sumber yang tersedia. Penulis akan memfokuskan kejadian-kejadian di kota-kota besar di Indonesia sejak lebih dari tiga dasa warsa yang lalu hingga kini, tanpa menutup mata akan kejadian-kejadian di pedesaan di Indonesia. POLUSI KEBUDAYAAN Akibat meningkatnya penggunaan radio dan televisi, maka musik-musik pop yang paling mutakhir dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru dunia. Di Indonesia, rakyat di pedesaan maupun di gunung-gunung, sudah tidak asing lagi dengan radio. Telah menjadi hal yang biasa bila anak-anak desa terpencil dapat mendendangkan lagu-lagu pop dari Yoshua atau penyanyi-penyanyi belia lainnya dan mengetahui kisah putri salju. Sementara itu, adanya pesawat televisi yang seringkali diletakkan disudut operation room Pak Lurah, akan mempercepat masuknya kebudayaan asing ke desa-desa. Demikian pula dengan iklan dan film ikut ambil bagian dalam penyebaran kebudayaan asing. Suatu contoh sederhana adalah cara minum dari botol, tanpa alat penyedot atau gelas. Anakanak muda sekarang merasa lebih enerjik dan dinamis bila langsung minum dari botol. Suatu kebiasaan yang akhirnya diterima oleh masyarakat.
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra 53 http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
NIRMANA Vol. 6, No. 1, Januari 2004: 52 - 62
Di bidang busana, Levi’s telah menjadi kegemaran anak-anak muda maupun dewasa, pria maupun wanita, di kota maupun di desa. Sementara itu kaum elite dan kelas menengah, agar kelihatan modern, lebih menyukai busana Barat. Bila kita perhatikan film-film Indonesia, yang berkebaya atau bersarung, hampir selalu berperan sebagai orang yang rendah derajatnya, yang bodoh, yang dari kampung atau udik, dan yang kolot. Di pihak lain wajah-wajah Indo banyak diincar untuk dijadikan bintang-bintang iklan dan film. Pesatnya kemajuan benda-benda siar: film, televisi, majalah, surat kabar, kalender, dan sebagainya yang bersifat peraga ikut melambungkan remaja kita yang bertampang Indo. Jutaan muda-mudi mimpi mendapatkan kesempatan melompat tinggi sedang kesempatanpun makin banyak. Dimana-mana ada lomba-lomba pop song, foto model, bintang iklan, peragawati, dan sebagainya. Disamping itu prasarana bagi gadis/wanita Indonesia yang ingin meniru kecantikan Barat sekarang telah dimudahkan oleh banyaknya usaha salon kecantikan. Dengan cepat perkara kecantikan Barat ini menjalar pula ke pedesaan, berkat film dan televisi. Mencium perkembangan ini, siasat salon gesit juga. Mereka membuka usaha di pinggiran kota, misalnya di jalur lalu lintas wanitawanita yang bekerja di pabrik-pabrik. Terdapat indikasi banyak digunakannya nama-nama atau istilah asing untuk gedung-gedung atau merk dagang. Masyarakat dari kelas menengah ke atas, supaya kelihatan modern atau pandai, banyak menggunakan istilah asing dalam pembicaraan, ceramah atau pidato. Pendapat ini dikuatkan oleh Kartjono (1984), yang mengatakan : “In the daily life, it appears among others, in the use of language. The elitism inclines to always use language which is difficult to be understood by the masses. We can find examples about this everywhere. To mention, too much use of foreign terms. And when it is translated, the translation is as peculiar as the former, at least the same difficulty is faced as to understand it”. Juga adanya rasa bangga atau kagum akan segala sesuatu yang buatan (product) luar negeri, misalnya pakaian, sepatu, parfum, bahkan pendidikan luar negeri. Kentucky Fried Chicken dianggap lebih bersih, bergizi, modern dari pada ayam goreng Ny Suharti. Ini semua belum tentu benar, karena pendidikan luar negeri juga tergantung di universitas mana dan ayam goreng dengan cara tradisional yang biasanya menggunakan ayam kampung jauh lebih sehat. Menurut Nuradi (1977), “merupakan kenyataan bahwa apa saja yang diasosiasikan dengan luar negeri selalu memperoleh
54
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
PERGESERAN NILAI DAN KONSUMERISME DI TENGAH KRISIS EKONOMI DI INDONESIA (Januar Heryanto)
kepercayaan yang lebih besar”. Sekolah-sekolah dan universitas-universitas di Indonesia berlomba-lomba menunjukkan ke publik bahwa mereka bekerja sama dengan lembaga pendidikan di luar negeri agar menarik calon siswa dan mahasiswa serta orang tua mereka (bagian dari stake-holder). Sebagian anggota masyarakat, bahkan beberapa pemimpin negara berkembang, berpendapat bahwa mereka dapat mengusahakan kemajuan/modernisasi dengan cara Barat, sekaligus mempertahankan kebudayaan asli mereka. Adanya pendapat itu juga diakui oleh Andreas Buss (1984), yang mengatakan : "Many leaders of developing nations believe that they can achieve Western-style progress and at the same time retain their culture and their morals". Mengingat adanya
polusi budaya yang terjadi di
Indonesia sekarang ini, penulis tidak sependapat dengan pemimpin-pemimpin negara yang dikatakan Andreas Buss. Uraian penulis mengenai adanya polusi kebudayaan telah membuktikan bahwa sejalan dengan masuknya teknologi Barat, kebudayaan Barat juga masuk dan perlahan-lahan menyisihkan kebudayaan tradisional di Indonesia. Mengapa dapat terjadi demikian, akan dijelaskan pada bagian lain dari tulisan ini. Pendapat penulis juga dikuatkan oleh Mochtar Lubis (1981) yang melihat "betapa banyaknya nilai-nilai budaya bangsa kita yang runtuh selama ini. Sekarang sudah banyak diantara kita yang berpikir, beranggapan serta menentukan tujuan hidup dengan kerangka baru". Kerangkakerangka baru dan tujuan hidup kita timbul antara lain sebagai akibat masuknya modal asing, industrialisasi, dan sebagainya. Sekarang marilah kita perhatikan tempat-tempat rekreasi mewah dan pusat-pusat hiburan. Walaupun di tengah krisis ekonomi, lantai dansa di kelab-kelab malam, di hotelhotel internasional maupun di diskotik-diskotik penuh sesak, sekalipun untuk menikmati hiburan itu harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Sementara itu, iklan-iklan minuman bir dan rokok yang ber-merk asing yang setiap hari ditayangkan di televisi, menggambarkan pola-pola gaya hidup dunia Barat yang merasuki remaja-remaja kita. Orang tidak malu, bahkan bangga dapat atau mampu membeli karcis untuk menyaksikan pertunjukan telanjang. Contoh-contoh di atas menunjukkan, di tengah krisis ekonomi bukan saja terjadi pergeseran nilai-nilai di Indonesia, tetapi juga begitu eratnya dengan konsumerisme.
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra 55 http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
NIRMANA Vol. 6, No. 1, Januari 2004: 52 - 62
KONSUMERISME Sejalan dengan adanya polusi kebudayaan, konsumerisme juga tersebar, utamanya di kota-kota besar di Indonesia. Di dalam modernisasi terselip falsafah konsumerisme, yang mengajar orang menjadi konsumtif supaya layak disebut modern. Dalam kondisi krisis ekonomi yang dialami Indonesia saat ini, menurut Parsudi Suparlan (2003), antropolog dari Universitas Indonesia, tidak tampak adanya perasaan tengah mengalami krisis, malahan konsumerisme terus meningkat. Sebelum menyajikan pembahasan tentang gaya hidup konsumerisme masa kini, penulis ingin meninjau bagaimana kehidupan rakyat sehubungan dengan hiburan yang biasanya mereka nikmati sebelum periode pembangunan yang dijalankan Orde Baru. Rakyat di pedesaan atau di kampungkampung di kota tahun 1960-an, di bidang rekreasi dan hiburan tak tergantung pada barang-barang impor. Di desa-desa tidak ada pesawat televisi atau gedung bioskop. Hanya beberapa penduduk yang mempunyai radio. Pada waktu itu hiburan yang sering dilakukan adalah mengobrol dengan teman-teman atau sanak keluarga. Hiburan lainnya, misalnya sepak bola, menonton wayang, lomba perkutut, adu ayam, dan sebagainya. Di jaman pembangunan, hiburan-hiburan yang masih tradisional harus bersaing dengan hiburan-hiburan modern. Wayang, ketoprak, lenong dan sebagainya telah tersaingi dengan film-film di bioskop-bioskop dan televisi. Sementara itu karena makin lancarnya komunikasi antara kota dan pedesaan, gaya hidup kota dengan cepat masuk ke desa. Orang kaya desa membeli mobil-mobil angkutan penumpang yang menghubungkan desa dengan kota. Ada pula yang menanam modal di berbagai usaha di kota. Rakyat desa yang kurang mampu dan tidak mempunyai pekerjaan di desa atau yang tertarik pada gemerlapnya kota, pergi ke kota menjadi pekerja/buruh bangunan atau industri, pelayan dan sebagainya. Selama bertahun-tahun persentase migrasi yang terbanyak adalah kaum miskin di desa, yang tidak memiliki tanah, serta tidak mempunyai keterampilan. Sayangnya, harapan untuk mendapat pekerjaan yang layak di kota tidaklah mudah. Sebaliknya kaum berduit dari kota membeli tanah di desa, membangun vila-vila bak istana dan lapangan golf, sehingga mengakibatkan perbedaan sosial. Gaya hidup konsumtif atau konsumerisme dengan cepat menjalar ke desa-desa. Orang berlombalomba membeli pakaian bagus, radio, televisi, hand phone, yang selain dinikmati juga untuk meningkatkan status. Tidak jarang kita jumpai orang desa menjual kerbau atau 56
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
PERGESERAN NILAI DAN KONSUMERISME DI TENGAH KRISIS EKONOMI DI INDONESIA (Januar Heryanto)
sawah untuk membeli sepeda motor atau mobil. Para salesmen dari kota yang datang mencari pembeli di desa-desa juga ikut berperan meluaskan konsumerisme. Menurut Aswab Mahasin (1977), remaja desa bisa membeli Levi's di kota setelah menjual kambingnya ke pasar. Konsumerisme lebih terasa dan terlihat di kota-kota di Indonesia. Penelitian yang dilakukan H.W. Dick (1985) terhadap pengeluaran/belanja memberikan data berikut ini : "Between 1960 and 1976 real expenditure per capita increased twice as rapidly in urban (40 percent) as in rural (20 percent) Java and faster in Jakarta (50 percent) than in any other city. Moreover, the increase of 40 percent in urban per capita expenditure was biased heavily toward the upper expenditure quintiles". Para remaja, pemuda atau mahasiswa ada kecenderungan malu bersepeda ke sekolah atau ke kampus. Fungsi sepeda pada waktu ini telah digantikan sepeda motor atau mobil. Contoh yang jelas di kampus Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, waktu ini sudah tidak ditemui sepeda. Bahkan bila kita perhatikan lebih lanjut banyak karyawan universitas ini yang telah memiliki mobil. Sangat menarik untuk diteliti disini bahwa di kota sekecil Salatiga, kebutuhan akan mobil tentulah bukan kebutuhan mutlak apalagi bila segi keuangan belum mengijinkan. Tetapi ada kecenderungan, banyak diantara mereka yang memaksakan diri untuk membeli mobil, walaupun dengan gaji yang pas-pasan. Hal ini membuktikan bahwa konsumerisme bukan saja terjadi di kota-kota besar, tetapi telah menyebar ke berbagai tempat di Indonesia. Ini terjadi karena sepeda motor atau mobil, selain berfungsi sebagai alat transport, juga merupakan simbol status atau simbol dunia modern. Pengamatan yang sama juga dilakukan Kartjono (1984), yang mendapatkan : "Volvo, Honda, Arrow, Citizen, ITT-Schaub Lorenz, Sony etc., become the symbols of modern world, all of which now spread over throughout the country, infiltrate and crawl into the mountain tops and remote islands. This is a significant price that modernization has continued in our country". Selanjutnya, pendapat penulis mengenai adanya polusi budaya dan timbulnya konsumerisme, diperkuat oleh H.W. Dick (1985), yang berpendapat : "The number of motor vehicles for personal use has soared and the number of motorcycles has increased even more dramatically……… This consumer revolution has invilved a good deal of superficial Westernization, sometimes referred to as the spread of Coca-Cola culture. The
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra 57 http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
NIRMANA Vol. 6, No. 1, Januari 2004: 52 - 62
press, radio, films, and more recently television have been powerful influences". Sementara itu, pengaruh iklan dan modernisasi menyebabkan kaum ibu di kota-kota besar lebih suka atau cenderung memberikan susu kalengan kepada bayi-bayi mereka daripada menyusui sendiri, yang selanjutnya juga ditiru oleh ibu-ibu di desa. Pendapat itu ditunjang oleh Nuradi (1977), yang mengatakan : "Yang lebih buruk lagi terjadi pada kasus penyusuan bayi. Ibu-ibu di desa, karena melihat ibu-ibu di kota menyusukan anaknya dengan susu kaleng, mulai meniru kebiasaan itu. Celakanya, kemampuan ekonomi mereka menyebabkan susu kaleng yang sebenarnya hanya cukup untuk satu liter itu dipergunakan seminggu penuh". Bagi ibu-ibu muda, ada tambahan alasan lain untuk tidak menyusui sendiri, mungkin karena bekerja atau kuliah. Pada tahun 1980-an, setelah adanya kampanye dari Departemen Kesehatan dan UNICEF, yang dibarengi pula dengan berkurangnya iklan-iklan susu kalengan, maka ada kecenderungan kembali ke susu ibu. Industri dan dunia bisnis juga berperan menciptakan rasa bosan secara teratur. Konsumen diusahakan agar tidak terlampau lama terikat kepada suatu hasil pabrik. Pada saatnya diusahakan agar mereka bosan dan siap menerima yang baru. Hal ini berlaku bukan saja untuk barang-barang seperti sepatu, baju, tetapi juga hand phone, televisi, mobil, dan sebagainya. Contoh yang sangat terasa saat ini adalah hand-phone. Nokia, yang sekarang ini merupakan salah satu merk yang menguasai pasar Indonesia, secara reguler selalu melahirkan type dan model-model baru. Perlahan-lahan masyarakat Indonesia dihisap ke dalam jaringan perdagangan dan konsumsi modern. Dunia industri dan perdagangan menarik keuntungan dari konsumen, karena perlindungan terhadap konsumen di Indonesia belum terlampau kuat. Pendapat penulis sejalan dengan Richard H. Leftwich dan Ansel M. Sharp (1984), yang menulis : "Thus the business firm presumably has the power to take advantage of the consumer".
MENGAPA KEBUDAYAAN BARAT DAPAT MENYISIHKAN KEBUDAYAAN TRADISIONAL INDONESIA? Sebagaimana diketahui bahwa pembangunan dan modernisasi di Indonesia telah mendatangkan dan menggunakan teknologi dari dunia Barat. Mengenai definisi teknologi, penulis sependapat dengan Jujun S. Suriasumantri (1986) : "Teknologi merupakan penerapan teori-teori ilmiah dalam memecahkan masalah praktis, baik berupa 58
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
PERGESERAN NILAI DAN KONSUMERISME DI TENGAH KRISIS EKONOMI DI INDONESIA (Januar Heryanto)
perangkat keras, yang berupa peralatan maupun perangkat lunak, yang berupa metoda/teknik pemecahan masalah". Sekarang marilah kita mencari jawaban mengapa dengan adanya modernisasi yang memanfaatkan teknologi Barat kebudayaan tradisional di Indonesia dapat tergeser. Bila kita
menelusuri
perkembangan
teknologi,
akan
terlihat
bahwa
teknologi
diciptakan/dilahirkan di dalam dan untuk suatu kebudayaan tertentu. Suatu contoh sederhana adalah mobil sedan. Kendaraan ini diciptakan di suatu masyarakat yang telah maju, bagi suatu keluarga kecil dan untuk digunakan di suatu kota/daerah yang kondisinya memungkinkan/mendukung, misalnya adanya jalan-jalan umum yang beraspal serta cukup lebar. Tentu saja untuk daerah-daerah tertentu di negara yang masih terbelakang, penggunaan kendaraan tradisional lebih cocok, misalnya kuda untuk daerah pegunungan, pedati atau sepeda di daerah pedesaan di Indonesia yang umumnya belum mempunyai jalan beraspal. Bila kita mendatangkan dan menggunakan teknologi dari negara asing/Barat, maka dengan sendirinya kebudayaan di tempat teknologi itu dilahirkan akan ikut terbawa dan masuk ke Indonesia. Hal-hal lain yang ikut mendukung masuknya kebudayaan asing/Barat tersebut adalah hadirnya modal asing maupun pinjaman luar negeri, datangnya para konsultan dan teknisi asing, serta meningkatnya jumlah turis asing yang datang ke Indonesia. Contoh mengenai masuknya kebudayaan asing lewat kegiatan turisme dapat terlihat di pulau Bali. Berbagai penerapan teknologi di Indonesia telah berperan mendorong adanya perubahan, bukan saja dalam cara orang bekerja, tetapi juga gaya hidup, nilai-nilai manusia, dan masyarakat. Penggunaan dan pengoperasian teknologi membutuhkan keterampilan tertentu sehingga diperlukan pendidikan atau latihan tertentu. Akibatnya, orang yang tidak berpendidikan dan tidak mempunyai keterampilan akan tersingkir. Contoh : mesin-mesin yang canggih/modern atau peralatan elektronika dan komputer tentu saja tidak dapat ditangani oleh pekerja-pekerja yang tak terdidik. Pembangunan dan modernisasi yang menggunakan teknologi itu juga menekankan pada efisiensi. Hal ini akan menggeser hubungan sosial dan kedudukan manusia itu sendiri. Untuk mempertahankan pekerjaan/kedudukannya orang haruslah bekerja efisien, yang akan mengakibatkan mereka hidup dalam ketegangan karena persaingan. Untuk mengimbangi ketegangan hidup, bagi yang berhasil dalam usahanya/pekerjaannya, sebagian dari
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra 59 http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
NIRMANA Vol. 6, No. 1, Januari 2004: 52 - 62
mereka cenderung untuk berfoya-foya pada waktu senggang/libur dan konsumerisme meraja-lela. Gambaran mengenai kehidupan yang serba cepat dan hidup dalam persainagan itu dijelaskan oleh Mochtar Lubis (1981) : “Teknologi modern cenderung mempercepat tempo kehidupan, pengangkutan serba cepat, komunikasi secepat kilatan cahaya. Momentum perdagangan dan keuangan didukung oleh kecepatan teknologi telekomunikasi. Siapa terlambat akan ketinggalan dan akan kalah dalam persaingan”. Dengan demikian orang akan cenderung menjadi individualistis, hidup dalam kompetisi, mementingkan diri sendiri atau kelompoknya. Padahal falsafah hidup masyarakat tradisional di Indonesia adalah kegotong-royongan, yang mana hubungan antar anggota masyarakat cukup mesra, tolong-menolong bila ada kesulitan/kesusahan. Masyarakat tradisional di Indonesia yang semula hidup tenteram dalam kesederhanaan, sekarang, utamanya yang di kota-kota besar, telah dihinggapi semangat materialisme dan konsumerisme. Keadaan ini juga mulai mengubah hubungan keluarga. Jumlah anggota keluarga masa kini di satu rumah hanya terdiri atas suami-isteri dan anakanak mereka. Di masa lalu suatu keluarga besar terdiri atas kakek-nenek bersama-sama dengan beberapa anak/menantu serta cucu-cucu tinggal di suatu rumah besar. Kadangkadang karena sulitnya mendapat pekerjaan di daerah asalnya, orang terpaksa pindah ke kota besar dan mengakibatkan angka urbanisasi terus meningkat. Mereka yang berasal dari pedesaan, yang kemudian tinggal di kota besar, akan merasa terpencar dari keluarga besarnya/sanak keluarganya. Di kota-kota besar, pola kehidupan dengan hubungan kekeluargaan yang mesra cenderung menurun terus. Di samping itu, kebudayaan asing/Barat dapat menggeser kebudayaan tradisional di Indonesia, karena pada beberapa hal dapat berfungsi lebih cocok dengan suasana modernisasi. Contoh yang sederhana adalah di bidang pakaian. Untuk menjalankan tugas sehari-hari, bagi remaja/pemuda, baik yang sekolah/kuliah atau bekerja, pakaian-pakaian dengan model Barat lebih sesuai digunakan dari pada pakaian dengan model tradisional. Celana lebih mudah dan praktis digunakan untuk kuliah dari pada sarung. Dari uraian di atas terlihat bahwa kebudayaan Barat menyertai masuknya teknologi ke Indonesia, sehingga apabila kita ingin menerapkan teknologi Barat, kita terpaksa menerima kebudayaan Barat. Di pihak lain, agar dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan keadaan, maka terpaksa menyisihkan kebudayaan tradisional.
60
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
PERGESERAN NILAI DAN KONSUMERISME DI TENGAH KRISIS EKONOMI DI INDONESIA (Januar Heryanto)
SIMPULAN Kebudayaan cenderung akan selalu berubah-ubah dalam ruang dan waktu, menjawab keperluan-keperluan insani. Di satu pihak memperbaharui dan di pihak lain melestarikan nilai-nilai. Bila semata-mata hanya melestarikan nilai-nilai lama dan menolak nilai-nilai baru, dapat terjadi tabrakan dengan keperluan-keperluan objektif masyarakat. Walaupun ada sebagian anggota masyarakat yang berpendapat bahwa modernisasi tidaklah harus berarti Westernisasi, dalam arti kita boleh mengambil alih teknologi yang faktual datang dari Barat, tetapi tanpa mengambil alih kebudayaan Barat, penulis berpendapat hal ini tidak mungkin. Selanjutnya, menanggapi hal itu penulis sependapat dengan Y.B. Mangunwijaya (1983), yang mengatakan : “Dari sejarah perkembangan bangsa kita dan negara-negara berkembang lain, tanda-tanda nonwesternisasi nada-nadanya sulit dicari. Khususnya pada angkatan muda yang sejak bayi sudah dimandikan dengan sabun dan minum susu kaleng hasil perusahaan multinasional, namun dalam kalangan tertinggi kita menggariskan langkah strategi ekonomi dan pengembangan, kemajuan, kemakmuran dan sebagainya, kecenderungan dasar sikap mereka sama sekali tidak berbeda dari rekan-rekan mereka di Barat”. Perusahaanperusahaan multinasional telah memaksakan sistem sosial baru yang kadang-kadang tidak sejalan dengan kebudayaan masyarakat negara sedang berkembang. Demikianlah, dari uraian dalam tulisan ini terbukti bahwa dalam proses modernisasi di Indonesia yang memanfaatkan teknologi Barat, kita tidak dapat mencegah masuknya kebudayaan asing atau Barat, yang perlahan-lahan menyisihkan kebudayaan tradisional di Indonesia, kecuali jika kita juga menolak teknologi Barat. Kehadiran teknologi yang serupa “ideologi” itu bukan untuk dikutuk atau ditolak semata-mata, tetapi untuk memudahkan hidup manusia, termasuk manusia Indonesia. Contoh sederhana dapat kita lihat misalnya teknologi pertanian serta komunikasi, dan akhir-akhir ini teknologi informasi, telah membuktikan kesanggupannya memecahkan berbagai masalah. Maka “ideologi” baru itu perlu terus dipahami agar kita tidak tertinggal dalam pergaulan di masyarakat internasional.
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra 61 http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
NIRMANA Vol. 6, No. 1, Januari 2004: 52 - 62
KEPUSTAKAAN Buss, A., “Max Weber’s Heritage and Modern Southeast Asian Thinking on Development”, Southeast Asian Journal of Social Science, Vol. 12, No. 1, 1984. Dick, H.W., “The Rise of A Middle Class and The Changing Concept of Equity in Indonesia : An Interpretation”, Indonesia, Cornell Southeast Asia program, No. 39, April 1985. Kartjono, “Depolitization Politics in Indonesia”, Transnationalization of The State and Social Formation : Indonesia Experience, Research Project’s Seminar on “The State and People in the Context of Transnationalization”, held in Salatiga, October 8-12, 1984, Sponsored by U.N. University, LP3ES, 1984. Leftwich, R.H. & A.M. Sharp, Economics of Social Issues, Business Publication, Inc, Plano Texas 75075, Sixth Edition, 1984. Lubis, M., “Penerusan Budaya Kita Terputus”, Prisma, No. 11, November 1981, LP3ES, Jakarta. Lubis, M., “Dampak Teknologi Pada Kebudayaan”, Teknologi dan Dampak Kebudayaannya, Vol. II, Penyunting Y.B. Mangunwijaya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 1985. Mahasin, A., “Pengantar Redaksi”, Prisma, No. 6, Juni 1977, LP3ES, Jakarta. Mangunwijaya, Y.B., Teknologi dan Dampak Kebudayaannya, Vol. 1, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 1983. Nuradi, “Iklan dan Polusi Gaya Hidup”, Prisma, No 6, Juni 1977, LP3ES, Jakarta. Suriasumantri, J. S., Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial dan Politik , Penerbit PT Gramedia, Jakarta 1986. Suara Pembaruan, “Katanya Krisis, Konsumerisme Malah Meningkat”, 17 Agustus 2003, Thn XVII Nomor 5800.
62
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/design/