Sekularisasi ; De-sakralisasi Dan Rasionalisasi Dogma Agama

  • Uploaded by: Zainal Habib
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Sekularisasi ; De-sakralisasi Dan Rasionalisasi Dogma Agama as PDF for free.

More details

  • Words: 5,817
  • Pages: 29
SEKULARISASI ;

De-sakralisasi dan Rasionalisasi ‘Dogma’ Agama Abstract Secularization often interpreted as a part of secularism. But actually there is something fundamentally different between them, related to religious understanding phenomena. As said by Dobbelaere (1994) clearly that secularization as a

prosess of declining religious involvement refers, religious involvement refers to individual behaviour and measures the degree of normative integration in religious bodies ; secularization as a process of laicization ; and secularization as a process of religious change. In this case, we should look carefully that secularization would be meaningfull when it’s analyses confronted with the function of imperial usually done by religion, as ad-diin, ad-daulah and ad-dunya. Key Word : Rationalization.

Secalarization,

Secularism,

De-sakralization,

A. Pengantar.

Setiap

masyarakat

selalu

menghadapi

persoalan

bagaimana melanggengkan dan meneruskan peranan sosial yang telah dibangun kepada generasi berikutnya. Dalam upaya ini, makna dari pranata sosial harus dijelaskan sedemikian rupa, sehingga dapat diterima oleh individu (subjectively plausible). Sentuhan-sentuhan kognitif dalam suatu

bentuk

legitimasi

kemudian

dibutuhkan

guna

membantu menjelaskan makna realitas sosial dan normatif yang telah dibangun serta memberi pedoman bagaimana seseorang harus berlaku dalam bentuk dogma-dogma. Kerangka

pemikiran

tersebut

dapat

dilihat

pada

keberagamaan (religiusitas) masyarakat. Perilaku sosial umat beragama --sebagai fenomena empirik yang dapat diamati-- mencerminkan sistem pemahaman keagamaan yang dibangun dari sistem kebenaran perenial

ajaran 1

agama

(wahyu)

sebagai

kebenaran

tertinggi.

Dalam

perkembangannya sistem kebenaran yang perenial tersebut melahirkan sistem hukum positif (fiqh) berupa aturan kerja dan

tindakan.

Melalui

proses

institusionalisasi,

ajaran

agama yang perenial kemudian berubah menjadi hukum positif yang bersifat eksternal. Proses

tersebut

kemudian

melahirkan

kesadaran

kolektif untuk melaksanakan dogma agama yang telah terinstitusikan, hal ini sekaligus merupakan pengendali pemikiran serta perilaku umat pemeluk suatu agama. Sebagian besar pemeluk suatu agama akhirnya hanya terlibat langsung terhadap kesadaran kolektifnya yang tidak bersumber asli pada ajaran. Akibatnya terjadi tumpang tindih antara ajaran agama yang perenial dengan ajaran agama sebagai hukum positif yang dipandang identik dengan ajaran agama yang abadi dan absolut. Dari sinilah agama kemudian ‘membelah’ kehidupan sosial menjadi golongan-golongan sosial, dan agama berubah menjadi ideologi ; sebagai kekuatan penggerak kehidupan, sekaligus sebagai ancaman bagi kemanusiaan (violence). Dari keberadaan agama tersebut, secara historis Menurut Berger, agama merupakan bentuk legitimasi yang paling efektif.1 Agama adalah semesta simbolik

yang

memberi makna pada kehidupan manusia dan memberi penjelasan yang komprehensif tentang realitas, seperti kematian,

penderitaan,

ketidakadilan.

Agama

alam

raya,

--meminjam

tragedi istilah

dan

Berger--

merupakan kanopi sakral (sacred canopy) yang melindungi manusia dari chaos. Proses sakralisasi terjadi ketika agama melegitimasi institusi sosial 1

dengan menempatkannya

Lihat dalam Peter L. Berger (1991), Langit Suci, LP3ES Jakarta, hlm 47-48, Lihat pula dalam Sastrapateja (sebuah pengantar), Peter L. Berger (1994), Kabar Angin dari Langit, LP3ES Jakarta, hlm xvi.

2

dalam suatu kerangka sakral dan kosmik. Bentuk paling kuno dari legitimasi terdapat dalam konsepsi hubungan antara masyarakat dan kosmos sebagai hubungan antara mikrokosmos dan makrokosmos. Di dalam kerangka kosmik ini peranan sosial, seksualitas, keluarga dan perkawinan merupakan memesis (tiruan dari dunia sakral). Skema mikrokosmos-makrokosmos sebagai pola legitimasi telah mengalami perkembangan dari pola dunia mistis kepada teologi dan filsafat. Sebagai sistem makna yang telah terpola seperti di atas, agama akan terus menerus ‘diambil alih’, baik oleh kekuasaan yang dominan maupun oleh masyarakat dalam rangka menjustifikasi kepentingannya sendiri, termasuk oleh mereka yang berada dalam domain relasi politik. Akan tetapi legitimasi dan sakralisasi ini kemudian menemukan ‘sandungan’

dalam

pergeseran

pemikiran

masyarakat

modern ketika pola pikir manusia mulai menemukan paradigma

baru

(melalui

proses

pendidikan)

dalam

memandang relitas, sehingga kemudian muncullah istilah sekularisasi, yang sering diartikannya sebagai berubahnya pemahaman atas definisi tentang kenyataan dari kerangka sakral-dogmatis kepada kerangka profan-rasional.. Dalam metode

kajian

berikut

ini,

deskriptif-interpretatif,

pemikiran

seputar

dengan

akan

sekularisasi

yang

menggunakan

disajikan

pelbagai

dalam

konsepsi

ilmuan/masyarakat modern banyak ditempatkan dalam wacana

konflik

ideologis.

Di

satu

sisi

sekularisasi

ditempatkan pada wacana pemikiran progresif yang ingin ‘melucuti’ agama dari pengaruh-pengaruh politis untuk kemudian menempatkan agama pada posisi perenialnya, disisi

lain

dalam

wacana

konservatif

sekularisasi

3

ditempatkan dalam posisi diametral dan mengidentikkannya dengan

sekularisme

atau

atheisme

yang

merupakan

‘musuh’ bagi keberadaan sebuah agama. Untuk tidak terjebak pada konflik ideologis ini, maka dalam pembahasan berikut akan lebih melihat sekularisasi sebagai fenomena sosial

yang

ada

mempengaruhi

dalam

perilaku

masyarakat keagamaan

yang

secara

riil

serta

pandangan

seseorang/kelompok masyarakat tentang agama. B. Pengertian Sekularisasi.

Sekularisasi sering kali diidentikkan dengan wacana ‘kematian’ agama dalam dialektika kehidupan masyarakat. Istilah ini pertama kali dipakai setelah terjadi peperangan agama (revolusi Prancis), untuk menyebut pengalihan wilayah atau harta milik dari pengawasan para pejabat gereja. Dalam hukum romawi, istilah yang sama dipakai untuk

menyebut

kembalinya

ke

‘dunia’

orang

yang

sebelumnya adalah anggota ordo (keagamaan).2 Sekularisasi sering dipakai sebagai suatu konsep ideologis yang sarat dengan konotasi evaluatif, terkadang positif dan terkadang negatif. Dalam lingkungan yang anti agama dan progresif, istilah itu telah menjadi simbol pembebasan

manusia

modern

dari

kendali

religius,

sementara dalam lingkungan yang berkaitan dengan gerejagereja

tradisional

kristianisasi,

istilah

de-religiusiti

itu dan

dikecam

sebagai

semacamnya.

de-

Kedua

perspektif yang bermakana ideologis ini, yang di dalamnya fenomena-fenomena tampak dengan indeks-indeks nilai yang berlawanan bisa diamati secara seksama dalam karya para sosiolog agama yang diilhami oleh titik pandang Marxis dan Kristen. 2 Berger (1991), Langit Suci, op.cit, hlm : 126

4

Kericuhan

ideologis

tersebut,

menimbulkan

suatu

gagasan untuk meninggalkan istilah sekularisasi, karena dianggap rancu atau bahkan tanpa makna sama sekali. Ini dapat dilihat dalam kritik-kritik yang dilontarkan oleh Peter E. Glasner (1992) dalam buku Sosiologi Sekularisasi, sebuah kritik konsep. Akan tetapi menurut Berger, sekularisasi mengandung

arti

penting

dalam

perkembangan

dan

pergeseran paradigma dalam perilaku masyarakat Barat modern.3 Dalam kamus sosiologi Fairchild, sekularisasi adalah suatu proses dimana struktur sosial yang tadinya tertutup dan suci telah ditransformasikan menjadi sebuah kontrol dan interaksi yang bukan suci dan terjangkau. 4Dari sini, Harvey Cox mengemukakan tiga aspek sekularisasi

5

:

1. Pembebasan alam dari ilusi (dissenchantment of nature) Pembebasan

alam

dari

pengaruh

ilahi,

mencakup

kepercayaan animistis, dewa-dewa dan sifat magis dari alam. Dengan demikian manusia tidak lagi menganggap alam sebagai kesatuan dengan ilahi. 2. Desakralisasi politik (Desacralization of politic) Penghapusan legitimasi kekuasaan dan wewenang politik dari agama. 3. Pembangkangan terhadap nilai-nilai (deconsecration of values) Nilai-nilai, termasuk nilai agama terbuka untuk perubahan yang

di

dalamnya

manusia

bebas

menciptakan

3

Berger menjelaskan bahwa istilah sekularisasi mengacu pada proses-proses yang sangat penting, yang secara empiris terdapat dalam sejarah modern Barat. Apakah proses-proses ini diterima atau tidak, ini tentu saja tidak relevan di dalam semesta wacana sejarahwan dan sosiolog. Adalah mungkin sebenarnya tanpa berusaha terlalu keras untuk menjelaskan fenomena empiris tanpa mengambil sikap evaluatif. Adalah mungkin untuk mengurut asal usul sejarahnya, termasuk hubungan historisnya dengan Kristianitas, tanpa menegaskan bahwa ini merupakan suatu pemenuhan atau suatu suatu kemunduran Kristianitas. Ibid, hlm 127 4 Lihat Pardoyo, Sekularisasi dalam polemik, hlm 995 Ibid, hlm ; 94.

5

perubahan itu, dan membenamkan dirinya dalam proses evolusi. Deskripsi tentang sekularisasi ini juga dilontarkan oleh Dobbelaere (1984) yang menjelaskannya dalam tiga domain : ‘First. Secularization as a prosess of declining religious involvement refers

; religious involvement refers to

individual behaviour and measures the degree of normative integration in religious bodies. Second. Secularization as a process of laicization ; religion become one institution alongside other institutions and loses its overarching claim. Third. Secularization as a process of religious change.6 Sekularisasi

–sebagaimana

dinyatakan

Nurcholis

Madjid-- tidak dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, sebab sekularisme adalah istilah untuk sebuah ideologi, sebuah

pandangan

dunia

berfungsi

mirip

agama.

sekularisasi

dimaksudkan

baru 7

yang

Dalam

sebagai

tertutup, bahasan

suatu

yang berikut

proses

yang

dipakai untuk mengalihkan sektor-sektor masyarakat dan budaya dari dominasi lembaga-lembaga serta simbol-simbol religius. Berbicara mengenai masyarakat dan lembaga dalam sejarah

modern

Barat,

sekularisasi

muncul

dalam

keterasingan gereja-gereja Kristen dari wilayah-wilayah yang sebelumnya berada dalam kendali atau pengaruh mereka. Misalnya; dalam pemisahan antara gereja dengan negara atau dalam penyitaan tanah-tanah gereja, atau dalam pembebasan pendidikan dari kekuasaan gereja. Namun

bila

berbicara

mengenai

budaya

dan

simbol,

dimaksudkan bahwa sekularisasi itu lebih daripada suatu 6 Dobbelaere Karel (1984), Secularization Theories and Sociological Paradigm ; convergence and divergence, Social Compass XXXI, hlm : 200. Tentang perubahan pandangan seseorang yang diakibatkan oleh sekularisasi ini juga dapat dilihat dalam Dekker (1999), hlm; 82-86. 7 Pardoyo (1994), Sekularisasi dalam Polemik, hlm : 81

6

proses sosio-kultural. Sekularisasi mempengaruhi totalitas kehidupan kultural, dan bisa diamati dalam kemerosotan kandungan religius dalam seni, filsafat, kesusasteraan dan dalam

kebangkitan

ilmu

pengetahuan

sebagai

suatu

perspektif yang sepenuhnya sekular dan otonom atas dunia. C. Agama dan Sekularisasi.

Menempatkan agama dalam dialektika ilmiah tidak akan

dapat

lepas

dari

dua

dimensi,

yaitu

dimensi

historisitas dan dimensi normatifitas. Pada dimensi normatif agama melahirkan pemahaman tentang realitas transenden yang bersifat mutlak dan universal, melampaui ruang (space) dan waktu (time), inilah yang sering dinyatakan sebagai realitas ke-Tuhan-an. Namun pada dimensi historis, agama

tidak

bisa

dipisahkan

dari

kesejarahan

dan

kehidupan umat manusia yang berada dalam ruang dan waktu.

Agama

terangkai

oleh

konteks

kehidupan

pemeluknya, dan karenanya, akses pemahaman manusia terhadap realitas transedental agama (normativitas agama) tidak akan sama persis seperti apa yang dikehendai olehNya. Ia hanyalah batas dari spiritualitas agama. Inilah realitas kemanusiaan, realitas yang selalu berada di bawah realitas ketuhanan. Dalam diskursus keagamaan, manusia selalu hanya berada pada dimensi historisitas agama dan tidak pernah sampai

pada

dimensi

normativitas

agama.

Dimensi

normativitas agama sebagaimana dijelaskan Rudolf Otto bersifat

sui

generis,

dikomunikasikan.

personal

Sedangkan

dan

dimensi

tidak

dapat

historis,

agama

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari entitas peradaban umat manusia

yang berada dalam setting

perjalanan sejarah. Agama merupakan wilayah ‘rasionalitas’ 7

kebudayaan

yang

selalu

merencanakan

masa

depan

peradaban manusia yang lebih baik melalui kerangka dialektika sisi teologis ke dalam kehidupan sosio-kultural.8 Setiap agama hampir pasti memberikan keyakinan kepada

umatnya

tentang

ajaran-ajaran

mengenai

kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan akhirat. Sebagai sebuah sistem keyakinan ini, agama dapat menjadi bagian dan inti dari sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat dan menjadi pendorong, penggerak serta pengontrol bagi tindakan para anggota masyarakat agar tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran agamanya. Dalam keadaan dimana pengaruh ajaran agama itu sangat kuat terhadap sistem nilai yang ada tersebut,

maka

sistem-sistem

kebudayaan

masyarakat

mengejawantah sebagai simbol-simbol suci yang didasarkan pada ajaran agama yang menjadi kerangka acuannya. Sistem keyakinan dalam agama yang berorientasi kepada kebenaran (truth) senantiasa berdialog dengan sistem makna (meaning) yang dibangunnya.

Malinowski

telah menunjukkan bahwa tidak ada praktek ritual, magik, agama,

juga

tidak

ada

kepercayaan

mengenai

yang

supranatural serta unsur-unsur lain yang terintegrasi dalam konsep tersebut yang tidak memiliki signifikansi fungsional dalam sistem tindakan. Durkheim dengan mengkaji sikapsikap spesifik terhadap hakikat supernatural dan objekobjek

ritual

dan

tindakan

mengadakan

pembedaan

mendasar antara yang sacred dan profane, hubungan sikapsikap yang sesuai dalam konteks ritual keagamaan dengan sikap-sikap 8

terhadap

objek

utilitarian-significance

dan

Amin Abdullah, 1999 (sebuah pengantar), dalam Gregory Baum (1999) terj Masyhuri, Agama dalam Bayang-Bayang Relativisme, Tiara Wacana, Yogyakarta, hlm:xx-xxi. Pandangan Rudolf Otto ini juga dapat dilihat dalam karya Berger, Kabar Angin Dari Langit, hlm :3

8

kegunaannya dalam lapangan tehnik rasional. Asumsi Durkheim ini menimbulkan masalah seputar objek yang sakral dan hakikat yang sakral yang merupakan simbol, karena simbol-simbol ini membutuhkan identifikasi untuk diinterpretasikan

dalam

tindakan.

Durkheim

kemudian

berpandangan bahwa agama tidak berarti apa-apa apabila dilihat terpisah dari fungsi sosialnya. Weber lebih lanjut juga menjelaskan hubungan normatif agama ini terkait dengan sistem institusional dan hubungan fungsionalnya dengan tindakan. Dari pandangan pandangan ini ternyata menurut Parson dalam sebuah kesimpulannya menyatakan bahwa agama

senantiasa

memberikan

eksis

‘makna’

dalam

berkat

perannya

ruang

hidup

dalam

masyarakat

manusia.9 Munculnya sekularisasi dalam wacana keagamaan kemudian tidaklah hanya merupakan pemisahan sederhana antara

lapangan

spiritual

dan

duniawi,

pemisahan-pemisahan itu eksis secara seluruh

masyarakat

dan

juga

meskipun

de fakto dinegasikan

dalam dan

disembunyikan lewat suatu kosa kata religius. Sekularisasi

tidak

sepantasnya

untuk

dinyatakan

sebagai suatu fenomena yang anti religius. Sebagaimana dinyatakan oleh Arkoun bahwa : Bagaimana kita dapat bicara secara pas tentang sekularisasi ketika kita tidak memiliki teori suci yang dapat diandalkan, dan bagaimana kita bisa berhadapan dengan hal-hal yang suci, spiritual, transenden, dan dengan ontologi, ketika di lain pihak kita diharuskan untuk menyadari bahwa seluruh kosa kata ini –

9

Lihat Talcott Parsons, Agama dan Masalah Makna, dalam Roland Robertson (1988), Agama dalam analisan dan interpretasi sosiologis. Lihat pula pandangan-pandangan seputar makna agama dalam masyarakat ini dalam buku Anthony Giddiens (1986), terj. S. Kramadibrata, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, UI Press, bagian 2 dan 3.

9

yang dipakai untuk merujuk kepada nilai-nilai immaterial dan mapan—menjadi subjek pengaruh historisitas ?. Orang dapat mengatakan bahwa nilai-nilai ini telah dieliminasi atau disalahinterpretasikan lewat kemenangan kekuasaan material, tetapi pada sisi lain, siapa yang mampu peduli terhadap kesadaran palsu, dogmatisme dan fanatisme religius yang dibangun selama berabad-abad oleh kontrol religius negara ?. Yang

10

menarik

dari

proses

sekularisasi

adalah

pergeseran paradigma masyarakat dari sebuah pandangan yang

berorientasi

kepada

keyakinan

tentang

sebuah

kebenaran yang sering membawa truth claim kepada suatu bentuk pencarian makna dari suatu agama. Penganut sekular mampu mengintegrasikan religi tradisional secara kritis,

menjadikan

pemikiran

religius

untuk

mengkonsolidasikan sekularisasi sebagai suatu tahap desisif melalui emansipasi pemikiran manusia dari segala bentuk kesadaran palsu yang merupakan produk historisitas dari wacana keagamaan. Namun demikian, harus pula diakui bahwa sekularisasi dengan rasionalisasi dan desakralisasi dogma

agama

juga

melahirkan

sekularisme,

sebuah

ideologi yang menolak eksistensi Tuhan, dengan pandangan ekstrem, tidak ubahnya seperti ke-ekstrem-an penganut dogma-dogma tradisional. Fenomena

sekularisasi

ini

mungkin

tidak

begitu

menarik untuk dikaji ketika dikaitkan dengan keberagamaan masyarakat

timur-Islam.

Dalam

masyarakat

Islam

sekularisasi tidak dapat berkembang dalam virtualisasinya yang

positif,

karena

disebabkan

kevakuman

kultural,

dimana tidak ada kesempatan politik dan kultural bagi 10 M. Arkoun, Konsep otoritas dalam Pemikiran Islam ; laa hukma illa Lillah, Majalah Gerbang, ELSAD, Surabaya, 1999, hlm 23.

1 0

pemekaran konfrontasi antara visi dunia yang sekuler dan religius

;

dua

persepsi,

pemikiran

dan

tindakan,

pembentukan dan pengetahuan. Pemikiran Barat telah mengeksplorasi lapangan kajian baru melalui konfrontasi ini sejak abad ke 16. Untuk wilayah Muslim, sekularisasi merupakan suatu tema ideologis bagi pengkritikan atas ateisme dan materialisme Barat.11 Untuk itulah fenomena sekularisasi akan lebih menarik ketika dikaitkan dengan keberagamaan masyarakat modern, dimana ada konfrontasi antara gereja tradisional dengan gerakan protestanisme serta masyarakat kapitalis modern. D. Proses Sekularisasi

Sebagai senantiasa

fenomena

muncul

sosial,

dalam

sekularisasi

keanekaragaman

akan

perilaku

masyarakat dengan latar belakang yang beragam pula. Untuk itulah proses sekularisasi juga akan memiliki berbagai wajah, sesuai dengan kultur dan sistem sosial yang berkembang dalam suatu masyarakat. Penelitian tentang proses sekularisasi ini-pun akan menampakkan banyak bentuk, sesuai dengan fenomena yang muncul dalam perilaku masyarakat. Dekker (1995) mengungkapkan bahwa : The process of sekularization, the changing relationship between religion and society, has thus been studied on tree level ; the individual

level,

the

societal

level,

and

the

institutional level. In addition to level of analysis, many authors speak about dimensions, types, or form of secularization.12 11

Ibid, hlm : 24. Namun demikian, Arkoun juga melihat adanya legitimasi-legitimasi religius yang menutupi kepentingan –kepentingan politis dalam tradisi pemikiran Islam. Lihat dalam M. Arkoun (1998), Kajian Kontemporer Al-Qur’an, hlm :221 12 Gerard Dekker (1995), Is Religious Change a Form of Secularization ? The Case of the Reformed Churches in The Netherlands, Social Compass, LVII, hlm. 80.

1 1

Untuk tidak menjadikan sekularisasi sebagai sebuah ‘mitos’, maka berikut ini akan dideskripsikan beberapa pandangan sosiolog seputar proses sekularisasi. |1. Peter L. Berger

Dalam karya-karyanya, Berger senantiasa melihat proses

sekularisasi

dalam

protestanisme.

Ia

protestanisme

adalah

kaitannya

melihat

bahwa

cikal

bakal

dengan

gerakan

gerakan-gerakan berkembangnya

sekularisasi di Barat yang kemudian melahirkan budaya modern yang sering dinggap sekuler, sehingga Berger memiliki anggapan bahwa dunia modern ditegakkan atas protestanisme.13 Menurut Berger, jika dibandingkan dengan Katolik, protestanisme tampak sebagai sempalan radikal, suatu penyederhanaan aturan-aturan religius menjadi bagianbagian ‘pokok’ saja dengan membuang sejumlah besar kandungan

religius.

Protestanisme

bisa

dikatakan

merupakan suatu pengkerutan besar dalam lingkup dari ‘yang keramat’ dalam realitas. Perlengkapan sakramental direduksi sampai batas minimal dan bahkan dipisahkan dari kualitas-kualitas sucinya. Penganut Katolik hidup dalam dunia, dimana ‘yang keramat’

dihadirkan

melalui

penghantar

(sakramen-

sakramen gereja atau kemunculan kekuatan ‘supranatural’ dalam mukjizat-mukjizat), suatu kesinambungan kedirian antara

yang

Protestanisme

terlihat

dengan

kemudian

yang

memutuskan

tidak

terlihat.

kesinambungan,

memutus tali pusar antara langit dan bumi, dan dengan demikian mengembalikan manusia pada dirinya sendiri dalam

cara

Protestanisme

yang

belum

sekedar

pernah

ada

dalam

menggersangkan

sejarah.

dunia

dari

13 Peter L. Berger (1991), Langit Suci, Op.Cit, hlm : 131.

1 2

ketuhanannya,

dan

melemparkan

kejatuhan total dalam alam ini Menurut

Berger,

manusia

ke

dalam

14

dalam

hal

ini,

protestanisme

menyempitkan hubungan manusia dengan yang keramat menjadi suatu saluran yang sangat sempit yang disebutnya kalam Tuhan (jangan disamakan dengan suatu konsepsi fundamental

Injil,

tetapi

dengan

suatu

tindakan

unik

keberkatan Tuhan yang menebus –yaitu sola gratia dalam pengakuan-pengakuan Lutheran).

Selama penalaran dari

konsepsi ini dipertahankan, sekularisasi bisa dihambat dengan efektif, meskipun semua bahan pembentuknya sudah terdapat dalam akar pemikiran protestan. Namun ketika saluran penghantar ini terputus, tanpa adanya sesuatupun yang menjadi pengahantar antara Tuhan yang transenden-radikal dengan dunia manusiawi yang imanenradikal maka arus sekularisasi (dalam arti a-religius) tidak dapat dibendung. Sehingga tenggelamnya dunia manusia kedalam ketidaknalaran menjadi suatu realitas empiris dengan sebuah anggapan tentang ‘kematian Tuhan’. Berger membuat sebuah ungkapan; ketika dalam realitas modern ini suatu langit yang hampa malaikat menjadi terbuka bagi campur tangan ahli perbintangan, maka protestanisme bertindak sebagai pembuka jalan yang sangat menentukan bagi sekularisasi. Gerakan protestanisme ini pada awalnya haruslah dilihat sebagai kekecewaan atas perilaku dan kebijakankebijakan

gereja

yang

telah

memanfaatkan

tradisi

keagamaan untuk kepentingan-kepentingan gereja dan juga kepentingan penguasa pada saat itu, sehingga melahirkan pemikiran kritis masyarakat untuk mencari makna suci yang benar-benar lahir dari agama yang asli. Walaupun banyak 14 Ibid, hlm : 134.

1 3

sisi

negatif

yang

Protestanisme

akhirnya

merupakan

muncul suatu

dari

tradisi

gerakan agama

ini. yang

menemukan keberaniannya mengembalikan sarana-sarana penelitian empiris ke tempatnya semula, yang disebut oleh Paul Tillich sebagai ‘prinsip protestan’ ; protestanisme memiliki

suatu

prinsip

yang

mengatasi

seluruh

realisasinya…..prinsip protestan adalah menghakimi setiap realitas religius maupun kultural, termasuk agama dan kebudayaan yang menamakan dirinya protestan’.

15

Dalam melihat sekularisasi yang berkembang dalam masyarakat

modern

sekularisasi

dalam

(sekularisasi

ini, dua

kesadaran)

Berger

mengindentifikasikan

bagian,

sekularisasi

subjektif

dan

sekularisasi

objektif

(sekularisasi sosio-kultural). Menurut Berger, sekularisasi kesadaran dalam pandangan masyarakat modern dapat dilihat dalam ‘krisis penalaran’ dalam pemahaman tentang agama. Sekularisasi telah mengakibatkan suatu keruntuhan penalaran pada definisi religius tradisional tentang realitas. Manifestasi dari sekularisasi pada tingkat kesadaran ini memiliki

padanannya

pada

tingkat

sosio

kultural

(sekularisasi objektif), secara objektif manusia sehari-hari cenderung menjadi tidak pasti, terutama dalam keagamaan. 16

Secara subjektif manusia sehari-hari cenderung menjadi

tidak pasti terutama dalam hal keagamaan. Sedangkan secara objektif, manusia sehari-hari berhadapan dengan berbagai pelaku religius dan pelaku lainnya yang bersaing untuk mendapatkan perhatian atau untuk memaksanya patuh, sehingga dari sini kemudian muncullah apa yang sering disebut dengan pluralisme. Masyarakat industrial modern telah menemukan suatu 15 Berger (1994), Kabar Angin dari Langit, Op. Cit, hlm : 109. 16 Berger (1991), Langit Suci, Op. Cit, hlm : 151

1 4

‘wilayah

yang

dibebaskan’

dalam

pandangan

keagamaannya. Sekularisasi telah bergerak keluar dari sektor ini ke bidang-bidang lain dalam masyarakat. Salah satu konsekuensi menarik adalah kecenderungan bagi agama

untuk

terpolarisasi

dalam

kelembagaan yang paling umum

sektor-sektor

tata

dan paling pribadi,

terutama antara lembaga negara dan lembaga keluarga. Menurut Berger, secara umum dapat dikatakan bahwa terdapat ambivalensi kultural antara sekularisasi di bidang perekonomian di satu pihak dengan sekularisasi negara dan keluarga di pihak lain. Dalam wilayah negara, dalam beberapa

negara

terdapat

kesinambungan

legitimasi-

legitimasi religius tradisional atas tatanan politis pada waktu

negara

masyarakat

tersebut

industrial

sudah

separoh

modern

(misalnya

jalan

menuju

di

Inggris).

Sebaliknya kekuatan politik penyekular telah bekerja dalam negara-negara terbelakang dalam konteks pengembangan kapitalistik-industrial (misalnya di Prancis abad-18 dan berbagai negara terbelakang sekarang). Karena itu ada hubungan

antara

modernisasi

sosio-ekonomik

dan

sekularisasi politis.17 Pandangan ini juga ditegaskan oleh Dobbeleare (1994), yang menegaskan bahwa : Berger Stressed that the modern economic process in the original ‘carrier’ of secularization, but it has moved ‘outwards’ from this sector into other sectors of the institutional order ; polity and education.18 Kecenderungan

global

sekarang

ini

adalah

kemunculan sebuah negara yang terbebas dari pengaruh lembaga-lembaga religius maupun penafsiran-penafsiran religius atas tindakan politis. Akan tetapi, ketika agama di 17 Ibid, hlm : 154 18 Karel Dobbeleare (1984), Secularization Theories and Sociological Paradigm ; Convergences and Divergences, Social Compass, XXXI, hlm. 201

1 5

dalam lembaga politis modern secara tipikal merupakan suatu persoalan retorika ideologis, maka tidak demikian halnya pada kutub yang berlawanan. Dalam lingkungan keluarga dan hubungan sosial yang erat kaitan dengannya, agama memiliki potensi yang besar untuk tetap eksis, tetap mewarnai aktifitas individu dalam kehidupan sosialnya. Hal ini

dapat

dilihat

legitimasi religius

pada

munculnya

kembali

legitimasi-

dalam keluarga, bahkan dalam lapisan

masyarakat yang paling sekuler (kelas menengah) di Amerika. Dalam konteks perkembangan keberagamaan yang demikian ini, maka agama kemudian ditempatkan pada wacana pribadi dan ditandai dengan watak-watak yang sangat khas dalam lingkungan masyarakat modern. Dengan menganalisa fenomena yang tampak dalam penelitian yang telah dilakukan Berger ini, Dobbeleare (1984) menyatakan : On the Contrary, in the ‘private sphere’, in which the family is prominent, religion continues to be pertinent for motivation and self interpretation. But the velues pertaining to this sphere are irrelevant to the ‘public sphere’. This segregation of spheres is quite ‘functional’ for the highly rationalized economic and political institutions. However, the location of religion in the ‘private sphere’ divested it of its reliance on the state and made it a tenouous construction. Religion can no longer be imposed and consequently must be marketed.19 Salah

satu

watak

dasar

yang

mencolok

adalah

individualisasi. Religiusitas semacam itu bagaimanapun riilnya bagi individu yang menganutnya tidak lagi dapat memenuhi tugas klasik agama, yaitu tugas membangun suatu dunia bersama. Efek menyeluruh dari polarisasi ini, agama akan menampilkan diri sebagai retorika umum dan 19 Ibid, hlm. 202.

1 6

kebajikan pribadi. Dengan kata lain, menurut Berger, sejauh agama itu umum, maka agama tidak memiliki ‘realitas’, dan sejauh agama itu ‘riil’ maka ia kehilangan keumumannya.20 2. B. R. Wilson

Sekularisasi dalam pandangan Wilson berawal dari pemberontakan atas legitimasi institusi gereja terhadap institusi-institusi lain yang berkembang dalam masyarakat. Ia menyatakan bahwa : religion offers ‘redemption’ and this personal,

total

‘indivisible

ultimate’,

unsusceptible

to

rational procedures or ‘cost efficiency criteria’, can only be offered in a ‘community’, to its ‘fellows’. Consequently, when the community ceases to be the basic principle of social organization

and society develops in a more and

more ‘societal’ manner, then religion looses momentum. This is also seen in the decline of ritual functions of religion.21 Wilson

menganggap

bahwa

konsepsi-konsepsi

mengenai gereja, sebagaimana dipahami dalam konteks sosial, adalah konsep yang memiliki makna dan pengertian sepenuhnya

dalam

masyarakat

feodal

Eropa.

Gereja

menyatakan berhak atas teritorial tertentu, memonopoli kekuatan spiritual, yang identik dengan negara yang menyatakan hak monopoli atas kekuatan politik dan militer. Dalam sejarah Eropa sebuah gereja memimpin beberapa negara yang baru lahir dan hal ini tidak lain mencerminkan transendensi monopoli

dan

kesemestaan.

kekuatan

kepentingan politik.

spiritual

Hal

ini

menunjukkan

untuk

kepentingan-

22

20 Berger, 1991, Op. Cit, hlm : 159 21 Lihat Wilson (1982), The Religion in Sociological Perspective, Oxford University Press, hlm. 160-174. 22 Lihat penjelasan ini dalam Wilson, Agama dalam Masyarakat Sekuler, dalam Ronald Robertson, Op. Cit, hlm : 183.

1 7

Ketika

institusi-institusi

dalam

masyarakat

berkembang dan terspesialisasi, maka legitimasi gereja sedikit demi sedikit akan pudar, dan disini otoriti sipil semakin memperoleh kekuatan

dan semakin tidak lagi

memerlukan campur tangan gereja. Dalam perkembangan ini, teori gerejawi

mengenai ajaran-ajaran sakral gereja

tetap ada, akan tetapi ketika perkembangan ini memaksa pada

sebuah

pemahaman

tentang

penyimpangan-

penyimpangan yang terorganisasi dari gereja, maka gereja akan merosot statusnya menjadi sekedar denominasi saja. Wilson

memberikan

pandangannya

beberapa

tersebut,

contoh

menurutnya,

tentang

pertumbuhan

keanekaragaman agama di Amerika Serikat membuktikan rapuhnya konsep sosial mengenai gereja dalam masyarakat tersebut,

walaupun

organisasi-organisasi

keagamaan

tersebut yang mewariskan ajaran-ajaran suci dan praktekpraktek liturgi lainnya, terus berlaku seolah organisasi tersebut dalam kenyataanya adalah gereja, sekularisasi telah melanda isi agama, tanpa terlalu mempengaruhi bentuknya secara radikal dari institusi keagamaan. Di Eropa, dimana gereja-gereja mapan benar-benar bertahan, hilangnya otoriti yang efektif mempengaruhi gereja-gereja bahkan

pada

masyarakat

dimana

keyakinan

agama

demikian kuat. Demikian halnya dengan yang terjadi di Inggris protestanisme menciptakan iklim bagi perwujudan toleransi agama lebih awal dari pada yang terjadi di negerinegeri

Katolik,

dan

ketika

sejumlah

besar

anggota

masyarakat secara efektif menjadi religius, semua gerakan keagamaan menjadi denominasi-denominasi dan sektesekte. Makna menyeluruh dari proses sekularisasi dalam

1 8

masyarakat modern menurut pandangan Wilson adalah bahwa masyarakat tidak memiliki nilai-nilai yang berasal dari prakonsepsi agama tertentu yang kemudian menjadi landasan

bagi

organisasi

sosial

dan

tindakan

sosial.

Melainkan bahwa agama ekumenis, sebagaimana terjadi di Amerika,

semata-mata

mencerminkan

nilai-nilai

yang

berakar dalam organisasi sosial itu sendiri. Berkembangnya keanekaragaman

dalam

masyarakat

telah

merusak

dominasi agama dan mengakibatkan fungsi-fungsi agama tersebut menjadi tersebar. Berkurangnya keanekaragaman tidak pula mempertahankan agama pada fungsinya semula, dan tidak mengembalikan fungsi-fungsi yang sebelumnya dimiliki. Ekumenisme adalah respon yang barangkali dapat mencegah

perubahan

gereja

perubahan gereja menjadi sekte

menjadi

sekte,

karena

nampaknya sudah lazim

terjadi pada organisasi keagamaan dalam masyarakat sekuler. Sekte biasanya dikutuk oleh gerejawan, sebenarnya juga dikutuk oleh kuam Kristen pada umumnya. Sebenarnya semua aliran agama menuntut profesionalisme gereja. Mereka memperbaharui pengakuan terhadap status sosial gereja, mereka menekankan sifat kuno perananan agama dan meyakinkan kembali tokoh-tokohnya akan keabsahan, permanensi dan kegunaan. Denominasionalisme diletakkan Wilson dalam arus perkembangan pengalaman sosial individu yang berasal dari proses sekularisasi. Ia sepakat bahwa setiap kelahiran denominalisionalisme

baru

menunjukkan

kebangkitan

religius, akan tetapi ia membantah bahwa itu merupakan bukti

dari

proses

sekularisasi

satu-satunya.

Seperti

Katholisisme yang berkaitan dengan masyarakat feodal

1 9

beserta

nilai-nilainya,

demikian

juga

berbagai

penyimpangan kepercayaan dan praktek religius yang sesudah itu diterima dan menjadi institusi, merefleksikan dan menuntut dilakukannya interpretasi-interpretasi baru terhadap masyarakat beserta moralitasnya, teologi dan pertanggungjawaban manusia di muka bumi.23 Revivalisme

menurut

Wilson

hanyalah

memperkenalkan sebuah keinginan tanpa harapan untuk kembali kepada pola sosial masyarakat feodal pertengahan yang petani, khususnya pada periode awal industrialisasi. Namun,

karena

pengelompokan

religius

baru

tidak

didasarkan atas hubungan-hubungan kekeluargaan, maka nilai-nilai yang mereka dukung menjadi tersebar. Di Inggris yang modern dan menjadi negara industri dengan tingkat mobilitas sosial dan geografis yang tinggi, kesetiaan pada denominalisasionalisme nampak semakin melemah. Lemahnya denominasi-denominasi di Inggris modern dibuktikan dengan baik oleh Wilson dengan munculnya gerakan ekumeni. Ini merupakan suatu contoh yang spesifik bagi hipotesis yang lebih umum bahwa ‘berbagai organisasi menyatu ketika mereka melemah dibandingkan dengan ketika mereka kuat, sebab aliansi berarti kompromi amandemen

terhadap

komitmen’.

dan

Profesi kependetaan

yang memberikan sebuah bukti bagi jatuhnya status religi bersamaan

dengan

menurunnya

jumlah

mereka

dan

bertambahnya umur mereka, lihat ekumenikalisme sebagai ‘keyakinan baru’. Melalui kepentingan-kepentingan baru, mereka lebih menyukai aliansi religius dari pada punahnya religi. Akhirnya, berkembangnya

gerakan liturgi yang

disponsori oleh para pendeta bisa jadi akan memantapkan kembali konsep monopoli profesional dengan menekankan 23 Glasner (1992), Op. Cit, hlm : 28

2 0

kefanatikan, legitimasi dan penampilan peranan religi.

24

3. Thomas luckman

Luckman mencatat bahwa dalam realitas kehidupan masyarakat,

simbol-simbol

yang

menyajikan

realitas

kosmos yang sakral dapat disajikan dalam bentuk yang religius,

karena

mereka

dengan

suatu

cara

dapat

membentuk fungsi pandangan dunia religius yang luas secara keseluruhan. Pandangan dunia ini dalam totalitasnya semula didefinisikan sebagai suatu bentuk religi yang universal sehingga konfigurasi penyajian-penyajian religius yang

membentuk

suatu

alam

semesta

yang

sakral

didefinisikan sebagai suatu bentuk sosial historis dari religi yang khas.

25

Lebih lanjut Luckman menjelaskan, karena kosmos yang

sakral

merupakan

bagian

pandangan

dunia,

ia

membentuk bagian realitas sosial yang objektif akan tetapi tidak

mesti

menjadi

manifest

institusional.

Dalam

pandangan Luckman hal ini mungkin hanya terjadi pada masyarakat

yang

relatif sederhana

–yaitu masyarakat

dengan tingkat diferensiasi yang rendah dan diferensiasi pandangan dunia yang relatif homogen. Dalam masyarakat tersebut tidak ada basis institusional bagi

penyajian-

penyajian yang khas religius yang tampak. Mantapnya institusi-institusi

religius

yang

khas

diakibatkan

oleh

artikulasi kosmos yang sakral dalam pandangan dunia. Ini memberikan kondisi yang niscaya, akan tetapi tidaklah cukup dikenal melalui diferensiasi peran sosial struktural melalui pembagian kerja. 24

Dari pandangan ini, Luckman menegaskan bahwa : secularization resulted from the ‘dissolution of the traditional, coherent sacred cosmos, and the indtitutional segmentation of the social struckture’, Lihat dalam Luckman (1967), The Invisible Religion ; the problem of religion in modern society, Newyork Micmillan, hlm. 101-102. Lihat pula pandangan ini dalam Dobbeleare (1984), op. Cit, hlm. 202. 25 Glasner, (1992), op. Cit., hlm : 78

2 1

Dalam masyarakat yang semakin heterogen, orangorang awam kurang berpartisipasi secara langsung dalam kosmos yang sakral, dan lebih menyandarkan diri pada ‘mediasi para ahli’ dalam hubungan dengannya. Luckman menjelaskan ‘’apabila sejak semula tingkah laku yang secara religius relevan sepenuhnya bersandar kepada internalisasi norma-norma dan kendali-kendali sosial yang umum, maka kesesuaian dalam hal-hal tersebut di dalam masyarakat-masyarakat yang kompleks makin diawasi oleh ahli religi. Sementara penyajian religius yang sejak semula sudah hendak mengabsahkan tingkah laku itu dalam semua bentuk situasinya, maka bertambahnya spesialisasi religi mengakibatkan beralihnya kendali sosial atas tingkah laku religius kepada institusi-institusi yang khas.

26

Luckman menegaskan bahwa dalam masyarakat yang relatif

sederhana,

para

individu

banyak

menginternalisasikan kultur yang relatif homogen, tetapi dalam

masyarakat-masyarakat

yang

lebih

kompleks

kesulitan tidak dapat diabaikan, karena justru di dalam masyarakat tersebut institusi spesialisasi terbentuk. Dalam masyarakat

tersebut

tidak

akan

terdapat

tingkat

pertentangan yang tinggi antara model ‘resmi’ religi dan sistem signifikansi yang ‘luhur dan subjektif’. Karenanya ia beranggapan bahwa ; sekularisasi pada awalnya tidaklah merupakan suatu proses yang menggusur nilai-nilai sakral tradisional.

Ia

merupakan

suatu

proses

penempatan

‘ideologi-ideologi’ institusional yang otonom, di dalam domain mereka sendiri, yaitu dunia norma-norma yang transenden dan meliputi. Dalam penelitiannya pada masyarakat kelas pekerja (Eropa) dimana orientasi kepada gereja lebih rendah, ia juga 26 Ibid, hlm : 79.

2 2

menemukan

perbedaan

signifikan.27

Diantara

diketemukan

pandangan berbagai

berbagai

keagamaan

yang

kelompok

pekerjaan

penting.

Umumnya

perbedaan

indeks keberagamaan yang lebih tinggi adalah para petani, pegawai kantor dan kaum profesional lainnya. Perbedaanperbedaan

ini

sejalan

dengan

distribusi

agama

yang

beorientasi gereja diantara kelas-kelas sosial. Petani dan kalangan

menengah

serta

unsur-unsurnya

yang

pada

dasarnya adalah borjuis tradisional yang survive dan borjuis kecil ditandai oleh tingkat keterlibatan agama berorientasi gereja bagaimanapun lebih tinggi dari pada kelas pekerja. Faktor-faktor utama yang menyebabkan perbedaan ini adalah lingkungan komuniti dan distribusi kelas-kelas sosial dan kelompok-kelompok pekerjaan dalam gereja. Di Amerika Serikat, agama gereja menyebar luas di kalangan

menengah.

perkembangan agama

gereja

kecenderungan lenyapnya

Kelas

masyarakat di

Amerika

terbalik

agama

ke

gereja

yang

industri

merupakan modern.

tidaklah arah

Distribusi

menggambarkan

‘sekularisasi’,

tradisional.

basis

Hal

ini

yakni lebih

merupakan perubahan radikal di dalam tubuh agama gereja di Amerika Serikat. Perubahan ini terdiri dari pengambilan versi sekuler etos Protestan oleh gereja-gereja, yang tentu saja dihasilkan dari kumpulan faktor dalam sejarah sosial dan keagamaan di Amerika.28 Kalau pada mulanya agama memainkan peranan penting dalam mewujudkan American dream, maka pada masa sekarang gagasan-gagasan sekuler American Dreamlah yang merembes ke dalam agama gereja. Fungsi-fungsi sosial

kebudayaan

yang

dijalankan

gereja

dalam

27

Lihat dalam tulisan T. Luckman tentang Kemunduran Agama yang Berorientasi Gereja, dalam Robertson (1988), Op. Cit, hlm : 172 28 Ibid, hlm : 179

2 3

masyarakat

Amerika

lebih

menampakkan

peran-peran

‘sekuler’ sebagaimana kelompok-kelompok sosial, kelas, maupun perilaku individualnya, sehingga peran gereja modern Amerika-pun dapat dianggap ‘sekular’ ketimbang ‘religius’

apabila

diperankan

oleh

tradisional-pun

dibandingkan gereja

dengan

tradisional.

akhirnya

terdesak

ke

fungsi

yang

Agama tepi

gereja

kehidupan

modern. Dari

uraian

di

atas,

Luckman

kemudian

juga

mencermati pluralisme yang tampak dalam keberagamaan masyrakat modern. Ia mengungkapkan : In such societies, pluralisme develop. On the one hand, the development of manifold

relations of institutionalized religion with other

specialized institution results in the emergence of new religious groups which claim ‘doctrinal’ superiority, and a higher degree of ‘purity’ from ‘secular’ involvements. In the other hand, a growing incongruence between the ‘official’ model and individual religiousity will also develop over the generation

resulting

from

the

‘textual’

stability

of

institutionally specialized religion and the rapid change of social condition which determine the individual system of ‘ultimate’

significance.

In

pluralistic

situation,

the

competition between two, and even more, models of religion, undermines the ‘official’ status of all of them.29 Berawal

dari

ketiga

pandangan

tentang

preses

sekularisasi di atas, untuk lebih memperjelas bagaimana bentuk, arah serta unsur-unsur yang terdapat dalam proses sekularisasi

dapat

dibuat

skema

pemahaman

sebagai

berikut :

29 Luckman (1967), Op. Cit., hlm. 87.

2 4

DOGMATIC RELIGIOUS

Text

Thought

Functionally Rational (Individu)

Culture Sub system of religion Will have to adapt to the new System’s struckture

History

Disenchantement Disenchantement

Functional Diferentiation (Social System)

Segregated Institutional Ideologis

Disenchantement

Critical Thought Rationalization, Desakralization

Education, Economi, Politic

Weltanschaung

Pluralisme, Sekularisme, Denominasi

Pluralisme, Sekularisme, Denominasi

Pluralisme, Sekularisme, Denominasi

POST DOGMATIC RELIGIOUS

E. Penutup.

Tidaklah batasan problem

cukup

konseptual yang

mudah tentang

untuk

memberi

sekularisasi

dimunculkannya,

karena

dan

batasanpelbagai

sekularisasi

menampakkan fenomena yang beragam, baik dalam tradisi 2 5

pemikiran ilmiah maupun dalam signifikansinya dalam religiusitas masyarakat. Namun dari uraian panjang diatas dapat memberikan sebuah gambaran bahwa sekularisasi akan sangat terasa ketika dikonfrontasikan dengan fungsi imperial yang diperankan oleh agama, yaitu sebagai din (agama),

daulah

merupakan

satu

(negara)

dan

dunya

kesatuan

guna

(dunia),

mewujudkan

yang

misinya

sebagai rahmatan lil ‘alamiin (memberi keselamatan bagi seluruh alam). Untuk mewujudkan misi tersebut, agama dengan nilainilai suci yang dilahirkannya tidak hanya ‘berputar’ dalam semesta sakral, namun dia juga harus dapat eksis dalam semesta profan. Dari sini maka dimensi normatifitas dan historisitas agama sangat menentukan eksistensi sebuah agama

dalam

kehidupan

masyarakat.

Munculnya

sekularisasi setidaknya dapat dianggap sebagai ‘kegagalan’ agama dalam mengemban misi luhurnya. Agama yang seharusnya dapat memberikan pencerahan dalam semua dimensi kehidupan, ternyata telah menjadi ajang legitimasi oleh

berbagai

kepentingan

dan

akhirnya

produk

kepentingan yang memanfaatkan agama tersebut juga mengalami sakralisasi. Peter L. Berger, Wilson

dan Thomas Luckman

cenderung melihat sekularisasi berawal dari pencarian kembali ‘makna’ agama dengan doktrin-doktrinnya yang masih

‘suci’

yang

belum

dikotori

oleh

kepentingan-

kepentingan gereja, sehingga dari sini agama akan benarbenar memberi warna positif dalam kehidupan masyarakat. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, sekularisasi

2 6

terkadang

memunculkan aspek negatif yang berkonotasi

de-religiusity sehingga melahirkan sekularisme ataupun atheisme. Dalam wacana modernitas (dalam pandangan ketiga tokoh di atas), proses sekularisasi lebih mengarah ke pluralisme

dari

pada

sekularisme,

dimana

institusi

keagamaan dengan dogma-dogma yang tidak menyentuh realitas sosial-kemasyarakatan akan digantikan dengan seperangkat

ide,

simbol

dan

ritus

(terjadi

denominasionalisme) yang lebih terbuka untuk dikritik sesuai

dengan

perkembangan

pemikiran

dan

realitas

kehidupan manusia. ( )

2 7

DAFTAR PUSTAKA Arkoun Mohammed, (1998) terj. Hidayatullah, Kajian Kontemporer Al-Qur’an, Pustaka, Bandung. ________________, (1999), Konsep Otoritas dalam Pemikiran Islam ; laa hukma illaa Lillah, Majalah Gerbang, ELSAD, Surabaya Baum Gregory Prof. (1999) terj Masyhuri, Relativisme, Tiara Wacana, Yogyakarta

Agama dalam Bayang-Bayang

Berger Peter L. (1991), terj. Hartono, Langit Suci ; agama sebagai realitas sosial, LP3ES, Jakarta. ___________ (1994), terj. J.B. Sudarminta, Kabar Angin Dari Langit, makna teologi dalam masrarakat modern, LP3ES, Jakarta. David Venter Dr. (1996), Death of God or Revolt Agains Secularization ?, Religius affiliation in global perspective, Missionalisa, ed. 24 Dekker Gerard (1995), Is Religious Change a Form of Secularization ? ; The case of the reformed churches the Netheland, Social Compass LVII. Dobbelaere Karel (1984), Secularization Theories and Sociological Paradigm ; convergence and divergence, Social Compass XXXI. Glasner Peter E., (1992), terj. M. Mochtar, Sosiologi Sekularisasi ; suatu kritik konsep, Tiara Wacana, Yogyakarta Giddens Anthony (1986), terj. S. Kramadibrata, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, UI Press, Jakarta Greeley Andew M (1988), terj., A.D. Soamoloe, Agama ; suatu teori sekular, Erlangga, Jakarta. Luckman T. (1967), The Invisible Religion ; the problem of religion in modern society, Newyork Micmillan, Moreno Francisco Jose Dr. (1985), terj. M. Amin Abdullah, Agama dan Akal Fikiran ; naluri rasa takut dan keadaan jiwa manusiawi, Rajawali, Jakarta Robertson Roland, ed. (1988), terj. A.F. Saefuddin, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Rajawali, Jakarta. Wilson B.R. (1982), The Religion in Sociological Perspective, Oxford University Press

2 8

2 9

Related Documents

Dogma
November 2019 49
Puncak Rasionalisasi
June 2020 11
1 Dogma
November 2019 30
Agama Dan Negara.docx
October 2019 14

More Documents from "mega pebriyanto"