PUNCAK RASIONALISASI PESANTREN Munib Rowandi Amsal Hadi Dua tahun belakangan ini, di beberapa pesantren di Indonesia, telah didirikan sekolah umum berbasis pesantren. salah satu di antaranya di Pondok Buntet Pesantren, salah satu pondok pesantren terkemuka di Jawa Barat. Pada tahun ini, di pesantren tersebut telah dibuka sekolah menengah tingkat pertama (SMP) berbasis pesantren. Fenomena tersebut tentu merupakan gejala menarik bagi perkembangan pesantren. paling tidak ada dua hal yang tesirat dari fenomena tersebut. Pertama, saat ini pesanten sedang mengalami puncak rasionalisasi pendidikan. Kedua, animo masyarakat masih tetap tinggi untuk menyekolahkan anaknya di pesantren. walaupun selama satu dasawarsa citranya di toreh kenegativan oleh ulah pelaku bom di berbagai tempat di Indonesia. Masuknya sekolah umum di lingkungan pesantren, merupkan produk dari hasil rasionalisasi pendidikan di pesantren yang sangat fenomenal. Rasionalisasi pendidikan di pesantren yang menghasilkan produk yang sangat fenomenal terjadi, pertama, pada saat pondok pesantren menerima system pendidikan sekolastik (madrasah). Yang kedua terjadi pada saat sekarang ini yaitu saat masuknya sekolah umum di pesantren. Fase Rasionalisasi Pesantren Pada mulanya, pondok pesantren mengarahkan seluruh kegiatan pendidikannya pada penciptaan masyarakat luas yang mengerti tentang ilmu-ilmu pengetahuan agama. Pada fase ini watak pesantren sangat populis. Maksudnya, menurut Gus Dur (2007) system pendidikan di pesantren tidak didasarkan pada kurikulum tertentu yang digunakan secara luas, melainkan di serahkan pada penyesuaian yang elastis antara kehendak kiai dan santrinya secara individu. Dengan demikian soal pembiayaan, lamanya belajar, kurikulum, dan buku wajib yang dipelajari disesuaikan sepenuhnya dengan kemampuan fisik dan kemampuan finansial dari seorang santri. Pada fase ini, pendukung utama pesantren yaitu masyarakat pedesaan, belum menghadapi persoalan-persoalan komplek,
terutama soal tuntutan kerja. Hampir
mayoritas para santri lulusan pesantren tidak mempersoalkan pekerjaan selepas dari pondok pesantren. Mereka kebanyakan cukup hidup dengan menekuni pekerjaan yang diajarkan oleh orang tua mereka.
Pada perkembangan berikutnya, saat kompleksitas persoalan masyarakat pedesaan meningkat, orientasi masyarakat dalam memasukkan anak mereka ke pondok pesantren mengalami perubahan. Pada fase ini, masyarakat memasukkan anak mereka dengan harapan agar anak mereka menjadi ahli-ahli agama dan sekaligus keahliannya tersebut dapat membuat anak-anak mereka berkarier di bidang tertentu. Akibat tuntutan tersebut, pondok pesantren melakukan langkahg-langkah yang sangat fenomenal yaitu
formalisasi pendidikan dengan menghasilkan produk berupa
madrasah. Beda madrasah dengan system sebelumnya (pengajian) adalah, kurikulum madrasah menggabungkan pengetahuan agama dengan
pengetahuan umum serta
dilakukan secara klasikal. Sementara system lama (pengajian) tidak mengajarkan pengetahuan selain pengetahuan agama serta dilakukan secara sorogan dan bandongan. Pada fase ini, kritik tajam tehadap pesantren sangat genajar. Dari imternal pesantren, menganggap bahwa pesantren tidak lagi populis (karakter asli pondok pesantren), tapi berubah menjadi elitis, kurikulum dan financial tidak lagi elastic tapi kaku. Sementara kritik dari eksternal pesantren, mereka menganggap pesantren tidak mampu bertahan dengan system lamanya, tapi justru terbawa arus gaya pendidikan sekolah.yang memang sedang ngetren saat itu. Dua kritik tersebut, bila dilihat dari kenyataan dilapangan tidak semuanya benar, sebab formalisasi pendidikan ini, di hampir sebagian besar pondok pesantren tidak menghilangkan sistem lama. Justru, semakin kaya. .Maka, bagi masyarakat yang masih meminati sitem lama (pengajian), meraka masih tetap dapat dilayani. Sementar bagi masyarakat yang memilih system madrasah, ia dapat mengikuti dua system tersebut. Pagi hari, para santri mengikuti pendidikan di madrasah, siang hari sampai malam hari mengikuti pendidikan dengan system lama (pengajian). Pada fase ini,
pesantren dianggap pada peran yang sangat ideal. Pesantren
dianggap sebagai wadah pendidikan keagamaan yang bertugas “mencetak” para ulama/ahli agama. Kondisi di atas, walaupun dianggap ideal, tidak serta merta membuat pesantren berhenti melakukan rasionalisasi. Paling tidak ada dua hal yang mendorong pondok pesantren terus melalukan rasionalisasi.. Pertama, akibat perkembangan masyarakat yang semakin komplek, membuat banyak masyarakat pendukung pondok pesantren yang ingin anak-anak mereka berkarir pada bidang yang lebih variatif dengan
tetap ingin belajar di pesantren. Selain itu, muncul juga masyarakat yang hidup di sekitar pesantren yang ingin anak-anaknya belajar di sekolah umum. Dua kelompok masyarakat inilah yang selama ini, dalam kurun waktu yang cukup lama, tidak terlayani oleh pesantren, namun terus dengan gigih mendorong pesantren agar menyediakan sekolah umum selain madrasah. Cukup lamanya pesantren tidak merespon keinginan tersebut disebabkan, pertama, pondok pesantren tidak berani melakukan perubahan karena kondisi yang ada dianggapnya sangat ideal. Alasan kedua, pondok pesantren sangat yakin dengan perannya sebagai “pencetak” ahli agama. Maka memandang cukup dengan madrasah, sementara sekolah umum dianggap tidak memiliki hubungan yang jelas dengan tujuan pesantren, atau malah dinggap bertentangan dengan tujuan pondok pesantren. Namun belakangan ini, sekolah umum mulai marak masuk di pesantren. Hal ini selain didorong oleh keinginan masyarakat yang terus menerus menggebu-gebu, juga didorong oleh kesadaran kalangan pesantren bahwa kenyataan lulusan pesantren banyak yang tidak menjadi ahli agama,. walaupun dengan system yang sangat ketatpun. Dua alasan itulah yang mendorong puncak rasionalisasi pendidikan pesantren yang terjadi sekarang ini.
Pada fase inilah, pesantren hampir memenuhi seluruh keinginan
masyarakat. System pengajian (sorogan dan bandongan), system madrasah dan sekolah umum dalam berbagai tingkatan dan jurusan telah disediakan semua oleh pesantren. Munculnya sekolah umum,
juga sebagai bukti animo masyarakat masih tetap
tinggi untuk menyekolahkan anak-anak mereka di pesantren. Bila dilihat dari proses rasionalisasi pesantren, di antara faktor pendorong yang terkuat dari setiap perubahan pesantren adalah dorongan masyarakat. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang paling dekat dengan masyarakat pedesaan, berkembang sejalan dengan nafas kebutuhan masyarakatnya. Maka ketika masyaraat Islam Indonesia tidak setuju dan bahkan mengutuk
teriorisme, maka pesantrenpun pasti tidak membenarkan dan
mengutuk terorisme. Factor inilah yang membuat masyarakat pendukung pesantren tidak terpengaruh oleh isu-isu negative pesantren berkaitan dengan terorisme dan tetap mempunyai harapan yang besar terhadap pesantren. Penulis adalah Ketua Forum Komunikasi Santri (FOKUS) Jawa Barat
Tinggal di Pondok Buntet Pesantren Cirebon Jawa Barat.